penatalaksanaan rinitis atrofi ella akhir
DESCRIPTION
tfuyrjghfytdTRANSCRIPT
PENATALAKSANAAN RINITIS ATROFI
I. DEFINISI RINITIS ATROFI
Rinitis atropi merupakan infeksi hidung kronik yang ditandai dengan adanya atropi
regresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret
yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini
lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,2
II. MUKOSA HIDUNG NORMAL
Secara histologik dan fungsional, rongga hidung dibagi atas mukosa pernafasan
(mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudostratified
collumner) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.2
Mukosa penghidu terterdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia(pseudostratified
collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanked) pada permukaannya. Dibawah epitel tunika
terdapat propia yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terrletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara parallel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapilerperigladuler dan
subepitel. Pembuluh aferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringann elastic dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid memiliki spinkter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus
vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai
1
jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan
vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.2
III. ETIOLOGI RINITIS ATROFI
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui secara pasti sampai sekarang.
Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis.
Beberapa penulis menekankan faktor herediter.4,5 Namun ada beberapa keadaan yang
dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,4,5
a) Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena.
Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain
golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus,
Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid
bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.
b) Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A. Nutrisi yang buruk disebutkan sebagai
fiaktor penting pada perkembangan rinitis atrofi. Beberapa penulis menyebutkan
penyakit ini berhubungan dengan defisiensi Fe. defisiensi vitamin larut lemak
(terutama vitamin A) juga dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penyebab.
c) Teori phospolipid: analisis biokimia dari aspirasi hidung pada kasus rhinitis atropi
ditemukan adanya penurunan phospolipid total yang signifikan dibandingkan pada
hidung normal
d) Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
e) Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
f) Beberapa penulis menyimpulkan defisiensi estrogen sebagai faktor penyebab rinitis
atrofi. Insidensi penyakit ini pada perempuan pubertas. gejala yang memberat pada
saat menstruasi dan kehamilan. dan berkurangnya gejala pada beberapa kasus setelah
pemberian estrogen. merupakan pendukung teori tersebut
g) Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
h) Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi
pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
i) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
j) Herediter.
2
k) Autoimun : beberapa faktor seperti infeksi virus. malnutrisi. penurunan daya tahan
tubuh sebagai faktor pemicu destruksi proses autoimun dengan melepaskan antigen
mukosa hidung ke sirkulasi.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi
primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung
(operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh
sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera
merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan
rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi
kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab
dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat
sosio ekonomi rendah.1,2,3
IV. KLASIFIKASI DAN PATOLOGI RINITIS ATROFI
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel
skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar
alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole
terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1
a) Tipe I : merupakan tipe paling sering (50-80%) dari semua kasus. Dikarateristikkan
dengan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat
infeksikronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II : tipe ini terdapat pada 20-50% kasus dimana terdapat vasodilatasi kapiler,
yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang
menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun;
Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi
3
surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi
surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan
mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan
bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya
silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta
yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan
histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :5
Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
Silia hidung. Silia akan menghilang.
Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau epitel gepeng berlapis.
Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya
berkurang.
Gambar 1 : Mukosa hidung normal6
4
Gambar 2: Mukosa hidung pada penderita rhinitis atropi6
IV. GEJALA DAN KLINIS RINITIS ATROFI
Pasien dengan rinitis atrofi (ozaena) biasanya mengeluhkan hidung tersumbat,
gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna
hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering
ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia)
jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra
pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan
napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan
hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah
bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2, 5
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung
dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3
Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin
membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1
5
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan
yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung
tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah
kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi
ringan dan pendarahan.1
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar
namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga
hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan
menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan
disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang
hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas
ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba
Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang
tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan
antara lain : 4
Transiluminasi.
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
Pemeriksaan mikroorganisme.
Uji resistensi kuman.
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan Fe serum.
Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung
menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
6
berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya
mengecil.
Pemeriksaan serologi darah.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test,
pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.1
Diagnosis rinitis atroti dapat ditegakkan berdasarkan:5
a. Anamnesis
Pada anamnesis pasien mengeluhkan hidung tersumbat. hidung berdarah, sakit kepala
atau nyeri pada wajah. pasien tidak mencium bau busuk tetapi orang lain dapat
merasakannya dan adanya sekret hijau kental serta keropeng berwarna hijau.
b. Pemeriksaan klinis
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapati krusta berwarna kuning kehijau-hijauan
atau kadang-kadang krusta dapat berwarna hitam terutama pada dinding lateral kavum
nasi yang berbau busuk. Setelah krusta diangkat, biasanya akan terjadi perdarahan.
