boo tesis revisi - digital library uns/studi... · tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika...

137
STUDI ANALISIS INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERIAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TELAH MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA ATAU TINDAKAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TIDAK MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA BERDASARKAN PENYELESAIAN KEWAJIBAN PEMEGANG SAHAM DALAM PENYELESAIAN KASUS BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum dan Kebijakan Publik Oleh: Rizki Amalia NIM : S 310508014 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: lamkien

Post on 03-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

STUDI ANALISIS INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 8 TAHUN 2002

TENTANG PEMBERIAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA

DEBITUR YANG TELAH MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA ATAU

TINDAKAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TIDAK

MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA BERDASARKAN

PENYELESAIAN KEWAJIBAN PEMEGANG SAHAM DALAM

PENYELESAIAN KASUS BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA

DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum dan Kebijakan Publik

Oleh:

Rizki Amalia

NIM : S 310508014

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dimensi kejahatan yang masih mendapat sorotan global dan mendapat

perhatian serius dalam Konggres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana adalah

korupsi, terutama dalam kaitannya dengan economic crime dan organized

crime, khususnya mengingat korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dinilai

dapat menghancurkan efektivitas potensial program pemerintah sehingga

berimplikasi menghambat pembangunan. Bahkan penyalahgunaan kekuasaan

(abuse the power) termasuk dalam crime trend yang dinilai membahayakan

dan merugikan disamping white collar crime dan economic crime.1 Demikian

urgennya efek korupsi bagi perekonomian dan keuangan negara sehingga

pemberantasan korupsi selalu menjadi prioritas agenda pemerintah untuk

ditanggulangi secara serius sebagai bagian dari upaya mengembalikan

kepercayaan masyarakat atas hukum dalam rangka memulihkan dan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

Agenda pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, sebagai bagian

dari bentuk kebijakan publik, secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu kasus tindak pidana korupsi

terbesar yang melibatkan berbagai kajian ilmu untuk menemukan upaya

penyelesaian yang dinilai tepat adalah dugaan korupsi yang melingkupi

penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

saat Indonesia mengalami krisis moneter yang berdampak pada situasi

perbankan yang mengalami rush, bahkan hingga saat ini masih belum tuntas

dan terus diupayakan pengembalian uang negara.

1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Ed. Pertama ctk. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 14-15.

Page 3: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

BLBI merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan agar perbankan

nasional tidak mengalami collapse. Bank Indonesia sebagai lender of the last

resort, sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun

1968 menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas

kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.

Selanjutnya Pasal 37 ayat (2) huruf b UU Nomor 7 Tahun 1992 menegaskan

bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang

membahayakan langsung usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan

lain sesuai perundang-undangan lain. Adapun kebijakan yang diambil oleh

pemerintah bersama Bank Indonesia berupa bantuan dan jaminan pemerintah

dalam bentuk BLBI bertujuan untuk menyehatkan manajemen dan kinerja di

sektor perbankan nasional. Kesalahan pengelolaan keuangan Negara, terkait

dengan penyaluran dan penyalahgunaan dana BLBI dimana pengelolaan uang

Negara dilakukan dengan kesengajaan ataupun kelalaian sehingga

menimbulkan kerugian Negara.

Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan

bukan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional,

melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank, sehingga

penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar hukum

mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31

Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan

menjalankan usaha bank dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Undang-Undang Perbankan.

Penyalahgunaan dana BLBI merupakan suatu bentuk tindak pidana

korupsi yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (white collar crime),

dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada 1939, diartikan sebagai kejahatan

yang dilakukan oleh orang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi

dalam pekerjaannya. White collar crime sebagai kegiatan di bidang bisnis

sering terjadi dalam bentuk penyampaian laporan keuangan suatu perusahaan

Page 4: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

secara tidak benar, penyuapan pejabat publik, baik secara langsung maupun

tidak langsung untuk memperoleh kemudahan dan penyimpangan penggunaan

dana termasuk dalam kasus penyalahgunaan BLBI. Kesempatan terjadinya

tindak pidana korupsi idealnya terjadi pada suatu organisasi yang besar, negara

misalnya, namun terbatas pada organisasi yang kecil dan pengawasannya

cenderung ketat. Namun demikian tidak berlaku bagi beberapa bank yang

masuk dalam program penyehatan perbankan dan memperoleh kucuran dana

BLBI.2

Penyalahgunaan dana BLBI yang telah mengakibatkan timbulnya

kerugian Negara sebenarnya telah tegas melanggar perundang-undangan yang

telah disebut diatas, dimana mekanisme pengembalian kerugian Negara telah

jelas pula harus melalui court settlement, dengan pertimbangan adanya upaya

paksa baik berupa sanksi pidana maupun berupa penyitaan aset-aset dalam

rangka pengembalian uang Negara. Namun demikian guna mendorong

pengembalian dana BLBI tersebut, penanggulangan kejahatan kontemporer

yang melibatkan beberapa debitur dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI

sejauh ini lebih mengutamakan sarana non penal karena terdapat hambatan

dalam memperoleh pengembalian kewajiban yang berasal dari bantuan

likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pemenuhan penyelesaian kredit yang

melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) sehingga mendorong

ditempuhnya penyelesaian out of court settlement.

Bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang digunakan untuk

penyelesaian kasus BLBI adalah dengan melakukan perjanjian yang disebut

dengan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA),3 Master

2 M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm.

21-25. The optimal size of government balances the wishes of the corrupt public sector for a larger government, and so greater opportunities for corruption, with those in the private sector who prefer a smaller government. Lihat dalam Raul A. Barreto, Corruption, Optimal Taxation, and Growth, http://pfr.sagepub.com/cgi/content/abstract/31/3/2007, 10 Oktober 2009, 22.40 WIB.

3 MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali bank yang bermasalah (PSP

bank) yang masih memiliki aset yang dinilai cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah. Penyelesaian kewajiban PSP bank dibedakan menjadi dua, yaitu 1) PSP bank yang berstatus BBO/BBKU untuk menyelesaikan kewajiban BLBI dan kredit BMPK; dan 2) PSP bank yang berstatus BTO untuk menyelesaikan kredit yang melanggar BMPK. MRNIA diberlakukan

Page 5: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan

Utang.

Penyelesaian kasus BLBI berlanjut pada keluarnya Inpres Nomor 8 tahun

2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang

Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur

Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham yang menjadi dasar hukum bagi penyelesaian

kasus BLBI secara out of court settlement, menginstruksikan kepada Menko

Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan

(KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK,

Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan

Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi

penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan seluruh

kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU.

Adapun dalam butir-butir Inpres tersebut menyebutkan bahwa bagi para

debitur yang telah menyelesaikan kewajiban sebagai pemegang saham dalam

bentuk MSAA, MRNIA, dan APU akan diberikan bukti penyelesaian berupa

pelepasan dan pembebasan dalam rangka memberikan kepastian hukum

sebagaimana telah diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Bahkan dalam

butir ke 4 disebutkan pembebasan debitur dari aspek pidana, baik yang masih

dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan sekaligus

dilakukannya proses penghentian penanganan aspek pidana namun proses ini

tetap dilakukan dalam koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen Kedua bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di terhadap PSP bank yang asetnya setelah dinilai tidak dicapai kesepakatan mengenai nilainya. PSP bank mengakui bahwa penyelesaian kewajibannya belum selesai meskipun telah melakukan pembayaran sebagian secara tunai. Akta Pengakuan Utang diberlakukan terhadap pemegang saham yang tidak mengikuti salah satu dari dua perjanjian sebelumnya dengan mengikatkan diri dalam perjanjian disertai jaminan pribadi dan atau aset. Lihat dalam Kusumaningtuti, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 182-183.

Page 6: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

hadapan hukum. Penegasan demikian berarti bahwa hukum tidak mengenal

adanya diskriminasi dalam upaya penegakannya. Namun tidak demikian

dengan adanya Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian

Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau

Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya

Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang lebih dikenal

dengan Release and Discharge,4 menandai adanya proses transformasi

penegakan hukum dari proses penegakan hukum punitive melalui court

settlement mengarah pada out of court settlement pada kejahatan bisnis

meskipun sifatnya kasuistis.

Instruksi Presiden tidak dikenal dalam sistem ketatanegaran Indonesia,

sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 tentang tata

urutan perundang-undangan ditegaskan bahwa tata urutan perundang-undangan

sebagai pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya.5 Pengaturan

tentang kebijakan penyelesaian dalam bentuk instruksi presiden dinilai tidak

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku saat itu, yaitu Ketetapan

MPR Nomor III Tahun 2000. Terlebih materi yang diatur bisa jadi merupakan

bentuk diskresi yang terlalu luas, menjadikan situasi dan kondisi yang dihadapi

saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sebagai alasan pembenar dalam

mengambil kebijakan out of court settlement dalam dugaan tindak pidana di

bidang perbankan yang dilakukan dalam penggunaan dana Bantuan Likuditas

Bank Indonesia, karena pengaturan mengenai tindak pidana korupsi telah

diatur secara terpisah.

4 Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam ibid., hlm. 57.

5 Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 2.

Page 7: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Kebijakan out of court settlement sebagai upaya penyelesaian kasus

BLBI dalam bentuk Instruksi Presiden dinilai hanya mengedepankan upaya

pengembalian keuangan Negara saja sehingga upaya penegakan hukum pidana

yang mempunyai mekanisme pengembalian kerugian Negara melalui upaya

paksa dan penyitaan asset bagi terdakwa dimana hukum pidana dalam kasus

BLBI diterapkan sebagai ultimum remidium dikesampingkan. Alasan-alasan

penggunaan sarana out of court settlement sebagai upaya penyelesaian kasus

BLBI inilah yang hendak dikaji dengan menggunakan teori kebijakan hukum

pidana, disamping mengkaji sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang

Release and Discharge terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku

di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian dalam sebuah tesis dengan judul.

Studi Analisis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 Tentang

Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah

Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur

Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Kebijakan Hukum

Pidana.

B. Perumusan Masalah

Kebijakan penyelesaian kasus BLBI berupa Inpres No. 8 Tahun 2002

tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah

Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang

Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham, yang lebih dikenal dengan Release and Discharge,

mengutamakan penyelesaian out of court settlement dengan mengesampingkan

aspek pidana dalam kasus tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun demikian upaya

Page 8: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

penyelesaian out of court settlement tetap dipertahankan bahkan hingga saat ini

upaya penyelesaian tersebut masih terus dilanjutkan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah yang

dibahas adalah sebagai berikut :

1. Apakah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian

Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan

Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak

Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia?

2. Mengapa Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian

Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan

Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak

Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian kasus

tindak pidana korupsi BLBI secara out of court settlement ditinjau dari

perspektif kebijakan hukum pidana?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui kedudukan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002

tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang

Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada

Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam system perundang-

undangan di Indonesia.

b. Menganalisis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang

Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah

Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur

Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham sebagai kebijakan dalam upaya

Page 9: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

penyelesaian kasus BLBI ditinjau dari perspektif kebijakan hukum

pidana.

2. Tujuan Subyektif

a. Memperoleh data secara lengkap dan jelas sebagai bahan penyusunan

penulisan hukum.

b. Mendalami pemahaman kebijakan publik yang tertuang dalam

peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pelaksanaan

kebijakan.

D. Manfaat Penelitian

1. Segi Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dalam

pengembangan ilmu hukum serta ilmu lain yang terkait dengan penelitian

ini.

2. Segi Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan bagi para

pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas pemerintahan yang baik,

serta mempertimbangkan ekses kebijakan bagi keberadaan hukum pidana

dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Page 10: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

1. Awal Munculnya Krisis Perbankan

Prioritas yang diberikan oleh berbagai negara, khususnya negara-

negara berkembang termasuk Indonesia, bagi pelaksanaan deregulasi

sektor keuangan selama dasawarsa 1970an dan 1980an berkaitan erat

dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang diterapkan di negara-

negara berkembang pada periode 1950an dan 1960an yang cenderung

mengarahkan pembangunan ekonomi ke sektor-sektor strategis. Berkaitan

dengan itu, kebijakan di sektor keuangan yang diambil adalah melakukan

selective credit policy atau semacamnya agar dana lebih banyak mengalir

ke sektor-sektor ekonomi tersebut.

Kebijakan ini didukung oleh kebijakan suku bunga kredit yang

rendah. Berbagai kebijakan itu telah membatasi keleluasaan sektor

keuangan untuk bergerak secara efisien dalam menyalurkan dana dari

pemilik ke pengguna dana. Sebagai dampak dari terbatasnya ruang gerak

sektor keuangan maka terjadilah apa yang disebut sebagai “financial

repression” yang menyebabkan “shallow finance”, yaitu tidak tersalurnya

dana (daya beli) secara efisien ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang

produktif dan efisien pula, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi

terhalang. Untuk mengatasi masalah itu dianjurkan agar diadakan

liberalisasi (deregulasi) sehingga terjadi “financial deepening”.6 Melalui

6 McKinnon dan Shaw dalam Burhanuddin Abdullah, Peran Kebijakan Moneter dan

Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia, Ceramah pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas, Jakarta, tanggal 13 Juni 2003, hlm. 1-6, terdapat dalam http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8DCFCBCE-0709-40B7-843CD1FEC3FE61B/8035/tindak.pdf. , 12 Oktober 2009, 08.05 WIB. Banyak tulisan dan hasil kajian yang mencoba menjelaskan penyebab Indonesia mengalami krisis yang dalam dan menelan biaya besar, khususnya di sektor perbankan. Pandangan analis ekonomi mengemukakan bahwa krisis perbankan di Indonesia, selain merupakan perkembangan dari krisis nilai tukar, juga disebabkan oleh rentannya sistem perbankan Indonesia. Lemahnya sektor

Page 11: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

deregulasi, bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya diberi

keleluasaan yang lebih besar untuk beroperasi secara efisien atas dasar

mekanisme pasar sehingga mereka dapat berfungsi dengan baik dan

seefisien mungkin dalam menyalurkan dana dari pemilik dana kepada

pengguna dana (pengusaha) untuk keperluan produksi. Mereka

berkeyakinan bahwa ketersediaan dana berdasarkan mekanisme pasar

merupakan faktor yang sangat penting untuk dapat menciptakan sistem

perekonomian yang efisien dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang

tinggi. Strategi deregulasi sektor keuangan itu yang diterapkan di

Indonesia, dimulai secara terbatas dengan menetapkan suku bunga bank

lebih realistis pada tahun 1968 – 1970, dan kemudian dilanjutkan dengan

deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai hasilnya, sektor perbankan telah

berhasil meningkatkan perannya sebagai media intermediasi dan penyedia

jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah pula menunjang pertumbuhan

ekonomi yang tinggi di masa lalu. 7

perbankan di Indonesia disebabkan setidaknya 3 hal, yaitu : (1) pertumbuhan jumlah bank yang pesat tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank sentral; (2) lemahnya penerapan good corporate governance di sector perbankan antara lain karena konsentrasi kepemilikan sangat tinggi; (3) terjadinya economic boom dan integrasi keuangan internasional yang mengakumulasi tingkat kerentanan system perbankan Indonesia. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit, hlm. 2-3.

7 The Indonesian banking system has experienced structural developments. Following the implementation of extensive bank reforms in October 1988, the banking industry grew rapidly in terms of the number of banks as well as total assets. However, a lack of effective supervision resulted in imprudent behaviour by the banking industry. In February 1991, prudential banking principles were introduced, and banks were urged to merge or consolidate. Furthermore, in the mid-1990s self-regulatory measures, including the improvement of internal controls as well as information technology and systems were introduced to strengthen the banks’ soundness. Unfortunately, the wide-scale banking consolidation and the improvement of bank control systems never took place prior to the recent crisis. This was due to a lack of commitment by the owners of banks to strengthen their organisations and weak law enforcement from Bank Indonesia (BI) as the supervisory authority. Under the old law of 1968, Bank Indonesia lacked independence and, to a large extent, was unable to apply tough measures on well-politically connected banks. During the pre-crisis period, besides having poor governance and control, the banking industry also suffered from fundamental liquidity management weaknesses as indicated by: (i) large volatile deposits in the composition of banks’ funds (ii) a high loan to deposit ratio and exposure to foreign exchange risk. As the currency crisis spread in mid-1997, this generated other risks. Firstly, there was an increase of liquidity risk due to a huge maturity mismatch of assets and liabilities. Secondly, credit risk increased due to the inability of debtors to repay their foreign currency loans as the rupiah depreciated sharply. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and

Page 12: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Pertumbuhan perbankan yang sangat pesat ini bukannya tidak

menimbulkan permasalahan tersendiri, pada tingkat makro perkembangan

sektor keuangan yang pesat ini telah menimbulkan permasalahan di sektor

moneter. Bagi pengendalian moneter, perkembangan sektor keuangan

yang pesat, yang juga salah satunya didorong oleh arus globalisasi, telah

menyebabkan berbagai hubungan kausalitas antara besaran-besaran

moneter menjadi tidak tetap, yang berimplikasi kepada makin

kompleksnya transmisi kebijakan moneter dan kurang efektifnya

instrumen moneter yang ada. Kompleksitas permasalahan ini

bagaimanapun juga turut mempengaruhi kemampuan dalam merespon

setiap gejolak yang timbul dalam perekonomian.

Dalam perkembangannya, ternyata infrastruktur perekonomian di

Indonesia belum mampu menghadapi semakin cepatnya proses integrasi

perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Perangkat

kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien ternyata belum

tertata dengan baik. Sebagai konsekuensinya, ekonomi Indonesia menjadi

sangat rentan terhadap gejolak eksternal sebagaimana terjadi pada

pertengahan tahun 1997. Sebagaimana terbukti dari pengalaman negara-

negara tetangga di Asia yang sejak pertengahan tahun 1997 mengalami

krisis ekonomi, kestabilan ekonomi makro ternyata tidak dapat menjamin

kinerja perekonomian yang baik secara berkesinambungan selama masih

terdapat kelemahan-kelemahan pada infrastruktur perekonomian.8

Bambang W. Budiawan, Problem Bank Identification, Intervention And Resolution In Indonesia, Ocassional Internal Paper, 2002, p. 69, terdapat dalam http: // www.seacen.org/publications/content/2008/rp74/4-chap3.pdf., 10 Oktober 2009, 22.30 WIB. Some countries chose to have only bank finance of firms for political reasons, and then adjusted their laws accordingly to protect banks and discourage shareholders. Strong system of legal enforcement could substitute for weak rules, since active and well-functioning courts can step in and rescue investors abused by the management. La Porta, http://mba.tuck.dartmouth.edu/pages/faculty/rafael laporta/ publications/laporta PDF papers-ALL/Laws and finance-all/law&finance/PDF., 10 Oktober 2009, 23.00 WIB.

8 Lihat uraian Burhanuddin Abdullah, op. cit., hlm.5-6.

Page 13: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Pengaturan perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian,

termasuk pengaturan yang berkenaan dengan kecukupan modal,

sebenarnya telah diperkenalkan jauh sebelum krisis, yaitu pengaturan

menyeluruh terhadap modal, aset, manajemen, equity, dan likuiditas yang

dikenal sebagai CAMEL,9 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan

bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas

manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang

berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha

sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Kebijakan dan pengaturan

penyelesaian bank bermasalah pada masa sebelum krisis tahun 1997 tidak

secara jelas diatur sehingga penyelesaian bank bermasalah berupa

pencabutan izin usaha sebelum krisis tahun 1997 sangat dihindari.10

2. Kebijakan Penyelesaian Krisis Perbankan

Terpuruknya sistem perbankan nasional akibat krisis pada tahun

1997 membuat negara-negara yang mengalami krisis menempuh upaya

penanggulangan kebijakan dan kegiatan yang dilakukan diprioritaskan

untuk menstabilkan sistem keuangan dan mengembalikan kepercayaan

dalam pengelolaan perekonomian. Langkah-langkah yang sifatnya

memaksa diperlukan untuk menghentikan penarikan simpanan besar-

besaran, mempertahankan sistem pembayaran, membatasi bantuan

likuiditas bank sentral, meminimalkan gangguan pada arus kredit,

9 Kusumaningtuti, op. cit., hlm 4-5. 10 Kerentanan sistem perbankan diakibatkan oleh tidak adanya exit policy serta lemahnya

pengawasan dan pengaturan bank. Sebelum krisis 1997, Bank Indonesia mengadopsi strategi resolusi penyelematan bank (open bank resolution) melalui pinjaman darurat baik untuk kebutuhan likuiditas maupun untuk modal. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa penutupan bank akan mengurangi kepercayaan terhadap sistem perbankan, menyebabkan penarikan dana besar-besaran dan membahayakan stabilitas perbankan sehingga demikian besar dana yang dikucurkan demi mempertahankan bank bermasalah dalam pengawasan intensif. Namun demikian dalam pelaksanaannya kebijakan BI tersebut menimbulkan moral hazard. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, op. cit.

