sanksi bughat dan makar: menurut perspektif...
TRANSCRIPT
SANKSI BUGHAT DAN MAKAR: MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Syariah (S.Sy)
Oleh :
Imam Maulana
N I M :1111045200002
PROGRAM STUDI SIYASAH SYAR’IAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
SANKST EUGHAT DAN MAKAR: ME1\IT]RI]? PERSPEKTIF
HUIffIM'TSLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRTPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah danHukumUntuk Memenuhi Salah Satu Syarat rmtukMemperoleh Gelar Smjana Syariah (S.SV).
Oleh:Imam Vaulpna
NIM. 1111045200002
Di Bawah Bimbingan:
NIP: 197812302001nA02
PR(}GRAM STU}I STYASAH SYAR'IAII
FAKTILTAS SYARIAII DAN HUKTJM
urN sYARrr gro,t yaiur,r,art
JAKARTA
t436Ht20lsvr
NIP: 1 972020320070 I 034
PENGESAHAN PANIT1A 11,1IAN
Skripsi berjudul "Sanksi Bughat dan Makar: Men urut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positr telah diujikan dalam Sidang Munaciashah Fakultas Syariah dan Hulcum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah).
Jakarta, 17 September 2015 M/ 04 Dzulhijjah 1436 H
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
111111 Dr. Ase • a udin Ja ar MA.
NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASHAH
1. Ketua : Dra. Hj. Maskufa, MA NIP. 196680703 199403 2 002
2. Sekretaris : Sri ElidayafiAg NIP. 19710215 199703 2 002
3. Pembimbing I : Dr. AlFitra, SH. M.Hum NIP.19720203 200701 1 034
4. Pembimbing IT : Masyrofah, S.M., M.Si NIP. 19781230 200112 2 002
5. Penguji I : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA NIP.19581110198803 1,001
6. Penguji II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum. NIP.19611101 199303 1 002
iv
ABSTRAK
Imam Maulana, 1111045200002. Sanksi Bughat dan Makar: Menurut
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Hukum Tata Negara (Siyasah),
Program Studi Siyasah Syar’iah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 1436 H / 2015 M, x + 88 halaman.
Masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana bughat dan pelaku makar
dalam pemberontakan bisa diberikan sanksi sesuai dengan hukum Islam maupun
hukum positif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan hukum positif terhadap
makar, bagaimana bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum
Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap pelaku makar dan
mengetahui apa perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif
hukum Islam dan hukum positif.
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal
dari sumber hukum primer, sumber hukum sekunder dan sumber hukum tersier
baik manual maupun digital yang berkaitan dengan tema pembahasan. Metode
analisis yang digunakan adalah metode deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi bagi bughat menurut perspektif
hukum Islam adalah diperangi dan dijatuhi hukuman mati (jarimah hudud), hal ini
sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam Hadist Nabi yang diriwayatkan
oleh Muslim, namun apabila pemimpin/imam memberikan pengampunan maka,
bughat bisa dijatuhi jarimah ta’zir. Dan sanksi bagi pelaku makar menurut
perspektif hukum positif adalah pidana mati dan pidana penjara, hal ini sesuai
dengan apa yang dirumuskan dalam Buku II Bab I KUHP yang penulis fokuskan
menjadi empat pasal yaitu dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107
KUHP dan ditambah dengan Pasal 108 KUHP. Namun, disini pelaku makar sudah
bisa dipidana apabila telah memenuhi tiga unsur yaitu permulaan niat, permulaan
pelaksanaan dan pelaksanaannya tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri,
dan untuk hukumannya dikurangi sepertiga. Namun dalam pemberian sanksi
kepada bughat maupun pelaku makar harus dilakukan secara hati-hati dan
sebelumnya harus ada proses dialog/musyawarah.
Kata kunci : Sanksi, Bughat, Makar.
Pembimbing : Dr. Alfitra, SH., M.Hum.
Masyrofah, S.Ag., M.Si.
Daftar Pustaka : 1945 s.d. 2015
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan
kemampuan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjalankan tugas-tugas
kekhalifahan di bumi dan atas semua yang telah dilimpahkan kepada umat
manusia secara umum dan penulis secara khusus. Shalawat beserta salam tak
luput kepada risalah-Nya Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, dan
mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid di atas muka
bumi ini dan membimbing umat manusia sehingga dapat menjalani kehidupan
yang lebih baik di dunia dan kebaikan hidup di akhirat.
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan.
Adanya bimbingan, kritikan dan masukan yang sangat berarti diperlukan penulis
untuk dapat lebih menyempurnakan dan memperbaiki agar penyajian skripsi ini
lebih sempurna.
Dalam perjalanan penulisan skripsi ini, satu hal yang menjadikan sebuah
kebanggaan bagi penulis adalah mengikuti perkuliahan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di dalam
perjalanan ini begitu banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang penulis
dapatkan, baik sifatnya menyenangkan maupun yang mengharukan, karena
dengan melewati itu semua maka kepribadian dan kedewasaan dalam bersikap
bisa penulis dapatkan.
vi
Menyelesaikan skripsi ini tentu banyak rintangan dan halangan yang
penulis hadapi. Butuh extra kerja keras untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis
faham bahwa dalam mengerjakan skripsi bukan perkara yang mudah karena butuh
ketelitian dan kemauan yang tinggi. Tetapi bersyukur alhamdulillah, semua itu
bisa diatasi berkat motivasi dan dorongan yang diberikan oleh semua pihak yang
membantu dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis. Semoga Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mengasihi dan
menyayangi kalian, dimana kalian berada. Amin. Rasa terima kasih ingin penulis
sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan yang
telah membimbing penulis dalam menjalani perkuliahan.
2. Ibu Dra. Maskufa, MA, Sebagai Ketua Program Studi Siyasah Syar’iah yang
telah memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis
selama penulis mengikuti perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Selaku Sekretaris Program Studi Siyasah Syar’iyah
yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam
keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan
sebaik-baiknya.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, Selaku Dosen Penasehat Akademik
yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis
mengikuti perkuliahan dan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini
vii
sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik.
5. Bapak Dr. Alfitra, SH., M.Hum dan Ibu Masyrofa, S.Ag., M.Si. Selaku dosen
pembimbing yang sangat penulis hormati, dengan sangat sabar dan keikhlasan
beliau membimbing penulis, memberikan banyak ilmu dan waktunya kepada
penulis sehingga banyak hal baru yang penulis dapatkan selama bimbingan
bersama beliau dan menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari bahan dan
literatur selama masa kuliah.
7. Kepada keluarga penulis, teristimewa ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak
Syafe’i, S.Ag dan Ibu Junaeni yang senantiasa tiada henti mendoakan penulis,
memberikan limpahan kasih sayang, kesabaran, dukungan serta motivasi baik
moral maupun materil kepada penulis. Tak lupa untuk kakak-kakakku tercinta
Neneng Nurhaeni dan Syaiful Hadi, S.Pdi dan seluruh keluarga besar (alm) H.
Emed dan keluarga besar (alm) Abah Ismail terima kasih untuk segala doa
yang kalian berikan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih sayang-
Nya dan keberkahan untuk kalian.
8. Kepada kekasih Wulandari yang sama-sama sedang berjuang dalam meraih
mimpi dan juga untuk keluarganya, terima kasih untuk segala doa dan
dukungannya selama penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Kepada semua guru-guru penulis yang berada di Ponpes Al-Masthuriyah
Sukabumi tidak lupa ta’dzim dan hormat penulis dan terima kasih atas doa dan
viii
ilmu yang sangat berguna bagi penulis dalam membentuk kepribadian yang
lebih baik lagi. Tak lupa juga guru dan orang tua penulis Babeh Supandi Kp.
Lemo terima kasih atas doa yang beliau berikan kepada penulis.
10. Sahabat tercinta Gilang (Dagul), Martin (Kibo), Iqbal (Bapur), Iskandar (Ace),
Bima Aditya, Davi Amanas Putra, Fauzi A, Yusuf Dj, Qoka, Ashof, Dahlan,
Febryansyah (Ahonk), Yoga, Syarif H, Paul dan Fawaid. Terima kasih atas
kebersamaan dan keseruan yang penulis banggakan selama bersama kalian.
11. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan SS
angkatan 2011, Andi, Hera, Lisna, Merry, Tiwa, Arista, Tomi, Uti, Dwi,
Anwar, Fajar, Devi, Fifit, Gilang, Mun'im, Rezi dan Buya. Dan tidak lupa juga
untuk teman-teman dari jurusan Pidana Islam angkatan 2011.
12. Kepada teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) kelompok SUDESI 2014.
Untuk Zahir, Herga, Ahsan, Ihsan, Aji, Ajo, Mizar, Dewi, Annisa, Tantri,
Heni, Citra, Rani dan Yani. Sebulan bersama kalian adalah sesuatu yang
sangat berkesan. Terima kasih semua atas perhatian dan dukungannya. Dan
tak lupa kepada warga Kp. Lemo khususnya Bapak Lurah Arban, Bang Baron,
Emak Encum, Bang Dedi, Fikri, Alung, Yogi dan Yosef. Terima kasih untuk
segala doa dan dukungannya.
13. Kepada semua pihak yang sudah membantu penulis, mohon maaf apabila
belum disebutkan. Akan tetapi, penulis berdo’a semoga agar kebaikan dan
ketulusan kalian di balas oleh Allah SWT.
Dalam penulisan skripsi ini mungkin terdapat banyak kekurangan, baik
yang terlihat maupun tersembunyi, untuk itu penulis sangat berharap mohon maaf
ix
untuk segala hal tersebut. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat
untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya.
Ciputat, 31 Juli 2015
Penulis
Imam Maulana
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.……………………………………………………… i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………. iii
ABSTRAK…………………………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………….. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………. x
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 9
E. Metode Penelitian ................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT………… 14
A. Pengertian dan Sejarah Bughat ............................................... 14
B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan .................................... 29
1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam) ......... 29
2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan
Kekuatan .......................................................................... 31
3. Adanya Niat Melawan Hukum ........................................ 33
xi
D. Dasar Hukum Bughat ............................................................. 34
BAB III MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF………. 36
A. Pengertian dan Sejarah Makar ................................................ 36
B. Macam-Macam Kejahatan Makar .......................................... 53
1. Makar yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya 54
2. Makar yang menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah
Negara............................................................................... 54
3. Makar yang Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya
Pemerintah Negara ........................................................... 56
C. Makar dalam Hukum Positif .................................................. 57
1. Pengaturan Makar dalam KUHP ...................................... 57
2. Pengaturan Makar di Luar KUHP .................................... 60
BAB IV SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF….……………….. 66
A. Sanksi Hukum Terhadap Bughat ............................................ 66
B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar......................................... 71
C. Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar .... 73
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 82
A. Kesimpulan ............................................................................ 82
B. Saran ....................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Politik dan agama Islam sangat erat hubungannya. Bahkan tidak bisa
dipisahkan satu dari keduanya. Konsep politik Islam selalu berlandaskan nilai-
nilai dan ajaran agama Islam. Bukan hanya politik saja, melainkan seluruh
aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam. Jadi, sangat tidak mungkin
jika konsep politik Islam justru terlepas dari Islam. Namun, dalam perjalanan
sejarah perpolitikan dan pemerintahan Islam, sebagai contoh proses pemilihan
maupun pemberhentian kepala negara, tidak ada yang baku dalam proses
keduanya itu.
Kepala negara tidak lain adalah wakil rakyat. Rakyatlah yang berhak
meminta pertanggungjawaban kepada kepala negara, dan rakyat pulalah yang
mengadakan bai’at, dan berhak pula memakzulkan (memberhentikannya)
apabila diperoleh cukup alasan untuk itu. Maka sebagai upaya terciptanya
prinsip check and balance, masyarakat memiliki hak untuk mengawasi tindak
tanduk kepala negara itu. Oleh karena itu, apabila kepala negara tersebut
melakukan kecurangan atau dzalim serta mengabaikan segala ketentuan yang
berlaku dan diberlakukan (syari’at atau hukum), maka rakyat berhak menegur
ataupun memecatnya.1
Perbedaan pendapat, ambisi dan kepentingan masing-masing pihak
yang muncul dalam proses interaksi berpolitik tidak menutup kemungkinan
1Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Islam dan Politk Bernegara, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 171
2
akan memicu lahirnya konflik, pertikaian, penindasan, peperangan dan
pembunuhan atau pertumpahan darah, yang pada gilirannya nanti bisa
berimplikasi pada terjadinya kehancuran total dalam berbagai dimensi
kehidupan umat manusia itu sendiri.2
Penjelasan seputar bughat secara lengkap diatur dalam hukum Pidana
Islam. Hukum Pidana Islam yang biasa disebut sebagai Fiqh Jinayah adalah
ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang
dilarang (jarimah) dan sanksi hukumnya (uqubah), yang diambil dari dalil-
dalil yang terperinci.3 Bughat dalam hukum Pidana Islam adalah golongan
yang melawan Khalifah yang sudah sah dan tidak melakukan sesuatu yang
menyalahi ketentuan agama.4 Fenomena bughat masuk dalam soal
kepemimpinan politik atau al-imarah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti
yang disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa’ ayat 59:
ا أيه ي ي لذ ا ٱطي ن ٱ عوا ءامنو للذ
سو عوا وٱطي ٱ لرذ
ل ل ٱ ر وٱو مأ لأ
م من ٱ كأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.”5
Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu
hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan disini bisa bermakna tidak keluar
untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip
2Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 96
3Muhammad Amin Suma…et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek dan
Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. ix
4A. Hasan, Ibnu Hajar Al-Asqalani Bulughu al-Maram, Terjemahan Bulughul Maram.
Jilid II, (Bandung: CV. Diponegoro, 1967) h. 186
5Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pokok Bergaris) Departemen Agama RI,
(Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998)
3
ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi
anarki. Kalau ingin melakukan perbaikan, Imam Al-Ghazali menyebutkan
bahwa untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah
kota.6
Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan sebagian ulama Malikiyah
mengatakan bahwa orang yang melawan imam adalah pemberontak meskipun
pemberontakan itu didasarkan atas kebenaran, baik ia salah maupun benar.
Melawan imam bukan cara yang tepat untuk menegakkan kebenaran dan
meluruskan kesalahan. Apa yang mereka lakukan bisa mengakibatkan
kerusakan dan meruntuhkan kehidupan bernegara. Selain itu memberontak
terhadap orang yang sah kepemimpinannya adalah haram sebab imam yang
kepemimpinannya diakui harus ditaati.7
Dalam sebabnya, bughat disebabkan tidak lepas dari tiga pra kondisi:
Pertama; bughat disebabkan hanya sebatas masalah akses politik dan ekonomi
yang diikuti oleh nafsu untuk berkuasa dengan cara menyingkirkan
pemerintah yang sah.8 Kedua, bughat disebabkan karena persoalan
ketidaksepakatan ide atau implementasinya dalam proses pemerintahan. Dan
yang ketiga, bughat tidak bisa dilepaskan karena pemerintah yang melakukan
tindakan represif dan dzalim kepada rakyat. Dalam konteks ini bughat menjadi
sangat berdekatan dengan aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar, artinya
6
http://m.nu.or.id/Bughat-.phpx. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
7Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,
Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007),
h. 245
8www.pandanganislammengenaiseparatisme.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
4
menjalankan aktivitas bughat menjadi kewajiban masyarakat.9
Namun tetap saja, apabila melihat pada apa yang ditimbulkan oleh
bughat selepas pemberontakan itu dilakukan, maka pemberontakan itu
merupakan kejahatan politik yang sangat meresahkan. Sebab, kejahatan
semacam ini dapat menghancurkan persatuan kaum muslimin, menyalakan api
fitnah dan segala efek negatifnya mulai dari pertumpahan darah,
menghancurkan bangunan negara, menebarkan teror dan penyelewengan
hak.10
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar
atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat),
maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-segalanya. Setiap
perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa terkecuali.11
Penerapan hukum di Indonesia tentunya dengan cara-cara yang
menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti
Ketuhanan Yang Maha Esa, harkat dan martabat manusia, dan hak asasi
manusia secara bijaksana dan adil kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa
melihat golongan, etnis, ras, warna kulit maupun jabatan tertentu.
