s pk 0704396 chapter2 -...

75
21 manusia untuk memilih perbuatan dan sikap mana yang baik dan buruk, dapat pula memilih ana yang benar dan mana yang salah. Karena itu manusia dapat memilih dan menentukan sikap dan tingkah laku mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah dalam pembentukana watak pribadi seseorang. Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya, dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota. Santrock (2003 : 441) menyatakan bahwa kunci dalam memahami konsep perkembangan moral adalah internalisasi perubahan perkembangan dari perilaku yang kontrol secara eksternal menjadi perilaku yang kontrol oleh standar dan prinsip internal. Remaja dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau dalam penalaran moralnya serta pada perilakunya yang baik, benar, dan sesuai dengan etika (Selly Tikan,1999). Artinya ada kesatuan antara penalaran moral dengan perilaku moralnya. Dengan kata lain, bermanfaat sekali suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada penalaran moral, maka prilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral.

Upload: phamhuong

Post on 18-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

21

manusia untuk memilih perbuatan dan sikap mana yang baik dan buruk, dapat pula memilih ana yang benar dan mana yang salah. Karena itu manusia dapat memilih dan menentukan sikap dan tingkah laku mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah dalam pembentukana watak pribadi seseorang.

Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok

sosial. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan yang telah

menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya, dan yang menentukan pola

perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota. Santrock (2003 : 441) menyatakan

bahwa kunci dalam memahami konsep perkembangan moral adalah internalisasi

perubahan perkembangan dari perilaku yang kontrol secara eksternal menjadi

perilaku yang kontrol oleh standar dan prinsip internal.

Remaja dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu

dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak

boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral

dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau dalam penalaran moralnya

serta pada perilakunya yang baik, benar, dan sesuai dengan etika (Selly

Tikan,1999). Artinya ada kesatuan antara penalaran moral dengan perilaku

moralnya. Dengan kata lain, bermanfaat sekali suatu perilaku moral terhadap nilai

kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada

penalaran moral, maka prilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku

moral yang mengandung nilai moral.

Page 2: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

22

Dengan demikian suatu perilaku moral dianggap memiliki nilai moral jika

perilaku tersebut dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari

pemikiran atau penalaran moral yang bersifat otonom (Kohlberg, 1971).

Menurut Blasi (1980) :

“Perilaku moral akan begitu sempit jika hanya dibatasi pada perilaku moral yang dapat dilihat saja. Perilaku moral meliputi hal-hal yang tidak dapat dilihat. Penalaran moral untuk membuat suatu keputusan dalam melakukan suatu tindakan moral adalah perilaku moral yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditelusuri dan diukur.”

Menurut Kohlberg (1977) penalaran atau pemikiran moral merupakan

faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Oleh karena itu, untuk

menemukan perilaku moral yang sebenarnya tidak sekedar mengamati perilaku

moral yang tampak, tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari

keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat penalaran moral

akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut.

Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran moral, rasionalitas

moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan

keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Ini sering kali disebut dengan penalaran

moral atau pemikiran moral, atau pertimbangan moral, yang merupakan segi

kognitif dari nilai moral. Tindakan moral atau kemampuan untuk melakukan

keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku-perilaku nyata. Tindakan-

tindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam

kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Lingkungan sosial yang kondusif untuk

memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran

Page 3: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

23

moral. Ketiga unsur tersebut yaitu: penalaran, perasaan dan tindakan moral harus

ada dan dikembangkan dalam pendidikan moral.

Walupun Kohlberg menyatakan bahwa perkembangan moral merupakan

suatu yang bersifat universal, tidak tergantung pada kebudayaan (Mischel,

1971;Cremers, 1995 C) dan hal tersebut telah dibuktikan melalui penelitian pada

beberapa negara, namun ia juga mencatat bahwa faktor kebudayaan mempunyai

peran penting dalam perkembangan moral, yaitu pada tempo atau kecepatan

perkembangannya. Kebudayaan akan mempengaruhi cepat lambatnya pencapaian

tahap-tahap perkembangan moral dan juga mempengaruhi batas tahap

perkembangan yang dicapai. Dengan kata lain, bahwa individu yang mempunyai

latar belakang budaya tertentu dapat berbeda perkembangan moralnya dengan

individu lain yang berasal dari kebudayaan lain (White, dkk. 1978) atau

perkembangan moral dipengaruhi oleh faktor kebudayaan (Mantani dalam

Pratidarmanastiti, 1991).

1. Komponen-komponen utama moralitas

Menurut William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz ( Moralitas, perilaku

moral, dan perkembangan moral : 37) dalam moralitas terdapat 4 komponen

utama diantaranya :

a. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral

(mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan

bagaimana masing-masing pelaku dalam suatu situasi tertentu terpengaruh

oleh berbagai tindakan tertentu,

Page 4: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

24

b. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang,

merumuskan suatu rencana tindakan yamg merujuk kepada suatu standar

moral atau sustu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran dan keadilan,

pertimbangan moral, penerapan nilai moral sosial);

c. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan

bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau yang

bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan

dilakukan seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model

integrasi nilai, perilaku mempertahankan diri)

d. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang

berbobot moral (mencakup “ego-strength” dan proses pengaturan diri)

Komponen pertama menafsirkan tentang situasi dan mambayangkan

rangkaian tindakan yang mungkin timbul serta menelusuri kemungkinan

konsekuensinya, artinya seberapa jauh tindakan-tindakan tersebut mampu

mnelusuri perasaan sejahtera yang mungkin timbul pada mereka yang terlibat

dalam situasi yang bersangkutan.

Menurut William M. Kurtines dan Jacob L. Gerwitz ( Moralitas, perilaku

moral, dan perkembangan moral : 37) Ada empat temuan dari penelitian psikologi

yang berkaitan dengan komponen pertama ini :

a. Temuan pertama menyatakan bahwa banyak orang merasa sangat sulit

untuk menafsirkan situasi yang sangat sederhana sekalipun. Penelitian

menganai bagaimana reaksi seseorang yang melihat sustu peristiwa gawat,

manunjukan kesulitan yang dirasakan orang dalam menafsirkan situasi itu.

Page 5: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

25

Misalnya penelitian yang dilakukan Staub (1978), menjelaskan bahwa

perilaku menolong bertautan dengan ambiguitas atau sifat ganda dari situasi

yang bersangkutan; apabila seseorang tidak menagkap secara jelas apa yang

sebenarnya terjadi, maka ia tidak akan turun tangan untuk memberikan

pertolongan.

b. Penelitian kedua menunjukan, bahwa terdapat perbedaan yang menonjol

diantara berbagai orang dalam kepekaannya, berkaitan dengan kebutuhan

dan kesejahteraan orang lain. Hal ini misalnya terungkap dalam penelitian

yang dilakukan oleh Schwartz (1997) dalam variabel yang disebutkannya

“kesadaran akan konsekuensi”.

c. Penelitian ketiga menyikapkan bahwa kemampuan untuk menyikap

kebutuhan atau kemauan orang lain serta bagaimana tindakan seseorang

mungkin mempengaruhi orang lain, merupakan suatu fenomena yang

berkembang; artinya bahwa dengan bertambah usianya akan dapat lebih

memahami orang lain. Adanya pemunculan bidang “kognisi sosial” dalam

penelitian tersebut cukup relevan dan terdokumentasi.

d. Temuan keempat dari berbagai penelitian itu mengungkapkan bahwa situasi

sosial dapat melahirkan berbagai perasaan yang cukup kuat, bahkan

sebelum muncul secara jelas dalam kognisi yang bersangkutan. Suatu

perasaan dapat menjadi sangat aktif sebelum orang yang bersangkutan

menyadari situasi yang dialaminya itu (Zajonc, 1980). Misalnya Hoffman

(1977) menekankan peranan empati dalam kaitan dengan moralitas dan ia

memandang lahirnya empati sebagai proses primer yang tidak memerlukan

Page 6: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

26

perantara kognisi yang serba kompleks. Pandangan Hoffman ini terutama

menarik perhatian dalam hal bagaimana respons primer yang berupa afeksi

ini bertautan serta dimodifikasi oleh perkembangan kognisi sehingga dapat

melahirkan empati dalam bentuk yang lebih kompleks. Akan tetapi yang

menjadi persoalan pokok di sini bahwa afeksi atau perasaan yang timbul itu

merupakan bagian dari apa yang sebenarnya harus ditafsirkan dalam situasi

yang bersangkutan, dan karena itu merupakan bagian dari apa yang

diproses.

Dalam komponen kedua di dalamnya mencakup persoalan penentuan

perangkat tindakan manakah yang paling memenuhi, moral yang ideal, apa yang

seharusnya dilakukan dalam situasi yang bersangkutan. Ada dua tradisi penelitian

pokok yang memberikan deskripsi mekanisme yang tercakup dalam dua

komponen diantaranya adalah :

a. Tradisi pertama berasal dari postulat psikologi sosial yang menyatakan

bahwa norma-norma sosial menentukan bagaimana suatu perangkat

tindakan itu hendaknya didefinisikan. Norma-norma sosial itu tersikap

dalam bentuk “dalam suatu situasi dengan keadaan X, seseorang harus

melakukan Y. Ada berbagai norma sosial yang dijadikan sebagai postulat :

pertanggungjawaban sosial, keadilan, perasaan timbal balik, dan norma

pemberian. Sebagai contoh, norma pertanggungjawaban sosial (Berkowitz

dan Daniels, 1963) menuntut bahwa apabila Anda menangkap kebutuhan

yang dirasakan orang lain sedang ia tergantung pada Anda, maka Anda

berkewajiban untuk menolongnya. Menurut ungkapan norma sosial,

Page 7: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

27

manakala seseorang dihadapkan pada suatu masalah moral, maka ia akan

menafsirkan situasi tersebut dan dalam tafsiran itu, ia akan menagkap suatu

konfigurasi keadaan selaras dengan suatu konfigurasi dalam selaras dengan

suatu norma sosial tertentu. Berkenaan dengan keadaan itu, maka

“berlakulah” suatu norma sosial. Demikianlah pendekatan “norma sosial”

itu menjelaskan bagaimana seseorang menentukan perangkat tindakan mana

yang hendak diambil dalam situasi tertentu. Sejalan dengan pendekatan

norma sosial, perkembangan moral hanya merupakan suatu cara bagaimana

mendapatkan sejumlah norma sosial tertentu, dan bagaimana norma-norma

itu menjadi aktif dengan situasi khusus serta bagaimana pemunculannya.

b. Tradisi penelitian pokok kedua yang bersangkutan dengan komponen dua

ialah penelitian perkembangan kognisi, yang ternyata pendekatan “norma

sosial” yang memusatkan perhatiannya dengan cara kognisi memfokuskan

pada peningkatan pemahaman akan tujuan, fungsi serta esensi penataan

sosial. Pusat perhatiannya tertuju pada alasan pemantapan penataan

bersama, khususnya bagaimana masing-masing peserta dalam perbuatan

bersama itu dapat bekerjasama dan saling menguntungkan.

Komponen ketiga yaitu tentang persoalan pengambilan keputusan

mengenai apa saja yang sebenarnya diharapkan seseorang dengan menyeleksi

berbagai perangkat nilai yang dihadapi serentak. Menarik perhatian bahwa

seseorang mungkin menyadari kemungkinan apa yang dapat timbul sebagai hasil

rangkaian perbuatannya, dan masing-masing perbuatannya itu mewakili perangkat

nilai dan motif tertentu. Dan tidak jarang pula bahwa suatu nilai yang tidak sejalan

Page 8: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

28

dengan kaidah moral, dengan demikian kuat dan menarik, sehingga orang

memilih-milih apakah ia hendak melakukan perangkat tindakan yang tetap

menaati citra moralnya atau memilih untuk mengadakan komfromi dengan nilai

tersebut. Misalkan seseorag menyadari bahwa sejumlah perangkat tindakan dalam

suatu situasi tertentu, maka masing-masing yang membawa kapada jenis hasil

atau tujuan yang berbeda, persoalan mengapa orang memilih alternatif yang

berbobot moral, lebih-lebih apabila tindakan tersebut bersangkutan dengan

penghalusan perhatian seseorang atau ketahanan menghadapi tekanan, apakah

yang memotivasi perilaku moral itu. Di bawah ini diajukan beberapa teori tentang

motivasi moral secara singkat, diantaranya :

a. Orang berlaku secara moral, karena evolusi telah menelorkan sikap

altruisme ke dalam gen keturunan kita (misalnya, E. Willson, 1975).

b. “kesadaran telah membuat kita jadi pengecut” itu adalah sifat-sifat pemalu,

rasa bersalah, perasaan negatif yang telah dikondisinisasikan, dan ketakutan

terhadap Tuhan (misalnya, Aronfreed, 1968; 1976).

c. Tidak ada motivasi khusus untuk menjadi manusia yang bermoral; manusia

hanya memberikan respons terhadap berbagai penguatan (reinforcement)

atau kesempatan untuk meniru serta mempelajari prilaku sosial (Bandura,

1997, Goldiamond, 1968).

d. Pemahaman sosial tentang bagaimana kebersamaan berfungsi dan

pengorbanan orang untuk memungkinkan hal tersebut terlaksana, menuntun

kepada motivasi moral (misalnya, Dewey, 1959; Piaget, 1932/1965;

“pencerahan liberal”)

Page 9: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

29

e. Motivasi moral dijabarkan dari rasa kagum atau takut dan mengabdikan diri

kepada sesuatu yang dirasakan atau dipandang lebih besar dari dirinya

sendiri, mengidentifikasikan diri dengan sikap berkorban atau dedikasi

terhadap negara dan masyarakat, ataupun sikap hormat dan memuja kepada

yang dipandang suci (misalnya Durkheim, 1992/1961; Erikson, 1958)

f. Empati merupakan dasar dari motivasi altruistik (misalnya, Hoffman 1977)

g. Pengalaman hidup dalam keadilan dan masyarakat yang menunjukan

kepedulian, dapat membewa kita kepada pemahaman tentang kemungkinan

timbulnya masyarakat yang kooperatif dan hal ini selanjutnya dapat

membawa kepada kesetiaan terhadap moral (misalnya, Rawis, 1971)

h. Yang memotivasi tindakan moral ini adalah kepedulian terhadap integrasi

diri dan integritas orang sebagai suatu perantara moral.

