s psi 070062 chapter2
TRANSCRIPT
-
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya.
Menurut Hurlock (1978: 58), konsep diri adalah gabungan dari keyakinan yang
dimiliki seseorang tentang diri mereka sendiri (karakteristik fisik, psikologis,
sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi). Hurlock (1978) mengemukakan
bahwa konsep diri merupakan inti dari pola kepribadian yang mempengaruhi
berbagai bentuk sifat.
Sebelum menjelaskan secara singkat bagaimana sifat dan perilaku
seseorang dipengaruhi oleh konsep diri, terlebih dahulu dijelaskan mengenai
pengertian kepribadian menurut Allport (Hurlock, 1978: 237) yaitu susunan
sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri suatu individu yang menentukan
penyesuaian individu yang unik terhadap lingkungan. Istilah dinamis dalam
pengertian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam kepribadian,
menekankan bahwa perubahan dapat terjadi dalam kualitas perilaku seseorang.
Istilah susunan mengandung arti bahwa kepribadian tidak dibangun dari
berbagai ciri yang satu ditambahkan pada yang lain begitu saja, melainkan ciri-ciri
ini saling berkaitan. Keterkaitan tersebut berubah, artinya beberapa ciri menjadi
bertambah dominan dan yang lain berkurang, sejalan dengan perubahan yang
terjadi pada anak dan dalam lingkungan. Istilah sistem psikofisik mengacu pada
-
14
kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional, perasaan dan motif yang
bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik dalam kelenjar, syaraf, dan
keadaan fisik seseorang secara umum. Sistem-sistem ini berkembang melalui
proses belajar sebagai hasil dari pengalaman seseorang.
Di dalam pola kepribadian, sistem-sistem psikofisik yang beragam yang
membentuk kepribadian seseorang saling berkaitan dimana yang satu
mempengaruhi yang lainnya. Dua komponen utama pola kepribadian ini adalah
konsep diri dan sifat-sifat. Sifat-sifat merupakan karakteristik penyesuaian
individu terhadap berbagai situasi dalam kehidupan (Hurlock, 1979). Hurlock
(1978) mengibaratkan konsep diri sebagai inti roda dan sifat-sifat sebagai jari-jari
roda. Sifat-sifat (jari-jari roda) ini dipersatukan dan dipengaruhi oleh konsep diri
(inti roda). Sebagai contoh, jika individu melihat dirinya sebagai seseorang yang
selalu menderita, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perilakunya. Pola
perilakunya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya berulang-
ulang dimana hal tersebut akan mendasari karakteristik penyesuaiannya (sifatnya),
sehingga orang lain akan menilainya sebagai orang yang mengasihani dirinya.
2. Komponen Konsep Diri
Hurlock (1979: 22) membagi konsep diri menjadi tiga komponen utama.
Berikut ini adalah ketiga komponen tersebut.
a. The perceptual component.
The perceptual component adalah gambaran yang dimiliki seseorang
mengenai penampilan fisiknya dan kesan yang ditampilkan pada orang
-
15
lain. Komponen ini meliputi daya tarik dan kesesuaian seksual tubuh, arti
penting bagian-bagian tubuh, serta gambaran fisik yang didasarkan pada
kesan dan penilaian orang lain. Komponen ini sering disebut sebagai
physical self-concept (konsep diri fisik) atau citra fisik atau citra tubuh.
b. The conceptual component.
The conceptual component adalah konsepsi yang dimiliki seseorang
mengenai karakteristik khususnya, kemampuan dan ketidakmampuannya,
latar belakang, dan masa depannya. Peran dalam kehidupan, tanggung
jawab, harapan dan cita-citanya juga termasuk ke dalam komponen ini.
Komponen ini sering disebut sebagai psychological self-concept (konsep
diri psikologis) atau citra psikologis, yang tersusun dari beberapa kualitas
penyesuaian diri, seperti kejujuran, percaya diri, kemandirian, keberanian
dan kebalikan dari sifat-sifat tersebut.
c. The attitudinal component.
The attitudinal component adalah perasaan dan sikap seseorang
mengenai keadaan diri saat ini dan di masa yang akan datang. Termasuk di
dalam komponen ini yaitu perasaan kebermanfaatan, sikap terhadap harga
diri, penyalahan diri, kebanggaan, dan rasa malu. Bagi seseorang yang
sudah mencapai masa dewasa, komponen ini terkait dengan keyakinan,
pendirian, nilai-nilai, idealita, aspirasi, dan komitmen yang menyusun
filosofi hidupnya.
-
16
3. Proses Pembentukan Konsep Diri
Burns (1993) mengemukakan bahwa konsep diri bukan pembawaan dari
lahir, melainkan berkembang dari beribu-ribu pengalaman. Proses perkembangan
konsep diri individu tidak pernah sungguh-sungguh berakhir, tetapi berjalan terus
menerus hingga akhir hidup sejalan dengan individu tersebut menemukan potensi-
potensi baru yang dimilikinya.
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa konsep diri bersifat hierarkis atau
tersusun atas berbagai tahapan, dimana tahapan yang paling dasar adalah konsep
diri primer. Konsep diri primer didasarkan atas pengalaman anak di rumah dan
dibentuk dari berbagai konsep terpisah, yang masing-masing merupakan hasil dari
pengalaman dengan berbagai anggota keluarga. Konsep diri primer mencakup
citra fisik dan psikologis diri, dimana citra fisik biasanya berkembang lebih awal
dibandingkan dengan citra psikologis. Citra psikologis diri pertama didasarkan
atas hubungan anak dengan saudara kandungnya dan perbandingan dirinya
dengan mereka. Konsep awal seseorang mengenai perannya dalam hidup, aspirasi
dan tanggung jawab terhadap orang lain pun didasarkan atas ajaran dan tekanan
orang tua.
Dengan meningkatnya pergaulan dengan orang lain di luar rumah, anak
memperoleh konsep lain tentang diri mereka, dimana hal tersebut membentuk
konsep diri sekunder. Konsep diri sekunder ini berhubungan dengan bagaimana
anak melihat dirinya melalui pandangan orang lain. Konsep diri primer seringkali
menentukan pilihan situasi dimana konsep diri sekunder akan dibentuk, misalnya
anak yang telah mengembangkan konsep diri yang terbentuk oleh keyakinan
-
17
pentingnya mereka sendiri akan memilih teman bermain yang menganggap
mereka sebagaimana orang tua mereka memandang mereka. Konsep diri sekunder
mencakup juga citra fisik dan psikologis diri. Anak-anak berpikir tentang struktur
fisik mereka, seperti halnya orang di luar rumah, dan mereka menilai diri mereka
yang dibentuk di rumah dengan membandingkan citra ini dengan membandingkan
apa yang mereka kira dipikir guru, teman sebaya, dan orang lain mengenai diri
mereka (Hurlock, 1978).
Walaupun konsep diri berkembang sepanjang hidup individu, konsep diri
cenderung berkembang sepanjang garis yang terbentuk pada awal masa kanak-
kanak (Calhoun dan Acocella, 1995). Burns (1993: 188) menjelaskan bahwa
terdapat lima sumber yang mempengaruhi pembentukan konsep diri. Berikut ini
adalah kelima sumber tersebut.
a. Citra tubuh.
Belajar mengenai apa yang merupakan diri dan apa yang bukan
melalui pengalaman langsung dan mengenai persepsi terhadap dunia fisik
tanpa satu pun mediasi sosial merupakan langkah pertama anak di dalam
perjalanan hidupnya. Istilah skema tubuh dan citra tubuh dipergunakan
untuk menyampaikan konsep tentang fisik yang dimiliki setiap orang.
Skema tubuh merupakan pengetahuan yang berasal dari sensasi-sensasi
tubuh dan posisi-posisi dari bagiannya, sedangkan citra tubuh merupakan
gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik.
Konsep diri pada awalnya adalah citra tubuh. Sosok tubuh,
penampilan, dan ukurannya merupakan hal yang sangat penting dalam
-
18
mengembangkan pemahaman mengenai konsep diri seseorang. Perasaan-
perasaan yang bersangkutan dengan tubuh dan citra tubuh menjadi inti dari
konsep diri di dalam tahun-tahun pertama kehidupan seseorang.
