rhinitis alergika
TRANSCRIPT
BLOK 19
THT DAN GIGI
MODUL 3
“RHINITIS ALERGIKA”
KELOMPOK TUTORIAL 13
Ina Nurlina 0610059
Sanggam T.H.H 0610170
Daud Palulu 0710036
Yenny Saputra 0710006
Adriyans Ndiloza 0710034
Marsita Lita 0710052
Harry Pribadi 0710077
Febrine W. Gunawan 0710099
Dian Luminto 0710140
Yuvens Richardo 0710217
Tutor:
dr.Sonja Sutedja
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha
Bandung-2009
ANATOMI
Nasal Cavities
Cavitas nasi seperti gambaran pyramid terbentuk oleh tulang-tulang, terletak tepat di
bawah fossa crania anterior. Dan di bagian depan ditutupi oleh tulang rawan.
Batas-batas cavitas nasi :
1. Atap : relative sempit, tersusun dari depan ke belakang oleh os frontale, os ethmoidale,
dan os sphenoidale
2. Dasar : lebih lebar daripada atap rongga hidung, terbentuk sebagian besar oleh os
maxilla dan sebagian kecil oleh os palatinum
3. Dinding medial : membentuk septum nasi, yang membentang di bagian median,
terbentuk oleh os ethmoidale dan os vomer
4. Dinding lateral : tampak conchae yang merupakan beberapa tonjolan yang agak
melekuk. Concha nasi superior dan concha nasi media merupakan proyeksi os
ethmoidale, sedangkan concha nasi inferior adalah suatu tulang tersendiri. Dengan
adanya concha, di dalam cavitas nasi memperlihatkan adanya beberapa recessus dan
meatus.
- Recessus sphenoethmoidalis adalah celah sempit di atas concha superior, tempat
bermuara sinus sphenoidalis
- Meatus nasi superior di bawah concha superior, menerima beberapa saluran yang
berhubungan dengan cellulae ethmoidales pesteriores
- Meatus nasi medius di bawah concha media, membentuk gambaran hiatus
semilunaris, merupakan muara sinus frontalis, sinus maxillaries, dan cellulae
ethmoidales anteriores dan mediae
- Meatus nasi inferior di bawah concha inferior menerima sekresi ductus
nasolacrimalis
5. Bagian depan : didapatkan apertura piriformis yang terbentuk oleh os maxilla yang
membentuk sisi lateral dan os nasalis di bagian atas
6. Bagian belakang : terbentuk oleh choanae yang membuka ke arah nasopharynx
Struktur lain :
1. Vestibulum nasi, merupakan rongga hidung yang terletak di luar struktur tulang
2. Nares anterior (nostril) adalah lubang hidung yang membuka ke arah vestibulum nasi
Vaskularisasi :
1. Arteri : berasal dari percabangan a.carotis interna dan externa yaitu a.ethmoidalis
anterior, a.sphenoplatina, a.palatina major, dan a.facialis. Percabangan arterial ini
bertemu dalam rongga hidung pada area Kisselbach
2. Vena : ke plexus pterygoideus
Persarafan
1. N. I (n. olfaktorius) : berhubungan dengan penciuman, saraf ini mengurus 1/3 bagian ats
cavitas nasalis
2. Persarafan sensoris :
- N.V1 (n. ophthalmicus) mengurus persarafan bagian depan sekat hidung
- N.V2 (n. maxillaris) mengurus sebagian besar rongga hidung
Sinus paranasalis
1. Sinus frontalis
2. Cellulae ethmoidales (anteriores, mediae, posteriores)
3. Sinus sphenoidalis
4. Sinus maxillaries
Pharynx
3 ruangan : Nasopharynx, Oropharynx, dan Laryngopharynx.
Otot-otot Pharynx
HISTOLOGI
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia
dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia
akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Apabila terjadi rinitis alergi, gambaran secara
mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang
tahun, sehingga pada akhirnya terjadi perubahan yang ireversibel. Terjadi proliferasi jaringan
ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
FISIOLOGI 1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.
RHINITIS ALERGIKA
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Didefinisikan juga sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui
peradangan mukosa hidung yang diperantarai oleh IgE1.