Kedelapan teori tentang motivasi moral ini menunjukan terdapatnya

keragaman pandangan mengenai masalah ini diantara berbagai ahli.

Komponen keempat yaitu mengambil keputusan serta

mengimplementasikan suatu rencana kegiatan mencakup persoalan

memperkirakan urutan langkah atau tindakan yang kongkret yang harus diambil,

memperkirakan bagaimana mengatasi hambatan serta kesulitan yang tidak

terduga, menghindarkan rasa jemu dan frustasi, menolak penyimpangan dan

berbagai bujukan, serta tidak melepaskan diri dari wawasan dan tujuan. Para

psikolog ada kalanya merujuk kepada anggapan bahwa hal-hal tersebut diatas

mencakup persoalan ego-strength atau keterampilan mengetur diri. Penelitian

mengenai hal ini mencakup penelitian Mischel dan Mischel (1976), yang

Page 10: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

30

termasuk memiliki anggapan seperti itu menunjukan tentang adanya perbedaan

individual dalam ego-strength dan penurunan dalam keputusan serta keterampilan

pengaturan diri. Krebs (catatan 1) melaporkan bahwa orang-orang yang tergolong

kepada tahapan 4 dari pola Kohlberg, yang termasuk tinggi ukuran ego-strength

nya, menunjukkan kurang perilaku serongnya dibanding dengan orang-orang yang

tergolong ke dalam tahapan 4 yang termasuk rendah ego-strength nya, hal ini

menimbulkan dugaan bahwa mereka tinggi ego-strength nya itu memiliki pula

rasa bersalah yang lebih kuat, sedang mereka yang tergolong kepada tahapan 4

dengan ego-strength yang rendah mempunyai pula rasa bersalah tersebut, akan

tetapi ia tidak menuangkannya ke dalam tindakan.

Berbagai jalur penelitian mengandung juga anggapan bahwa suatu kekuatan

batin tertentu, suatu kemampuan untuk memaksakan diri bertindak, merupakan

suatu faktor dari lahirnya perilaku moral.

2. Kesadaran Moral dan Unsur Kesadaran Moral

Kehidupan manusia dari waktu ke waktu tidak terlepas dari turan –aturan

yang tentunya mengikat, untuk hidup sesuai dengan aturan tersebut manusia

memerlukan kesadaran hakiki yang melandasi setiap sikap dan gerak dalam

kehidupanny. Seperti halnya dalam kehidupan di masyarakat, dimana norma-

norma atau aturan moral harus dijalankan maka manusia dapat dikatakan bermoral

jika manusia tersebut memiliki kesadaran moral.

Kesadaran merupakan suatu hal yang bersifat fundamental, menyangkut

hati nurani manusia. Pada prinsipnya manusia memiliki kesadaran yang berbeda-

bea, karena kesadaran yang dimilikinya berdasarkan pada tingkat kematangan

Page 11: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

31

manusia itu sendiri. Beberapa sarjana mengamukakan sejumlah tingkat kesadaran

yang dimiliki manusia. Seperti yang diutarakan oleh N.Y Bull (dalam A. Kosasih

Djahiri, 1985:24) menunjukan tingkat kesadaran sebagai berikut :

a. Kesadaran yang bersifat Anomus, kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasan orientasinya. Tentunya ini yang paling rendah dan sangat labil.

b. Yang bersifat Heteronomus, yaitu kesadaran/kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi/motivasi yang beraneka ragan atau berganti-ganti. Inipun kurang mantap sebab mudah berubah oleh kesadaran atau suasana.

c. Kepatuhan yang bersifat Sosionomus, yaitu yang berorientasi kepada kiprah umum karena khalayak ramai.

d. Kesadaran yang bersifat Autonomus, adalah terbaik karena didasari oleh konsep atau landasan yang ada dalam diri sendiri.

Keempat tingkat kesadaran tersebut jika kita pahami ari sifat dan

pengertiannya maka dapat dibedakan berdasarkan tingkat kematangan individu.

Tentunya dalam hal ini kesadaran bersifat Autonomus merupakan tingkatan yang

paling tinggi dan baik karena individu melakukan tindakan dalam kehidupannya

didasarkan atas kesadaran yang datang dari dirinya sendiri. Jika dilihat dari segi

kesadaran moral, maka kesadaran yang bersifat Autonomus inilah yang dikatakan

sebagai kesadaran moral.

Sementara itu A. Kosasih Djahiri (1985:25) mengemukakan bahwa

beberapa sarjana membagi tingkat kesadaran menjadi tujuh tingkatan, yaitu

sebagai berikut:

a. Patuh/sadar karena takut pada orang/kekuasaan/paksaan (Authority Oriented)

b. Patuh karena ingin dipuji (Good boy-Nice girl) c. Patuh karena kiprah umum/masyarakat (Contract Legality) d. Taat atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban (Law &

Order Oriented) e. Taat atas dasar keuntungan dan kepentingan (Utilitis=Hedonis)

Page 12: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

32

f. Taat karena hal tersebut memuaskan baginya g. Patuh karena dasar prinsi ethis yang layak universal (Universal Ethical

Priciple)

Tingkatan kesadaran tersebut mendeskripsikan bahwa kesadaran

didasarkan pada beberapa situasai dimana individu berada yang tentunya menjadi

motivasi untuk mengambil tindakan moral yang harus dilakukan.

Kesadaran moral pada dasarnya dapat dikatakan sebagai hati nurani yang

dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah conscience diambil dari Bahasa

Yunani yang merupakan terjemahan dari Suneidesis yang ditujukan kepada

kesadaran akan perbuatannya sendiri.

Selain dikatakan sebagai hatu nurani, kesadaran dapat dikataan pula

sebagai suara hati. Kesadaran moral/suara hati menurut F. Magnis. S (1990:53)

adalah kesadaran moral kita dalam situasai kongkret, dimana secara moral kita

akirnya harus memutukan sendiri apa yang akan kita lakukan.

Dalam hal ini kesadaran moral/suara hati menjadi tolaik ukur kesadaran

individu, dimana individu dapat dinilai bermoral. Dengan kata lain manusia yang

memiliki kesadaran moral adalah manusia yang yang menggunakan suara hatinya

dalam melakukan setiap tindakan dengan menggunakan keyakinan hati tanpa

adanya motivasi untuk mendapat pujian dari orang lain. Pada dasarnya suara hati

memuat anasir positif, dimana seseorang dituntuk untuk selalu berbuat baik, jujur,

wajar, dan adil serta semua yang bersifat baik. Suara hati memberikan suatu

penilaian moral seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa apa yang

dilakukan seseorang mencerminkan suara hatinya, sehingga menentukan pula

sejauhmana kesadaran moral yang dimilikinya.

Page 13: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

33

Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh F. Magnis. Suseno,

seorang pakar yaitu W. Poespoprodjo (1999:242) mengartikan kesadaran moral

sebagai hati nurani. Menurutnya hatu nurani adalah intelek sendiri dalam suatu

fungsi istimewa, yaitu fungsi memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatan-

perbuatan individu kita sendiri. Hati nurani adalah suatu fungsi intelek.

Fungsi intelek sendiri mengandung arti bahwa dalam mengambil suatu

keputusan atau tindakan moral yang berdasarkan kesadaran/hati nurani, harus

bertolak dari pemikiran atau akal. Moral yang berkembang di masyarakat harus

diikuti oleh kesadaran moral setiap individu dalam menjalankan kehidupan yang

berdasar atas norma dan moral yang berkembang di masyarakat. Hati nurani

(kesadaran moral) dapat diberi batasan sebagai keputuan praktis akal budi yang

mengatakan bahwa suatu perbuatan individual adalah baik yang harus dikerjakan

atau suatu perbuatan buruk maka harus dihindari.

Tiga hal tercakup dalam hati nurani adalah pertama intelek sebagai

kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan

individual yang benar dan salah. Kedua, proses pemikiran yang ditempuh intelek

guna mencapai keputusan semacam itu. Ketoga, keputusannya sendiri yang

merupakan kesimpulan proses pemikiran ini. Hati nurani sebenarnya hanya

mengatakan yang paling akhir itu, tetapi memuat kedua hal lainnya diatas. Maka

hati nurani bisa berati tiga hal tersebut diatas (W Poesporodjo, 1999:243).

Pada prinsipnya hati nurani dengan kenyataan menimbulkan pertentangan

dalam individu. Dalam kehidupan manusia kebebasan sosial dibatasi oleh

masyarakat yang disatu sisi dibatasi ula oleh moral, sehingga kesadaran moral

Page 14: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

34

diperlukan sebagai jembatan bagi dua kenyataan yang bertolak belakang serta

untuk mempertanggungjawabkan sikap dan tindakan setiap individu.

Pembentukan kesadaran moral sangatlah penting karena awal pembelajaran bagi

setiap individu untuk hidup (berinteraksi) di masyarakat. Hal ini sesuai dengan

pendapat A. Charris Zubair (1990:51) bahwa:

Kesadaran moral merupakan faktor pnting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula tindakan akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya akan selalu direalisasikan sebagaimana seharusnya, kapan saja dan dimana saja.

Perkembangan kesadaran moral setidaknya dilakukan pada tiga lemabaga

normativ. Keluarga merupakan gerbang pertama bagi pembentukan kesadaran

moral setiap individu. Menurut Frans Magnis Suseno (1990:49-50) didalam

keluarga untuk pertama kalinya kita belajar apa yang boleh dan apa yang tidak

boleh dilakukan, apa yang harus dianggap baik dan apayang tidak baik. Yang

kedua adalah agama yang menurut kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu dan

sikap-sikap amat dasariah bagi individu dan masyarakat. Sedangkan yang ketiga

adalah Negara yang menetapkan norma-norma hukum dan peraturan –peraturan

yang wajib ditaati.

Menurut Frans Magnis (dalam Endang Soemantri 1993:31) menyebut tiga

unsur kesadaran moral yaitu:

a. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan moral, melakukan tindakan moral itu ada dan terjadi di dalam setiap hati sanubari manusia.

b. Rasional, karena beraku umum, lagipula terbuka bagi pembenaran dan pengangkalan.

Page 15: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

35

c. Kebebasan, atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk menaatinya. Bebas dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.

Sedangkan Poedjawijatna (dalam Endang S. 1993:31) berpendapat kata

hati (istilah lain bagi kesadaran moral) bertindak sebagai berikut:

a. Index atau petunjuk Memberi petunjuk tentang baik buruknya suatu tidakan yang mungkin akan dilakukan seseorang.

b. Iudex atau hakim Sesudah tindakan dilakukan, kata hati menentukan baik buruknya tindakan.

c. Vindex atau menghukum Jika ternyata tindakan itu buruk, maka dikatakan dengan tegas dan berulangkali bahwa buruklah itu.

Sementara Prof. Notonegoro (dalam Endang S. 1993:32) menguraikan

unsur kesadaran moral menjadi dua bagian yaitu:

a. Sebelum Sebelum melakukan tindakan, kata hai sudah memutuskan suatu diantara empat hal, yaitu memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan atau membiarkan.

b. Sesudah Sesudah melakukan tindakan, bila bermoral diberi penghargaan, bila tidak bermoral dicela atau dihukum.

Vernon J Bourke (dalam A. H. Zubair, 1990:57) menampilkan bagan

tentang petunjuk rasional mengenai proses penalaran praktis dalam tindakan

manusia yaitu pada tahap conscience (kesadaran kata hati), tahap mana

merupakan prinsip keempat dari norma dasar bagi pertimbangan moral, dilihat

atas kedudukan akal manusia di dalam konteks semesta lainnya, yaitu dalam

urutan jenjang mahluk alami yang paling rendah sampai pda suatu yang tertinggi,

Page 16: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

36

dari mahluk alami sampai akal abadi Tuhan. Dengan melihat bagan tersebut,

ternyata kesadaran mora memuat adanya kewajiban, rasional, objektif dan adanya

kebebasan.

Dari ketiga pendapat diatas dapat ditari kesimpulan bahwa kesadaran moral

lahir dari jiwa setiap individu dimana setiap tindakan yang bermoral atau tidak

ditentukan oleh hati nurani, maka tindakan yang bermoral akan muncul apabila

manusia sebagai mahluk individu memiliki kesadaran moral untuk melakukan

tindakan tersebut. Selain memiliki kesadaran moral, individu harus pula memiliki

rasa empati dalam dirinya. Karena dengan adanya rasa empati, maka individu

dapat mengontrol tindakannya sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

BAGAN

Skema Kesadaran Moral Venon J Burke

Page 17: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

37

3. Perkembangan Moralitas

Pada dasarnya perkembangan moral di dominasi oleh perilaku prososial yaitu

suatu perilaku yang positif, perilaku yang menguntungkan orang lain. (Wiliam M.

