rj-kardiologi pada tahun 2013

2
1 Kardiologi pada Tahun 2013: Sindrom Koroner Akut Pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi tantangan dalam meningkatkan keluaran meskipun ada kemajuan besar dalam beberapa tahun terakhir. Selama tahun 2013 kemajuan telah dibuat sehubungan dengan pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme dan diagnosa SKA. Studi terbaru memberikan pengetahuan mendasar tentang manajemen yang optimal, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan obat antitrombotik. Patofisiologi Obesitas tetap menjadi faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Secara khusus Angeris et al. mendata 64.436 pasien yang menjalani angiografi koroner yang terkena sindrom koroner akut (SKA) dari Swedish Coronary Angiography and Angioplasty Registry (SCAAR). Hubungan antara BMI dan mortalitas membentuk kurvaU, dengan titik terendah antara obesitas dan berat badan yang kurang. Niccoli et al, menyoroti "diabetic paradocs" membanding kan temuan angiografi antara pasien dengan diabetes dan yang tanpa diabetes, menemukan bahwa aterosklerosis koroner tingkat keparahannya lebih berat pada mereka yang terkena diabetes. Pessi et al, menemukan DNA bakterial endodontik tipikal, terutama oral viridans streptococci sekitar 78% dari aspirasi trombus koroner pada pasien dengan akut infark miokard ST elevasi. Temuan ini memerlukan investigasi lebih lanjut apakah peningkatan kesehatan gigi dan perawatan gigi bisa menjadi tindakan preventif. Diagnosis Awal dan Stratifikasi Risiko Tantangan terbesar di seluruh dunia adalah diagnosis cepat AMI di ruang gawat darurat untuk pasien yang dicurigai SKA. Pengukuran Copeptin dan highsensity troponin menjadi pendekatan dengan pembiayaan yang efektif pada pasien dengan nyeri dada yang dicurigai SKA. Wauters et al, menemukan 2.099 pasien SKA yang terdaftar dalam Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) yang secara independen dihubungkan dengan kejadian SKA berulang. Penelitian ini membuka jalan untuk pemanfaatan penilaian genetik dalam stratifikasi risiko SKA. Barthel et al, menguji apakah laju pernafasan memberi kan informasi prognosis terhadap 941 pasien STEMI. Diantara pasien dengan GRACE score (≥120) 5year mortality 50% dengan LVEF ≤35% dan RR ≥20x/min. Sedangkan <10% dengan LVEF >35% dan RR <20x/min. Studi ini memberi gambaran bahwa pengamatan klinis yang sederhana dan murah dapat memberikan gambaran prognosis. Link et al menginvestigasi biomarker dari resiko pasien dengan syok kardiogenik , dan menemukan bahwa kadar Angiopoietin2 memprediksi 1year mortality rate. Penting untuk mengidentifikasi pasien dengan resiko tinggi yang mendapatkan manfaat untuk dilakukan intraaortic balloon counterpulsation (IABP). Angiopoietin2 mungkin dapat men jadi target terapi dan menjadi peran penting dalam pe nanganan pasien dengan syok kardiogenik. STEM CELL Dalam TIMI trial, Traverse et al, 120 pasien tercatat dengan nilai LVEF ≤45% setelah menjalani IKP yang berhasil akibat ST elevasi, dibandingkan secara acak intracoronary infusion bone marrow mononuclear cells dengan placebo, yang diberikan pada masingmasing hari ke 3 atau ke 7, menunjukan tidak ada efek signifikan terhadap perbaikan fungsi ventrikel kiri. Bone marrow mononuclear cells tidak efektif dalam meningkatkan fungsi LV yang diberikan setelah postSTEMI. Namun hasil metaanalysis menunjukan bahwa terapi bone marrow cell dewasa dapat meningkatkan kelangsungan hidup. Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan ACCOAST trial, yang dilakukan pada 4.033 pasien dengan non STelevasi dan terdapat peningkatan kadar Tn, membanding kan pemberian prasugrel pada saat ditegakan diagnosis (30mg sebelum angiografi dan 30mg sebelum IKP) dengan

Upload: tiven-stive

Post on 08-Sep-2015

220 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kardiologi

TRANSCRIPT

  • 1

    Kardiologi pada Tahun 2013: Sindrom Koroner Akut

    Pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi tantangan dalam meningkatkan keluaran meskipun ada kemajuan besar dalam beberapa tahun terakhir. Selama tahun 2013 kemajuan telah dibuat sehubungan dengan pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme dan diagnosa SKA. Studi terbaru memberikan pengetahuan mendasar tentang manajemen yang optimal, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan obat antitrombotik.