Page 14: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

memelihara pengendalian moneter, dan menahan pelarian arus modal

keluar.

Berdasarkan rekomendasi IMF, pada 1 November 1997, Bank

Indonesia menutup 16 bank kecil yang insolven dan menempatkan lebih

banyak bank bermasalah lain dalam pengawasan intensif dengan

melakukan penggantian simpanan yang ditalangi oleh pemerintah secara

terbatas, maksimal 20 juta rupiah per nasabah per bank, mencakup 90%

jumlah penyimpan namun hanya 20 % dari total nilai simpanan (dana

pihak ketiga). Dampak penutupan yang tidak dapat diantisipasi, dengan

tujuan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, berbalik

terjadi penarikan dana secara besar-besaran. Hal ini terjadi disebabkan

pedoman pengembalian simpanan tidak jelas, kebijakan likuiditas yang

lemah disertai ketidakpastian politik, kepentingan penutupan bank

sehingga menimbulkan kepanikan pasar.11

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka program

penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam

tiga bagian besar, yaitu : 1) kelompok penanggulangan yang terdiri dari: a)

exit policy yang bertujuan memperlancar likuidasi bank; b) diterapkannya

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk mencegah jatuhnya system

perbankan; c) mengembalikan kepercayaan masyarakat melalui blanket

guarantee; 2) kelompok penyehatan yang terdiri dari: a) pendirian BPPN;

b) penyelesaian asset; c) akuisisi, merger, dan konsolidasi; d) rekapitalisasi

bank-bank; 3) kelompok penguatan ketahanan yang terdiri dari: a)

restrukturisasi kredit; b) jaring pengaman keuangan (financial safety net).

11 http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-

Yang Membebani, , 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Indonesia’s crisis resolution suffered from two main problems: (i) a lack of understanding on the part of the International Monetary Fund (IMF) and of the authorities handling the crisis which resulted in inappropriate strategies both at the macro- and microlevel; and (ii) a lack of government commitment to take consistent and objective measures. The intense political intervention also worsened the situation. In addition, the absence of a clear mechanism of the crisis resolution has created costly Bank Indonesia Liquidity Support (BLBI) during the 1997 crisis, which in turn created a painful and very controversial case. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, op. cit.

Page 15: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Bank Indonesia memberikan kredit likuiditas darurat kepada beberapa

bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat adanya penarikan dana

secara besar-besaran oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam

jangka waktu yang bersamaan (rush).12

Pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia lebih dikenal dengan

istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).13 Kredit Likuiditas

12 Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 91-94. Penarikan dana secara besar-besaran dalam waktu

bersamaan mengakibatkan bank kesulitan dalam membayar dana nasabahnya sehingga membutuhkan bantuan dana dari BI berupa kredit likuiditas yang diberikan melalui sistem kliring yaitu proses yang dilakukan tiap hari di lembaga penyelenggara kliring yaitu BI atau bank lain yang ditunjuk BI, menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimiliki setiap bank pada bank lainnya. Lihat juga dalam Marwan Batubara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, ctk. I, Haekal Media Center, Jakarta, 2008, hlm. 4.

13 Istilah BLBI atau liquidity support dikenal sejak 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan

pemerintah dalam Letter of Intent dengan International Moneter Fund (IMF) yang menyatakan pentingnya bantuan likuiditas Bank Indonesia pada perbankan menjadi salah satu prasyarat cairnya bantuan IMF. Dalam arti luas liquidity support meliputi kredit subordinasi, Kredit Likuiditas Darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun BLBI saat itu mencakup bantuan likuiditas pada bank untuk menutup kekurangan likuiditas berupa saldo debet, fasilitas diskonto SBPU khusus serta talangan untuk membayar kewajiban luar negeri. http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, op. cit., 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Kesalahpahaman pengertian terjadi antara Kredit Likuiditas Darurat atau lebih dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. KLD merupakan dana bank sentral yang dipergunakan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam jumlah besar dalam rangka menghindari efek negatif pada sistem perbankan sedangkan KLBI diberikan untuk membiayai berbagai kredit program pemerintah yang disalurkan melalui Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 91-94. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebagai fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun jangka panjang. Lihat dalam Marwan Batubara, op.cit, hlm. 2. Dalam KLD (BLBI) terdapat 5 fasilitas dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda sebagai berikut. 1. Fasilitas yang diberikan untuk mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu bila

terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Fasilitas untuk jangka pendek dikenal dengan Fasilitas Diskonto I, sedangkan fasilitas jangka panjang disebut dengan Fasilitas Diskonto II.

2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU) lelang dan bilateral.

3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi. 4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran

sehubungan dengan rush atau penarikan dana secara besar-besaran (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau saldo debet (overdraft) rekening bank di Bank Indonesia).

5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri dan dalam rangka penjaminan oleh pemerintah).

Lihat dalam Indonesian Corruption Watch, Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, 2006, Jakarta, hlm. 3.

Page 16: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Darurat yang diberikan oleh Bank Indonesia dari segi yuridis dalam

melaksanakan fungsinya sebagai lender of last resort14 merupakan

penyediaan likuiditas oleh bank sentral pada lembaga keuangan atau pasar

karena terjadi shock secara tiba-tiba sehingga menyebabkan peningkatan

permintaan likuiditas secara abnormal yang tidak dapat dipenuhi oleh

sumber-sumber lainnya.15 BLBI dalam perkembangannya bukan saja

menjadi instrumen mencegah terjadinya rush, namun juga untuk mengatasi

berbagai permasalahan lainnya, termasuk dalam rangka pelaksanaan

program penjaminan serta mencegah makin merosotnya kredibilitas

perbankan nasional. Upaya untuk memilah kriteria bank penerima bantuan

likuiditas pada saat krisis sebagai tanggapan terhadap pandangan bahwa

bantuan likuiditas hanya disediakan bagi bank yang tidak likuid dan bukan

pada bank yang menunjukkan gejala insolven karena pada saat krisis

indikasi bank-bank yang mengalami kesulitan akan mengarah pada ke

kondisi insolven. Terlebih setelah likuidasi bank-bank pada November

tahun 1997, terdapat kebijakan untuk tidak melakukan likuidasi lagi dalam

waktu dekat sehingga Bank Indonesia terperangkap dalam posisi terpaksa

menyediakan likuiditas.16 Namun demikian pemberian kredit likuiditas

14 Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank (BI) dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Pasal 37 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

15 Suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun

dana dalam rekening giro bank tidak mencukupi sehingga harus mencari sumber pendanaan lain, baik simpanan bank itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain. Bilamana pandanaan masih tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening giro bank bersangkutan di BI. Pada saat terjadi krisis, bank-bank yang telah bersaldo negatif tetap diperbolehkan melakukan kliring untuk mempertahankan stabilitas perbankan di masyarakat. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 4.

16 Likuidasi adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk: pertama, mengubah harta (aset) ke

dalam bentuk tunai atau persediaan menjadi rekening likuid untuk memnuhi kewajiban segera dan pembayaran utang jangka panjang perusahaan; kedua, pemberhentian kegiatan usaha dengan menjual seluruh harta kekayaan dan membagi hasilnya untuk melunasi kewajiban dan utang;

Page 17: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

darurat mengandung beberapa kelemahan, antara lain ketidakjelasan

kriteria bank yang dapat dipilih sebagai bank penerima kredit, prosedur

pengawasan yang kurang efektif, dan adanya moral hazard

penyalahgunaan bantuan oleh pemilik dan pengurus bank, termasuk

penentuan besaran biaya fiskal berupa dispute mengenai

pertanggungjawaban beban BLBI antara Bank Indonesia dan pemerintah

memberi celah terjadinya penyalahgunaan dana BLBI dari tujuan semula

termasuk pengembalian dana BLBI dari debitur pada pemerintah masih

temui halangan, salah satunya belum tercapai kesepakatan jumlah

pengembalian debitur pada pemerintah. Pengaturan masalah pemberian

kredit likuiditas darurat dilakukan secara tegas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bahwa

kesulitan perbankan yang sifatnya sistemik menjadi tanggung jawab

pemerintah; dengan kata lain beban biayanya menjadi beban fiskal

sehingga dana yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terlebih dahulu

dianggap sebagai dana talangan, yang kemudian akan diperhitungkan oleh

pemerintah.

Penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dilakukan dengan

membentuk suatu lembaga pemerintah dan bertindak atas nama

pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 sebagai

dasar hukum pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional

(BPPN).17 Upaya BPPN untuk mengoptimalkan pengembalian uang

ketiga, menyelesaikan long atau short position termasuk pembekuan operasi dan pembekuan kegiatan usaha bank. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 101.

17 BPPN bertugas : a) melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah

kepada Bank Umum; b) melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang telah dinyatakan tidak sehat oleh BI; c) melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Tugas BPPN sebagaimana tercantum dalam keppres tersebut tidak diikuti dengan kewenangan yang jelas sehingga dikeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1998, dimana kewenangan BPPN antara lain meliputi meminta pernyataan bank dalam penyehatan untuk menaati persyaratan praktik perbankan yang sehat dan peningkatan kinerja bank,; meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk menandatangani segala dokumen yang bersifat mengikat; dan meminta untuk mengajukan rancana perbaikan. Disamping itu BPPN memiliki tugas tambahan untuk mengambil alih pengoperasian bank; menentukan tingkat kompensasi yang dapat diberikan kepada direksi,

Page 18: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Negara baik dari para bankir, pemegang saham terkait maupun dari debitur

masing-masing bank yang mendapat penyaluran dana BLBI, ditempuh

berbagai konsep penyelesaian yang sifatnya menyeluruh.18

Optimalisasi pengembalian dana BLBI ke dalam kas negara, dari

pemerintah melalui BPPN untuk melakukan tiga hal.19

1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali (pemilik bank), diberlakukan bagi bank-bank yang dikategorikan bank beku operasi (BBO), dan bank beku kegiatan usaha (BBKU). Penandatanganan perjanjian antara pemerintah dan pemegang saham tersebut meliputi Master Settlement and Aqcuisition (MSAA), Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA).

2. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS) pada bank-bank kategori Bank Take Over (BTO).

komisaris, dan karyawan bank; dan mengambil alih pengelolaan termasuk penilaian kembali kekayaan yang dimiliki bank. Lihat dalam ibid., hlm. 171.

18 Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm. 9.

19Sejalan dengan optimalisasi tersebut, dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan

perjanjian antara pemerintah dan debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada penerima BLBI yang asetnya

dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional.

2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo.

3. Akta Pengakuan Hutang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho.

Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm. 9.

Page 19: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

3. Pengalihan utang bank ke pemegang saham pengendali melalui penandatanganan Akta Pengakuan Hutang (APU).

Penyelesaian kasus BLBI berlanjut pada keluarnya Inpres Nomor 8

tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur

Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada

Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, dikenal dengan Release and

Discharge menjadi dasar hukum bagi penyelesaian kasus BLBI secara out

of court settlement, menginstruksikan kepada Menko Bidang

Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK),

Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK, Jaksa

Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan

Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi

penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan

seluruh kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA,

MRNIA, dan APU.20 Maksud dan tujuan pemberian release and

discharge adalah penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK (Batas

Minimum Pemberian Kredit) dengan pembebasan dari semua tuntutan

hukum, termasuk aspek pidana. Adapun dalam butir-butir Inpres tersebut

menyebutkan bahwa bagi para debitur yang telah menyelesaikan

kewajiban sebagai pemegang saham dalam bentuk MSAA, MRNIA, dan

20 Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan

acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam loc.cit., hlm. 57. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan rangkaian kebijakan BLBI telah mendapatkan landasan hukum yang sah. Karena itu, kini pemerintah tetap berupaya untuk mengembalikan uang negara sebesar mungkin. Rangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis, termasuk kebijakan BLBI, program penjaminan, penyehatan dan rekapitulasi perbankan, dan program divestasi telah melalui proses politik saat itu dan mendapatkan landasan hukum yang sah. http://www.mediaindonesia.com/. 13Februari 2008.

Page 20: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

APU akan diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan

dalam rangka memberikan kepastian hukum sebagaimana telah diatur

dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Bahkan dalam butir ke 4 disebutkan

pembebasan debitur dari aspek pidana, baik yang masih dalam tahap

penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan sekaligus dilakukannya

proses penghentian penanganan aspek pidana yang dilakukan dalam

koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Konsep Hukum dan Kebijakan Publik

1. Ruang Lingkup Kebijakan Publik

Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki

keterkaitan yang sangat erat, seiring makin luasnya peranan pemerintah

dalam berbagai bidang kehidupan yang kompleks baik ekonomi, sosial,

dan politik. Sehingga peraturan hukum berperan untuk membantu

pemerintah dalam usaha menemukan alternatif kebijakan yang baik dan

bermanfaat bagi masyarakat dimana penilaian bahwa fungsi hukum

menjadi penting ketika semua perencanaan kebijaksanaan dan program-

program pemerintah dilaksanakan melalui hukum.21

Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan

publik, dan sebagai peraturan perundang-undangan hukum telah

menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk melaksanakan

kebijaksanaan. Hukum menjadi indikator adanya kebijaksanaan dimana

menurut Siegler, bahwa constitutions, statutes, administrative orders and

executive orders are indicators of policy dimana hukum merupakan bagian

integral dari kebijaksanaan, yang pembentukannya dilakukan oleh

21 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,

Semarang, 2005, hlm. 130. Lihat juga Esmi Warasih dalam Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 76-77. Pemberlakuan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan karena secara teknis hukum dapat memberikan atau melakukan hal-hal: a. hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat, b. hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi, c. hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik, d. hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya.

Page 21: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

legislatif dalam bentuk peraturan-peraturan untuk kemudian diberikan

pengesahan sehingga berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi.22

Kebijakan publik yang telah memasuki bidang kehidupan hukum harus

memenuhi tehnik perumusan pembuatan perundang-undangan,

menggunakan bahasa resmi yang sederhana sehingga mudah dipahami

sehingga harus berpijak pada tata administrasi dalam hal ini berkaitan

dengan hukum administrasi Negara.

Konsep kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

kenegaraan didefinisikan berbeda oleh para ahli, antara lain oleh David

Easton memberikan arti policies sebagai the autoritative allocation of

values for the whole society,23 dimana hanya pemerintah dalam sistem

politik yang secara sah dapat melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat.24 Lasswel

dan Kaplan mengartikan kebijaksanaan publik sebagai a projected

program of goals, values, and practices.25 Thomas R Dye mendefinisikan

kebijaksanaan Negara sebagai “is whatever government choose to do or

not to do”, bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus

ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijaksanaan negara harus meliputi

semua “tindakan” pemerintah jadi bukan semata-mata pernyataan

pemerintah, disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh

pemerintah juga termasuk kebijaksanaan Negara karena kebijaksanaan

untuk tidak melakukan sesuatu dengan kebijaksanaan melakukan sesuatu

akan memiliki dampak yang sama.26

22 Ibid., hlm. 131-133. 23 Ibid., hlm. 132. 24 M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,

Jakarta, 2007, hlm. 19. 25 Esmi Warassih, op. cit., hlm. 132. 26 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 18. Dalam sumber lain disebutkan Dye menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan tidak dapat

menjadi kebijakan publik kalau ia tidak dirumuskan, disahkan, dan dilaksanakan oleh lembaga-

Page 22: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Carl J. Frederick mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “….a

proposed course of action of a person, group, or government within a

given environment providing obstacles and opportunities which the policy

was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or

realize an objective or a purpose”. Sedangkan menurut James E.

Anderson, bahwa kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang

pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Namun demikian kebijaksanaan Negara menurut James E. Anderson

diartikan sebagai kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh

badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Definisi kebijakan publik

sebagaimana dikemukakan oleh Edward dan Sharkansky bahwa

kebijaksanaan publik dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan

perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat pemerintah

atau juga berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh pemerintah. 27

Pelbagai definisi kebijaksanaan publik yang beragam dan luas, tidak

menjadikan suatu kebijaksanaan publik sempit artinya bilamana

menggunakan suatu definisi secara tepat dan rasional karena kebijaksanaan

publik memiliki fokus yang sama yaitu pada nilai, tujuan, dan sarana.

Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan perundang-

undangan, utamanya undang-undang yang dilegitimasi melalui pengesahan

oleh DPR sehingga mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga

lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lebih lanjut dalam Materi Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik. Jamal Wiwoho. 2008. hlm. 5.

27 Sehingga implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah: (1) bahwa kebijaksanaan

Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2) bahwa kebijaksanaan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) bahwa kebijaksanaan merupakan apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya pernyataan keinginan ; (4) bahwa kebijaksanaan dapat bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negative, berupa keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan (5) bahwa kebijaksanaan pemerintah dalam arti positif, dimana kebijaksanaan selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Lihat dalam ibid., hlm 17-19.

Page 23: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

masyarakat. Oleh karena itu, pada hakikatnya hukum pun mengandung

nilai, konsep-konsep dan tujuan yang mana proses perwujudan ide dan

tujuan merupakan hakikat dari penegakan hukum. Hukum tidak lagi hanya

berfungsi sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana

untuk melakukan perubahan masyarakat hingga digunakan sebagai sarana

untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik.28 Alokasi penetapan tujuan

merupakan output dari sistem politik yang dapat berupa alokasi nilai

otoritatif dinyatakan sebagai kebijakan publik, selanjutnya akan

diimplementasikan pada masyarakat, sehingga nampak bahwa hukum

merupakan indikator adanya kebijakan.

Makna dalam istilah kebijakan (policy) tidak hanya bersifat tekstual

melainkan lebih bersifat kontekstual, beragam mengikuti dinamika aksi

sosio-ekonomi dan politik yang terjadi disekitar kita dan persepsi terhadap

istilah kebijakan.29 Hogwood dan Gunn mengelompokkan beberapa

penggunaan istilah kebijakan dalam sepuluh (10) kelompok, antara lain.30

1. Policy as a label for Feld of Activity (Kebijakan sebagai Sebuah Label atau Merk bagi Suatu Bidang Kegiatan Pemerintah). Istilah kebijakan sebagai suatu label bagi suatu bidang kegiatan pemerintah pada dasarnya berkaitan dengan bidang-bidang kegiatan pemerintah atau bidang-bidang kegiatan tertentu dimana pemerintah terlibat didalamnya. Konsep ruang kebijakan (policy space) digunakan untuk menggambarkan suatu ruang kebijakan tertentu cenderung padat sepanjang waktu ditandai dengan makin gencarnya campur tangan pemerintah dan makin kompleksnya interaksi di antara instansi-instansi pemerintah yang terlibat didalamnya. Sebaliknya konsep ini juga dapat dideskripsikan bahwa ruang kebijakan tertentu relatif kosong dari campur tangan pemerintah.

2. Policy as an Expression of General Purpose or Desired State of Affairs (Kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki).

