rhinitis alergika

24
BLOK 19 THT DAN GIGI MODUL 3 “RHINITIS ALERGIKA” KELOMPOK TUTORIAL 13 Ina Nurlina 0610059 Sanggam T.H.H 0610170 Daud Palulu 0710036 Yenny Saputra 0710006 Adriyans Ndiloza 0710034 Marsita Lita 0710052 Harry Pribadi 0710077 Febrine W. Gunawan 0710099 Dian Luminto 0710140 Yuvens Richardo 0710217 Tutor: dr.Sonja Sutedja Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung-2009

Upload: mngyu

Post on 13-Aug-2015

93 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rhinitis Alergika

BLOK 19

THT DAN GIGI

MODUL 3

“RHINITIS ALERGIKA”

KELOMPOK TUTORIAL 13

Ina Nurlina 0610059

Sanggam T.H.H 0610170

Daud Palulu 0710036

Yenny Saputra 0710006

Adriyans Ndiloza 0710034

Marsita Lita 0710052

Harry Pribadi 0710077

Febrine W. Gunawan 0710099

Dian Luminto 0710140

Yuvens Richardo 0710217

Tutor:

dr.Sonja Sutedja

Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Maranatha

Bandung-2009

Page 2: Rhinitis Alergika

ANATOMI

Nasal Cavities

Cavitas nasi seperti gambaran pyramid terbentuk oleh tulang-tulang, terletak tepat di

bawah fossa crania anterior. Dan di bagian depan ditutupi oleh tulang rawan.

Batas-batas cavitas nasi :

1. Atap : relative sempit, tersusun dari depan ke belakang oleh os frontale, os ethmoidale,

dan os sphenoidale

2. Dasar : lebih lebar daripada atap rongga hidung, terbentuk sebagian besar oleh os

maxilla dan sebagian kecil oleh os palatinum

3. Dinding medial : membentuk septum nasi, yang membentang di bagian median,

terbentuk oleh os ethmoidale dan os vomer

4. Dinding lateral : tampak conchae yang merupakan beberapa tonjolan yang agak

melekuk. Concha nasi superior dan concha nasi media merupakan proyeksi os

ethmoidale, sedangkan concha nasi inferior adalah suatu tulang tersendiri. Dengan

adanya concha, di dalam cavitas nasi memperlihatkan adanya beberapa recessus dan

meatus.

- Recessus sphenoethmoidalis adalah celah sempit di atas concha superior, tempat

bermuara sinus sphenoidalis

- Meatus nasi superior di bawah concha superior, menerima beberapa saluran yang

berhubungan dengan cellulae ethmoidales pesteriores

- Meatus nasi medius di bawah concha media, membentuk gambaran hiatus

semilunaris, merupakan muara sinus frontalis, sinus maxillaries, dan cellulae

ethmoidales anteriores dan mediae

- Meatus nasi inferior di bawah concha inferior menerima sekresi ductus

nasolacrimalis

5. Bagian depan : didapatkan apertura piriformis yang terbentuk oleh os maxilla yang

membentuk sisi lateral dan os nasalis di bagian atas

6. Bagian belakang : terbentuk oleh choanae yang membuka ke arah nasopharynx

Struktur lain :

1. Vestibulum nasi, merupakan rongga hidung yang terletak di luar struktur tulang

2. Nares anterior (nostril) adalah lubang hidung yang membuka ke arah vestibulum nasi

Vaskularisasi :

1. Arteri : berasal dari percabangan a.carotis interna dan externa yaitu a.ethmoidalis

anterior, a.sphenoplatina, a.palatina major, dan a.facialis. Percabangan arterial ini

bertemu dalam rongga hidung pada area Kisselbach

2. Vena : ke plexus pterygoideus

Page 3: Rhinitis Alergika

Persarafan

1. N. I (n. olfaktorius) : berhubungan dengan penciuman, saraf ini mengurus 1/3 bagian ats

cavitas nasalis

2. Persarafan sensoris :

- N.V1 (n. ophthalmicus) mengurus persarafan bagian depan sekat hidung

- N.V2 (n. maxillaris) mengurus sebagian besar rongga hidung

Sinus paranasalis

1. Sinus frontalis

2. Cellulae ethmoidales (anteriores, mediae, posteriores)

3. Sinus sphenoidalis

4. Sinus maxillaries

Page 4: Rhinitis Alergika

Pharynx

3 ruangan : Nasopharynx, Oropharynx, dan Laryngopharynx.