Berbagai macam peristiwa dan kejadian nasional telah mewarnai
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tiga ratus lima puluh tahun bangsa
Indonesia dijajah oleh bangsa asing (Belanda) dan didalam masa perjanjian
9http://asysyariah.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
10Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadist), penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), Cet. I, h. 245 11
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 55
5
terselip pula bangsa-bangsa lain yang ikut berusaha untuk memiliki negeri ini.
Tercatatlah bangsa Jepang dan Inggris, dan selama itu pula bangsa Indonesia
berjuang untuk mengusirnya yang pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus
1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia mengucapkan
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.12
Perjuangan bangsa Indonesia tidak cukup sampai disitu saja, banyak
peristiwa yang mewarnai sejarah bangsa Indonesia, seperti pada tanggal 18
September 1948 gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) secara terbuka dan
secara resmi mengadakan perebutan resmi terhadap kekuasaan Republik
Indonesia.13
Menyusul kemudian pada tanggal 25 April 1950 Maluku Selatan
yang memproklamasikan dirinya sebagai negara yang merdeka.14
Kemudian
menyusul peristiwa penembakan atas Presiden Republik Indonesia (Bung
Karno) yaitu yang terjadi pada tanggal 30 November 1957, yang dikenal
dengan peristiwa Cikini.15
Lalu PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) yang berdiri di Sumatera pada tanggal 15 Februari 1958, dan di
bagian lain di negara Indonesia yaitu di Sulawesi berdiri pula Perjuangan
Semesta (PERMESTA).16
Kemudian, peristiwa yang tidak kalah pentingnya
12Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), h. 9
13
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 9
14
Jusuf Abdullah Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1956), h. 33, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10
15
Peristiwa Cikini, (Jawatan Penerangan Provinsi Aceh, 1967), h. 17, dikutip dari Djoko
Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10
16
Peristiwa PRRI di Sumatra Barat, (Khusus Kementrian Penerangan RI, 1962), h. 16.
dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10
6
yaitu yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 yang dikenal dengan
Pemberontakan G/30.S/PKI. Peristiwa-peristiwa tersebut pada dasarnya
merupakan perebutan kekuasaan pemerintah yang sah dalam kekuasaanya.
Adapun latar belakangnya adalah berbeda-beda (tidak puas terhadap
pemerintah Republik Indonesia, dendam dan sebagainya). Sesuai dengan
rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perbuatan-perbuatan tersebut
diatas disebut dengan makar.17
Makar adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan
maksud hendak membunuh orang.18
Jika dilihat mengenai penjelasan makar
ini, maka pengaturan beserta sanksinya ada dalam rumusan KUHP Buku II
Bab I yang diantaranya terdapat dalam Pasal berikut ini:
Pasal 104 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau
merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau
Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun.”19
Pasal 106 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah
negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari
wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”20
17Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, h. 10
18
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h. 623
19
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet. 17, h. 44
20
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 44
7
Pasal 107 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1),
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun.21
Tindak pidana makar dan bughat baik menurut hukum positif
maupun hukum pidana Islam adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat
berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri
motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan
sanksi pidana yang berat. Karena tindak pidana makar dan bughat ini pada
dasarnya adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan pihak penguasa
negara, maka demi menciptakan hubungan yang harmonis antara rakyat dan
pihak penguasa, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan negara harus dapat
melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip demokratis,
good goverment, melakukan pembangunan yang merata bagi seluruh daerah,
serta menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan dan persatuan melalui
pendidikan bagi seluruh warga negara, dan rakyat sendiri juga harus dapat
memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.
Mengingat diperlukan transfer “bahasa” syari’at Islam yang terdapat
dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan kitab-kitab Fiqh kedalam bahasa Undang-
Undang itu bukan pekerjaan mudah, dan juga bahasa merupakan bagian dari
budaya tertentu dan corak bahasa hukum atau bahasa Undang-Undang berbeda
dengan bahasa kitab kuning. Maka dari itu membutuhkan kerja sama yang luar
biasa dari para pakar hukum umum dan para pakar hukum Islam untuk
21Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
8
menyamakan bahasa. Sebagai contoh, kata “makar” dan “subversi” atau
“bughat” tidak bisa disamakan begitu saja tanpa melewati proses transfer
bahasa.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian akan dituangkan
dalam bentuk skripsi dengan judul: “SANKSI BUGHAT DAN MAKAR:
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Masalah yang berkaitan dengan bughat dan makar dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandang, karena merupakan suatu permasalahan yang
kompleks. Maka penulis membatasi dan merumuskan masalah mengenai
bughat dan makar ini. Adapun masalah pokok penelitiannya sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai bughat dan pandangan
hukum positif di Indonesia terhadap makar?
2. Bagaimanakah bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam hukum
Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di
Indonesia?
3. Apakah perbedaan dan persamaan bughat dan makar menurut perspektif
hukum Islam dan hukum positif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Maksud dan tujuan yang penulis rumuskan berdasarkan pembatasan
dan perumusan masalah yang telah dilakukan adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai bughat dan
pandangan hukum positif di Indonesia terhadap makar.
9
2. Untuk mengetahui bentuk sanksi hukum yang dapat dijatuhkan dalam
hukum Islam kepada bughat dan dalam hukum positif terhadap makar di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bughat dan makar menurut
perspektif hukum Islam dan hukum positif.
Sedangkan manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh kesarjanaan Program Studi Siyasah Syar’iah.
2. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan keilmuan
dibidang Fiqh Siyasah dalam konteks Ketatanegaraan Islam.
3. Menambah wacana ilmu pengetahuan mengenai bughat dan makar dalam
Fiqh Siyasah maupun undang-undang.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian tentang topik bughat dan makar yang telah
dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik sumber data yang diperoleh,
isu, maupun yang menyinggung secara umum. Berikut beberapa tinjauan
umum atas bagian karya-karya penelitian mengenai bughat dan makar.
Karya ilmiah yang pertama adalah skripsi yang berjudul “Konsep
Bughat Dalam Perspektif Politik Islam (Studi Kasus Terhadap G 30S/PKI)”
yang ditulis oleh Iyan Fitriyana pada tahun 2012 Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta Syarif Hidayatullah. Secara umum menjelaskan bagaimana
konsep bughat menurut politik Islam dan relevansinya terhadap kasus G
30S/PKI.
10
Tinjauan yang kedua adalah buku yang digunakan penulis yaitu
“Tindak Pidana Makar Menurut KUHP yang ditulis oleh Djoko Prakoso.
Dalam buku ini menjelaskan tentang tindak pidana makar. Buku ini
menyajikan penjelasan yang sangat menarik, dan juga banyak dijadikan
sebagai sumber dalam penelitian yang berhubungan dengan pidana makar.
Karya ilmiah yang ketiga adalah skripsi yang berjudul “Kriteria
Thagut Dan Bughat Dalam Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Upaya
Penyelesaian Penyimpangan Kekuasaan Di Indonesia” yang ditulis oleh
Rapikul Ihsan pada tahun 2012 Fakultas Ushuludin UIN Jakarta Syarif
Hidayatullah. Secara umum menjelaskan mengenai bagaimana pandangan
dalam Al-Qur’an tentang pemimpin yang tidak amanat dan mengenai kriteria
dari bughat itu sendiri.
Keempat adalah buku yang berjudul Ensiklopedi Hukum Pidana
Islam yang ditulis oleh Abdul Qadir Audah. Buku yang berjumlah beberapa
jilid ini banyak sekali menjelaskan apa yang menjadi kajian penulis dalam
penulisan skripsi ini, seperti pengertian bughat, pendapat para fukaha maupun
penjelasan yang menyangkut dengan ketentuan hukum pidana Islam terkait
masalah seputar bughat.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam penulisan skripsi
ini, karena metode penelitian ini dapat menentukan langkah-langkah dari suatu
penulisan. Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library
Research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang
11
berasal dari buku-buku, artikel-artikel, majalah, koran, serta bahan-bahan
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian riset pustaka
(Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
menghimpun dan menelaah data-data sumber kepustakaan berupa data-
data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan
skripsi ini.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer adalah sumber data yang ada kaitannya langsung
dengan tema skripsi ini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, kitab-kitab Fiqh Siyasah,Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/PnPs/Tahun 1963
Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-
Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
b. Sumber data sekunder yakni sumber data yang tidak berkaitan
langsung dengan tema skripsi ini. Adapun sumber data sekunder yang
digunakan adalah tulisan-tulisan ilmiah baik dalam bentuk buku,
12
jurnal, surat kabar, majalah maupun melalui media internet.
c. Bahan hukum tersier yakni data yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap data-data primer dan sekunder yaitu berupa
kamus-kamus ilmiah, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat
dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian.
Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis
menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan pokok-
pokok permasalahan secara menyeluruh.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku
"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012".
F. Sistematika Penulisan Sementara
Penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari
lima bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan
perincian sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, Dan Sistematika Penulisan.
13
BAB II : TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT
Dalam bab ini membahas tentang Pengertian dan Sejarah Bughat,
Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan, Dan Dasar Hukum Bughat.
BAB III : MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
Pada bab ini menjelaskan ini tentang Pengertian dan Sejarah
Makar, Macam-Macam Kejahatan Makar, Dan Makar dalam
Hukum Positif.
BAB IV : SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Dalam bab ini menjelaskan tentang Sanksi Hukum Terhadap
Bughat, Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar, dan Relevansi Sanksi
Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar.
BAB V : PENUTUP
Merupakan bab penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan
saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TEORI TENTANG BUGHAT
A. Pengertian dan Sejarah Bughat
Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab بغى yang
memiliki arti yang sama dengan kata ظلم yaitu berlaku dzhalim atau
menindas.1 Dalam makna lain, kata bughat juga berasal dari kata بغاء –يبغى–بغى
yang berarti menginginkan sesuatu.2
Sedangkan secara terminologi, para fukaha berbeda pendapat
mengenai definisi bughat ini. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan
pandangan dalam madzhab mereka. Diantaranya adalah:
a. Pendapat Malikiyah
Ulama Malikiyah mengartikan bughat atau pemberontak
sebagai sekelompok kaum muslimin yang bersebrangan dengan al-
Imam al-A’zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak
dan kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.3
b. Pendapat Hanafiyah
Ulama Hanafiyah mendefinisikan para pemberontak (bughat)
yaitu keluar dari ketaatan kepada imam (pemimpin tertinggi/kepala
negara) yang sah dengan cara tidak sah. Pemberontak (al-bagi) berarti
orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang benar dengan cara
1Ali Muthohar, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), h. 228
2Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 69
3Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 234
15
tidak benar.4
c. Pendapat Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang
Islam yang melawan imam (pemimpin tertinggi) dengan cara keluar
darinya, tidak mau tunduk, menghalangi hak yang diarahkan kepada
mereka, dan mereka ini memiliki kekuatan, alasan, serta orang yang
mereka taati.
Definisi lainnya adalah orang yang keluar dari ketaatan dengan
alasan yang salah, namun belum dipastikan salahnya. Syaratnya,
mereka mempunyai banyak kekuatan dan ada pemimpin yang mereka
patuhi. Dengan demikian, pemberontakan dalam pandangan ulama
Syafi’iyah adalah keluarnya sekelompok orang yang mempunyai
kekuatan dan pemimpin yang ditaati dari imam dengan alasan (takwil)
yang salah.5
Dengan pernyataan yang sedikit berbeda, Imam Al-Nawawi
berpendapat sebagai berikut; Pemberontak, menurut fuqaha, ialah
seseorang yang menentang penguasa. Orang tersebut keluar dari
ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-kewajiban
yang seharusnya ia lakukan dengan cara lainnya.6
d. Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah mendefinisikan bughat sebagai orang-orang
4Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 110
5Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 234 6M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet I, h. 61
16
yang keluar dari imam meski imam tersebut tidak adil sekalipun
dengan alasan yang layak dan mereka mempunyai kekuatan walaupun
diantara mereka tidak ada orang yang dipatuhi.7
e. Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah
Ulama Zahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah mendefinisikan
pemberontak sebagai orang yang menganggap dirinya benar,
sedangkan imam adalah salah, ia memerangi dan menuntut imam, ia
memiliki kelompok atau kekuatan, atau melakukan apa yang
diperintahkan untuk imam. Jadi, pemberontak adalah orang yang
keluar dari imam yang sah yang berasal dari kelompok yang memiliki
kekuatan.8
Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ulama, terdapat
adanya perbedaan dan persamaan dalam memberikan pandangan mengenai
bughat. Dari segi perbedaan, definisi diantara beberapa madzhab fikih
disebabkan perbedaan syarat yang wajib dipenuhi oleh bughat. Perbedaan
tersebut tidak terletak pada unsur-unsur pemberontakan yang mendasar. Para
fukaha madzhab-madzhab ini mencoba mengumpulkan definisi dengan
definisi yang mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat tindak pidana
pemberontakan agar definisinya bisa bersifat jami‟ (komprehensif) dan mani‟
(mencegah pengertian lain masuk kedalam esensi pengertian yang dimaksud).9
7Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 234 8Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 234-235
9Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy,
h. 235
17
Sedangkan dari sudut persamaan mengenai definisi bughat, mungkin
bisa dibuatkan definisi bersama yang disesuaikan dengan definisi semua
madzhab, yang didasarkan atas unsur yang paling mendasar. Definisi tersebut
adalah pembangkangan terhadap imam (pemimpin tertinggi) dengan
perlawanan.10
Tindakan bughat ini memiliki kesamaan dengan hirabah
(perampokan) dan terorisme, yakni sama-sama mengadakan kekacauan dalam
sebuah negara. Namun, jika dilihat dari motif yang melatarinya ketiganya
sangat berbeda. Hirabah adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam
rumah atau di luar rumah yang bertujuan untuk menguasai harta orang lain
dan membunuh korban untuk menakut-nakuti.11
Sedangkan terorisme adalah
praktek-praktek tindakan terror oleh seseorang atau golongan dengan
penggunaan kekerasan untuk menciptakan ketakutan kepada masyarakat
umum dalam mencapai suatu tujuan.12
Jadi, tegasnya kejahatan yang
dilakukan bughat bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan dan
mengganggu keamanan negara, tapi juga bertujuan untuk mengambil alih
kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan yang sah.
Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang
kemudian meluas kepada pemberontakan maka, menjadi kewajiban bagi
masyarakat untuk menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul.
10
Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy, h. 235
11
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 127
12
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2006), h. 1263
18
Sebab, pemberontakan ini dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu
pemberontakan dipandang sebagai bentuk kejahatan yang mengancam
keamanan negara. Semua kegiatan yang dilakukan hanya boleh dianggap
sebagai pemberontakan dan pembangkangan apabila mereka melibatkan
penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat menimbulkan keadaan
darurat dalam negara.13
Seperti yang telah disebutkan diatas pada umumnya, bahwa bughat
adalah sekelompok kaum muslimin yang menentang kekuasaan imam
(walaupun bertindak lalim) dan mereka tidak tunduk terhadap perintahnya
namun, ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh bughat seperti di bawah ini:14
Pertama, mereka mempunyai kekuasaan, baik dengan jumlah
pengikut yang banyak maupun dengan kekuatan lain walaupun hanya
menggunakan benteng tempat mereka mempertahankan diri sekiranya dengan
kekuatan itu, mereka mampu menandingi imam. Dengan begitu, imam
menganggap perlu mengembalikan mereka agar taat dengan mendermakan
harta dan mengeluarkan para pengikut mereka.