Etiologi
Rinitis alergi antara lain disebabkan oleh :
1. Alergen (inhalan, ingestan, injektan dan kontaktan)
2. Polutan (gas, asap rokok)
3. Aspirin (dan antiinflamasi non steroid)
Epidemiologi2
Penelitian di Belanda yang dibandingkan pada tahun 1987 hingga 2001 didapatkan peningkatan
sebesar 40%.
Pada tahun 1987 diperoleh 6,6 dari 1000 orang menjadi 9,2 dari 1000 orang pada tahun 2001.
Insidensi ini tertinggi pada saat musim semi dan banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita.
Pengobatan pada tahun 1987 cukup dengan nasal kortikosteroid yang presentasenya hingga 36%
dan pada tahun 2001 pengobatan rinitis alergi berubah menjadi antihistamin oral yang
persentasenya hingga mencapai 45%.
1www.pediatrika.com. Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Anak FK UNAIR Surabaya. Ariyanto harsono, Anang
Endaryanto 2www.klikpdpi.com/modules.php?name=News&file=article&sid=3581
Klasifikasi
Sebelumnya, rinitis alergi menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi :
- rinitis musiman (seasonal allergic rinitis)
- sepanjang tahun (parennial allerggic rinitis)
- akibat kerja (occupational allergic rinitis)
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA
tahun 2001. Yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. intermitten/kadang-kadang : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu
2. persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, dibagi menjadi :
1. ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas
Rhinitis Alergica
Dibagi menjadi 2 fase:
o Fase sensitisasi (inisiasi), di mana paparan allergen menyebabkan terbentuknya IgE
sebagai reaksi dari system imun humoral.
o Fase paparan berulang (re-exposure)
Secara klinis, reaksi alergi dibagi 2:
o Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC); yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.
o Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL); yang
berlangsung 2 – 4 jam setelah pemaparan, (puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan), dapat
belangsung 24 – 48 jam.
Peran Th1 dan Th2 dalam Alergi
Presentasi antigen oleh APC (sel denditik) kepada sel T naif menyebabkan diferensiasi
(polarisasi) menjadi sel Th1 (bila dipengaruhi IL-12 dan IL-18) atau Th2 (bila
dipengaruhi oleh IL-4).
Sel Th1 memproduksi: o IFN-γ, yang menekan produksi IgE dan menstimulasi pembentukan IgG,
menekan proliferasi sel Th2, dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T.
Sedangkan sel Th2 memproduksi
o IL-4, dan IL-13: merangsang produksi dari IgE, menginduksi ekpresi adhesi
vascular yang berperan dalam infiltrasi eosinofil, dan menekan aktivitas sitokin
yang dihasilkan sel Th1.
o IL-5, berperan dalam perkembangan, aktivasi, dan daya pertahanan eosinofil.
Sel Th0 dapat memproduksi kedua jenis sitokin (Th1 dan Th2), dan terbentuk terhadap
sinyal polarisasi yang kurang kuat.
Dalam kondisi NORMAL, sel Th1 dan Th2 berada dalam keadaan seimbang.
Tetapi predominan sel Th2 dapat menyebabkan keadaan patologis dengan overproduksi
IgE dan menyebabkan alergi.
