ringkasan - pwd.ipb.ac.idpwd.ipb.ac.id/doc/disertasi 2014-2015.pdf · kabupaten lamongan, jawa...

19
RINGKASAN AHMADRISWAN NASUTION. Peran Modal Sosial terhadap Pengurangan Kemiskinan Rumah Tangga Perdesaan di Indonesia. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, BAMBANG JUANDA, dan SETIA HADI. Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia menerapkan model pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Tahun 2013, Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) mencapai sekitar Rp.9,09 ribu triliun dengan nilai PDB per kapita sebesar Rp.36,5 juta. Berdasarkan pencapaian ini, Indonesia termasuk kelompok negara maju G-20. Namun ada kontradiksi, dimana tingkat kemiskinan masih relatif tinggi dan penurunannya cenderung melambat. Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai program percepatan pengurangan kemiskinan yang dijalankan oleh berbagai kementerian dan lembaga. Program-program tersebut disamping tidak terintegrasi juga masih fokus pada pengembangan infrastruktur (modal fisik), bantuan kredit (modal keuangan) dan bantuan pendidikan (modal manusia). Padahal, kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks yang melibatkan banyak faktor termasuk kelembagaan lokal dan modal sosial. Pembangunan perdesaan dapat direalisasikan karena adanya perubahanperubahan organisasi sosial dan sistem nilai. Sedangkan, produktivitas sistem ekonomi dan pengelolaan sumberdaya di perdesaan dikondisikan oleh budaya dan kelembagaan lokal yang ada di daerah. Dengan demikian, pembangunan di perdesaan perlu mendorong berkembangnya lembaga-lembaga sosial yang memungkinkan terbentuknya modal sosial yang berpotensi mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang. Bertitik tolak dari uraian dan permasalahan di atas, penelitian memiliki empat tujuan: (1) menganalisis dampak modal sosial terhadap pengeluaran per kapita rumah tangga di perdesaan; (2) menganalisis dampak modal sosial terhadap peluang rumah tangga menjadi miskin di perdesaan Indonesia; (3) menganalisis hubungan kausal dua-arah antara modal sosial dan kemiskinan di perdesaan Indonesia; dan (4) merumuskan kebijakan pengembangan modal sosial dalam pengurangan kemiskinan di perdesaan Indonesia. Pengukuran modal sosial dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu indeks modal sosial dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita rumah tangga dan status kemiskinan rumah tangga berdasarkan garis kemiskinan absolut yaitu sebesar US$ 2 PPP (purchasing power parity) tahun 2012 atau setara dengan Rp.402.528 per kapita per bulan. Untuk menjawab tujuan di atas, penelitian ini menerapkan metode analisis, yaitu analisis deskriptif, ordinary least squares (OLS), pendugaan variabel instrument, Two stage least squares (2SLS), Two-stage probit least squares (2SPLS), dan model pendugaan dua- tahap non-rekursif. Adapun sumber data penelitian ini menggunakan data berskala nasional hasil survei BPS, yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2012 dan Pendataan Potensi Desa (Podes) Tahun 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) modal sosial berpengaruh positif terhadap pengeluaran per kapita rumah tangga; (2) akses terhadap modal sosial berkaitan dengan penurunan peluang rumah tangga menjadi miskin; (3) partisipasi rumah tangga dalam kegiatan sosial sebagai proksi modal sosial berpengaruh positif terhadap peningkatan pengeluaran per kapita rumah tangga, sehingga mengurangi kemiskinan. Sebaliknya, peningkatan pengeluaran per kapita rumah tangga berpengaruh positif terhadap peluang rumah tangga berpartisipasi dalam kegiatan sosial, sehingga menunjukkan adanya hubungan kausal dua-arah antara modal sosial dan kemiskinan di perdesaan Indonesia; dan (4) dari hasil

Upload: phamtu

Post on 30-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RINGKASAN

AHMADRISWAN NASUTION. Peran Modal Sosial terhadap Pengurangan Kemiskinan

Rumah Tangga Perdesaan di Indonesia. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, BAMBANG

JUANDA, dan SETIA HADI.

Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia menerapkan model pembangunan yang

menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Tahun 2013, Produk

Domestik Bruto Indonesia (PDB) mencapai sekitar Rp.9,09 ribu triliun dengan nilai PDB per

kapita sebesar Rp.36,5 juta. Berdasarkan pencapaian ini, Indonesia termasuk kelompok

negara maju G-20. Namun ada kontradiksi, dimana tingkat kemiskinan masih relatif tinggi

dan penurunannya cenderung melambat.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai program percepatan pengurangan

kemiskinan yang dijalankan oleh berbagai kementerian dan lembaga. Program-program

tersebut disamping tidak terintegrasi juga masih fokus pada pengembangan infrastruktur

(modal fisik), bantuan kredit (modal keuangan) dan bantuan pendidikan (modal manusia).

Padahal, kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks yang melibatkan banyak

faktor termasuk kelembagaan lokal dan modal sosial.

Pembangunan perdesaan dapat direalisasikan karena adanya perubahanperubahan

organisasi sosial dan sistem nilai. Sedangkan, produktivitas sistem ekonomi dan pengelolaan

sumberdaya di perdesaan dikondisikan oleh budaya dan kelembagaan lokal yang ada di

daerah. Dengan demikian, pembangunan di perdesaan perlu mendorong berkembangnya

lembaga-lembaga sosial yang memungkinkan terbentuknya modal sosial yang berpotensi

mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang.

Bertitik tolak dari uraian dan permasalahan di atas, penelitian memiliki empat tujuan:

(1) menganalisis dampak modal sosial terhadap pengeluaran per kapita rumah tangga di

perdesaan; (2) menganalisis dampak modal sosial terhadap peluang rumah tangga menjadi

miskin di perdesaan Indonesia; (3) menganalisis hubungan kausal dua-arah antara modal

sosial dan kemiskinan di perdesaan Indonesia; dan (4) merumuskan kebijakan pengembangan

modal sosial dalam pengurangan kemiskinan di perdesaan Indonesia.

Pengukuran modal sosial dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu

indeks modal sosial dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pengukuran kemiskinan

menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita rumah tangga dan status kemiskinan rumah

tangga berdasarkan garis kemiskinan absolut yaitu sebesar US$ 2 PPP (purchasing power

parity) tahun 2012 atau setara dengan Rp.402.528 per kapita per bulan.