Otot-otot Pharynx

HISTOLOGI

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar

rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia

dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara

mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh

palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar

mukosa dan sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.

Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk

mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia

akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,

sekret kental dan obat – obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified

columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,

sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Page 5: Rhinitis Alergika

Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,

kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Apabila terjadi rinitis alergi, gambaran secara

mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel

goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung. Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang

tahun, sehingga pada akhirnya terjadi perubahan yang ireversibel. Terjadi proliferasi jaringan

ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

FISIOLOGI 1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka

media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini

berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan

kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan

aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan

bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang

akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim

panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan

pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui

hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan

dilakukan oleh :

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir

dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut

lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghirup

Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada

atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat

mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas

dengan kuat.

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan

menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

Page 6: Rhinitis Alergika

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga

mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin

dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan

pankreas.

RHINITIS ALERGIKA

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi

yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

Menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan

pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung

terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Didefinisikan juga sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui

peradangan mukosa hidung yang diperantarai oleh IgE1.

Etiologi

Rinitis alergi antara lain disebabkan oleh :

1. Alergen (inhalan, ingestan, injektan dan kontaktan)

2. Polutan (gas, asap rokok)

3. Aspirin (dan antiinflamasi non steroid)

Epidemiologi2

Penelitian di Belanda yang dibandingkan pada tahun 1987 hingga 2001 didapatkan peningkatan

sebesar 40%.

Pada tahun 1987 diperoleh 6,6 dari 1000 orang menjadi 9,2 dari 1000 orang pada tahun 2001.

Insidensi ini tertinggi pada saat musim semi dan banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita.

Pengobatan pada tahun 1987 cukup dengan nasal kortikosteroid yang presentasenya hingga 36%

dan pada tahun 2001 pengobatan rinitis alergi berubah menjadi antihistamin oral yang

persentasenya hingga mencapai 45%.

1www.pediatrika.com. Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Anak FK UNAIR Surabaya. Ariyanto harsono, Anang

Endaryanto 2www.klikpdpi.com/modules.php?name=News&file=article&sid=3581

Page 7: Rhinitis Alergika

Klasifikasi

Sebelumnya, rinitis alergi menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi :

- rinitis musiman (seasonal allergic rinitis)

- sepanjang tahun (parennial allerggic rinitis)

- akibat kerja (occupational allergic rinitis)

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA

tahun 2001. Yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. intermitten/kadang-kadang : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4

minggu

2. persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, dibagi menjadi :

1. ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas

Rhinitis Alergica

Dibagi menjadi 2 fase:

o Fase sensitisasi (inisiasi), di mana paparan allergen menyebabkan terbentuknya IgE

sebagai reaksi dari system imun humoral.

o Fase paparan berulang (re-exposure)

Secara klinis, reaksi alergi dibagi 2:

o Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC); yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.

o Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL); yang

berlangsung 2 – 4 jam setelah pemaparan, (puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan), dapat

belangsung 24 – 48 jam.

Page 8: Rhinitis Alergika

Peran Th1 dan Th2 dalam Alergi

Presentasi antigen oleh APC (sel denditik) kepada sel T naif menyebabkan diferensiasi

(polarisasi) menjadi sel Th1 (bila dipengaruhi IL-12 dan IL-18) atau Th2 (bila

dipengaruhi oleh IL-4).

Sel Th1 memproduksi: o IFN-γ, yang menekan produksi IgE dan menstimulasi pembentukan IgG,

menekan proliferasi sel Th2, dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T.

