s pea 054444 chapter2 -...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Metode Pembelajaran Problem Solving
2.1.1 Definisi Metode Pembelajaran Problem Solving
Sering terjadi kekeliruan paradigma dalam memahami istilah-istilah dalam
dunia pendidikan. Kesulitan dalam membedakan istilah-istilah pendidikan
disebabkan adanya kemiripan dan keterkaitan antara satu dengan lainnya. Untuk
menghindari kekeliruan paradigma sehingga akan mengantar kita kepada
pengerucutan pengertian metode, terlebih dahulu akan diuraikan istilah-istilah
pendidikan yang memiliki kemiripan antara lain :
a) Pendekatan pembelajaran (approach) dapat diartikan sebagai titik tolak atau
sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran.
Menurut Akhmad Sudrajat (www.wordpress.com, 2007:2) “Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.”
Menurut Roy Killen (dalam Wina Sanjaya, 2006:127) ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered approaches).
b) Strategi pembelajaran adalah rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk
penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan
dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Strategi pembelajaran
yang akan digunakan tergantung dari pendekatan seperti yang dikemukan oleh
Roy Killen (dalam Wina Sanjaya 2006:127) berikut ini:
10
“Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inquiry atau pembelajaran induktif.”
c) Metode pembelajaran adalah cara kerja yang teratur, bersistem, dan berpikir
baik-baik yang digunakan guru untuk mencapai maksud dan tujuan
pembelajaran. Pengertian ini didasarkan pada pendapat yang dikemukan oleh
para ahli yaitu
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan); cara kerja yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Depdikbud, 1989:580-581). Sedangkan Ibrahim, dkk. (dalam Utari Sumarmo 1994:94) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan seseorang atau sekelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi , metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan.
Ada banyak macam metode yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2002:94-
109) mengungkapkan adanya 11 macam metode pembelajaran, yaitu:
1. Metode proyek 2. Metode eksperimen 3. Metode tugas dan resitasi 4. Metode diskusi 5. Metode sosiodrama 6. Metode demonstrasi 7. Metode problem solving 8. Metode karyawisata 9. Metode tanya jawab 10. Metode latihan 11. Metode ceramah
Agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan dapat mencapai
tujuan pembelajaran, guru sebaiknya menentukan metode apa yang akan
11
digunakan sebelum melakukan proses belajar mengajar. Pemilihan suatu
metode tentu harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan sifat materi
yang akan menjadi objek pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan
banyak metode akan menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih
bermakna. Terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi agar metode
pembelajaran yang dipilih dapat mencapai tujuan pembelajaran. Abu Ahmadi
dan Joko Tri Prasetya (1997:53) memberikan beberapa syarat yang harus selalu
diperhatikan dalam penentuan metode pembelajaran:
1. Metode mengajar yang dipergunakan harus dapat membangkitkan motif, minat, atau gairah belajar siswa.
2. Metode mengajar yang dipergunakan harus dapat menjamin perkembangan kegiatan kepribadian siswa.
3. Metode mengajar yang dipergunakan harus dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk mewujudkan hasil karya.
4. Metode mengajar yang dipergunakan harus dapat merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi (pembaharuan).
5. Metode mengajar yang dipergunakan harus dapat mendidik murid dalam teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi.
6. Metode mengajar yang dipergunakan harus dapat meniadakan penyajian yang bersifat verbalitas dan menggantinya dengan pengalaman atau situasi yang nyata dan bertujuan.
7. Metode mengajar yang dipergunakan harus dapat menanamkan dn mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap utama yang diharapkan dalam kebiasaan cara bekerja yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan secara umum ada lima hal yang harus diperhatikan oleh guru
dalam memilih suatu metode antara lain: 1) kemampuan guru dalam
menggunakan metode, 2) tujuan pengajaran yang akan dicapai, 3) bahan/materi
pelajaran yang perlu dipelajari siswa, 4) tingkat kemampuan siswa, 5) sarana
dan prasarana yang ada di sekolah.
12
Pendekatan, strategi, dan metode memiliki keterkaitan yang erat dalam
usaha mencapai tujuan pembelajaran. Suatu strategi pembelajaran yang
diterapkan akan tergantung pada pendekatan yang digunakan, sedangkan
bagaimana menjalankan strategi itu dapat ditetapkan berbagai metode
pembelajaran. Jadi, metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk
mengimplementasikana rencana yang telah disusun pada strategi pembelajaran
dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Sudirman (dalam Utari Sumarmo:1994:28) “Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah cara penyajian pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan masalah atau jawabannya oleh siswa.
Sedangkan menurut R. Killen (1998:109-110) mengungkapkan bahwa ”Pemecaham masalah digunakan sebagai metode pada saat kita menginginkan siswa memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai suatu materi yang telah diajarkan dan siswa tidak hanya sekadar menghafal tetapi juga memahami, selain itu ingin mengembangkan cara berpikir dan daya nalar siswa, yaitu menganalisis suatu kondisi tertentu, dalam mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapatkan terhadap situasi baru yang mereka hadapi.”
Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
metode pemecahan masalah (problem solving) adalah metode yang menjadikan
masalah-masalah sebagai bahan kajian dalam pembelajaran melalui proses
analisis dan sintesis untuk dicari jawabannya sehingga siswa memperoleh
pemahaman yang mendalam dan tahan lama dalam ingatan.