IFNγ
Aktivasi sel B dan produksi
IgG
IL-4, IL-13
Aktivasi sel B dan produksi
IgE
Th2 Th0
+ + -
Th naif
Fase Sensitisasi
Alergen menempel
pada permukaan
mukosa hidung
APC menangkap
alergen
Antigen diproses →
membentuk fragmen
pendek peptida
Fragmen pendek
peptida bergabung
dengan molekul HLA
kelas II
Terbentuk komplek
peptida MHC kelas II
MHC II dipresentasikan
pada sel T helper naif
Th naif → Th2 Th naif → Th0
IL-4 IL-12, IL-18
IL-4, IL-5, IL-13
IL-4, IL-13 berikatan
dengan reseptornya
pada permukaan sel B
Sel B teraktivasi dan
memproduksi IgE
IgE → sirkulasi darah →
jaringan
IgE diikat pada reseptor
IgE di permukaan sel
mast atau basofil (cross-
linking)
Sel mast atau basofil (sel
mediator) TELAH
tersensitisasi
Degranulasi
sel mast
atau basofil
Keluar mediator
kimia
Bersin, rinore,
hidung
tersumbat
Fase Re-exposure
I. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
Mediator kimiawi:
1. Mediator primer (preformed mediators): mediator yang sudah terbentuk dan ada dalam
sel mast atau basofil, yaitu:
histamin (paling utama)
protease
2. Mediator sekunder (newly formed mediators): mediator yang harus disintesis terlebih
dahulu, yaitu:
CysLTs (cysteinyl leukotrienes)
LTC4, LTD4, and LTE4
Prostaglandin D2 (PGD2)
PAF (platetet activating factor)
bradikinin
sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, dan TNF- )
GM-CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor)
Protease
Paparan alergen yang
sama
IgE cross-linking mengikat
antigen spesifik
Degranulasi sel mast
atau basofil
Keluar mediator kimiawi
(primer maupun
sekunder)
Immediate Phase
Allergic Reaction
Selain menyebabkan timbulnya gejala-gejala tersebut, mediator-mediator ini juga
menstimulasi produksi, adhesi, dan infiltrasi dari elukosit (terutama eosinofil) dari sirkulasi
ke jaringan.
II. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
Mediator-mediator
kimiawi juga merupakan
kemotaksis thd leukosit
Menstimulasi produksi,
adhesi, dan infiltrasi dari
leukosit (terutama
eosinofil) dari sirkulasi ke
jaringan
Akumulasi leukosit dalam
jaringan
Produksi mediator-
mediator kimiawi ↑↑
Oedem mukosa, proses
inflamasi
Kongesti dan obstruksi
nasal
(Late Phase Allergic
Reaction)
Merangsang reseptor H1
pada ujung saraf
vidianus
Rasa gatal pada hidung
dan bersin-bersin
Hipersekresi kelenjar
mukosa dan sel goblet
↑ permeabilitas
kapiler
Keluar sekret
hidung
(rinore)
Vasodilatasi
sinusoid
Kongesti nasal
Eksudasi
plasma
Hidung
tersumbat
Histamin
Gejala Klinis
Fase cepat (akut):
Gatal pada hidung dan rinore (lebih dominan)
Kongesti nasal (hidung tersumbat)
Fase lambat
Gatal pada hidung dan rinore sudah berkurang.
Lebih menonjol: kongesti nasal dan produksi mukus.
Komplikasi
sinusitis,
auditory tube dysfunction,
dysosmia,
sleep disturbances,
asthma exacerbations, and
chronic mouth breathing.
Dasar Diagnosis
Skenario
Seorang penderita laki-laki usia 16 tahun datang ke Poliklinik THT RS Imannuel dengan
keluhan utama bersin-bersin, terutama pagi hari.
Anamnesis
Sejak 4 tahun yang lalu penderita mengeluh sering bersin-bersin, terutama saat bangun
tidur dan bila terkena debu rumah. Bersin-bersin beruntun hingga lebih dari 10 kali setiap kali
bersin. Bersin-bersin terjadi hampir setiap hari dalam 1 minggu dan terjadi terus selama 4 tahun
terakhir ini. Bersin-bersin disertai hidung tersumbat dan rasa gatal di hidung, mata, langit-langit,
dan telinga. Penderita juga mengatakan adanya rinore encer dan keluar air mata saat bersin-
bersin tersebut. Penderita juga mengeluhkan hidung tersumbat menyebabkan penderita susah
tidur sehingga sering mengantuk dan tidak berkonsentrasi di sekolah. Ayah penderita memiliki
riwayat alergi kulit bila makan sea food dan nenek penderita memiliki riwayat penyakit asthma.
