revisi tesis

8
Pengelolaan keuangan pemerintah daerah di era otonomi memerlukan suatu pengukuran kinerja keuangan sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada tahun anggaran selanjutnya. Pengukuran kinerja keuangan juga digunakan untuk menilai akuntabilitas dan kemampuan daerah dalam mengelola keuangannya secara mandiri, artinya semakin baik kinerja keuangan pemerintah daerah maka kemampuan daerah dalam mengelola keuangannya akan semakin baik, sehingga sangat penting untuk selalu dilakukan audit atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh pihak independent (BPK RI). Laporan hasil audit oleh BPK RI dapat berupa opini auditor dimana terdapat empat jenis pendapat auditor (BPK). Apabila opini auditor unqualified opinion maka menunjukkan akuntabilitas suatu pemerintah daerah semakin bagus, sedangkan jika opini qualified opinion, adverse opinion, dan disclaimer opinion, maka masih ada kemungkinan terjadi salah saji yang material dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Dari sepuluh Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat hanya dua kabupaten yang sudah memperoleh predikat unqualified opinion yaitu Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Sumbawa sedangkan sisanya mendapat predikat qualified opinion. Hal ini membuktikan kinerja keuangan pada mayoritas

Upload: syahral-ahmad

Post on 05-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

rev

TRANSCRIPT

Page 1: revisi tesis

Pengelolaan keuangan pemerintah daerah di era otonomi memerlukan suatu pengukuran

kinerja keuangan sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada tahun anggaran

selanjutnya. Pengukuran kinerja keuangan juga digunakan untuk menilai akuntabilitas dan

kemampuan daerah dalam mengelola keuangannya secara mandiri, artinya semakin baik kinerja

keuangan pemerintah daerah maka kemampuan daerah dalam mengelola keuangannya akan

semakin baik, sehingga sangat penting untuk selalu dilakukan audit atas laporan keuangan

pemerintah daerah oleh pihak independent (BPK RI). Laporan hasil audit oleh BPK RI dapat

berupa opini auditor dimana terdapat empat jenis pendapat auditor (BPK). Apabila opini auditor

unqualified opinion maka menunjukkan akuntabilitas suatu pemerintah daerah semakin bagus,

sedangkan jika opini qualified opinion, adverse opinion, dan disclaimer opinion, maka masih ada

kemungkinan terjadi salah saji yang material dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Dari

sepuluh Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat hanya dua kabupaten yang sudah memperoleh

predikat unqualified opinion yaitu Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Sumbawa

sedangkan sisanya mendapat predikat qualified opinion. Hal ini membuktikan kinerja keuangan

pada mayoritas Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat belum menunjukkan hasil yang

memuaskan.

Penilaian kinerja suatu pemerintah daerah tidak hanya bisa dilihat dari hasil audit BPK, namun

bisa juga di nilai dari kinerja keuangannya dengan berdasarkan rasio keuangan pada APBD.

Mardiasmo (2002:121) menyatakan bahwa pengukuran kinerja dilakukan untuk memenuhi tiga

maksud. Pertama, untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Kedua, untuk

mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, untuk mewujudkan

pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.

Page 2: revisi tesis

Rumusan Masalah

Perilaku pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah akan berpengaruh dalam

proses penganggaran daerah. Struktur anggaran daerah mencerminkan besar kecilnya upaya

pemerintah daerah dalam pembangunan daerah, terutama jika melihat pada porsi belanja modal

yang dianggarkan. Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat terbukti belum menempatkan belanja

modal sebagai aspek krusial dalam pembangunan daerah. Hal ini tercermin dari struktur belanja

daerah yang menunjukkan alokasi belanja modal yang kecil dari keseluruhan belanja daerah.

Kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan

pada tahun anggaran selanjutnya diharapkan mampu membantu pemerintah di dalam membuat

keputusan terkait pengelolaan APBD khususnya yang berkaitan dengan pembangunan daerah

yang dalam hal ini diwujudkan melalui belanja modal.

Daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam

rangka untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Hal ini dapat

menimbulkan tekanan fiskal (fiscal stress) bagi pemerintah daerah. Dengan adanya belanja

operasional yang tinggi, pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan pendapatan asli

daerahnya atau mencari alternatif sumber-sumber pembiayaan lainnya untuk mengatasi

ketimpangan anggaran tersebut sehingga pendapatan asli daerahnya dapat lebih banyak

digunakan untuk membiayai belanja daerah yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik.

Faktor demografi menjadi salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi belanja modal

pemerintah karena setiap kebijakan yang diambil pemerintah tidak bisa lepas dari kebutuhan

masyarakatnya

Berdasarkan argumentasi diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Page 3: revisi tesis

1.2.1. Apakah kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, ketergantungan, derajat

desentralisasi fiskal, ruang fiskal, dan pembiayaan SiLPA berpengaruh terhadap

alokasi belanja modal tahun berjalan?

1.2.2. Apakah fiscal stress berpengaruh terhadap alokasi belanja modal tahun berjalan?

1.2.3. Apakah kepadatan penduduk berpengaruh terhadap alokasi belanja modal tahun

berjalan?

1.2.4. Apakah kinerja keuangan, fiscal stress, dan kepadatan penduduk secara bersama-

sama berpengaruh terhadap alokasi belanja modal tahun berjalan?

Page 4: revisi tesis

Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan yang menjelaskan hubungan principal dan agen berakar pada teori

ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan

kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak

(principal) membuat suatu kontrak baik secara implisit maupun eksplisit dengan pihak lain

(agent), dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang

diinginkan oleh principal (Abdullah dan Asmara, 2009).

Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak

dimana satu atau lebih (principal) menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa

untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan

kepada agen. Konflik kepentingan akan muncul dan pendelegasian tugas yang diberikan kepada

agen dimana agen tidak dalam kepentingan untuk memaksimumkan kepentingan principal, tetapi

mempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan

publik.

Penelitian ini dapat memperlihatkan hubungan keagenan antara eksekutif, legislatif dan

publik. Eksekutif merupakan agen bagi principal yaitu legislatif dan publik. Legislatif dapat

bertindak sebagai agen bagi publik atau pemilihnya (voters). Hubungan keagenan dalam hal ini

menurut Johnson (1994:5) disebut dengan nama Self-interest model. Legislatif ingin dipilih

kembali, eksekutif ingin memaksimumkan anggarannya dan konstituen atau publik ingin

memaksimalkan utilitasnya. Agar terpilih kembali legislatif mencari program dan proyek yang

membuatnya populer di mata konstituen atau publik. Eksekutif mengusulkan program-program

baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya mereka menerima manfaat

(benefit) dari pemerintah.

Page 5: revisi tesis

Belanja modal merupakan salah satu sarana bagi legislatif untuk memaksakan

kepentingannya, tidak jarang dengan kekuasaan yang dimilikinya legislatif dapat memasukkan

program dan proyek fisik dalam APBD, yang hanya menyentuh konstituen atau pemilihnya.

Halim dan Abdullah (2006) menambahkan persoalan semakin nyata ketika publik tidak memiliki

sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard

legislatif dapat terjadi dengan mudah. Pihak eksekutif sebagai agen bagi legislatif dan publik,

karena memiliki keunggulan dalam informasi tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan entitas,

akan cenderung mengusulkan anggaran belanja modal yang dapat lebih menunjang kinerja

aparaturnya dibandingkan dengan belanja modal yang menyentuh langsung kepada masyarakat.

Kontrak nyata antara agen dan principal di pemerintahan daerah adalah Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Eksekutif (agen) membuat rancangan APBD sesuai

dengan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Anggaran, yang kemudian diserahkan kepada

legislatif (principal) untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan menjadi

peraturan daerah (Perda). APBD dapat digunakan principal (legislatif) untuk mengawasi

pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (agen). Dalam hal ini, legislatif yang merupakan wakil dari

publik dapat mengawasi dan menilai kinerja keuangan pemerintah daerah.