Di masa awal kanak-kanak, juga pada masa remaja, adanya
kekurangan-kekurangan pada fisik seseorang, baik yang bersifat nyata
maupun yang dibayangkan, dapat menyebabkan akibat-akibat yang besar
pada perkembangan konsep diri seseorang tersebut secara keseluruhan.
Begitu juga dengan seseorang yang menerima pernyataan-pernyataan yang
menjelaskan dirinya di dalam ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan
keadaan fisiknya dan ditambah dengan kepribadiannya yang didasarkan
pada persepsi orang lain tentang tubuhnya, kemungkinan besar ia akan
memasukkan persepsi-persepsi tersebut ke dalam konsep mengenai
tubuhnya dan citra tubuhnya, dimana hal tersebut membentuk bagian yang
cukup besar dan menonjol dari konsep diri keseluruhannya. Ketika
seseorang mendapat julukan-julukan buruk yang berhubungan dengan
kekurangan fisiknya dari orang-orang yang dihormati, julukan tersebut
tidak hanya berlaku sebagai deskripsi fisiknya saja, melainkan untuk
mendefinisikan seseorang tersebut secara umum atau keseluruhan.
Sebagaimana terdapatnya konsep diri yang ideal pada setiap orang,
seseorang juga dapat memiliki citra fisik yang ideal dimana hal tersebut
didasarkan pada norma-norma budaya dan stereotip-strereotip yang
dipelajari. Semakin mendekati kecocokan antara citra tubuh yang telah ada
dan citra tubuh ideal yang dipegang seseorang, maka semakin besar
-
19
kemungkinannya seseorang tersebut menunjukkan perasaan harga diri
yang tinggi dan merasa positif tentang penampilannya. Citra tubuh ideal
berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara budaya yang satu dengan
yang lainnya.
b. Bahasa.
Perkembangan bahasa membantu perkembangan konsep diri karena
penggunaan kata saya, dia, dan mereka berguna untuk membedakan
diri dan orang-orang lainnya. Simbol-simbol bahasa juga membentuk
dasar dari konsepsi-konsepsi dan evaluasi-evaluasi tentang diri, misalnya
sedang sedih atau sedang bahagia. Umpan balik dari orang lain seringkali
dalam bentuk verbal. Calhoun dan Acocella (1995) mengemukakan bahwa
dengan memahami apa yang dikatakan orang lain mengenai seseorang,
seseorang tersebut memperoleh informasi lebih banyak mengenai dirinya.
Bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal juga menyampaikan
informasi dari orang lain kepada seseorang mengenai seseorang tersebut.
Selain itu, bahasa tubuh juga mencerminkan apa yang dipikirkan oleh
orang lain tentang seseorang. Jadi, konsep diri dipahami di dalam
hubungannya dengan bahasa dan perkembangannya dibuat mudah oleh
bahasa.
c. Umpan balik dari lingkungan.
Cooley (Burns, 1993) menjelaskan bahwa konsep diri seperti kaca
cermin, yaitu penjelasan mengenai diri sebagaimana dipersepsikan
melalui refleksi-refleksi di mata orang-orang yang penting atau yang
-
20
mempunyai arti penting bagi anak itu. Orang-orang yang dihormati
berperan dalam menguatkan definisi diri seseorang. Hurlock (1978)
mengemukakan bahwa bila anak yakin bahwa orang-orang yang penting
baginya menyayangi mereka, maka mereka akan berpikir positif tentang
diri mereka, dan sebaliknya.
Burns (1993) mengemukakan bahwa orang-orang yang dihormati,
khususnya orangtua, memiliki peran sebagai sumber informasi yang
berpengaruh tentang diri seseorang. Orangtua dianggap menjadi orang
yang dihormati di dalam lingkungan anak dan mempunyai pengaruh yang
sangat besar di dalam pengembangan konsep diri karena mereka
merupakan sumber otoritas dan sumber kepercayaan.
Calhoun dan Acocella (1995) menjelaskan bahwa orangtua adalah
kontak sosial yang paling awal dan paling kuat yang dialami seseorang.
Seseorang sangat bergantung kepada mereka dalam hal makanan,
perlindungan, dan kenyamanannya, sehingga mereka memiliki arti penting
bagi anak. Oleh karena itu, apa yang dikomunikasikan mereka pada anak
lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang
hidupnya. Mereka memberi informasi tentang diri seseorang, membantu
menetapkan pengharapan dan norma bagi seseorang. Bagaimanapun
perlakuan orangtua terhadap seseorang, seseorang tersebut menganggap
bahwa ia memang pantas diperlakukan seperti itu. Coopersmith (Calhoun
dan Acocella, 1995) mengemukakan bahwa nilai diri seseorang sebagai
orang berasal dari nilai yang diberikan orangtua kepadanya dimana
-
21
penilaian dengan sumber orangtua berlangsung terus menerus. Dalam
kehidupan orang dewasa, seseorang masih cenderung menilai dirinya
sendiri seperti ketika merasa dimiliki oleh orangtua mereka.
Kawan sebaya juga menjadi sumber umpan balik yang dapat
mempengaruhi konsep diri seseorang (Burns, 1993; Calhoun dan Acocella,
1995). Seseorang membutuhkan penerimaan anak-anak lain dalam
lingkungannya. Jika penerimaan ini tidak ada, seperti anak digoda terus
menerus, dibentak, atau dijauhi, maka konsep dirinya akan terganggu.
Peran yang dibentuk seseorang dalam kelompok teman sebaya juga dapat
mempengaruhi pandangannya tentang dirinya sendiri.
Sumber umpan balik lainnya yang dapat mempengaruhi konsep diri
seseorang adalah masyarakat (Calhoun dan Acocella, 1995). Seperti
orangtua dan teman sebaya, masyarakat juga memberitahu seseorang
tentang bagaimana mendefinisikan diri seseorang tersebut.
Pada hakikatnya, jika seseorang diterima, disetujui, dan disukai
tentang sebagai apa seseorang tersebut dan ia sadar akan hal ini, maka
seharusnya ia memiliki konsep diri yang positif. Jika orang lain, orangtua,
teman-teman sebaya, atau guru memperolok-olok, meremehkan, menolak,
dan mengkritiknya, baik mengenai tingkah laku maupun keadaan fisiknya,
maka kemungkinan besar ia memiliki penghargaan diri yang rendah.
Sebagaimana seseorang dinilai oleh orang lain, begitu pula ia akan menilai
dirinya sendiri.
-
22
d. Identifikasi.
Identifikasi merupakan sebuah proses yang perlu bagi pembentukan
konsep diri. Identifikasi merupakan sebuah proses yang sebagian besar
tidak disadari yang mempengaruhi seorang anak yang sedang tunbuh
untuk berpikir, merasa, dan berperilaku melalui cara yang serupa dengan
orang-orang yang dihormati di dalam kehidupannya. Lebih khusus lagi,
identifikasi merupakan sebuah proses dimana seorang anak yang sedang
tumbuh mengambil tingkah laku dan konsep diri dari seorang individu
lainnya dan berperilaku seolah-olah ia menjadi orang tersebut.
Identifikasi didahului dengan penentuan jenis kelamin. Penentuan
jenis kelamin merupakan sebuah proses yang disadari tentang meniru
tingkah laku-tingkah laku yang spesifik. Dari proses tersebut, muncul
unsur utama dari konsep diri yang disebut identitas peranan seks, yaitu
konseptualisasi mengenai derajat kemaskulinan dan kefemininannya
sendiri atau sejauh mana individu tersebut cocok dengan keyakinan-
keyakinan yang disetujui oleh publik mengenai karakteristik-karakteristik
yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan.
e. Praktek-praktek membesarkan anak.
Keluarga memberikan indikasi awal kepada anak mengenai apakah ia
disayangi atau tidak disayangi, diterima atau tidak diterima, seseorang
yang berhasil atau seseorang yang gagal, seseorang yang berharga atau
seseorang yang tidak berharga. Stott (Burns, 1993) menemukan bahwa
anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat
-
23
penerimaan, rasa saling percaya dan kecocokan di antara orangtua dan
anak, memiliki penyesuaian diri yang lebih baik, lebih mandiri, dan
memiliki pandangan yang lebih positif tentang diri mereka sendiri. Anak-
anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat ketidakcocokan
di antara anggota keluarga pada umumnya memiliki kemampuan
penyesuaian diri yang kurang.
