rhinitis atrofi fix
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi yang mengenai hidung, dapat mengenai hidung bagian luar dan
hidung bagian dalam atau rongga hidung. Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit
yang jarang ditemui pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering
dijumpai pada negara-negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering
didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis. Rinitis atrofi
merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga
dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal
dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung. 1,2
Foetor ex nasi yang berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini
termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter.
Namun, pada rinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga
perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien.
Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga
menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.1,3
Rinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang
belum dapat diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada
yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan
untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau
jika tidak menolong dilakukan operasi. Meskipun belum banyak pengkajian dan
penatalaksanaan pasti belum berkembang, namun penyakit ini masih sering
ditemui. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dibahas mengenai rinitis atrofi.2
1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Anatomi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior.4
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut dengan
vibrise.4
Septum Nasi
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung.1,4
Bagian tulang terdiri dari: 4
1. Lamina perpendikularis os etmoid
Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior
dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan Krista
gali.
2. Os Vomer
Os vormer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer
merupakan ujung bebas dari septum nasi.
3. Krista nasiis os maksila
Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasiis os maksila dan os
palatina.
4. Krista nasiis os palatine
2
Gambar 1.1 Anatomi Hidung
Bagian tulang rawan terdiri dari 4,5
1. Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)
Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasi, lamina
perpendikularis os etmoid, os vomer dan krista nasiis os maksila oleh serat
kolagen.
2. Kolumela
Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain
oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela.
Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontsalis os maksila, os lakrimalis, konka inferior dan konka media yang
merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os
palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior,
sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral
3
hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari
letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Dinding
inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila
dan prosesus horizontal os palatum.4
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior
dan inferior, os nasi, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus
os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang
dilalui filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior.4
Perdarahan
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang
dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis
superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior
mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis.4,5
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui
arteri etmoidalis anterior dan superior. Bagian bawah rongga hidung mendapat
perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri
palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-
cabang arteri fasialis.4
Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum
ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada
bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus sagitalis superior.
4
Persarafan
Bagian antero-superior septum nasi mendapat persarafan sensori dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang
berasal dari nervus oftalmikus (n.V1). Sebagian kecil septum nasi pada
anteroinferior mendapatkan persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang
anterosuperior. Sebagian besar septum nasi lainnya mendapatkan persarafan
sensori dari cabang maksilaris nervus trigeminus (n.V2). Nervus nasopalatina
mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen
sfenopalatina berjalan berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya kebagian
antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui kanalis insisivus.4
Sistem limfatik
Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran vena. Aliran
limfatik yang berjalan di sepanjang vena fasialis anterior berakhir pada limfe
submaksilaris
2.2 Rhinitis Atrofi
5
2.2.1 Definisi
Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif
mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental
dan tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi
hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk.4,5 Rinitis atrofi disebut juga
rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.1,3,4,9
2.2.2 Insidensi
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara
berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah
yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania.
Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene
buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria
adalah 3:1. Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di
London pada tahun 1875. Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1
sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan
status estrogen (faktor hormonal).5,6,7,8
2.2.3 Klasifikasi
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer
Watson (1875) sebagai berikut:
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan
mudah ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai
oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas: 6,7,8
6
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di
negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi,
trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi.
2.2.4 Etiologi
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi
primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya,
sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau
penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana
penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan
klebsiella ozaenae.5,6
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi,
trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus
merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui
berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa
turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang
mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan
rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara
berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis
atrofi sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi
sekunder, namun sering ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab
terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi pada hidung dan sinus
hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung sebanyak
1%. 5
Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai
penyebab rinitis atrofi: 1,5,6
1) Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain
7
Yakni infeksi oleh. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang
disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai
destruksi tulang.
Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain yakni infeksi oleh Stafilokokus,
Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus,
Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Telah dilaporkan terjadinya
rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun dari satu keluarga setelah anak dari
tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita rinitis atrofi menginap
bersamanya.
2. Defisiensi FE
3. Defisiensi besi dan vitamin A
Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi
dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan
simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi
menunjukkan peran diet pada penyakit ini.
4. Lingkungan
Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan
apatida.