28 Esmi Warassih, op. cit., hlm. 133. 29 Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM Press, Malang,

2008, hlm. 17. 30 Ibid., hlm. 18. Lihat juga dalam Bambang Sunggono, op. cit., hlm. 15.

Page 24: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Istilah kebijakan digunakan untuk menunjukkan pernyataan-pernyataan kehendak pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum dari kegiatan yang dilakukannya dalam bidang tertentu yang diharapkan dicapai pada kurun waktu tertentu. Namun pernyataan kehendak ini belum bersifat operasional karena masih sebatas wacana sehingga mudah dilupakan baik oleh masyarakat maupun pembuat kebijakan.

3. Policy as Spesific Proposals (Kebijakan sebagai suatu usulan-usulan khusus). Istilah kebijakan digunakan untuk menunjukkan adanya usulan-usulan tertentu (spesifik) yang berasal baik dari luar struktur pemerintahan (kelompok-kelompok kepentingan atau partai politik) maupun dari dalam struktur pemerintahan untuk mempengaruhi proses pengesahan kebijakan terkait dengan usulan-usulan tersebut, dan dimungkinkan juga menunjukkan cara-cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar sebagaimana kebijakan sebagai suatu label bagi suatu bidang kegiatan pemerintah serta pernyataan-pernyataan kehendak pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum dari kegiatan yang dilakukannya dalam bidang tertentu yang diharapkan dicapai pada kurun waktu tertentu.

4. Policy as Decision of Government (Kebijakan sebagai keputusan pemerintah). Istilah kebijakan pada lingkup ini terfokus pada keputusan yang muncul ketika terdapat alternative pilihan dengan mempertanyakan implementasinya dan hasil yang dicapai.

5. Policy as Formal Authorization (kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal). Istilah kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal ditandai dengan diundangkannya seperangkat aturan oleh parlemen diharapkan dapat diimplementasikan. Tahap pengesahan bukan tidak penting, namun pengesahan saja belum memberikan gambaran tentang hal substansial yang menjadi dampak dari pengesahan kebijakan tersebut. Diundangkannya suatu aturan tidak serta merta dapat diimplementasikan, karena dipengaruhi faktor-faktor pelaksanaan yang tidak mendukung.

6. Policy as Programme (kebijakan sebagai program). Istilah kebijakan sebagai program dimaksudkan pada suatu lingkup kegiatan pemerintah yang relative khusus dan jelas batas-batasnya, mencakup serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan legislasi, pengorganisasian, dan penyediaan sumber daya yang diperlukan. Program-program atau sub-sub program dipandang sebagai sarana (instrumen) untuk mewujudkan berbagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah.

7. Policy as Output (kebijakan sebagai keluaran).

Page 25: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Kebijakan sebagai keluaran dipandang sebagai apa yang telah dihasilkan atau diberikan oleh pemerintah, sebagai kebalikan dari apa yang telah dijanjikan, saat kebijakan sebagai bentuk pernyataan tujuan yang dikehendaki atau bahkan saat kebijakan tersebut sebagai pengesahan formal berupa undang-undang. Kebijakan sebagai keluaran bentuknya bermacam-macam, dapat berupa pemberlakuan peraturan-peraturan, program-program berupa pemberian manfaat secara langsung (berupa uang), pemberian pelayanan kepada publik berupa barang (air bersih atau beras untuk orang miskin). Namun adakalanya kebijakan ini sendiri merupakan faktor penunjang bagi tercapainya output bukan output itu sendiri, karena masih memerlukan serangkaian tindakan untuk mewujudkan apa yang menjadi kebijakan sebagai output.

8. Policy as Outcome (kebijakan sebagai hasil akhir). Upaya lain memahami makna kebijakan adalah dengan melihat kebijakan dari sudut hasil akhir yaitu apa yang sesungguhnya telah dicapai dalam artian pencapaian dari program-program tertentu, memungkinkan adanya penilai mengenai tujuan formal (normatif) dari suatu kebijakan (sebagaimana tercantum dalam dokumen) yang telah dibuktikan dalam praktik kebijakan. Sehingga dapat dilakukan penilaian mengenai terwujudnya tujuan formal dari suatu kebijakan. Sedangkan fokus pada dampak kebijakan sendiri juga berguna untuk mengingatkan bahwa implementasi sebuah kebijakan dan dampaknya jarang sebagai akibat hubungan langsung antara instrument kebijakan tertentu atau interaksi organisasi tertentu dengan lingkungannya untuk menghasilkan dampak yang jelas.

9. Policy as Theory or Model (kebijakan sebagai sebuah teori atau model). Kebijakan pada dasarnya mengandung asumsi-asumsi mengenai apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan akibat yang terjadi sebagai dampak dari tindakan-tindakan tersebut. Namun demikian kebijakan public pada umumnya memuat suatu teori atau model tertentu yang menyiratkan hubungan sebab dan akibat, yangmana dalam praktiknya untuk menilai bahwa suatu kebijakan gagal dilaksanakan sehingga berdampak sesuai dengan teori kausalitas cukup rumit.

10. Policy as Procees (kebijakan sebagai proses). Kebijakan dipandang sebagai sebuah proses, terutama proses politik (political process), maka kebijakan dipersepsikan sebagai sebuah ban berjalan (conveyor belt) yang difokuskan pada tahap pelaksanaan kebijakan. Adapun pembuatan kebijakan meliputi. 1) Penyusunan agenda tertentu berupa daftar-daftar persoalan,

dilihat dari tingkat kepentingannya, oleh pejabat pemerintah dianggap perlu mendapat perhatian serius.

Page 26: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

2) Perumusan kebijakan, disebut juga adopsi kebijakan (policy adoption) yaitu proses pengesahan yang dirancang khusus untuk mengatasi atau mengurangi masalah yang terjadi di masa lalu atau untuk mencegah terjadinya kembali masalah kebijakan publik yang sama dimasa mendatang.

3) Implementasi kebijakan, dapat dirumuskan sebagai suatu proses, output (keluaran), atau hasil akhir (outcome). Sebagai suatu proses, implementasi kebijakan mengacu pada serangkaian keputusan dan tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan. Konsep implementasi kebijakan sebagai output (keluaran) mengacu pada cara-cara atau sarana yang telah dipakai untuk mencapai tujuan tertentu yang telah diprogramkan, misalnya sejumlah ongkos untuk mengatasi suatu masalah. Sedangkan implementasi kebijakan yang dipandang sebagai outcome (hasil akhir) adalah terjadinya perubahan-perubahan tertentu pada permasalahan sosial yang ingin diatasi oleh suatu program, misalnya penurunan angka kejahatan atau kriminalitas.

4) Evaluasi kebijakan memfokuskan pada dampak nyata dari sebuah proses legislasi atau seberapa jauh kebijakan tertentu mencapai hasil-hasil yang diinginkan.

5) Perubahan kebijakan (policy change) mencakup berbagai tahapan siklus kebijakan seperti perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan pengakhiran kebijakan.

Konsep perubahan kebijakan merupakan instrumen analitik yang mengacu pada suatu titik dimana kebijakan seharusnya dievaluasi dan didesain kembali, yang dengan perubahan kebijakan tersebut menjadi keseluruhan proses kebijakan yang baru. Pengakhiran kebijakan ini sendiri merupakan cara mengakhiri kebijakan yang telah kadaluwarsa atau kinerjanya dianggap tidak lagi memadai.

2. Proses dan Model-Model Kebijakan Publik

Kebijaksanaan negara dibentuk melalui suatu proses perumusan,

meliputi serangkaian tindakan dalam memilih alternatif-alternatif yang

tersedia sebagai penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi dengan

mengambil satu diantara beberapa alternatif tersebut sebagai sebuah

keputusan. Pengambilan keputusan tersebut kemudian dirumuskan sebagai

sebuah kebijaksanaan. Permasalahan yang timbul dapat diartikan secara

formal, untuk kepentingan kebijaksanaan, menurut David G Smith disebut

sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan yang

Page 27: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

yang harus dicari upaya penanggulangannya namun tidak semua masalah

(problems) akan berakhir dengan kebijaksanaan sebagai pengakhiran

masalah. Bahwa suatu problems baru akan menjadi problema-problema

kebijaksanaan (policy problems) bila masalah-masalah tersebut mendorong

orang banyak, terutama para pembuat kebijaksanaan, melakukan

tindakan.31

Analisis kebijakan publik (public policy analysis) bertujuan untuk

meramu secara sistematik beragam gagasan yang berasal dari berbagai

macam disiplin kemudian digunakan untuk menginterpretasikan sebab dan

akibat dari tindakan pemerintah. Berbagai definisi mengenai kebijakan

mengartikan bahwa sesungguhnya sukar untuk mengidentifikasi waktu

pembuatan sebuah kebijakan yang dimaksud karena seringkali kebijakan

bersifat berkelanjutan bahkan berkembang sedemikian rupa dalam tahap

implementasi sehingga muncul anggapan bahwa suatu kebijakan telah

bersifat final. Hal ini berarti bahwa permasalahan suatu kebijakan bukan

hanya ditahap pembuatan kebijakan dari proses kebijakan, melainkan juga

pada tahap implementasi.32

Analisis kebijakan publik membutuhkan alat-alat konseptual

(conceptual tools), berupa model-model dan tipologi tertentu sehingga

dapat diketahui beberapa aspek penting yang terdapat dalam proses

kebijakan, menurut Thomas R Dye sebagai upaya untuk menyederhanakan

atau mengejewantahkan kenyataan politik. Model-model analisis

kebijakan publik menurut Thomas R Dye meliputi 6 model, yaitu.33

1. Model Kelembagaan; Model kelembagaan merupakan model analisis yang memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah secara otoritatif dirumuskan, ditetapkan, disahkan, dilaksanakan dan dipaksakan

31 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 79. Lihat juga dalam Solichin Abdul Wahab, op. cit, hlm.

33. 32 Solichin Abdul Wahab, ibid., hlm. 38-41. 33 Ibid., hlm. 79-123.

Page 28: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

pemberlakuannya. Sehingga terdapat hubungan yang erat antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah.

2. Model Kelompok; Kebijaksanaan negara merupakan equilibrium

(keseimbangan) yang dicapai sebagai perjuangan kelompok, sehingga untuk menjaga keseimbangan tersebut sistem politik berperan untuk menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.

Individu-individu dengan latar belakang yang sama akan bergabung dalm kelompok baik formal maupun informal yang kemudian mendesakkan kepentingan-kepentingan tersebut pada pemerintah. Perilaku individu baru memiliki makna politik ketika mereka bertindak atas nama atau dengan membawa kepentingan kelompok, sehingga kelompok berfungsi sebagai jembatan politik yang menghubungkan antara individu dengan pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan publik

Kebijakan publik model kelompok, menurut Earl Latham, adalah keadaan seimbang yang tercapai sesudah berlangsung perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu, kebijakan publik ini mencerminkan keseimbangan setelah kelompok-kelompok tertentu berhasil mengarahkan kabijakan publik kearah yang menguntungkan mereka. Pada model ini, legislatif bertindak sebagai penengah dalam membantu tercapainya kompromi-kompromi serta mengesahkannya dalam bentuk undang-undang.

3. Model Elit; Kebijakan publik dari sudut model elit selalu dianggap

sebagai the result of the preferences and values of governing elite, dimana pejabat pemerintah dan administrator hanya dianggap sebagai alat dan pelaksana kebijaksanaan yang substansinya telah dipikirkan, dirumuskan dan ditetapkan sebagaimana oleh Ralp Miliband disebut instrumentalism. Alasan yang dikemukakan bahwa negara hanya sebagai instrumen bagi elit untuk mengokohkan dominasi secara sosial, ekonomi, politik dalam masyarakat adalah sebagai berikut. 1. Kesamaan latar belakang sosial antara golongan borjuis dan

anggota elit negara, yaitu menduduki jabatan-jabatan senior dalam pemerintahan baik dinas sipil, militer, badan peradilan maupun lembaga kenegaraan lain.

2. Adanya kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki oleh golongan borjuis yang memungkinkan untuk bertindak sebagai kelompok penekan melalui kontak dan jaringan hubungan pribadi yang dibangun serta melalui asosiasi bisnis dan industri yang dikuasainya.

3. Kendala yang dihadapi oleh negara berkenaan dengan usaha untuk mempertahankan eksistensi melalui proses penanaman modal.

Page 29: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

4. Model Rasional; Kebijakan dengan model rasional mendifinisikan proses

kebijakan dengan suatu pemilihan keputusan dari alternatif-alternatif dari hasil analisis yang menyeluruh dari seluruh alternatif yang tersedia dengan mempertimbangkan akibat yang akan terjadi dari pemilihan keputusan tersebut. Model rasional menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional seefisien mungkin, dimana rasio nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan lebih tinggi dibanding nilai alternatif lain.

Suatu kebijakan dinilai rasional menurut model ini bila kebijakan yang diambil diarahkan bagi tujuan-tujuan atau kepentingan negara. Oleh karena itu pada kebijakan dengan model rasional harus ditentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara untuk kemudian menggunakan sarana yang tersedia, perlunya pemahaman yang holistik dan mendasarkan diri pada nilai-nilai yang ada didalam masyarakat serta kepentingan yang relevan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan tersebut.

5. Model Inkremental; Kebijakan negara dipandang sebagai suatu kelanjutan

kegiatan-kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya melakukan perubahan.-perubahan seperlunya. Lidblom, sebagaimana dikutip oleh Dye, berpendapat bahwa pembuat kebijakan tidak akan melakukan penilaian tahunan secara teratur terhadap seluruh kebijakan-kebijakan yang ada maupun yang telah diusulkan sebelumnya sehingga enggan untuk mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan berikut semua akibat-akibatnya.

Pembuatan kebijakan publik dengan model inkremental memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Pembuat kebijakan sering kali enggan untuk berpikir dalam

kerangka yang menyeluruh atau setidaknya menjelaskan secara terbuka tujaun-tujuan yangt hendak dicapai. Pilihan untuk tidak menjelaskan disebabkan adanya ketakutan memperoleh rekasi pertentangan atas kebijakan yang dibuat.

b. Pembuat kebijakan melakukan perubahan-perubahan kecil atau penyesuaian-penyesuaian seperlunya yang cenderung inkremental terthadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil bilamana kebijakan sebelumnya ternyata gagal mengatasi masalah.

c. Adanya pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada pemecahan masalah yang menyelesaikan secara singkat karena kebijakan merupakan siklus yang akan kembali dari awal.

d. Kebijakan-kebijakan publik lebih banyak dibuat melalui interaktif dari banyak pihak yang dapat mempengaruhi kebijakan dan yang beroperasi dalam suatu jaringan kekuasaan.

Page 30: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

e. Adanya penyesuaian diri pada masing-masing pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik melalui tawar menawar, negosiasi, dan kompromi.

f. Kebijakan yang muncul merupakan kebijakan yang saling disepakati oleh kelompok-kelompok yang terlibat sebagai bentuk konsensus.

Model inkremental merupakan gaya konservatif dalam pembuatan kebijakan publik, karena dasar pertimbangan yang digunakan selalu mengacu pada program-program yang sudah ada dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan pada masa sebelumnya. Sehingga, pembuat kebijakan cenderung tidak peduli terhadap efektivitas kebijakan yang telah ada sebelumnya dan menerima keabsahan dari program-program yang sudah ada untuk menyelesaikan masalah yang saat ini sedang dihadapi.

6. Model Sistem. Kebijakan, menurut David Easton, dipandang sebagai

respon suatu sistem politik terhadap kekuatan yang meliputi kekuatan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya sehingga kebijaksanaan negara merupakan hasil dari sistem-sistem politik. Sistem politik disini adalah lembaga-lembaga, yang terdiri dari badan legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, kelompok kepentingan, golongan elit, struktur birokrasi, prosedur, mekanisme politik, sikap dan perilaku pembuat keputusan serta aktivitas-aktivitas politik berinteraksi dalam proses untuk mengubah tuntutan, dukungan, dan sumber bagi suatu kebijakan (input) menjadi hasil keluaran (output). Sehingga kebijaksanaan negara merupakan hasil dari kegiatan politik yang otoritatif dengan konsekuensi, baik berupa dampak yang diharapkan maupun timbulnya dampak yang tidak diharapkan.

Salah satu proses utama dari sistem politik adalah masukan-masukan (inputs), yang berbentuk tuntutan-tuntutan (demands) dan dukungan-dukungan (support) serta sumber daya (resources). Tuntutan-tuntutan mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai yang sah dari pihak penguasa (pemerintah). Sedangkan dukungan-dukungan mencakup berbagai tindakan, seperti memilih dalam pemilihan umum, kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan, dan kesediaan membayar pajak. Sementara itu sumber-sumber daya antara lain meliputi kekayaan alam, harta benda, pengetahuan dan teknologi. 34

34 Ibid., hlm. 119. Suatu sistem politik akan menyerap pelbagai macam tuntutan (baik dari

dalam maupun dari luar), dan dapat terjadi bahwa diantara tuntutan-tuntutan tersebut tidak relevan atau bertentangan satu sama lain. Dalam hal seperti itu diperlukan pengaturan terhadap tuntutan-tuntutan tersebut dan memaksakan pengaturan itu kepada pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan agar tuntutan-tuntutannya dapat dikonversikan (diproses) didalam sistem politik

Page 31: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Masukan, dukungan maupun sumber-sumber yang merupakan input kebijakan pada model sistem ini (sistem politik) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa keadaan sosial, ekonomi, politik dan berpengaruh pula pada output yang dihasilkan bahkan terhadap dampak dari implementasi output tersebut. Adapun dampak implementasi yang diakibatkan, baik positif maupun negatif, dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik untuk digunakan atau tidak dipertimbangkan kembali sebagai input (masukan) dalam proses politik berikutnya.

Berdasarkan tipologi Dye tersebut diatas, Nicholas Henry

mengelompokkan tipologi tersebut menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu:

(1) Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut proses, lebih bersifat

deskriptif, mencoba menggambarkan proses pembuatan kebijakan, antara

lain model kelembagaan, model elit massa, model kelompok, dan model

sistem; (2) Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut hasil dan akibatnya,

bersifat preskriptif dengan berupaya menunjukkan cara untuk

meningkatkan kualitas isi, hasil dan akibat kebijaksanaan negara, meliputi

model rational comprehensive dan model inkremental.35

Evaluasi terhadap sebuah kebijakan dapat dilakukan dengan

mengorganisasikan fenomena menjadi kategori-kategori tertentu guna

mensistemasikan program analisis, dengan terlebih dulu memahami

tipologi kebijakan. Tipologi dapat dipakai untuk memahami pembuatan

kebijakan publik dengan menggunakan kerangka analisis bersifat umum

untuk mengonversikan fakta-fakta dari studi-studi kasus pada seperangkat

penelitian yang dapat dievaluasi, ditimbang, dan dihimpun. Adapun

kategori kebijaksanaan negara adalah antara lain sebagai berikut.36

sehingga menghasulkan keputusan atau kebijaksanaan. Lihat dalam M. Irfan Islamy, op.cit., hlm 45

35 M. Irfan Islamy, Ibid., hlm. 36. 36 Ibid., hlm. 103. Bandingkan Menurut Theodore Lowi, kebijakan publik dapat dibagi

dalam tiga tipe, yang mana pada tiap-tiap tipe kebijakan mempunyai tipe hubungan politik tertentu, yaitu. 1. Kebijakan regulatoris (regulatory policies); 2. Kebijakan distributif (distributive policies); 3. Kebijakan redistibutif (distributive policies).

Page 32: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

1. Substantive dan Procedural Policies Substantive policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan

tentang apa yang akan atau ingin dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan procedural policies merupakan kebijaksanaan yang meliputi tentang siapa atau pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijaksanaan negara dan cara perumusannya.