Kedua, disyaratkan mereka mempunyai dasar argumen yang
sempurna, dasar itu yang membuat mereka yakin bahwa memberontak
terhadap imam dan menolak menunaikan hak yang dihadapkan kepada mereka
hukumnya boleh. Sebab, orang yang memberontak tanpa disertai dasar
argumen disebut melawan kebenaran.15
13
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet V, h. 246
14
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadist), h. 245
15
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadist), h. 246
19
Ketiga, disyaratkan dikalangan mereka harus ada orang yang menjadi
figur panutan yang menginspirasi kekuatan dan kekuasaan. Sebagian ulama
menambahkan persyaratan bughat yaitu ada seorang yang diangkat menjadi
imam dikalangan mereka. Maksudnya bughat tidak boleh diperangi, kecuali
mereka adalah sekelompok orang yang membangkang, dan mereka tidak
mempunyai dasar argumen yang dapat dibenarkan.16
Dengan adanya pemimpin, mereka memiliki sumber pemikiran yang
sama dan melakukan sesuatu dengan kendali yang sama. Jadi, tidak ada
kekuatan bagi yang tidak memiliki pemimpin. Berapapun jumlah pemberontak
dan kekuatan yang mereka miliki, selama mereka tidak memiliki pemimpin,
mereka tidak akan memiliki kekuatan.
Dalam sejarah perjalanan pemerintahan Islam sepeninggal wafat
Rasulullah SAW tepatnya pada masa Khulafaurrasyidin, terdapat beberapa
pemberontakan yang dilakukan terhadap para Khalifah. Diantaranya adalah:
1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Khalifah pertama dalam
pemerintahan Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar dikenal
luas sebagai orang yang memiliki hati yang sangat lembut dan perasa. Dia
ramah, baik budi dan sangat setia. Namun pada saat berada di puncak
kekuasaan kaum Muslimin, dia telah banyak mengejutkan berbagai pihak
karena tindakannya yang sangat tegas.17
16
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-
Qur‟an dan Hadist), h. 246
17
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2000), Cet I, h. 134
20
Namun demikian, masih saja ada sebagian sekelompok orang
yang masih menampakan tidak adanya perubahan dalam diri mereka.
Suku-suku di sekitar Madinah menolak membayar zakat kepada petugas
pengumpul zakat yang diutus dari Madinah. Mereka mengepung Madinah
dan menyiapkan tentara secara terang-terangan untuk menunjukan sebuah
tantangan kepada pemerintahan pusat di Madinah.18
Menurut Ibnu Atsir, sebanyak dua puluh empat suku telah
menyatakan pemberontakannya. Semua wilayah, dari Yaman hingga
Madinah, telah diduduki para pemberontakan tersebut. Pemberontakan itu
demikian melebar, Thaif, Mekkah dan Madinah saat itu merupakan tiga
kota yang tetap loyal, sementara wilayah Arab yang lain telah dipenuhi
oleh orang-orang murtad. Sementara itu, kaum munafikin
menghembuskan api pemberontakan dari dalam tubuh umat. Dan pada saat
yang sama, kaum pemberontak itu didukung oleh munculnya empat orang
yang mengaku sebagai Nabi.19
Aksi pertama yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengatasi
pemberontakan tersebut adalah mengirim pasukan sebanyak 3.000 orang
di bawah pimpinan Usamah bin Zaid dalam sebuah ekspedisi yang
sebelumnya telah dipersiapkan Rasulullah SAW namun, sempat ditunda
karena Rasulullah SAW saat itu sedang sakit. Abu Bakar bersikeras untuk
mengirim pasukan itu sesuai dengan keputusan yang diambil oleh
Rasulullah SAW, meskipun beberapa sahabatnya menasehatinya agar
18
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135
19
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 136
21
tindakan itu tidak diambil karena waktunya demikian kritis. Karena pada
saat itu Madinah akan kekosongan orang dan akan menjadi sebuah kota
tanpa pertahanan ketika suku-suku pembangkang yang ada bergerak untuk
merebut kota itu. Para pimpinan umat Islam mengusulkan sebuah
kebijakan yang lunak dan menyarankan agar menempuh jalan kompromi
dan konsiliasi. Namun, dengan tegas dia menampik konsiliasi dengan para
pemberontak yang mengepung kota.20
Dengan tanpa ragu dan penuh semangat dia menghancukan
semua suku yang dengan sengaja memberontak dan membalas serangan
mereka dengan serangan yang setimpal. Yang akhirnya kemenangan diraih
pihak kaum Muslimin.21
2. Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tidak ditemukan adanya
sebuah pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan Khalifah
Umar. Karena tidak adanya ancaman dari tindakan pemberontakan, maka
Khalifah memfokuskan pada usaha-usaha penaklukan ke berbagai wilayah
luar kota Madinah. Pada masa ini, Khalifah Umar telah mampu
menciptakan sebuah “imperium” besar bagi pemerintahan Islam dan juga
tentunya untuk menyebarluaskan agama Islam.
3. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Utsman bin Affan adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang
memiliki hubungan sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Ibunya adalah
sepupu Rasulullah SAW. Sedangkan ayahnya adalah seorang pedagang
20
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 135 21
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 136
22
yang sukses dan terpandang, dia meninggalkan harta warisan yang sangat
banyak. Utsman pun adalah seorang pedagang bisnis yang cerdik, ia
kembangkan harta warisan yang diterima dari ayahnya itu menjadi
semakin banyak.22
Utsman menggunakan kekayaan dan hartanya untuk kepentingan
agama yang dia peluk. Pada saat hijrah ke Madinah, dia membeli sebuah
sumur untuk kaum Muslimin yang saat itu masih belum bisa mengambil
air yang bersih dan tawar. Pada saat ada panggilan jihad ke Tabuk, dan
rakyat diminta agar mengumpulkan dana untuk mempersenjatai pasukan
perang, Utsman mengeluarkan seribu keping emas, seribu unta, enam
puluh kuda dan berbagai peralatan perang lainnya untuk kepentingan
sepertiga dari jumlah tentara.23
Namun, sepertinya kebaikan dan kedermawanan Utsman bin
Affan tidak sepenuhnya dapat memuaskan sebagian kaum Muslimin.
Perasaan tidak senang dan tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan dalam
pemerintahan Utsman telah melahirkan sebuah kelompok oposisi yang
dipimpin oleh sahabat-sahabat terkenal. Sebut saja, seperti Abdullah bin
Mas’ud, Abu Dzar al-Ghifari, dan Ammar bin Yasir.
Sangat penting untuk memahami alasan-alasan beroposisi yang
dilakukan kaum Muslimin dan para sahabat secara khusus, yakni
melakukan tindakan-tindakan tersebut terhadap Khalifah adalah
berdasarkan kaidah-kaidah Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW dan contoh-contoh yang dilakukan oleh dua Khalifah sebelumnya.
22
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 173
23
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 174
23
Yang meliputi berbagai hal, seperti politik, agama, ekonomi dan lainnya.
Para pengkritik Utsman, semuanya mendasarkan tindakan-tindakannya
dengan merujuk kepada semua dasar hukum tersebut dan hukum-hukum
yang sudah disepakati.24
Dampak final dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan Khalifah
Utsman bin Affan adalah sebuah pemberontakan. Otak utama dari
pemberontakan ini adalah Abdullah bin Saba’. Dia adalah seorang Yahudi
asal Yaman, yang masuk Islam saat Utsman berkuasa memainkan peran
yang sangat signifikan dalam menggerakan masyarakat untuk mengadakan
pemberontakan. Akibat ulah pemberontakannya ini, dia diusir dari
Bashrah dan Kuffah. Namun dia berhasil ke Syiria dan bertemu dengan
Abu Dzar dan mengajaknya untuk bergabung dengan dirinya. Mua’wiyah
kembali mengusirnya dari Syiria. Dia kemudian berangkat menuju Mesir,
karena tempat itu dia anggap suasananya lebih kondusif untuk
menanamkan bibit pemberontakan.
Dia membentuk sebuah kelompok rahasia yang mampu
menghimpun banyak pengikut dan pendukung. Dengan sangat licik ia
mengeksploitasi perbedaan yang ada didalam masyarakat Islam dan
dengan cara inilah dia memecah belah umat. Dia gemar dan sukaria
dengan perilaku yang ambigu dan ambivalence, menyebarkan fitnah, isu
jahat, kecurigaan, dia tampak memposisikan diri dengan orang-orang yang
lemah, tertindas dan dengan secara besar-besaran mengekspos korupsi dan
nepotisme yang ada di pihak pemerintah.25
24
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 186
25
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 182-183
24
Berbagai surat disebar atas nama Ali, Thalhah, dan Zubair, yang
berisi ajakan kepada rakyat di berbagai provinsi untuk mendongkel
Utsman. Orang-orang Badui Mesir, Kuffah dan Bashrah semuanya
bergerak untuk menentang otoritas kekuasaan Khalifah yang mereka tuduh
telah melakukan tindakan nepotisme, tidak kompeten dan telah
menyimpang dari norma-norma yang telah diberlakukan oleh para
pendahulunya. Utsman diminta untuk turun dari kursi Khilafah. Gerakan
yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ mendapat sambutan dan
memberikan tekanan yang demikian hebat kepada pemerintahan Utsman.26
Puncak dari pemberontakan itu, para pemberontak mengepung
rumah Utsman dan merangsek masuk ke dalam rumah Utsman untuk
membunuh sang Khalifah. Para pemberontak memukul-mukulkan
pedangnya kepada Khalifah yang saat itu sedang memegang Al-Qur’an.
Mereka memukulkan pedang-pedang mereka ke tubuh Khalifah yang
akhirnya meninggal dan terjatuh ke lantai.27
4. Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thallib adalah keturunan Bani Hasyim. Ia dilahirkan
di halaman Ka’bah dan sejak kecil diasuh oleh Khadijah, istri pertama
Rasulullah SAW. Ali r.a hidup bersama Rasulullah SAW di Mekkah dan
dia memiliki kedudukan tersendiri karena dia bergaul secara dekat dengan
Rasulullah SAW, baik sebelum maupun setelah Islam. Gurunya tak lain
adalah Rasulullah SAW sendiri. Dari tangan Rasulullah SAW langsung, ia
26
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 193
27
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 181
25
belajar Al-Qur’an.28
Ali bin Abi Thalib r.a dikukuhkan menjadi Khalifah Keempat
menggantikan Utsman bin Affan r.a yang mati terbunuh di tangan kaum
pemberontak.29
Pengukuhan Ali r.a menjadi Khalifah tidak semulus
pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia dibai‟at di tengah-
tengah suasana berkabung atas kematian Utsman r.a, pertentangan dan
kekacauan dan kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum
pemberontak yang membunuh Utsman r.a mendaulat Ali r.a supaya
bersedia di bai‟at menjadi khalifah.30
Ali r.a di bai‟at menjadi Khalifah di tengah-tengah kekacauan
dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Utsman r.a. Keadaan ini
bertambah kritis dan suasana politik semakin eksplosif akibat tindakan Ali
r.a, pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap pengangkatannya
menjadi Khalifah yang menuntut agar ia segera menangkap dan mengadili
para pembunuh Utsman. Hal yang sama juga dituntut oleh Aisyah,
Thalhah dan Zubeir. Tuntutan ini tak dapat dipenuhi oleh Khalifah Ali r.a.
Tindakan dan kebijkasanaan Ali segera setelah resmi memegang
jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat
Ustman, termasuk Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru.
Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Ustman kepada keluarganya ditarik
kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang ketat terhadap
28
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 201
29
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999), h. 151
30
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 152
26
para pejabat pemerintahan. Ternyata para pejabat baru yang diangkat oleh
Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang
menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral
seperti Mesir dan Bashrah. Pengiriman para pejabat baru ini dilakukan
oleh Ali pada awal tahun 36 Hijriah.31
Tindakan Ali itu justru memancing kemarahan keluarga Bani
Umayah dan memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan
Ali. Bahkan, pembantu dekat Ali ada yang meniggalkannya dan bergabung
dengan Muawiyah. Mereka tidak suka cara pengawasan Ali yang ketat
dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga Aisyah,
Thalhah dan Zubeir menyusun kekuatan di Bashrah. Alasan utama mereka
beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Ustman.32
Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung.
Khalifah Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan
Aisyah, segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun, usaha
itu gagal. Maka Ali pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakan
perang terhadap para pembangkang dan pemberontak itu. Tentu, Ali punya
alasan untuk itu karena mereka menentang pemerintahan sah yang ia
pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah Al-Qur’an.
Kubu yang pertama dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan
yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir pada tahun 36 Hijriah
yang terkenal dengan Perang Jamal. Dalam perang ini kemenangan berada
di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua pasukan
31
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 155
32
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 157
27
bertempur di Shiffin, di lembah sungai Eufrat yang kemudian terkenal
dengan Perang Shiffin pada tahun 37 Hijriah. Perang ini dihentikan dengan
diadakannya tahkim (arbitrase) atas permintaan pihak Muawiyah untuk
berdamai yang disiasati oleh Amr bin Ash. Hasil dari Majelis Tahkim ini
bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mewujudkan perdamaian
melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena Majelis Tahkim atas
rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari
jabatan Khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah, sehingga
secara de jure Muawiyah berada di pihak yang menang. Namun, sesudah
peristiwa tahkim itu mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai
Khalifah. Dua tahun kemudian, Muawiyah melalui intrik-intrik politiknya,
diproklamasikan menjadi Khalifah.33
Sebagian pengikut Ali memprotes keputusan Majelis Tahkim dan
menyatakan keluar dari kelompok Ali. Alasannya, Ali menurut mereka
melakukan kesalahan besar yaitu mau menerima tahkim. Kelompok ini
kemudian terkenal dengan Khawarij (orang-orang yang keluar) dan
dianggap sebagai sekte pertama dalam Islam.34
Ali menyuruh Ibnu Abbas
untuk menemui kaum Khawarij. Ibnu Abbas mampu meyakinkan mereka
bahwa keputusan yang diambil itu tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Dan andaikata itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, maka Ali tidak akan menerima begitu saja dan pasti
dia akan bertempur menghadapi musuh-musuhnya. Perkataan Ibnu Abbas
33
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158
34
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 158
28
membawa hasil. Elemen-elemen yang bersitegang saat itu sementara bisa
dirukunkan.35
Namun, karena memang dari awal mereka tidak tertarik terhadap
penobatan Ali ataupun Muawiyah sebagai Khalifah dan yang paling
penting adalah kekecewaan mereka karena diadakannya tahkim, setelah
peperangan Nahrawan, saat sejumlah orang-orang Khawarij dibunuh,
mereka memutuskan untuk menyingkirkan Ali, Muawiyah dan Amr bin
Ash. Ketiga orang inilah yang mereka anggap sebagai orang-orang yang
paling bertanggungjawab terhadap semua kekacauan di seluruh dunia
Islam. Beberapa orang sukarelawan segera dibentuk untuk melaksanakan
rencana tersebut. Mereka adalah Abdurrahman bin Muljam yang
ditugaskan untuk membunuh Ali, Nazal diperintahkan untuk menghantam
Muawiyah, sedangkan Abdullah diperintahkan untuk menghabisi Amr bin
Ash. Pembunuhan ini akan dilakukan secara serentak di Kuffah, Damaskus
dan Fustat.
Ketiga sasaran tersebut diserang sesuai dengan rencana, yaitu
pada hari Jumat 17 Ramadhan 40 Hijriah pada saat shalat Subuh.
Muawiyah selamat dan tidak terluka sedikitpun, sedangkan Amr bin Ash
sedang sakit sehingga tidak memimpin shalat di Mesjid pada hari itu dan
penggantinya yang terbunuh. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil
menjalankan misinya di Kufah, pedang beracunnya berhasil ia tancapkan
ke tubuh Ali.
Pada usia enam puluh tahun, Ali meninggal akibat kejahatan yang
dilakukan oleh seorang Muslim. Kekuasaannya hanya berumur empat
35
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 216
29
tahun sembilan bulan. Meskipun dia dihadapkan dengan intrik yang terus
menerus dan pemberontakan yang tanpa henti, dia tidak menyimpan
dendam.36
B. Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan
Dari berbagai definisi mengenai bughat yang telah dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya, ada beberapa unsur dalam jarimah pemberontakan,
yaitu:
1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara (imam)
Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada
upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang
adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya,
atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.37
Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan
untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang
ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu).