Tampak rongga hidung yang sangat lapang dan konka yang atroti, mukosa hidung
yang tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat atau larva (karena bau busuk yang
timbul). Nasofaring bagian belakang dan bagian atas palatum molle jelas terlihat tanpa
hambatan.
Gambar 3 : Krusta pada Rhinitis Atropi 7
c. Pemeriksaan penunjang
7
Pemeriksaan darah rutin dan Fe serum, kultur dan uji sensitititas sekret hidung, uji
serologis (VDRL) untuk menyingkirkan sifilis. uji mantoux dan foto toraks PA apabila
rinitis atrofi diduga berhubungan dengan tuberkulosis. foto rontgen dan CT scan sinus
paranasal dan pemeriksaan biopsi hidung.
Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan rongga
hidung yang lapang. Pada CT scan sinus paranasal terdapat gambaran penebalan dari
mukosa sinus pananasal. hilangnya kompleks osteo meatal akibat destruksi bulla
etmoid dan prosesus unsinatus. hipoplasia dari sinus maksilaris, pembesaran dan
rongga hidung dengan destruksi dari dinding lateral hidung dan destruksi tulang
konka inferior dan konka media.
Gambar 4: Gambaran CT Scan Hidung dan Sinus Paranasal potongan koronal pada
penderita rhinitis atropi7
VI. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :6
1) Rinitis kronik TBC
2) Rinitis kronik lepra
3) Rinitis kronik sifilis
4) rinitis sika
8
VII. PENATALAKSANAAN
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk
dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan
endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti
alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha
langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak
menolong dilakukan operasi.1,4,5
a. Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan
simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai
tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada
pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a) Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b) Campuran :
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa 9
Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c) Larutan garam dapur
d) Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
9
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya
dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml,
kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali
sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3%
perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan
jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari
selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari,
kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat,
pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3
bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
b. Tindakan Operatif
Tindakan operasi merupakan suatu pilihan pada pasien rinitis atrofi yangmana
pengobatan konservatif sudah dilakukan, namun tidak terbukti efektif.
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan
mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Teknik bedah dibedakan menjadi
dua kategori utama : 5
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah
dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1,8
1) Young's operation
10
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
Gambar 5 : Young's operation,7
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
Gambar 6 : Modified Young's operation6,7
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.. Pada operasi ini, antrum maksila dibuka dengan operasi
Caldwell- Luc. Dinding medial antrum dimobilisasi kearah medial dengan membuat
potongan berbentuk U dengan menggunakan bor, apabila mungkin, mukosa kavum nasi
11
yang tipis karena penyakit ini jangan sampai rusak. Tulang antrum medial dengan konka
inferior diluksasi kearah medial dengan bertumpu pada area etmoid.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti
Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
Gambar 7 : Implantasi submukosa9
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan
tujuan membasahi mukosa hidung.
6) Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada
penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya
mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal
kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga
hidung.4
DAFTAR PUSTAKA
12
1. Asnir, A. R. Rinitis Atrofi. Cermin Dunia Kedokteran. 2004 Juli: 144: 45-9.
2. Endang, M, Nusjirwan R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Efiaty S, Nurbaiti I
(ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. 139-43
3. George t. Anatomy of Nose & Sinus. 2009 Jun. [cited 2012 Okt 3]. Available from:
http://ws.ajou.ac.kr/~ent/knew/education/medical_student/lecture/05_nose_anatomy.pdf
4. Arif, M., et al. Rinitis Atrofi (Ozaena). Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2.
Jakarta : Media Aesculapius. 1999. 87-94
5. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 173-82, 221-2
6. Sinha V, Viral A, Dilavar A. Modified Young’s Operation for the Treatment of Atrophic
Rhiniti. Department of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. Oct 4, 2010: 3 (2):
45-54.
7. Thiagarajan B , Ramamoorthy G. Atrophic Rhinitis: A Literature Review .
WebmedCentral: ENT Scholar 2012;3(4): 56-61.
8. Tanja H. Rhinitis sicca, dry nose and atrophic rhinitis: a review of the literature. Eur Arch
Otorhinolaryngol, July 25, 2010. 4 (2): 34-9.
9. Naumann H. Head and Neck Surgery. Indication, Technique, Pitfalls. New York : Georg
Thieme Publishers, 2004: 1 (2); 349-51, 381-2.
13