2. Distributive, Re-distributive, Regulatory dan Self Regulatory Policies

Distributive policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungan bagi sejumlah khusus penduduk. Re-distributive policies adalah kebijaksanaan yang sengaja dilakukan pemerintah untuk memindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan, atau hak-hak diantara kelas dan kelompok penduduk. Sedangkan regulatory policies berkenaan dengan pembatasan atau larangan-larangan perbuatan bagi seseorang atau sekelompok orang sehingga bersifat mengurangi kebebasan untuk berbuat sesuatu. Adapun self-regulatory policies merupakan kebijaksanaan mengenai pembatasan-pembatasan atau pengawasan perbuatan pada masalah-masalah tertentu bagi sekelompok orang, yang biasanya sering dibutuhkan dan didukung oleh kelompok orang yang berkepentingan dengan kebijaksanaan tersebut sebagai alat untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan kelompok.

Penilaian kebijaksanaan dapat ditinjau dari :37 (1) sudut spesifikasi

obyektif yang meliputi hasil dari program-program pemerintah yang telah

dilaksanakan, (2) sudut teknik penilaian dengan mengumpulkan data-data

untuk menilai hasil program pemerintah tersebut dengan menggunakan

teknik yang ilmiah, sistematis, dan (3) sudut metode analisa untuk menilai

program pemerintah mampu menunjukkan hasil dan dampak

kebijaksanaan sebagai akibat dan konsekuensi yang timbul dari

pelaksanaan kebijaksanaan secara akurat, baik dampak positif maupun

dampak negatif. Dampak kebijaksanaan dapat difungsikan sebagai umpan

balik dan menjadi masukan baru dalam proses perumusan kebijaksanaan

negara berikutnya, baik sebagai perbaikan kebijaksanaan terdahulu

maupun kebijaksanaan baru.

Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 128.

37 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 112.

Page 33: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

C. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social

defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare) sebagai tujuan

akhir dari politik kriminal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik

kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu

kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Secara skematis dapat

digambarkan sebagai berikut : 38

Istilah “kebijakan” berasal dari istilah “policy” atau “politiek” sehingga

istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik

hukum pidana”, yang dalam kepustakaan asing istilah ini dikenal dengan istilah

“penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”. Kebijakan

38 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm.2-3. Politik

kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel sebagai the rational organization of the control of crime by society. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels, menyatakan, criminal policy is the rational of the social reaction to crime. Lihat dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, ctk. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 13.

Social Welfare Policy

Social Policy

Tujuan

Social Defence Policy

Penal

Criminal Policy

Non-Penal

Page 34: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun dari politik

kriminal. Politik hukum adalah : 39

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Berdasarkan pengertian diatas, melaksanakan “politik hukum pidana”

berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan

pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna

dan merupakan usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana

yang sesuai pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Sebagai

bagian dari politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-

undangan pidana yang baik.40

Kebijakan hukum pidana sebagai usaha yang rasional dari masyarakat

dalam penanggulangan tindak pidana, menurut G. Peter Hoefnagels dapat

ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu.41

1. criminal law application;

2. prevention without punishment;

3. influencing views of society on crime and punishment.

39 Menurut Prof. Sudarto dalam Barda Nawawi Arief, ibid, hlm. 22. 40 Menurut Marc Ancel, “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai

tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Lihat dalam Mokhamad Najih, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Intrans Publishing, Malang, 2008, hlm. 43. Dengan demikian, istilah “penal policy” sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.

41 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 17-18.

Page 35: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi

2 (dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan

menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan

penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum

pidana (non- penal policy).

1. Penanggulangan Tindak Pidana Menggunakan Sarana Hukum Pidana

(Penal Policy)

Menurut Roeslan Saleh ada tiga alasan masih perlunya pidana dan

hukum pidana, yaitu.42

1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang hendak dicapai melainkan pada usaha untuk menggunakan paksaan.

2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan bagi terpidana dan adanya reaksi atas pelanggaran yang telah dilakukan.

3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada pelaku, tetapi juga untuk mempengaruhi masyarakat. Hukum pidana, menurut Utrecht,43 memberi suatu sanksi istimewa,

baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum

publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh

peraturan-peraturan hukum privat maupun hukum publik. Hukum pidana

melindungi kedua macam kepentingan tersebut dengan membuat sanksi

istimewa karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang

lebih keras.

Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan

menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpelihara

ketertiban umum. Secara khusus sebagai hukum publik, hukum pidana

berfungsi, yaitu:44

42 Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Ed. 2, ctk. 2, Alumni,

Bandung, 1998, hlm. 153. 43Teguh Prasetyo, op.cit., hlm. 10. 44 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2002, hlm. 15-16.

Page 36: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang kepentingan hukum;

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan atas pelbagai kepentingan hukum;

3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum. Berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama hukum pidana, maka

hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memuat ketentuan

mengenai.45

1. Aturan umum hukum pidana yang dikaitkan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan baik aktif maupun pasif tertentu yang disertai dengan ancaman berupa pidana bagi pelakunya.

2. Syarat-syarat yang harus ada untuk menjatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggar. Aspek hukum pidana dalam rumusan ini adalah mengenai ada tidaknya kesalahan sehingga dapat diperpertanggungjawabkan secara pidana pada diri si pembuat atau yang lebih dikenal dengan asas geen straf zonder schuld bahwa untuk dapat dipidana pada seseorang yang perbuatannya nyata melanggar hukum pidana, disyaratkan bahwa itu dapat dipersalahkan padanya, ialah si pembuat itu mempunyai kesalahan. Kedua aspek ini merupakan hukum pidana materiil yang mana memuat aturan umum dan larangan disertai ancaman sanksi.

3. Tindakan dan upaya-upaya yang harus dilakukan negara melalui alat perlengkapannya terhadap pelaku tindak pidana, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana, serta upaya yang dapat ditempuh oleh pelaku untuk melindungi dan mempertahankan haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana. Aspek ini berisi tentang hak dan kewenangan negara dalam menegakkan hukum pidana. Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua

merupakan hukum pidana materiil tidak berdampak bilamana tidak

dilaksanakan melalui hukum pidana dalam arti formil berupa tindakan alat

perlengkapan negara pada aspek ketiga.

Negara melalui alat perlengkapannya dalam menjalankan fungsi

melindungi kepentingan hukum, secara represif diberi hak dan kekuasaan

untuk menjatuhkan pidana. Pidana dalam hukum pidana adalah suatu alat

45 Ibid., hlm. 2-5.

Page 37: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

dan bukan tujuan dari hukum pidana. Tujuan utama hukum pidana adalah

ketertiban. Penjatuhan sanksi pidana oleh negara menjadi dasar untuk

mencari alasan dan tujuan negara dalam menjalankan haknya dengan

melanggar hak pribadi orang. Adapun tujuan pemidanaan dapat digolongkan

menjadi 3, yaitu.46

a. Teori absolut atau teori pembalasan,

b. Teori relatif atau teori tujuan,

c. Teori gabungan

Dasar pembenar dari penjatuhan pidana menurut teori absolut adalah

pembalasan sebagai akibat mutlak terhadap orang yang melakukan

kejahatan. Pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan rasa

keadilan. Menurut Nigel Walker teori retributif dibagi dalam beberapa

golongan, yaitu

a. teori retributif murni, bahwa pidana harus sesuai dengan kesalahan

pelaku;

b. teori retributif tidak murni, terbagi dalam :

1) teori retributif terbatas, yaitu pidana tidak harus sesuai dengan

kesalahan namun tidak boleh melebihi batas sesuai kesalahan

terdakwa;

2) teori retributif distributif, yaitu pidana tidak boleh dikenakan pada

orang yang tidak bersalah, tetapi juga pengenaan pidana tidak

harus sesuai dan dibatasi oleh kesalahan.

Pemidanaan menurut teori pembalasan mempunyai maksud memberi

efek jera atas pidana yang dijatuhkan sehingga pelaku merasakan derita

seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukan sehingga diharapkan

mampu menciptakan kembali ketertiban dalam masyarakat.

Teori relatif atau tujuan berpangkal pada pemidanaan sebagai sarana

untuk melindungi kepentingan masyarakat bukan untuk memuaskan

46 Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op. cit., hlm. 18.

Lihat juga dalam Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Ed.2, ctk. I., Jakarta, 2007, hlm. 59-62.

Page 38: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

tuntutan absolut dari keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana

mempunyai sifat pencegahan, yaitu.47

1. Pencegahan umum dimaksudkan pengaruh pidana pada masyarakat

pada umumnya dengan mempengaruhi tingkah laku anggota

masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.

2. Pencegahan khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana

untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pidana disini bertujuan agar

terpidana dapat berubah dan berguna bagi masyarakat, teori ini

dikenal dengan Rehabilitation Theory.

Teori relatif lebih tepat disebut teori reduktif karena dasar pembenaran

pidana terletak pada upaya mengurangi frekuensi kejahatan, bukan hanya

pembalasan melainkan mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh

karena itu pula disebut dengan utilitarian theory.

Sedangkan pada teori gabungan mendasarkan pada asas pembalasan

dan asas pertahanan ketertiban masyarakat. Teori gabungan dapat dibedakan

atas.48

1. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, namun tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan cukup untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Penjatuhan pidana mempunyai makna pembalasan dengan maksud untuk melindungi tata tertib hukum.

2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidana dalam undang-undang, yang apabila tidak cukup kuat dan efektif maka diadakan pencegahan khusus seperti menakuti, memperbaiki, dan membinasakan. Kebijakan hukum pidana atau kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana merupakan suatu proses bagaimana hukum pidana

47 Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 18. Teori relatif bertolak pada tiga tujuan utama

pemidanaan, yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Khusus mengnai tujuan preventif dan detterence, menurut Jeremy Bentham ada empat tujuan utama pidana: (1) mencegah semua pelanggaran, (2) mencegah pelanggaran yang paling jahat, (3) menekan kejahatan, (4) menekan kerugian/ biaya sekecil-kecilnya. Lihat dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 96.

48 Adami Chazawi, op. cit., hlm. 162-163.

Page 39: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat

undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan

yudikatif), dan kebijakan aplikasi (kebijakan eksekutif).49

Kebijakan legislatif dipandang sebagai tahap yang menentukan karena

pada tahap ini proses kriminalisasi sebagai proses penetapan suatu

perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana mulai

terbentuk untuk kemudian diatur dalam peraturan perundang-undangan

dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.

Kebijakan aplikasi merupakan kebijakan hukum pidana yang berkaitan

dengan penerapan perundang-undangan hukum pidana sebagai kebijakan

yudikatif dengan melibatkan polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan petugas

lembaga pemasyarakatan selaku aparat penegak hukum serta masyarakat,

dimana keseluruhan elemen ini merupakan penegakan hukum dalam

kerangka sistem peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan.

Kebijakan hukum pidana pada tahap aplikasi tidak dapat dilepaskan dengan

kebijakan legislatif yang telah memberi legitimasi tahap-tahap selanjutnya,

berupa perumusan tindak pidana, sanksi pidana termasuk mekanisme sistem

peradilan pidana sebagai penegakan hukum pidana yang diharapkan efektif.

Crime policy termasuk sistem peradilan pidana, menurut La Patra,

dikatakan efektif apabila mampu mengurangi kejahatan, baik dalam hal

pencegahan (prevention of crime) maupun dalam hal melakukan perbaikan

terhadap pelaku kejahatan (rehabilitation of criminals). Peradilan pidana

tidak hanya dilihat sebagai sistem penanggulangan kejahatan, melainkan

juga sebagai social problem yang sama dengan kejahatan karena tingginya

tingkat kejahatan menjadi indikator bahwa sistem peradilan pidana yang

tidak efektif menjadi faktor kriminogen dan viktimogen. Kebijakan hukum

pidana pada tahap eksekutif merupakan kebijakan pelaksanaan dari apa

yang telah ditetapkan dalam kebijakan yudikatif, dengan mendasarkan pada

sistem pemidanaan yang telah direncanakan dengan tepat dan efektif apabila

49 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 18.

Page 40: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

dikenakan terhadap terpidana, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan

dalam hukum pidana.50

Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari

kebijakan penegakan hukum, khususnya hukum pidana, melalui pembuatan

peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral dari politik sosial

dalam upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat.

Namun demikian dalam pembuatan peraturan perundang-undangan pidana

yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan dan

hal demikian akan nampak dalam perumusan sanksi pidana yang

diancamkan.51

Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana

menanggulangi kejahatan harus memperhitungkan semua faktor yang dapat

mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya sehingga

kriminalisasi harus terus dilakukan evaluasi karena, menurut Sudarto,52

pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang

mengetahui tentang adanya sanksi pidana namun demikian intensitas

pengaruhnya tidak sama antara tindak pidana satu dengan tindak pidana

lainnya. Dinamika hukum pidana semakin diandalkan dalam mengatur dan

menertibkan masyarakat dapat dilihat dari adanya kebijakan sanksi pidana

melalui pencantuman ketentuan pidana dalam perumusan peraturan

perundang-undangan.

Perumusan dan penyelenggaraan hukum pidana, menurut Mardjono

Reksodiputro, harus memperhatikan sejumlah asas yaitu:53

50 Supanto, Delik Agama, ctk. 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2007, hlm. 50-57. 51 Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 29-30. 52 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 20. Penggunaan hukum

pidana sebagai salah satu sanksi sosial sebagaimana diungkapkan Nigel Walker memiliki keterbatasan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang sampai dimana tapal batas penggunaan hukum pidana. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 131.

53 Mokhammad Najih, op. cit., hlm. 43.

Page 41: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

1. asas masuk akalnya kerugian yang dapat digambarkan oleh perbuatan tersebut (dapat mempunyai aspek moral, tetapi seharusnya merupakan “public issues”);

2. asas toleransi terhadap perbuatan tersebut (penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan erat dengan ada atau tidaknya toleransi: toleransi didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggung jawab individu);

3. asas subsidiaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan apakah kepentingan hukum yang terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi dngan cara lain; hukum pidana hanya ultimum remidium);

4. asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang digambarkan dengan batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dan dengan pidana yang diberikan);

5. asas legalitas telah dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan baik hingga kepentingan hukum yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas kesalahan sebagai sendi utama hukum pidana);

6. asas penggunaannya secara praktis dan efektivitasnya, berkaitan dengan kemungkinan penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum.

Menurut Barda Nawawi Arief, proses kriminalisasi harus

memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut. 54

1. Penggunaan hukum harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benafit principles) juga biaya sosial, dimana usaha untuk mengkriminalisasi harus seimbang dengan hasilnya;

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum agar tidak terdapat kelebihan beban kerja yang mengakibatkan peraturan menjadi tidak efektif (overblasting).

Pertimbangan kriminalisasi tersebut diatas umumnya dilakukan

dilakukan dengan alasan:

54 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 50-51.

Page 42: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

a. adanya korban;

b. kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;

c. harus berdasarkan asas ratio principle; dan

d. adanya kesepakatan sosial.

Alasan yang menyebutkan adanya korban disini adalah perbuatan

tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan

kerugian. Konsep hukum pidana sebagai social defence mempunyai

konsekuensi bahwa pendekatan kebijakan yang rasional namun juga

ekonomis, antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat dengan

digunakannya hukum pidana dengan efektivitas sanksi pidana perlu

dipertimbangkan. Pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang

ekonomis (economical detterence) apabila dipenuhi syarat sebagai berikut:

a. pidana itu sungguh-sungguh mencegah;

b. pidana tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/

merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana tidak

dikenakan;

c. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan

bahaya/ kerugian yang lebih kecil.

Mengenai kriminalisasi dan dekriminalisasi, Muladi memberikan

batasan-batasan atau kriteria ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara

doktrinal harus berpedoman pada:55

a. kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”;

55 Mokhammad Najih, op. cit., hlm. 35. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto, Sosiologi

Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1987, hlm. 156. Suatu proses dekriminalisasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang kebijakan, antara lain : 1. Sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu. 2. Adanya kemungkinan nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku

tertentu mengalami perubahan. 3. Timbul keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-

sanksi negatif tertentu. 4. Adanya keinginan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif

tertentu sangat besar. 5. Terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan

menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum.

Page 43: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

b. kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; c. kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing); d. kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan

prinsip ultimum remidium; e. kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforcable”; f. kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); g. kriminalisasi harus mengandung unsur “subsocialiteit”

(mengakibatkan biaya bagi masyarakat, sekalipun kecil); h. kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap

peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.

Hukum pidana dapat menjadi primum remidium jika:56

a. korban sangat besar;

b. terdakwa residivis;

c. kerugian tidak dapat dipulihkan.

Penggunaan hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan perlu

memperhatikan fungsi hukum pidana yang subsider, digunakan apabila

upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberikan hasil yang memuaskan.

Namun bilamana hukum pidana tetap akan dilibatkan, maka perlu melihat

hubungan keseluruhan politik kriminal sebagai bagian integral dari rencana

pembangunan nasional.57 Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan kriminal, demikian juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dengan upaya perlindungan bagi masyarakat dan upaya untuk mencapai

kesejahteraan dalam bentuk perencanaan program pembangunan secara

keseluruhan tercakup dalam kebijakan pembangunan nasional. Pendekatan

sistematik diperlukan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai

satu-kesatuan dengan kebijakan pembangunan nasional, mulai dari

keseluruhan penentuan hukum pidana substantif dan hukum acara pidana;

meliputi pemasukan proses dekriminalisasi, depenalisasi, dan diversi, baik

mengenai pembaharuan prosedurnya yang menjamin dukungan warga

56 Menurut H.G de Bunt dalam Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media , Jakarta, 2003, hlm. 77.

57 Barda Nawawi dan Muladi, op.cit., hlm. 129.

Page 44: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

masyarakat maupun mengadakan tinjauan terhadap keberadaan semua

kebijakan dengan memperhitungkan segala akibatnya.58

Namun demikian dalam menghadapi perkembangan delik-delik baru,

perlu dipikirkan alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahan.59

Skala prioritas pembangunan dalam sistem ekonomi yang berimbang

dimana faktor ekonomi merupakan primadona karena leverage effect yang

diharapkan terhadap bidang-bidang pembangunan yang lain, seringkali

pendekatan non penal lebih dikedepankan daripada menggunakan sarana

penal. Meskipun secara teoritik tidak menguntungkan, sebab dalam kasus-

kasus yang serius pertimbangan pemidanaan dinilai penting yaitu untuk

tujuan moral dan deterrent effect. Namun demikian alasan untuk

menggunakan hukum pidana lebih beralasan mengingat viktimologis yang

sangat luas.60

Hukum pidana akan selalu dimanfaatkan dalam upaya

penanggulangan kejahatan sehubungan dengan perkembangan masyarakat

dalam pembangunan sebagai keterlibatan hukum pidana, yang dapat bersifat

otonom dalam arti bersifat murni dalam perundang-undangan hukum pidana

baik dalam merumuskan perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum,

dalam penentuan pertanggungjawaban pidananya, maupun dalam

penggunaan sanksi pidana dan tindakan yang diperlukan. Keterlibatan

hukum pidana yang bersifat komplementer terhadap bidang hukum lain,

misalnya hukum administrasi, hukum pidana berkedudukan sebagai

penunjang penegakan hukum lain, misalnya pengaturan masalah perpajakan,

58 Supanto, op.cit., hlm. 40. 59 Permasalahan yang muncul adalah mengenai pemilihan dan penetapan pidana apa yang

paling tepat, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious” Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op.cit., hlm. 132.

60 Penal intervention becomes essential in many and diversified field of business practices

in order to control conducts which pose a threat to the life, health, property, and happiness of the general public. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. I, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 18.