2.1.2 Tujuan Metode Pembelajaran Problem Solving
Telah dibahas sebelumnya bahwa penggunaan metode dalam proses
belajar mengajar berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itulah
13
problem solving sebagai salah satu metode memiliki tujuan-tujuan yang hendak
dicapai antara lain:
1) Agar siswa tidak hanya sekadar mengingat materi pelajaran, akan tetapi
menguasai dan memahaminya secara penuh/utuh. Artinya, tidak hanya
perkembangan dalam aspek kognitif semata tetapi juga aspek afektif dan
psikomotor.
2) Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif.
3) Untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional siswa, yaitu
kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka
miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan
pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat keputusan
secara objektif.
4) Dengan menemukan dan menganalisis sendiri maka prestasi belajar yang
diperoleh siswa akan lebih permanen, setia/tahan lama dalam ingatan dan
tidak mudah dilupakan.
5) Mengembangkan metode ilmiah siswa, berpikir rasional analisis,
sistematis dan memecahkan masalah yang dihadapi sendiri.
6) Agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan
kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan).
2.1.3 Karakteristik Metode Pembelajaran Problem Solving
Karakteristik memiliki pengertian bahwa sesuatu obyek memiliki ciri-ciri
atau kekhasan tertentu yang tidak dimiliki oleh obyek yang lain. Ciri atau
14
kekhasan ini dapat membedakannya dari obyek yang lainnya. Menurut Barrows
(1996:125) problem solving sebagai suatu metode pembelajaran mempunyai
karakteristik antara lain :
a. Pembelajaran berorientasi pada siswa (student oriented)
Dalam kegiatan belajar, tentunya tidak akan terlepas dari proses
pembelajaran. Proses pembelajaran yang dimaksud merupakan tindak lanjut
dari kegiatan belajar, dengan kata lain kegiatan belajar dan pembelajaran ini
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, karena pembelajaran
yang dimaksud merupakan suatu proses kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh guru terhadap siswanya.
Indrawati (1999:2) mendefinisikan pembelajaran:
sebagai pengorganisasian, penciptaan, atau pengaturan suatu kondisi lingkungan sebaik-baiknya yang memungkinkan terjadinya belajar pada siswa. Pembelajaran juga diartikan sebagai proses belajar mengajar, dengan demikian ada dua komponen utama dalam pembelajaran yaitu guru dan siswa yang saling berinteraksi.
Oemar Hamalik (2004:57) mengungkapkan bahwa “Pembelajaran
adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai
tujuan”. Sedangkan Arifin (dalam T. Rahmat, 2003:6) menyatakan
“Pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar ditinjau dari sudut
pembelajar yang direncanakan guru untuk dialami pembelajar selama kegiatan
belajar mengajar.”
Berdasarkan beberapa pernyataan tentang konsep pembelajaran di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan sebagai suatu
15
kegiatan belajar mengajar yang direncanakan oleh guru dengan cara
mengkombinasikan unsur-unsur pembelajaran yang ada guna mencapai tujuan
pembelajaran.
Proses Belajar Mengajar yang menggunakan problem solving sebagai
metodenya merupakan suatu pembelajaran yang berpusat pada siswa (student
oriented). Artinya pembelajaran ini lebih menekankan pada aktivitas siswa
yang menuntutnya untuk lebih aktif dalam proses belajar. Siswalah yang
menentukan sendiri gaya belajarnya sesuai dengan minat, bakat, potensi dan
kemampuan yang dimilikinya. Disamping itu juga siswa yang menentukan
kecepatan belajar, dan hasil belajarnya. Sehingga materi apa yang seharusnya
dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya tidak semata-mata ditentukan
oleh keinginan guru, tetapi memperhatikan setiap perbedaan karakteristik siswa
(heterogen) selama masih sesuai dalam kerangka kurikulum yang berlaku.
b. Peran guru sebagai pembimbing, fasilitator, dan motivator
Dalam metode pembelajaran problem solving yang lebih ditekankan
adalah pada aktivitas siswa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, walaupun
istilah yang digunakan “pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan
perannya sebagai pengajar. Karena pada dasarnya siswa dalam proses belajar
membutuhkan bimbingan/pengarahan, membutuhkan peran fasilitator dan
motivator ketika mengalami kesulitan-kesulitan belajar. Dalam hal ini peran
gurulah yang dimaksud yaitu dengan cara memperjelas tujuan kompetensi yang
ingin dicapai, membantu siswa mencari sumber-sumber bahan, dan
16
membangkitkan minat siswa. Bimbingan dan arahan guru ini juga terkait
dengan keefektifan penggunaan metode problem solving dalam pembelajaran.
Hal ini didasarkan pada pendapat Sudjimat (1995:28) bahwa metode yang
bermanfaat untuk membelajarkan pemecahan masalah adalah: (1) ajarkan
aspek-aspek pemecahan masalah yang penting, dan (2) ubah peran guru dari
sekedar pemberi informasi menjadi fasilitator, pelatih, dan motivator bagi
siswa. Sejalan dengan Sukirman (dalam Utari Sumarmo:1994:27) yang
mengungkapkan bahwa “Pemecahan masalah akan menjadi suatu hal yang sulit
bagi siswa, apabila guru tidak menuntun siswa secara bertahap, atau apabila
hanya mengajarkan secara sekilas kepada siswa.”
c. Informasi-informasi/pengetahuan/konsep baru diperoleh dari belajar
mandiri (self directed learning).