Jika seseorang diperlakukan dengan kehangatan dan cinta, konsep
dasar seseorang berupa perasaan positif terhadap dirinya sendiri
(Coopersmith dalam Calhoun dan Acocella, 1995). Konsep diri yang
positif lebih mungkin timbul bila anak-anak diperlakukan dengan
penghargaan, diberikan standar-standar yang didefinisikan dengan jelas
dan baik, dan diberikan pengharapan-pengharapan akan sukses yang
masuk akal. Perkembangan kemampuan untuk memberi respon secara
konstruktif terhadap tantangan juga merupakan hal yang esensial bagi
seseorang yang sedang membentuk dirinya dimana ia mengevaluasikan
dirinya sebagai orang yang memiliki harga diri (Coopersmith dalam Burns,
1993).
Orangtua yang bersikap keras memiliki lebih banyak konflik dengan
anaknya. Hal tersebut menyebabkan anak memilih untuk mengalah
sebagai upaya penyesuaian diri untuk mengurangi kecemasannya.
Konsekuensi dari sikap tersebut adalah anak mengambil sikap mengalah
sebagai cara hidupnya dan anak yang suka menyesuaikan diri dengan cara
-
24
seperti itu menunjukkan sikap tidak mempercayai orang-orang lain di
sekitarnya (Mussen dan Kagan dalam Burns, 1993).
Praktek membesarkan anak mempengaruhi sikap diri seseorang dan
sikapnya terhadap orang lain. Kaitan dua hal tersebut dijelaskan oleh
Rogers. Rogers (Burns, 1993) membagi dua jenis penghargaan atau
penerimaan yang diterima seseorang dari orang lain, yaitu bersyarat dan
tidak bersyarat. Penghargaan yang bersyarat (conditional positive regard)
bergantung pada pemenuhan terhadap kriteria evaluasi dari orang lain agar
diterima. Sebaliknya, penghargaan yang tidak bersyarat (unconditional
positive regards) tidak bergantung pada kriteria evaluasi dari orang lain.
Orang tersebut dihargai bukan karena apa yang dilakukannya, melainkan
karena nilai intrinsiknya sebagai manusia. Ketika penghargaan adalah
bersyarat, orang tersebut mulai mengevaluasi dirinya dengan bersyarat,
artinya dapat diterima hanya bila memenuhi kriteria tertentu. Ketika
evaluasi diri adalah bersyarat, orang tersebut membela diri dengan melihat
dirinya sendiri di dalam cara-cara tertentu. Melalui generalisasi, ia belajar
untuk mengevaluasi orang lain dengan bersyarat juga. Orang lain yang
paling dihormatinya yang bersifat mengancam dirinya melalui evaluasi-
evaluasi mereka adalah orangtuanya. Akar dari penghinaan diri dan
penghinaan dari orang lain disemaikan sejak awal kehidupannya.
Lebih lanjut, Rogers (Calhoun dan Acocella, 1995) mengemukakan
bahwa konsep diri sebagian besar merupakan hasil pengalaman seseorang
pada waktu kecil, khususnya dengan orangtuanya sendiri. Semua anak
-
25
secara alamiah mendambakan kehangatan dan penerimaan, namun tidak
sedikit orangtua yang mau menerima anaknya dengan kondisi suatu
tingkah laku tertentu atau mau memberikan pandangan positif kepada
anaknya jika anak tersebut menolak bagian tertentu dari pengalamannya.
Akibat dari hal tersebut adalah kekuatan seseorang disia-siakan bagi
pertahanan konsep diri yang tidak realistis, yang seharusnya dapat
digunakan untuk mengekspresikan secara sempurna sesuatu yang
sebenarnya merupakan pengalaman yang bermacam-macam bagi dirinya
dan dunia. Seseorang tersebut juga dapat mengalami kecemasan.
Burns (1993) menyimpulkan terdapat tiga buah kondisi keluarga yang
kondusif bagi perkembangan perasaan harga diri yang tinggi bagi
seseorang, yaitu penerimaan yang hangat dari orangtua, pembentukan dan
penguatan oleh orangtua mengenai batas-batas yang dengan jelas
terdefinisi dari tingkah laku anak, dan penghargaan dari orangtua bagi
perilaku baik anak.
4. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif
Individu dapat memiliki konsep diri positif maupun konsep diri negatif.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai konsep diri positif dan konsep diri negatif
tersebut.
a. Konsep diri positif.
Menurut Hurlock (1978: 238), individu yang memiliki konsep diri
positif akan mengembangkan sifat-sifat kepercayaan diri, harga diri, dan
-
26
kemampuan untuk melihat dirinya secara realistis. Kemudian ia dapat
menilai hubungan dengan orang lain secara tepat dan ini menumbuhkan
penyesuaian sosial yang baik. Hurlock (1979: 33) juga mengemukakan
bahwa konsep diri positif mengarah pada penerimaan diri dan penyesuaian
yang baik. Individu tersebut menunjukkan tingkat harga diri yang tinggi,
memiliki sedikit perasaan tidak aman (insecurity), perasaan tidak mampu
(inadequacy), dan perasaan rendah diri (inferiority), memperlihatkan
sedikit perilaku pengganti dari sifat bertahan, mampu melihat dirinya
seperti yang ia yakini orang lain melihatnya, dan memiliki penyesuaian
sosial yang baik.
Calhoun dan Acocella (1995: 73) mengemukakan bahwa dasar dari
konsep diri yang positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri
tetapi lebih berupa penerimaan diri. Yang menjadikan penerimaan diri
mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif mengenal dirinya
dengan baik sekali (Wicklund dan Frey dalam Calhoun dan Acocellla,
1990). Jadi, orang dengan konsep diri positif dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta atau informasi yang sangat bermacam-macam
tentang dirinya sendiri dan tak ada satu pun informasi tersebut yang
merupakan ancaman baginya.
Karena konsep diri positif itu cukup luas untuk menampung seluruh
pengalaman mental seseorang, evaluasi tentang dirinya sendiri menjadi
positif. Dia dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Hal ini
tidak berarti bahwa dia tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri atau
-
27
bahwa dia gagal mengenali kesalahannya sebagai suatu kesalahan, namun
dia merasa tidak perlu meminta maaf untuk eksistensinya. Dengan
menerima dirinya sendiri, dia juga dapat menerima orang lain. Mengenai
harapan, orang dengan konsep diri positif merancang tujuan-tujuan yang
sesuai dan realistis. Realistis disini artinya terdapat kemungkinan besar
bahwa ia dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, Calhoun dan Acocella (1995: 91)
menyimpulkan bahwa ciri individu dengan konsep diri yang positif adalah
pengetahuan yang luas dan bermacam-macam tentang diri, pengharapan
yang realistis, dan harga diri yang tinggi.
Penjelasan lainnya mengenai konsep diri positif dikemukakan oleh
Burns (1993: 72) yaitu konsep diri yang positif ini sebagai evaluasi diri
yang positif, perasaan harga diri yang positif, dan penerimaan diri yang
positif. Individu yang memiliki perasaan harga diri yang positif lebih
mampu menerima kegagalan atau berupaya memperbaiki wilayah-wilayah
kegagalannya. Burns (1993: 280) juga mengemukakan bahwa tanda-tanda
konsep diri positif adalah adanya kemampuan untuk memodifikasi nilai-
nilai dan prinsip-prinsip yang sebelumnya dipegang dengan teguh
dipandang dari sudut pengalaman yang baru, kepercayaan diri untuk
menanggulangi masalah-masalah bahkan dihadapkan kepada kegagalan
yang kadang-kadang terjadi, penerimaan diri sebagai seseorang yang sama
berharganya dengan orang-orang lain meskipun terdapat perbedaan-
perbedaan dalam bakat-bakat dan sifat-sifat yang spesifik, dan sensitifitas
-
28
terhadap kebutuhan dari orang lain. Konsep diri positif juga ditandai
dengan ketiadaan kekhawatiran atau kecemasan terhadap masa lalu, masa
kini, dan masa yang akan datang (Burns, 1993; Hamachek dalam
Rakhmat, 2005).