Akan tetapi, berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan
untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan
merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal
ini boleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan
tidak boleh dalam kemaksiatan.38
Dengan demikian, jika seorang kepala
negara tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat, sekalipun
36
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, h. 222-223
37
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111
38
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 111
30
kebijakannya tidak selalu membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, maka
tetap wajib didengar dan ditaati. Masuk dalam kategori pemimpin negara
yang wajib ditaati adalah wakilnya, para menteri, para hakim, dan semua
aparat keamanan.39
Meskipun adil merupakan salah satu syarat untuk seorang kepala
negara (imam), namun menurut madzhab empat dan Syi’ah Zaidiyah,
haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam yang fasik, walaupun
pembangkangan itu dimaksudkan untuk amar ma‟ruf nahi munkar.
Alasannya adalah karena pembangkangan terhadap imam itu biasanya
justru mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah,
pertumpahan darah, merebaknya kerusakan, dan kekacauan dalam negara,
serta terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut
pendapat yang marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan
mengabaikan hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari
jabatannya.40
Dilihat dari cara dan alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam
Abu Hanifah, Al-Syafi’i, dan Ahmad membedakannya menjadi tiga, yaitu
sebagai berikut:41
a. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka
memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan senjata maupun tidak.
b. Kaum pemberontak memiliki argumentasi mengapa mereka
memberontak, tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan senjata.
c. Kaum pemberontak mempunyai argumentasi dan juga memiliki
kekuatan senjata.
39
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 63
40
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 113
41
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 66
31
Untuk jenis kelompok kaum pemberontak yang ketiga dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut.42
a. Pemberontakan yang dilakukan warga Syam di bawah kepemimpinan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib.
b. Pemberontakan kaum Khawarij terhadap kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib karena mereka tidak setuju dengan arbitrase yang dilakukan
pihak Ali dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan
hanya dilakukan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat.
Apabila pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di
suatu negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi,
maka itu tidak disebut pemberontakan.43
2. Pembangkangan Dilakukan Dengan Menggunakan Kekuatan.
Maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh
sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekedar menolak kepala negara yang
telah diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya,
sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap
Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak mau mengakui keabsahan
pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Sikap mereka tidak termasuk al-
baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif. Menurut Abdul Qadir
Audah, keengganan Ali tersebut hanya berlangsung selama satu bulan.
42
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67
43
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67
32
Setelah itu, ia membaiat Abu Bakar. Adapun orang yang hingga wafat
tidak mau membaiat adalah Sa’ad bin Ubadah.44
Contoh lainnya adalah golongan Khawarij yang ada pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mengenai hal ini, Imam Al-
Syafi’i mengatakan:
“Sesungguhnya sekelompok orang yang menampakan sikap seperti
kaum Khawarij dengan memisahkan diri dari jamaah, bahkan
menganggap jamaah tersebut kafir, tidak menyebabkan
diperbolehkannya memerangi kelompok ini sebab, mereka masih
berada di bawah perlindungan imam. Hal tersebut tidak
menjadikan mereka berubah status menjadi (murtad) yang Allah
SWT perintahkan untuk diperangi.”45
Alasan lain mengenai kaum Khawarij yang tetap tidak dianggap
sebagai pemberontak adalah karena mereka tidak melakukannya secara
demonstratif dengan kekuatan senjata. Ali bin Abi Thalib tidak
menganggap tindakan kelompok Khawarij sebagai pelaku jarimah
pemberontakan karena ia melakukannya tidak secara demonstratif, tidak
dengan pengerahan massa, dan tidak dengan kekuatan bersenjata.
Tindakan ini dianggap sebagai tindak pidana pembunuhan biasa, bukan
pemberontakan.46
Jumhur Ulama, Imam Malik, Imam Al-Syafi’i, Imam Ahmad, dan
ulama kalangan Zahiriyah berpendapat bahwa selama para pembangkang
itu tidak menyusun kekuatan bersenjata dan tidak bersikap demonstratif;
mereka bukanlah pemberontak. Oleh karena itu, mereka tetap harus
diperlakukan seperti warga negara, tidak boleh diserang, apalagi dibunuh.
44
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68 45
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 68
46
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 69
33
Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka
dapat dianggap sebagai pemberontak, karena mereka berkumpul bersama
dan merencanakan penyerangan. Hal itu cukup untuk dijadikan indikasi
akan adanya jarimah al-baghyu, walaupun tidak bersikap demonstratif
dengan menggunakan senjata. Demikian pula pendapat Syi’ah Zaidiyah.47
Perbedaan pandangan dalam masalah ini terletak pada tolak ukur
dan kapan sikap pembangkangan sebuah kelompok dapat dianggap
sebagai pemberontakan. Namun demikian, para ulama tetap sepakat bahwa
para pemberontak tidak boleh buru-buru disergap dan dibunuh, jika
mereka tidak melancarkan aksinya terlebih dahulu.48
3. Adanya Niat Melawan Hukum
Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan
adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur
ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk
menjatuhkan imam atau tidak menaatinya. Apabila tidak ada maksud
untuk keluar dari imam, atau tidak ada maksud untuk menggunakan
kekuatan maka perbuatan pembangkangan itu belum dikategorikan sebagai
pemberontakan.
Untuk bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku
bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak
menaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang
dibebankan kepada syara‟. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan
47
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70
48
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70
34
pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak
dianggap sebagai pemberontak. Apabila seseorang pembangkang
melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaankekuatan)
atau setelah selesainya pemberontakan maka disini tidak diperlukan
adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum
sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.49
C. Dasar Hukum Bughat
Telah disebutkan sebelumnya bahwa bughat adalah sekelompok
orang yang tidak taat lagi kepada pemimpin dan berusaha menggulingkan
pemerintahan yang sah. Hal ini menunjukan bahwa konflik yang terjadi adalah
konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan penguasa (pemimpin). Di dalam
Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan mengenai keharusan kita taat
terhadap pemimpin. Namun, perlu diingat bahwa taat disini bukan berarti taat
kepada kemaksiatan. Ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah ayat yang
terdapat dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59:
ا بيه ي ي لذ عوا ءامنوا ٱطي ن ٱ للذ
سول عوا وٱطي ٱ مرذ
ر وٱول ٱ مأ لأ
ن من ٱ
فا ل كأ
ء فردهوه ا تأ ف شأ زعأ ثن للذ
ٱ
سو و مرذ ن ل ٱ
منو كن ا ن ب تأ ثؤأ للذ
م و ب مأيوأ
خر ٱ لأ
وذ ٱ ل خيأ س ذ لا ثبأوي ن ٱحأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-
Nya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Q.S. An-Nisaa: 59)
Mengingat perbuatan bughat ini adalah kejahatan yang dilarang
dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda mengenai hal ini:
49
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 116
35
عن وعن ابن رض اللذ ق ما عن امنذب صل اللذ ئاا يكرىو يه شي ال: من رٱى من ٱم عليو وسلذ
ذو ها فمات فميتة جاىليذة )رواه مسل(فليصي, فا منفارق امجماعة شيا
50
Artinya: “Dari Ibn Abbas r.a Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang
merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya, apabila
memisahkan diri dari jama‟ah (penguasa yang direstui rakyat), maka orang
tersebut bila mati, matinya tergolong mati dalam keadaan jahiliyyah”
وعن عرفجة ابن ش صل اللذ عت رسول اللذ يع ر يوول من ٱكام وٱم عليو وسلذ يح: قال س عل م ج
ق هفر اعتك فاقتلوه )رواه مسل( رجل يريد ٱن ي ج51
Artinya: “Dari A‟fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: „Siapa yang
mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu
kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin
memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut‟.
50
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Beirut: Pustaka Daru Ihya al-Kutub al-
Arabiyah, 775 H-825 H), hal. 253
51
Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani Al-Shan’ani, Subul Al-Salam, (Indonesia, Dahlan),
jilid IV, h. 254, dikutip dari M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 72
36
BAB III
MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Pengertian dan Sejarah Makar
Definisi makar dilihat dari Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh
orang.1 Makar juga bisa diartikan sebagai perbuatan untuk menggulingkan
pemerintahan yang sah (kudeta).2
Makar berasal dari kata “aanslag” (bahasa Belanda), yang menurut
arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Istilah aanslag ini juga
terdapat dalam KUHP yakni pada Pasal-Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130,
139a, 139b, 140. (Pasal 105 dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal VIII, butir 13). Namun makar
yang dimuat dalam Pasal 139a, 139b dan 140 KUHP tidak masuk dalam bab
mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan masuk dalam
kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan
wakilnya.3
Dalam pembendaharaan hukum pidana “aanslag” telah lazim
diterjemahkan dengan makar.4 Pengertian makar terdapat pada Pasal 107
KUHP, dimana redaksi aslinya ialah:
1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 623
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka), Edisi ke I, h. 618
3Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 7
4Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 7
37
“De aanslag ondernomen men het oogmerk om omventelingteweeg
tebrengen, wordt gestraf met gevangenisstraf van ten hoogste
vifftien jaren”.5
Engelbrecht menterjemahkan Pasal tersebut dengan: “Makar yang
dilakukan dengan maksud untuk meruntuhkan pemerintahan, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.6
Terjemahan Engelbrecht tersebut dapat diketahui bahwa terjemahan
kata aanslag itu sama dengan kata “makar”.7 Sedangkan Wiryono
Prodjodikoro menggunakan terjemahan kata makar sebagai kata aanslag yang
menurut beliau berarti serangan.8
Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran
secara khusus dapat ditemui dalam Pasal 87 KUHP, yang berbunyi:
“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila
niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan
seperti yang dimaksud dengan Pasal 53 KUHP.”9
Nyatalah bahwa sebenarnya makar itu sendiri adalah suatu pengertian
khusus yang berhubungan erat dengan syarat-syarat yang ada dalam hal untuk
dapat dipidananya suatu percobaan melakukan kejahatan sebagaimana yang
dimuat dalam Pasal 53 KUHP ayat (1),10
yaitu:
5Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15
6Engelbrecht, Kitab Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Republik Indonesia,
tahun 1960, h. 1402, dikutip dari Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15
7Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 15
8Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT.
Eresco, 1980), h. 187
9Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 16
10Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8
38
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.”11
Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP ada tiga syaratnya yang harus ada
agar seseorang dapat dipidana melakukan percobaan kejahatan, yaitu:
a. Niat.
b. Permulaan pelaksanaan.
c. Pelaksanaannya itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya.12
Maksud sebenarnya dari Pasal 53 (1) KUHP itu agar pembuat (dader)
yang belum selesai mewujudkan kejahatan juga dapat dipidana, yakni dengan
ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada si pembuat yang tidak
selesai itu setinggi-tingginya ialah pidana yang ditetapkan pada kejahatan itu
dikurangi sepertiganya. Mengapa harus dikurangi sepertiga dari ancaman
maksimumnya? Karena menurut pembentuk Undang-Undang percobaan
kejahatan itu belum berupa penyerangan/pelanggaran terhadap kepentingan
hukum yang dilindungi, akan tetapi telah membahayakan terhadap
kepentingan hukum yang dilindungi Undang-Undang. Nyatalah pula bahwa
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku percobaan itu lebih ringan dari pada
pertanggungjawaban pidana pada kejahatan yang telah selesai.13
Jika dihubungkan dengan syarat untuk dapat dipidananya, percobaan
melakukan kejahatan yang dirumuskan Pasal 53 KUHP, maka jelaslah bahwa
11Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 26
12
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8
13
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 8-9
39
makar (Pasal 87 KUHP) bukan nama atau kualifikasi dari suatu kejahatan
tertentu sebagaimana yang sering kita dengar, melainkan sesuatu wujud
tingkah laku tertentu yang memenuhi unsur/syarat tertentu, syaratnya adalah:
a. Adanya niat.
b. Adanya permulaan pelaksanaan, dalam arti yang dimaksud dengan Pasal
53 ayat (1) KUHP.
Pengertian itu baru dapat menjadi suatu kejahatan makar apabila
dalam mewujudkan permulaan pelaksanaan tadi didorong oleh suatu kehendak
atau maksud yang terlarang seperti pada Pasal 104, 106, 107 KUHP.14
Dapat disimpulkan bahwa makar itu adalah suatu wujud tingkah laku
tertentu yang telah memenuhi tiga unsur dari Pasal 53 (1) KUHP, yang artinya
untuk mempidana sesuatu pelaku/pembuat (dader) yang telah melakukan
suatu perbuatan yang masuk kualifikasi kejahatan makar, sudahlah cukup
terpenuhi tiga syarat seperti yang dijelaskan dalam Pasal 53 (1) KUHP.
Dengan sejarahnya yang panjang dalam usaha meraih kemerdekaan
dari pihak penjajah, Indonesia masih belum bisa berdiri tegak kokoh dalam
mempertahankan kemerdekaannya. Setelah meraih kemerdekaanpun
Indonesia masih mendapatkan perlawanan dalam mempertahankan keutuhan
negaranya, namun kali ini perlawanan dan usaha-usaha memecah belah
Indonesia datang dari rakyat Indonesia itu sendiri. Sebagai contoh peristiwa
gerakan makar dibawah ini diantaranya:
a. Partai Komunis Indonesia (PKI)
1) Latar Belakang Tumbuh dan Berkembangnya PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai yang bertujuan
14Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 9
40
menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Paham Komunis di
Indonesia pada mulanya dibawa oleh seseorang yang berkebangsaan
Belanda yaitu H.J.F.M. Sneevliet. Pada tahun 1913 menjelang Perang
Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis berkebangsaan
Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda. Ia
sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan dan anggota
Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda.15
Untuk menanamkan pengaruhnya, Sneevliet mengadakan
kontak dengan orang-orang Belanda yang berhaluan sosialis yang ada
di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A. Brandsteder,
H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis yang
pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal
Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian, mereka
menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya
sebagai media propaganda Marxisme. Selain majalah itu, ISDV juga
menerbitkan surat kabar Suara Mardika dan kemudian Suara Rakyat.16
Untuk menanamkan ajaran Marxisme di Hindia Belanda,
Sneevliet memanfaatkan organisasi yang sedang berkembang pesat di
Indonesia pada waktu itu, yaitu Sarekat Islam (SI). Sneevliet
menggunakan cara dengan memasukkan anggota ISDV menjadi
anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi anggota
15Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1992), Edisi
1, Cet 2, h. 7
16
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 7
41
ISDV. Pada tahun 1947 Sneevliet dan kawan-kawannya telah
mempunyai pengaruh yang kuat dikalangan anggota SI. Mereka
berhasil membawa beberapa tokoh muda SI menjadi anggota ISDV,
diantaranya adalah Semaoen dan Darsono. Kedua orang inilah yang
menjadi penyebar Marxisme ke kalangan masyarakat Indonesia.17
Nama Partai Komunis Indonesia (PKI) digunakan pertama
kali dalam Kongres di Jakarta pada bulan Juni 1924 yang diadakan
oleh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda. Setelah itu, PKI
berhasil tumbuh menjadi partai politik yang memiliki massa pengikut
yang semakin besar.
2) Pemberontakan PKI terhadap Pemerintah Republik Indonesia
Aktivitas-aktivitas PKI mulai muncul sejak tahun 1947, saat
pemerintah Indonesia mengambil langkah diplomatik dengan Belanda,
PKI dengan tegas menentang semua langkah itu. Dalam tahun-tahun
sulit menjelang Proklamasi Kemerdekaan dan selama perang
kemerdekaan, keberadaan PKI di Indonesia tidak pernah mempunyai
sikap yang menguntungkan bagi Republik Indonesia.
Berikut beberapa pemberontakan yang dilakukan PKI
diantaranya adalah:
1) Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah.18
Pada akhir Oktober sampai dengan awal Desember
17Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 8
18
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 16
42
1945, di Jawa Tengah muncul gerakan komunis yang dikenal
dengan sebutan “Peristiwa Tiga Daerah”, yakni di Tegal,
Brebes, dan Pemalang yang berpusat di Desa Talang,
Kabupaten Tegal. Para petualang politik berhaluan komunis
berhasil menghimpun massa dan berusaha merebut kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia dengan cara kekerasan di tiga
daerah tersebut. Massa di daerah-daerah Slawi, Pemalang, dan
Brebes dapat dipengaruhinya, tetapi kota Tegal masih dalam
penguasaan satuan-satuan Tentara Keamanan Rakyat XVII
(TKR XVII). Pada tanggal 17 Desember 1945 segera setelah
dilakukan serangan pembersihan oleh Resimen TKR XVII,
situasi keamanan di tiga daerah tersebut berhasil dipulihkan.
2) Pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948.19
Pada tanggal 1 September 1948, Comite Central Partai
Komunis Indonesia (CC PKI) pertama terbentuk dengan Muso
sebagai Ketua PKI menggantikan Sardjono. Muso membentuk
Politbiro dan Mr. Amir Sjarifuddin diangkat menjadi Sekretaris
Urusan Pertahanan, Suripno memegang Urusan Luar Negeri,
M.H. Lukman seorang tokoh muda memimpin Sekretariat
Agitasi dan Propaganda (Agitprop). Tokoh muda lainnya D.N.
Aidit dipercaya untuk memimpin Urusan Perburuhan. Orang
muda ketiga yaitu Njoto diangkat menjadi wakil PKI dalam
Badan Pekerja KNIP.
19Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 17
43
Tokoh-tokoh komunis mengadakan pidato-pidato
yang bernada membakar emosi massa di Yogyakarta, Sragen,
Solo dan Madiun. Aksi-aksi untuk mendiskreditkan pemerintah
Republik Indonesia dilancarkan. Sementara itu Muso di depan
rakyat banyak senantiasa menggembar-gemborkan janji-janji
muluk PKI, sedangkan pegawai-pegawai pemerintah dan
tokoh-tokoh partai yang bukan PKI dijadikan sasaran terornya.
Aksi-aksi kerusuhan lain kemudian menyusul. Aksi-
aksi kerusuhan oleh PKI di kota Solo diwarnai oleh penculikan,
pembunuhan dan teror bersenjata. Kolonel Soetarto, Panglima
Divisi IV/Panembahan Senopati, dibunuh karena tidak setuju
dengan rencana pemberontakan PKI, kemudian disusul
pembunuhan terhadap Dr. Muwardi sebagai pimpinan Barisan
Banteng.
Pada tanggal 18 September 1948 pukul 03.00 ketika
seluruh perhatian ditujukan ke kota Solo, meletuslah di kota
Madiun tiga kali tembakan pistol sebagai tanda dimulainya
pemberontakan yang dilakukan PKI. Dengan didukung oleh
kekuatan satu brigade FDR/PKI di bawah pimpinan Sumarsono
dan Kolonel Djokosujono, kaum komunis melakukan
perebutan kekuasaan di Madiun dan memproklamasikan
berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Pemberontakan dan
proklamasi itu jelas mengkhianati Proklamasi 17 Agustus
1945. Pasukan PKI kemudian bergerak merebut objek-objek
vital, seperti kantor-kantor pemerintah, Markas Sub-Teritorial
44
Comando Madiun, Markas Polisi Militer, Bank, serta Kantor
Pos dan Telepon, dan Markas Staf Pertahanan Djawa Timur
(SPDT).20
Setelah mengadakan pembahasan secara mendalam,
Pemerintah Republik Indonesia menjawab tantangan PKI
dengan mempersilahkan rakyat memilih “Muso dengan PKI-
nya atau Soekarno-Hatta”. Ternyata rakyat memilih Soekarno-
Hatta. Pasukan TNI segera digerakkan untuk melakukan
penumpasan dibawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto sebagai
Gubernur Militer Pati-Solo-Madiun, dan Kolonel Sungkono
sebagai Gubernur Militer Jawa Timur. Pemberontakan PKI-
Madiun ini segera ditumpas oleh satuan-satuan TNI dari
Brigade Sadikin, Kusno Utomo (Jawa Barat), Surachmat (Jawa
Timur) dan satuan-satuan dari Divisi II (Jawa Tengah), serta
satuan-satuan yang didukung oleh massa rakyat yang bangkit
menentang PKI.
Dua minggu kemudian, yakni pada tanggal 30
September 1948, pasukan TNI telah berhasil menduduki
kembali kota Madiun. Pada tanggal 4 Desember 1948 setelah
pemberontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas dan Muso
tertembak mati, beberapa minggu kemudian Mr. Amir
Sjarifuddin, Suripno, Sardjono, Harjono, dan Djokosujono juga
terbunuh. Tokoh-tokoh PKI yang berhasil melarikan diri antara
lain adalah Abdul Majid, Alimin, Ngadiman Hardjosuprapto,
20Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, h. 22
45
D.N. Aidit, Njoto, Tan Ling Djie, dan Sumarsono.
3) Gerakan 30 September/PKI
Setelah gagal pada usaha pertamanya dalam
pemberontakan di Madiun pada tahun 1948, rupanya PKI
belum berhenti dalam upaya mengkomuniskan Indonesia.
Rencana operasi perebutan kekuasaan oleh PKI sudah lama
disiapkan, tetapi pelaksanaan perintah operasinya masih
menunggu saat yang tepat. Hal ini disebabkan karena pimpinan
Angkatan Darat dinilai sebagai penghalang program PKI.
Menurut pengakuan Sjam Kamaruzaman (Ketua Biro Khusus
PKI) di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dalam diskusi-
diskusi Comite Central (CC) PKI sejak tahun 1965, pimpinan
Angkatan Darat dinilai sebagai penghalang pelaksanaan
program PKI dan menunjukan sikap permusuhan terhadap
PKI.21
Di pihak lain TNI AD yang pada umumnya terdiri dari
para pejuang ’45, merupakan kekuatan ideologis Pancasila
yang kompak dan berpengalaman dalam menghadapi ancaman
komunis seperti pengalaman mereka menghadapi
pemberontakan PKI Madiun 1948.22
Setelah berbagai aksi propaganda, memanipulasi
pidato-pidato Soekarno, infiltrasi ideologi komunis dan
21Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan
Indonesia. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008), h. 8
22
Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI. (Jakarta: Intermasa, 1997), h. viii
46
pelatihan militer di Lubang Buaya, pada hari Jum’at tanggal 1
Oktober 1965 pukul 04.00 dini hari, PKI mulai melancarkan
perebutan kekuasaan dengan diawali penculikan dan
pembunuhan enam perwira tinggi dan seorang perwira
pertama. Menurut rencana, pelaksanaannya ialah tanggal 30
September 1965 pada jam yang sama. Pengunduran waktu
selama 24 jam yang diputuskan oleh Sjam itu disebabkan para
komandan satuan yang akan melakukan penculikan, belum
seluruhnya terkumpul.23
Sebelumnya pada tanggal 30 September malam, untuk
pertama kalinya diadakan rapat di rumah Sjam Kamaruzaman
untuk melancarkan serangan. Secara politis G.30.S/PKI
dikendalikan oleh Dewan Militer. Dalam Dewan Militer, D.N.
Aidit bertindak sebagai Ketua, Sjam sebagai wakil yang
memegang pimpinan pelaksana G.30.S/PKI. Operasi militer
dipegang oleh Kolonel A Latief sebagai Komandan Central
Komando yang dikendalikan dari Gedung Penas di pinggir
Jakarta bypass dekat dengan Halim.24
Letkol Untung Samsuri, Danyon-1/Kawal Kehormatan
Resimen Tjakrabirawa yang bertugas menjaga keselamatan
Presiden, dipilih menjadi pimpinan gerakan. Disini D.N. Aidit
bermaksud untuk mengelabui bahwa yang bergerak keluar
23Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan
Indonesia, h. 20
24
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan
Indonesia, h. 21
47
adalah Pasukan Pengawal Presiden, dan sekaligus memberikan
kesan bahwa gerakan itu merupakan masalah intern Angkatan
Darat yang dilakukan oleh Pasukan Pengawal Presiden untuk
melindungi Presiden dari upaya perebutan kekuasaan yang
akan dilakukan Dewan Jenderal.25
Dewan Jenderal adalah hasil
hasutan yang dilakukan oleh PKI dengan maksud menanamkan
kebencian kepada TNI.
Dalam rapat Dewan Militer itu D.N. Aidit
memerintahkan kepada Letkol Untung lewat Sjam (Ketua Biro
Khusus PKI) untuk melakukan persiapan. Pada tanggal 30
September pukul 10.00, Letkol Untung memberikan
pengarahan kepada para pimpinan pelaksana G.30.S/PKI di
Lubang Buaya. Dalam pengarahan itu Letkol Untung
mengatakan akan diadakannya gerakan pendahuluan untuk
memberi pukulan yang menentukan terhadap kekuatan yang
mereka sebut sebagai Dewan Jenderal.
Gerakan itu di atas kertas seluruhnya berkekuatan satu
divisi yang disebut “Divisi Ampera”, sedangkan operasi
pendahuluan diberi nama sandi “Operasi Takari”, yang terdiri
dari Pasukan Pasopati (bertugas melakukan penculikan
terhadap para perwira tinggi AD), Pasukan Bima Sakti
(bertugas menguasai Jakarta), dan Pasukan Gathutkaca
(bertugas sebagai pasukan cadangan yang berada di Lubang
Buaya). Tetapi dalam rapat pada tanggal 29 September malam
25Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan
Indonesia, h. 22
48
D.N. Aidit merubah nama “Operasi Takari” menjadi “Gerakan
30 September”.26
Gerakan 30 September PKI yang merupakan
gerakan militer berhasil menculik dan membunuh, Letjen TNI
Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen TNI Suprapto (Deputi-
II/Pangad), Mayjen TNI Haryono M.T. (Deputi-III/Pangad),
Mayjen TNI S. Parman (Asisten-I/Pangad), Brigjen TNI D.I.
Pandjaitan (Asisten-IV/Pangad) dan Brigjen TNI Sutojo
Siswomihardjo (Oditur Jenderal Militer/Inspektur Kehakiman
AD). Penculikan terhadap Jenderal A.H. Nasution yang
menjadi sasaran utama gagal karena berhasil menyelamatkan
diri.27
Namun, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan
ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean menjadi korban
dan tewas dalam upaya penculikan tersebut.
b. Pemberontakan DI/TII
Setelah empat tahun Indonesia meraih kemerdekaan, gejolak
dalam bangsa Indonesia rupanya belum berakhir. Bukan dari pihak asing,
melainkan dari dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri. Di dasari atas
ketidakpuasan terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh
pemerintah pusat, rakyat yang berada di daerah akhirnya muncul dan
mulai menunjukan sikap perlawanan kepada pemerintah pusat. Salah satu
26Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan
Indonesia, h. 22
27
Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan
Indonesia, h. 23
49
yang menunjukan sikap perlawanan ini adalah Darul Islam. Berikut
beberapa contoh pemberontakan yang dilakukan DI/TII.
1) Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Darul Islam atau yang disebut juga dengan Negara Islam
Indonesia (NII) didirikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang
ditandai dengan pembacaan proklamasi oleh Kartosuwiryo pada
tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampang, Kewedanaan Cisayong,
Tasikmalaya. Negara ini tumbuh dalam masa perang di tengah-tengah
revolusi nasional masih sedang berjalan. Melalui proklamasi itu,
Kartosuwiryo dan para pengikutnya secara tegas memisahkan diri dari
negara kesatuan RI, dengan kata lain memberontak terhadap
pemerintah yang sah.28
Pada saat masa Perjanjian Renville29
, Kartosuwiryo melihat
peluang untuk merealisasikan cita-citanya. Kartosuwiryo menganggap
perjanjian itu sangat merendahkan pemerintah dan berarti pemerintah
sudah berkapitulasi terhadap Belanda. Dalam salah satu keputusan
Renville itu ialah pemindahan pasukan RI yaitu pasukan Siliwangi dari
Jawa Barat ke Jawa Tengah. Akan tetapi laskar di daerah tersebut
seperti laskar Hizbullah dan laskar Sabilillah tidak bersedia
dipindahkan. Mereka tetap bertahan di Jawa Barat dan berkonsentrasi
di Gunung Cupu.
28Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi”,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012), Cet I, h. 405-406
29
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani
pada tanggal 17 Januari 1948 diatas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral,
yaitu USS Renville yang berlabuh di pelabuhan Tanjunng Priok, Jakarta.
50
Pemindahan pasukan itu dan pembentukan Negara Pasundan
oleh Belanda pada Maret 1948 mengakibatkan vakumnya kekuasaan
RI di Jawa Barat. Hal ini dimanfaatkan oleh Kartosuwiryo, yang pada
mulanya menunjang perjuangan RI namun kemudian berbalik dan
diarahkan untuk merealisasikan cita-citanya untuk mendirikan Negara
Islam.30
Pada tanggal 10-11 Februari 1948, Kartosuwiryo dan para
pengikutnya mengadakan konferensi untuk yang pertama kali. Dalam
konferensi ini menghasilkan beberapa keputusan yang diantaranya
adalah mengubah sistem ideologi Islam Partai Masyumi dari
kepartaian menjadi kenegaraan. Dalam konferensi ini juga mengangkat
Kartosuwiryo sebagai Imam umat Islam Jawa Barat dan penunjukan
Oni Qital yang seorang pengikut fanatik Kartosuwiryo menjadi
pimpinan Tentara Islam Indonesia.
Sejak awal 1949, Kartosuwiryo menganggap daerah Jawa
Barat sebagai daerah de facto NII. Karena hal itu, ia menyatakan
bahwa setiap pasukan yang masuk ke Jawa Barat berarti melanggar
kedaulatan NII. Mereka akan dihancurkan apabila melanggar peraturan
itu, namun Kartosuwiryo membuat pengecualian dengan harus
mengakui NII apabila tidak ingin dihancurkan.31
Untuk mengembalikan daerah Jawa Barat ke Negara Kesatuan
30Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
406
31Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
407
51
Republik Indonesia, maka pasukan yang tadinya dihijrahkan ke Jawa
Tengah akibat perjanjian Renville, kembali ke Jawa Barat dengan
melakukan penyusupan dan long march kembali ke daerah asal
mereka. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat
melakukan operasi Pagar Betis dan operasi Bratayudha. Akhirnya pada
tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo beserta para pengikutnya dapat
ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha di
Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Kemudian, oleh Mahkamah
Angkatan Darat Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati sebagai akibat
pemberontakannya itu sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
dapat dipadamkan.32
Gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang
didirikan oleh Kartosuwiryo ini adalah sebagai bentuk embrio dari
gerakan-gerakan Darul Islam yang berada di daerah lainnya seperti
Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
2) Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Tidak berbeda jauh seperti apa yang terjadi di Jawa Barat,
awal mula terjadinya pemberontakan di Jawa Tengah oleh gerakan
DI/TII ini disebabkan akibat dari Perjanjian Renville. Akibat perjanjian
ini, daerah Pekalongan di Jawa Tengah juga ditinggalkan oleh
kesatuan TNI dan aparat pemerintahan. Karena hal ini timbullah
kevakuman pemerintah di daerah ini. Kevakuman ini dimanfaatkan
32http://www.artikelsiana.com./2014/09/pemberontakan-DI/TII-cara-pemerintah-
penanggulangannya.html. Diakses pada tanggal 5 Mei 2015
52
oleh Amir Fatah. Pada tahun 1948, ia membawa tiga kompi pasukan
Hizbullah yang tidak di-TNI-kan ke daerah Pekalongan. Amir Fatah
mengaku mendapat intruksi dari Panglima Besar Jenderal Soedirman
untuk mengadakan gerakan imbangan di daerah Tegal dan Brebes
terhadap usaha Belanda dan mencegah Kartosuwiryo melebarkan
pengaruhnya di Jawa Tengah.33
Setelah Belanda melancarkan agresi militer pada pada 19
Desember 1948, pasukan TNI mengadakan penyusupan dan
perlawanan ke daerah Pekalongan, Tegal dan Brebes. Di daerah ini
pasukan TNI mengadakan kerja sama dengan Amir Fatah, kemudian
Amir Fatah di angkat sebagai kepala koordinator perlawanan di daerah
Tegal dan Brebes.