Metode problem solving yang banyak dianjurkan John Dewey dan
selanjutnya dipopulerkan oleh Jerome Bruner (dalam Benny Ahmad
Benyamin:2003:15) bertujuan untuk memperoleh hasil belajar yang lebih
permanen karena dicari sendiri dengan susah payah seperti informasi-
informasi, pengetahuan dan konsep-konsep tidak akan dimiliki hanya dengan
mendengarkan melainkan pengalaman dan menemukan sendiri melalui
mencari jawaban untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Setelah
terpecahkannya masalah maka akan terbentuk pengetahuan baru yang
diperoleh sendiri oleh siswa.
Untuk memecahkan masalah diperlukan pengetahuan awal yang cukup.
Siswa harus memiliki sejumlah konsep-konsep dan aturan–aturan yang telah
17
diperoleh pada proses pembelajaran sebelumnya. Secara umum, pengetahuan
awal berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap proses pembelajaran.
Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran
dan mengarahkan hasil-hasil belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung,
pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan materi-materi pelajaran dan
meningkatkan efisiensi penggunaan waktu belajar dan pembelajaran.
d. Menuntun adanya pembaharuan paradigma pendidikan dari
behaviorisme bergeser menuju ke konstruktivisme.
Aliran teori belajar behavioristik dengan tokohnya John Locke
berpandangan bahwa manusia adalah organisme yang pasif, sehingga proses
belajarnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan teori tabularasanya,
John Locke (dalam Wina Sanjaya :2006:113) menganggap bahwa “Manusia itu
seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang
yang menulisnya.” Perumpamaan ini jika dikaitkan dengan proses
pembelajaran akan berlaku pada pembelajaran yang berpusat pada guru
(teacher centered). Di mana kertas putih adalah perumpamaan dari siswa yang
hanya bertindak pasif sebagai penerima informasi dari guru yang berperan
sebagai satu-satunya sumber belajar.
Namun sudah saatnya merubah pandangan/paradigma pendidikan
tersebut. Menurut Jerome Bruner (Benny Ahmad Benyamin:2003:14), “Belajar
adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun pengetahuan baru
berdasarkan pengalaman atau pengalaman yang sudah dimiliki.” Hal ini sesuai
dengan pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa siswa adalah
18
sebagai pusat pembelajaran, siswa diberi kesempatan menggunakan gaya
belajar sendiri dalam belajar dan guru membimbing siswa ke tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi.
Menurut Bell (dalam Ratna Wilis Dahar:1996:84) tentang teori belajar
konstruktivisme, yang mengemukakan bahwa “Belajar di kelas adalah suatu
proses penyempurnaan konsep awal dalam struktur kognitif siswa ke tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi melalui pengarahan, penjelasan dan bimbingan
dari guru sebagai fasilitator dan narasumber. ”Lebih lanjut Bell (dalam Ratna
Wilis Dahar:1996:85) juga menjelaskan prinsip-prinsip konstruktivisme dalam
pembelajaran, yaitu (a) hasil belajar tidak hanya tergantung dari pengalaman
belajar di kelas, tetapi tergantung pula dari pengetahuan siswa sebelumnya, (b)
belajar adalah mengkonstruksi konsep-konsep, (c) mengkonstruksi konsep
adalah proses aktif dalam diri siswa, (d) konsep-konsep yang telah
dikonstruksikan dievaluasi yang selanjutnya konsep tersebut diterima atau
ditolak, (e) siswa yang sesungguhnya paling bertanggung jawab terhadap cara
dan hasil belajar mereka, (f) adanya semacam pola terhadap konsep-konsep
yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.
Selanjutnya Utari Sumarmo (1999:3) mengemukakan bahwa
“Pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan pembelajaran dimana
pengetahuan baru tidak diberikan dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa
membentuk pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkunganya.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode problem solving
dengan sendirinya akan menuntun adanya perubahan paradigma pendidikan
19
dari behaviorisme yang berpusat pada guru (teacher oriented) bergeser menuju
ke konstruktivisme yang berpusat pada siswa (student oriented). Dengan
metode problem solving siswa menjadi lebih aktif berpikir kritis analitis serta
menemukan sendiri jawaban atas masalah yang dihadapinya dengan
menerapkan konsep-konsep berupa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan
dikonstruksikan menjadi pengetahuan yang baru.
2.1.4 Hakikat Masalah dalam Metode Pemecahan Masalah
Secara sekilas mungkin antara metode inkuiri (inquiry) dengan metode
pemecahan masalah (problem solving) ada persamaan yaitu masing-masing ingin
mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi dari segi masalah
yang dihadapi ada perbedaan, yaitu masalah dalam dalam metode inkuiri (inquiry)
bersifat tertutup, artinya jawaban dari masalah itu sudah pasti. Oleh sebab itu
jawaban dari masalah yang dikaji dalam metode inkuiri guru sebenarnya sudah
mengetahui dan memahaminya, namun guru tidak secara langsung tidak
menyampaikannya kepada siswa. Dalam metode inkuiri tugas guru pada dasarnya
menggiring siswa melalui proses tanya jawab pada jawaban yang sebenarnya
sudah pasti. Tujuan yang ingin dicapai oleh metode inkuiri adalah menumbuhkan
keyakinan dalam diri siswa tentang jawaban dari suatu masalah serta menggiring
siswa menyadari apa yang telah didapatkan selama belajar.