Sedangkan sel Th2 memproduksi

o IL-4, dan IL-13: merangsang produksi dari IgE, menginduksi ekpresi adhesi

vascular yang berperan dalam infiltrasi eosinofil, dan menekan aktivitas sitokin

yang dihasilkan sel Th1.

o IL-5, berperan dalam perkembangan, aktivasi, dan daya pertahanan eosinofil.

Sel Th0 dapat memproduksi kedua jenis sitokin (Th1 dan Th2), dan terbentuk terhadap

sinyal polarisasi yang kurang kuat.

Dalam kondisi NORMAL, sel Th1 dan Th2 berada dalam keadaan seimbang.

Tetapi predominan sel Th2 dapat menyebabkan keadaan patologis dengan overproduksi

IgE dan menyebabkan alergi.

IFNγ

Aktivasi sel B dan produksi

IgG

IL-4, IL-13

Aktivasi sel B dan produksi

IgE

Th2 Th0

+ + -

Th naif

Page 9: Rhinitis Alergika

Fase Sensitisasi

Alergen menempel

pada permukaan

mukosa hidung

APC menangkap

alergen

Antigen diproses →

membentuk fragmen

pendek peptida

Fragmen pendek

peptida bergabung

dengan molekul HLA

kelas II

Terbentuk komplek

peptida MHC kelas II

MHC II dipresentasikan

pada sel T helper naif

Th naif → Th2 Th naif → Th0

IL-4 IL-12, IL-18

IL-4, IL-5, IL-13

IL-4, IL-13 berikatan

dengan reseptornya

pada permukaan sel B

Sel B teraktivasi dan

memproduksi IgE

IgE → sirkulasi darah →

jaringan

IgE diikat pada reseptor

IgE di permukaan sel

mast atau basofil (cross-

linking)

Sel mast atau basofil (sel

mediator) TELAH

tersensitisasi

Degranulasi

sel mast

atau basofil

Keluar mediator

kimia

Bersin, rinore,

hidung

tersumbat

Page 10: Rhinitis Alergika

Fase Re-exposure

I. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)

Mediator kimiawi:

1. Mediator primer (preformed mediators): mediator yang sudah terbentuk dan ada dalam

sel mast atau basofil, yaitu:

histamin (paling utama)

protease

2. Mediator sekunder (newly formed mediators): mediator yang harus disintesis terlebih

dahulu, yaitu:

CysLTs (cysteinyl leukotrienes)

LTC4, LTD4, and LTE4

Prostaglandin D2 (PGD2)

PAF (platetet activating factor)

bradikinin

sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, dan TNF- )

GM-CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor)

Protease

Paparan alergen yang

sama

IgE cross-linking mengikat

antigen spesifik

Degranulasi sel mast

atau basofil

Keluar mediator kimiawi

(primer maupun

sekunder)

Immediate Phase

Allergic Reaction

Page 11: Rhinitis Alergika

Selain menyebabkan timbulnya gejala-gejala tersebut, mediator-mediator ini juga

menstimulasi produksi, adhesi, dan infiltrasi dari elukosit (terutama eosinofil) dari sirkulasi

ke jaringan.

II. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)

Mediator-mediator

kimiawi juga merupakan

kemotaksis thd leukosit

Menstimulasi produksi,

adhesi, dan infiltrasi dari

leukosit (terutama

eosinofil) dari sirkulasi ke

jaringan

Akumulasi leukosit dalam

jaringan

Produksi mediator-

mediator kimiawi ↑↑

Oedem mukosa, proses

inflamasi

Kongesti dan obstruksi

nasal

(Late Phase Allergic

Reaction)

Merangsang reseptor H1

pada ujung saraf

vidianus

Rasa gatal pada hidung

dan bersin-bersin

Hipersekresi kelenjar

mukosa dan sel goblet

↑ permeabilitas

kapiler

Keluar sekret

hidung

(rinore)

Vasodilatasi

sinusoid

Kongesti nasal

Eksudasi

plasma

Hidung

tersumbat

Histamin

Page 12: Rhinitis Alergika

Gejala Klinis

Fase cepat (akut):

Gatal pada hidung dan rinore (lebih dominan)

Kongesti nasal (hidung tersumbat)

Fase lambat

Gatal pada hidung dan rinore sudah berkurang.