Namun pada Maret 1949, Amir Fatah mengadakan pertemuan
dengan utusan Kartosuwiryo di Desa Pengarasan, Bumiayu. Dalam
perundingan ini Amir Fatah berjanji akan bergabung dengan
Kartosuwiryo. Sebagai buktinya ia diangkat sebagai komandan
pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal TII. Pada
akhir April 1949, ia menyerahkan jabatan sebagai ketua koordinator
perlawanan Tegal-Brebes kepada Mayor Wongsonegoro. Ia beralasan
bahwa TNI berlaku tidak baik kepada anggota bentukannya yaitu
Majelis Islam. Kemudian dia menarik pasukannya dari Tegal-Brebes
ke desa Pengarasan.34
33Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
408
34
Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
408
53
Di daerah ini pula ia memproklamasikan berdirinya Negara
Islam Jawa Tengah. Sejak saat itulah ia dan pasukannya memulai
pengacauan dan penyerangan terhadap kedudukan TNI. Mereka
berhasil merebut pos pertahanan TNI di Bentarsari dan melucuti
senjata TNI yang ada di pos tersebut. Mereka juga menculik rakyat dan
aparat pemerintah yang tidak setuju dengan Darul Islam. Pasukan
Brimob yang sedang berpatroli pun mereka serang dan pimpinan
pasukan itu pun mereka bunuh.
Daerah Bumiayu dan sekitarnya dijadikan basis pertahanan
gerakan Amir Fatah ini. Untuk menumpas gerakan Amir Fatah ini,
TNI membentuk satuan tempur. Serangan dilancarkan terhadap
konsentrasi pasukan Amir Fatah di Desa Tembangrejo. Begitu pula
terhadap pasukan Amir Fatah di Citimbul dan basisnya di Pengarasan.
Akibat serangan ini Amir Fatah pun melarikan diri. Pada Oktober
1951, akhirnya Amir Fatah tertangkap saat operasi penumpasan
gerakannya oleh TNI dan pada saat itu pula gerakan Amir Fatah di
Jawa Tengah ini berakhir.35
B. Macam-Macam Kejahatan Makar
Adapun kejahatan yang masuk dalam kategori makar yang
mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan negara RI
sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk, yaitu:36
35Daud Aris Tanudirjo...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, h.
408
36
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 11
54
1. Makar yang Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya
Pada Pasal 104 KUHP dirumuskan:
“makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau
merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden
atau Wakil Presiden menjalankan pemerintahan, diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.37
Jika rumusan itu dirinci, maka makar yang menyerang keamanan
Presiden atau Wakilnya yang dirumuskan dalam Pasal 104 KUHP itu
adalah sebagai berikut:
Unsur Obyektif: Perbuatan makar (penyerangan)
Unsur Subyektif: Maksud yang ditujukan pada:
1) Menghilangkan nyawa Presiden atau Wakilnya.
2) Merampas kemerdekaan Presiden atau Wakilnya
3) Meniadakan kemampuan Presiden atau Wakilnya yang menjalankan
pemerintahan
Makar itu dilakukan dengan kekerasan, sebab tanpa kekerasan
tidaklah dapat dilaksanakan pembunuhan Presiden atau penggulingan
pemerintahan. Ini berarti bahwa sekelompok orang dengan pernyataan
tertulis disertai dengan unjuk rasa yang menghendaki supaya Presiden atau
pemerintahan turun/ganti tidaklah dapat disebut melakukan kejahatan
makar.38
2. Makar yang Menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah Negara
Integritas suatu negara adalah terjaminnya keamanan dan
37
Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan
Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus,2001) Cet I, h. 71
38
Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan
Tantangan), h. 74
55
keutuhan wilayah negara. Karena itu keamanan dan keutuhan wilayah
negara adalah wajib dipertahankan. Kejahatan yang menyerang keamanan
dan keutuhan wilayah ini adalah juga berupa kejahatan makar. Kejahatan
makar yang dimaksud ini adalah yang dirumuskan pada Pasal 106 KUHP,
yang rumusannya ialah:39
“makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah
negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari
wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Unsur Obyektif: Perbuatan (makar).
Unsur Subyektif: Maksud yang ditujukan pada 2 hal, yakni:
a. Seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh;
b. Memisahkan sebagian dari wilayah negara.
Perbuatan makar disini tidak identik atau tidak sama dengan
kekerasan (geweld). Perbuatan dalam makar yang oleh Pasal 87 KUHP
disebutkan sebagai permulaan pelaksanaan, adalah berupa segala macam
bentuk perbuatan dengan maksud untuk sebagian atau seluruh wilayah RI
jatuh ketangan musuh dan atau sebagian wilayahnya terpisah dengan
wilayah kesatuan negara RI. Wujud perbuatan itu bisa bermacam-macam
yang jika dilihat dari Pasal 53 KUHP adalah berupa perbuatan pelaksanaan
dalam rangka mencapai maksud tersebut.
Dalam kejahatan ini tidak diperlukan benar-benar seluruh atau
sebagian wilayah RI itu jatuh ketangan/kedalam kekuasaan musuh atau
telah terpisahnya sebagian wilayah dari wilayah kesatuan negara RI. Yang
39Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 19
56
harus timbul bukan akibat-akibat itu, akan tetapi wujud perbuatan yang
apabila dilihat dari Pasal 53 (1) KUHP adalah dapat berupa wujud
permulaan pelaksanaan perbuatan dalam rangka mencapai maksud
memisahkan sebagian wilayah RI atau jatuhnya wilayah RI ke dalam
kekuasaan musuh tersebut.
3. Makar yang Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya
Pemerintahan Negara
Yang dimaksudkan ini ialah kejahatan yang dirumuskan dalam
Pasal 107 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut:40
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah,
diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun;
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1),
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Perbuatan makar yang pada dasarnya berupa wujud permulaan
pelaksanaan (dari suatu perbuatan) sebagaimana dimaksud Pasal 53 (1)
KUHP dalam rangka mencapai tujuan menggulingkan pemerintahan atau
tergulingnya pemerintahan, tidaklah perlu berupa perbuatan yang begitu
dahsyatnya dengan kekerasan menggunakan senjata. Makar disini
sudahlah cukup misalnya dengan membentuk organisasi dengan alat-
alatnya seperti anggaran dasar, program kerja, tujuan yang ingin dicapai
dan sebagainya yang semua wujud-wujud kegiatan itu menuju pada suatu
tujuan yang kebih besar ialah menggulingkan pemerintahan yang sah.
40Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 19-20
57
C. Makar dalam Hukum Positif
1. Pengaturan Makar dalam KUHP
Pengaturan makar dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3
bentuk, yaitu:
a) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi
keamanan Kepala Negara atau Wakilnya (Pasal 104 KUHP);
b) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi
keamanan, keselamatan, dan keutuhan wilayah negara (Pasal 106
KUHP);
c) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi
tegaknya pemerintahan negara atau menggulingkan pemerintahan
(Pasal 107 KUHP).41
Dalam pengaturan makar atau kejahatan yang berhubungan
dengan makar yang mengancam keamanan, keselamatan, dan keutuhan
negara. Disini penulis mencoba merumuskan kejahatan yang berkaitan
dengan keamanan, keselamatan dan keutuhan negara dengan
memfokuskan pada Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107
KUHP, Pasal 108 KUHP dan Pasal 110 KUHP. Berikut uraian pasal
tersebut:
a) Kejahatan Makar
Dalam kejahatan makar terhadap negara, makar terhadap
nyawa atau kemerdekaan Kepala Negara atau Wakilnya tercantum
41Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1978), h.
11
58
dalam Pasal 104 KUHP, makar terhadap/untuk memisahkan wilayah
negara tercantum dalam Pasal 106 KUHP dan makar untuk
menggulingkan pemerintahan yang sah tercantum dalam Pasal 107
KUHP.42
Pasal 104 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas
kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau
Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara
paling lama dua puluh tahun.”43
Pasal 106 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah
negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari
wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Pasal 107 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat
(1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjarasementara paling lama dua puluh tahun.44
b) Kejahatan Pemberontakan
Kejahatan pemberontakan dirumuskan dalam Pasal 108
KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
(1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun:
1. orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan
senjata;
42Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), h. 9
43
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, h. 43
44
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
59
2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintahan
Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan
diri pada gerombolan yang melawan Pemerintahan
dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara
paling lama dua puluh tahun.45
c) Pemufakatan Jahat Untuk Melakukan Kejahatan
Pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan diatur dalam
Pasal 110 KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.
(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, 107 dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:
1. berusaha menggerakan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;
2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain;
3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan;
4. Mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk diberitahukan kepada orang lain;
5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.
(3) Barang-barang sebagaimana yang dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.
(4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.
(5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.
46
45Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
46
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 47
60
2. Pengaturan Makar di Luar KUHP
Dahulu di Indonesia diatur ketentuan mengenai masalah
kegiatan subversi dalam Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963
Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.47
Dilihat dari definisinya,
makar memiliki pengertian yang sama dengan definisi subversi yaitu:
gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi, dalam bab I diterangkan tentang
subversi adalah:
Pasal 1, bunyi rumusannya, ialah:
(1) Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi:
1. Barangsiapa melakukan suatu perbuatan dengan maksud
atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya
atau patut diketahuinya dapat:
a. Memutarbalikan, merongrong atau menyelewengkan
ideologi negara Pancasila atau haluan negara, atau
b. Menggulingkan, merusak atau merongrong
kekuasaan negara atau kewajiban pemerintah yang
sah atau aparatur negara, atau
c. Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan
permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan,
kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan
penduduk atau masyarakat yang bersifat luas
diantara Negara Republik Indonesia dengan sesuatu
Negara Sahabat, atau mengganggu, menghambat
atau mengacaukan bagi industri, produksi, distribusi,
perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau berdasarkan
keputusan pemerintah, atau yang mempunyai
pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat;
2. Barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan kegiatan yang
menyatakan simpati bagi musuh Negara Republik
Indonesia atau Negara yang sedang tidak bersahabat
dengan Negara Indonesia.
47Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi.
61
3. Barangsiapa yang melakukan pengrusakan atau
penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk
kepentingan umum ataupun milik perorangan atau badan
yang dilakukan secara luas;
4. Barangsiapa melakukan kegiatan mata-mata;
5. Barangsiapa melakukan sabotase.48
(2) Dipersalahkan juga melakukan tindak pidana subversi
barangsiapa memikat perbuat tersebut pada ayat (1) tersebut
diatas.
Pasal 2, bunyi rumusannya, ialah:
Yang dimaksudkan dengan kegiatan mata-mata ialah
perbuatan melawan hukum untuk:
a. memiliki, menguasai atau memperoleh dengan maksud untuk
meneruskannya langsung maupun tidak langsung kepada negara
atau organisasi asing ataupun organisasi kaum kontra
revolusioner, sesuatu peta, rancangan, gambar atau tulisan
tentang bangunan-bangunan militer atau rahasia militer ataupun
keterangan tentang rahasia pemerintah dalam bidang politik,
diplomasi, atau ekonomi;
b. melakukan penyelidikan untuk musuh atau negara lain tentang
hal tersebut pada huruf a atau menerima dalam pemondokan,
menyembunyikan atau menolong seseorang penyelidik musuh;
c. mengadakan, memudahkan atau menyebarkan propaganda
untuk musuh atau negara lain yang sedang dalam keadaan tidak
bersahabat dengan Negara Republik Indonesia;
d. melakukan suatu usaha bertentangan dengan kepentingan
negara sehingga, terhadap seseorang dapat dilakukan
penyelidikan, penuntutan, perampasan atau pembatasan
kemerdekaan, penjatuhan pidana atau tindakan lainnya oleh
atau atas kekuasaan musuh;
e. memberikan kepada/atau menerima dari musuh atau negara lain
yang sedang tidak bersahabat dengan Negara Republik
Indonesia atau pembantu-pembantu musuh atau negara itu,
sesuatu barang atau uang, atau melakukan sesuatu perbuatan
yang menguntungkan musuh atau negara itu atau pembantu-
pembantunya, atau menyukarkan, merintangi atau
menggagalkan sesuatu tindakan terhadap musuh atau negara itu
atau pembantu-pembantunya;49
48Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi.
49
Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi.
62
Pasal 3, bunyi rumusannya, ialah:
Yang dimaksudkan dengan sabotase ialah perbuatan
seseorang yang dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud, atau
yang mengetahuinya atau patut diketahuinya merusak, merintangi,
menghambat, merugikan atau meniadakan sesuatu yang sangat penting
bagi usaha pemerintah, mengenai:
a. bahan-bahan pokok keperluan hidup rakyat yang diimpor atau
diusahakan oleh pemerintah;
b. produksi, distribusi dan koperasi yang diawasi pemerintah;
c. obyek-obyek dan proyek-proyek militer, industri produksi dan
perdagangan negara;
d. proyek-proyek pembangunan semesta mengenai industri,
produksi, distribusi dan perhubungan lalu lintas;
e. instalasi-instalasi negara;
f. perhubungan lalu lintas (darat, laut, udara dan
telekomunikasi).50
Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi ini terkenal “karet” dan merupakan
“jala tidak berujung” yang dapat menjerat siapapun. 51
Dan juga sanksi
hukuman untuk pelaku yang melakukan tindak pidana subversi ini
tergolong berat, hal ini sesuai dengan bab IV Undang-Undang Nomor
11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yaitu:
Pasal 13, bunyi rumusannya ialah:
(1) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang
dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 1, 2, 3, 4 dan ayat
(2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
(2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang
dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 5 dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda setinggi-
tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah.
Oleh karena itu, undang-undang ini telah dihapuskan pada
50Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi.
51
http://[email protected]. Diakses pada tanggal 15 April 2015
63
zaman pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie.
Dengan alasan yang disebutkan:52
a. Bahwa hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa secara kodrati melekat pada diri manusia, meliputi antara
lain hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan
kedudukan di dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak
mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Bahwa Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi bertentangan dengan hak
asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum
serta menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dalam
penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di
dalam masyarakat.
Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,53
telah
ditambahkan 6 Pasal tentang kejahatan baru kedalam 6 Bab, menjadi
Pasal 107 a, 107 b, 107 c,107 d, 107 e, dan 107 f KUHP. Kejahatan-
kejahatan mengenai keamanan negara yang baru ini, dapat
dikelompokkan ke dalam 3 macam, yakni:
a. Kejahatan-kejahatan mengenai dan dalam hal larangan ajaran
atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme (107 a, 107 c,
107 d, dan 107 e KUHP).
b. Kejahatan mengenai menyatakan keinginan untuk meniadakan
atau mengganti dasar negara Pancasila. (107 b KUHP).
52
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan
Undang-Undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
53
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
64
c. Kejahatan sabotase (107 f KUHP).54
Rumusan dari 6 Pasal berikut diantaranya adalah:
Pasal 107 a KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum
dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun,
menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan
perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun.”55
Pasal 107 b KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Pasal 107 c KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”
56
Pasal 107 d KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
57
54
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 173
55Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
56
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
57
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
65
Pasal 107 e KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketuai
atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya;
atau
b. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau
memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam
maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan
segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud
mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintahan
yang sah.”58
Pasal 107 f KUHP, bunyi rumusannya, adalah:
“Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup
atau paling lama 20 (dua puluh) tahun:
a. barang siapa yang secara melawan hukum merusak, membuat
tidak dapat dipakai, menghancurkan, atau memusnahkan
instalasi negara atau militer; atau
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau
menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang
menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan
pemerintah.”59
58
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
59
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
66
BAB IV
SANKSI BUGHAT DAN MAKAR MENURUT PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Sanksi Hukum Terhadap Bughat
Dalam menentukan sanksi bagi bughat dibagi menjadi tiga bentuk,
yakni; Pertama, bughat yang melakukan tindak pidana yang berkaitan
langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksud tindak pidana yang
berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang
muncul sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan
fasilitas publik, pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya.
Sebagai konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan
pemberontakan tersebut, maka bughat mendapat hukuman mati (jarimah
hudud). Akan tetapi, jika pemimpin/imam memberikan pengampunan
(amnesti), maka bughat akan mendapatkan jarimah ta‟zir.