Untuk menjawab tujuan di atas, penelitian ini menerapkan metode analisis, yaitu

analisis deskriptif, ordinary least squares (OLS), pendugaan variabel instrument, Two stage

least squares (2SLS), Two-stage probit least squares (2SPLS), dan model pendugaan dua-

tahap non-rekursif. Adapun sumber data penelitian ini menggunakan data berskala nasional

hasil survei BPS, yaitu Survei

Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2012 dan Pendataan Potensi Desa (Podes) Tahun

2011.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) modal sosial berpengaruh positif terhadap

pengeluaran per kapita rumah tangga; (2) akses terhadap modal sosial berkaitan dengan

penurunan peluang rumah tangga menjadi miskin; (3) partisipasi rumah tangga dalam

kegiatan sosial sebagai proksi modal sosial berpengaruh positif terhadap peningkatan

pengeluaran per kapita rumah tangga, sehingga mengurangi kemiskinan. Sebaliknya,

peningkatan pengeluaran per kapita rumah tangga berpengaruh positif terhadap peluang

rumah tangga berpartisipasi dalam kegiatan sosial, sehingga menunjukkan adanya hubungan

kausal dua-arah antara modal sosial dan kemiskinan di perdesaan Indonesia; dan (4) dari hasil

temuan di atas, pemerintah diharapkan memfasilitasi rumah tangga miskin berpartisipasi pada

kegiatan sosial dan mendorong berkembangnya organisasi-organisasi sosial untuk

pengembangan modal sosial dalam upaya mempercepat pengurangan kemiskinan di

perdesaan Indonesia.

Kata kunci: hubungan kausal dua-arah, Indonesia, kemiskinan rumah tangga, modal sosial,

perdesaan

RINGKASAN

AMARULLAH. Model Pengembangan Wilayah Berkelanjutan di Selat Sebuku, Kabupaten

Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI, TRIDOYO KUSUMASTANTO

dan ACHMAD FAHRUDIN.

Selat Sebuku memiliki sumberdaya pesisir yang produktif baik sumberdaya yang bisa

diperbaharui (renewable resource), sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable

resource) maupun jasa-jasa lingkungan (environment services). Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis nilai ekonomi total sumberdaya pesisir, menganalisis trade off interaksi stakeholders

dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, mengidentifikasi status indeks keberlanjutan dan

membangun model dinamis pengembangan wilayah di Selat Sebuku.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah valuasi ekonomi Selat Sebuku

meliputi: Production Approach, benefit transfer method (BTM) dan traffic cost method (TCM),

pendekatan Game theory pada permainan yang kooperatif menggunakan landasan pareto optimum dan

analisis keberlanjutan terhadap kawasan Selat Sebuku menggunakan metode Multi Dimentional

Scalling (MDS) yang diadopsi dari Rapfish (Rapid Appraisal of Fisheries) yang dalam penelitian

ini disebut dengan Rap-Sebuku serta model sistem dinamik dengan menggunakan tools powersim

constructor 2.5.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai Ekonomi Total (NET) Selat Sebuku sebesar

Rp. 1.708.910.394.788 yang terdiri dari: nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove Rp.

540.906.453.028, nilai manfaat ekonomi ekosistem terumbu karang sebesar Rp. 14.857.423.616,

kawasan perairan sebesar Rp. 3.299.852.400, kawasan pantai sebesar sebesar Rp. 71.558.003.826

dan areal tambang batubara sebesar 1.078.459.655.919. Berdasarkan hasil analisis diperoleh untuk

strategi pengelolaan sumberdaya yang optimal antara : 1). Pemerintah dan Swasta, pemerintah harus

limited access dengan swasta bertindak sustainable, Pemerintah melalui strategi limited acces

memperoleh pay off sebesar Rp. 1.271.382.286.300, sedangkan swasta melalui strategi sustainable

memperoleh pay off sebesar Rp. 1.446.137.883.052 ; 2). Pemerintah dan Nelayan, pemerintah harus

limited access dengan nelayan bertindak sustainable. Pay off paling besar masing-masing pemain

diperoleh dari strategi limited acces bagi pemerintah sebesar 632.579.184.900 sedangkan nelayan dengan

strategi sustainable memperoleh pay off sebesar 659.992.193.290 ; 3). Swasta dan Nelayan, nelayan dan

swasta harus bekerjasama dalam pengelolaan sumberdaya akan menghasilkan pendapatan masing-masing

Rp. 945.582.505.287 tiap tahunnya untuk swasta dan nelayan akan mendapatkan tambahan pendapatan

Rp. 83.413.897.290 tiap tahunnya. Berdasarkan hasil penilaian bobot tingkat kepentingan setiap

dimensi terhadap kinerja kawasan Selat Sebuku menunjukkan bahwa bobot dimensi ekologi

50,70, ekonomi 50,59, sosial kelembagaan 52,74 dan teknologi 51,95 dan dengan

memperlihatkan bahwa keempat dimensi pengembangan wilayah Selat Sebuku rata-rata berada

pada nilai indeks 51,50 pada skala keberlanjutan 0-100, sehingga berstatus cukup berkelanjutan.

Berdasarkan kondisi eksisting, kawasan Selat Sebuku cukup berkelanjutan dengan 17 atribut

yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan. Untuk meningkatkan status

keberlanjutan ke depan (jangka panjang), dilakukan melalui perbaikan secara menyeluruh

terhadap atribut yang sensitif. Keberlanjutan yang diharapkan dapat mengikuti tipe indikator

kondisi dan indikator trend yang menggambarkan kecenderungan linier dari perkembangan

sumberdaya sampai pada batas optimal. Hasil simulasi penelitian menunujukkan bahwa pada

kondisi existing jumlah penduduk yang terus akan meningkat hingga mencapai 740.245 jiwa

yang akan sangat berpengaruh pada kegiatan ekonomi perikanan dan pariwisata, dimana

produksiv perikanan 3.512,44 ton/tahun pada tahun 2013 meningkat hingga mencapai 4.500

ton/tahun pada tahun 2023, tetapi setelah tahun 2023 akan terus turun dan jumlah wisatawan

15.300 orang tahun 2013 naik mencapai 1.3 juta orang pada tahun 2054. Skenario adanya

kegiatan tambang di Selat Sebuku akan mempengaruhi kegiatan perikanan, produksi ikan hanya

1.967 ton tahun 2013 dan terus meningkat sampai tahun 2029 mencapai 3.528 ton/tahun, tetapi

setelah tahun 2029 produksi ikan terus turun sampai hanya 1.084 ton/tahun. Skenario adanya

eksploitasi tambang batubara sebesar 445,1 juta ton dan penambahan area tangkapan ikan ke

Selat Makasar atau Laut Jawa, diperoleh produksi ikan sebesar 4.109,55 ton/tahun dan terus

meningkat sampai tahun 2023 mencapai 5.325,07 ton/tahun, tetapi setelah tahun 2023 produksi

ikan terus turun sampai hanya 349,62 ton/tahun. Penambahan wilayah tangkapan ikan bagi

nelayan sesuai dengan RTRW Kabupaten Kotabaru Tahun 2012/2032.

Pengembangan wilayah Selat Sebuku berdasarkan pertimbangan hasil valuasi ekonomi,

analisis untuk trade off dan analisis keberlanjutan yang dibangun dalam suatu model dinamik

diperoleh skenario terbaik, yaitu skenario 3 (tiga). Skenario 3 (tiga) melalui pemanfaatan

perikanan, wisata bahari dan tambang batubara 445,1 juta ton merupakan skenario yang memiliki

potensi kontribusi paling besar terhadap pendapatan masyarakat, Pendapatan Asli Daerah (PAD)

dan PDRB, dengan tetap memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.