Lebih menonjol: kongesti nasal dan produksi mukus.

Komplikasi

sinusitis,

auditory tube dysfunction,

dysosmia,

sleep disturbances,

asthma exacerbations, and

chronic mouth breathing.

Dasar Diagnosis

Page 13: Rhinitis Alergika

Skenario

Seorang penderita laki-laki usia 16 tahun datang ke Poliklinik THT RS Imannuel dengan

keluhan utama bersin-bersin, terutama pagi hari.

Anamnesis

Sejak 4 tahun yang lalu penderita mengeluh sering bersin-bersin, terutama saat bangun

tidur dan bila terkena debu rumah. Bersin-bersin beruntun hingga lebih dari 10 kali setiap kali

bersin. Bersin-bersin terjadi hampir setiap hari dalam 1 minggu dan terjadi terus selama 4 tahun

terakhir ini. Bersin-bersin disertai hidung tersumbat dan rasa gatal di hidung, mata, langit-langit,

dan telinga. Penderita juga mengatakan adanya rinore encer dan keluar air mata saat bersin-

bersin tersebut. Penderita juga mengeluhkan hidung tersumbat menyebabkan penderita susah

tidur sehingga sering mengantuk dan tidak berkonsentrasi di sekolah. Ayah penderita memiliki

riwayat alergi kulit bila makan sea food dan nenek penderita memiliki riwayat penyakit asthma.

Penderita sudah sering berobat ke dokter tetapi penyakitnya belum sembuh juga.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : kesadaran kompos mentis

Tanda Vital : T : 120/80 mmHg N : 84x/menit, reguler, isi cukup

R : 20x/ menit S : 37° C

Status Generalis : Kulit : turgor baik

Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher : dalam batas normal

Thorak : bentuk dan pergerakan simetris

Jantung : dalam batas normal

Paru-paru : bising nafas dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Status Lokalis

Telinga Kanan dan kiri

Pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan kelainan

Pemeriksaan garpu tala normal

Page 14: Rhinitis Alergika

Hidung

Pemeriksaan rinoskopi anterior : tampak mukosa hidung pucat, konka inferior kanan

dan kiri kongesti, permukaan tidak rata, septum deviasi ringan ke kiri, sekret seromukoid pada

dasar kavum nasi

Faring

Pemeriksaan orofaring : Tonsil T2/T2 tenang, kripta melebar; dinding posterior orofaring tidak

rata, tampak granular hipertrofi.

Laboratorium

Darah : Hb : 12 gr/dL

Lekosit : 6000/mm3

Trombosit : 310.000/mm3

Hematokrit : 35%

Pemeriksaan Penunjang

Rhinoskopi anterior

Rhinoskopi posterior

Hematologi rutin (eosinophilia)

Tes kulit (gold standard)

RAST (Radio-Allergo Sorbent Test) IgE spesifik

IgE total

Tabel Perbandingan Tes Alergi

Tes Kulit Tes Serum (Rast)

Intradermal IgE

Menggunakan beberapa jarum Menggunakan satu jarum

Hasilnya segera Delay

Resiko anafilaksis Tidak ada resiko anafilaksis

Dapat bekerja pada antigen kompleks Kurang sensitive terhadap antigen

komplek

Page 15: Rhinitis Alergika

Dipengaruhi kondisi kulit Tidak terpengaruh kondisi kulit

Terpengaruh antihistamin Tidak terpengaruh antihistamin

PENATALAKSANAAN

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya dan

eliminasi.

Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor

kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling

sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi

atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan

generasi 2 (non sedative). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus

sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.

Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,

siprofeptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin

generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif

mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik, dan

efek pada SSP minimal (non sedative). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan

mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal,

tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin no

sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah

astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung

tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,

henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua

adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.