Berbeda dengan metode inkuiri (inquiry), masalah dalam metode problem
solving adalah masalah yang bersifat terbuka. Artinya jawaban dari masalah
20
tersebut belum pasti. Setiap siswa bahkan guru dapat mengembangkan
kemungkinan jawaban. Leuw (dalam Sudjimat, 1995:28) mengatakan bahwa
“Belajar pemecahan masalah pada hakikatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai sebelumnya.” Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran dengan
metode problem solving memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi,
berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis untuk menemukan pemecahan
masalah.
Hakikat masalah dalam PBM yang menggunakan metode problem solving
adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi yang diharapkan,
atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan. Kesenjangan
tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan, keluhan, kerisauan, atau
kecemasan. Oleh karena itu, maka materi pelajaran atau topik tidak terbatas pada
materi pelajaran yang bersumber buku saja, akan tetapi juga dapat bersumber dari
peristiwa-peristiwa tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Berikut adalah
kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam pembelajaran dengan metode problem
solving menurut Wina Sanjaya (2006:216).
a. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict issue) yang bisa bersumber dari kehidupan nyata sehari-hari.
b. Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik.
c. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak sehingga terasa manfaatnya.
d. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
21
e. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, bahan diutamakan berasal dari permasalahan yang diajukan siswa.
2.1.5 Prasyarat Pelaksanaan Metode Pembelajaran Problem Solving
Dalam proses belajar mengajar atau pembelajaran tidak ada pegangan yang
pasti tentang cara mendapatkan metode pembelajaran yang paling tepat. Tepat
tidaknya suatu metode baru terbukti dari pretasi belajar siswa. Maksudnya
tidaklah efektif juga menggunakan satu metode pembelajaran untuk segala tujuan
belajar. Namun suatu metode pembelajaran akan berjalan efektif jika memenuhi
syarat-syarat tertentu sesuai dengan karakteristik metode pembelajaran tersebut.
Mengacu pada pendapat Sudjimat (1995), agar proses belajar mengajar dengan
metode problem solving berjalan dengan baik maka harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran dengan menggunakan metode
problem solving bersifat relatif disesuaikan dengan masalah yang akan
dicari pemecahannya dan juga harus dibatasi agar konsentrasi siswa benar-
benar terfokus pada masalah yang dipecahkan.
2) Metode problem solving memerlukan perencanaan agar terstruktur dan
sistematis. Perencanaan ini juga penting untuk mengarahkan pembelajaran
kepada tujuan dan kompetensi yang ingin dicapai siswa. Perencanaan ini
meliputi keseluruhan kegiatan dari awal penyusunan masalah-masalah
sebagai bahan hingga diperolehnya sebuah pengambilan keputusan dari
solusi pemecahan masalah, seperti masalah atau kasus didasarkan atas minat
22
siswa atau lingkungan disekitarnya, menuntut adanya proses pengambilan
keputusan, dan menuntut penggunaan lebih dari satu solusi
3) Sumber belajar tidak hanya berasal dari buku. Sumber belajar dapat
dikembangkan dari masalah-masalah yang berasal dari hasil pegumpulan
kasus-kasus dari koran, majalah, televisi, radio, membuat kasus dari ide dari
lingkungan sekitar, dan situasi kondisi yang muncul spontanitas dari siswa.
4) Manajemen kelas dengan cara membagi kelas ke dalam kelompok-
kelompok kecil, diskusi berkelompok agar lebih efektif dan mendalam
saling tukar ide, debat antara satu siswa dengan siswa yang lainnya.
2.1.6 Langkah Penerapan Metode Pembelajaran Problem Solving
Banyak ahli yang menjelaskan langkah penerapan metode pemecahan
masalah (problem solving), diantaranya John Dewey seorang ahli pendidikan
berkebangsaan Amerika (dalam Wina Sanjaya:2006:217) yaitu: a) merumuskan
masalah, b) menganalisis masalah, c) merumuskan alternatif, d) mengumpulkan
data, e) pengujian alternatif, f) merumuskan rekomendasi pemecahan masalah.
Selanjutnya David Johnson & Johnson mengemukakan ada 5 langkah metode
pemecahan masalah (problem solving) yaitu : a) mendefiniskan masalah, b)
mendiganosis masalah, c) merumuskan alternatif strategi, d) menentukan dan
menerapkan strategi pilihan, dan e) melakukan evaluasi.
Dalam pelaksanaannya metode problem solving tidak mungkin langsung
diterapkan sejak awal dalam PBM tanpa adanya metode ceramah sebagai
pengantar. Hal ini dilakukan oleh guru untuk menjelaskan konsep awal agar siswa
23
memiliki pemahaman konsep yang cukup sebagai pijakan dasar dalam pemecahan
masalah. Berdasarkan beberapa uraian para ahli di atas maka secara umum
metode problem solving bisa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Merumuskan masalah
Siswa dengan bimbingan dari guru menentukan masalah yang akan
dipecahkan. Masalah-masalah yang diangkat adalah kesenjangan (gap) berupa
isu-isu hangat yang memiliki hubungan dengan akuntansi serta harus menarik
untuk dipecahkan. Contoh permasalahan akuntansi misalnya tentang etika profesi
atau kode etik akuntan. Suatu kasus ada akuntan yang mengajak manajer kerja
sama melakukan manipulasi laporan keuangan sehingga perusahaan dianggap
mengalami laba padahal kenyataannya menderita kerugian. Di sinilah terjadi gap
atau kesenjangan yang mana seorang akuntan harus jujur dan bertanggung jawab
dalam setiap tindakan dan kegiatannya sesuai dengan etika profesi atau kode etik
akuntan.