Kurtines dan Jacob. L.G, 1992:677). Perkembangan moral manusia terjadi melalui

bberapa tahapan, tahapan perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg

(dalam Ceppy.H, 1995:231) dibagi kedalam tiga tahapan yaitu:

a. Tingkat Pra Konvensional, pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini inti dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan). Terdapat dua tahap pada tingkat ini yaitu : Tahap 1 orientasi hukuman dan kepatuhan Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai-nilai manusiawi dari akibat tersebut. Tahap II orientasi relativis instrumental Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan dipasar terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis.

b. Tingkat Konvensional, pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan

keluarga, kelompok atau bangsa dan dipandang sebagai al yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang segara dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib itu serta mengidentifikaskan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat ini mempunyai suatu harapan yaitu: Tahap III : orientasi keepakata antara pribadi atau orientasi anak manis dimana perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui mereka. Tahap IV : orientasi hukum dan ketertiban Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan

Page 18: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

38

kewajiban sendiri. Menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri .

c. Tingkat pasca konvensional, otonom atau yang berlandaskan prinsip.

Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula identifikasi individu itu sendiri. Ada dua tahap pada tingkatan ini yaitu: Tahap V : orintasi kontak sosial legalitas Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan apa yang telah disepakati. Tahap VI : orientasi prinsip etika universal Hak ditentukan oleh keputusan suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universal, konsistensi dan logis.

Dengan teori ini terlihat baha kohlberg lebih menitikberatkan pada tingkat

kognitif individu akan mempengaruhi pada kematangan moral. Hal ini didasarkan

bahwa perkembangan moral melalui tingkat kognitif berjaln tahap demi tahap.

Sedangkan tingkah laku individu tidak akan mempengaruhi perkembangan moral

individu. Bebeda halnya dengan Piaget yang lebih menitikberatkan perkembangan

pertimbangan moral pada usia permulaan. Menurut Piaget (Cheppy Haricahyono,

1995:266) ada dua tahapan yang harus dilewati setiap individu yaitu:

a. Heteronomus atau realisme moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap kompeten untuk itu.

b. Autonomous Morality atau indenpendensi moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran dan perlunya memodifikasi aturan-aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

Adapun tahap perkembangan moral menurut Piaget tersusun berdasarkan

usia-usia permulaan anak (dalam Ceppy H. 1995:266) :

Page 19: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

39

a. Tahap pertama Anak yang paling muda daru usia kira-kira 0-2 tahun. Dalam usia ini tidak ada aturan yang mengendalikan aktivitas mereka, semata-mata hanyalah aktivitas motorik yang tidak dikendalikan oleh tujuan akal manapun. Jadi dari segi pelaksanaan peraturan kita dapati bahwa pada tahapan ini hanyalah aktivitas motorik dan tidak ada kesadaran akan peraturan yang harus diataati.

b. Tahap kedua Antara usia 2-6 tahun dia mulai menirukan tata cara yang diamatinya. Sekarang dia sadar bahwa ada aturan-aturan yang mengatur kegiatan ini, dan walaupun pengetahuannya mengenai aturan ini masih sangat kurang lengkap. Ia menganggap bahwa aturan suci dan tidak dapat diganggu gugat. Pelaksanaan peraturannya bersifat egosentris artinya dia menirukan apa yang dilihatnya untuk tujuan sendiri, tanpa sadar bahwa ia terpisah dari permainan itu sebagai suatu aktivitas bersama.

c. Tahap ketiga Antara umur 7-10 tahun, anak-anak beralih dari kesenangan psikomotorik murni ke arah kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan teman-temannya sesuai dengan peraturan yang disetujui. Anak-anak yang lebih muda dalam tahap ini masih dipengaruhi oleh kepatuhan heteronomy kepada peraturan, tetapi berbeda dari tahap egisentris peraturan di sini dianggap esensial untuk mengatur permainan sebagai suatu aktivitas sosial.

Teori Piaget ini didasarkan pada kesadaran manusia untuk memenuhi

peraturan dan pelaksanaan peraturan tersebut. Hal ini disesuaikan dengan tingkat

umur seta orientasi masing-masing individu. Orientasi tersebut berkembang dari

sikap heteronom (bahwa peraturan berasal dari luar seseorang) ke sikap yang

otonom (bahwa peraturan ditentukan pula ole subjek yang bersangkutan).

Dengan demikian bagi seorang anak semua peraturan adalah sama,

sehingga perkembangan rasa hormat pada peraturan moral sama dengan

perkembangan rasa hormat pada peraturan bemain anak-anak. Dari kedua teori

diatas, tahap perkembangan moral menuju kematangan moral ditentukan oleh

faktor usia serta pendidikan moral di lingkungan keluarga.

Page 20: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

40

4. Pendidikan Moral

Pendidikan meupakan suatu dimensi dalam kehidupan manusia yang

sangat penting, dikatakan penting karena dimensi tersebut mempengaruhi

kelangsungan hidup manusia. Pendidikan memuat makna universal dan memiliki

nilai untuk mancerdaskan umat manusia. Beberapa pakar memberikan definisi

menganai pendidikan secara berbeda salah satunya pendapat yang dikemukakan

oleh A. Kosasi Djahiri (1985:3) bahwa “pendidikan adalah merupakan upaya

yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang

hayat) ke arah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan

berbudaya (Civilized).” Dalam pengertian ini, pendidikan dijadikan sebagai suatu

proses hidup manusia, dimana manusia tersebut dibina dan mendapatkan

pengalaman yang berbeda. Proses tersebut dilakukan sepanjang hayat, yang

didalamnya memuat perubahan ke arah yang lebih positif.

Pendidikan moral di zaman modern menjadi sebuah fenomena

kemasyarakatan untuk menangkal pengikisan nilai-nilai budaya serta norma-

norma yang ada di masyarakat sebagai dampak globalisasi. Pendidikan moral

ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem kepandidikannya. Latar belakang

timbulnya pendidikan moral pada masyarakat modern (Haricahyono, 1995:2-3)

antara lain :

1. Sulitnya menemukan satu model moral yang boleh dikatakan kohern yang dengan mudah dapat di imitasi oleh anak-anak

2. Adanya kecenderungan masyarakat masyarakat modern untuk mulai memisahkan kehidupan keagamaannya dari aktivitas hidup sehari-harinya.

Page 21: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

41

Proses pengembangan sistem nilai antara masyarakat yang satu dengan

masyarakat yang lain bervariasi, sebab setiap masyarakat biasanya akan

mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan polanya sendiri-sendiri, sesuai

dengan situasi kondisi yang dimilikinya. Ilustrasi tersebut tentunya akan

mempengaruhi pada upaya pengembangan moral.

Pada abad ke-21 ini atau zaman globalisasi dan modernisasi menjadi

tantangan bagi dunia pendidikan termasuk pendidikan nilai dan moral. Pendidikan

nilai dan moral diperlukan sebagai upaya mempertahankan jati diri bangsa serta

melastarikan nilai-nilai budaya dan norma-norma yang berlaku di masyrakat.

Pendidikan nilai moral sangat diperlukan oleh generasi muda sebagai penerus

bangsa dan perangkat efek negatif dari globalisasi. Hal ini sependapat dengan A.

Kosasih Djahiri (1995:21) bahwa :

Pengajaran nilai moral menghendaki lahirnya generasi muda yang memiliki sejumlah bekal sistem nilai bku yang positif sebagai landasan dan barometer kehidupan yang lebih jauh lagi sebagai generasi penerus dan pembaharuan nilai/moral menuju nilai dan moral yang diinginkan, yitu nilai dan moral pancasila.

Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat yangg dikemukakan oleh

Numan Somantri (2001:220-225) bahwa :

Pendidikan moral di Indonesia adalah suatu pogram pendidikan (Sekolah dan Luar Sekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan. Pendidikan moral harus memuat public culture dan privat culture yang tidak bisa dilepaskan dari upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam pendidikan moral, isi harus memuat latihan moral, pengkondisian moral, ditambah bahan pengetahuan dan masalah sosial agar terjadi moral reasoning dan cognitif moral develpment, dengan metode field psychology

Page 22: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

42

melalui pendekatan problem solving dan inquiry. Sehingga keberhasilan dalam pendidikan moral merupakan tanggung jawab bersama.

Dari pernyataan diatas, maka pandidikan nilai dan moral meliputi seluruh

aspek dari pengetahuan (kognotif), baik dan buruk (afektif), ikap (psikomotor)

dengan melibatkan lingkungan kehidupan fisik dan nonfisik. Oleh karenanya

apabila tujuan pendidikan moral akan mengarahkan seseorang menjadi bermoral

maka yang penting ialah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri

dengan tujuan hidup di masyarakat (Dreeben, dalam Numan S. 2001:220).

Pendidikan nilai moral dapat dilakukan di tiga lingkungan yakni lingkungan

keluarga, sekolah dan masyarakat.

5. Pendidikan Nilai Moral dalam Keluarga

Keluarga sebagai tempat berkumpul dan tempat berkumpul dan tempat

curahan kasih sayang menjadi alat yang utamadalam menambahkan nilai dan

norma pada anak. Namun, saat ini pendidikan nilai moral dalam keluarga tergerus.

Menurut A Kosasih Djahiri (2006:4) mengungkapkan bahwa :

Proses emoting-minding, spritualizing, valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proses thinking dan rationalizing. Pmbelajaran berlanskan nilai moral yang normative/luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoritic-conceptual based dan perhitungan untung rugi rasional-keilmuan dan atau yuridis formal. Potret ini sudah nampak dalam pendidikan informal dalam keluarga, pembinaan dan pendidikan anak (termasuk agama dan budi luhur) mulai kurang diperdulikan dan sudah diserahkan kepada instansi lain yakni guru dan sekolah. Rumah dan keluarga mulai tererosi dari status dan role behaviour bakunya (agama & cultural) dan hanya menjadi “symbol terminal berkumpul dan sumber status sosial-ekonomi.”

Dengan demikian, fungsi pendidikan keluarga mulai berkurang yang

berimbas pada perilaku generasi muda. Hal ini tentunya sangat bertentangan

dengan ajaran agama islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh M.A Priyatno

Page 23: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

43

(1996: 51) bahwa perlu disadari maju mundurnya suatu negara, tenag tentramnya

suatu negara atau aman tidaknya suatu negara pada hakikatnya adalah terletak

pada aman dan tidaknya tiap-tiap ruma tangga. Maka, kasus dekandensi moral

pada remaja/ generasi muda terkait dengan lingkungan keluarga menurut

Sudarsono (dalam W. Poespoprodjo, 1999:23) yakni menanamkan dasar

pendidikan moral dan memberikan dasar pendidikan sosial. Pembinaan moral

pertama kali harus dilakukan di rumah, sekolah hanya menambahan pemahaman

moral yang kurang dalam keluarga.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga merupakan

gerbang pertama dalam penanaman pendidikan nilai terhadap anak. Di dalam

keluarga pembelajaran pendidikan nilai moral ditanamkan melalui aturan-aturan

moral yang disepakati. Tentunya hal ini akan membuat pengalaman bagi anak

berupa interaksi sosial serta menentukan pola tigkah laku pada anak di masa yang

akan datang

A. Konsep Etika Pergaulan

1. Pengertian etika

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah "Ethos",

yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya

berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin,

yaitu "Mos" dan dalam bentuk jamaknya "Mores", yang berarti juga adat

kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik

(kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.

Page 24: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

44

Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan

sehari hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian

perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-

nilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:

a. Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip,

aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).

b. Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.

Terminius Techicus mengemukakan pengertian etika dalam hal ini adalah,

etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau

tindakan manusia.

Manner dan Custom membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan

kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature)

yang terikat dengan pengertian "baik dan buruk" suatu tingkah laku atau

perbuatan manusia. Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda

dalam pokok perhatiannya, antara lain :

Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan

sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the

nature of the right). Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan

memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia (The rules of conduct,

recognize in respect to a particular class of human actions). Ilmu watak manusia

yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual (The science of human

Page 25: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

45

character in its ideal state, and moral principles as of an individual). Merupakan

ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).

Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan

kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia

disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat

hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan

pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk

berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai

atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf:

1991: 23), sebagai berikut:

Etika deskriptif adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.

Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau

tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu

memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku

yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya

dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi

Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia

Page 26: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

46

bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan

kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Dari berbagai

pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi

tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:

a. Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus

membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.

b. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang

membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan

bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman

norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika

menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologi

c. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat

normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya

terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan

adanya fakta, cukup informasi, menganjurka dan merefleksikan. Definisi

etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.

2. Etika Pergaulan

Dalam buku Pedoman Perilaku Mahasiswa (Keputusan SA No.002/Senat-

Akd./UPI-SK/VIII/2007)

Page 27: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

47

BAB IV

Sikap dan Perilaku mahasiswa

Bagian Pertama

Bagian Umum

Pasal 6

(1) Mahasiswa sebagai anggota sivilitas akademik Universitas menaati norma

umum yang berlaku.