Key Word : Selat Sebuku, sumberdaya pesisir, pengembangan wilayah, keberlanjutan.

RINGKASAN

BUDI WARDONO. Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk

Mendukung Perekonomian Wilayah. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ACHMAD

FAHRUDIN, dan AGUS HERI PURNOMO

Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam

aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi, masyarakat pesisir sebagian

besar tergantung pada sumber daya perikanan laut, dimana mata pencahariannya rentan

terhadap guncangan dan perubahan mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal

yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan

direktif yang lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber

daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya

operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan sosial di

masyarakat pesisir.

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu nelayan Desa Weru Komplek di

Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan nelayan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Sumberdaya perikanan di Lamongan sebagian besar adalah jenis pelagis kecil dan demersal,

sedangkan di Pelabuhanratu sebagian besar sumberdayanya pelagis besar. Pemilihan lokasi

juga berdasarkan kriteria sosial ekonomi dari dua lokasi tersebut. Lamongan dengan jumlah

produksi lebih 70 ribu ton (18% dari total produksi di Provinsi Jawa Timur), dan lebih dari

28.000 nelayan yang sebagian besar adalah nelayan kecil. Jumlah produksi di Pelabuhanratu

sekitar 8 ribu ton (4,4% dari total produksi di Provinsi Jawa Barat). Lebih dari 5.000 nelayan

yang bekerja dengan berbagai armada perikanan. Selain alasan ekonomi, nelayan di

Lamongan memiliki lembaga sosial yang dikenal dengan nama "Blandongan" yang berfungsi

sebagai "penyangga" dalam menghadapi ketidakpastian. Blandongan merupakan organisasi

nelayan yang menyuarakan kepentingan nelayan dan membangun "aturan main" untuk

memfasilitasi kepentingan nelayan. Sedangkan di Pelabuhanratu, meskipun tidak ada

organisasi tertentu seperti "Blandongan" di Lamongan, namun memiliki kelembagaan formal

dan informal seperti kelompok nelayan dan kelompok perantara yang dapat memfasilitasi

kebutuhan nelayan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efisiensi alokasi sumber

daya dan analisis perubahan faktor produktifitas total; melakukan analisis indeks

ketidakstabilan perikanan tangkap; melakukan analisis value added perikanan tangkap skala

kecil; dan melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam

memenuhi modal untuk biaya operasional. Data yang digunakan adalah data skunder dan data

primer yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan. Total jumlah responden sebanyak 157

orang terdiri 83 orang di Lamongan dan 74 orang di Pelabuhanratu. Analisis dilakukan

dengan menggunakan pendekatan Data Envelopement Analysis (DEA) dan analisis indeks

Malmquist (MI) untuk mengetahui kapasitas sumber daya perikanan dan tingkat perubahan

total produktifitas total perikanan. Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppoct Instability

Indexs/CII) untuk mengetahui tingkat ketidakstabilan. Analisis regresi multinomial logistik

digunakan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber

permodalan. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa dari analisis-analisis yang

telah dilakukan, yang merupakan saran kebijakan untuk pengembangan perikanan skala kecil.

Hasil analisis kapasitas sumber daya di Pelabuhanratu, menunjukkan alat tangkap

gillnet, alat tangkap rampus dan alat tangkap pancing ulur telah menurun (decreasing return

to scale), ketiga alat tangkap tersebut sudah terjadi gejala over capacity. Kondisi ini

menyiratkan bahwa output dari alat tangkap gill net, rampus dan pancing ulur memiliki

kecenderungan tidak responsif terhadap input. Inefisiensi dalam menggunakan input akan

menyebabkan hasil tidak optimal. Hasil analisis kapasitas sumberdaya di Lamongan

menunjukan hasil yang berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa

efisiensi skala masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan

skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization)

dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat

ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi fluktuasi faktor produktifitas total yang

sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan

faktor teknologi yang mengalami perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan

efisiensinya. Analisis dengan indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat

diketahui penyebab perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input.

Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks

ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan

pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Fluktuasi produksi

yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut

berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan. Tingkat

ketidakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi

tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko

yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif

terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar

hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/ langgan memainkan peran

terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya,

dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan

nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi,

dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi

terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis rantai pasok,

rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala kecil berperanan dalam

pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat setempat. Sumber

daya perikanan pelagis kecil dan demersal lebih dominan diproses menjadi produk

jadi/setengah jadi yang menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi

oleh sumberdaya pelagis besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar,

sehingga perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, model yang direkomendasikan untuk kebijakan

mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan kondisi potensi sumber daya

perikanan, tingkat eksploitasi, tingkat kestabilan, hubungan para pelaku (nelayan-pemilik

modal/patron-client) dan dukungan kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil.

Karakteristik nelayan dan kondisi sumberdaya menentukan perilaku terhadap sumberdaya,

interaksi nelayan dengan sumber-sumber pembiayaan lebih kuat pada lokasi Lamongan

dimana masyarakat kurang mempunyai alternatif pekerjaan lain. Hubungan yang kuat antara

nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks, pengembangan perikanan skala

kecil harus menyertakan hubungan antara sektor perikanan, nelayan sebagai pemain dan

perantara/langgan/tengkulak yang menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat

pesisir agar nelayan skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan

ekonomi lokal pesisir.

Kata kunci: perikanan skala kecil, langgan/tengkulak, “social cushion”, value added, DEA,

Indek Ketidakstabilan, Indeks Malmquist

RINGKASAN

DUWI YUNITASARI. Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu sebagai Upaya

Peningkatan Perekonomian Wilayah di Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM,

BAMBANG JUANDA dan RITA NURMALINA.

Jawa Timur (Jatim) merupakan daerah penghasil tebu dan gula terbanyak di Indonesia.

Pada tahun 2013, produksi tebu Jawa timur menyumbang 50,75% dan produksi gula

menyumbang sebesar 51,32% terhadap produksi Nasional. Potensi tebu sebagai bahan baku gula

dan produk derivasi tebu (PDT) memiliki potensi yang besar. Hal ini mendorong pemerintah

pusat menetapkan target produksi gula untuk Jatim sebesar 1,65 juta ton dalam rangka

mendukung program swasembada gula nasional. Produksi gula Jatim tidak bisa dipisahkan dari

peran pabrik gula (PG) sebagai tempat mengolah tebu menjadi gula. Dari 62 PG di Indonesia,

terdapat 31 PG yang ada di Jawa Timur. Fakta yang ada, sebagian besar (53%) PG di Jawa

didominasi oleh pabrik dengan kapasitas giling kecil (lebih besar dari 3.000 Ton Cane per Day),

berumur lebih dari 75 tahun, dan kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini

menyebabkan tingkat efisiensi rendah dan biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil

lebih tinggi. Jika hal ini terus berlangsung, PG yang ada di Jatim akan mengalami kerugian dan

tutup. Pada masa yang akan datang, diharapkan PG bisa mengolah PDT untuk menambah

keuntungan PG.

Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisis dampak agroindustri gula tebu terhadap

produksi Gula Kristal Putih (GKP), produksi PDT, Pendapatan Asli Daerah (PAD), keuntungan

PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (ii) menganalisis dampak kebijakan

Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP,

produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah; (iii) merumuskan

kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan

petani dan perekonomian wilayah Jawa Timur. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut

digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak kebijakan RIGN dianalisis dengan

menggunakan 3 skenario, yaitu: (i) skenario 1, peningkatan luas areal tebu sebesar 3,2%/tahun;

(ii) skenario 2, peningkatan produktivitas tebu sebesar 1,6%/tahun; (iii) skenario 3, peningkatan

rendemen sebesar 2,41% /tahun. Sedangkan untuk menyusun alternatif kebijakan digunakan 2

skenario, yaitu: (i) skenario 4, penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam

(3,5%), peningkatan produktivitas (1,6%) dan rendemen 2,41%, dan (ii) skenario 5,

penggabungan skenario 1,2, dan 3, peningkatan luas areal tanam (3,5%), peningkatan

produktivitas (1,6%) dan rendemen 6%.

Hasil analisis menunjukkan pengembangan agroindustri gula tebu mempunyai dampak

positif terhadap perekonomian wilayah Jawa Timur, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan

PG, pendapatan petani dan PAD. Hasil simulasi model dengan menggunakan kebijakan/program

RIGN mampu meningkatkan perekonomian wilayah, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan

PG, penerimaan petani dan PAD. Bioethanol dari ampas merupakan pengembangan PDT yang

memberikan penerimaan terbesar bagi perekonomian wilayah. Sehingga jika ingin

mengembangkan jenis PDT, maka perlu memfokuskan pada pengembangan bioethanol dari

ampas. Sumbangan tambahan peningkatan terhadap perekonomian wilayah rata-rata sebesar

1,65%, produksi GKP 1,82%, PDT 79,98%, keuntungan PG 9,17%, penerimaan petani 26,96%

dan PAD 1,68%. Peningkatan rendemen (skenario 3) menyumbang tambahan penerimaan

tertinggi bagi perekonomian wilayah Jawa Timur. Namun jika hanya mengandalkan kebijakan

peningkatan rendemen saja (skenario 3), maka target produksi GKP tidak tercapai.

Kebijakan alternatif dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal, peningkatan

produktivitas dan peningkatan rendemen) memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan

skenario 4. Perekonomian wilayah Jawa Timur, produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG,

pendapatan petani dan PAD pada skenario 5 mencapai kinerja tertinggi dibanding skenario 1, 2,

3, dan 4. Pada skenario 5, target produksi GKP Jatim dapat terpenuhi pada tahun 2016 sebesar

1.738.437 ton. Sumbangan tambahan peningkatan PDRB terhadap perekonomian wilayah rata-

rata sebesar 2,63%, produksi GKP 6,92%, PDT 80,39%, keuntungan PG 13,69%, pendapatan

petani 33,70% dan PAD 6,40%.

Kebijakan RIGN secara simultan mampu meningkatkan produksi GKP sehingga

mencapai target sesuai program pusat untuk mendukung program swasembada gula nasional,

meningkatkan produksi PDT, PAD, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian

wilayah Jatim. Sehingga alternatif kebijakan dengan skenario 5 (gabungan peningkatan luas

areal, peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen) mampu mendorong perkembangan

sistem agroindustri gula tebu secara keseluruhan lebih baik dibanding skenario lainnya.

Kebijakan yang sebaiknya tetap diterapkan oleh pemerintah dalam upaya mendukung

program swasembada gula nasional dan pengembangan PDT, yaitu: 1) tetap melaksanakan

program RIGN, 2) memfokuskan pada peningkatan rendemen, karena rendemen memiliki

pengaruh yang sangat besar dalam upaya meningkatkan produksi gula, 3) memfokuskan pada

petani TR memiliki peran yang sangat besar dalam pengusahaan gula tebu, 4) mempermudah

pemberian kredit sebagai upaya meningkatkan kualitas tanaman tebu, 5) merubah sistem bagi

hasil berdasarkan rendemen, dan 6) diharapkan dapat memberikan insentif pada petani TR dalam

bentuk kepastian harga.

Kata kunci: Gula tebu, dinamika sistem, model, RIGN, perekonomian wilayah, harga.

RINGKASAN

EBED HAMRI. Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan Pusat-Pusat

Pertumbuhan Ekonomi (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota

Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat). Komisi Pembimbing EKA INTAN KUMALA PUTRI

sebagai Ketua, HERMANTO J. SIREGAR dan DEDDY SUPRIADY BRATAKUSUMAH

sebagai Anggota.

Desentralisasi dan Otonomi daerah menjadi isu yang penting sejak berlakunya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi dan Otonomi daerah dengan

implikasi pemekaran wilayah telah mendorong menguatnya tuntutan dari daerah-daerah

untuk melakukan pemekaran wilayah, hal karena selama ini daerah-daerah merasakan terjadi

ketimpangan dan ketidak merataan hasil-hasil pembangunan, disatu sisi sistem pemerintahan

yang sentralistik membuat daerah-daerah kurang berkembang. Sehingga akibat kondisi

tersebut daerah-daerah menuntut dilaksanakan pemekaran wilayah sebagai upaya percepatan

pembangunan dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pemekaran

wilayah sebagai fenomena pembentukan propinsi, kabupaten dan kota telah menciptakan

perbedaan antara daerah, ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu

tempat yang dikenal istilah kota, pusat perdagangan, pusat industri, simpul industri, pusat

perdagangan, daerah perkotaan atau daerah nodal dan ada juga yang kurang terkonsentrasi

dikenal istilah seperti daerah pedalaman, daerah pertanian, daerah pedesaan atau disebut

sebagai wilayah belakang (hinterland). Terciptanya daerah nodal tidak hanya di propinsi,

namun terjadi di kabupaten/kota, kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua

wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota

inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang

kabupaten sebagai daerah hinterland.