Kemampuan yang diharapkan dari siswa dalam langkah ini adalah siswa
dapat menentukan prioritas masalah. Siswa dapat memanfaatkan pengetahuannya
untuk mengkaji dan memperinci rumusan masalah yang jelas, spesipik, dan dapat
dipecahkan.
2) Mengidentifikasi masalah
Mengidentifikasi masalah memiliki pengertian meninjau masalah secara
kritis dari berbagai sudut pandang. Menentukan sebab-sebab terjadinya masalah,
serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun
faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa
24
dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, hingga pada akhirnya siswa dapat
mengurutkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat dilakukan sesuai dengan
jenis penghambat yang diprediksi.
Kegiatan identifikasi masalah dapat dilakukan dalam dua cara. Cara
pertama adalah guru langsung menyajikan masalah. Dalam cara ini siswa tidak
diminta untuk mengidentifikasi masalah tetapi mereka diminta untuk
mengidentifikasi dimensi dari masalah yang diajukan guru. Cara ini sangat
berguna untuk kelas yang belum memilki pengalaman dalam merumuskan
masalah. Cara kedua adalah siswa sendiri yang merumuskan masalah;guru hanya
memberikan tema untuk siswa mengidentifikasi masalah dan selanjutnya
dilakukan identifikasi dimensi masalah tersebut. Untuk menghindari
kekompleksan paradigma siswa sebaiknya dimensi masalah dibatasi. Bentuk
identifikasi masalah dan identifikasi dimensi masalah dapat berupa tanya jawab
dan diskusi antar siswa.
Selanjutnya agar bisa memfokuskan perhatian pada masalah sebenarnya,
dan bukan pada gejala-gejala yang muncul, maka dalam proses mengidentifikasi
suatu masalah, diperlukan upaya mencari informasi yang diperlukan sebanyak-
banyaknya. Dengan demikian diharapkan, kita bisa mengidentifikasi masalahnya
dengan tepat dan benar. Berikut ini beberapa karakteristik dalam melakukan
identifikasi masalah yang baik (www.musriadimusanif.blogspot.com.html):
1. Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data objektif harus dipisahkan dari persepsi.
2. Semua siswa yang terlibat diperlukan sebagai sumber informasi. 3. Masalah harus dinyatakan secara tegas. Hal ini seringkali dapat meng-
hindarkan kita dari pembuatan definisi yang tidak jelas.
25
4. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian/gap antara harapan yang telah ditetapkan sebelumnya dan kenyataan yang terjadi.
5. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas pihak-pihak yang terkait atau berkepentingan dengan terjadinya masalah itu.
3) Mengumpulkan Data
Data dapat dikumpulkan dari berbagai sumber. Dalam akuntansi sumber
data dapat berasal dari bukti-bukti transaksi yang berupa faktur, kuitansi, nota
debet, nota kredit, memo dan lain sebagainya. Bukti-bukti transaksi inilah yang
dijadikan dasar dalam melakukan pencatatan, pengikhtisaran, dan pelaporan
(siklus akuntansi). Dalam siklus akuntansi, bukti-bukti transaksi adalah syarat
mutlak sebagi bukti tertulis dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan suatu
transaksi. Selain pengumpulan data juga dilakukan pemeriksaan apakah telah
sesuai antara bukti-bukti transaksi dengan pencatatan. Kemampuan yang
diharapkan dari tahapan ini adalah tertanamnya pada diri siswa sifat teliti dan
kehati-hatian dalam kegiatannya sebagai calon akuntan.
4) Menentukan Pilihan Penyelesaian
Menentukan pilihan penyelesaian merupakan akhir dari proses PBM
dengan menggunakan metode problem solving. Kemampuan yang diharapkan dari
tahapan ini adalah kecakapan memilih penyelesaian yang memungkinkan dapat
dilakukan serta dapat memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi
sehubungan dengan keputusan yang dipilihnya, termasuk memperhitungkan
akibat yang akan terjadi pada setiap pilihan. Disinilah akan nampak PBM pada
mata pelajaran Akuntansi yang diharapkan yaitu kemampuan dalam memprediksi
26
(predictive) dan pengambilan keputusan seperti seorang manajer yang ada pada
perusahaan di kehidupan nyata.
2.1.7 Keunggulan dan Kekurangan Metode Problem Solving
Sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran, pemecahan masalah
(problem solving) memiliki beberapa keunggulan (Wina Sanjaya:2006:220),
diantaranya:
a. Pemecahan masalah (problem solving) merupakan metode yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kepuasan tersendiri untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa dalam setiap mata pelajaran yang mereka hadapi
c. Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa agar aktif
d. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan yang mereka kuasai untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan serta mengarahkan cara belajar mandiri
f. Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa menunjukkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran khususnya akuntansi, pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekadar dari guru saja.
g. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan memberikan pengalaman belajar sehingga merangsang minat serta disukai siswa.
h. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
i. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata
j. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk terus-menerus (kontinuitas) belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir atau belajar sepanjang hayat.
Sedangkan beberapa kelemahan metode problem solving antara lain :
27
a. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap oleh para siswa sebagai suatu hal yang merepotkan karena harus melalui tahapan-tahapan.
b. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan maka mereka akan merasa ragu untuk mencoba
c. Keberhasilan metode pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem solving) membutuhkan cukup waktu yang lama untuk persiapan.
d. Karena siswa cenderung untuk bekerja sendiri, mereka mungkin tidak dapat “menemukan” semua hal yang seharusnya mereka dapatkan.
e. Siswa yang menggunakan pemecahan masalah (problem solving) yang tidak tepat mungkin akan membuat kesimpulan yang salah
2.2 Prestasi Belajar
2.2.1 Definisi Prestasi Belajar
Kata prestasi belajar terdiri dari dua unsur kata yaitu prestasi dan belajar.