Page 45: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

hak cipta, paten, dan sebagainya, dalam hal-hal tertentu diharapkan bersifat

fungsional mengingat situasi perekonomian yang kurang menguntungkan.61

Kompleksitas karakteristik pasar turut mempengaruhi masalah hukum yang

dihadapi, terutama berkaitan dengan kejahatan bisnis di bidang perbankan

dan keuangan sehingga terdapat beberapa aspek hukum yang melingkupi

yaitu hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Konsekuensi

yang logis dari keadaan dan masalah hukum berkaitan dengan pelanggaran

dalam kejahatan bisnis yang telah mencapai titik mengkhawatirkan,

sementara perangkat hukum untuk menemukan pelaku dan menghukumnya

sudah tidak memadai, maka diperlukan perangkat hukum lain untuk

menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta keadilan bagi para

pelaku dan pihak yang dirugikan. Perangkat hukum ini adalah hukum

pidana.62

2. Penanggulangan Tindak Pidana Menggunakan Sarana Di Luar Hukum

Pidana (Non-Penal Policy)

Politik kriminal dapat dilakukan dengan menggunakan baik sarana

penal maupun sarana non penal (prevention without punishment). Sarana

penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi

sampai dengan pelaksanaan pidana. Sedangkan sarana non penal pada

dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik

sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi.63

Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam kategori

berikut:

61 Supanto, op.cit., hlm. 41-44. 62 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 34-36. 63 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, ctk. I,

The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 156.

Page 46: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan

publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan,

dengan target masyarakat umum.

2. Secondary prevention; targetnya adalah calon-calon pelaku.

3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan

kejahatan.

Oleh karena hukum pidana hanya merupakan salah satu cara saja

maka secara bersamaan juga perlu dilakukan upaya-upaya lain secara

sinergis untuk menanggulangi kejahatan. Walaupun demikian penggunaan

hukum pidana tetap diperlukan sebagai sarana pencelaan masyarakat dan

negara terhadap kejahatan dan pelakunya, dengan memperhatikan 6 prinsip

menurut Nigel Walker, yaitu:64

1. Hukum pidana tidak digunakan dengan tujuan semata-mata untuk pembalasan;

2. Tindak pidana yang dilakukan harus menimbulkan kerugian dan korban yang jelas.

3. Hukum pidana tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai.

4. Kerugian yang ditimbulkan pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat tindak pidana.

5. Mendapat dukungan masyarakat. 6. Dapat diterapkan secara efektif.

Penanggulangan kejahatan dengan jalur “non penal” lebih

menitikberatkan pada sifat-sifat “preventive” (pencegahan) sebelum

kejahatan terjadi namun walaupun demikian sebenarnya penanggulangan

dengan “penal” juga merupakan tindakan represif pada hakikatnya juga

dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Sasaran utama dari

penanggulangan “non penal” adalah menangani faktor-faktor kondusif

penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain

berpusat pada kondisi-kondisi sosial secara langsung maupun tidak

langsung dapat menimbulkan bahkan menumbuhsuburkan kejahatan.

64 Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,

Ed. Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.78.

Page 47: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan

global, maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari

keseluruhan upaya politik kriminal.65

Sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan

pula dalam berbagai kongres PBB mengenai The Prevention Of Crime And

The Treatment Of Offenders, salah satu hasil kongres tersebut

menyebutkan.66

a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang.

b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

c. Penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi ras dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk.

Proyek-proyek dan program-program pembangunan direncanakan dan

dilaksanakan disesuaikan dengan kenyataan lokal, regional, dan nasional

didasarkan pada penilaian dan perkiraan yang nyata mengenai

kecenderungan sosial, ekonomi pada masa sekarang dan masa yang akan

datang, meliputi kejahatan dan kajian terhadap pengaruh sosial dan akibat

keputusan kebijakan serta penanaman modal. Pembangunan bukan sebagai

penyebab timbulnya kejahatan atau sebaliknya, tetapi aspek-aspek dari

pembangunan yang memunculkan faktor kriminogen berkaitan dengan

permasalahan perkembangan masyarakat industri yang sangat kompleks

dengan segala kemajuan teknologi sehingga kemudian muncul kriminalitas

kontemporer, misalnya kejahatan di bidang lingkungan hidup, sumber

energi, dan pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan perbankan,

komputer, penipuan konsumen, dan berbagai pola kejahatan korporasi.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian

integral dari kebijakan hukum pidana, dan menjadi bagian integral dari

65 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 40. 66 Ibid., hlm. 41.

Page 48: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

politik sosial yaitu kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial sekaligus

perlindungan masyarakat sebagaimana tercantum dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945.67

Kejahatan merupakan gejala, dimana sebab-sebab yang menjadi faktor

kondusif timbulnya kejahatan tidak dapat diatasi dengan hanya

menggunakan upaya “penal”, disinilah letak keterbatasan jalur “penal” yang

perlu ditunjang dengan oleh jalur “non penal”. Demikian pula dengan

efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak

diketahui seberapa jauh pengaruhnya.68

Memilih dan menetapkan pidana yang paling tepat terutama dalam

menghadapi perkembangan tindak pidana yang dinilai baru, perlu dipikirkan

alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahannya, dengan

mengamati masalah-masalah yang berhubungan dengan badan hukum dan

perbankan sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Apabila

hakikat permasalahannya lebih bersifat tindakan-tindakan di bidang hukum

perekonomian, maka sanksi yang dinilai sesuai berupa tindakan tata tertib

dan sanksi pidana denda harus lebih diutamakan. Dengan mengingat

prioritas dalam perkembangan masyarakat yang sedang membangun.69

67 Supanto, op. cit., hlm. 41-44. 68 Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu Negara tidaklah

berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam masyarakat. Lebih lanjut dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 44-49.

69 Sebagaimana dinyatakan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is roundless,

needless, unprofitable, or inefficacious”. Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, loc.cit., hlm. 132. Perkembangan hukum ekonomi pada umumnya dan tindak pidana di bidang perekonomian khususnya, selain dipengaruhi kondisi-kondisi ekonomi internasional juga dipengaruhi oleh sistem ekonomi negara dan tidak lepas dari rezim yang berkuasa dan sistem pemerintahan yang digunakan. Sehingga terjadi pergeseran dalam fungsi pemidanaan dalam tindak pidana bidang perekonomian, dari pendekatan tradisional ke arah pendekatan kemanfaatan dimana fungsi hukum pidana tidak hanya diarahkan pada kesalahan individual tetapi juga diarahkan pada perlindungan public order yang direkayasa sesuai dengan kebutuhan pembangunan saat tertentu. Lihat dalam Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, op. cit., hlm. 13-14.

Page 49: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Romli Atmasasmita mencermati perbedaan hukum memang diakui

dalam ilmu pengetahuan hukum namun bukan berupa pemisahan atau

pembagian hukum berdasar obyek pembahasannya, misal : perdata, pidana

dan tata negara. Presumsi pembagian atau pemisahan yang demikian kurang

tepat untuk perkembangan masyarakat yang kompleks. Implikasi hukum

dalam perkembangan bidang kehidupan masyarakat salah satunya adalah

peranan hukum mana yang seharusnya dikedepankan untuk mendukung

perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.70

D. Hukum Ditinjau dari Teori Hukum

1. Pengertian Hukum dalam Kajian Positivisme

Hukum dalam pandangan positivisme, menurut H.L.A. Hart dianggap

sebagai: (a) undang-undang adalah perintah-perintah manusia, (b) anggapan

bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum

yang ada dan yang seharusnya ada, (c) anggapan bahwa analisis konsepsi

hukum layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian historis

mengenai sebab-sebab atau asal dari undang-undang, dihindarkan dari

penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial

lainnya, (d) anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem hukum yang

logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu

tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma

moral, dan (e) anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat

70 Hukum pidana hanya merupakan salah satu sarana disamping sarana lain untuk

pemulihan di bidang ekonomi. Kondisi stabilitas politik ikut menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi, hal ini membuktikan bahwa kebijakan hukum pidana dan kebijakan ekonomi harus saling berkaitan. Kebijakan pemerintah dalam memberlakukan ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana di bidang perbankan seperti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan bentuk kontrol yang ketat terutama terhadap bank-bank swasta nasional, sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, merupakan faktor penunjang dalam rangka mencegah bank melakukan kejahatan sehingga sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium dapat berfungsi. Lihat dalam Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 25.

Page 50: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

dipertahankan, antara pernyataan tentang fakta dan alasan-alasan yang

rasional, petunjuk, atau bukti.71

Esensi hukum menurut Hart terletak pada penggunaan unsur paksaan

oleh karena itu hukum cenderung bersifat formal, jelas dan diinstitusikan

secara sengaja. Kelsen tegas menyatakan bahwa hukum adalah suatu tata

perbuatan manusia dalam suatu sistem aturan-aturan dan hukum dipahami

sebagai seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan melalui

sistem hukum.72

2. Teori Stuffenbau

Hukum adalah legal, bilamana undang-undang dan peraturan yang

ditentukan menurut kriteria yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan

yuridis.73 Karakter dinamis dari sistem norma dan fungsi norma dasar

mengungkapkan kekhasan hukum, dimana hukum mengatur

pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk

membuat norma hukum yang lain hingga derajat tertentu, menentukan isi

dari norma hukum yang lain. Sehingga antara norma satu dengan lainnya

membentuk hubungan ”superordinasi” dan ”subordinasi”, dimana norma

yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi,

sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang

lebih rendah. Suatu peraturan baru dapat diakui legal, bila tidak

bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang

yang lebih tinggi, yang dikenal dengan teori Stufenbau. Teori stuffenbau

71 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005, hlm. 61.

72 Ibid., hlm. 62. 73 Hukum yang diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan suatu tatanan hukum

tertentu, maka hukum adalah sesuatu yang teleh dibuat menurut prosedur yang ditetapkan konstitusi yang menjadi dasar bagi tatanan hukum tersebut. Disebut sebagai norma hukum bilamana segala sesuatu yang telah dibuat sesuai prosedur tersebut berisikan norma untuk mengatur perbuatan manusia, dengan menetapkan suatu tindakan paksaan sebagai sanksi. Lihat dalam Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, ctk. I. Nusamedia, Bandung, 2006, hlm. 178.

Page 51: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

memperlihatkan bahwa seluruh sistem hukum mempunyai suatu struktur

piramida, mulai dari yang abstrak sampai yang konkret.74

Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum

(Stufentheorie) dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, dalam arti, suatu

norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar

(Grundnorm).75 Norma, menurut Hans Kelsen, merupakan suatu kesatuan

dengan struktur piramida. Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus

menerus, mulai dari abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya sampai

menjadi yang konkrit, dimulai dari yang bersifat relatif. Hal ini berkaitan

dengan fungsi sistem hukum yaitu mengusahakan keseimbangan tatanan

dalam masyarakat (restitutio in integrum), dimana sistem hukum bersifat

kontinu, berkesinambungan dan otonom.76

Susunan hirarkis tatanan hukum suatu negara secara umum, dengan

mempostulasikan norma dasar, dalam hal ini identik dengan konstitusi,

menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi dalam arti

materiil tidak hanya menentukan organ-organ dan prosedur pembentukan

undang-undang, namun pada derajat tertentu menentukan isi dari hukum

yang akan datang, baik secara negatif maupun positif, dengan melarang

hukum dan mengamanatkan isi hukum.77

74 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 44. Suatu tatanan

urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda, kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Rangkaian proses pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi membentuk suatu kesatuan tatanan hukum. Hans Kelsen, op. cit., hlm.179.

75 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (1), Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 41-44. 76 Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ed. Revisi, Universitas

Atma Jaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 7. 77 Konstitusi dalam hal ini dipahami bukan dalam arti formal berkaitan dengan suatu

dokumen resmi, yang pembentukannya membutuhkan ketentuan khusus, melainkan dipahami dalam arti materiil terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma

Page 52: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Teori Fuller menekankan pada isi hukum positif oleh karena itu harus

dipenuhi delapan (8) asas yang disebut principles of legality, yaitu.78

1. Suatu sistem hukum yang harus mengandung suatu peraturan-peraturan, tidak boleh, mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad-hoc.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3. Tidak boleh peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila

ada yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu bilamana menjadi pedoman tingkah laku, membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Lebih lanjut, Fuller juga mengemukakan tentang adanya cita-cita

kekuasaan hukum yang menuntut agar aturan-aturan bersifat adil, karena

telah dikembangkan berbagai prinsip yang dipedomani dalam pembuatan

hukum.79 Hal tersebut diperkuat oleh Gustav Radbruch yang

mengemukakan bahwa cita hukum tersebut ditopang oleh kehadiran tiga

nilai dasar (Grundwerten), yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan

(Zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (Rechtssicherkeit).80 Nilai-nilai

dasar tersebut tidak selalu dalam hubungan serasi satu sama lain,

melainkan saling berhadapan, bertentangan, muncul ketegangan

hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan undang-undang. Hans Kelsen, op.cit., hlm. 180.

78 Khudzaifah Dimyati, op. cit., hlm. 64. 79 Ibid., hlm. 61.

80 Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, ctk. I, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm.

135. Namun pada perkembangannya terdapat kritik yang mengemukakan bahwa tujuan hukum, sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch sebelumnya, harus dilihat kasus per kasus.

Page 53: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

(Spannungsverhaeltnis) satu sama lain. Keadilan bisa bertabrakan dengan

kemanfaatan dan kepastian hukum, tuntutan kemanfaatan bisa

bertabrakan dengan keadilan dan kepastian hukum, dan seterusnya.

Cita hukum makin menonjol ketika terjadi perkembangan menuju

hukum modern yang ditandai dengan dituliskan atau dipositifkan hukum,

sehingga turut memunculkan permasalahan yang tidak ada sebelumnya,

yaitu kepastian sebagai wacana yang baru dalam perkembangan hukum

dibanding nilai-nilai dasar lainnya yaitu keadilan dan kemanfaatan.

Positivisme hukum memang harus dilepaskan dari moral dan keadilan,

namun demikian dalam proses pembentukan hukum positif, secara

substantif ditujukan untuk mencapai nilai-nilai dasar yang utama yaitu

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah buku dengan judul

“Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di

Bidang Perbankan”, M. Arief Amrullah, Bayu Media Publishing, Malang,

2007. Pembahasan berupa politik hukum pidana dalam rangka perlindungan

korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, dengan salah satu sampel

berupa kasus penyalahgunaan dana BLBI.

F. Kerangka Berpikir

Bank Indonesia sebagai lender of the last resort, sebagaimana

tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 1968 menyebutkan

bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank

untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Adapun kebijakan

yang diambil oleh pemerintah bersama Bank Indonesia berupa bantuan dan

jaminan pemerintah dalam bentuk BLBI bertujuan untuk menyehatkan

manajemen dan kinerja di sector perbankan nasional. Kesalahan pengelolaan

keuangan Negara, terkait dengan penyaluran dan penyalahgunaan dana BLBI

Page 54: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

mengakibatkan timbulnya kerugian Negara. Tindak pidana di bidang

perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan bukan untuk menyehatkan

manajeman dan kinerja perbankan nasional, melainkan disalahgunakan untuk

keperluan pribadi pemilik bank, sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi

perbuatan yang melanggar hukum. Tindak pidana di bidang perbankan berupa

penyalahgunaan dana BLBI mengarah dapat mengarah pada tindak pidana

korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Sedangkan pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit

(BMPK) terjadi karena pemberian kredit bank yang seharusnya dibatasi pada

unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan tidak dipatuhi

sehingga dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-

Undang Perbankan.

Menurut stuffenbau theorie, Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002

tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah

Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang

Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham dinilai tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Tap MPR/Nomor III/Tahun 2000

tentang Tata Urutan Perundang-undangan. Pola kebijakan yang ditempuh

dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan BLBI dapat dikategorikan sebagai

kebijakan inkremental, dimana penyelesaian yang ditempuh tidak mengalami

perubahan mendasar melainkan hanya melanjutkan kebijakan sebelumnya.

Penyalahgunaan dana BLBI yang telah mengakibatkan timbulnya

kerugian Negara sebenarnya telah tegas melanggar Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana mekanisme pengembalian kerugian

Negara telah jelas pula harus melalui court settlement meskipun terdapat

pengembalian uang Negara tetap tidak menghapuskan sifat dapat dipidana.

Page 55: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Namun demikian guna mendorong pengembalian dana BLBI tersebut,

pemerintah mengupayakan penyelesaian secara out of court settlement berupa

Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing

and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan Utang hingga

dikeluarkannya kebijakan yang kemudian menjadi dasar hukum penyelesaian

out of court settlement serta pembebasan debitur dari aspek pidana melalui

Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian

Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau

Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya

Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham maka upaya penal

dikesampingkan. Upaya non penal digunakan dengan pertimbangan efisiensi

antara biaya dan hasil dalam upaya pengembalian uang Negara dan adanya

kelemahan pada sarana penal.

Adapun kerangka pemikiran dapat terlihat pada bagan di bawah ini.

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge

Teori Stuffenbau

Kebijakan Hukum Pidana

Sarana penal Sarana non penal

Alasan Memilih Sarana Non Penal dalam

Penyelesaian Kasus BLBI

1. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

1. Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA),

2. Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan

3. Akte Pengakuan Utang.

Kebijakan Publik

Teori penal policy menurut Soedarto dan Mardjono Reksodipuro

Teori non penal policy menurut Nigel Walker dan Bentham

Page 56: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pandangan terhadap pengertian hukum dan sejauh mana batasan hukum

serta bagaimana merumuskan hukum yang baik terus berkembang sehingga

memunculkan aliran-aliran dalam filsafat hukum untuk mencari pengertian

dan batasan-batasan hukum. Mengikuti pendapat Soetandyo Wignjosoebroto,

terdapat lima konsep hukum, yaitu.81

a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal;

b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional;

c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law;

d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik;

e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.

Penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif dan

termasuk dalam konsep hukum yang kedua, yaitu hukum adalah norma-norma

positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Penelitian

hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilaksanakan dengan cara

meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif

bertujuan untuk memahami adanya hubungan antara ilmu hukum dan asas

hukum positif adalah dengan melakukan telaah terhadap unsur-unsur hukum,

mencakup.82

a. Penelitian terhadap asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematik;

81 Setiono, Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana UNS, Surakarta, 2005, hlm. 20. 82 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ed. 1 ctk. 10, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 14.

Page 57: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal;

d. Penelitian perbandingan hukum;

e. Penelitian sejarah hukum.

Adapun penelitian hukum normatif yang hendak dilakukan adalah

melakukan penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara vertikal suatu Instruksi

Presiden Nomor 8 Tahun 2002 terhadap peraturan perundang-undangan yang

ada diatasnya, berdasarkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber

Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundangan yang menjadi dasar bagi

penyusunan suatu produk hukum, yang kemudian difokuskan pada Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan.

Berdasarkan bentuknya penelitian ini, terutama permasalahan kedua,

dapat dikategorikan sebagai penelitian diagnostik yang dilakukan untuk

mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau

beberapa gejala.83

Penelitian dengan judul Studi Analisis Instruksi Presiden Nomor 8

Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur

Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada

Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas

Bank Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana untuk

membahas permasalahan pertama menggunakan pendekatan peraturan

perundang-undangan, dengan melihat hukum sebagai bahan hukum utama,

dengan fokus pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian

Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan

Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak

Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang

83 Setiono, op. cit., hlm. 5.

Page 58: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Saham sebagai suatu bentuk kebijakan yang menjadi dasar hukum, dalam

perumusannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi yaitu Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urut Peraturan Perundangan sebagai dasar pembentukan produk hukum pada

masa pembentukkannya, dengan mensinkronkan substansi kebijakan

penyelesaian kasus BLBI yang terdapat dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002

dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; sedangkan pada

permasalahan kedua menggunakan pendekatan konsep mengenai kebijakan

hukum pidana.84

B. Jenis Data

Adapun data yang digunakan dalam penelitian normatif merupakan

jenis data sekunder, mencakup :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain

peraturan perundangan yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian

ini, terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,

Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut

Peraturan Perundangan sebagai dasar pedoman pembentukan Instruksi

Presiden Nomor 8 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan.

b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer diperoleh dari literatur, catatan, karya ilmiah, buku-buku,

dokumen.