    Patofisiologi Obesitas tetap menjadi faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Secara khusus Angeris et al. mendata 64.436 pasien yang menjalani angiografi koroner yang terkena sindrom koroner akut (SKA) dari Swedish Coronary Angiography and Angioplasty Registry (SCAAR). Hubungan antara BMI dan mortalitas membentuk kurva-U, dengan titik terendah antara obesitas dan berat badan yang kurang. Niccoli et al, menyoroti "diabetic paradocs" membanding-kan temuan angiografi antara pasien dengan diabetes dan yang tanpa diabetes, menemukan bahwa aterosklerosis koroner tingkat keparahannya lebih berat pada mereka yang terkena diabetes. Pessi et al, menemukan DNA bakterial endodontik tipikal, terutama oral viridans streptococci sekitar 78% dari aspirasi trombus koroner pada pasien dengan akut infark miokard ST-elevasi. Temuan ini memerlukan investigasi lebih lanjut apakah peningkatan kesehatan gigi dan perawatan gigi bisa menjadi tindakan preventif. Diagnosis Awal dan Stratifikasi Risiko Tantangan terbesar di seluruh dunia adalah diagnosis cepat AMI di ruang gawat darurat untuk pasien yang dicurigai SKA. Pengukuran Copeptin dan high-sensity troponin menjadi pendekatan dengan pembiayaan yang efektif pada pasien dengan nyeri dada yang dicurigai SKA. Wauters et al, menemukan 2.099 pasien SKA yang terdaftar dalam Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) yang secara independen dihubungkan dengan kejadian SKA berulang. Penelitian ini membuka jalan untuk pemanfaatan penilaian genetik dalam stratifikasi risiko SKA. Barthel et al, menguji apakah laju pernafasan memberi-kan informasi prognosis terhadap 941 pasien STEMI. Diantara

    pasien dengan GRACE score (120) 5-year mortality 50% dengan LVEF 35% dan RR 20x/min. Sedangkan 35% dan RR

  • 2

    pemberian pasugrel setelah angiografi yang diikuti IKP (60 mg). Bahwa strategi pemberian prasugrel sebelum angiografi dan sebelum IKP tidak menurunkan resiko kematian dari kejadian penyakit kardiovaskular tetapi bahkan meningkatkan resiko perdarahan. Sesuai rekomendasi dari pedoman European Society of Cardiology, bahwa pemberian prasugrel diindikasikan hanya untuk pasien yang direncanakan IKP. Pertanyaan yang sama adalah apakah ini juga berlaku untuk pemberian clopidogrel dan ticagrelor? Manfaat jangka panjang dari pengobatan antiplatelet pada pasien dengan ACS dan dengan angiografi koroner yang terdokumentasi, antara clopidogrel dan pasugrel, komplikasi perdarahan lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan pasugrel. Tetapi tidak berbeda secara signifikan pada observasi jangka panjang. Oral P2Y12 inhibitors telah terbukti menurunkan kejadian iskemik post-SKA dan IKP. Tetapi terjadi keterlambatan onset yang berhubungan dengan absorpsi dan metabolik tranformasi yang dapat menghambat tingkat keberhasilan terapi. Baru-baru ini, cangrelor, antiplatelet intravena mempunyai onset yang cepat, paten, reversibel dan masa paruh yang pendek (3-6 min). Cangrelor tampaknya menjadi pilihan sampai oral P2Y12 inhibitors bekerja secara efektif dan sebagai alternatif ketika glikoprotein IIb/IIIa antagonist dapat meningkatkan resiko perdarahan. Dalam pengelolaan pasien yang menjalani IKP dengan SKA, bahwa pada fase akut antikoagulan kurang efektif dan paten dibandingkan antiplatelet.

    Pre-hospital STEMI treatment Terapi fibrinolitik pre-hospital pasien dengan onset < 3 jam STEMI dan tidak bisa menjalani PCI dalam 1 jam setelah kontak pertama dengan tenaga medis, dalam studi STREAM, angka kematian, syok, gagal jantung kongestif atau infark berulang dalam 30 hari hasilnya sama dengan pasien yang mendapat IKP, namun dengan sedikit peningkatan risiko perdarahan intrakranial pada pemberian fibrinolitik. Hal ini menjadikan terapi fibrinolitik tetap sebagai pilihan kedua selama IKP tersedia. Pemberian antikoagulan pre-hospital dalam penanganan pasien dengan STEMI untuk pertama kali dibahas dalam EUROMAX trial, membandingkan heparin dan pilihan gliko- protein Ilb/Illa dengan penghambat trombin bivalirudin, yang sebelumnya terbukti mengurangi angka kematian dalam HORIZONS AMI trial, 2218 pasien dengan STEMI, bivarudin dimulai sejak tranportasi menuju IKP, meningkatkan keluaran klinis 30-hari. Pemberian antiplatelet atau antikoagulan pada pasien STEMI tetap sebagai dokter harus bisa memutuskan dengan ketepatan dan pertimbangan manfaat walaupun tetap ada perbedaan pendapat yang terjadi. Dalam keadaan akut STEMI lebih baik sebagai dokter melakukan tindakan dari pada menunggu dan kehabisan waktu untuk memberikan hasil yang baik, namun tetap dengan pertimbangan yang matang. (Alam Anshori)

    European Heart Journal (2014) 35, 349-352