(2) Mahasiswa memelihara dan menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban,

serta keamanan sarana dan prasarana di lingkungan Universitas

(3) Mahasiswa mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap kehidupan

kampus yang edukatif, ilmiah, dan religius

(4) Mahasiswa menaati tata tertib, baik dalam kegiatan akademik maupun non

akademik

Bagian Kedua

Sikap Hidup

Pasal 7

(1) Mahasiswa selalu berorientasi pada kebermaknaan dan kebermanfaatan

dengan yang memandang hidup sebagai kesempatan melakukan pengabdian

diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Page 28: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

48

(2) Mahasiswa memiliki sikap hidup optimis, aktif kreatif, positif dan terbuka

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks),

serta senantiasa memperluas jejaring keilmuannya.

(3) Mahasiswa sebagai calon pendidik yang ilmuwan dan calon ilmuwan yang

pendidik memiliki integritas pribadi dalam performansi, hangat dalam

berinteraksi, menghargai waktu, memiliki sikap simpati dan empati kepada

kehidupan orang lain, serta komunikatif dalam bertutur kata.

(4) Mahasiswa senantiasa mengendalikan diri dan tidak mementingkan diri

sendiri.

(5) Mahasiswa menjauhkan diri dari sikap perasaan rendah diri, tidak percaya

diri, sombong dan angkuh (arogan), apriori pada pendapat orang lain, serta

pesimistik dalam memandang keadaan, kehidupan, dan masa depan.

Bagian Ketiga

Etika Penampilan

Pasal 8

Sesuai dengan motto Universitas sebagai kampus yang Edukatif, ilmiah,

dan religius, etika penampilan mahasiswa di dalam kampus sebagai berikut :

(1). Berbusana dan berdandan yang bersih, rapi, sopan, dan serasi sesuai dengan

martabatnya sebagai calon pendidik dan/atau ilmuwan, dengan

memperhatikan situasi dan kondisi, serta budaya dan agama.

Page 29: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

49

(2). Tidak diperbolehkan menggunakan sandal, selop, kaos oblong, dan/atau

pakaian yang kurang sopan dalam proses pembelajaran dan/atau kegiatan

akademik lainnya.

(3). Mahasiswa perempuan dalam berbusana tidak diperbolehkan menggunakan

busana yang mini, ketat, dan tembus pandang, serta menggunakan

perhiasan dan ber-make up berlebihan.

(4). Mahasiswa laki-laki tidak diperbolehkan menggunakan perhiasan seperti

perempuan dan berambut panjang.

Bagian Keempat

Perilaku Bertutur Kata, Memanggil, dan berpendapat

Pasal 9

(1) Mahasiswa dalam bertutur kata menggunakan bahasa yang memiliki makna

dan pesan yang jelas, serta menghindari bahasa yang menyindir,

melecehkan, mengejek, dan menyinggung perasaan orang lain.

(2) Mahasiswa dalam bertegur sapa, memanggil, dan bercengkrama

menggunakan bahasa dan cara yang sopan, wajar dan menyenangkan.

(3) Mahasiswa dalam memanggil perlu memperhatikan jarak yang wajar

dengan menggunakan bahasa dan cara yang santun.

(4) Mahasiswa dalam berpendapat bersikap terbuka dengan memperhatikan

kebenaran hakiki, kebenaran ilmiah, dan kebenaran umum.

Page 30: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

50

Bagian kelima

Perilaku Berkreasi

Pasal 10

(1) Mahasiswa dalam berkreasi menjaga kebersihan, kaindahan, ketertiban, dan

keamanan.

(2) Mahasiswa dapat berkreasi tidak mengganggu proses pembelajaran dan

kegiatan akademik lainnya.

Bagian keenam

Perilaku Mobilitas

Pasal 11

(1) Mahasiswa dalam berkendaraan di kampus

a. Kecepatan maksimum 20 km/jam

b. Mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan yang telah ditentukan

c. Menjaga ketertiban, keselamatan, dan kemanan

d. Memarkir kendaraan dengan tertib pada tempat yang telah disediakan

e. Tidak menimbulkan polusi suara dan/atau udara

(2) Mahasiswa di kampus :

a. Berjalan di pinggir jalan dan tidak bergerombol sehingga menutupi

badan jalan;

b. Tidak berbincang-bincang dengan kawan di tengan pintu, koridor, atau

jalan;

c. Tidak duduk-duduk di pintu, tangga, jalan, dan koridor

Page 31: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

51

Etika dalam berperilaku mahasiswa dalam rangka menciptakan kehidupan

ilmiah yang kondusif di dalam dan di luar lingkungan kampus, maka perlu

diketahui etika perilaku sebagai mahasiswa adalah sebagai berikut :

1). Etika Pergaulan di Lingkungan Kampus

a. Berpakaian dan bersepatu rapi di lingkungan kampus;

b. Menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah;

c. Mengetahui, memahami dan melaksanakan peraturan-peraturan yang

berlaku di lingkungan kampus dan berusaha tidak melanggar;

d. Memberi contoh yang baik dalam berperilaku kepada adik tingkat,

teman setingkat dan kakak tingkat;

e. Saling menghormati dan menghargai terhadap sesama mahasiswa;

f. Berperilaku dan bertutur kata yang sopan, baik di dalam kelas dan di

luar kelas yang mencerminkan perilaku sebagai mahasiswa dan

dijiwai oleh nilainilai agama / kepercayaan yang dianut;

g. Tidak berperilaku asusila atau tidak bermoral;

h. Bersedia menerima sanksi yang ditetapkan atas pelanggaran terhadap

peraturan yang berlaku sebagai bagian dari pendidikan disiplin.

2). Etika Pergaulan di Luar Kampus

a. Menjadi contoh yang baik di lingkungan dimana mahasiswa tersebut

berada

b. Berperilaku dan bertutur kata yang baik yang mencerminkan sebagai

mahasiswa

Page 32: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

52

c. Berupaya mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah

dipelajarinya di masyarakat sebagai wujud pengabdian

d. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar kampus.

Tata krama dalam pergaulan merupakan aturan kehidupan yang mengatur

hubungan antar sesama manusia. Tata krama pergaulan berkaitan erat dengan

etiket atau etika. Kata etiket berasal dari bahasa perancis Etiquette yang berarti

tata cara bergaul yang baik, dan etika berasal dari bahasa latin Ethic merupakan

pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sudut Budaya, Susila dan Agama.

Dasar - dasar etiket terdiri dari :

1. Bersikap sopan dan ramah kepada siapa saja.

2. Memberi perhatian kepada orang lain.

2. Berusaha selalu menjaga perasaan orang lain.

3. Bersikap ingin membantu.

4. Memiliki rasa toleransi yang tinggi.

5. Dapat menguasai diri, mengendalikan emosi dalam situasi apapun.

Jadi pada prinsipnya dalam etiket anda harus ' Selalu berusaha untuk

menyenangkan orang lain. Manfaat etiket dalam kehidupan seorang manusia

adalah :

a. Membuat anda menjadi disegani, dihormati, disenangi orang lain.

b. Memudahkan hubungan baik anda dengan orang lain (Better Human

Relation).

c. Memberi keyakinan pada diri sendiri dalam setiap situasi.

Page 33: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

53

d. Menjadikan anda dapat memelihara suasana yang baik dalam berbagai

lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, pergaulan, dan tempat dimana

anda bekerja.

3. Pergaulan bebas

Moralitas remaja saat ini, tampak nya terus menjadi fakta yang layak

disesali. Berbagai aksi penyimpangan dari kalangan remaja telah menjadi wacana

mengerikan, mulai dari tawuran, free seks, narkoba, perampokan, sampai para

pemerkosaan yang dilakukan oleh kalangan remaja kita semakin membenarkan

akan begitu parahnya kondisi moralitas remaja kita saat ini. Remaja telah mulai

kehilangan kekuataan moralitasnya, sehingga degradasi moralitas di kalangan

mereka sangat sulit untuk diselesaikan. Masalah tersebut, sebenarnya tidak bisa

terlepas akibat faktor yang tidak asing lagi di telinga kita, yaitu pergaulan bebas

yang tidak lagi terkontrol.

Pergaulan bebas yang biasanya terjadi di kalangan remaja, mudah

dilakukan, karena pada masa ini, para remaja memiliki kondisi mental dan

pemikiran yang sangat labil, sehingga mudah terjebak pada hal-hal yang tidak

baik dilakukan. Kondisi labil tersebut, sangat berpengaruh terhadap kehidupan

remaja, sehingga mereka sangat mudah terjebak dengan arus kehidupan yang

dihadapinya, sekalipun arus tersebut akan membuat dirinya menyesal di hari

kemudian, termasuk melakukan hal-hal yang abnormal sekalipun.

Remaja cenderung tidak pernah menyadari bahwa setiap perilaku asosial

dan tanpa etika, akibat dari pergaulan yang dilakukan tanpa kontrol.

Page 34: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

54

Oleh karenanya, ketika pergaualan yang menjadi akar masalah, perlu diupayakan

agar remaja dapat menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak baik, sehingga akan

tercipta satu model pergaulan yang bahkan akan dapat memberikan dampak nyata

terhadap pergaulan. Untuk memutus masalah pergaulan yang tidak baik, yang

harus dilakukan adalah mengarahkan kembali pola pergaulan remaja dari pola

pergaulan yang tidak berorientasi pada basis moralitas ke arah pergaulan yang

sesuai dengan etika pergaulan, yaitu dengan cara menghindarkan remaja dari pola

pergaulan tanpa moral, dengan pola pergaulan dirnana nilai-nilai moral dapat

menjadi pegangan pergaulan mereka.

4. Akibat pergaulan bebas

Pengertian pergaulan bebas itu adalah salah satu bentuk perilaku

menyimpang, yang mana “bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas

norma ketimuran yang ada. Masalah pergaulan bebas ini sering kita dengar baik di

lingkungan maupun dari media massa. Remaja adalah individu labil yang

emosinya rentan tidak terkontrol oleh pengendalian diri yang benar. Masalah

keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang minim, dan ajakan teman-teman yang

bergaul bebas membuat makin berkurangnya potensi generasi muda Indonesia

dalam kemajuan bangsa.

Dampak-dampak dari pergaulan bebas pergaulan bebas identik sekali dengan

yang namanya “dugem” (dunia gemerlap) yang menurut aturan hukum dan

norma tidak ada hal positifnya karena dari situlah akan muncul berbagai perbuatan

negatif seperti minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, bahkan bisa

melakukan free sex dan semua itu bisa berawal dari dugem.

Page 35: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

55

Mengkonsumsi minuman keras tidak ada manfaatnya dari segi agama dan

kesehatan, sudah sangat jelas bahwa minuman keras banyak sekali dampak

negatifnya dilihat dari segi kesehatan, diantaranya bisa menyebabkan berat badan

menjadi naik, tekanan darah tinggi, sistem kekebalan tubuh menurun, kangker,

penyakit jantung, gangguan pernafasan dan gangguan hati, dan dalam ajaran

agama islam pun minuman keras diharamkan karena banyak sekali dampak

negatifnya dan diterangkan dalam Q.S Al baqarah ayat 219, dan Q.S Al Maa-idah

ayat 90. Dalam kedua surat tersebut khamar (minuman keras) didalamnya terdapat

dosa besar dan tidak bernanfaat bagi manusia dan termasuk perbuatan yang keji

perbuatan syaitan. Sex bebas atau zina, adalah perbuatan yang dilarang agama,

hukum dan kesehatan. Agama menjelaskannya dalam Q.S Al israa’ janganlah

sekali-kali mendekati zina karena zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu

jalan yang buruk. Dari segi kesehatan free sex atau sex bebas bisa memimbulkan

berbagai penyakit diantaranya penyakit kelamin dan HIV AIDS.

Dalam hal berpakaian pula islam menganjurkan menutup rapat-rapat aurat

bagi laki-laki maupun perempuan yang fungsinya untuk menjaga dari hal-hal yang

tidak diinginkan dan menjaga pandangan seseorang terhadap perbuatan jahat.

Dengan memakai pakaian yang sopan dan menutup aurat maka akan terjaga

perbuatan jahat seperti perkosaan, karena yang sering terjadi saat ini seseorang

tidak bisa menahan hawa nafsunya ketika melihat seorang perempuan memakai

pakaian yang sangat minim atau kurang sopan dan tidak menutup auratnya. Disini

dijalaskan dalam Q.S Annur dan Q.S Al a’raf yang intinya kepada wanita

beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara

Page 36: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

56

kemaluannya, serta hendaklah menutup auratnya, kecuali pada suami, ayah,

ataupun putera puteri suami mereka,atau saudara laki-laki mereka, dan allah telah

menurunkan pakaian untuk menutupi aurat dan pakaian indah untuk perhiasan,

dan pakaian taqwalah yang paling baik.

C. Pendekatan Mengenai Konsep diri

1. Definisi konsep diri

Bentuk kepribadian anak menurut Hurlock (1999) bahwa dukungan

khususnya keluarga atau kurangnya dukungan akan mempengaruhi kepribadian

anak melalui konsep diri yang terbentuk, disamping itu menurut Brehm & Kassin

(1989) konsep diri dianggap sebagai komponen kognitif dari diri sosial secara

keseluruhan, yang memberikan penjelasan tentang bagaimana individu memahami

perilaku, emosi, dan motivasinya sendiri.

Secara lebih rinci Brehm dan Kassin mengatakan bahwa konsep diri

merupakan jumlah keseluruhan dari keyakinan individu tentang dirinya sendiri.