84 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,

Malang, 2007, hlm. 231.

Page 59: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan yang

dapat memberi informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Bahan

hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup.85

1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Misalnya, abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, internet.

2. Bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum. Misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat daan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan

hukum sekunder dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan yaitu suatu

pengumpulan dokumen-dokumen, buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang

mendukung berkaitan dengan pembahasan penelitian dalam hal ini peneliti

mengumpulkan data-data dengan cara mempelajari buku-buku dan bahan

pustaka lainnya yang berkaitan dengan pokok-pokok bahasan penelitian serta

dokumen-dokumen atau berkas-berkas lain yang diperoleh kemudian dikaji

secara komprehensif.

D. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan menginventarisasi peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan penelitian dengan menggunakan ilmu

interdisipliner untuk mendukung penelitian yang hendak dilakukan. Analisis

data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah

yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah pokok

85 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hlm. 33.

Page 60: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat deskriptif.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik logika deduktif.86

Logika deduktif yaitu penarikan kesimpulan secara deduktif dari premis

yang umum (premis mayor) kepada premis khusus (premis minor), melalui

suatu konstruksi silogisme. Silogisme dalam bidang hukum dimulai dari suatu

premis mayor yang merupakan statement normatif, sehingga silogisme seperti

itu disebut dengan silogisme logika normatif (norm-logic syllogism).87 Premis

mayor dalam penelitian ini adalah kebijakan hukum pidana, sedangkan premis

minornya adalah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian

Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan

Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak

Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang

Saham.

86 Ibid., hlm. 249. Logika deduktif dimaksudkan untuk membangun sistem hukum positif. Lihat dalam Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ctk.4, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 10.

87 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007,

hlm. 26.

Page 61: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Terhadap Peraturan

Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia

1. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Terhadap Peraturan

Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia Menurut Teori

Stuffenbau

Teori jenjang norma Hans Kelsen mengenai struktur piramida norma

hukum memiliki pengaruh yang memberi dasar pengaturan sistem norma di

Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/

Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan ditegaskan bahwa

tata urutan perundang-undangan sebagai pedoman dalam pembuatan aturan

hukum dibawahnya meliputi.88

(1) Undang Undang Dasar 1945

(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

(3) Undang-Undang

(4) Perpu

(5) Peraturan Pemerintah

(6) Keputusan Presiden

88 Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Tap MPR No. III/MPR/2000

mengandung arti bahwa : a. Aturan yang lebih rendah merupakan aturan pelaksana dari aturan yang lebih tinggi; b. Aturan yang lebih rendah tidak boleh mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih

tinggi; tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipkan suatu ketentuan baru, tidak memodifikasi substansi dan pengertian yang telah ada dalam peraturan induknya.

Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 104. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan fokus pada Tap MPR Nomor III Tahun 2000 yang menjadi dasar pedoman pembuatan peraturan perundang-undangan berdasarkan waktu pembuatan kebijakan sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Page 62: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

(7) Peraturan Daerah

Hirarki merupakan penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-

undangan yang didasarkan pada asas lex specialis derogate lex generalis,

dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.89

Kendati bersifat hirarkis bukan berarti dalam hal perumusan dan penetapan

suatu peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau merupakan

perincian teknis dari peraturan perundang-undangan yang berada persis

diatasnya. Penyusunan hirarki dilakukan dalam upaya menyinkronkan atau

menghindari konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundang-

undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Sehingga suatu

peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara efektif.90

Meskipun tidak dikenal dalam sistem ketatanegaran Indonesia,

sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000

tentang Tata Urutan Perundang-undangan, kebijakan pemerintah berupa

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan

Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan

Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak

Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham (dikenal dengan Release and Discharge), 91 baik dari segi

keabsahan, meskipun telah diajukan judicial review atas Inpres Nomor 8

89 Muin Fahmal, op. cit., hlm. 2. 90 Imam Syaukani dan A. Ahsani Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Ed.1, ctk. 2, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 85-86. Efektivitas hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) tkomponen menurut Lawrence M. Friedmann, meliputi (1) Struktur, (2) Substantif, dan (3) Kultur. Komponen substansi berupa norma-norma hukum baik peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan, ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan ketidakefisienan hukum. Lihat dalam Esmi Warassih, op. cit., hlm.138.

91 Instruksi dinilai tidak tepat disebut sebagai peraturan perundang-undangan karena

instruksi bersifat individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak dan berlaku terus-menerus. Lihat dalam Maria Farida, op.cit, hlm. 79-80.

Page 63: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Tahun 2002 dan ditolak oleh Mahkamah Agung,92 maupun efektivitas

pelaksanaannya yang selalu diperdebatkan tetap dikeluarkan dan berlaku

sebagai dasar hukum bagi upaya penyelesaian kasus tindak pidana korupsi

BLBI. Namun dalam pembahasan ini akan dibatasi pada sinkronisasi Inpres

Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum

Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan

Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya

Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga sebagai bentuk

kebijakan yang kemudian menjadi suatu produk hukum, Inpres Nomor 8

Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur

Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada

Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham harus berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu Tap MPR Nomor III Tahun 2000.

Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 ini berlaku intern bagi (1)

Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite

Kebijakan Sektor Keuangan; (2) Menteri Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia; (3) Para Menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan; (4)

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;(5) Jaksa Agung Republik

Indonesia; (6) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan (6) Ketua

Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Adapun instruksi tersebut memuat

tindakan-tindakan guna mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka penyelesaian

seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional

berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik

yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU,

dengan berpedoman pada kebijakan sebagai berikut :

92 Keputusan penolakan gugatan judicial review ditetapkan dalam Surat Putusan MA No.

06G/HUM/2003 tanggal 30 Desember 2003.

Page 64: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

1. Kepada para Debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang

Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan

Utang/APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan

pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur

dalam perjanjian-perjanjian tersebut ;

2. Kepada para Debitur yang sedang melakukan penyelesaian sesuai dengan

perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang

berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberi

kesempatan untuk terus dan secepatnya menyelesaikan kewajiban-

kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh Komite

Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ;

3. Kepada para Debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia

menyelesaikan kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan

Nasional baik dalam rangka MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan

Utang/APU sampai dengan berakhirnya batas waktu yang telah

ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), diambil

tindakan hukum yang tegas dan konkret, yang dilaksanakan secara

terkoordinasi antara Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional,

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung

Republik Indonesia;

4. Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam

angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang

terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang

Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau

penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan

dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang

pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pembuatan kebijakan, dalam hal ini Inpres No. 8 Tahun 2002 harus

memperhatikan asas-asas legalitas yang berlaku dan asas-asas umum

pemerintahan yang baik sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara

Page 65: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

hukum dan moral. Asas hukum merupakan sumber pokok dan jiwa dari

norma-norma yang berlaku serta merupakan landasan penerapan norma dan

leading motive dari norma-norma hukum tersebut. Penerapan norma hukum

yang mengabaikan atau melupakan asas-asas hukum merupakan penerapan

yang tanpa arah dan kehilangan landasan untuk berpijak dalam

menyelesaikan kasus-kasus hukum yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat. Perangkat kaidah atau dikenal dengan norma-norma harus

memenuhi asas lex certa yaitu rumusan harus pasti (certainty), jelas

(concise), dan tidak membingungkan (unambiguous). Penerapan norma-

norma tersebut harus dilandasi asas hukum yang telah diakui, misalnya asas

nebis in idem dalam hukum pidana, asas konsesuil dalam hukum perdata,

dan asas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dalam hukum

tata Negara.93

Pedoman dalam pembuatan aturan hukum ditegaskan dalam

Ketetapan MPR Nomor III/ 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan,

meliputi : (1) Undang Undang Dasar 1945; (2) Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang; (4) Perpu; (5) Peraturan

Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (6) Peraturan Daerah. Terkait dengan

Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian

Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau

Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan

Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham

(dikenal dengan Release and Discharge) sebagai dasar hukum bagi

penyelesaian kasus penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK,

dalam pembentukannya dinilai tidak sesuai dengan beberapa peraturan

perundang-undangan yang ada diatasnya, meliputi :

1) Undang Undang Dasar 1945

a. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen

Pasal UUD 1945 amandemen Pasal 1 ayat (3) menyebutkan

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Ketentuan tersebut

93 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 25.

Page 66: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

memberikan makna segala permasalahan negara harus diselesaikan

bukan dengan kekuasaan semata, tetapi harus sesuai dengan prosedur

hukum. Ketentuan ini berfungsi mencegah terjadinya kesewenang-

wenangan kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun

masyarakat. Implikasi pernyataan Negara hukum adalah setiap

permasalahan akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku.

Demikian pula dalam kaitannya dengan kasus penyalahgunaan dana

BLBI yang dilakukan oleh debitur, yangmana dalam

perkembangannya setelah diadakan berbagai perjanjian mengenai

skema penyelesaian pengembalian uang Negara berupa dana

talangan yang diberikan pada sejumlah bank, Inpres No.8 Tahun

2002 menunjukkan bahwa Presiden telah mengintervensi kekuasaan

yudikatif dengan menginstruksikan membebaskan seseorang yang

tersangkut kasus pidana tanpa proses hukum melalui peradilan, atau

dengan kata lain Presiden menyelesaikan permasalahan hukum

dengan kekuasaan semata.

Penyelesaian terkait dengan penyalahgunaan dana BLBI dan

pelanggaran BMPK yang dilakukan oleh debitur penerima dana

BLBI telah terakomodir dalam perundang-undangan yang berlaku,

secara jelas dan tegas menentukan proses hukum yang ditempuh

sebagai upaya menjaga dan melaksanakan asas Negara hukum.

Namun demikian keberadaan perundang-undangan yang berlaku

untuk mengakomodir permasalahan hukum terutama berkaitan

dengan penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK tidak

menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan Inpres Nomor 8

Tahun 2002 tentang Release and Discharge, melainkan adanya

proses politik yang mendasari keluarnya inpres tersebut.94 Ketika

hukum berhadapan dengan politik maka hubungan antara keduanya

94 Menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan kebijakan guna

mengatasi krisis telah melalui proses politik sebagai upaya pengembalian uang negara. Lihat dalam www.indonesia.go.id.

Page 67: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

berada pada subordinat karena hukum dibentuk dalam suatu proses

politik, dengan mudahnya disesuaikan dengan kebijakan, sehingga

hukum hanya berperan sebagai alat legalisasi keinginan-keinginan

politik yang saling bersaing.95

b. Pasal 14 UUD RI 1945 menyebutkan bahwa :

1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung.

2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketentuan dalam butir 4 menyebutkan bahwa dalam hal

pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1

menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait

langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang

Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau

penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga

dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya,

yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden selaku kepala

Negara hanya mempunyai kewenangan memberikan grasi, amnesti,

abolisi, dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan masukan

Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat, diluar daripada

keempat hal tersebut diatas, Presiden dinilai telah melakukan

tindakan inkonstitusional serta dapat dikategorikan sebagai

penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14

95 Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hubungan antara subsistem politik dan

subsistem hukum nampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Praktik politik, menurut Sri Sumantri, secara substantif sebagian besar bertentangan dengan aturan-aturan hukum sehingga senyatanya pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukum dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 71-72.

Page 68: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

UUD RI 1945. Menurut Purnadi Purbacaraka perilaku atau sikap

tindak melanggar hukum, yaitu.96

1) Perilaku atau sikap tindak melampaui batas kekuasaan dalam bidang hukum tata negara (excess de pouvoir);

2) Perilaku atau sikap tindak menyalahgunakan kekuasaan di bidang hukum administrasi negara (detournement de pouvoir);

3) Perilaku atau sikap tindak yang merupakan penyelewengan perdata (onrechtmatige daad);

4) Peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang tata negara, administrasi negara maupun perdata, namun yang ada ancaman pidananya (strafbaarfeit).

Adapun parameter untuk mengukur penyalahgunaan

wewenang adalah sebagai berikut.97

1) Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya

pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas

kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan Negara.

2) Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan

diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun apabila

terdapat peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar tertulis

nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan

tertentu yang mendesak sifatnya.

Namun demikian keadaan mendesak tidak dapat diterapkan

terkait dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang

Release and Discharge, karena rentang waktu yang cukup lama

antara hasil audit BPK yang menyimpulkan adanya penyalahgunaan

dana BLBI dan pelanggaran BMPK dengan berbagai skema

penyelesaian yang diadakan antara pemerintah, dalam hal ini

diwakili oleh BPPN, dan debitur penerima dana BLBI. Demikian

pula proses hukum untuk sebagian pihak terkait dengan kasus BLBI

tetap berjalan, sehingga implikasi adanya Inpres Nomor 8 Tahun

96 Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hlm. 72. 97 Pendapat Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang

dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, Laksbang Mediatama, Ed. I, ctk. ke-2, 2009. hlm. 96.

Page 69: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

2002 adalah dihentikannya proses hukum yang sedang dilaksanakan

dimana pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) dapat digunakan

sebagai surat yang membebaskan debitur dari proses hukum dengan

adanya pengembalian uang. Adapun dalam skema penyelesaian out

of court settlement yang dilakukan oleh kedua belah pihak tidak

satupun yang menyebutkan masalah pembebasan

pertanggungjawaban pidana bagi debitur, melainkan dilakukannya

tindakan hukum bagi debitur yang tidak melaksanakan perjanjian

yang telah disepakati dalam upaya penyelesaian kasus BLBI sebatas

pengembalian pinjaman.

Kriteria penilaian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang

(detournement de pouvoir) adalah dengan melakukan pengujian

bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan dicapai.

Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat

(wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan)

adalah dengan menggunakan peraturan perundang-undangan atau

menggunakan asas legalitas,98 sedangkan pada kewenangan bebas

(diskresi) menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik

sebagai parameternya. Penyalahgunaan wewenang sendiri dapat

dikategorikan sebagai crime trend yang dinilai tidak hanya

membahayakan melainkan juga merugikan karena hukum tidak

berfungsi sebagaimana semestinya, hukum tidak lagi berpengaruh

bagi golongan yang dapat menawar berlakunya hukum dan kerugian

akan tetap ditanggung Negara karena tidak adanya ketegasan dalam

upaya pengembalian uang negara.

Pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung

dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang

98 Asas legalitas merupakan asas yang universal sebagai perwujudan perlindungan hak

asasi manusia berlaku sebagai prinsip utama yang dijasdikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, dimana pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang untuk mencapai tujuan tertentu. Lihat dalam Nur Basuki Minarno, ibid. hlm. 83.

Page 70: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan

oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan

proses penghentian penanganan aspek pidana sebagaimana

disebutkan dalam diktum pertama butir ke-4 inpres tersebut

merupakan bentuk intervensi pemerintah dibidang yudikatif,

meskipun dalam butir tersebut juga ditegaskan bahwa pelaksanaan

pembebasan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, dengan melibatkan Jaksa Agung

menggunakan hak oportunitas yang dimiliki sesuai Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun demikian

depoonering yang dikeluarkan dengan alasan untuk kepentingan

umum, terutama pengembalian uang Negara dari dana talangan

dalam rangka mengatasi krisis keuangan sistemik, tidak tepat

diterapkan dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI termasuk

pelanggaran BMPK. Pertimbangan demi kepentingan hukum

hendaknya jelas apakah dengan out of court settlement keadaan

perekonomian nasional akan pulih kembali tanpa mengesampingkan

efek samping kebijakan tersebut terhadap timbulnya ketidaktertiban

dan ketidakadilan hukum. Terlebih, program penyelesaian kewajiban

bagi para pemegang saham bank-bank penerima dana BLBI

merupakan suatu bentuk hubungan perdata,99 dimana suatu

perjanjian telah dianggap selesai ketika masing-masing pihak telah

melaksanakan prestasi sesuai yang diperjanjikan. Adapun telah

selesainya hubungan keperdataan tidak menghentikan berjalannya

proses hukum pidana. Oleh karena itu Inpres Nomor 8 Tahun 2002

99 Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) merupakan mekanisme penyelesaian

di luar jalur pengadilan atas dugaan pelanggaran hukum atau transaksi tidak wajar yang mengatur tata cara penyelesaian kewajiban pihak terkait yang dibuat oleh dan antara eks PSP dan Ketua BPPN dengan persetujuan Menteri Keuangan, dikenakan pada PSP BTO (Bank Take Over), BBO (Bank Beku Operasi), dan BBKU (Bank Beku Kegiatan Usaha) yang bersedia dan kooperatif. Bilamana sebaliknya maka BPPN akan menyelesaikan melalui jalur litigasi, baik jalur hukum pidana maupun perdata. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 63.

Page 71: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

tentang Release and Discharge merupakan suatu kebijakan yang

dibuat diluar kewenangan Presiden sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Berkenaan dengan pendapat Purnadi Purbacaraka

mengemukakan bahwa perilaku atau sikap tindak melanggar hukum,

maka Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dapat dikategorikan sebagai

peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di

bidang tata negara, administrasi negara maupun perdata, namun

terdapat ancaman pidana (strafbaarfeit). Yakni sebagaimana telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 3 “Setiap

orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sehingga kebijakan yang

dikeluarkan oleh pejabat Negara, dalam hal ini Presiden, dapat

dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

c. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

Persamaan kedudukan di hadapan hukum dikecualikan dalam

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 ditandai dengan adanya keleluasaan

dalam pemenuhan kewajiban debitur dan pemberian jaminan

kepastian dari proses pidana. Pemberian pembebasan hukum hanya

dapat dilakukan melalui undang karena indemnity merupakan

penyimpangan dari prinsip equality before the law.100 Terlebih

pembebasan kualifikasi tindak pidana merupakan bentuk

100 Menurut Bagir Manan dalam M. Arief Amrullah, op. cit., hlm. 33.

Page 72: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

dekriminalisasi, sehingga dalam prosesnya harus melalui tahap

legislatif, tidak hanya berupa kebijakan berupa instruksi presiden.

Kebijakan presiden seharusnya mampu mempertimbangkan aspek-

aspek hukum sehingga terjaga rasa keadilan masyarakat. Namun

dalam praktiknya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 justru menampakkan

perbedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana white collar crime

dengan pelaku tindak pidana umum yang dibungkus dalam sebuah

kebijakan produk hukum agar nampak legal.

Hipotesa yang menyatakan bahwa semakin kompleks

stratifikasi sosial suatu masyarakat semakin banyak hukumnya. Hal

ini disebabkan makin banyak kepentingan yang hanya dapat diatur

oleh hukum.101 Harus diakui bahwa tindakan-tindakan diskriminatif

di dalam penerapan hukum tidak berawal mula dari karakteristik

alami hukum itu sendiri melainkan aparatur penegak hukum. Hukum

sebagai kaidah sejak awal selalu dinyatakan berlaku umum tanpa

membeda-bedakan. Kalaupun ada pengecualian, akan dinyatakan

secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima

dan dibenarkan.102 Perbedaan perlakuan di muka hukum dalam

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 terletak pada pelepasan debitur yang

telah menyelesaikan kewajibannya meskipun belum penuh yaitu

sebesar 30% dari keseluruhan kewajiban, namun pemerintah tetap

memberikan pelepasan dan pembebasan termasuk penghentian

penanganan aspek pidana menyalahartikan maksud dari adanya

jaminan kepastian hukum bagi para debitur. Tepat sebagaimana

dikemukakan Sahetapy bahwa hukum selalu berpihak, selalu

berwarna karena itu tidak ada kata keadilan atau kebenaran dalam

101 Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 199. 102 Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,

Jakarta, ELSAM, 2002, hlm. 6.