Stuart (2007: 187) mengemukakan bahwa individu dengan
kepribadian yang sehat akan memiliki citra tubuh yang positif dan sesuai,
ideal diri yang realistis, konsep diri yang positif, harga diri yang tinggi,
performa peran yang memuaskan, dan rasa identitas yang jelas.
b. Konsep diri negatif.
Menurut Hurlock (1978: 238), individu yang memiliki konsep diri
negatif akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Ia
merasa ragu dan kurang percaya diri. Hal ini menumbuhkan penyesuaian
pribadi dan sosial yang buruk. Hurlock (1979: 33) mengemukakan bahwa
penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk dicerminkan dengan harga diri
yang rendah, tidak menentu mengenai diri, percaya bahwa orang lain
memiliki penilaian buruk terhadap dirinya, menarik diri dari hubungan
sosial, dan menggunakan banyak mekanisme pertahanan diri.
Calhoun dan Acocella (1995: 72) mengemukakan bahwa apa yang
diketahui seseorang yang mempunyai konsep diri negatif tentang dirinya
sendiri sangat sedikit. Hal tersebut bisa berarti dua hal. Pertama,
pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur,
artinya dia tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu
ini tidak mengetahui siapa dirinya, apa yang menjadi kekuatan dan
-
29
kelemahannya, atau apa yang dia hargai dalam hidupnya. Pada orang
dewasa hal itu mungkin suatu tanda ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Kedua, konsep diri individu terlalu stabil dan terlalu teratur atau kaku. Hal
ini dapat diakibatkan dari didikan yang sangat keras sehingga ia tidak
mengizinkan sedikit pun adanya penyimpangan dari seperangkat konsep
mengenai dirinya yang harus dijalani dengan teratur. Jadi, orang dengan
konsep diri yang tidak teratur atau konsep diri yang sempit benar-benar
tidak memiliki kategori mental yang dapat dikaitkannya dengan informasi
yang bertentangan tentang dirinya. Oleh karena itu, individu mengubah
terus-menerus konsep dirinya atau dia melindungi konsep dirinya yang
kokoh dengan mengubah atau menolak informasi baru.
Dalam kaitannya dengan evaluasi diri, konsep diri yang negatif
menurut definisinya meliputi penilaian negatif terhadap diri. Apa pun
pribadi itu, dia tidak pernah cukup baik. Apa pun yang diperoleh
tampaknya tidak berharga dibandingkan dengan apa yang diperoleh orang
lain. Mengenai harapan, individu dengan konsep diri negatif percaya
bahwa dirinya tidak dapat mencapai suatu apa pun yang berharga.
Berdasarkan penjelasan di atas, Calhoun dan Acocella (1995: 91)
menyimpulkan bahwa ciri individu dengan konsep diri yang negatif adalah
pengetahuan yang tidak tepat tentang diri sendiri, pengharapan yang tidak
realistis, dan harga diri yang rendah.
Penjelasan lainnya mengenai konsep diri negatif dikemukakan oleh
Burns (1993: 72) yaitu konsep diri yang negatif sama dengan evaluasi diri
-
30
yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri, dan ketiadaan perasaan
yang menghargai pribadi dan penerimaan diri. Perasaan harga diri yang
rendah ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut: peka terhadap
kritik, sikap hiperkritis, respon yang berlebihan terhadap sanjungan,
terdapat kompleks penyiksaan dimana kegagalan ditempatkan pada
rencana-rencana tersembunyi dari orang lain dan kesalahan ditujukan
kepada orang lain, mengasingkan diri, malu-malu, atau tidak memiliki
minat terhadap persaingan. Harga diri yang rendah juga dikemukakan oleh
Sullivan (Burns, 1993) bahwa orang yang memiliki perasaan harga diri
rendah mengantisipasi suatu bentuk penolakan dan mencoba untuk
menghalangi penolakan tersebut dengan meminimalkan kontak-kontak
atau menyerang orang lain.
5. Stresor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi yang
dihadapi individu dan individu tidak mampu menyesuaikan. Situasi atau stresor
dapat mempengaruhi konsep diri dan komponennya.
Menurut Keliat (1992: 16), stresor yang mempengaruhi gambaran diri
adalah hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses patologi penyakit,
perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh dan kembang, prosedur
tindakan dan pengobatan. Stresor yang mempengaruhi harga diri dan ideal diri
adalah penolakan dan kurang penghargaan diri dari orangtua dan orang yang
berarti; pola asuh anak yang tidak tepat, misalnya: terlalu dilarang, dituntut,
-
31
dituruti; persaingan dengan saudara; kesalahan dan kegagalan yang terulang; cita-
cita yang tidak dapat dicapai; gagal bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Stresor pencetus dapat berasal dari sumber eksternal dan internal. Berikut
ini adalah sumber-sumber tersebut Stuart (2007: 190).
a. Trauma.
Masalah spesifik berhubungan dengan konsep diri adalah situasi yang
membuat individu sulit menyesuaikan diri atau tidak dapat menerima
khususnya trauma emosi, seperti: penganiayaan seksual dan psikologis
pada masa anak-anak atau menyaksikan peristiwa yang mengancam
kehidupan.
b. Ketegangan peran.
Ketegangan peran adalah perasaan frustrasi ketika individu merasa
tidak adekuat melakukan peran atau melakukan peran yang bertentangan
dengan hatinya atau tidak merasa cocok dalam melakukan perannya. Ada
tiga jenis transisi peran, yaitu:
1) Transisi peran perkembangan.
Transisi peran perkembangan yaitu perubahan normatif yang
berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap
perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-
norma budaya, nilai-nilai, serta tekanan untuk menyesuaikan diri.
2) Transisi peran situasi.
Transisi ini terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
-
32
3) Transisi peran sehat-sakit.
Transisi ini terjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan
sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kondisi: kehilangan bagian
tubuh, perubahan ukuran bentuk, penampilan, atau fungsi tubuh,
perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal,
serta prosedur medis dan keperawatan.
Apa pun masalah dalam konsep diri seseorang yang dicetuskan oleh
stresor psikologis, sosiologis, atau fisiologis, unsur yang penting adalah persepsi
penderita terhadap ancaman.
B. Perceived Social Support
1. Konsep Social Support
Social support atau dukungan sosial telah mendapat banyak perhatian
selama dasawarsa terakhir ini (Smeth, 1994). Seiring berjalannya waktu, diskusi
dan penelitian mengenai dukungan sosial telah banyak difokuskan pada
pentingnya dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu
(Cohen, 1998; Moreno, 2004; Sanderson, 2004; Sarafino, 1990; Sarason et al.,
1990). Tema mengenai dukungan sosial ini bermula dari gagasan atau pendapat
beberapa tokoh dalam bidang keilmuan yang berbeda.
Ketertarikan awal terhadap efek hubungan sosial terdapat pada bidang
kedokteran klinis (Sarason et al., 1990). Sebagai contoh, Charles Darwin (1872-
1965) menulis tentang salah satu pasien ayahnya yang meninggal secara tiba-tiba
karena penyakit jantung. Darwin mengatakan bahwa denyut nadi pasien tersebut
-
33
biasanya berdetak sangat kencang, namun akan menjadi normal kembali seiring
dengan kedatangan ayahnya. Durkheim (1897-1951) dalam Sarason et al. (1990)
mengajukan gagasan lain mengenai pentingnya hubungan sosial, dimana
seseorang yang kurang mengadakan hubungan sosial akan meningkatkan
kemungkinan untuk melakukan bunuh diri.