Pendapat senada diberikan oleh Gecas (dalam Albrecht, Chadwick & Jacobson,

1987) bahwa konsep diri lebih tepat diartikan sebagai persepsi individu terhadap

diri sendiri, yang meliputi fisik, spiritual, maupun moral. Sementara Calhoun &

Cocella (1995) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan kita tentang diri

sendiri, yang meliputi dimensi: pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan

mengenai diri sendiri, dan penilaian tentang diri sendiri. Menurut Shavelson &

Roger (1982), konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman

Page 37: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

57

dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku

dirinya.

Sejalan dengan pendapat Brooks (dalam Rakhmat, 2002) konsep diri

disini dimengerti sebagai pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik

bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, dimana pandangan ini diperolehnya dari

pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai arti penting

dalam hidupnya.

Konsep diri ini bukan merupakan faktor bawaan, tetapi faktor yang

dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang

lain, sebagaimana dikatakan oleh Grinder (1976) bahwa persepsi orang mengenai

dirinya dibentuk selama hidupnya melalui hadiah dan hukuman dari orang-orang

di sekitarnya. Partosuwido, dkk (1985) menambahkan bahwa konsep diri adalah

cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap

diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini dan dilakukan, baik ditinjau dari

segi fisik, moral, keluarga, personal dan sosial.

Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar gambaran

deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsi- fungsi manusia

karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan

dengan dirinya, termasuk siapakah dirinya, seberapa baik mereka merasa tentang

dirinya, seberapa efektif fungsi- fungsi mereka atau seberapa besar impresi yang

mereka buat terhadap orang lain (Kartikasari, 2002). Batasan pengertian konsep

diri dalam Kamus Psikologi adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini benar

oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri (Kartono & Gulo, 1987).

Page 38: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

58

Berzonsky (1981) menyatakan bahwa konsep diri yang merupakan gabungan dari

aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut adalah gambaran mengenai

diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan

harapannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan

atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial,

maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain.

2. Pembentukan Konsep Diri

Pembentukan konsep diri dimulai dari bayi kemudian terus berkembang

sesuai pertumbuhan seorang individu yang berawal pada konsep-konsep

pengertian disekitarnya. Walaupun awalnya terbentuk pengertian samar-samar,

yang merupakan pengalaman berulang-ulang, yang berkaitan dengan kenyamanan

atau ketidaknyamanan fisik, sehingga pada akhirnya akan membentuk konsep

dasar sebagai bibit dari konsep diri (Asch dalam Calhoun & Cocella, 1990).

Seperti dicontohkan bila anak diperlakukan dengan kehangatan dan cinta, konsep

dasar yang muncul mungkin berupa perasaan positif terhadap diri sendiri,

sebaliknya jika anak mengalami penolakan, yang tertanam adalah bibit penolakan-

diri di masa yang akan datang (Coopersmith dalam Calhoun & Cocella, 1990).

Selain itu dijelaskan oleh Taylor, Peplau, & Sears (1994), bahwa

pengetahuan tentang diri dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain praktek

sosialisasi, umpan balik yang diterima dari orang lain, serta bagaimana individu

merefleksikan pandangan orang lain terhadap dirinya. Sementara itu, Cooley

(dalam Albrecht dkk, 1987) mengatakan bahwa konsep diri seseorang

Page 39: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

59

berkembang melalui reaksi orang lain, dalam artian bahwa konsep diri individu

terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan orang lain.

Maka bila respon dari sesorang positif maka individu akan menerima respon

positif menjadi perilaku yang positif sedangkan responnya negatif, individu

tersebut akan menerima respon tersebut menjadi perilaku negatif.

Albrecht, dkk (1987) yang mengatakan bahwa umpan balik terhadap

perilaku individu yang didapat dari orang-orang yang cukup berarti (significant

others) akan menjadi sangat penting, baik itu berupa hadiah maupun hukuman.

Dalam perkembangannya, significant others dapat meliputi semua orang yang

mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita (Rakhmat, 2002). Lebih lanjut

dijelaskan, pada masa kanak-kanak, orangtualah yang berperan sebagai significant

others.

Pada masa selanjutnya, masa sekolah sampai remaja, peran teman sebaya

menjadi lebih penting, dan ketika individu berada pada masa dewasa serta telah

mencapai kemandirian secara ekonomi, peran orangtua secara berangsur-angsur

menurun, dan digantikan oleh teman, rekan kerja, dan pasangan hidup (Albrecht

dkk, 1987). Sedangkan Andayani & Afiatin (1996) menjelaskan bahwa konsep

diri terbentuk melalui proses belajar individu dalam interaksinya dengan

lingkungan sekitarnya. Interaksi tersebut akan memberikan pengalaman-

pengalaman atau umpan balik yang diterima dari lingkungannya, sehingga

individu akan mendapatkan gambaran tentang dirinya. Begitu pentingnya

penilaian orang lain terhadap pembentukan konsep diri ini, sehingga Allport

Page 40: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

60

(dalam Helmi & Ramdhani, 1992) mengemukakan bahwa seorang anak akan

melihat siapa dirinya melalui penilaian orang lain terhadap dirinya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa mekanisme

psikologis yang terjadi pada permasalahan tersebut adalah bagaimana remaja yang

mempersepsi keluarganya harmonis cenderung mempunyai konsep diri yang

positif. Selain itu konsep diri terbentuk melalui proses berkembang melalui

interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya yang diterima dari orang-orang

yang berarti bagi individu dan bukan merupakan faktor bawaan.

3. Aspek-aspek Konsep Diri

Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri

meliputi:

a. Aspek fisik (physical self) yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang

dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya.

b. Aspek sosial (sosial self) meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh

individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap perfomannya.

c. Aspek moral (moral self) meliputi nilai- nilai dan prinsip-prinsip yang member arti

dan arah bagi kehidupan individu.

d. Aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap

individu terhadap dirinya sendiri.

Sementara itu melengkapi pendapat di atas, Fitts (dalam Burns, 1979)

mengajukan aspek-aspek konsep diri, yaitu :

a. Diri fisik (physical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu

memandang kondisi kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya.

Page 41: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

61

b. Diri moral-etik (moral-ethical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu

memandang nilai-nilai moral-etik yang dimilikinya. Meliputi sifatsifat baik atau

sifat-sifat jelek yang dimiliki dan penilaian dalam hubungannya dengan Tuhan.

c. Diri sosial (sosial self). Aspek ini mencerminkan sejauhmana perasaan mampu dan

berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain.

d. Diri pribadi (personal self). Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai

seorang pribadi, dan evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya

engan orang lain.

e. Diri keluarga (family self). Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga

dalam kapasitasnya sebagai anggota keluarga. Dari uraian di atas dapat

disimpulkan dalam menjelaskan aspek-aspek konsep diri, tampak bahwa pendapat

para ahli saling melengkapi meskipun ada sedikit perbedaan, sehingga dapat

dikatakan bahwa aspek-aspek konsep diri mencakup diri fisik, diri psikis, diri

sosial, diri moral, dan diri keluarga.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri

a. Usia

Grinder (1978) berpendapat bahwa konsep diri pada masa anak-anak akan

mengalami peninjauan kembali ketika individu memasuki masa dewasa.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa konsep diri dipengaruhi

oleh meningkatnya faktor usia. Pendapat tersebut diperkuat oleh hasil

penelitiannya Thompson (dalam Partosuwido, 1992) yang menunjukkan bahwa

nilai konsep diri secara umum berkembang sesuai dengan semakin bertambahnya

tingkat usia.

Page 42: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

62

b. Tingkat Pendidikan

Pengetahuan merupakan bagian dari suatu kajian yang lebih luas dan

diyakini sebagai pengalaman yang sangat berarti bagi diri seseorang dalam proses

pembentukan konsep dirinya. Pengetahuan dalam diri seorang individu tidak

dapat datang begitu saja dan diperlukan suatu proses belajar atau adanya suatu

mekanisme pendidikan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan yang baik,

sehingga kemampuan kognitif seorang individu dapat dengan sendirinya

meningkat. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Epstein (1973) bahwa konsep

diri adalah sebagai suatu self theory, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan diri

yang tersusun atas dasar pengalaman diri, fungsi, dan kemampuan diri sepanjang

hidupnya.

c. Lingkungan

Shavelson & Roger (1982) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk dan

berkembang berdasarkan pengalaman dan interpretasi dari lingkungan, terutama

dipengaruhi oleh penguatan-penguatan, penilain orang lain, dan atribut seseorang

bagi tingkah lakunya.

D. Kajian Tentang Remaja/mahasiswa

1. Definisi Remaja

Secara umum masa usia mahsiswa terentang dari 18/19 tahunn sampai

24/25 tahun. Rentang usia tersebut masih dapat dibagi-bagi atas periode 18/19

tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester 1 sampai dengan

semester IV; dan periode usia 21/22ntahun sampai 24/25 tahun yaitu mahasiswa

dari semester V sampai dengan smester VII (Winkel, 2004 : 175).

Page 43: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

63

Pada rentangan umum yang pertama (18/19 tahun sampai 20/21 tahun)

pada umumnya menampakan ciri-ciri :

a) Stabilitas dalam kepribadian mulai meningkat;

b) Pandangan yang relistik tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya;

c) Keterampilan untuk menghadapi segala macam permasalahan secaralebih

matang;

d) Gejolak-gejolak dalam alam perasaan mulai berkurang (Winkel,

2004:178)

Rentang umur yang kedua (21/22 tahun sampai 24/25 tahun) pada

umumnya tampak ciri-ciri:

a) Usaha memantapkan diri dalam bidang keahlian yang telah dipilih dan

dalam menbina hubungan percintaan;

b) Memutarbalikan pikiran untuk mengatasi aneka ragam masalah, seperti

kesulitan ekonomi, kesulitan mendapat kepastian tentag bidang pekerjaan

kela, kesulitan membegi perhatian secara simbang antara tuntutan

akademik dan tuntutan kehidupan perkawinan (jika sudah menikah);

c) Ketegangan atau stres karena belum berhasil memecahkan berbagai

persoalan mendesak secara memuaskan (Winkel, 2004:178).

Mahasiswa merupakan individu yang sedang berada dalam proses

berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan,

kedewasaan atau kemandirian yang terkait dengan pemaknaan dirinya sebagai

mahluk yang berdimensi biopsikososiospiritual. Selain dituntut untuk mampu

menyalesaikan tugas-tugas akademis, mahasiswa yang berada dalam rentang usia

Page 44: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

64

sebagai sosok remaja akhir menuju dewasa awal, dituntut untuk mampu

menyalesaikan tugas-tugas perkembangannya. Berikut penjelasn mengenai

karakteristik mahasiswa dan tugas-tugas perkembangannya.

a. Karakteristik perkembangan mahasiswa

1) Perkembangan fisik

Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan

masa remaja, yang berdampak pada perubahan-perubahan psikologis (Sarwono,

1994). Perkembangan fisik mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis.

Perkembangan anatomis ialah perubahan kuantitatif pada struktur tulang-belulang.

Diantaranya indeks tinggi dan berat bada, proporsi tinggi kepala dengan tinggi

garis kaajengan badan secara keseluruhan. Pada usia remaja akhir menjelang

dewasa tulang belulang menjadi 200 integrasi, persenyawaan dan pergeseran;

berat badan dan tinggi badan kepesatan perubahan berkurang bahkan menjadi

mapan; proporsi tinggi kepala dan badan pada masa remaja akhir menjelang

dewasa menjadi 1:8 atau 1:10.

Perkembangan fisiologis ialah perubahan-perubahan secara kuantitatif,

kualitatif dan fungsional dari sitem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot

peredaran darah dan pernafasan, persyarafan, sekresi kelenjar dan pencernaan.

Otot sebagai pengontrol motorik, proprsi bobotnya 2:5 pada masa remaja akhir

menjelang dewasa; frekuensi denyut jantung 72; persentase tingkat kesempurnaan

perkembangan secara fungsional dari cortex (bagian otak) sebgai pusat susunan

saraf yang mempunyai fungsi pengontrol kegiatan organism infragranular

Page 45: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

65

(peengontrol reflex) mencapai 80% supragranular (erat hubungannya dengan

intelegensi) baru 50%.

Perkembangan fisik berlangsung mengikuti prinsip-prinsip cepalocaudal

(mulai dari bagian kepala menuju ekor atau kaki) dan proximodistal (mulai dari

bagian tengah ke tepi atau tangan). Laju perkembangan berjalan secara berirama,

pada masa remaja akhir menjelang dewasa laju perkembanagn fisik menurun

sangat lambat.

2) Perkembangan kognitif

Ditinjau dari kurva perkembangan intelegensi, laju perkembangan

intelegensi berangsur menurun. Dimana puncak perkembangan pada umumnya

dicapai di penghujung masa remaja akhir menjelang dewasa (Syamsudin, 2007:

101). Sedangkan ditinjau dari perspektif teori kognitif Piaget, maka pemikiran

masa remaja akhir menjelang telah mencapai tahap pemikiran operasional formal

yang sempurna. Pada remaja akhir, banyak yang mulai memantapkan pemikiran

operasional formalnya, dan menggunakan lebih konsisten. Pemikiran operasional

formal cenderung dipakai remaja akhir dalam menghadapi masalah , bila remaja

cukup memiliki pengalaman atau pengetahuan tentang bidangtersebut (Santrock,

2003:111).

3) Perkembangan moral

Individu menyadari bahwa ia merupakan bagian anggota dari kelompoknya,

secepat itu pula pada umumnya individu menyadari bahwa terdapat aturan-aturan

perilaku yang boleh, harus atau terlarang melakukannya.