Page 73: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

makna dan hakikat yang sebenarnya, selain kata kepastian.103

Kepastian berarti bahwa hukum tidak boleh sering diubah-ubah,

terlebih oleh suatu peraturan perundang-undangan yang

berkedudukan lebih rendah dibandingkan dengan apa yang

dinamakan hukum itu sendiri, yaitu undang-undang. Keberpihakan

dan keberwarnaan hukum tidak perlu terjadi apabila nilai-nilai

demokrasi dan keadilan sosial yang mendasari proklamasi

kemerdekaan diterjemahkan secara memadai ke dalam produk-

produk hukum.104

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, meliputi.105

a. Tap MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, khususnya

Pasal 4 secara tegas menyebutkan “Upaya pemberantasan korupsi,

kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap

siapapun juga, baik pejabat Negara, mantan pejabat Negara,

keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat

termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan

prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”. Hal ini

merupakan suatu penegasan bahwa pemberantasan korupsi, kolusi,

dan nepotisme diharapkan berlaku secara universal tanpa pandang

bulu sehingga persamaan dihadapan hukum sungguh benar adanya.

103 Lihat dalam M. Arief Amrullah, op. cit., hlm. 80. Ada empat hal yang berhubungan

dengan makna kepastian hukum, yaitu: 1) hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht); 2) hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim; 3) fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan; 4) hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Lihat dalam Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm. 136.

104 Abdul Hakim Garuda dalam ibid, hlm. 80. 105 Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 105-106. Lihat juga dalam Indonesian

Corruption Watch, Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, Jakarta,2006, hlm. 14.

Page 74: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

b. Tap MPR No.VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah

Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme Pasal 2 ayat 2 merekomendasikan “Melakukan

penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap

semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa

lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi

hukuman yang seberat-beratnya.” Tindakan hukum sebagaimana

dimaksud Tap MPR No.VII/MPR/2001 meliputi kasus korupsi

yang terjadi di masa lalu tidak berhenti proses penegakan

hukumnya sebagai bentuk kesungguhan pemerintah dalam

Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

c. Tap MPR No.X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan

MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR

RI Tahun 2001, berkenaan dengan Badan Penyehatan Perbankan

Nasional dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah melakukan

Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan

debitor yang berbentuk perjanjian MSAA (Master of Settlement

and Acquisition Agreement), MRNIA (Master of Refinancing and

Note Issuance Agreement), dan/atau Perjanjian Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta

Pengakuan Utang/APU). Terkait dengan hal ini Tap MPR

No.X/MPR/2001 menugaskan Presiden dalam pengelolaan dan

penjualan aset-aset yang dikelola BPPN, antara lain konsistensi

menjalankan MSAA dan MRNIA, dan bagi mereka yang belum

memenuhi kewajibannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2000 tentang Propenas butir c nomor 2,3, dan 4 perlu

diambil tindakan tegas.

Ketetapan MPR tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-

undangan karena masih merupakan suatu aturan dasar Negara, meliputi

pula sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.

Suatu Ketetapan MPR merupakan keputusan yang hanya mengikat

Page 75: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Presiden karena Ketetapan MPR merupakan suatu amanat yang harus

dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka menjalankan pemerintahan

dan tidak mengatur umum.106 Salah satu substansi Ketetapan MPR yang

menjadi salah satu dasar dikeluarkannya dalam Inpres Nomor 8 Tahun

2002 adalah Tap MPR No.X/MPR/2001. Namun demikian amanat yang

terkandung dalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 disalahartikan

dari konsistensi pelaksanaan MSAA dan MRNIA, serta penyelesaian

kewajiban oleh para debitur menjadi pelepasan dan pembebasan dalam

rangka jaminan kepastian hukum.

Ketidakkonsistenan pelaksanaan perjanjian diatas disalahartikan

dengan adanya pemberian jaminan kepastian hukum sebagaimana

dalam diktum 1 butir keempat dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yaitu

pembebasan debitur dari aspek pidana pada semua tahap proses hukum

tidak bersesuaian dengan tindakan hukum yang tegas. yang hendak

diterapkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000

tentang Propenas butir c nomor 2, 3, dan 4. Ketidaksesuaian internal

dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 terdapat dalam butir ketiga dan butir

keempat yaitu adanya tindakan hukum yang tegas dan konkrit

dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua BPPN, Kapolri, dan

Jaksa Agung. Koordinasi antara ketiga instansi tersebut memungkinkan

adanya tindakan hukum dan proses pidana terkait dengan pengembalian

uang Negara, terutama bagi debitur yang tidak melaksanakan

MSAA,MRNIA dan/atau APU hingga batas waktu yang ditetapkan.

Inkonsistensi juga terjadi ketika pemerintah memutuskan melakukan

reformulasi APU yang bertujuan untuk menurunkan jumlah kewajiban

yang harus dibayarkan dan penundaan jatuhnya tenggang waktu

pembayaran dari batas waktu yang telah ditetapkan dari Maret 2004

mundur menjadi Maret 2006.

3. Undang-Undang

106 Maria Farida, op. cit., hlm. 90.

Page 76: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

a. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31

Tahun 1999

1) Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah)”. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam

ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat

dijatuhkan”.

Sebagaimana dikemukakan dalam ayat (1) diatas kata

dapat sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian

negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan

delik formil, dimana tindak pidana korupsi cukup dengan

dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan

bukan dengan timbulnya akibat. Sehingga unsur kerugian

keuangan Negara yang tidak ditemukan dalam kasus

penyalahgunaan dana BLBI seharusnya tidak menjadi alasan

dihentikannya proses hukum. Dugaan penyalahgunaan dana

BLBI dilakukan ketika Negara mengalami krisis keuangan

sistemik, dalam rangka pengembalian kepercayaan masyarakat

terhadap perbankan nasional pemerintah mengeluarkan

kebijakan untuk memberikan sejumlah dana talangan bagi

masyarakat. Namun demikian dalam pelaksanaannya,

berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan adanya penyimpangan

Page 77: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI.107 Keluarnya

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 sebagai bentuk

kebijakan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus

penyalahgunaan dana BLBI dalam berbagai bentuk perjanjian

yang difasilitasi pemerintah108 tidak mempertimbangkan

adanya unsur yang memberatkan suatu tindak pidana

dilakukan saat Negara berada dalam situasi krisis keuangan

dan perbankan.

2) Pasal 4 menyebutkan “Pengembalian kerugian keuangan

negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan

dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 dan Pasal 3”. Sebagaimana dikemukakan dalam

107 Hasil audit BPK pada tahun 2000 No.06/01/Auditama II/AI/VII/2000 menunjukkan

terdapat berbagai penyimpangan dalam penggunaan BLBI sehingga BPK kemudian menyimpulkan adanya sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 61.

108 Dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan perjanjian antara pemerintah dan

debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada penerima BLBI yang

asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan asset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional.

2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo.

3. Akta Pengakuan Hutang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho.

Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.

Page 78: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Pasal 4, dimaksudkan bahwa pengembalian kerugian keuangan

Negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak

pidana korupsi, melainkan hanya merupakan salah faktor yang

meringankan.

Alasan yang dapat menghapuskan pidana, dalam teori

hukum pidana terdiri atas.109

a) Alasan pembenar yaitu alasan untuk menghapuskan sifat

melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang

dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut

dan benar.

b) Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan

kesalahan terdakwa, sehingga perbuatan yang dilakukan

tetap bersifat melawan hukum tetapi tidak dipidana

karena tidak adanya kesalahan.

c) Alasan penghapusan penuntutan dengan dasar

pertimbangan kemanfaatan di masyarakat atau dikenal

dengan istilah kepentingan umum.

Pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud

dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and

Discharge segera setelah debitur menyelesaikan pengembalian

uang Negara, dalam kenyataannya pembayaran dilakukan

sebanyak 30% dari jumlah kewajiban yang harus dibayar

namun tetap diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL), berupa

109 Ketentuan mengenai penghapusan pidana diatur dalam KUHP, meliputi :

1. Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa. 2. Pasal 51 ayat (1) KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan yang dengan

sepengetahuannya diberikan oleh pejabat yang berwenang. 3. Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan perintah undang-undang.

Selain penghapusan pidana KUHP mengatur hapusnya hak untuk menuntut, antara lain: 1. nebis in idem (Pasal 76 KUHP) 2. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) 3. Perkara daluwarsa (Pasal 78 KUHP) 4. Terjadinya penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82 KUHP)

Page 79: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

pelepasan dan pembebasan dalam memberikan jaminan

kepastian hukum dengan menghentikan penanganan aspek

pidana tidak dapat dikategorikan sebagai alasan hapusnya

pidana. Demikian pula SKL tidak dapat digunakan sebagai

dasar alasan dikeluarkannya SP3 (Surat Penghentian

Penyidikan Perkara) karena unsur dalam tindak pidana korupsi

tidak hapus karena adanya pengembalian uang Negara

melainkan hanya salah satu faktor yang meringankan pidana.

Demikian pula dengan penggunaan SKL sebagai bukti baru

dalam proses persidangan berkenaan dengan penyalahgunaan

dana BLBI dan pelanggaran BMPK.

b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang

Perbankan.

1) Pasal 49 ayat (2) huruf a disebutkan “Anggota Dewan

Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja

meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk

menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan,

uang atau barang barang berharga, untuk keuntungan

pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka

mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam

memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari

bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh

bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas

dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka

memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan

penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank”.

Berlanjut pada huruf b disebutkan “Anggota Dewan Komisaris,

Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak

melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk

memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-

Page 80: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya yang berlaku bagi bank, diancam paling lama 8

(delapan) tahun serta denda sekurang-kurang Rp.

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”

2) Pasal 50 disebutkan “Pihak terafiliasi yang dengan sengaja

tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk

memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-

undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang

berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-

kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun

serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00

(seratus miliar rupiah).”

Adapun pihak terafiliasi dimaksud dalam Pasal 50

sebagimana dijelaskan dalam Pasal 1 poin ke-22 adalah:

a. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya,

pejabat, atau karyawan bank;

b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya,

pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang

berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain

akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan

lainnya;

d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta

mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang

saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga

pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus;

3) Pasal 50A disebutkan “ Pemegang saham yang dengan sengaja

menyuruh Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank untuk

Page 81: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan

bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan

untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam

Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan

pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak

Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).”

Kesengajaan pemegang saham yang mengakibatkan

bank tidak melaksanakan langkah-langkah untuk memastikan

ketaatan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan,

salah satu diantaranya adalah berkenaan dengan batas-batas

BMPK terutama terkait dengan penggunaan dana BLBI,

berfungsi sebagai dana talangan, seharusnya dibayarkan pada

nasabah.110 BPK menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8

triliun, antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk

membiayai kontrak derivatif atau spekulasi valas. Audit yang

dilakukan BPKP terhadap 42 bank penerima BLBI, 17 Juli

2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 53,4 triliun

penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi dan

tindak pidana perbankan dan Rp 1,159 triliun penyalahgunaan

non tindak pidana korupsi atau non tindak pidana perbankan.

Penyalahgunaan BLBI paling besar menurut audit BPKP

adalah spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan

110 Jumlah BLBI yang jatuh pada pemiliknya atau kepada kelompoknya sendiri adalah

sebagai berikut : a. Bank Central Asia milik Liem Sioe Liong sejumlah 60% (enam puluh persen). b. Bank Danamon milik Usman Admajaja sejumlah 60% (enam puluh persen). c. Bank Umum Nasional milik Bob Hasan sejumlah 78% (tujuh puluh delapan persen). d. Bank Dagang Nasional Indonesia milik Syamsul Nursalim sejumlah 91% (sembilan puluh

satu persen). Dalam Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 106.

Page 82: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

membayar kepada pihak terkait. Berdasarkan hasil audit BPK,

dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum

nasional, sebesar Rp 138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan

berpotensi merugikan Negara, karena kurang jelas

pengunaannya.111

Hasil audit BPK pada tahun 2000 No.06/01/Auditama

II/AI/VII/2000 menunjukkan terdapat berbagai penyimpangan

dalam penggunaan BLBI sehingga BPK kemudian

menyimpulkan adanya sangkaan tindak pidana atau perbuatan

yang merugikan keuangan negara. Adapun bentuk

penyimpangan dalam kasus BLBI tidak hanya pelanggaran

perdata melainkan juga tindak pidana, berupa pengucuran

BLBI kepada kelompok sendiri dengan melanggar Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). BMPK membatasi

pemberian kredit kepada kelompok sendiri sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan Pasal 1 ayat 4 tidak melebihi 10 persen (10%)

modal bank, namun pada kenyataannya kredit diberikan pada

unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan

melebihi batas yang telah ditetapkan.112 Pelanggaran dalam

BMPK merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam

Pasal 49 jo. Pasal 50 jo. Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan.113

111 Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27-No 2 Tahun 2008, hlm. 49. 112 Samsul Nursalim sebagai pemilik BDNI menurut kantor akuntan Ernst and Young

bahwa seluruh kredit per 13 April 1998 sebesar Rp 16,904 triliun, dimana 75,6 persen (75,6%) dari seluruh uang dipinjamkan sebagai kredit. Lihat dalam Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Terkorup, Kompas, Cet. I., Jakarta, 2006, hlm. 168.

113 Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 61-62.

Page 83: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Tuntutan pidana dalam penyalahgunaan dana BLBI

oleh pemegang saham dapat dikenakan atas dasar adanya

penyimpangan BMPK dan penggunaan BLBI. Penghapusan

aspek pidana hanya dapat dilakukan dalam ketentuan hukum

yang setara kedudukannya dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan bukan oleh produk kebijakan

yang berada dibawah undang-undang terlebih tidak terdapat

kesesuaian dengan peraturan yang ada diatasnya sebagaimana

tercantum dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release

and Discharge.

Kebijakan pemberian pinjaman dana BLBI adalah instrumen

bisnis dan hukum yang merupakan niat baik pemerintah bertujuan

untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional yang

terkena dampak krisis moneter, namun terdapat penyalahgunaan dana

didalamnya. Penyalahgunaan ini merupakan perubahan nilai-nilai

kejujuran dalam masyarakat ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan

sehingga merugikan kepentingan masyarakat luas. Hubungan dalam

ranah perdata bergeser pada ranah hukum pidana ketika terjadi

perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Namun dalam perkembangannya, pemerintah mengeluarkan produk

kebijakan, dimana rentan terjadi kecacatan hukum dengan adanya

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang mengedepankan penyelesaian out of

court settlement bagi debitur yang bersedia memenuhi kewajiban

hutang sehingga terjadi pergeseran menuju hukum perdata. Pergeseran

hukum dari pidana ke perdata dianggap sebagai manifestasi

melemahnya hukum pidana. Hukuman pidana jarang dapat menjadi

cara yang efektif untuk memperbaiki kerusakan dan pada saat yang

sama berpotensi mempunyai sifat keras sehingga perlu dibatasi oleh

formalisme prosedural.114

114 Philippe Nonet-Philip Selznick, Hukum Responsif, Jakarta, Nusamedia, ctk. 2, 2008,

hlm.100.

Page 84: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

2. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Sebagai Bagian dari Kebijakan Publik

Suatu public problem dapat masuk dalam agenda pemerintah,

membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang tegas dan aktif dari para

pembuat keputusan, bilamana terjadi krisis atau peristiwa yang luar biasa

sehingga mendapat perhatian yang cukup besar dari masyarakat, termasuk

pembuat keputusan, untuk memasukkan dalam agenda pemerintah

menjadikan sebagai salah satu masalah yang perlu dicari penyelesaiannya,

begitu pula dengan penyalahgunaan dana BLBI yang muncul sebagai akibat

dari krisis moneter yang dialami Indonesia saat itu sehingga Bank

Indonesia, selaku the last lender resort, menyuntikkan dana pada bank-bank

nasional yang sedang mengalami kesulitan likuiditas agar dapat membayar

kepada nasabah masing-masing. Permasalahan yang kemudian muncul

akibat dari penanganan krisis tersebut berupa penyalahgunaan dana yang

semula dimaksudkan untuk dibayarkan pada nasabah beralih pada

penggunaan dana tersebut untuk kepentingan pemilik bank-bank penerima

dana BLBI, berlanjut pada pengembalian dana yang berbentuk pinjaman

pada bank-bank tersebut tidak selesai baik karena tidak sesuainya aset yang

dijaminkan maupun kaburnya pemilik bank-bank penerima dana BLBI.

Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki

keterkaitan yang sangat erat, seiring makin luasnya peranan pemerintah

dalam berbagai bidang kehidupan yang kompleks baik ekonomi, sosial, dan

politik. Sehingga peraturan hukum berperan untuk membantu pemerintah

dalam usaha menemukan alternatif kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi

masyarakat dimana penilaian bahwa fungsi hukum menjadi penting ketika

semua perencanaan kebijaksanaan dan program-program pemerintah

dilaksanakan melalui hukum.115 Namun demikian ketika kebijakan publik

telah memasuki bidang kehidupan hukum, kebijakan publik harus

115 Esmi Warassih, loc.cit, hlm. 130.

Page 85: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

memenuhi tehnik perumusan pembuatan perundang-undangan,

menggunakan bahasa resmi yang sederhana sehingga mudah dipahami

sehingga harus berpijak pada tata administrasi dalam hal ini berkaitan

dengan hukum administrasi Negara. Asas legalitas dalam hukum

administrasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu wewenang, prosedur, dan

substansi. Ketiga aspek tersebut harus berdasarkan peraturan perundang-

undangan, karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah

ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi,

prosedur untuk mencapai tujuan serta substansinya. Parameter

penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas

legalitas, sedangkan pada wewenang bebas menggunakan asas-asas umum

pemerintahan yang baik.116

Instruksi presiden, sebagai bentuk kebijakan berbentuk produk

hukum yang ditujukan pada subyek dan masalah tertentu, tidak dikenal

dalam tata urutan peraturan perundang-undangan namun masih muncul

dalam praktik ketatanegaraan. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002

merupakan tindakan hukum publik sepihak berkedudukan sebagai

kebijakan, bentuk adanya freies emerssen atau kebebasan untuk

menjabarkan kebijakan berkaitan dengan aspek yuridis. Rauke menjelaskan

bahwa “discretion refers to the ability of an administrator to choose among

alternative to decide in effect law the policies of the government should be

implemented in specific case”.117 Namun demikian batasan dalam

116 Nur Basuki Minarno, op.cit. hlm. 98. Asas-asas pemerintahan yang baik dalam hukum

positif Indonesia terdapat dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, meliputi : a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. b. bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. c.

117 Diskresi disini merupakan tindakan, berupa pilihan-pilihan, oleh penyelenggara Negara sesuai kemampuan yang ada padanya dalam memutuskan kebijakan yang perlu diambil dibatasi hanya untuk masalah-masalah tertentu. Namun demikian kebebasan dalam menentukan kebijakan publik tidak boleh diartikan berlebihan melainkan perlu pertimbangan obyektif atas dasar asas-asas umum pemerintahan yang layak, lebih tepatnya wewenang bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Dalam Esmi Warassih, op. cit., hlm. 138.

Page 86: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

pembentukan peraturan kebijakan redaksi yuridisnya harus tetap mengikuti

format peraturan perundang-undangan. Perumusan peraturan kebijakan yang

tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku mengakibatkan

suatu produk kebijakan tidak dapat dijadikan dasar hukum karena

mengandung cacat hukum yaitu ketidaksesuaian peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan

publik, dan sebagai peraturan perundang-undangan hukum telah

menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk melaksanakan

kebijaksanaan.118 Penyelesaian penyalahgunaan dana BLBI melalui out of

court settlement terutama sebagaimana yang dirumuskan dalam Instruksi

Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge berlaku

sebagai dasar hukum, menginstruksikan kepada Menko Bidang

Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK),

Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK, Jaksa

Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan

Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi

penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan

seluruh kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA,

dan APU.119

Peraturan perundang-undangan dalam bentuk kebijakan merupakan aturan hukum yang dibentuk oleh pejabat atau badan tata usaha negara atas kewenangan yang bersumber dari freies emerssen. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm 48.