Kedua, bughat yang melakukan tindak pidana yang tidak berkaitan
langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksudkan dengan tindak pidana
yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak
kejahatan yang tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan
pada saat terjadinya pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan
tersebut seperti minum-minuman keras, zina atau perkosaan, pencurian, dan
lain sebagainya. Ketika beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka bughat
akan mendapatkan jarimah hudud dan hukuman sesuai dengan kejahatan yang
dilakukan oleh bughat.
67
Selanjutnya yang ketiga, bughat yang tidak memiliki kekuatan
pasukan maupun kekuatan senjata dan tidak memiliki daerah pertahanan yang
mereka gunakan untuk berperang, maka pemerintah boleh menahan atau
memenjarakan mereka sampai mereka kembali taat dan taubat. Sedangkan
bughat yang memiliki kekuatan pasukan maupun kekuatan senjata dan
memiliki suatu daerah pertahanan yang mereka gunakan untuk berperang,
maka pemerintah boleh memerangi mereka.1
Dalam persoalan pertanggungjawaban secara perdata, ada sedikit
perbedaan pendapat sebagian ulama madzhab. Menurut Imam Abu Hanifah,
bughat yang merusak dan menghancurkan aset-aset negara dalam rangka
melancarkan aksinya tidak ada pertanggungjawabannya karena, mereka
memiliki alasan yang kuat atas pemberontakannya itu, kecuali jika perusakan
dilakukan terhadap kekayaan individu, maka bughat wajib mengganti dan
mengembalikannya. Sedangkan sebagian ulama Madzhab Syafi’i berpendapat
bahwa bughat harus bertanggungjawab atas perbuatan dan semua barang yang
dihancurkannya, baik yang ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak,
karena perbuatan itu mereka lakukan dengan melawan hukum.2
Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi bughat adalah
hukuman mati atau diperangi, hal ini sesuai dengan apa yang terkandung di
dalam Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Hal tersebut
dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan
kekacauan, ketidaktenangan dan pada akhirnya akan mendatangkan
1M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 71
2Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 118
68
kemunduran dalam suatu masyarakat (negara).3 Namun, memerangi bughat
bukan semata-mata bermaksud untuk membunuh mereka, tetapi untuk
menghentikan pemberontakan yang dilakukan dan mengajak mereka untuk
taat dan patuh kembali kepada imam/pemimpin.
Namun, walau sanksi bagi bughat adalah hukuman mati atau
ditumpas pada saat terjadinya perang (diperangi), para ulama madzhab sepakat
harus adanya proses dialog terlebih dahulu/peringatan dan ajakan untuk
kembali taat sebelum memberikan hukuman. Proses dialog dilakukan dalam
rangka menemukan faktor yang mengakibatkan para pembangkang melakukan
pemberontakan dan menemukan jalan damai. Jika mereka menyebut beberapa
kedzaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh imam dan mereka
memiliki fakta-fakta yang benar, maka imam harus berupaya menghentikan
kedzaliman dan penyelewengan tersebut.
Upaya berikutnya adalah mengajak para pemberontak diajak kembali
taat dan patuh kepada imam. Apabila mereka bertaubat dan mau kembali
patuh maka mereka harus dilindungi. Sebaliknya, jika mereka menolak untuk
taat dan malah menyerang dengan senjata, barulah diperbolehkan untuk
memerangi dan membunuh mereka. Hal tersebut sesuai berdasarkan Q.S. Al-
Hujuraat ayat 9:
نلمؤمنيطائفتانمنوإ
قتتلوإٱ
ن ٱ
ماعلفأصلحوإبينمافا حدىه
لخرىهبغتإ
تلوإٱ تفق ل
ٱ
ه حت ثبغي ٱمر ىهإ هثفي لل
نٱ
بفا بينما فأصلحوإ لعدلفا ت
وٱقأ سطوإ ن
إ لل
ٱ ب ي
لمقسطي ٱ
3Rokhmadi, Reformulasi Hukum Pidana Islam, Studi tentang Formulasi Sanksi Hukum
Pidana Islam, (Semarang: Rasail Media Grup, 2009), h. 48
69
Artinya:“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antar keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berperilaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Selain itu, langkah tegas pemerintah ini juga didasarkan pada firman
Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 194:
عتدىهفمن فٱ عتدوإعليك
عتدىهعليوبمثلماأ
هٱ عليك
Artinya: “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu.”
Dalam hadist Nabi Muhammad SAW juga disebutkan:
عترسووعنعرفجةإبنش ليح:قالس صل إلل وٱميقوعليووسلإلل كرلمنٱتك
يع قج فر فاقتلوه)روإهمسل(علرجليريدٱني اعتك ج
Artinya: “Dari A‟fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: „Siapa yang
mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu dalam satu
kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin
memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut‟.
Strategi islah dengan cara dialog ini sebagai tindakan awal untuk
menyelesaikan pemberontakan seperti yang tersirat dalam ayat di atas. Hal ini
juga beberapa kali pernah dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a saat
menjadi Khalifah. Misalnya ketika muncul kaum Khawarij, yakni segolongan
kaum muslimin yang berlainan faham politik, menentang kebijakan serta
menyatakan keluar dari pemerintah.
Menurut riwayat, jumlah kaum Khawarij pada waktu itu diperkirakan
8000 orang. Khalifah Ali r.a mengutus Ibnu Abbas kepada kaum Khawarij
70
untuk mendekati dan berdialog dengan mereka agar kembali patuh kepada
imam. Setelah berunding dan bertukar pikiran, 4000 orang diantara mereka
kembali masuk kedalam pemerintahan, sedang 4000 lainnya tetap menjadi
gerombolan. Sisanya tersebutlah yang kemudian boleh diperangi.
Sebelum terjadinya perang Jamal (Unta), Khalifah Ali r.a juga pernah
mengirimkan utusan untuk melakukan pendekatan dialog dan ajakan untuk
patuh pada imam kepada penduduk Basrah. Bahkan Khalifah Ali r.a
menekankan kepada para sahabat untuk tidak memulai pertempuran.4
Pendekatan dialog serta ajakan untuk kembali patuh kepada imam
sebelum melakukan perang bagi pemberontak, menunjukkan bahwa Islam
merupakan ajaran cinta damai, mengajarkan kasih sayang dan menjadi rahmat
untuk alam semesta “rahmatan lil „alamin”. Pertimbangan lain, pertempuran
dalam bentuk apapun hanya akan menimbulkan kerugian kepada kedua belah
pihak. Untuk menentukan hukum dalam Islam, selain pertimbangan nash juga
ada kaidah fiqh yang bisa menjadi pedoman. Salah satu kaidah fiqh tersebut
adalah maslahat mursalah, yakni menetapkan hukum dalam hal-hal yang
sama sekali tidak disebutkan dalam Al-Quran maupun Al-Hadist, dengan
pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang
bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.5
4Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 118
5Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo
Press, 2008), h. 17
71
B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Makar
Apabila dalam suatu negara terdapat gerakan anti pemerintah yang
dinyatakan sebagai gerakan makar, maka pemerintah wajib memerangi
mereka, namun dengan ketentuan sebagai berikut:6
1. Gerakan makar untuk melawan pemerintahan yang sah dan adil dalam
menetapkan kebijakan.
2. Gerakan makar dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki
kekuatan/senjata.
3. Gerakan makar disertai dengan pernyataan pemisahan diri dari pemerintah
dikarenakan berbeda paham menyangkut kebijakan politik.
4. Gerakan makar tersebut dibawah satu komando yang terorganisir secara
sistematis dan strategis.
Meskipun pemerintah berhak untuk memerangi dan menumpas
gerakan makar tersebut, tetapi pemerintah harus memulainya dengan
memberikan peringatan terlebih dahulu dengan tujuan supaya mereka sadar
dan menghentikan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan makar agar bisa
kembali mematuhi aturan dan kebijakan pemerintah secara baik.7
Dan apabila peringatan dari pemerintah tidak direspon dengan baik,
maka pemerintah harus memerangi gerakan tersebut dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Pemerintah tidak boleh membunuh anggota gerakan makar yang tertawan.
6Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan
Tantangan), h. 60
7Muhammad Amin Suma...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan
Tantangan), h. 61
72
2. Pemerintah harus merawat anggota gerakan makar yang mengalami luka-
luka dengan baik.
3. Pemerintah tidak boleh merampas harta benda mereka.8
Disini penulis mempersempit kajian tentang sanksi bagi pelaku
makar dengan memfokuskan sanksi hukum yang terdapat dalam Pasal 104
KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP dan menambahkan dengan Pasal
108 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 104 KUHP jelas dinyatakan bahwa sanksi
pidana bagi pelaku makar diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Sedangkan ketentuan sanksi pidana pada Pasal 106 KUHP adalah bahwa
pelaku makar diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Dan ketentuan sanksi pidana pada Pasal 107 KUHP dinyatakan
bahwa pelaku kejahatan makar sesuai dengan ayat (1) diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun, dan ketentuan ayat (2) menyatakan
bahwa ancaman pidana bagi pimpinan dan pengatur makar itu lebih berat,
yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara paling lama dua
puluh tahun.
Selanjutnya ketentuan sanksi pidana pada Pasal 108 KUHP
dijelaskan bahwa pelaku kejahatan pemberontakan sesuai dengan ayat (1)
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dan dalam
ketentuan ayat (2) disebutkan bahwa pemimpin dan pengatur pemberontakan
dijatuhi hukuman yang lebih berat yaitu pidana penjara seumur hidup atau
8Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fiqh Jinayat, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 42
73
pidana penjara paling lama dua puluh tahun.
Rumusan kejahatan dalam Pasal 108 KUHP ini tidak terdapat dalam
WvS Belanda, namun hanya ada didalam WvS Hindia Belanda yang dimuat
dalam tahun 1930. Hal ini karena untuk menjamin keselamatan pemerintah
Hindia Belanda dari kemungkinan dari serangan-serangan seperti itu, maka
dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada Pasal 108.9
C. Relevansi Sanksi Hukum Bagi Bughat dan Pelaku Makar
Dalam hukum Islam, sanksi yang dijatuhkan bagi bughat pada
prinsipnya telah jelas yaitu hukuman mati atau diperangi (jarimah hudud). Hal
ini karena perbuatan mereka telah menimbulkan kekacauan dan keresahan di
masyarakat, dan tentunya melanggar aturan syari’at Islam yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun, selain hukuman mati
bughat juga bisa dikenakan sanksi lainnya seperti hukuman ta‟zir maupun
pertanggungjawaban secara perdata.
Disini pemerintah tidak bisa langsung begitu saja memberikan
hukuman mati atau memerangi kepada pelaku pemberontakan. Pemerintah
harus secara hati-hati dan teliti dalam menjatuhkan hukuman agar tidak ada
pelanggaran hak dan perlu ada pendekatan terlebih dahulu dengan para
pemberontak yaitu berdialog secara langsung. Cara berdialog ini dimaksudkan
untuk menemukan jalan keluar, menemukan solusi damai, menghindari
peperangan dan mengajak mereka untuk kembali taat kepada imam. Apabila
mereka bersedia taat kembali kepada imam maka mereka wajib untuk
dilindungi.
9Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 28
74
Pemerintah/imam dalam hal ini harus berupaya menjauhi langkah-
langkah provokatif dan menggunakan langkah preventif untuk mencegah
terjadinya pemberontakan yang lebih serius. Karena dalam hal ini, apabila
sudah timbul pemberontakan yang lebih serius lagi dengan menggunakan
senjata, maka akan timbul kerugian dan kerusakan yang lebih besar dan
akibatnya kerugian bagi kedua belah pihak.
Dengan cara mengajak mereka berdialog tersebut tentunya sudah
sesuai dengan anjuran dalam Al-Qur’an, apabila para pemberontak tersebut
tidak juga bisa diajak untuk kembali taat kepada imam dan malah menyerang
balik dengan menggunakan senjata, maka pemerintah wajib untuk memerangi
para pemberontak tersebut.
Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia, pelaku kejahataan
makar sudah dapat dijatuhi hukuman apabila pelaku makar telah memenuhi
tiga unsur sesuai yang dijelaskan dalam KUHP, yaitu timbulnya niat,
permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya itu tidak selesai bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, kejahatan makar
termasuk dalam kualifikasi kejahatan yang belum selesai. Tetapi, disini ada
hal perbedaan dalam pemberian hukuman bagi pelaku makar yang dalam
kejahatannya belum selesai dan telah selesai. Untuk kejahatan yang belum
selesai ini hukuman pidananya dikurangi sepertiga dari hukuman pidana yang
kejahatannya telah selesai. Apabila pelaku makar melakukan kejahatan dalam
kualifikasi selesai, maka pelaku makar bisa diberikan hukuman penuh
sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP.
Pemberian hukuman dalam hukum positif bagi pelaku tindak pidana
75
makar tidak semuanya diancam dengan hukuman mati. Hal ini dikarenakan
pemberian hukuman dalam hukum positif ini berdasarkan atas kualifikasi
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku makar. Seperti pemidanaan dengan
hukuman mati hanya ada dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP
dan Pasal 124 ayat (3) KUHP. Sedangkan dalam pasal lainnya yang berkaitan
dengan kejahatan makar ancaman hukumannya berbeda-beda seperti yang
telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, menurut penulis disini ada perbedaan dan
persamaan dalam pemberian sanksi terhadap bughat dan pelaku makar. Dari
segi perbedaan, dalam hukum Islam bughat bisa diberikan sanksi apabila
kejahatan yang dilakukan telah selesai dengan kata lain pemberontakan yang
dilakukan telah sampai selesai dilakukannya. Imam tidak boleh memulai
memerangi bughat terlebih dahulu sebelum ada dialog dan alasan
pembangkangan mereka. Apabila hanya timbul niat saja bughat tidak bisa
dijatuhi hukuman, tetapi diberikan arahan dan bertukar pikiran, namun tetap
harus di waspadai oleh pemerintah.
Sedangkan dalam hukum positif, pelaku makar sudah bisa diberikan
sanksi baik kejahatan yang dilakukannya belum selesai maupun kejahatan
yang dilakukannya itu telah selesai dilakukan. Sedangkan dalam hal
persamaannya adalah baik bughat maupun pelaku makar, keduanya bisa
dijatuhi hukuman mati.
Dalam hal ini ada juga persamaannya yaitu sebelumnya pemerintah
harus memulainya dengan memberikan peringatan dan bermusyawarah
dengan para pemberontak agar mereka mau menghentikan kegiatannya
tersebut. Jangan langsung memerangi mereka, karena hal ini bisa
76
menyebabkan apa yang mereka lakukan akan semakin bertambah buruk dan
sulit untuk diajak kembali taat, dan tentunya menghindari peperangan yang
yang akibatnya akan menimbulkan jatuhnya korban jiwa serta kerugian bagi
warga sipil yang tak bersalah. Untuk itu, para pemberontak yang melarikan
diri tidak boleh diperangi/dibunuh, orang yang terluka tidak boleh dibunuh,
harta mereka tidak boleh dijadikan rampasan perang dan keluarga mereka
tidak boleh ditahan
Namun, tetap pada akhirnya bughat maupun pelaku makar harus
diberikan sanksi sesuai perbuatan yang mereka lakukan. Segala bentuk
kejahatan yang secara jelas melawan hukum dan menimbulkan bentuk
kekacauan tidak dapat dibenarkan. Proses dialog hanya untuk menemukan
jalan damai dan menghindari pertempuran serta bertujuan untuk mencari
penyebab pemberontakan itu terjadi, terlebih untuk mencegah kalau ada pihak
lain yang ikut campur dan hanya ingin mengambil keuntungan dari
pemberontakan tersebut.
Sebagai catatan, ada beberapa peristiwa dalam sejarah Islam yang
terkait seputar bughat. Seperti diangkatnya Ali r.a sebagai khalifah oleh
pemberontak pemerintahan Utsman r.a. Hal ini disebabkan karena pada saat
itu sedang terjadi kekacauan politik dan krisis pemerintahan sepeninggal wafat
khalifah Utsman r.a. Karena Ali r.a dipandang mampu dan pantas mengisi
kekosongan pemerintahan Islam pada saat itu, maka Ali r.a diangkat sebagai
khalifah dan di bai‟at oleh umat Islam.