5. Sinusitis kronik
6. Ketidakseimbangan hormon estrogen
Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau menstruasi.
7.Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
8. Teori mekanik dari Zaufal
9. Ketidakseimbangan otonom
10. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
11. Herediter
Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom
pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.
8
12. Supurasi di hidung dan sinus paranasal
2.2.5 Patogenesis
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada
rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas
epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis
atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini
mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan
membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau
menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga
penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis
atrofi itu sendiri).1,2,4
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I,
adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik
yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat
vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar
kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang
menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses
autoimun, dimana terdeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi
hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan
pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan
mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1,6
9
2.2.6 Gejala Klinis
Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali.
Tanda pertama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa
kasus, bau ini bisa berat. Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang
kecuali pasien, karena pasien mengalami anosmia. Beberapa pasien juga
memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari penyakit. Pasien
biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan perasaan
kering pada hidung.1,6,8,9
Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah :
Gejala : 1. obstruksi hidung (buntu)
2. sakit kepala
3. epistaksis pada pelepasan krusta
4. bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain
yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi
dari mukosa olfaktoria.
5. Faringitis sikka
6. Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring
masuk ke orofaring.
Tanda : 1. foeter ex nasi
2. krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam
3. pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa
hidung
Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume
kavum nasi terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi
dinding lateral hidung.
10
Gambar 2.1 Rhinitis Atrofi
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 2
a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,
krusta sedikit.
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring,
terdapat anosmia yang jelas.
2.2.7 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis
atrofi : 1,6
1. apusan hidung
2. radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus.
3. test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.
4. tes serologi yang lain : − protein Serum.
− pemeriksaan Fe serum
11
− pemeriksaan darah rutin
− ANA dan anti-DNA antibodi.
5. scan dianjurkan jika diagnosis meragukan
Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit primer
maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan di antara
keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan dengan foto sederhana atau
CT scan. Foto sederhana dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung
yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris.
Gambar 2.2 CT Scan pada Rhinitis Atrofi
Pada CT scan dapat ditemukan :
• penebalan mukoperiosteum sinus paranasal
• kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi bula
etmoid dan proses “uncinate”.
• hipoplasia sinus maksilaris
• pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung .
• resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.
12
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang
terjadi pada hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan
terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau – kuning, pemeriksaan
mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti K. ozaenae dari kultur hidung . 2,7,8
Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut :
1. Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning
kehijauan, penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak
menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.
2. Sinusitis: sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang
lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.
3. Nasofaringitis kronis: sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan
orang lain tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita
2.2.9 Penatalaksanaan
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara
topikal, sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk
pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta.2,7,8
Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan
irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau
sebagai suatu terapi yang bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah
mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat
beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur
yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.
Adapun bahan-bahan itu antara lain:
Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
Campuran : - NaCl
13
-NH4Cl
- NaHCO3 aaa9
- Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan
air hangat
2. Larutan garam dapur
3. Campuran : - Na bikarbonat 28,4
- Na diborat 28,4 g
- NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk
menambahkan minyak mawar (rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang
terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinitis atropi
dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan penyakit, melainkan
sekedar mencegah penyakit hingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidak
patuhan dalam melanjutkan terapi biasnya berdampak dengan kambuhnya
penyakit dalam sebagian besar kasus.2,7,9
Terapi Sistemik
Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal.
Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan
antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis
yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk
pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik
aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya
seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun
waktu 2 tahun pemakaian.1,2,8
Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan
berupa vitamin A yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam
sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi yang juga berhasil mengalami
14
peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu
adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan
kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi untuk kongesti
nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan dengan berkurangnya
vaskularisasi di mukosa.
Terapi Bedah
Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang
maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari
rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan.
Dalam rangka mencegah pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa
sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Secara umum terapi bedah
terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga
hidung dan penutupan nasal. 1,6,8
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:
1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang
baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit
salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2. Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung.
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis
seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan
tujuan membasahi mukosa hidung.
15
Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:
1. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion Stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan
flafaring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan
ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk
mengistirahatkan mukosa hidung.1,2
2.2.10 Prognosis
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.
Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan
keberhasilan dalam pengobatan.
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta. Etiologi dan patogenesis
rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena
etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan
ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.
17