Page 46: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

66

Proses penyadaran tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dengan

lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau

persetujuan, kecaman atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang

mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari

perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.

Berdasarkan teori Kohlberg, remaja akhir menjelang dewasa pada tingkat

perkembangan moral pasca-konvensional dan tahap orientasi control sosial–

legalistik. Artinya pada tingkat perkembangan pasca-konvensional ini yaitu aturan

dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi

diperlukan sebagai subjek. Individu manaati aturan untuk menghindari hukuman

kata hati. Pada tahap orientasi kontrol sosial-legalistik yaitu artinya ada semacam

perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila

sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

4) Perkembangan emosi

Emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu

serta keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Masa remaja merupakan

puncak emosinalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pada remaja akhir

sudah mampu mengendalikan emosiny. Emosi remaja seringkali sangat kuat,

tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umunya dari tahun ke tahun

terjadi pengabaikan perilaku emosional.

Pada emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa kanak-

kanak. Perbedaanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan

derajat, khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi

Page 47: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

67

mereka. Misalnya, perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” akan

membuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain.

Karakteristik perkembangan emosi remaja sejalan dengan perkembangan

masa remaja itu sendiri, yaitu sebagai berikut: a) perubahan fisik terhadap awal

pada periode praremaja disertai sifat kepakaan terhadap rangsangan dari

luarmenyebabkan respons berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan

cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak; b)

Perubahan fisik yang semakin jelas pada periode remaja awal menyebankan

mereka cenderung menyendiri sehingga tidak jarang merasa terasing, kurang

perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau

mempedulikannya; c) Periode remaja sudah semakin menyadari pentingnya nilai-

nilai yang dapat dipegang teguh sehingga jika melihat fenomena yang terjadi di

masyarakat yang menunjukan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang

mereka ketahui menyebabkan remaja seringkali secara emosional ingin

membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas

untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau

orang dewasa di sekitarnya ingin memaksimalkan nilai-nilainya; d) Periode

remaja akhir mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu

menunjukan pemikiran, silkap, dan perilaku yang semakin dewasa.

5) Perkembangan sosial

Perkembangan sosial berkaitan erat dengan sosialisasi. Sosialisasi

merupakan atau proses di mana individu melatih kepekaan individu terhadap

rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan

Page 48: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

68

(kelomponya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku seperti orang lain,

bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya. Dengan demikian,

perkembangan sosial yaitu rangkaian dari perubahan yang bersimanbungan dalam

perilaku individu untuk menjadi mahluk sosial yang dewasa.

Perkembangan sosial pada remaja lebih melibatkan kelompok teman

sebaya disbanding orang tua (Conger. 1999; Papali & Olds, 2001). Pada masa

remaja berkembang keterampilan untuk memehami orang lain, keterampilan ini

mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial dengan teman sebaya. Masa

remaja juga ditandai dengan berkembangnya konformitas dan akan mengalami

penurunan kembali pada masa akhir renaja, yaitu kecenderungan untuk meniru,

mengikuti opini dan pendapat, nilai-nilai kebiasaan dan keinginan orang lain.

Perkembangan sosial pada masa remaja ditandai dengan kuatnya pengaruh

kelompok teman sebaya. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama

dengan teman sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dipahami bahwa

pengeruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku

lebih besar dari pada pengaruh keluarga (Hurlock, 1980:213). Karena keremajaan

itu selalu berkembang, maka pengaruh kelompok teman sebaya pun mulai

berkurang. Adapun faktor penyebabnya adalah pertama karena sebagian besar

remaja ingin menjadi dan dikenal sebagi individu yang mandiri.

Kedua timbul karena pemilihan sahabat. Pada masa remaja ada

kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman meskipun sebagian besar remaja

menginginkan menjadi anggota kelompok sosial yang lebih besar dalam kegiatan-

kegiatan sosial. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan

Page 49: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

69

persahabatan pribadi yang lebih erat., maka pengaruh kelompok sosial yang besar

menjadi kurang menonjol dibandingkan pengaruh sahabat.

Perubahan yang paling menonjol dalam sikap dan perilaku remaja adalah

mulai berkembangnya hubungan heteroseksual. Dalam waktu singkat remaja

menjadi lebih menyukai lawan jenis untuk dijadikan sebagai teman meskipun

tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis. Kemudian

geng pada masa kanak-kanak berangsur bubar pada masa puber dan awal masa

remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain menjadi minat pada

kegiatan sosial yang lebih formal, maka terjadi pengelompokan sosial baru.

Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau

akrab dibandingkan pengelompokan sosial anak perempuan yang lebih kecil

terumus lebih pasti.

Remaja tidak lagi memilih teman berdasarkan kemudahannya baik di

sekolah, ataupun di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanak-

kanak, dan kegemarannya pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi menjadi

factor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan teman yang

mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan

membuatnya merasa aman, dan kepadanya ia dapat mempercayakan masalah-

masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua

maupun guru.

Remaja akhir sudah memandang dirinya dan orang lain atau hubungan

subjektif-objektif berbeda pada objektif, artinya remaja sudah memulai

memandang dirinya dan orang lain objektif.

Page 50: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

70

6) Perkembangan religi

Perkembangan religi pada periode remaja disebut sebagai periode

keraguan religi. Maksudnya yaitu banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu

sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para remaja ingin mempelajari

agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak igin menerimanya secara

begitu saja. Mereka mergukan agama buka karena ingin menjadi agnostic atau

atheis, melainka karena ingin menerima agama sebagai suatu yang bermakna

berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-

keputusan mereka sendiri.

Sejalan dengan perkembangan moralitas, perkembangan penghayatan

keagamaan erat hubungannya dengan perkembangan kematangan intelektual

disamping emosional dan psikomotorik yang mengalami perkembangan pesat.

Pada masa aremaja, penghayatan keagamaanterbagi menjadi dua tahap

berdasarkan tingkatan usia remajanya yaitu :

1) Masa remaja awal, ditandai antara lain oleh:

(a) sikap negatif yang disebabkan oleh daya pikirnya yang kritis melihat

kenyatan orang-orang beragama hanya pura-pura tentang pengakuan dan

ucapannya tidak selaras dengan perbuatanya;

(b) pandangan dalam hal ke-Tuhannya menjadi kacau karena ia banyak

membaca dan mendengar berbagai konsep dan pemikiran tentang paham

aliran yang tidak cocok dan bertentangan satu sama lain;

Page 51: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

71

(c) penghayatan ronhaniah cenderung skeptic (diliputi waswas) sehingga

banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini

dilakukannya karena kepatuhan.

2) Masa remaja akhir ditandai antara lain oleh:

(a) sikap kembali, pada umumnya ke arah positif dengan tercapainya

kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan

hidupnya ketika dewasa;

(b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkan dalam konteks agama

yang dianut dan pilihannya;

(c) penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses

identifikasi, iamungkin dapat membedakan agama sebagai doktrin

ajaran dan individu penganutnya, yang shaleh dan yang tidak.ia juga

memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan

yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan dalam

hidup.

b. Karakteristik Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata

bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh

menjadi dewasa. Istilah adolescence, yang dipergunakan saat ini, memiliki arti

yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik.

Masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani

seseorang yang terbentuk sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya

Page 52: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

72

awal masa dewasanya. Secara tentatif rentangan masa remaja berkisar 11-13 tahun

sampai 18-20 tahun. (Makmum, 2002:130).

Hurlock (1994:2070 mengungkapkan remaja dalam perkembangannya

memiliki cirri-ciri yang membedakannya dengan rentang kehidupan lainnya,

yaitu:

(a) masa remaja merupakan masa yang penting. Masa remaja

merupakan masa yang penting karena akibat perubahan fisik yang cepat dan

disertai dengan perkembangan psikologis yang cepat sehingga perlunya

penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

(b) masa remaja merupakan masa peralihan. Pada periode peralihan ini,

status individu tidaklahjelas dan terdapat keraguan terhadap peran yang

harus dijalaninya. Remaja bukanlah seorang anak dan juga bukan seorang

dewasa. Karenaya sangat penting bagi remaja untuk menemukan gaya hidup

yang berbeda dan menyesuaikan sifat dan nilai-nilai yang sesuai dengan

dirinya;

(c) masa remaja merupakan masa perubahan. Tingkat perubahan dalam

sikap dan prilaku remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Terdapat

beberapa perubahan yang terjadi pada diri remaja diantaranya perubahan

emosi, perubahan bentuk tubuh, perubahan minat, perubahan peran social;

(d) masa remaja sebagai usia bermasalah. Dimana pada masa kanak-

kanak, permasalahan mereka bias diselesaikan oleh orang-orang tua ataupun

gurunya, sehingga banyak remaja yang tidak berpengalaman dalam

menyalesaikan masalah yang mereka hadapi, dan cenderung menolak

Page 53: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

73

bantuan dari orang dewasa. Karena ketidakmampuan mereka dalam

menyalesaikan masalahnya sendiri, banyak remaja menemukan bahwa

penyelesaian masalahnya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan;

(e) masa remaja sebagai masa mencari identitas. Sangat penting dimasa

remaja , yang mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan

menjadi sama dengan teman-teman sebayanya, identitas yang dimaksus

adalah upaya untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranan dalam

masyarakat;

(f) masa remaja sebagai masa menimbulkan ketakutan. Banyak

anggapan popular tentang remaja yang memiliki banyak nilai dan arti yang

bersifat negative yang tidak pantas dan cenderung berprilaku merusak. Hal

ini banyak menimbulkan ketakutan pada remaja akankah mereka bias

diterima di masyarakat atau tidak, karena dalam mengatasi segala

permasalahan yang dihadapinya sering kali menimbulkan pertentangan

dengan orang dewasa;

(g) masa remaja merupakan masa yang tidak realistic. Remaja

cenderung melihat segala sesuatu sebagaimana yang ia cita-citakan dan

bukan sebagaimana adanya, dan menyababkan emosi yang meninggi dan

kecewa karena tidak realistiknya harapan yang remaja inginkan, dan jika

tidak mampu mencapai tujuan yang diharapkannya. Dengan bertambahnya

pengalaman pribadi dan sosial dan dengan meningkatnya kemampuan

berfikir rasional. Remaja yang lebih besar akan mampu memandang dirinya,

Page 54: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

74

keluarga dan teman-teman dan kehidupan pada umunya secara lebih

realistic; dan

(h) masa remaja sebagai masa ambang dewasa. Dengan semakin

mendekatnya usia kematangan, remaja mulai memusatkan diri pada prilaku

yang dihubungkan dengan status dewasa dalam hal berpakaian dan

berprilaku

c. Kosep Tugas-Tugas Perkembangan

Tugas perkembangan merupakan patokan suatu perkembangan individu

yang menyatakan kesamaan sifat dan hakikat dalam setiap tahapan

perkembangan, hal tersebut dapat mempengaruhi kematangan individu di

kemudian hari.

Havigrust (Arlizon, 1995:29) mengemukakan tentang tugas perkembangan

yaitu “Tugas perkembangan individu dengan sendirinya akan melalui ke arah

kematangan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, tetapi apabila potensi yang

ada tidak dapat dimanfaatkan, tidak dilatih dan dikuasai sebaik mungkin oleh

individu yang bersangkutan maka akan menimbulkan kegoncangan dan timbul

berbagai kesulitan dalam proses perkembangan di kemudian hari”.

James C. Coleman (Arlizon, 1995:30) membagi tujuh cirri-ciri tugas-tugas

perkembangan dalam perkembangan yang normal, yaitu :

(a) dari arah dependensi kea rah kebebasan

(b) dari prinsip kenikmatan ke arah prinsip kenyataan;

(c)dari inkompetensi menjadi kompetensi

(d) dari otoplastik kea rah aloplastik

Page 55: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

75

(e) dari non-produktif manjadi produktif

(f) dari non diferensial kea rah diferensiasi

(g) dari serba tidak sadar ke serba sadar.

Labih lanjut, Havighurst (Arlizon, 1995:31) mengemukakan bahwa

pelaksanaan tugas-tugas perkembangan berdasarkan tiga hal yaitu :

a. Dasar biologis, yang berkaitan dengan kematangan jasmani seseorang

misalnya sisten syaraf individu tumbuh semakin kompleks sehingga

kemungkinan untuk melakukan panalaran dan mengerti matematika,

ataupun ketika individu belajar bertingkah laku dengan lawan jenis yang

dapat diterima pada masa remaja karena kematangan organ-organ seksual;

b. dasar psikologis, yaitu perkembangan mental seseorang yang

dihubungkan dengan tugas-tugas perkembangan, nilai-nilai dan cita-cita

individu mempengaruhi pencapaian tugas-tugas perkembangan, kemajuan

dan kegagalan dalam tugas tersebut akan mempengaruhi kepribadian

individu; dan

c. dasar budaya, yaitu tugas perkembangan berbeda dalam suatu kultur dan

kultur lainny, maka pelaksanaan tugas perkembangan berdasar pada

ketentuan yang ada dalam masyarakat.