Selanjutnya, kepala negara yang memperoleh kekuasaannya melalui
pemberontakan seperti yang dilakukan Abdul Malik bin Marwan terhadap
77
Abdullah bin Zubair pada masa Dinasti Bani Umayyah. Pemberontakan yang
dilakukan Abdul Malik bin Marwan ini dikatakan berhasil dan menjadi sah
dan ia tidak dihukumi sebagai bughat, karena ia menguasai negara dan
mendapatkan pengakuan serta dukungan dari rakyat pada saat itu. Walaupun
di antara mereka ada yang tunduk dengan sukarela dan ada yang terpaksa,
tetapi mereka tetap menyebut Abdul Malik bin Marwan sebagai pemimpin.
Dalam hukum tata negara di Indonesia apabila gerakan makar itu
berhasil dilakukan maka, makar/kudeta itu bisa menjadi sumber hukum.
Walaupun pada hakikatnya sumber hukum itu dibagi menjadi dua bentuk yaitu
sumber hukum formal dan sumber hukum materiil, namun menurut Achmad
Sanusi, sumber hukum dibagi menjadi dua bentuk yaitu sumber hukum normal
dan sumber hukum abnormal. Sumber hukum normal dibagi lagi menjadi dua
bentuk. Pertama, sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan UU
yaitu, UU, perjanjian antar negara dan kebiasaan. Kedua, sumber hukum
normal yang tidak langsung atas pengakuan UU, yaitu perjanjian doktrin dan
yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum abnormal yaitu Proklamasi,
Revolusi dan Coup d‟etat (kudeta).
Gerakan makar/kudeta yang berhasil dilakukan itu dapat
menyebabkan suatu perubahan konstitusi pada suatu negara, tidak menutup
kemungkinan apabila terjadi di Indonesia. Mekanisme perubahan konstitusi,
menurut George Jellinek mengklasifikasikan perubahan konstitusi secara garis
besar ke dalam 2 jenis cara, yakni melalui prosedur formal
(verfassungsanderung) dan melalui prosedur informal (verfassung-
78
swandlung).10
Melengkapi pendapat George Jellinek, C.F. Strong membagi
lagi secara lebih rinci cara perubahan konstitusi dengan prosedur formal
(verfassungsanderung) tersebut ke dalam empat cara, yakni; Pertama,
perubahan melalui lembaga legislatif biasa, tetapi melalui aturan-aturan
tertentu. Kedua, perubahan melalui referendum. Ketiga, perubahan oleh
mayoritas dari seluruh negara bagian, dalam hal ini pada negara federal. Dan
keempat, perubahan oleh lembaga khusus.
Dari penjelasan di atas menurut penulis, bahwa bughat ataupun
pelaku makar menjadi bebas dari sanksi hukuman apabila gerakan
pemberontakan yang dilakukan dikatakan berhasil. Maksud dari dikatakan
berhasil disini adalah gerakan tersebut mendapat dukungan dari rakyat dan
pemimpin yang terlampau dzalim.
Dalam hal pemberontakan ini harus menjadi bahan koreksi bagi
pemerintah, karena para pemberontak tentunya mempunyai dasar-dasar
argumen mengapa mereka melakukan kejahatan pemberontakan tersebut.
Keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintah tentu harus sesuai dengan
amanat yang dititipkan oleh rakyat kepada pemimpin. Kekuasaan yang sedang
dipegang jangan dijadikan alat untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri
dan menjauh dari prinsip-prinsip seorang pemimpin yang harusnya bersifat
adil dan mensejahterakan rakyat.
Berbeda halnya dengan pemberontakan yang ada pada masa sekarang
ini. Pemberontakan dilakukan kebanyakan karena campur tangan dari pihak
10
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Jilid I, h. 144
79
asing/luar yang ingin mengambil keuntungan dari pertempuran tersebut
dengan dalih dan argumen mereka untuk melindungi negara yang bertikai.
Namun, ada juga pemberontakan yang dilakukan memang karena tidak puas
terhadap kebijakan pemerintah. Proses penyelesaiannya pun berbeda, kalau
dalam masa sekarang ini proses dialog atau musyawarah dilakukan kalau
pemberontakan itu sudah terjadi dan korban yang jatuh semakin banyak.
Barulah setelah itu kesepakatan damai bisa terwujud. Itupun biasanya
diperantai oleh pihak ketiga. Tapi ada juga pemberontakan yang tak kunjung
selesai, memakan waktu lama dan korban yang ditimbulkan akibat perang
tersebut semakin banyak. Seperti contoh apa yang terjadi di Timur Tengah,
seperti di negara Suriah dan Libya.
Sedangkan di Indonesia salah satu contohnya adalah kasus GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) yang telah terjadi dari tahun 1976. GAM didirikan
oleh Hasan Tiro pada tahun 1976 setelah ia kembali dari pengasingan. Alasan
Hasan Tiro mendirikan GAM adalah bahwa pada saat itu Aceh mendapatkan
ketimpangan sosial, ekonomi, budaya dan pembangunan dari pemerintah
pusat. Hal inilah yang menyebabkan Hasan Tiro ingin mengembalikan
kejayaan Aceh seperti masa kerajaan dulu. Setelah telibat konflik yang begitu
lama, akhirnya proses penyelesaian konflik antara GAM dengan pemerintah
Indonesia baru bisa tercapai dengan melalui proses dialog yang diperantarai
oleh pihak ketiga. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya Nota
Kesepahaman Perdamaian (Memorndum of Understanding-MoU) pada
tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Dalam hal ini menunjukan, proses penyelesaian konflik yang
termasuk makar menurut hukum positif ini menggunakan metode
80
dialog/musyawarah. Namun dalam kasus ini proses dialog/musyawarah baru
terjadi setelah kedua belah pihak antara pemerintah dan GAM sudah terlibat
pertempuran dan jatuh korban. Walaupun dalam konteks ini pemerintah telah
bertindak tidak adil, tetap saja tindakan GAM ini dilarang baik secara agama
maupun negara. Karena dilakukan terhadap pemerintahan yang sah. Masih
banyak cara yang lebih relevan tanpa harus melakukan kekerasan.
Dalam pandangan Fiqh Siyasah pun jelas bahwa bughat maupun
pelaku makar ini tindakannya tidak dibenarkan. Karena menyerang terhadap
suatu pemerintahan atau kepemimpinan yang sah merupakan perbuatan yang
melanggar syari’at Islam dan ketetapan hukum positif. Alasannya, dengan
memberontak pemerintah yang sah dan berdaulat, justru akan menimbulkan
kemungkaran yang lebih parah dari sebelumnya. Bahkan sangat mungkin akan
timbul berbagai fitnah, kerusakan, kekacauan, pelanggaran hukum dan
pertumpahan darah.
Prinsip ketaatan harus dimiliki oleh setiap warga negara, apabila ada
penyimpangan dalam suatu pemerintahan maka, sebagai warga negara yang
baik harus mengedepankan sikap yang bermoral dan melakukan musyawarah
agar menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Karena dalam suatu
negara tentunya memiliki hukum masing-masing yang gunanya untuk
mengatasi segala penyimpangan baik itu yang menyangkut setiap individu
warga negara maupun pemimpin negara tersebut.
Dengan akibat dari pemberontakan ini yang dinilai sangat merugikan
masyarakat dan berdampak buruk terhadap suatu negara, untuk itu perlu
adanya suatu hubungan yang harmonis antara rakyat dengan pemimpinnya.
81
Tujuan dari suatu negara tentu ingin agar terciptanya kesejahteraan, keamanan
dan kenyamanan di negaranya tersebut. Apabila terjadi ketidaksepahaman dan
komunikasi yang kurang baik antara rakyat dengan pemimpinnya, maka
diantara keduanya bisa memusyawarahkan permasalahan yang ada sehingga
tercapai keputusan bersama yang baik untuk semuanya.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian penelitian yang berjudul Sanksi Bughat dan Makar
Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, dapat penulis simpulkan
sebagai berikut:
1. Dalam pandangan hukum Islam, bughat dikategorikan sebagai kejahatan
luar biasa yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam yang sudah tidak
taat lagi kepada imam/pemimpin yang sah. Dalam hal ini, jelas telah
melanggar syari’at Islam yang ketentuan hukumnya disebutkan dalam Q.S.
An-Nisaa ayat 59, Q.S. Al-Hujuraat ayat 9-10 dan dalam Al-Hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim. Karena memang dipandang sebagai suatu
kejahatan yang serius, bahkan para ulama madzhabpun memberikan
pandangan mengenai kejahatan pemberontakan ini. Walaupun para ulama
madzhab memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai bughat ini,
namun pada intinya tetap sama yaitu melarang kejahatan pemberontakan
yang dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dalam
hal ini jelas bahwa, Islam melarang pemberontakan yang dilakukan
terhadap pemerintahan yang sah, karena lebih banyak menimbulkan
masalah dan kerugian yang besar dari pada mendatangkan manfaatnya.
Selanjutnya menurut hukum positif di Indonesia, makar juga dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa. Dalam pengertiannya, makar juga diartikan
sebagai suatu usaha untuk menyerang keamanan Presiden dan Wakilnya,
83
usaha untuk menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara dan suatu
usaha untuk menyerang kepentingan hukum tegaknya pemerintahan
negara. Kejahatan ini memang dianggap sebagai kejahatan yang
mengganggu kestabilan dan disintegrasi suatu negara. Bahkan dalam
hukum positif, kejahatan makar ini ditempatkan secara khusus dalam Buku
II Bab I tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Dalam bab ini
disebutkan secara jelas bagaimana pandangan hukum positif mengenai
pengaturan kejahatan makar beserta sanksinya bagi pelaku makar.
2. Mengenai bentuk sanksi apa yang dapat dijatuhkan bagi bughat dalam
kejahatan pemberontakan, seperti yang telah disebutkan dalam
pembahasan sebelumnya bahwa bughat dapat dijatuhi dengan hukuman
mati (jarimah hudud). Dasar dari sanksi ini telah jelas disebutkan dalam
Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Hal ini bertujuan
untuk menimbulkan efek jera bagi bughat. Namun, sebelum sanksi
diberikan perlu ada upaya dari imam/pemimpin untuk mengajak kembali
taat, apabila ajakan ini malah disambut dengan tidak baik dan ajakan
perang, maka pemerintah wajib memeranginya sesuai firman Allah SWT
dalam Q.S. Al-Hujuraat ayat 9.
Sedangkan sanksi bagi pelaku makar sudah bisa diberikan apabila pelaku
makar telah memenuhi tiga unsur untuk dapat dipidana yaitu timbulnya
niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaannya itu tidak selesai bukan
karena kehendaknya sendiri. Walaupun kejahatannya belum selesai tetapi
hukumannya dikurangi sepertiga, dan untuk kejahatan yang sampai
kualifikasi selesai maka, pelaku makar bisa diberikan sanksi penuh sesuai
84
dengan apa yang telah dijelaskan dalam KUHP. Dalam KUHP disebutkan
bahwa sanksi bagi pelaku makar yang menyerang keamanan Presiden atau
Wakilnya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. Hal ini sesuai dengan
Pasal 104 KUHP. Selanjutnya, sanksi hukum bagi pelaku makar yang
menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun. Ini
sesuai dengan Pasal 106 KUHP. Sedangkan sanksi hukum bagi makar
yang menyerang kepentingan tegaknya pemerintahan negara adalah pidana
penjara 15 tahun dan untuk para pemimpin dan pengatur makar tersebut
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama 20 tahun.
3. Dari segi perbedaan, dalam hukum Islam bughat adalah pelaku tindak
pidana pemberontakan yang melakukan pemberontakan terhadap
pemimpin yang sah dalam negara Islam. Sementara tindakan
pemberontakannya disebut al-Baghyu. Sedangkan dalam hukum positif,
makar adalah tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana makar. Dan dalam hukum Islam, bughat bisa dimaafkan dan
dilindungi apabila bughat bersedia kembali taat dan bertaubat, sedangkan
dalam hukum positif pelaku makar tetap harus menjalankan hukuman
pidana mati atau hukuman penjara.
Dan dari segi persamaan dalam hukum Islam maupun hukum positif,
bughat maupun pelaku makar sama-sama melakukan suatu usaha
kejahatan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
85
Dalam hal pemberian sanksi hukuman, bughat maupun pelaku tindak
pidana makar dapat dijatuhi hukuman mati.
B. Saran-Saran
Berkaitan dengan pembahasan Sanksi Bughat dan Makar: Menurut
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif ini, penulis mempunyai saran-
saran sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu negara maju dan dengan umat Islam terbesar di dunia,
sudah saatnya Indonesia mampu menjadi contoh bagi negara lain dalam
hal menangani masalah pemberontakan ini. Karena seiring zaman,
pemberontakan yang dilakukan oleh suatu kelompok hanya menimbulkan
kerusakan dan memecah belah persatuan umat. Sudah tentu hal ini akan
membuat suatu negara tidak aman dan tidak sejahtera.
2. Kepada seluruh masyarakat dan pemerintah harus mengedepankan sikap
musyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah agar menemukan titik
temu yang akan menghasilkan keputusan bersama dan semua merasa
aman, nyaman dan sejahtera hidup sebagai warga negara.
3. Kepada lembaga hukum pemerintah harus memberikan hukuman yang
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan agar ada efek jera untuk para
pelaku pemberontakan/makar yang ada di Indonesia, namun dengan
catatan hukuman yang diberikan harus adil dan sesuai dengan kejahatan
yang dilakukannya.
86
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Asqalani, Al, Ibn Hajar, Bulughu al-Maram, (Pustaka: Daru Ihya al-Kutub al-
Arabiyah 775 H-825 H)
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006)
__________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Jilid I.
Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil
Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,
(Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007)
Basyir, Ahmad Azhar, Ikhtisar Fiqh Jinayat, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Dinuth, Alex, Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI, (Jakarta: Intermasa, 1997)
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Penerjemah Tim Tsalisah, (Bogor: PT.
Kharisma Ilmu, 2007)
Farih, Amin, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang:
Walisongo Press, 2008)
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet 17
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1993), Cet. V
Hasan, A, Ibnu Hajar Al-Asqalani Bulughu al-Maram, Terjemahan Bulughul
Maram. Jilid II, (Bandung: CV. Diponegoro, 1967)
Iqbal, Afzal, Diplomasi Islam, penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2000), Cet. I.
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet I
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gajah Mada,
1978), Cet X
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
87
Muthohar, Ali, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005)
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh
pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1976)
Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986)
Prodjodikoro, Wiryono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:
PT. Eresco, 1980)
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999)
Rokhmadi, Reformulasi Hukum Pidana Islam, Studi tentang Formulasi Sanksi
Hukum Pidana Islam, (Semarang: Rasail Media Grup, 2009)
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis
Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT.
Ghalia Indonesia 1992), Edisi 1, Cet 2
Shiddiqi, Ash, Tengku Muhammad Hasbi, Islam dan Politk Bernegara,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002)
Subroto, Hendro, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya
Mengkomuniskan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008)
Suma, Muhammad Amin...et al., Pidana Islam di Indonesia (Peluang,
Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet I
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008)
Tanudirjo, Daud Aris...et al., Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan
Revolusi, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 2012), Cet I
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989)
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i (Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist), penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz,
(Jakarta: Almahira, 2010), Cet I
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
88
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan
Undang-Undang Nomor 11/PPns/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara.
Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi.
Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pokok Bergaris), Departemen Agama RI,
(Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
ke I, (Jakarta: Balai Pustaka)
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Keempat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)
SITUS INTERNET
http://m.nu.or.id/Bughat-.phpx. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
http://www.pandanganislammengenaiseparatisme.com. Diakses pada tanggal 11
Maret 2015
http://asysyariah.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
http://www.artikelsiana.com./2014/09/pemberontakan-DI/TII-cara-pemerintah-
penanggulangannya.html. Diakses pada tanggal 5 Mei 2015
http://[email protected]. Diakses pada tanggal 15 April 2015