Dalam kamus bahasa Indonesia, (2001:171) “Prestasi adalah hasil yang telah
dicapai dan yang telah dilakukan atau dikerjakan.” Prestasi juga mengandung
pengertian suatu hasil yang dicapai dari suatu kegiatan/aktivitas yang telah
dilakukan, diciptakan, baik secara kelompok maupun sendiri. Prestasi merupakan
salah satu tujuan seseorang dalam belajar dan sekaligus sebagai motivator
terhadap aktivitas siswa.
Prestasi belajar merupakan salah satu indikator keberhasilan belajar.
Prestasi belajar merupakan aktualisasi dari potensi yang dimilikinya, artinya
belajar merupakan manifestasi dari kemampuan potensi individu. Selanjutnya
Aziz Lukman Praja (1993:36) mengemukakan beberapa pengertian prestasi
belajar sebagai berikut:
1) Prestasi belajar merupakan perubahan perilaku yang dapat diukur yang dilakukan dengan menggunakan tes prestasi (achievement test).
28
2) Prestasi belajar merupakan hasil perbuatan individu itu sendiri bukan hasil dari perbuatan orang lain terhadap individu
3) Prestasi belajar dapat dievaluasi tinggi rendahnya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh penilai atau menurut tolak ukur (standar) yang dicapai oleh kelompok.
4) Prestasi belajar merupakan hasil dari kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, jadi bukan merupakan kebiasaan atau perilaku yang tidak disadari.
Jadi, prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa
yang ditandai dengan perkembangan serta perubahan tingkah laku yang meliputi
pengetahuan, keterampilan maupun sikap pada diri seseorang yang dilakukannya
secara sengaja/sadar melalui proses belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu
dan dapat diukur serta dinyatakan dalam bentuk nilai, hasil tes atau ujian berupa
angka (kuantitatif), huruf, atau kalimat (kualitatif).
2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Aktivitas belajar mengajar tidak selalu dapat berjalan dengan apa yang
diharapkan, kadang-kadang lancar dan kadang-kadang terhambat, kadang-kadang
cepat menangkap apa yang dipelajari dan kadang-kadang sulit untuk
memahaminya. Keanekaragaman karakteristik siswa yang tidak sama
menyebabkan perbedaan tingkah laku antara satu siswa dengan siswa lainnya,
sehingga menyebabkan adanya perbedaan prestasi belajar siswa.
Prestasi belajar dibentuk oleh berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut yang akan menentukan berhasil atau tidak berhasil, tinggi
atau rendah prestasi belajar. Menurut Slameto (1995:54) mengemukakan bahwa :
29
” .................yang mempengaruhi prestasi belajar terdiri atas: faktor intern yaitu
1. Faktor jasmaniah 2. Faktor psikologis 3. Faktor kelelahan
Sedangkan faktor eksternal yaitu 1. Faktor keluarga 2. Faktor sekolah, metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa,
relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, dan keadaan gedung. Sedangkan menurut Ahmadi (1998:72) faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar antara lain sebagi berikut:
a. Faktor internal. Faktor internal ada1ah faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Faktor ini dapat dibagi dalam beberapa bagian, yaitu : 1) Faktor intelegensi adalah kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah
yang didalamnya berpikir perasaan 2) Faktor minat adalah kecenderungan yang mantap dalam subyek untuk
merasa tertarik pada bidang tertentu. 3) Faktor keadaan fisik rnenunjukkan pada tahap pertumbuhan, kesehatan
jasmani, keadaan alat - alat indera dan lain sebagainya. Faktor keadaan psikis menunjuk pada keadaan stabilitas /labilitas mental siswa
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor dan luar diri siswa yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor eksternal dapat dibagi rnenjadi beberapa bagian, yaitu : 1) Faktor guru 2) Faktor lingkungan keluarga 3) Faktor sumber-sumber Belajar berupa media/alat bantu belajar serta
bahan baku penunjang.
2.2.3 Hasil Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan rujukan dan perbandingan peneliti memberikan hasil
penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan metode problem solving,
sebagai berikut:
30
Muhammad Basri (2008) melakukan penelitian dengan judul Efektifitas
Metode Problem Solving Dalam Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa Pada
Mata Pelajaran Sejarah Di Kelas XI IPS SMA N Batang Hari Lampung Timur
Tahun Pelajaran 2007/2008. Metode penelitian menggunakan Penelitian Tindakan
kelas (PTK) .Setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode
problem solving pada setiap siklus I, II dan III diperoleh hasil yang cukup
memuaskan. Efektivitas metode problem solving dalam setiap siklus mengalami
peningkatan. Pada siklus I efektivitas metode problem solving sebesar 52,8%
siklus II sebesar 61,1% dan siklus III sebesar 66,7%.
Ria Indahsari (2005) melakukan penelitian dengan judul Efektifitas
Pembelajaran Metode Ekspositori dan Metode Problem Solving (Pemecahan
Masalah) Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Semester Pada Pokok Bahasan
Stoikometri Di SMA Negeri 9 Semarang. Penelitian menggunakan metode Quasi
Eksperimen dan hasil penelitianya adalah hasil tes diperoleh rata-rata nilai hasil
belajar kelompok ekspositori = 69,77, dan kelompok problem solving = 65,89.