Pada tahun 1976, Cassel dan Cobb (Sarason et al., 1990) mengadakan
penelitian lintas disiplin yang mempelajari apa yang dimaksud dengan dukungan
sosial. Cassel menegaskan bahwa lingkungan sosial dan kehadiran anggota lain
dalam spesies yang sama dalam keadaan tertentu merupakan faktor penghambat
berkembanganya penyakit lingkungan. Hasil peninjauannya terhadap kedua
penelitian yang dilakukan terhadap binatang dan manusia ini menekankan bahwa
dukungan sosial memiliki efek penahan terhadap stres. Cassel mengakui bahwa
cara terbaik dalam mencegah penyakit adalah dengan memperkuat dukungan
sosial individu, daripada mengurangi paparannya terhadap sumber stres. Peneliti
lainnya adalah Cobb. Minat Cobb terhadap dukungan sosial muncul dalam bidang
kedokteran klinis (Sarason et al., 1990). Cobb tidak hanya menyelidiki dukungan
sosial sebagai perantara terhadap stres, tetapi juga berusaha untuk memperbaiki
pengertian mengenai konstruk dukungan sosial. Cobb menguraikan dukungan
sosial sebagai informational leading to one or more of three outcomes: the
feeling of being cared for; the believe that one is loved, esteemed, and valued; and
the sense of belonging to a reciprocal network (Sarason et al., 1990: 10). Cobb
percaya bahwa dukungan sosial menyediakan perlindungan terhadap keadaan
sakit, mempercepat kesembuhan, dan meningkatkan kesediaan untuk mengikuti
-
34
aturan medis. Seperti Cassel, Cobb juga melihat dukungan sosial sebagai penahan
atau pelindung yang digunakan dalam situasi krisis.
Sumber lain yang memiliki kesamaan minat pada tema dukungan sosial
yaitu berasal dari psikologi komunitas (Sarason et al., 1990). Para pakar psikologi
komunitas sering membicarakan bagaimana pelayanan jasa dari para ahli
profesional dapat menyediakan dukungan bagi mereka yang melakukan upaya
coping tidak efektif dan bagi mereka yang tidak menjadi bagian dari jaringan
sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan emosional yang diberikan
oleh pegawai pelayanan kesehatan bermanfaat bagi kesehatan pasien. Penelitian
ini menginspirasi para ahli untuk mengukur dukungan sosial apa saja yang
diterima oleh individu. Upaya para ahli ini didasarkan pada penelitian sosiologi
yang mengusulkan bahwa stresor biasanya terdapat pada kelompok ekonomi
lemah sehingga dibutuhkan komunitas yang menyediakan dukungan bagi mereka.
Penelitian lain yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya
mengenai dukungan sosial yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bowlby pada
tahun 1969, 1979, dan 1980 (Sarason et al., 1990). Bowlby memberikan dasar
pemikiran dukungan sosial sebagai variabel kepribadian yang sumbernya
diperoleh dari suatu hubungan yang lekat.
Hal yang dikemukakan di atas merupakan sejarah singkat yang
menggambarkan konsep dan definisi dukungan sosial yang digolongkan pada area
multidisiplin yang berbeda. Menurut Baron dalam Moreno (2004), terdapat tiga
aspek yang berkaitan dengan definisi dukungan sosial. Ketiga aspek tersebut
yaitu:
-
35
a. Tingkat analisis yang dipilih, meliputi tingkatan masyarakat, jaringan
sosial, dan hubungan dekat.
b. Pandangan yang menjadi fokus penelitian, meliputi struktural, fungsional,
dan kontekstual.
c. Definisi mengenai dukungan sosial akan bergantung pada apakah
penekanannya ditempatkan pada aspek objektif ataukah subjektif.
Dukungan sosial memiliki tiga kategori dimana masing-masing kategori
tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Sarason et al. (1990), ketiga
kategori tersebut adalah sebagai berikut:
a. Social integration.
Social integration merupakan model jaringan yang memfokuskan pada
integrasi sosial individu dalam suatu kelompok dan keterhubungan orang-orang
dalam satu grup. Social integration adalah tingkat dimana individu
berpartisipasi dalam jaringan yang luas dari suatu hubungan sosial (Brissette et
al., 2000). Model dukungan sosial ini mengukur seberapa banyak peran yang
individu miliki dalam lingkungan atau tingkat dimana individu aktif dalam
berbagai aktivitas.
b. Received social support.
Received social support melihat pada apa yang seseorang peroleh dari
orang lain. Dalam received social support, dukungan sosial diartikan sebagai
tindakan spesifik dari orang lain yang dapat dilihat sebagai salah satu
dukungan yang diperankan, yang fokusnya terletak pada tindakan yang orang
-
36
lain tunjukkan pada seseorang. Model dukungan sosial ini menilai jumlah dari
dukungan sosial yang diterima dalam suatu periode waktu (Sanderson, 2004).
c. Perceived social support
Perceived social support merupakan model dukungan sosial yang
memfokuskan pada dukungan yang diyakini seseorang ada apabila ia
membutuhkannya. Dari ketiga model dukungan sosial, perceived social
support adalah model dukungan sosial yang paling erat hubungannya dengan
kesehatan.
Pada penelitian ini, model dukungan sosial yang digunakan oleh peneliti
adalah perceived social support.
2. Pengertian Perceived Social Support
Menurut Wills dan Shinar (2000: 87), perceived social support atau
available support atau functional support adalah supportive functions that are
perceived to be available if needed. Perceived social support adalah fungsi-
fungsi dukungan yang dirasakan ada apabila dibutukan.
Menurut Manne (2003: 59), perceived social support adalah perception
that specifics types of social support would be available if needed. Perceived
social support adalah persepsi bahwa tipe-tipe tertentu dari dukungan sosial akan
tersedia apabila dibutuhkan.
Menurut Lakey dan Cohen (2000: 35), Measures of perceived support
ask respondents to make evaluations of the quality or availability of different
types of support. Menurut mereka, mengukur dukungan yang dirasakan berarti
-
37
meminta responden untuk membuat penilaian terhadap kualitas atau keberadaan
tipe-tipe dukungan.
Menurut Sarason et al. (Lakey dan Cohen, 2000: 32), perceived social
support adalah subjective and global evaluations of social suppport quality or
availability. Perceived social support adalah evaluasi subjektif dan menyeluruh
dari kualitas atau keberadaan dukungan sosial.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perceived
social support adalah evaluasi subjektif dan menyeluruh mengenai kualitas atau
keberadaan tipe-tipe dukungan sosial tertentu yang diterima manakala dibutuhkan.
3. Sumber Perceived Social Support
Sumber dukungan sosial adalah orang lain yang berinteraksi dengan
individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamana fisik dan
psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, keluarga, teman, kerabat,
teman kerja, dokter, maupun komunitas dalam suatu organisasi (Sarafino, 1990).
Keluarga dapat menjadi sumber dukungan utama bagi seseorang dalam
menghadapi permasalahan dan situasi yang buruk. Hawari (2004) mengemukakan
pentingnya peranan keluarga ketika keluarga mengetahui bahwa salah satu
anggotanya menderita penyakit kronis, seperti kanker. Pada umumnya, pihak
keluarga tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan dalam menghadapi
penderitaan ini. Pihak keluarga yang penuh pengertian dan kooperatif dengan
pihak perawatan serta memberikan dorongan moril penuh kepada penderita akan
banyak membantu dalam penatalaksanaan penderita kanker. Penatalaksanaan
-
38
yang dimaksud disini adalah berbagai upaya pendekatan holistik yang meliputi
terapi fisik, psikologis, sosial dan agama untuk menangani penderita kanker
(WHO dalam Hawari, 2004).
4. Tipe-tipe Perceived Social Support
Berikut ini adalah tipe-tipe perceived social support menurut Cutrona dan
Russell (1990).
a. Emotional support (dukungan emosional).
Emotional support yaitu adanya orang yang mampu mengubah
seseorang menjadi nyaman dan merasa aman ketika mengalami masalah,
mengarahkan seseorang untuk merasa bahwa ia diperhatikan.
Dukungan ini termasuk adanya orang yang dapat mendengarkan
secara simpati ketika individu memiliki masalah dan dapat menyediakan
tanda-tanda kepedulian dan penerimaan (Wills dan Shinar, 2000).
Dukungan ini menyediakan rasa nyaman, penentraman hati, dan rasa
dicintai pada saat seseorang mengalami stres (Cohen & McKay, Cutrona
& Russell, House, Schaefer et al., Wills dalam Sarafino, 1990). Dukungan
ini bermanfaat untuk mengubah penilaian ancaman terhadap peristiwa
hidup, mengurangi kecemasan dan depresi (Wills dan Shinar, 2000).