Penelitian ini bertujuan: 1) Mengevaluasi penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78

tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah

khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota

Baubau dan Kota Tasikmalaya. 2) Menganalisis perkembangan struktur perekonomian

wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya serta sektor unggulan yang menjadi daya saing

perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sehingga potensial menjadi

pusat-pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 3) Menganalisis

perkembangan wilayah, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota

Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. 4) Menganalisis persepsi stakeholder dan

merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi

daerah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Analisis Deskriptif, 2) Analisis

Skalogram, 3) Analisis Model Gravitasi, 4) Analisis Tipologi Klassen, 5) Analisis Diversitas

Entropy, 6) Analisis Shift Share, 6) Analisis Location Quotient, 7) Analisis Hirarki Proses.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Evaluasi terhadap sebelas faktor-faktor

penilaian usulan pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Pemerintah vi Nomor 78 Tahun

2007 dengan analytical hierarchy process menunjukkan ada perbedaan prioritas terhadap

sebelas faktor pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

78 Tahun 2007 dengan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Struktur

perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang

dibandingkan dengan daerah hinterland terlihat dari analisis diversitas entropi. Hasil Analisis

Tipologi Klasen Kota Baubau berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat; sedang

kabupaten sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Wakatobi dan kabupaten Buton Utara

juga berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, Kabupaten Muna berada pada

klasifikasi daerah maju tapi tertekan, Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana berada pada

klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil Analisis Tipologi Klasen menunjukkan Kota

Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya

(hinterland) berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil analisis Loqation Quotient

menunjukkan sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju

dan unggul. Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota

Tasikmalaya adalah sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan

komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa keuangan; dan sektor jasa-jasa. Namun pada

Analisis Shift Share dimana pada ditingkat lokal (differential shift) menunjukkan sektor-

sektor yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami

pergeseran dan pertumbuhan yang lambat. Hasil Analisis Skalogram menunjukkan Kota

Baubau berada pada wilayah Hirarki II/sedang; sedangkan kabupaten hinterland yaitu

Kabupaten Buton Utara justru berada pada wilayah Hirarki I/tinggi, Kabupaten Buton, Muna

masuk kategori hirarki III/rendah. Analisis Skalogram menunjukkan Kota Tasikmalaya

berada pada wilayah hirarki I/tinggi, kabupaten/kota sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten

Garut dan Kabupaten Ciamis berada pada kategori wilayah hirarki II/sedang; Kabupaten

Tasikmalaya dan Kota Banjar pada wilayah hirarki III/rendah. Hasil Analisis Gravitasi

menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya

dengan wilayah hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik

wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna,

sedang dengan Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana

sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik

wilayah Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan

Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi yang besar,

sedang dengan Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah

terlihat dari indeks gravitasi yang kecil. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical

hierarchy process (AHP) secara umum menunjukkan pemekaran wilayah memberikan

manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersedian

infrastruktur maupun bagi perkembangan perekonomian daerah Kota Baubau dan Kota

Tasikmalaya. Hasil analisis AHP menunjukkan dari empat alternatif strategi dalam penelitian

ini, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah “pemekaran wilayah menciptakan

pusat pertumbuhan (PW-PP)”.

Kata kunci: Kota Baubau, Kota Tasikmalaya, desentralisasi, otonomi daerah, pusat

pertumbuhan.

RINGKASAN

ENDAH KURNIA LESTARI. Efisiensi dan Kerangka Kelembagaan Tebu Rakyat Dalam

Mendukung Perekonomian Wilayah di Kabupaten Jember. Dibimbing oleh AKHMAD

FAUZI, M. PARULIAN HUTAGAOL dan ACENG HIDAYAT.

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia.

Upaya pengembangan industri gula sangat tergantung akan ketersediaan bahan baku yaitu

tebu sebagai bahan baku utama. Keterbatasan lahan untuk perkebunan tebu, rendahnya

kualitas bibit serta fenomena kembalinya petani tebu rakyat pada tanaman tebu keprasan yang

berulang-ulang di kabupaten Jember menjadikan peningkatan produksi gula dalam kondisi

dilemma. Untuk itu perlunya efisiensi dpada tehnologi yang sekarang dengan intensifikasi

melalui input-input produksinya Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi

tehnis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani tebu keprasan serta faktor-faktor

yang mempengaruhi, menganalisis pengaruh biaya input produksi terhadap keuntungan dan

tingkat efisiensi, mengkaji ketersediaan lahan dan target produksi tebu dan mengkaji

kelembagaan dalam pengembangan tebu rakyat.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pengambilan sampel

secara purposive pada petani tebu keprasan di wilayah kerja PG Semboro. Pendekatan yang

digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi usahatani tebu dengan menggunakan Data

Envelopment Analysis (DEA) (Banker, Channer, Cooper 1978).

Hasil analisis penelitian bahwa efisiensi tehnis, pada usahatani tebu masih memiliki

peluang untuk meningkatkan efisiensi teknis pada penggunaan input produksi sebesar 30% .

Rata-rata tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani tebu keprasan relatif lebih besar

dikarenakan biaya produksi yang dikeluarkan besar dan rendahnya harga yang diterima

petani tebu. Faktor-faktor yang signifikan terhadap efisiensi teknis yaitu jumlah keprasan

tebu, status usahatani tebu dan penyuluhan.Rata-rata petani tebu keprasan memperoleh

keutungan. Biaya pupuk organik dan pupuk non organik signifikan dan positif terhadap

keuntungan, efiseinsi teknik, ekonomi dan alokatif. Ketersediaan lahan untuk mendukung

usahatani tebu dan target produksi tebu bisa dicapai dengan memperhatikan dan

memanfaatkan input tanaman tebu milik petani dan pemberdayaan petani agar hasil produksi

optimal. Secara peraturan perundangundangan petani tidak mendapat dukungan untuk

berkembang, artinya petani mempunyai kepentingan tetapi tidak mempunyai pengaruh dan

begitu sebaliknya. Sehingga perlu struktur yang baru yang memungkinkan dapat mendukung

petani tebu.

Saran implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian yaitu bahwa pemerintah

diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam penyediaan modal untuk bongkar ratoon,

sehingga petani dapat menanam tebu dengan bibit yang berkualitas dan dapat meningkatkan

produksi.

Kata kunci: tebu, efisiensi, input produksi, keuntungan, kelembagaan

RINGKASAN ERNAWATI PASARIBU. Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah

Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO,

HERMANTO SIREGAR dan ERNAN RUSTIADI.

Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan menjadi salah satu strategi yang

populer digunakan dalam mengatasi permasalahan ketimpangan antarwilayah. Konsep ini

pertama kali diperkenalkan oleh Perroux pada tahun 1950 dengan istilah Growth Pole (Kutub

Pertumbuhan) yang dipercaya akan dapat memberikan dampak spillover yang positif dalam

jangka panjang. Konsep ini mengalami pengembangan menjadi Growth Center (Pusat

Pertumbuhan) agar lebih konkrit dan mudah diaplikasikan dalam Ilmu Perencanaan Wilayah.

Beberapa peneliti telah melakukan pengujian terhadap dampak yang ditimbulkan dan

menghasilkan temuan yang menimbulkan pro dan kontra akan keberhasilan strategi ini.

Demikian juga terhadap dampak polarisasi yang justru mengarah pada “bencana migrasi”

karena daya tarik yang kuat kearah wilayah pusat pertumbuhan. Konsep ini masih terus

digunakan dan banyak diadopsi terutama oleh negara-negara berkembang termasuk

Indonesia.

Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia baik sebagai Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) maupun sebagai Koridor Ekonomi Indonesia

masih belum mampu mengurangi ketimpangan antarpulau yang justru belakangan makin

membesar. Pulau Kalimantan yang dalam program Master Plan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ditetapkan sebagai lumbung energi nasional

diharapkan mampu mengejar ketertinggalannya baik dari sisi pertumbuhan output, tenaga

kerja, maupun investasi. Disisi lain, penetapan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional

dalam jangka panjang dikhawatirkan menimbulkan dampak pengurasan sumberdaya

(backwash effect) yang lebih besar dibanding dampak penyebarannya (spread effect).

Beragam cara telah digunakan untuk memperhitungkan dampak spillover pusat-pusat

pertumbuhan, baik menggunakan model statis maupun dinamis. Penggunaan model-model

tersebut dinilai belum mampu menangkap besaran dampak spillover dan multipolaritas.

Analisis spasial sangat diperlukan untuk dikembangkan dalam konsep-konsep ilmu ekonomi,

agar dapat memberikan alternatif sudut pandang baik dalam identifikasi permasalahan

maupun pemecahannya. Disisi lain, dengan memasukkan peubah spasial akan menghindari

terjadinya kesalahan spesifikasi dalam model.

Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini secara umum bertujuan

untuk : mengeksplorasi dampak spillover dan polarisasi pusat-pusat pertumbuhan di

Kalimantan, dengan tujuan khusus yaitu : (1) Mendeteksi pengaruh ketergantungan spasial

(spatial lag dependent) antara hinterland dengan pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan (2)

Mengidentifikasi faktor-faktor yang secara simultan mempengaruhi pertumbuhan output,

tenaga kerja, dan investasi di Kalimantan, dan (3) Menguji multipolaritas antar pusat-pusat

pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan.

Dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yang dideteksi

menggunakan Uji LM Spatial lag secara signifikan membuktikan adanya ketergantungan

wilayah baik terhadap pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi. Kedekatan suatu

wilayah dengan pusat pertumbuhan akan berdampak makin baik (positif) manakala diikuti

oleh makin besarnya aliran ekonomi yang terjadi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah

sekitarnya. Sayangnya, beberapa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yaitu Kota

Palangkaraya, Kota Pontianak, Kota Singkawang, dan Kabupaten Kapuas Hulu belum dapat

memberikan dampak spillover terhadap wilayah sekitarnya.

Pengujian secara simultan terhadap model pertumbuhan output, tenaga kerja, dan

investasi membuktikan bahwa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ketiganya

adalah interaksi spasial dengan pusat-pusat pertumbuhan terdekat. Pertumbuhan output dan

pertumbuhan investasi membuktikan adanya efek umpan balik, dimana pengaruh

pertumbuhan investasi terhadap pertumbuhan output justru lebih besar dibandingkan

sebaliknya. Oleh karenanya, pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan

akan lebih baik bila fokus utamanya pada peningkatan investasi yang pada gilirannya juga

berdampak pada pertumbuhan output. Peningkatan investasi ini bukan semata-mata

bersumber dari investasi swasta, akan tetapi lebih menekankan efisiensi belanja modal yang

dalam penelitian ini secara nyata menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan

tenaga kerja. Sayangnya, model pertumbuhan tenaga kerja di Kalimantan belum dapat

membuktikan adanya efek umpan balik dengan pertumbuhan output.

Hasil uji multipolarisasi antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar

Kalimantan yang dikonfirmasi dengan uji spatio-temporal terhadap aliran barang dan aliran

penumpang menunjukkan hasil yang signifikan. Polarisasi masuknya barang di Kalimantan

cenderung lebih cepat, berkebalikan hasil untuk polarisasi arus penumpang ke Kalimantan.

Temuan ini menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan memiliki tuntutan

tinggi untuk barang dari luar wilayahnya, sementara penduduk yang tinggal pada pusat-pusat

pertumbuhan di Kalimantan lebih cenderung untuk bermigrasi ke pusat-pusat pertumbuhan di

luar Kalimantan.

Temuan-temuan di atas menjadi bahan untuk memberikan saran serta implikasi

kebijakan. Salah satu saran yang diberikan adalah mempercepat pembangunan jalan trans

Kalimantan, sebagai salah satu rencana komprehensif untuk pembangunan nasional secara

terintegrasi. Oleh karenanya, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap

MP3EI masih sangat diperlukan, utamanya dalam pembangunan infrastruktur dasar baik

secara kuantitas maupun kualitas.

Kata kunci: pusat pertumbuhan, spatial lag dependent, spatio-temporal, Kalimantan

RINGKASAN

IDA ZULFIDA. Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus

PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh

AKHMAD FAUZI, ERNAN RUSTIADI, dan YUSMAN SYAUKAT.

Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang strategis dan potensial. Posisi Kabupaten

Bandung bersebelahan langsung dengan Kota Bandung yang menjadi pusat perekonomian dan

pemerintahan di Jawa Barat. Namun kedekatan wilayah tersebut belum efektif menurunkan

tingkat kemiskinan di Kabupaten Bandung yang relatif masih tinggi. Berbagai program baik dari

pemerintah maupun yang bersifat lokal sudah digalakkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

Salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan.

Masalah yang menjadi isu dalam penelitian ini adalah adanya kelemahan target dan fokus yang

ditandai dengan semakin meningkatnya alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan mulai dari

tahun 2008 hingga 2014, namun ada kecenderungan terjadinya perlambatan penurunan tingkat

kemiskinan di Kabupaten Bandung. Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah evaluasi

terhadap kinerja program sebagai salah satu cara pengurangan tingkat kemiskinan dengan

peningkatan pendapatan dan partisipasi masyarakat di perdesaan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment Analysis

(DEA). Penelitian ini mengeksplorasi efektivitas program yang diukur dari input dan output yang

terkait dengan program pemberdayaan dengan menggunakan data di kecamatan dan desa.

Evaluasi ini meliputi efisiensi dan total faktor produktivitas Indeks Malmquist yang diukur

selama periode 2009 hingga 2013. Metode analisis regresi linier digunakan untuk melihat

variabel-variabel yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah

berpartisipasi dengan kelembagaan pemberdayaan dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya untuk

melihat kaitan pemberdayaan dengan partisipasi maka model analisis logit digunakan untuk

melihat kecenderungan anggota rumah tangga untuk berpartisipasi dalam lembaga

pemberdayaan.

Hasil analisis DEA dengan asumsi constan return to scale (CSR) menunjukkan bahwa

kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung sebagian besar (64 persen)

menunjukkan inefisiensi pada kecamatan Cikancung, Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari,

Nagreg dan Pacet. Cara mengatasi inefisiensi penyelenggaraan program yaitu dengan melakukan

solusi optimal dengan upaya peningkatan efisiensi mulai dari 10 persen untuk Kecamatan Ibun

sampai 61 persen untuk Kecamatan Nagreg. Hasil analisis dengan menggunakan asumsi variable

retutn to scale (VRS) menunjukkan ada sedikit peningkatan dalam skor efisiensi dengan rata-rata

0,850-0,925. Ini berarti bahwa dengan asumsi VRS kecamatan cenderung semakin efisien dalam

menjalankan program PNPM. Kecamatan seperti Nagreg yang sebelumnya memiliki skor

efisiensi yang rendah dengan asumsi CRS (0,619) telah mencapai efisien dengan asumsi VRS.