Melalui uji efektvitas diperoleh t data untuk ekspositori = 3,604 dan untuk
problem solving = 3,756, sedangkan t tabel 1,68, jadi kedua metode sama-sama
efektif. Dan melalui uji t tes, diperoleh t data= 2,187, sedangkan t tabel 1,99 pada
taraf signifikan 5%.
2.2.4 Kerangka Pemikiran
Proses Belajar Mengajar merupakan proses interaksi komunikasi aktif
antara siswa dengan guru dalam kegiatan pendidikan. Interaksi disini yaitu saling
31
memberi dan menerima informasi atau pengetahuan antara guru dengan siswa
maupun antara sesama siswa. Dalam petunjuk pelaksanaan kurikulum SMA,
dinyatakan bahwa dalam setiap interaksi belajar mengajar ditandai sejumlah unsur
yaitu 1) Tujuan yang hendak dicapai, 2) Siswa dan guru, 3) Bahan pelajaran, 4)
Metode yang digunakan untuk menciptakan situasi belajar mengajar, dan 5)
Evaluasi atau penilaian yang berfungsi untuk menetapkan seberapa jauh
ketercapaian tujuan.
Suatu Proses Belajar Mengajar dapat berjalan efektif bila seluruh unsur
yang berpengaruh dalam PBM saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan.
Seorang guru hendaknya mampu memberikan motivasi dan bimbingan kepada
siswa agar perubahan tingkah laku yang diharapkan sebagai hasil belajar tercapai
dengan baik, dalam hal ini guru harus benar-benar pandai dalam memilih metode,
pendekatan serta model pembelajaran
Prestasi belajar merupakan salah satu indikator keberhasilan belajar.
Prestasi belajar merupakan aktualisasi dari potensi yang dimilikinya, artinya
belajar merupakan manifestasi dari kemampuan potensi individu. Dalam prestasi
belajar terkandung hasil belajar yang dicapai oleh siswa yang biasanya
diwujudkan dalam bentuk nilai yang diukur dengan menggunakan sistem
penilaian yang telah ditentukan yaitu dengan melakukan evaluasi.
Untuk mencapai prestasi belajar yang memuaskan terdapat banyak faktor
yang mempengaruhi, terkadang bagi sebagian siswa mencapai prestasi belajar
yang memuaskan sangatlah sulit. Dalam belajar ada beberapa faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa baik faktor yamg berasal dari diri siswa
32
seperti kesehatan, kecerdasan, bakat, minat, motivasi maupun faktor yang berasal
dari luar diri siswa seperti lingkungan dan alat instrumen (kurikulum, metode
pembelajaran, sarana dan fasilitas serta guru/pengajar).
Hal ini senada dengan pendapat Muhibbin Syah (1995:106) yang
menyatakan bahwa: ”Secara global faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar dapat kita bedakan menjadi 3 bagian yakni :
1. Faktor intern (dari dalam siswa) yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa.
2. Faktor ekstern (dari luar diri siswa) yakni keadaan kondisi lingkungan siswa.
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning) yakni jenis upaya belajar yang meliputi strategi dan metode yang diinginkan siswa untuk melakukan kegiatan belajar.
Salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor
pendekatan belajar (approach to learning) dari segi metode. Metode mengajar
adalah cara kerja yang teratur, bersistem, dan berpikir baik-baik yang digunakan
guru untuk mencapai maksud dan tujuan pembelajaran. Penggunaan metode
penting dalam proses belajar mengajar agar materi yang disampaikan oleh guru
kepada siswa lebih efektif sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dengan kata lain
metode pembelajaran adalah alat untuk menjembatani penyampaian materi dari
guru kepada siswa.
Dalam PBM, interaksi guru dengan siswa berlangsung dominan sehingga
peran guru sangat penting dan akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Guru
mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberikan pengajaran
dengan baik bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab
untuk melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas untuk membantu proses
perkembangan siswa. Kegiatan guru dalam belajar mengajar perlu diperhatikan.
33
Kegiatan guru yang dimaksud adalah berkaitan dengan metode pembelajaran yang
digunakan sehingga mampu membangkitkan motivasi siswa.
Namun prestasi belajar akan berbeda hasilnya jika seorang guru dalam
proses pembelajarannya tidak memperhatikan metode yang digunakan. Misalnya
saja penggunaan metode tidak disesuaikan dengan jenis bahan/materi yang
diajarkan. Guru hanya menggunakan metode yang itu-itu saja, seperti halnya yang
terjadi pada kegiatan pembelajaran konvensional yang hanya menggunakan
ceramah sebagai metodenya. Di dalam pembelajaran konvensional siswa
bertindak pasif, monoton sehingga kegiatan belajar menjadi kurang menarik.
Berawal dari kegiatan pembelajaran yang kurang menarik menyebabkan siswa
menjadi malas, belajar, tidak ada motivasi dan akhirnya tidak senang mengikuti
pelajaran tersebut. Jika dalam kegiatan belajar mengajar, terdapat unsur paksaan
pada diri siswa maka sudah dipastikan prestasi belajarnya akan rendah. Dengan
kata lain bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar siswa sangat dipengaruhi oleh
ketepatan guru menggunakan metode di dalam proses belajar mengajar. Hal ini
didasarkan pada pendapat Syaiful Bahri Djamarah (1994:78-79) yang
mengungkapkan bahwa : “Penggunaan metode mengajar yang kurang tepat
dengan jenis bahan pelajaran akan menyulitkan anak didik menyerapnya.