Menurut Hurlock, tugas perkembangan memiliki tiga tujuan yaitu (a)

sebagai petunjuk bagi individu untuk mengetahui apa yang diharapkan

masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu; (b) member motivasi kepada

setiap individu untuk melakukan apa yang diharapkan dari mereka oleh kelompok

social pada usia tertentu sepanjang kehidupan mereka; dan (c) menunjukan

Page 56: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

76

kepada setiap individu tentang apa yang mereka hadapi dan tindakan apa yang

diharapkan dari mereka ketika sampai tingkat perkembangan selanjutnya (Arlizon,

1995:33)

Factor-faktor yang dapat membantu pencapaian tugas-tugas perkembangan

menurut Hurlock (Arlizon, 1995:33) adalah tingkat perkembangan yang normal,

kesempatan-kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas dalam perkembangan dan

bimbingan untuk menguasainy, memotivasi, kesehatan yang baik dan tidak ada

cacat tubuh, tingkat kecerdasan dan kreatifitas.

Havighurst mengungkapkan tentang tugas perkembangan yang harus

dilalui oleh seorang remaja (Makmum, 2002: 113) yaitu:

a. mencapai hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebaya, laki-laki dan wanita;

b. mencapai peran jenis kelamin sebagai laki-laki atau perempuan, c. menerima keadaan jasmaninya dan menggunakan jasmaninya secara

efektif; d. mencapai kemandirian secara emosional dan ketergantungan kepada

orang tua atau orang dewasa lainnya; e. mencapai keyakinan akan kemandirian secara ekonomi pada masa

mendatang; f. memilih dan mempersiapkan diri untuk menjalankan sustu pekerjaan

tertentu; g. menyiapkan diri untuk perkawinan dan berkeluarga; h. mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual sebagai warga

masyarakat; i. menginginkan dan melakukan tindakan-tindakan secara social

bertanggung jawab; dan j. memilih seperangkat system tata nilai dan tata karma yang menuntun

perilakunya.

2. Gaya Hidup remaja

Dengan konsep gaya hidup (style of life) ini, Adler menjalaskan keunikan

manusia. Setap orang mempunyai tujuan, merasa inferior, berjuang menjadi

superior, dan dapat mewarnai atau tidak mawarnai usaha superiornya dengan

Page 57: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

77

minat sosial. Namun setiap orang melakukannya dengan gaya hidup yang

berbeda-beda. Gaya hidup adalah cara unik dari setiap orang dalam berjuang

mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam berjuang mencapat

tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana ia

berada.

Gaya hidup telah terbentuk pada usia 4-5 tahun. Gaya hidup itu tidak

hanya ditentukan oleh kemampuan intristik (hereditas) dan lingkungan objektif,

tetapi dibentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interpretasi terhadap

keduanya. Terutama hidup ditentukan oleh inferioritas-inferioritas khusus yang

dimiliki seseorang (bisa khayalan dan nyata) yakni konvensasi dari inferioritas itu.

Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis,

yaitu :

1. sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)

2. sebagai agen perubahan (agent of change)

3. sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)

Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab

sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang

tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas

sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam dunia kampusnya

untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus yang harmonis serta

juga kehidupan diluar kampus.

Page 58: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

78

Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan :

1. Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan.

2. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap

tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa.

3. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali

untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan

yang telah mereka perjuangkan.

Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan

mahasiswa dalam kehidupan politik.

1. sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik,

mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.

2. sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah,

sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik

yang terpanjang diantara angkatan muda.

3. kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan

mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah,

suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari.

4. mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari

susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat

dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.

Page 59: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

79

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Perubahan Moral

Pada Mahasiswa Urban

1. Pembentukan dan Perubahan Sikap

Menurut Sherif & Sherif (1956) sikap menentukan keajegan dan kekhasan

perilaku seseorang dalam hubungan dengan stimulus manusia atau kejadian-

kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya

suatu perbuatan atau tingkah laku.

Pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil

interaksi antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis.

Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap. Sikap dapat pula

dinyatakan sebagai hasil belajar, karenanya sikap dapat mengalami perubahan.

Sesuai yang dinyatakan oleh Sherif & Sherif (1956) bahwa sikap dapat berubah

karena kondisi dan pengaruh yang diberikan. Olah karena itu, hasil dari belajar

sikap tidaklah terbentuk dengan sendirinya karena pembentukan sikap senantiasa

akan berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek tetantu.

Lebih tegas, menurut Bimo Walgito (1980) bahwa pembentukan dan

perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

1) Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam

menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang

datang akan diterima atau ditolak.

2) Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang

merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.

Page 60: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

80

Sementara itu, Mednick, Higgins & Kirschenbaum (1975) menyebutkan

bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

a) Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan

b) Karakter kepribadian individu

c) Informasi yang selama ini diterima individu

Ketiga faktor ini akan berinteraksi selama pembentukan sikap. Dari uraian

di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan perubahan sikap pada

dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan faktor luar dari

individu yang keduanya saling berinteraksi. Proses ini akan berlangsung selama

perkembangan individu. Dalam paparan berikutnya akan dibahas teori-teori yang

menjalaskan bagaimana sikap itu dibentuk dan diperoleh.

2. Pengaruh Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan

individu yang lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu

yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbalbalik (Bimo Walgito,

1990). Sementara Soekanto (1997) yang mendefinisikan interaksi sosial sebagai

hubungan antar orang per orang atau dengan kelompok manusia.

Interaksi social tak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua

syarat, yaitu: (1) adanya kontak social, dan (2) adanya komunikasi. Kontak sosial

dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok,

antara kelompok dengan kelompok. Kontak juga dapat bersifat primer jika itu

terjadi secara langsung atau face-to-face, dan sekunder jika hubungan itu melalui

perantara orang atau media lainnya. Sementara komunikasi baik verbal ataupun

Page 61: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

81

nonverbal merupakan saluran untuk menyampaikan perasaan ataupun ide/pikiran

dan sekaligus sebagai media untuk dapat menafsirkan atau memahami pikiran

atau perasaan orang lain.

Menurut Soekanto (1997) ada empat pola interaksi social, yaitu kerjasama

(cooperation), persaingan (competition), pertentangan (conflict), dan akomodasi

(accommodation).

Menurut Gillin & Gillin (dalam Soekanto, 1997) :

“Ada dua macam proses social yang timbul sebagai akibat adanya interaksi social, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif terdiri dari akomodasi, asimilasi dan akulturasi, sedangkan proses disosiatif meliputi persaingan dan pertentangan atau pertikaian yang mencakup kontropersi dan konflik.”

Dengan demikian interaksi social akan menjadi daser bagi perilaku sosial

akan menjadi dasar bagi perilaku sosial yang lebih mendalam dengan berbagai

bentuknya.

a. bentuk-bentuk dasar interaksi sosial

Terdapat beberapa bentuk interaksi sosial yang terjadi seperti dikemukakan

oleh beberapa tokoh yang dirangkum sebagai berikut:

a. imitasi

Gabriel Trede menyatakan bahwa seluruh kehidupan sosial manusia didasari

oleh faktor-faktor imitasi. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk

melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam lapangan pendidikan dan

perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai peranan yang sangat

penting karena dengan mengikuti suatu contoh yang baik akan merangsang

seseorang untuk melakukan perilaku yang baik pula. Apabila seseorang telah

Page 62: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

82

dididik untuk mengikuti sustu tradisi tertentu yang melingkupi segala situasi

sosial maka orang tersebut akan memiliki kerangka tingkah laku dan sikap moral

yang dapat menjadi pokok pangkal guna memperluas perkembangan perilaku

yang positif (Gerungan, 1996).

Sedangkan dampak negatif dari pola imitasi dalam interaksi sosial adalah

apabila perilaku yang imitasi adalah perilaku yang salah, baik secara moral

maupun hokum, sehingga diperlukan upaya yang kuat untuk menolaknya. Adapun

syarat-syarat terjadinya imitasi adalah sebagai berikut:

1) Terjadinya minat, perhatian yang cukup besar terhadap sesuatu yang

ingin diimitasi

2) Adanya sikap yang minjungjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang

hendak diimitasi

3) Individu yang melakukan imitasi suatu pandangan atau tingkah laku,

biasanya karena hal tersebut mempunyai penghargaan sosial yang tinggi.

b. Sugesti

Sugesti dan Imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial mempunyai

arti yang hampir sama. Keduanya merupakan suatu proses saling pengaruh antara

individu atau kelompok yang satu dengan yang lainny; initasi merupakan sustu

proses peniruan terhadap sesuatu yang berasal dari luar dirinya, sedangkan sugesti

merupakan suatu proses pemberian pandangan atau sikap dari diri seseorang

kepada orang lain di luar dirinya (Gerungan, 1998). Artinya sugesti dapat

dilakukan dan diterima oleh individu lain tanpa adanya kritik terlebih dahulu. Hal

ini didukung oleh Soekanto (1990) yang menyatakan bahwa proses sugesti dapat

Page 63: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

83

terjadi apabila individu yang memberikan pandangan tersebut adalah orang yang

berwibawa atau karena sifatnya yang otoriter.

Terdapat beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya sugesti dapat

diterima oleh individu lain:

1). Sugesti karena hambatan berfikir

Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa individu yang dikenai

mengambil alih pandangan-pandangan dari individu lain tanpa

memberikan prtimbangan kritis terlebih dahulu (tanpa disertai proses

evaluasi informasi). Sugesti akan lebih mudah terjadi apabila individu

yang dikenai berada dalam kondisi yang lelah karena dalam kondisi lelah

kemampuan berfikir kritis individu menjadi terhambat.

2). Sugesti karena pikiran terpecah (disosiasi)

Sugesti akan lebih mudeh terjadi apabila individu yang dikenal berada

dalam kondisi berfikir yang terpecah, misalnya sedang mengalami

konflik. Dalam kondisi yang sedang kebingungan untuk menentukan

pilihan terhadap sustu hal, maka akan mudah bagi individu tersebut untuk

dipengaruhi.

3). Sugesti karena otoritas

Individu cenderung akan dengan mudah menerima pandangan atau

sikap tertentu dari individu lain yang dianggap ahli dalam bidangny.

Misalnya pejabat, ilmuwan atau individu yang memiliki prestise sosial

yang tinggi akan lebih mudah memberikan pengaruhnya kepada orang

lain.

Page 64: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

84

4). Sugesti karena mayoritas

Pada umumnya individu akan lebih mudah untuk menerima pendapat

atau pandangan yang didukung oleh mayoritas kelompok atau

anggota masyarakat.

5). Sugesti karena will to believe

Diterimanya suatu pandangan atau pendapat yang diberikan oleh

individu lain karena individu yang bersangkutan telah memiliki

pendapat yang sama sebelumnya. Dengan demikian individu tersebut

akan lebih mudah dengan sadar bersedia untuk menerima pandangan

karena telah meyakini pandangan yang diterimanya itu sebelumnya.

c. Identifikasi

Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama)

denganorang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah (Ahmadi, 1990). Proses

identifikasi pertama-tama berlangsung secara tidak sadar, dan selanjutnya

irrasional. Artinya, identifikasi dilakukan berdasarkan perasaan-perasaan atau

kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional dimana

identifikasi akan berguna untuk melengkapi sistem norma, cita-cita dan pedoman

bagi yang bersangkutan. Identifikasi memungkinkan terjadinya pengaruh yang

lebih mendalam daripada proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan

bahwa mulanya identifikasi diawali oleh adanya imitasi maupun sugesti.

d. Simpati

Simpati merupakan suatu betuk inetraksi yang melibatkan adanya

ketertarikan individu terhadap individu lainnya. Simpati timbul tidak berdasarkan

Page 65: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

85

pada pertimbangan yang logis dan rasional, melainkan berdasarkan penilaian

perasaan. Soekanto (1990) menyampaikan behwa dorongan utama pada simpati

adalah adanya keinginan untuk memahami pihak lain dan bekerjasama. Smith

(1996) membedakan dua bentuk dasar simpati, yaitu :

1). Simpati yang menimbulkan respon secara cepat (hampir seperti refleks)

2). Simpati yang sifatnya lebih intelektal, artinya seseorang dapat bersimpati

pada orang lain sekalipun dia tidak dapat merasakan apa yang dirasakan.

3. Kurangnya pendidikan agama

Agama merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa aspek. Daradjad

(1993) mengemukakan bahwa agama meliputi kesadaran beragama dan

pengalaman beragama. Kesadaran beragama adalah aspek yang terasa dalam

pikiran yang merupakan aspek mental dan aktivitas beragama, sedangkan

penagalaman beragama adalah perasaan yang membawa kepada keyakinan yang

dihasilkan oleh tindakan.

Hurlock (1973) mengatakan bahwa religi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur

keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaran agama. Spinks

(1963) mengatakan bahwa agama meliputi adanya keyakinan, adat, tradisi, dan

juga pengalaman-pengalaman individual. Pembagian-pembagian dimensi-dimensi

religiusutas menurut Glock dan Stark (dalam Shaver dan Robinson, 1975;

Subandi, 1998; Afiatin, 1997) terdiri dari lima dimensi, diantaranya :

Page 66: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

86

a). Dimensi keyakinan (the ideological dimension)

Dimana keyakinan adalah tingakatan sejauh mana sesorang menerima dan

mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya. Misalnya keyakianan adanya

sifat-sifat Tuhan, adanya Malaikat, Surga, para Nabi, dan sebagainya.

b). Dimensi peribadatan atau praktik (the ritualistic dimension)

Dimensi ini adalah tingkatan sejauh mana seseorang menunaikan

kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Misalnya, alam ajaran islam

menunaikan shalat, zakat, puasa, haji, dan segainya.

c). Dimensi feeling atau penghayatan (the experiencal dimension)

Dimensi penghayatan adalah perasaan-perasaan keagamaan yang pernah

dialami dan dirasakan seperti merasa dekat dengan Tuhan, tentram saat berdo’a,

tersentuh mendengar ayat kitab suci, merasa takut berbuat dosa, merasa senang

do’anya dikabulkan, dan sebagainya.

d). Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension)

Dimensi ini adalah seberapa jauh seseorang mengetahui dan memahami

ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci, hadist, pengetahuan

tentang fikih, dan sebagainya.

e). Dimensi effect atau pengalaman (the consequential dimension)

Dimensi pengalaman adalah sejauh mana implikasi ajaran agama

mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sosial. Misalnya

mendermakan harta untuk keagamaan dan sosial, menjenguk orang sakit,

mempererat silaturahmi, dan sebagaimya

Page 67: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

87

Pendapat tersebut sesuai dengan lima aspek dalam pelaksanaan ajaran

agama islam tentang aspek religiusitas, yaitu aspek iman sejajar dengan religious

belief; aspek islam sejajar dengan roligious practice; aspek ihsan sejajar dengan

religious feeling; aspek ilmu sejajar dengan religious knowledge; dan aspek Amal

sejajar dengan religious effect (Subandi, 1998).