Preparat sipatomimetik golongan agonis adrenergfik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung

oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara

topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis

medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat

tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical

(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).

Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,

mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah

bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan

allergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical

bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan

mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi

dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila

diberikan sebagai profilaksis.

Page 16: Rhinitis Alergika

Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore,

karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast),

anti IgE, DNA rekombinan.

Tambahan:

Antihistamin-H1 oral

Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti

alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi

pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan

generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.

Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio

efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja

cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi

terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.

Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan

antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak

mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.

Antihistamin-H1 lokal

Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok

reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal

bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek

samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.

Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,

dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan

terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti

hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.

Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek

sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek

samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal

hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu

pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang

menonjol.

Kortikosteroid oral/IM

Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon,

prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan

hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan,

kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek

samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas.

Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak

kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

Page 17: Rhinitis Alergika

Kromon lokal (‘local chromones’)

Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya

belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal

kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat

keamanannya baik.

Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada

anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak

dijumpai efek samping.

Dekongestan oral

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik

yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan

penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar,

gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan

eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian

terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat

meningkat, namun efek samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal

Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga

merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini

bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang

dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti

sediaan oral tetapi lebih ringan.

Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di

bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis

toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

Antikolinergik intranasal

Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus

(rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan

tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik

pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.

Anti-leukotrien

Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT,

dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan

antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek

sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

Jenis obat yang sering digunakan :

Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari

Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun

: 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6

tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2

kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.

Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12

tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

Page 18: Rhinitis Alergika

Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari;

6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide

0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

Kortikosteroid intranasal

Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk

semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2

semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1

semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2

semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan

keamanannya lebih baik.

Leukotrien antagonis

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple

outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak

berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah

berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2

metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.

Prognosis

Prognosis dan perjalanan alamiah dari rhinitis alergika sulit dipastikan. Ada kesan klinis bahwa

gejala-gejala rhinitis alergika berkurang dengan bertambahnya usia.

Page 19: Rhinitis Alergika

Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001 (dewasa)

Diagnosis Rinitis Alergi

(anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)

Penghindaran alergen

Intermiten Persisten / menetap

AH oral / topical

Atau

AH + dekongestan

oral

- AH oral / topical atau

- AH + dekongestan oral atau

- KS tropical atau

- (Na kromoglikat)

Ringan Sedang / berat Ringan

Gejala persisten

Evaluasi setelah

2-4 minggu

KS tropikal

Evaluasi setelah 2 – 4 minggu

membaik Tidak ada

Bila gagal : maju 1 langkah

Bila Th/ berhasil : lanjutkan 1 bulan

Th/ mundur 1 langkah dan

th/ diteruskan untuk 1 bulan

- Salah diagnosis

- nilai kepatuhan pasien

- komplikasi / infeksi

- faktor kelainan

antaomis

Pertimbangkan

imunoterapi menetap

Sumbatan

hidung menetap

KS topical

ditingkatkan Gatal hidung rinore

Dekongestan (3 – 5 hari) atau

KS oral (jangka pendek)

KS topical + AH Ipatropium

bromida

gagal

Kaustik konka / konkotomi

Sedang / berat

Page 20: Rhinitis Alergika

Differential Diagnosis

Rhinitis Alergica Rhinitis Vasomotor

Etiologi Hipersensitivitas type 1 Idiopatik (neurogenik, neurpeptida, NO,

Trauma)

Pencetus Inhalan, ingestan, injektan Non spesifik ( asap, parfum, udara dingin,

pedas, alcohol, stress/ emosi )

Lakrimasi + jarang

GK Serangan bersin berulang,

menggosok hidung

Hidung tersumbat

Pemeriksaan

Oedem mukosa

Konka warna pucat

Secret banyak dan encer

Cobble stone appearance di

faring

Geographic tongue

Oedem mukosa hidung

Konka warna merah gelap / tua / pucat

Konka licin / berbenjol benjol

Secret mukoid sedikit

IgE Spesifik Meningkat Normal

Eosinofil Banyak ditemukan Sedikit

Skin test + -

RINITIS VASOMOTOR

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.Rinitis vasomotor adalah

gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan

hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.Kelainan ini

merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan

vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic

rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.

Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,

seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan

sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh

individu tersebut.

Epidemiologi : 30 – 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis vasomotor

dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.

ETIOLOGI

Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan

keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.

Page 21: Rhinitis Alergika

Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

- obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,

chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.

- faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan

bau yang merangsang.

- faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan

hipotiroidisme.

- faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

Riwayat penyakit - Tidak berhubungan dengan musim - Riwayat

keluarga ( - ) - Riwayat alergi sewaktu anak-

anak ( - ) - Timbul sesudah dewasa - Keluhan

gatal dan bersin ( - )

Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - ) - Tanda – tanda infeksi

( - ) - Pembengkakan pada mukosa ( + ) -

Hipertrofi konka inferior sering dijumpai

Radiologi X – Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan

sinus - Umumnya dijumpai penebalan mukosa

Bakteriologi

- Rinitis bakterial ( - )

Test alergi Ig E total - Normal

Prick Test - Negatif atau positif lemah

RAST - Negatif atau positif lemah

Rinitis alergi Rinitis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4

Riwayat terpapar allergen ( + ) Riwayat terpapar allergen ( - )

Page 22: Rhinitis Alergika

Etiologi Reaksi Ag -Ab terhadap

rangsangan spesifik

Reaksi neurovaskuler terhadap

beberapa rangsangan mekanis atau

kimia, juga faktor psikologis

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negatif

Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

PENATALAKSANAAN

Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala

yang menonjol.

Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :

1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )

2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :

- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan

hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral

) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).

- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.

- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-

bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator

vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum

dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,

Flunisolide atau Beclomethasone

- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan

utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray

)

3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :

- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat

pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ).

Page 23: Rhinitis Alergika

- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior

turbinate )

- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )

- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)

- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )

- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan

pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.

Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat.

Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan

dapat menimbulkan berbagai komplikasi

KOMPLIKASI

1. Sinusitis

2. Eritema pada hidung sebelah luar

3. Pembengkakan wajah

PROGNOSIS

Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik

dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.

Page 24: Rhinitis Alergika

SINUSITIS

Adalah inflamasi mukosa sinus paranasal

Etiologi :

Infeksi virus : Rhinovirus, parainfluenza, influenza

Infeksi bakteri : Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis

Prdisposisi :

A. Faktor Dinamik

1. Alergi : inhalan, makanan

2. Infeksi : Virus,bakteri, jamur

3. Iritasi mukosa

4. Lingkungan yang mempengaruhi kondisi mukosa (panas, kelembaban)

B. Non dinamik

1. Kelainan anatomi : deviasi septum nasi, stenosis osteomeatal

2. Bekas luka operasi

3. Benda asing

4. Polop nasal

5. Tumor yang mengobstruksi

Klasifikasi AAOHNS

Faktor mayor

1. Facial pain/ pressure

2. Facial congestion / fullness

3. Nasal obstruction

4. Nasal discharge

5. Hyposmia

6. Purulence in nasal cavitiy on examination

7. Fever

Faktor minor

1. Headache

2. Fever

3. Fatique

4. Halositosis

5. Dental pain

6. Cough

7. Ear pain/ pressure/fullness

Gejala klinik

Akut

Sinusitis maxillaries : demam, malise, wajah terasa bengkak, nyeri pipi pada palpasi dan

perkusi

Sinusistis Ethmoidalis : nyeri tekan diantara kedua mata, medial hidung

Sinusitis frontalis : nyeri dahi

Sinusitis spheniodalis : nyeri di vertex, occipital, blkng bola mata, daerah mastoid, hidung

tersumbat

Kronis

Secret mukopurulen, obstruksi hidung ringan, gejala sistemik (-).