Kecamatan Ibun dengan asumsi CRS memiliki skor 0,91, menjadi efisien dengan asumsi VRS.

Secara keseluruhan, jika dengan asumsi CRS hanya empat kecamatan yang memiliki nilai efisien

penuh, dengan VRS terdapat enam dari sebelas kecamatan memiliki skor efisiensi penuh (lebih

dari 50 persen). Namun hasil tersebut masih menunjukkan bahwa pada umumnya semua

kecamatan masih kurang efisien dalam menjalankan program PNPM (TE 0.850 dan 0.925 TE

kurang dari 1 pada asumsi CRS dan VRS). Namun secara spasial letak antar kecamatan yang

efisien juga tidak menunjukkan adanya hubungan kedekatan wilayah.

Kecamatan-kecamatan yang inefisiensi dalam kinerja program PNPM Mandiri Perdesaan,

dapat disimpulkan menggunakan komponen input tidak optimal, yaitu sumber dana. Dengan

asumsi CRS terjadi inefisiensi anggaran mulai dari Rp 133 juta di Kecamatan Ciwidey hingga

Rp 2,17 miliar di Kecamatan Pacet. Sementara dengan menggunakan asumsi VRS inefisiensi

dapat ditekan mulai dari 132,5 juta sampai 1.91 miliar di kecamatan yang sama. Temuan ini

berbeda dengan Vennesland (2005) dimana dijumpai kelebihan dan kekurangan alokasi anggaran

di daerah-daerah yang tidak efisien sehingga kelebihan dana pada satu wilayah dapat

direalokasikan pada wilayah yang kekurangan dana. Partisipasi masyarakat ditujukkan dengan

penggunaan alokasi dana bergulir dalam kegiatan ekonomi. Dengan asumsi CRS terdapat enam

kecamatan (66,67 persen) yang telah mencapai target dalam menghasilkan output, dan hanya

empat kecamatan saja yang belum mencapai target. Solusi optimal untuk kecamatan yang belum

mencapai target adalah meningkatkan pencapaian mulai dari 33 persen (kecamatan Cikancung)

sampai dengan 45 persen (kecamatan Pacet). Dengan menggunakan asumsi VRS jumlah

kecamatan yang mencapai target dan yang belum mencapai target juga dalam posisi yang sama,

namun peningkatan pencapaian pada asumsi VRS ini lebih kecil dibandingkan dengan

menggunakan CRS yaitu mulai dari 29 persen (kecamatan Nagreg) sampai dengan 39 persen

(kecamatan Pacet). Secara umum total faktor produktivitas Indeks Malmquist kinerja PNPM

Mandiri Perdesaan selama periode 2009 hingga 2013 menunjukkan tren peningkatan sebesar

1.139.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan

menunjukkan variabel-variabel umur, pendidikan dan berpartisipasi dalam kelembagaan

pemberdayaan signifikan. Sementara kecenderungan anggota rumah tangga untuk berpartisipasi

dalam kelembagaan pemberdayaan dipengaruhi oleh variabel-variabel jumlah anggota rumah

tangga, lapangan usaha, dan tipe kelembagaan yang diminati masyarakat. Efek multiplier

alokasi kegiatan ekonomi dapat menciptakan perluasan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi

rumah tangga di perdesaan. Implikasi spillover program pemberdayaan berupa pengetahuan,

peningkatan kapasitas dan keterampilan merupakan pintu masuk kebijakan dan strategi

pembangunan wilayah.

Kata Kunci: Data Envelopment Analysis (DEA), Efisiensi, Partisipasi, Pemberdayaan

masyarakat, Peningkatan pendapatan rumah tangga perdesaan.

RINGKASAN

SHERLY G JOCOM. Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kemiskinan menurut Tahapan

Perkembangan Desa di Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO, BAMBANG

JUANDA dan ERNAN RUSTIADI

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kemiskinan umumnya merupakan

fenomena umum di perdesaan dan pertanian. Berbagai kajian tentang kemiskinan di Indonesia

menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang

terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan ekonomi merupakan

salah satu komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di

Indonesia. Sebagai salah satu provinsi baru pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi

Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di Kawasan

Timur Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak serta merta menurunkan

kemiskinan di Provinsi Gorontalo. Fenomena menarik yang terjadi di Provinsi Gorontalo adalah

meskipun laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari waktu ke waktu namun tingkat kemiskinan

di Provinsi Gorontalo juga sangat tinggi dengan laju penurunan kemiskinan di daerah perdesaan

lebih cepat dibandingkan di daerah perkotaan. Himanshu et al. (2011) menawarkan solusi untuk

mengatasi persoalan kemiskinan di kawasan perdesaan dengan transformasi perdesaan melalui

diversifikasi non pertanian. Junaidi 2012 selanjutnya mengkaji transformasi perdesaan melalui

tahapan perkembangan desa yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2009).

Di Indonesia, Grootaert (2001), Miller et al. (2006) dan Brata (2004) menunjukkan

bahwa modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan,

kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat rumah tangga. Budaya Huyula sebagai

salah satu wujud dari modal sosial di Provinsi Gorontalo mulai terkikis (Yunus, 2013). Penelitian

ini bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan kemiskinan perdesaan di

Provinsi Gorontalo (2) Mengidentifikasi komponen/dimensi modal sosial yang dominan di

perdesaan Provinsi Gorontalo (3) Menganalisis pengaruh dimensi modal sosial (trust, network

dan norm) dan interaksi masing-masing dimensi terhadap kemiskinan di Provinsi Gorontalo (4)

Menganalisis keterkaitan antara modal sosial (trust, network dan norm) dan kemiskinan

perdesaan pada berbagai tingkat perkembangan desa di Provinsi Gorontalo.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Logit dan Model Persamaan

Struktural (Structural Equation Modeling). Data yang digunakan adalah data primer dan

sekunder. Untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap kemiskinan, dipilih dua kabupaten

yaitu Kabupaten Gorontalo yang relatif dekat dengan ibukota provinsi dan Kabupaten Pohuwato

yang relatif jauh dari ibukota provinsi. Disamping itu Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten

Pohuwato merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan yang tinggi di Provinsi Gorontalo.

Selanjutnya di pilih dua kecamatan di masing-masing kabupaten secara sengaja yaitu Kecamatan

Tibawa dan Kecamatan Tolangohula untuk Kabupaten Gorontalo serta Kecamatan Randangan

dan Kecamatan Popayato untuk Kabupaten Pohuwato yang memiliki jumlah penduduk miskin

terbanyak serta memiliki jarak terdekat dan terjauh dari ibukota kabupaten.