Dukungan emosional, seperti adanya orang yang mendengarkan,
mengekspresikan perhatian, dan mendorong pasien untuk berbicara, secara
konsisten ditemukan bermanfaat bagi orang untuk mengatasi penyakit
kronisnya. Berbicara secara sederhana kepada orang lain dapat membantu
-
39
mengurangi stres, bahkan jika orang-orang tersebut tidak dapat membantu
memperbaiki atau memecahkan masalah (Sanderson, 2004). Dalam
literatur lain emotional support disebut juga dengan attachment, intimacy.
b. Network support (dukungan jaringan).
Network support yaitu adanya orang yang membuat seseorang merasa
menjadi bagian dari suatu kelompok dimana anggotanya memiliki
perhatian atau kepentingan yang sama atau ketersediaan orang yang
bersama mereka seseorang dapat berpartisipasi dalam aktivitas sosial atau
kegiatan rekreasi.
Dukungan ini menghasilkan afek positif, menyediakan kebebasan dan
penyembuhan dari tuntutan-tuntutan, memberikan pengalihan positif dari
masalah-masalah yang tengah direnungi (Wills dan Shinar, 2000).
Ketiadaan dukungan ini, seperti yang disediakan dari pernikahan atau
persahabatan, kemungkinan besar mengarahkan seseorang pada kesepian,
dimana pada gilirannya hal ini berhubungan dengan distres, depresi, gejala
fisik yang negatif (Sanderson, 2004). Dalam literatur lain network support
disebut juga dengan belongingness support, companionship support.
c. Esteem support (dukungan penghargaan).
Esteem support yaitu adanya orang yang mendorong perasaan
seseorang terhadap kemampuan atau harga dirinya. Contoh dukungan ini
adalah memberikan umpan balik positif terhadap keahlian dan kemampuan
seseorang atau mengungkapkan keyakinan bahwa seseorang mampu atau
sanggup mengatasi kejadian yang penuh tekanan.
-
40
Dukungan ini memberikan ekspresi penghargaan positif untuk
seseorang, dorongan atau persetujuan atas gagasan maupun perasaan
seseorang, dan perbandingan positif seseorang tersebut dengan orang
lainnya, seperti orang lain yang keadaannya lebih buruk (Smet, 1994).
Dukungan ini membangun rasa keberhargaan diri seseorang, membuat
seseorang tersebut merasa mampu dan bernilai. Dukungan penghargaan
sangat berguna pada waktu penilaian situasi stres, seperti ketika seseorang
menilai apakah tuntuntan-tuntutan yang ada melebihi kemampuannya
(Cohen & McKay, Cutrona & Russell, House, Schaefer et al., Wills dalam
Sarafino, 1990). Dalam literatur lain esteem support disebut juga dengan
validational.
d. Instrumental support (dukungan instrumental).
Instrumental support yaitu adanya orang yang memberikan bantuan
nyata (materi atau jasa) ketika seseorang berada dalam situasi stres untuk
mengatasi masalahnya.
Dukungan ini bermanfaat untuk mengatasi masalah praktis,
meningkatkan waktu untuk beristirahat, dan usaha mengatasi masalah
lainnya (Wills dan Shinar, 2000). Dukungan instrumental, seperti
membantu tugas/pekerjaan, transportasi, dan bantuan merawat anak,
sangat berguna, terutama apabila bantuan tersebut disediakan oleh anggota
keluarga. Dukungan ini terutama paling bermanfaat bagi orang yang
memiliki prognosis buruk mengenai kesembuhannya, karena mereka
memiliki masalah yang lebih besar dalam mengelola tugas-tugas
-
41
praktisnya (Sanderson, 2004). Dalam literatur lain instrumental support
disebut juga dengan tangible support, practical support, behavioral
assistance, material aid.
e. Informational support (dukungan informasional).
Informational support adanya orang yang memberikan nasehat atau
bimbingan mengenai solusi yang tepat terhadap masalah yang dihadapi.
Dukungan ini mencakup nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik
tentang apa yang harus dilakukan seseorang (Cohen & McKay, Cutrona &
Russell, House, Schaefer et al., Wills dalam Sarafino, 1990). Dukungan ini
bermanfaat untuk meningkatkan jumlah ketersediaan informasi yang
berguna bagi seseorang, membantu memperoleh pelayanan yang
dibutuhkan, mendorong ke arah coping yang lebih efektif. Dalam literatur
lain instrumental support disebut juga dengan appraisal support.
5. Peran Perceived Social Support
Sejumlah penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya berbagai
dampak positif dari dukungan sosial terhadap kesehatan, keadaan sakit (illness),
kesejahteraan (well-being), dan stres. Penelitian mengenai dukungan sosial
memfokuskan pengaruh dukungan sosial pada stres sebagai variabel penengah
dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Cohen et al. (2000: 11)
mengemukakan dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial
mempengaruhi kesehatan, yaitu sebagai berikut:
-
42
a. Model efek langsung (main effect model).
Model ini mengemukakan bahwa dukungan sosial bermanfaat bagi
kesehatan dan kesejahteraan tanpa tergantung dengan apakah seseorang
berada dalam situasi stres atau tidak.
b. Model pelindung stres (stress-buffering model)
Model ini mengemukakan bahwa dukungan sosial berhubungan
dengan kesehatan terutama pada seseorang yang berada dalam kondisi
stres. Smet (1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial mempengaruhi
kesehatan dengan melindungi orang itu terhadap efek negatif stres yang
berat. Efek pelindung (buffer) bekerja dengan dua cara. Pertama, orang-
orang dengan dukungan sosial tinggi mungkin kurang memaknai situasi
penuh stres karena mereka tahu bahwa mungkin akan ada orang lain yang
dapat membantunya. Kedua, orang-orang dengan dukungan sosial yang
tinggi akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres, seperti pergi
menemui seorang teman atau keluarga atau pasangan untuk membicarakan
masalah tersebut.
Cohen et al. (2000) menjelaskan bahwa perceived social support paling
sering ditemukan bertindak sebagai pelindung stres (stress-buffering). Mekanisme
bagaimana perceived social support bertindak sebagai pelindung stres (stress-
buffering) dijelaskan oleh Cohen et al. (2000: 14). Menurut model ini, dukungan
bekerja dengan cara mencegah respon-respon terhadap kejadian penuh tekanan
yang bertentangan dengan kesehatan. Pertama, keyakinan bahwa orang lain akan
menyediakan dukungan yang dibutuhkan dapat menetapkan ulang potensi atas
-
43
gangguan yang diberikan oleh situasi dan mendorong kemampuan yang dirasakan
seseorang untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengganggu, dengan demikian
mencegah situasi tertentu dinilai sebagai sesuatu yang sangat menekan. Kedua,
keyakinan-keyakinan terhadap dukungan dapat mengurangi atau melenyapkan
reaksi afektif terhadap kejadian penuh tekanan, mengurangi respon fisiologis
terhadap kejadian, atau mencegah maupun mengubah respon-respon perilaku
maladaptif. Dukungan sosial dapat melindungi seseorang dari efek stres dengan
cara mengubah respon seseorang terhadap stresor setelah mereka menilai situasi
sebagai tekanan (Sarafino, 1990).
Dukungan sosial tidak selalu mengurangi stres dan menguntungkan
kesehatan. Untuk satu hal, walaupun dukungan mungkin telah diberikan atau
tersedia untuk seseorang, seseorang mungkin tidak merasakan hal tersebut sebagai
dukungan. Hal ini dapat terjadi karena seseorang tersebut tidak menginginkan
bantuan atau mungkin seseorang tersebut terlalu putus asa secara emosional untuk
melihat bantuan. Ketika kita tidak merasakan bantuan sebagai sesuatu yang
mendukung, hal tersebut kemungkinan besar sedikit mengurangi stres seseorang
(Sarafino, 1990). Hal yang sama juga dijelaskan oleh Pearlin (1987) bahwa
Terdapat satu alasan utama mengapa dukungan tidak selalu membantu, tetapi
justru adakalanya gagal, yaitu apa yang diberikan bukan apa yang diinginkan atau
tipe dukungan yang seseorang terima mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan
dimana stresor dihasilkan.