Nashori (1997) menjelaskan bahwa orang religius akan mencoba patuh

terhadap ajaran-ajaran agamanya, selalu berusaha mempelajari pengetahuan

agama, menjalankan ritual agama, meyakini doktrin-doktrin agamanya, dan

selanjutnya merasakan pengalaman-pengalaman beragama. Dapat dikatakan

bahwa seeoramg religius jika mampu melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas

tersebut dalam perilaku dan kehidupannya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas

mempunyai lima dimensi, yaitu dimensi keyakinan (the ideologikal dimension),

dimansi peribadatan praktik agama (the ritualistic dimension), dimensi feeling

atau penghayatan (the experiencal dimension), dimensi pengetahuan agama (the

intellectual dimension), dan dimensi effect atau pengalaman (the consequential

dimension).

a. Kehidupan religiusitas pada remaja

Manusia lahir mambawa fitrah keagamaan. Akan tetapi, dalam

perkambangan selanjutnya dipengaruhi oleh pengalaman keagamaan, struktur

kepribadian serta unsur kejiwaaan lainnya. Manusia religius adalah manusia yang

struktur mental secara keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta

nilai mutlak, memuaskan, dan tertinggi, yaitu Tuhan. Pemahaman terhadap ajaran

Page 68: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

88

agama bersifat khas untuk setiap orang yang dipengaruhi oleh lingkungan serta

perkembangan internal. Pada tahap ini terdapat tiga tipe, yaitu pemahaman secara

konvensional dan konservatif, pemahaman yang murni dan bersifat personal, dan

memahami konsep tuhan secara Humanis.

Keberagamaan pada remaja adalah keadaan peralihan dari kehidupan

beragama anak-anak menuju ke arah kemantapan beragama. Sifat kritis terhadap

ajaran agama mulai timbul pada masa remaja. Mereka mulai menemukan

pengalaman dan penghayatan ketuhanan yang bersifat individual. Keislaman

mulai otonom, hubungan dengan Tuhan semakin disertai kesadaran dan

kegiatannya dalam masyarakat semakin diwarnai oleh rasa keagamaan.

Daradjat (1993) mengemukakan bahwa pada masa remaja mulai akan ragu-

ragu terhadap kaidah-kaidah ahlak dan ketentuan-ketentuan agama. Mereka tidak

mau lagi menerima ajaran-ajaran agama begitu saja seperti pada masa kanak-

kanak. Powel dan Subandi (1988) menyatakan bahwa agama dapat menstabilkan

perilaku dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia serta

menawarkan perlindungan dan rasa aman. Muthahhari (1992) mengatakan

bahwwa tanpa keyakinan dan keimanan, mausia tidak dapat meyakini kehidupan

yang baik terhadap suatu yang bermanfaat baginya. Ditambahkan pula oleh Nash

(1983) bahwa manusia sangat membutuhkan agama, tanpa agama belum menjadi

manusia yang utuh.

Streng mengemukakan bahwa remaja membutuhkan agama sebagai suatu

yang bersifat personal dan penuh makna tidak hanya ketika mereka mendapatkan

kesulitan. Remaja memerlukan agama sebagai sumber pegangan dalam

Page 69: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

89

kehidupannya bagi optimalisasi perkembangan dirinya sebagai sumber kekuatan

dan keberanian yang mutlak bagi diriny. Kebutuhan beragama pada remaja

bervariasi antara satu dengan lainnya.

Kehidupan religiusitas pada remaja dipengaruhi oleh pengalaman

keagamaan, struktur kepribadian serta unsur kepribadian lainnya. Pada masa

remaja, perkembangan keagamaan ditandai dengan adanya keragu-raguan

terhadap kaidah ahlak dan ketentuan-ketentuan agama. Namun pada dasarnya

sebagai manusia remaja tetap membutuhkan agama sebagai pegangan dalam

kehidupan, terutama pada saat menghadapi kesulitan.

4. Lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar

Dalam hal ini yang dimaksud lingkungan adalah segala sesuatu yang ada

disekitar kita dan mempengaruhi kehidupan kita yang berpa benda mati atau

hidup. Lingkungan sosial meliputi manusia-manusia kian yang berbeda, misalnya

teman, tetangga atau orang lain yang tidak kita kenal sekalipun. Lingkungan

sosial berkaitan dengan hubungan antara manusia-manusia yang berbeda dalam

kehidupan mereka sehari-hari, baik yang berhubungan dengan masalah sosial

secara umum, budaya, politik, dan sebagainya.

i. Lingkungan Masyarakat

Masyarakat merupakan lingkungan tersier (ketiga) dan lingkungan yang

terluas bagi remaja serta sekaligus paling banyak menawarkan pilihan yang tidak

jarang menimbulkan pertentangan batin di dalam diri remaja itu sendiri. Sarlito

Wirawan Sarwono (2004:131) mengungkapkan bahwa: ”Pengaruh lingkungan

Page 70: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

90

pada tahap yang pertama diawali pergaulan dengan teman. Kuatnya pengaruh

teman sering dianggap sebagai pemicu dari perilaku remaja yang buruk”.

Sebagai contoh, hasil penelitian yang dilakukan oleh Arswendo dkk.,

(dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2004:132) menyimpulkan bahwa terdapat

faktor-faktor perkelahian remaja di sekolah yaitu lawan yang mulai (31,18%) dan

solider (setia) pada kawan (24,75%). Sedangkan mengenai faktor yang paling

mempengaruhi perkelahian adalah faktor teman, pacar dan sahabat (47,4%).

Selain dari teman, dampak yang diberikan juga datang dari gaya hidup dan gaya

berpakaian masyarakat yang sudah kebarat-baratan. Pengaruh lain dari lingkungan

pada diri remaja juga tampak dalam aspek kehidupan beragama.

a. Keharmonisan Keluarga.

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer

bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan sekolah ikut

memberikan nuansa pada perkembangan anak, karena itu baik buruknya struktur

keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya

pertumbuhan kepribadian anak (Kartono, 2008:57). tetapi menurut Hawari (1997)

keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam

keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap

berpegang teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis

antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan. Selain itu Simandjuntak

(1984) berpendapat bahwa secara garis besar munculnya perilaku delinkuen pada

remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Pertama, faktor internal

Page 71: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

91

yang dimaksud meliputi karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianut, sikap

negatif terhadap sekolah, serta kondisi emosi remaja yang labil.

Pola terbentuknya konsep diri pada seorang individu bukan merupakan

bawaan dari lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses

pembentukan konsep diri tidak dapat terlepas dari peran keluarga. Konsep diri

yang positif dan keluarga yang harmonis ditengarai akan mampu mencegah

seorang remaja untuk cenderung melakukan kenakalan atau perbuatan yang

negatif. Sedangkan yang kedua, faktor eksternal mencakup lingkungan rumah

atau keluarga, sekolah, media massa, dan keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan

pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terbentuknya pola diri

seorang individu berasal dari lingkungan keluarga, hasil bentuk kepribadina

individu tergantung dengan pola didikan yang diajarkan oleh setiap keluarga.

Sedangkan Basri (1999) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab

juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara

suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah

kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan

kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan

pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya

kehidupan keluarga yang harmonis.

Selanjutnya, Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan

perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai

tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar

orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan

Page 72: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

92

keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana

keluarga ynag tercipta adalah tidak menyenangkan, sehingga anak ingin keluar

dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan

mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan

lainnya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pengaruh keharmonisan

keluarga, terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga bagi anak dimana di

dalamnya tercipta kehidupan beragama, suasana keluarga yang hangat, saling

menghargai, saling pengertian, adanya keterbukaan dalam keluarga dan anak,

saling menjaga dan adanya kasih sayang dan rasa saling percaya sehinga akan

membentuk anak untuk tumbuh kembang secara seimbang dan baik.

2. Pengaruh kendali kontrol orang dewasa

Kondisi sosial telah menyebabkan kontrol orang dewasa terhadap para

remaja dan adolesens jadi semakin menurun. Karena itu norma, control dan sanksi

sosial menjadi semakin melemah, yang membawa akibat anak-anak dan para

remaja menjadi binal tidak terkontrol dan tidak terkendali. Dalam situasi social

yang menjadi semakin longgar anak-anak muda kemudian menjauhkan diri dari

keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dirasakan

sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru

dengan subkultur baru yang delinkuen sifatnya. Selain itu remaja yang memiliki

konsep diri yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu spontan, kreatif

dan orisinil, menghargai diri sendiri dan orang lain, bebas dan dapat

Page 73: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

93

mengantisipasi hal negatif serta memandang dirinya secara utuh, disukai,

diinginkan dan diterima oleh orang lain (Combs Snygg dalam Shiffer dkk., 1977).

Anak-anak muda itu kemudian melakukan pemberontakan dengan jalan

menggabungkan diri dalam gang-gang delinkuen karena mereka merasa tidak

mempunyai peranan social yang berarti, bahkan merasa tidak dimanusiakan oleh

orang dewasa, sehingga hidupnya menjadi kosong tidak berarti. Pemberontakan

yang dilakukan anak-anak muda tersebut merupakan “keputusasaan mereka sering

menjadi anteseden atau pendahulu bagi kecenderungan rebeli (melakukan

pemberontakan) serta kriminal” (Simcombe, 1964; Toby & Toby, 1961).

Maka dalam masyarakat modern sekarang pendidikan merupakan

mekanisme vital untuk mengalokasikan remaja dan anak muda ke dalam posisi-

posisi individu, terutama dalam sector pekerjaan dan jabatan. Selain hubungan

emosional antara orang tua dan anak sangat diperlukan dalam menjamin

hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua, memiliki harga diri dan

kesejahteraan emosional yang baik. Tetapi bila sebaliknya maka “ketidakdekatan

(detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan

akan penolakan oleh orang tua yang sendiri”(Santrock, 1995lebih besar serta

perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri).

5. Pengaruh globalisasi,teknologi dan informasi

Salah satu ciri masyarakat indonesia tempat sebagian besar remaja kita

tinggal adalah masyarakat transisi yang sedang beranjak dari keadaan yang

tradisional menuju kondisi yang lebih modern. Hanya sebagian kecil remaja

tinggal di masyarakat yang belum terjangkau prasarana komunikasi (misal di

Page 74: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

94

kalangan suku terasing atau pedesaan yang terisolasi). Sebagian besar remaja yang

lain, apalagi yang tinggal di kota-kota besar, sudah jelas harus berhadapan dengan

masyarakat yang sedang dalam masa transisi.

Masyarakat transisi ini dalam istilah J. Useem dan R.H Useem (1968)

dinamakan modernizing society. Masyarakat seperti ini berbeda dari tradition

oriented society (masyarakat tradisional) dan modern society (masyarakat

modern). Dikatakan bahwa ciri masyarakat tradisional adalah mencoba

melegalkan nilai-nilai dari masa lalunya ke masa depan dengan cara

mempraktikan terus adat istiadat, upacara-upacara, dan kebiasaan-kebiasaan yang

sudah berlaku sejak zaman nenek moyang mereka.

Masyarakat transisi, menurut Useem dan Useem adalah masyarakat yang

sedang mencoba untuk membebaskan diri dari nilai-nilai baru atau hal-hal baru.

Masa transisi di Eropa ditandai dengan mulai dikenalnya teknologi mesin uap, alat

fotografi dan listrik, yang bersamaan terjadinya dengan dikenalnya sistem

demokrasi yang menggantikan monarki. Dalam masyarakat indonesia, tenologi

merupakan hal yang baru, yang ulai dikenal masyarakat walaupun bukan langsung

merupakan hasil ciptaan sendiri. Bersaaan dengan itu, adat istiadat mulai

ditinggalkan orang dan digantikan dengan tata cara yang lebih bebas, sesuai

dengan kondisi yang berlaku sekarang dan di masa depan. Misalnya, kartu

Lebaran atau Natal digantikan dengan SMS atau Facebook

Page 75: S PK 0704396 Chapter2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0704396_chapter2(2).pdf · Perilaku moral memiliki arti yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial

95

Bergesernya tatanan masyarakat itu menurut Allan Schneiberg (1980 : 114)

disebabkan oleh teknologi itu sendiri, yang pada hakikatnya menagandung sifat

menimbulkan masalah pada lingkungannya jika digunakan secara meluas.

Masyarakat tidak dapat mengubah dirinya dengan cepat untuk mengimbangi

dampak lingkungan yang timbul oleh teknologi.