Pemilihan desa kemudian dilakukan di masing–masing kecamatan sebanyak empat desa

dan masing-masing desa ditetapkan jumlah sampel sebanyak 40 responden yang terdiri dari 20

rumah tangga miskin dan 20 rumah tangga tidak miskin, sehingga total populasi adalah 640

rumah tangga. Pemilihan desa didasarkan pada tahap perkembangan desa yang dikemukakan

oleh Rustiadi dan diperbaharui oleh Junaidi (2012).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) faktor yang berkaitan dengan kemiskinan

kawasan perdesaan di Provinsi Gorontalo adalah modal manusia yang direpresentasikan dengan

umur, pendidikan kepala keluarga dan jumlah tanggungan kepala keluarga, modal fisik yaitu

akses terhadap energi listrik (PLN) dan akses terhadap telekomunikasi, modal finansial berupa

kepemilikan modal fisik, modal sumberdaya alam yaitu domisili dekat hutan serta modal sosial

yang di proxy dengan partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan jumlah jam kerja (2)

komponen dominan yang membentuk modal sosial di perdesaan Gorontalo adalah rasa percaya

(3) komponen atau dimensi yang memiliki keterkaitan dengan kemiskinan di perdesaan

Gorontalo adalah norma, jaringan dan interaksi rasa percaya dan jaringan (4) desa-desa yang

memiliki taraf perkembangan yang lebih maju dicirikan dengan keragaman bentuk-bentuk modal

sosial yang berpengaruh dalam pengurangan kemiskinan di Provinsi Gorontalo.

Kata kunci : Modal sosial, interaksi, perdesaan, model persamaan struktural

RINGKASAN

YANA TATIANA. Analisis Perwilayahan Pembangunan dan Investasi di Provinsi Bengkulu.

Ketua Komisi Pembimbing MUHAMMAD FIRDAUS, HERMANTO J. SIREGAR DAN

HIMAWAN HARIYOGA sebagai anggota Komisi Pembimbing.

Provinsi Bengkulu adalah Provinsi yang ada di wilayah Indonesia Bagian Barat tepatnya

di pulau Sumatera. Provinsi ini mengalami ketertinggalan dalam Pembangunan dibandingkan

Provinsi lain di Pulau sumatera. Salah satu penyebab ketertinggalan provinsi ini adalah karena

rendahnya kemampuan pembiayaan pembangunan yang berasal dari investasi. Minat investor di

wilayah ini relatif rendah. Share pertanian terhadap PDRB di Provinsi Bengkulu masih relatif

besar yaitu 38.34 persen, Hal ini menandakan masih belum berkembangnya pertumbuhan

ekonomi di Provinsi ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1). Kondisi di Provinsi Bengkulu dalam kaitannya

dengan struktur ekonomi, pola pertumbuhan dan penentuan sektor unggulan, dalam kaitan antar

wilayah. (2). Iklim investasi yang ada di Provinsi, sekaligus perbaikan iklim investasi dalam

kaitannya dengan usaha meningkatkan daya tarik daerah. (3). Faktor-faktor penentu yang

menjadi daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Bengkulu. (4). Sektor yang

dapat mendorong percerpatan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan usaha peningkatan

investasi. Penelitian. Metode untuk perkembangan pembangunan di Provinsi Bengkulu dianalisis

denga menggunakan Tipologi Klassen, Location Quation (LQ), Shiftshare, dan Kapasitas Fiskal.

Metode untuk model faktor penentu iklim investasi menggunakan metode analisis regresi

logistik. Metode untuk model faktor penentu investasi dianalisis dengan menggunakan metode

regresi Panel. Variabel yang dipergunakan dalam analisis iklim investasi dengan regresi logistik

meliputi akses lahan, infrastruktur daerah, Perizinan, Peraturan daerah, dan Biaya Transaksi.

Analisis regresi logistic menggunakan data primer. Data yang diperoleh berasal kuesioner yang

disebarkan kepada 33 responden yaitu PMA, PMDN dan usaha kecil yang ada di Propinsi

Bengkulu. Variabel yang dipergunakan dalam analisis investasi industry adalah Pendapatan

Domestik Regional Brutto (PDRB) perkapita, Infrastruktur jalan, infrastruktur listrik,

infrastruktur air bersih, share pertanian terhadap PDRB, dan share pertambangan terhadap

PDRB. Data yang dipergunakan dalam analisis regresi panel adalah data sekunder periode 2010-

2013 berasal dari Biro Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, Departemen perindustrian dan

Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Hasil analisis deskripsi menyatakan bahwa wilayah yang paling maju pertumbuhannya

adalah Kota Bengkulu, kabupaten Rejang Lebong, dan Kabupaten Bengkulu Selatan. Kota

Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Selatan telah meninggalkan peranan pertanian sebagai sektor

basis dan beralih ke sektor jasa dan transportasi. Sedangkan kabupaten Rejang Lebong

pertumbuhan ekonominya sangat didominasi oleh sektor pertanian khususnya pertanian tanaman

pangan dan holtikultura. Sektor ekonomi yang menjadi sektor basis dihampir seluruh

kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu meliputi sektor pertanian dengan sub sektor tanaman

pangan dan holtikultura, sektor pertambangan dan sektor Konstruksi. Walaupun menjadi sektor

basis, dari ketiga sektor tersebut hanya sektor konstruksi yang pertumbuhan maju atau cepat,

sedangkan sektor lain pertumbuhannya relatif lambat dibandingkan dengan kondisi di Provinsi

Bengkulu. Hasil analisis data primer dengan mengunakan regresi logit memberikan hasil secara

signifikan adanya pengaruh yang signifikan antara akses lahan, infrastruktur daerah, Perizinan,

Peraturan daerah dan Biaya transaksi terhadap iklim investasi di Provinsi Bengkulu (chi square

29.029 dengan P value 0.00). Sedangkan secara parsial yang tidak memiliki pengaruh yang

signifikan. dari seluruh faktor tersebut, hanya faktor perizinan saja (P value 0.116). Diantara

seluruh faktor yang berpengaruh signifikan, faktor yang paling dominan pergerakannya dalam

mendorong iklim investasi adalah akses lahan. Sedangkan faktor terlemah peranannya dalam

menciptakan iklim investasi adalah Peraturan Daerah. Berdasarkan hasil tabulasi data diketahui

bahwa kondisi akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan, Peraturan daerah dan Biaya transaksi

masih belum memadai. Hasil analis data sekunder dengan menggunakan analisis Regresi panel

untuk mengetahui faktor penentu investasi industry total, industry pertanian, dan bukan pertanian

memberikan hasil analisis adanya pengaruh yang signifikan antara PDRB perkapita, Infrastruktur

jalan, pangsa pertanian pada PDRB, dan pangsa pertambangan pada PDRB terhadap investasi

industri pertanian. Investasi industry bukan pertanian di Provinsi Bengkulu hanya dipengaruhi

oleh kualitas tenaga kerja terdidik. Sedangkan hasil analisis faktor yang menentukan investasi

industri total adalah PDRB, infrastruktur jalan, pangsa pertanian terhadap PDRB dan pangsa

Pertambangan terhadap PDRB.

Kata Kunci :Investasi wilayah, sektor basis, iklim investasi, Provinsi Bengkulu.