Akibatnya, sudah dipastikan prestasi belajar anak didik rendah.” Dan selanjutnya
Slameto (2003:65) juga menyatakan bahwa “Metode mengajar yang tidak baik
akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula.”
Banyak sekali jenis metode pembelajaran yang dapat digunakan dan
divariasikan dalam proses belajar mengajar. Salah satu metode yang diharapkan
34
dapat meningkatkan partisipasi siswa agar lebih aktif dalam kegiatan belajar
mengajar adalah metode pemecahan masalah (problem solving). Metode ini bukan
hanya merupakan metode mengajar, tetapi juga merupakan metode berpikir bagi
siswa, karena dalam metode ini dapat juga menggunakan metode yang lainnya
yang dimulai dari proses berpikir sampai dengan penarikan kesimpulan.
Pemecahan masalah (problem solving) bisa dianggap sebagai suatu proses
pengaplikasian pengetahuan yang dimiliki hingga terbentuk pengetahuan baru.
Ketika metode pemecahan masalah digunakan di dalam proses pembelajaran,
maka penekanannya harus pada siswa yang mempelajari mata pelajaran,
bukannya hanya belajar untuk memecahkan masalah semata. Hal ini begitu
penting karena jika fokusnya hanya mengajarkan kepada siswa sebatas
terpecahkannya masalah tanpa memperhatikan paham tidaknya siswa terhadap
materi yang diajarkan maka mereka hanya mempelajari sedikit pengetahuan atau
sekedar tahu langkah-langkah yang harus diikuti untuk memecahkan masalah
tertentu. Ini bukanlah cara yang efektif dalam membantu siswa belajar, karena
belajar adalah proses pengalaman dan tidak terbentuk secara instan. Hal ini sesuai
dengan pendapat para ahli yaitu:
Darsono dkk (dalam Utari Sumarmo:1994:44), “Belajar adalah suatu tingkah laku atau kegiatan dalam rangka mengembangkan diri baik dalam aspek kognitif, sikap maupun psikomotorik.” Dalam kamus Bahasa Indonesia (2001:67) disebutkan bahwa: Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Belajar itu bukan hanya menghafal dan mengingat saja, melainkan berinteraksi dengan lingkungannya dan merupakan suatu proses yang ditandai dengan perubahan pada diri seseorang, dengan tujuan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, daya penerimaannya dan aspek-aspek lain yang ada pada individu.
35
Untuk itulah sudah seharusnya jika pemecahan masalah (problem solving)
dipergunakan sebagai sebuah metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar
untuk membuat siswa lebih paham lagi secara mendalam terhadap materi
pembelajaran yang diberikan.
Metode pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) dapat
mempengaruhi prestasi belajar karena dalam metode ini siswa dituntut untuk
belajar aktif berpikir ilmiah dan mandiri untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi, sehingga sesuai dengan tujuan pembelajaran SMA yang memang
lebih diarahkan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yakni jenjang
perguruan tinggi melalui penanaman pemahaman konsep yang lebih mendalam.
Dalam metode pemecahan masalah, siswa dituntut tidak hanya sekedar mengingat
atau menghafal saja tapi lebih memahami dan menguasai konsep-konsep,
sehingga jika suatu saat permasalahan yang dijadikan bahan ajar tersebut muncul
kembali siswa tidak akan mengalami kesulitan yang berarti.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat disusun suatu paradigma
penelitian. Menurut Sugiyono (2006:6) yang dimaksud dengan paradigma
penelitian adalah:
“Pola pikir yang menunjukan hubungan antara variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis.”
Gambar 2.1 : Paradigma Penelitian
Penggunaan Metode
Problem Solving
Prestasi Belajar
Siswa
36
Dalam penelitian ini perlu adanya asumsi. Menurut Komarudin (dalam
Agus Baskara 2008: 40) asumsi adalah:
Sesuatu yang dianggap tidak mempengaruhi atau dianggap konstan. Asumsi menetapkan faktor yang diawasi. Asumsi dapat berhubungan dengan syarat-syarat, kondisi-kondisi dan tujuan. Asumsi memberikan hakekat, bentuk, dan arah argumentasi. Berdasarkan pengertian tersebut peneliti merumuskan asumsi sebagai
berikut:
1) Kondisi awal antara kelas yang menggunakan metode pembelajaran
problem solving dengan kelas yang menggunakan metode konvensional
(ceramah) memiliki karakteristik yang relatif sama atau tidak memiliki
perbedaan yang signifikan (equivalent).
2) Lingkungan sekolah dianggap kondusif terhadap pengembangan metode
pembelajaran.
3) Terdapat fasilitas yang mendukung untuk diselenggarakannya metode
problem solving
4) Guru memahami secara metodologis dan praktis metode pembelajaran
problem solving
5) Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada prestasi belajar, seperti berupa
kemampuan siswa, motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan
kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan fsikis,
kompetensi guru, sumber belajar, dan pengaruh lingkungan pergaulan
siswa dianggap konstan.
37
2.2.5 Hipotesis
Menurut Suharsimi Arikunto (1987) mengartikan bahwa “Hipotesis
sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian
sampai terbukti kebenarannya melalui data yang terkumpul.”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh baik
positif atau negatif antara metode problem solving terhadap prestasi belajar siswa.
Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini adalah “ Penggunaan metode
pemecahan masalah (problem solving) memiliki pengaruh positif terhadap prestasi
belajar siswa.”