-
44
C. Kanker Payudara
1. Pengertian Kanker Payudara
Kanker payudara (carcinoma mammae) adalah sebuah tumor ganas yang
tumbuh dalam jaringan payudara, yaitu dalam kelenjar susu, jaringan lemak,
maupun jaringan ikat payudara (Suryaningsih & Sukaca, 2009). Kanker ini
memang tidak tumbuh dengan cepat namun berbahaya. Pada awalnya sel kanker
pada payudara bersembunyi dalam tubuh dan hanya tumbuh sebesar 1 cm, selama
kurun waktu 8-12 tahun. Sel tersebut dapat menyebar melalui aliran darah ke
seluruh tubuh. Dalam catatan World Health Organization (WHO), kanker
payudara masuk ke dalam International Classification of Diseases (ICD) dengan
kode nomor 17.
2. Gejala-gejala Umum Kanker Payudara
Suryaningsih & Sukaca (2009: 35) menjelaskan gejala-gejala umum yang
dapat dirasakan pada penderita kanker payudara adalah sebagai berikut:
a. Timbul benjolan.
Benjolan pada payudara dapat diraba dengan tangan. Semakin lama
benjolan ini semakin mengeras dan bentuknya tidak beraturan. Gejala
awalnya dapat dirasakan berbeda dari payudara sekitarnya serta terkadang
menimbulkan nyeri dan memiliki pinggiran yang tidak teratur.
b. Bentuk dan ukuran atau berat salah satu payudara berubah.
c. Pada awal stadium, benjolan jika didorong dengan menggunakan jari
maka benjolan tersebut dapat digerakkan dengan mudah oleh kulit.
-
45
Pada stadium lanjut, benjolan biasanya melekat pada dinding dada dan
kulit sekitarnya sehingga bisa menyebabkan pembengkakan pada kulit
dan terdapat borok di kulit payudara.
d. Timbul benjolan kecil di bawah ketiak.
e. Keluar darah, nanah atau cairan encer dari puting payudara. Biasanya
keluar cairan yang tidak normal dari puting yang berwarna kuning,
hijau, berdarah, maupun bernanah. Terdapat perubahan pada warna
atau tekstur kulit payudara, kulit di sekitar puting bersisik, puting
tertarik ke dalam atau terasa gatal, nyeri payudara atau pembengkakan
salah satu payudara, bentuk dan arah puting juga berubah.
f. Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk.
g. Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat badan,
dan pembengkakan lengan.
3. Stadium Kanker Payudara
Stadium dalam kanker merupakan sebuah deskripsi mengenai kondisi
kanker payudara yaitu dimana letaknya, penyebarannya, dan sejauh mana
pengaruhnya terhadap organ tubuh lain (Suyaningsih & Sukaca, 2009). Pada
penderita kanker payudara ada stadium dini dan stadium lanjut. Stadium dini
adalah stadium dari masa sebelum adanya kanker hingga stadium dua, sedangkan
stadium lanjut sudah berada pada stadium tiga dan empat.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai stadium penderita kanker payudara
dari stadium satu hingga stadium empat (Suyaningsih & Sukaca, 2009: 36).
-
46
a. Stadium 0
Pada tahap stadium 0, kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh
atau saluran payudara dan kelenjar-kelenjar susu pada payudara. Tingkat
bertahan hidup pada stadium ini adalah sekitar 90%.
b. Stadium I
Pada tahap stadium I, ukuran tumor masih sangat kecil dengan, tidak
menyebar, dan tidak ada titik pada pembuluh getah bening. Tingkat
bertahan hidup pada stadium ini adalah sekitar 70%.
c. Stadium II A
Pada tahap stadium II A, benjolan kanker berukuran dua sentimeter
sehingga tidak dapat terdeteksi dari luar. Pada stadium ini, kanker masih
bisa ditemukan di sekitar titik-titik saluran getah bening di ketiak. Tingkat
bertahan hidup pada stadium II adalah sekitar 60%.
d. Stadium II B
Pada tahap stadium II B, diameter tumor berukuran dua hingga lima
sentimeter dengan penyebaran sudah sampai ke kelenjar susu dan daerah
ketiak.
e. Stadium III A
Pada tahap stadium III A, kanker payudara telah 87% menyebar ke
daerah limfa. Diamaeter tumor dapat berukuran lebih dari lima sentimeter
dan menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening ketiak. Tingkat
bertahan hidup pada stadium III adalah sekitar 40%.
-
47
f. Stadium III B
Pada tahap stadium III B, tumor berukuran berapa saja dan telah
menyebar ke seluruh payudara. Tumor telah menyebar ke seluruh kulit
dinding dada, tulang rusuk, dan otot dada. Hal ini dapat menyebabkan
pembengkakan dan luka bernanah di payudara.
g. Stadium III C
Pada tahap stadium III C, tumor berukuran berapa saja dan telah
menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening. Kanker telah
menyebar lebih dari 10 titik di saluran getah bening di bawah tulang
selangka.
h. Stadium IV
Pada tahap stadium IV, tumor berukuran berapa saja dan telah
menjalar ke bagian tubuh lain. Kanker telah menyebar dari payudara dan
kelenjar getah bening di sekitar ketiak ke bagian lain, seperti paru-paru,
tulang, hati, dan otak. Tingkat bertahan hidup pada stadium III adalah
sekitar 20%.
4. Pengobatan Kanker Payudara
Berikut ini adalah jenis-jenis pengobatan medis yang dilakukan wanita
untuk mengobati kanker payudara (Suyaningsih & Sukaca, 2009).
-
48
a. Pembedahan
Operasi atau pembedahan dapat dilakukan dengan cara lumpektomi
dan mastektomi. Lumpektomi adalah operasi pengangkatan tumor bersama
jaringan normal payudara di sekitarnya. Mastektomi merupakan
pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat payudara..
b. Terapi Radiasi
Terapi radiasi adalah pengobatan menggunakan sinar-X berenergi
tinggi atau partikel lain untuk membunuh sel kanker.
c. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat untuk mengobati penyakit
apapun, khususnya kanker, dengan cara mengalirkan obat melewati
pembuluh tubuh. Targetnya adalah seluruh kanker yang ada di seluruh
tubuh. Efek samping dari pengobatan ini adalah rambut rontok,
kemungkinan resiko infeksi (sariawan pada mulut, tenggorokan susah
menelan karena infeksi jamur), kuku dan kulit menghitam dan kadang
kering, mual dan muntah, rasa ngilu pada tulang-tulang, hilang nafsu
makan, diare maupun susah buang air besar, asam lambung naik.
d. Terapi Hormon
Terapi hormon adalah pemberian obat khusus untuk menghalangi
hormon-hormon yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tumor.
-
49
5. Dampak Penyakit Kanker Payudara pada Penderita
Purnawan (2009) mengatakan ada beberapa dampak pada penderita kanker
payudara atas penyakitnya yaitu:
a. Perilaku dan emosi klien.
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda, tergantung pada
sumber penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya dan
lain-lain. Penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya, dapat
menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti:
anxiety, shock, penolakan, marah, dan menarik diri.
b. Peran keluarga.
Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari
nafkah, seorang profesional, atau sebagai orang tua. Saat mengalami
penyakit, peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan.
Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau
terlihat secara drastis dan berlangsung lama.
c. Citra tubuh.
Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap
penampilan fisiknya. Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan
dalam penampilan fisiknya dan penderita atau keluarga akan bereaksi
dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut. Reaksi
penderita atau keluarga terhadap perubahan gambaran tubuh tersebut
tergantung pada: jenis perubahan (misalnya organ tertentu), kapasitas
adaptasi, kecepatan perubahan, dan dukungan yang tersedia (misalnya
-
50
keluarga, teman, dan lainnya). Ogden (2007) juga mengemukakan bahwa
wanita yang mengalami penyakit kanker payudara sering melaporkan
adanya perubahan pada rasa kewanitaan, daya tarik, dan citra tubuh.
d. Konsep diri.
Konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri,
mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahan pada
seluruh aspek kepribadiannya. Konsep diri tidak hanya bergantung pada
gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya, tetapi juga bergantung pada
aspek psikologis dan spiritual diri.
Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan
anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep
diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi harapan
keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik.
Akibatnya, anggota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien.