Penderita sudah sering berobat ke dokter tetapi penyakitnya belum sembuh juga.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : kesadaran kompos mentis
Tanda Vital : T : 120/80 mmHg N : 84x/menit, reguler, isi cukup
R : 20x/ menit S : 37° C
Status Generalis : Kulit : turgor baik
Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : dalam batas normal
Thorak : bentuk dan pergerakan simetris
Jantung : dalam batas normal
Paru-paru : bising nafas dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Status Lokalis
Telinga Kanan dan kiri
Pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan garpu tala normal
Hidung
Pemeriksaan rinoskopi anterior : tampak mukosa hidung pucat, konka inferior kanan
dan kiri kongesti, permukaan tidak rata, septum deviasi ringan ke kiri, sekret seromukoid pada
dasar kavum nasi
Faring
Pemeriksaan orofaring : Tonsil T2/T2 tenang, kripta melebar; dinding posterior orofaring tidak
rata, tampak granular hipertrofi.
Laboratorium
Darah : Hb : 12 gr/dL
Lekosit : 6000/mm3
Trombosit : 310.000/mm3
Hematokrit : 35%
Pemeriksaan Penunjang
Rhinoskopi anterior
Rhinoskopi posterior
Hematologi rutin (eosinophilia)
Tes kulit (gold standard)
RAST (Radio-Allergo Sorbent Test) IgE spesifik
IgE total
Tabel Perbandingan Tes Alergi
Tes Kulit Tes Serum (Rast)
Intradermal IgE
Menggunakan beberapa jarum Menggunakan satu jarum
Hasilnya segera Delay
Resiko anafilaksis Tidak ada resiko anafilaksis
Dapat bekerja pada antigen kompleks Kurang sensitive terhadap antigen
komplek
Dipengaruhi kondisi kulit Tidak terpengaruh kondisi kulit
Terpengaruh antihistamin Tidak terpengaruh antihistamin
PENATALAKSANAAN
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya dan
eliminasi.
Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan
generasi 2 (non sedative). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siprofeptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin
generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif
mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik, dan
efek pada SSP minimal (non sedative). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan
mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal,
tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin no
sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah
astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung
tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,
henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua
adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Preparat sipatomimetik golongan agonis adrenergfik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara
topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat
tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan
mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi
dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast),
anti IgE, DNA rekombinan.
Tambahan:
Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti
alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi
pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan
generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja
cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi
terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan
antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak
mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.
Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok
reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal
bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek
samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.
Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason,
dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan
terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti
hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek
sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek
samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal
hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu
pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang
menonjol.
Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon,
prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan
hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan,
kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek
samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas.
Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak
kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
Kromon lokal (‘local chromones’)
Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya
belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal
kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat
keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada
anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak
dijumpai efek samping.
Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik
yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan
penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar,
gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan
eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian
terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat
meningkat, namun efek samping juga bertambah.
Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini
bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang
dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di
bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis
toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus
(rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan
tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik
pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.
Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT,
dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek
sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
Jenis obat yang sering digunakan :
Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun
: 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6
tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.
Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12
tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari;
6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide
0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
Kortikosteroid intranasal
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk
semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.
Leukotrien antagonis
Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple
outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.
Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2
metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.
Prognosis
Prognosis dan perjalanan alamiah dari rhinitis alergika sulit dipastikan. Ada kesan klinis bahwa
gejala-gejala rhinitis alergika berkurang dengan bertambahnya usia.
Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001 (dewasa)
Diagnosis Rinitis Alergi
(anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)
Penghindaran alergen
Intermiten Persisten / menetap
AH oral / topical
Atau
AH + dekongestan
oral
- AH oral / topical atau
- AH + dekongestan oral atau
- KS tropical atau
- (Na kromoglikat)
Ringan Sedang / berat Ringan
Gejala persisten
Evaluasi setelah
2-4 minggu
KS tropikal
Evaluasi setelah 2 – 4 minggu
membaik Tidak ada
Bila gagal : maju 1 langkah
Bila Th/ berhasil : lanjutkan 1 bulan
Th/ mundur 1 langkah dan
th/ diteruskan untuk 1 bulan
- Salah diagnosis
- nilai kepatuhan pasien
- komplikasi / infeksi
- faktor kelainan
antaomis
Pertimbangkan
imunoterapi menetap
Sumbatan
hidung menetap
KS topical
ditingkatkan Gatal hidung rinore
Dekongestan (3 – 5 hari) atau
KS oral (jangka pendek)
KS topical + AH Ipatropium
bromida
gagal
Kaustik konka / konkotomi
Sedang / berat
Differential Diagnosis
Rhinitis Alergica Rhinitis Vasomotor
Etiologi Hipersensitivitas type 1 Idiopatik (neurogenik, neurpeptida, NO,
Trauma)
Pencetus Inhalan, ingestan, injektan Non spesifik ( asap, parfum, udara dingin,
pedas, alcohol, stress/ emosi )
Lakrimasi + jarang
GK Serangan bersin berulang,
menggosok hidung
Hidung tersumbat
Pemeriksaan
Oedem mukosa
Konka warna pucat
Secret banyak dan encer
Cobble stone appearance di
faring
Geographic tongue
Oedem mukosa hidung
Konka warna merah gelap / tua / pucat
Konka licin / berbenjol benjol
Secret mukoid sedikit
IgE Spesifik Meningkat Normal
Eosinofil Banyak ditemukan Sedikit
Skin test + -
RINITIS VASOMOTOR
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.Rinitis vasomotor adalah
gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.Kelainan ini
merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan
vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic
rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan
sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh
individu tersebut.
Epidemiologi : 30 – 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis vasomotor
dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.
ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
- obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
- faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan
bau yang merangsang.
- faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
- faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
Riwayat penyakit - Tidak berhubungan dengan musim - Riwayat
keluarga ( - ) - Riwayat alergi sewaktu anak-
anak ( - ) - Timbul sesudah dewasa - Keluhan
gatal dan bersin ( - )
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - ) - Tanda – tanda infeksi
( - ) - Pembengkakan pada mukosa ( + ) -
Hipertrofi konka inferior sering dijumpai
Radiologi X – Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan
sinus - Umumnya dijumpai penebalan mukosa
Bakteriologi
- Rinitis bakterial ( - )
Test alergi Ig E total - Normal
Prick Test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah
Rinitis alergi Rinitis vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen ( + ) Riwayat terpapar allergen ( - )
Etiologi Reaksi Ag -Ab terhadap
rangsangan spesifik
Reaksi neurovaskuler terhadap
beberapa rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
PENATALAKSANAAN
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala
yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan
hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral
) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-
bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator
vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum
dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray
)
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat
pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior
turbinate )
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat.
Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
dapat menimbulkan berbagai komplikasi
KOMPLIKASI
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
PROGNOSIS
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik
dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.
SINUSITIS
Adalah inflamasi mukosa sinus paranasal
Etiologi :
Infeksi virus : Rhinovirus, parainfluenza, influenza
Infeksi bakteri : Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis
Prdisposisi :
A. Faktor Dinamik
1. Alergi : inhalan, makanan
2. Infeksi : Virus,bakteri, jamur
3. Iritasi mukosa
4. Lingkungan yang mempengaruhi kondisi mukosa (panas, kelembaban)
B. Non dinamik
1. Kelainan anatomi : deviasi septum nasi, stenosis osteomeatal
2. Bekas luka operasi
3. Benda asing
4. Polop nasal
5. Tumor yang mengobstruksi
Klasifikasi AAOHNS
Faktor mayor
1. Facial pain/ pressure
2. Facial congestion / fullness
3. Nasal obstruction
4. Nasal discharge
5. Hyposmia
6. Purulence in nasal cavitiy on examination
7. Fever
Faktor minor
1. Headache
2. Fever
3. Fatique
4. Halositosis
5. Dental pain
6. Cough
7. Ear pain/ pressure/fullness
Gejala klinik
Akut
Sinusitis maxillaries : demam, malise, wajah terasa bengkak, nyeri pipi pada palpasi dan
perkusi
Sinusistis Ethmoidalis : nyeri tekan diantara kedua mata, medial hidung
Sinusitis frontalis : nyeri dahi
Sinusitis spheniodalis : nyeri di vertex, occipital, blkng bola mata, daerah mastoid, hidung
tersumbat
Kronis
Secret mukopurulen, obstruksi hidung ringan, gejala sistemik (-).