Sutherland dan Orbach (Hawari, 2004) juga mengemukakan bahwa
setiap organ mempunyai arti psikologis tersendiri bagi masing-masing
individu, oleh karena itu suatu tindakan operatif yang radikal yang
mengakibatkan hilangnya bagian tubuh, mempunyai nilai psikologis,
sehingga tidak dapat dihindarkan terjadi pula perubahan-perubahan
terhadap citra tubuh dan konsep diri pada individu yang bersangkutan.
e. Dinamika keluarga.
Dinamika keluarga merupakan proses dimana keluarga melakukan
fungsi, mengambil keputusan, memberi dukungan kepada anggota
-
51
keluarganya, dan melakukan coping terhadap perubahan dan tantangan
hidup sehari-hari. Jika penyakitnya berkepanjangan, seringkali keluarga
harus membuat pola fungsi yang baru sehingga dapat menimbulkan stres
emosional.
Baradero, dkk. (2008: 26) mengemukakan bahwa ada tiga stresor yang
disebabkan oleh kanker yaitu ancaman dari penyakit kanker itu sendiri, hilangnya
bagian tubuh atau ancaman akan hilangnya bagian-bagian dari tubuhnya, dan
frustrasi dalam memenuhi dorongan biologis karena ketidakmampuan yang
diakibatkan penyakit kanker atau efek-efek samping dari pengobatan kanker.
D. Konsep Diri dan Perceived Social Support Wanita yang Mengalami
Penyakit Kanker Payudara
Kanker payudara tidak hanya berhubungan dengan fenomena biologis
semata, melainkan juga berhubungan dengan fenomena psikologis bagi wanita
yang mengalaminya. Hawari (2004) mengemukakan bahwa setiap organ tubuh
tidak hanya mempunyai arti dalam pengertian biologis-fungsional bagi
kelangsungan hidup tubuh, melainkan juga secara bio-psikologis mempunyai arti
tersendiri. Payudara tidak hanya merupakan organ penyusuan bagi bayi saat
wanita melahirkan, namun terlebih lagi merupakan organ daya tarik
(attractiveness), baik bagi wanita maupun pria, dan memainkan peran dalam
identitas seksual wanita. Oleh karena itu, gangguan atau perubahan pada payudara
yang disebabkan oleh proses kanker dan pengobatan medis yang dilakukan untuk
-
52
mengobati kanker dapat mempengaruhi citra tubuh atau diri fisik penderitanya,
terutama apabila kanker telah mencapai stadium lanjut.
Citra tubuh atau diri fisik adalah gambaran yang dimiliki seseorang
mengenai penampilan fisiknya dan kesan yang ditampilkan pada orang lain
(Hurlock, 1979). Citra tubuh atau diri fisik merupakan bagian penting dari
gambaran yang dimiliki seseorang atau yang disebut dengan konsep diri.
Gambaran seseorang terhadap diri fisiknya mempengaruhi gambaran seseorang
terhadap diri psikologisnya. Keliat (1998) menjelaskan bahwa seseorang dapat
merasa tidak cocok atau tidak puas menjalankan perannya dalam kehidupan
karena adanya transisi peran yang diakibatkan oleh pergeseran dari keadaan sehat
ke keadaan sakit. Transisi ini dicetuskan oleh kondisi kehilangan bagian tubuh,
perubahan ukuran bentuk, penampilan, atau fungsi tubuh, serta prosedur medis
dan keperawatan. Transisi peran sehat-sakit ini menjadi stresor pencetus
terjadinya perubahan konsep diri pada seseorang. Hal tersebut dapat terjadi pada
wanita yang mengalami penyakit kanker payudara.
Doenges et al. (2004), Hawari (2004), dan Keliat (1998) mengemukakan
bahwa penyakit kanker payudara dapat mempengaruhi konsep diri pada wanita
yang mengalaminya. Sutherland dan Orbach (Hawari, 2004) menjelaskan bahwa
suatu tindakan operatif yang radikal, yang mengakibatkan hilangnya bagian tubuh
akibat menderita kanker payudara, mempunyai nilai psikologis bagi wanita yang
mengalaminya, sehinggga tidak dapat dihindarkan terjadi pula perubahan-
perubahan terhadap konsep diri pada diri wanita tersebut.
-
53
Hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Hartati (2008) terhadap 33
wanita penderita kanker payudara di Rumah Sakit Umun Pusat Haji Adam Malik
Medan menunjukkan bahwa 87,9% penderita memiliki konsep diri negatif dan
12,1% memiliki konsep diri positif. Penderita yang memiliki konsep diri negatif
memiliki pandangan negatif terhadap tubuhnya, merasa tidak dapat menjalankan
perannya sebagai ibu dan istri, dan merasa kanker payudara menghalangi mereka
dalam bergaul dengan orang-orang di sekelilingnya. Namun, hasil penelitian
tersebut tidak menggali faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri wanita
penderita kanker payudara.
Dalam menghadapi perubahan yang terjadi selama masa sakit, baik dari
segi fisik maupun psikologis yang diakibatkan oleh proses penyakit dan efek
pengobatan medis yang dijalani, wanita yang mengalami penyakit kanker
payudara membutuhkan adanya dukungan sosial. Cutrona dan Russell (1990) dan
Keliat (1998) menjelaskan bahwa stresor yang harus dihadapi oleh individu yang
menderita penyakit kronis, seperti kanker, bukan hanya perubahan fisik atau
penampilannya, melainkan juga masalah biaya, hubungan dengan orang lain, dan
kehilangan prestasi atau kemampuan diri. Ancaman dari penyakit itu sendiri,
seperti kekambuhan dan kematian, juga menjadi stresor bagi mereka (Baradero,
2007). Masalah-masalah tersebut menimbulkan suatu kebutuhan pada diri
individu yang mengalaminya, yaitu kebutuhan akan adanya dukungan sosial.
Dukungan sosial dalam pengertian di sini adalah dukungan sosial yang dirasakan
oleh seseorang atau yang disebut dengan perceived social support.
-
54
Cohen et al. (2000) menjelaskan bahwa perceived social support sering
ditemukan bertindak sebagai pelindung stres (stress-buffering). Dengan stress-
buffering, keyakinan-keyakinan terhadap dukungan (perceived social support)
dapat mengurangi atau melenyapkan reaksi afektif terhadap kejadian penuh
tekanan, mengurangi respon fisiologis terhadap kejadian, atau mencegah maupun
mengubah respon-respon perilaku maladaptif.
Dalam konteks penelitian ini, perceived social support dapat mengurangi
atau melenyapkan reaksi afektif penderita terhadap keadaan-keadaan menekan
yang terjadi selama mengalami penyakit kanker payudara. Keadaan menekan
tersebut seperti biaya pengobatan dan perawatan yang mahal, perubahan fisik
akibat proses penyakit dan efek samping dari pengobatan medis yang dijalani
(radiasi, kemoterapi, operasi), rasa sakit berkepanjangan selama menjalani
pengobatan medis, bayangan terhadap kematian, dan lain-lain.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa pentingnya perceived social
support (dukungan sosial yang dirasakan) pada pasien-pasien dengan penyakit
kronis. Komproe et al. (Manne, 2003) mengemukakan bahwa dukungan yang
dirasakan ada ketika dibutuhkan berhubungan dengan tingkat gejala depresi yang
rendah pada wanita yang menjalani operasi kanker payudara. Alferi et al. (Manne
2000) mengemukakan bahwa dukungan emosional dari teman-teman dan
dukungan instrumental dari suami diprediksikan menurunkan tingkat distres pada
wanita penderita kanker payudara pasca pembedahan.
Pentingnya perceived social support terhadap konsep diri seseorang juga
ditekankan oleh Cohen dan McKay (Cohen et al., 1984). Mereka
-
55
menghipotesakan bahwa efek menguntungkan dari dukungan sosial sebagian
besar ditengahi secara kognitif, dalam arti bahwa persepsi dukungan dapat
mempengaruhi interpretasi seseorang terhadap stresor, pengetahuan tentang
strategi coping, dan konsep diri. Hipotesa tersebut juga sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Pearlin (1987) bahwa dukungan sosial, terutama functional
support atau perceived social support, merupakan salah satu mediator yang efektif
dalam mendukung konsep diri seseorang maupun elemen utama dari konsep diri,
seperti harga diri.