118 Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 131-133. 119 Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan

acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam ibid., hlm. 57.

Page 87: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Kebijaksanaan, menurut James E. Anderson, diartikan sebagai

serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan

dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna

memecahkan suatu masalah tertentu, yang dikembangkan oleh badan-badan

dan pejabat-pejabat pemerintah. Sedangkan definisi kebijakan sebagaimana

diutarakan oleh WI. Jenkins, diungkapkan bahwa kebijakan merupakan

serangkaian keputusan-keputusan yang saling terkait berkenaan dengan

pemilihan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi

tertentu.120 Kebijaksanaan negara dibentuk melalui suatu proses perumusan,

meliputi serangkaian tindakan dalam memilih alternatif-alternatif yang

tersedia sebagai penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi dengan

mengambil satu diantara beberapa alternatif tersebut sebagai sebuah

keputusan. Pengambilan keputusan tersebut kemudian dirumuskan sebagai

sebuah kebijaksanaan. Menurut Nigro dan Nigro bahwa every policy

determination is decision, sehingga tidak ada pembedaan antara

pengambilan keputusan dan perumusan kebijaksanaan. Namun demikian

kebijaksanaan-kebijaksanaan membentuk rangkaian-rangkaian tindakan

yang mengarahkan berbagai keputusan dalam rangka melaksanakan tujuan

yang telah dipilih.121 Permasalahan yang timbul dapat diartikan secara

formal, untuk kepentingan kebijaksanaan, menurut David G Smith disebut

sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan yang

yang harus dicari upaya penanggulangannya. 122 Penekanan dari pengertian

kebijaksanaan berdasar pengertian diatas adalah adanya tujuan yang hendak

dicapai oleh pembuat kebijaksanaan melalui rangkaian-rangkaian tindakan

sebagai cara untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Adapun sarana yang

120 Sehingga salah satu implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah kebijaksanaan

Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Lihat dalam M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 17-19. Kebijakan disebut pula sebagai keputusan pemerintah. Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, op.cit., hlm. 24-27.

121 M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 24. 122 Ibid., hlm. 79.

Page 88: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

digunakan dari serangkaian tindakan pembuat kebijaksanaan berupa

keputusan yang menjadi dasar hukum penyelesaian dari permasalahan yang

sedang dihadapi.

Penyelesaian secara out of court settlement merupakan salah satu

dari berbagai alternatif penyelesaian yang sebenarnya dapat ditempuh

terutama dengan mengoptimalkan fungsi hukum pidana sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya menjadikan Inpres

Nomor 8 Tahun 2002 sebagai bentuk kebijakan yang merupakan keputusan

pemerintah. Tindak pidana di bidang perbankan terjadi ketika dana BLBI

digunakan bukan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan

nasional, melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank,

sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar

hukum. Tindak pidana di bidang perbankan berupa penyalahgunaan dana

BLBI mengarah dapat mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian

Kredit (BMPK) terjadi karena pemberian kredit bank yang seharusnya

dibatasi pada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan

tidak dipatuhi sehingga dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Undang-Undang Perbankan. Namun demikian pemerintah dalam hal

ini lebih memberikan prioritas bagi pengembalian uang Negara yang

sebelumnya berfungsi sebagai dana talangan untuk mengatasi krisis

perbankan secara sistemik dibandingkan penegakan hukum dengan

menggunakan hukum pidana. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan

pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus BLBI melalui Perjanjian

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang terdiri atas Master

Agreement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and

Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang dari masa

pemerintahan Presiden Habibie berlanjut hingga dikeluarkannya Inpres

Page 89: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge pada masa

pemerintahan Presiden Megawati.

Analisis kebijakan publik (public policy analysis) bertujuan untuk

meramu secara sistematik beragam gagasan yang berasal dari berbagai

macam disiplin kemudian digunakan untuk menginterpretasikan sebab dan

akibat dari tindakan pemerintah. Nicholas Henry mengelompokkan tipologi

tersebut menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu: (1) Kebijaksanaan negara

dianalisa dari sudut proses, lebih bersifat deskriptif, mencoba

menggambarkan proses pembuatan kebijakan, antara lain model

kelembagaan, model elit massa, model kelompok, dan model sistem; (2)

Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut hasil dan akibatnya, bersifat

preskriptif dengan berupaya menunjukkan cara untuk meningkatkan kualitas

isi, hasil dan akibat kebijaksanaan negara, meliputi model rational

comprehensive dan model inkremental.123 Tipologi dapat dipakai untuk

memahami pembuatan kebijakan publik dengan menggunakan kerangka

analisis bersifat umum untuk mengonversikan fakta-fakta dari studi-studi

kasus pada seperangkat penelitian yang dapat dievaluasi, ditimbang, dan

dihimpun. Pemahaman tipologi kebijakan berguna untuk mensistemasi

analisis yang hendak dipakai dalam melakukan evaluasi terhadap sebuah

kebijakan.

Berdasarkan tipologi Nicholas Henry, ditinjau dari sudut proses

pembuatannya, Inpres Nomor 8 Tahun 2002 merupakan kebijakan yang

mendekati pada model sistem, dimana masukan, dukungan maupun sumber-

sumber yang merupakan input kebijakan pada model sistem ini (sistem

politik) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa keadaan sosial,

ekonomi, politik dan berpengaruh pula pada output yang dihasilkan bahkan

terhadap dampak dari implementasi output tersebut. Inpres Nomor 8 Tahun

2002 yang substansinya memerintahkan kepada menteri-menteri dan

lembaga-lembaga yang ditunjuk dengan berbagai faktor yang turut

123 M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 36.

Page 90: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

mempengaruhi dikeluarkannya kebijakan yang diharapkan yaitu konsistensi

Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui mekanisme

yang telah ditentukan berupa MSAA, MRNIA, dan APU, bukan hanya

pertimbangan pihak-pihak yang berkepentingan melainkan juga adanya

faktor lain berupa upaya pengembalian keuangan negara dalam rangka

stabilitas ekonomi nasional dinilai lebih memenuhi kualifikasi sebagai

bentuk kebijakan sistem. Proses pembuatan kebijakan dengan model sistem

merupakan hasil dari sistem politik yang meliputi lembaga-lembaga, yang

terdiri dari badan legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, kelompok

kepentingan, golongan elit, struktur birokrasi, prosedur, mekanisme politik,

sikap dan perilaku pembuat keputusan serta aktivitas-aktivitas politik

berinteraksi dalam proses untuk mengubah tuntutan, dukungan, dan sumber

bagi suatu kebijakan (input) menjadi hasil keluaran (output). Inpres Nomor

8 Tahun 2002 merupakan produk politik sehingga karakter produk hukum

akan sangat dipengaruhi oleh imbangan kekuatan politik.124 Terlebih upaya

yang ditujukan untuk mengembalikan uang negara melalui mekanisme

perjanjian sebagaimana telah disetujui oleh debitur dengan pemerintah

merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya

kebijakan yang dikeluarkan pemeritah melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2002

berkenaan dengan konsistensi penyelesaian kewajiban pemegang saham.

124 Moh.Mahfud MD, op.cit., hlm. 4. Intervensi politik juga melatarbelakangi dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan kebijakan mengatasi krisis telah melalui proses politik sebagai upaya pengembalian uang negara. Lihat dalam www.indonesia.go.id. Kebijakan mengenai penyelesaian kasus BLBI tidak mengalami perubahan setelah pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah masih bersikap kompromistis terhadap para debitur BLBI dan lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya. Ironisnya pemerintah seringkali memperlakukan para konglomerat yang telah dinilai telah merugikan keuangan negara itu secara istimewa. Perlakuan istimewa itu ditunjukkan dengan kedatangan tiga debitur BLBI, yaitu Ulung Bursa, pemegang saham Bank Lautan Berlian; James Januardi, pemegang saham Bank Namura; serta Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief, pemegang saham Bank BIRA, ke Kantor Presiden untuk menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang nilainya ratusan milyar rupiah asalkan mendapatkan kepastian hukum atau release and discharge. http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16.

Page 91: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Penyusunan kebijakan akan lebih dipengaruhi oleh kelompok-kelompok dan

individu-individu yang kepentingannya terkait dengan kebijakan dan

menunggu hingga saat implementasi kebijakan. Penyusunan agenda

pemerintah juga dipengaruhi oleh faktor tambahan yang berasal dari luar

sistem politik negara, yang dilakukan terutama oleh lembaga-lembaga

keuangan internasional dalam mendikte pemerintah penerima bantuan

dalam menetapkan kebijakan.125 Suasana politik justru melingkupi upaya

penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia lebih mendominasi

dibandingkan semangat untuk melakukan upaya penegakan hukum. Hal ini

juga ditandai dengan diadakannya pertemuan antara pemerintah dengan

mengundang debitur penerima dana likuiditas Bank Indonesia di istana

Negara.126 Karakter hukum sebagai konfigurasi politik yang dimaksud akan

menghasilkan produk hukum yang bersifat responsif atau otonom maupun

hukum yang otoriter. Meskipun pembentukan Inpres Nomor 8 Tahun 2002

dipengaruhi kekuatan politik namun tetap dianggap sebagai dasar hukum

yang berlaku bagi aparat-aparat yang ditunjuk didalamnya.

Sedangkan ditinjau dari sudut hasil dan akibat dari kebijakan yang

dikeluarkan, maka dengan melihat substansi Inpres Nomor 8 Tahun 2002

tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah

Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang

Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham (dikenal dengan Release and Discharge) berupa

konsistensi pelaksanaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham melalui

perjanjian yang telah disepakati antara debitur dan pemerintah dengan tanpa

perubahan yang berarti terutama fokus mekanisme penyelesaiannya yang

125 Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 110. Intervensi lembaga keuangan internasional

dalam kebijakan ekonomi Indonesia sebagaimana terdapat dalam Letter of Intent IMF, meliputi antara lain kebijakan pengetatan likuiditas, penutupan 16 bank nasional, peninjauan fungsi BI sebagai the lender of the last resort, pengucuran obligasi, rekapitulasi perbankan, dan penjualan aset negara. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 239-251.

126 Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004.

Page 92: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

kemudian ditegaskan melalui inpres tersebut sebagai dasar hukum

penyelesaian kasus BLBI, maka sebagai bentuk kebijakan Inpres Nomor 8

Tahun 2002 dikategorikan sebagai kebijakan inkremental dalam upaya

mencari penyelesaian dalam rangka pengembalian dana BLBI (Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia). Penyelesaian kasus BLBI yang memfokuskan

pada upaya pengembalian uang Negara selalu menjadi agenda bagi

pemerintahan berikutnya, meliputi.127

1. Pembentukan BPPN melalui Keppres No.27 Tahun 1998 pada masa

pemerintahan Presiden Soeharto, bertugas untuk : (1) menyehatkan

dunia perbankan, (2) mengembalikan dana Negara, (3) mengelola

asset-aset yang diambil alih oleh pemerintah sehubungan dengan

keputusan penutupan 16 bank bermasalah.128

2. Kebijakan pada masa pemerintahan Presiden Habibie dilakukan

dengan mengambil tindakan yang berpegang pada prinsip out of court

settlement berupa Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang

Saham (PKPS) yang terdiri atas Master Agreement and Acquisition

Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance

Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang.

3. Masa pemerintahan Presiden Megawati mengambil tindakan

penyelesaian kasus BLBI dengan melanjutkan penanganan masalah

perbankan, terutama berkaitan dengan pengambilalihan asset-aset

obligor dan penjualan aset tersebut berlandaskan Tap MPR

No.X/MPR/2001 dan Tap MPR No.VI/MPR/2002 sebagai konsistensi

pelaksanaan kebijakan MSAA dan MRNIA.

127 Lihat dalam Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 171. Menteri Keuangan Sri Mulyani

Indrawati menegaskan rangkaian kebijakan BLBI telah mendapatkan landasan hukum yang sah. Karena itu, kini pemerintah tetap berupaya untuk mengembalikan uang negara sebesar mungkin. Rangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis, termasuk kebijakan BLBI, program penjaminan, penyehatan dan rekapitulasi perbankan, dan program divestasi telah melalui proses politik saat itu dan mendapatkan landasan hukum yang sah. http://www.mediaindonesia.com/. 13 ebruari 2008.

128 Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 hari

di Puncak Gedung Bundar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hlm. 319-323.

Page 93: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Selanjutnya dikeluarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 untuk

memberikan jaminan kepastian hukum pada obligor yang kooperatif

dan sanksi bagi obligor yang tidak kooperatif. Berdasarkan Inpres ini,

para debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya, walaupun

hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS)

dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak

kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang diperiksa dalam

proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila kasusnya dalam

proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau bukti baru

yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.129

4. Adapun kebijakan yang diambil pada masa pemerintahan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana disampaikan dalam sebuah

wawancara dengan MetroTV menegaskan bahwa pemerintah tidak

akan mengganggu gugat kebijakan penyelesaian terkait kasus BLBI

dari pemerintahan sebelumnya. Adapun dalam perkembangannya

antara pemerintah dan delapan debitur penandatangan Akta Pengakuan

Utang yaitu Adisaputra Januardi/ James Januardi, Atang Latief, Ulung

Bursa, Omar Putihrai, Lidia Muchtar, Marimutu Sinivasan, dan Agus

Anwar dilakukan pembaharuan kebijakan dalam pengembalian uang

Negara mengalami penundaan jatuh tempo pembayaran hingga akhir

Desember 2006.130 Pemerintah memberikan kelonggaran penyelesaian

kewajiban bagi 8 (delapan) debitur dalam program penyelesaian segera

dan tata cara pembayaran PKPS yang dilakukan dengan pembayaran

tunai sebesar 70% dan 30% berupa Suku Bunga Indonesia (SBI) dan

129 http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16. 130 Dikeluarkan Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006 oleh

Menteri Keuangan tentang Prosedur Operasi Standar Penanganan Program PKPS dan BPPN, antara lain (1) memberikan kelonggaran kepada delapan pengutang BLBI menyelesaikan kewajiban hingga akhir Desember 2006, (2) pola pembayaran PKPS dilakukan dengan 70 persen tunai dan 30 persen near cash, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) paling lambat akhir 2006. Debitur BLBI yang mampu melunasi kewajibannya hingga akhir Desember 2006 akan menerima surat keterangan PKPS dari Menkeu (dibebaskan dari tuntutan pidana). Lihat dalam Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 324-327.

Page 94: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Surat Utang Negara sedangkan bagi debitur yang mampu melunasi

kewajiban tersebut akan diberikan surat keterangan PKPS dari Menteri

Keuangan dan dibebaskan dari tuntutan pidana.

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge

dikategorikan dalam kebijakan inkremental bukan dilihat dari bentuknya

sebagai produk hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagai kelanjutan

kebijakan dari pemerintah sebelumnya dengan bentuk produk hukum yang

sama yaitu instruksi presiden melainkan karena substansi didalamnya yang

bertujuan menyelesaikan kasus BLBI dalam hal pemenuhan kewajiban oleh

para debitur merupakan serangkaian kebijakan yang hampir tidak terdapat

perubahan yang berarti hingga ditegaskan oleh pemerintah sebagai dasar

hukum bagi penyelesaian kasus BLBI yang kemudian pada tahun 2006

dilakukan sedikit perubahan berupa reformulasi perjanjian Akta Pengakuan

Utang (APU). Kebijakan penyelesaian masalah hukum yang demikian

longgar mengakibatkan dampak negatif bagi penegakan hukum, terutama

fungsi hukum pidana dalam melindungi kepentingan hukum.

Ketidakpatuhan individu-individu maupun kelompok-kelompok tertentu

pada hukum makin nyata karena beberapa kebijaksanaan Negara, antara

penegakan hukum dan penyelesaian penyalahgunaan BLBI saling

bertentangan satu sama lain. Namun demikian pemerintah masih

mempertahankan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 sebagai dasar hukum

penyelesaian penyalahgunaan BLBI untuk menghormati politik hukum pada

pemerintahan sebelumnya dengan mengesampingkan kepentingan hukum

terkesan hanya melanjutkan kebijakan pada masa pemerintahan sebelumnya

tanpa ada kepastian hukum bagi obligor yang tidak kooperatif. Namun

demikian hingga akhir Desember 2006, belum tercapai kesepakatan antara

pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, dengan para obligor tentang

tentang jumlah final utang dan mekanisme pembayarannya.131

131 Ibid. hlm. 326.

Page 95: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Kebijakan inkremental pada negara berkembang belum tepat untuk

diterapkan karena kebijakan dengan model ini dinilai tepat apabila

diberlakukan pada kondisi yang tidak memerlukan perubahan mendasar.

Selain itu terkait dengan kebijakan out of court settlement yang dipilih

pemerintah dalam menyelesaikan kasus tindak pidana dalam penggunaan

dana BLBI membutuhkan evaluasi baik perumusan, pelaksanaan maupun

dampak kebijakan bagi sistem hukum di Indonesia. Kebijakan pemerintah

untuk tidak melakukan tindakan apapun yang dapat mengubah arah

kebijakan penyelesaian kasus BLBI dilihat dari perspektif kebijakan publik

merupakan tipe inkremental dimana dalam menetapkan suatu kebijakan

tidak dilakukan penilaian terhadap seluruh kebijakan yang telah ada dengan

mengidentifikasi alternatif kebijakan termasuk akibat yang timbul dari

dikeluarkannya suatu kebijakan sehingga cenderung melakukan

penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan yang sebelumnya telah ada.

Ukuran mengenai adanya suatu sistem hukum yang baik dalam rangka

efektivitas hukum yang hendak diwujudkan menurut Fuller dalam delapan

asas yang disebut principles of legality, salah satu diantaranya suatu sistem

hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama

lain.132 Sebagaimana dikemukakan Lawrence M. Friedman bahwa

efektivitas hukum ditentukan oleh 3 (tiga) komponen, salah satunya adalah

komponen substansi.133 Ketidaksesuaian substansi peraturan perundang-

undangan satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain dapat

mengakibatkan inefektivitas hukum.

B. Out of Court Settlement Sebagai Dasar Hukum Penyelesaian Kasus Tindak

Pidana Korupsi BLBI ditinjau dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana

1. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Bentuk Kebijakan Publik

132 Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 31. 133 Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 138.

Page 96: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Makna dalam istilah kebijakan (policy) tidak hanya bersifat tekstual

melainkan lebih bersifat kontekstual, beragam mengikuti dinamika aksi

sosio-ekonomi dan politik yang terjadi disekitar kita dan persepsi terhadap

istilah kebijakan.134 Hogwood dan Gunn mengelompokkan beberapa

penggunaan istilah kebijakan, antara lain kebijakan sebagai bentuk

pengesahan formal (Policy as Formal Authorization). Istilah kebijakan

sebagai bentuk pengesahan formal ditandai dengan diundangkannya

seperangkat aturan oleh parlemen diharapkan dapat diimplementasikan.

Disinilah hukum mulai berperan dalam memberikan legitimasi bagi

pelaksanaan kebijakan publik, dan sebagai peraturan perundang-undangan,

hukum telah menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk

melaksanakan kebijakan. Hukum merupakan bagian integral dari kebijakan,

yang pembentukannya dilakukan oleh legislatif dalam bentuk peraturan-

peraturan untuk kemudian diberikan pengesahan sehingga berlaku sebagai

hukum yang harus dipatuhi.135

Kebijakan hukum pidana disebut dengan istilah “politik hukum

pidana” dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun dari politik

kriminal. Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling

baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna dan merupakan

usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai pada

suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Sebagai bagian dari

134 Solichin Abdul Wahab, loc. cit., hlm. 17.

135 Hukum menjadi indikator adanya kebijaksanaan dimana menurut Sigler, bahwa constitutions, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Lihat dalam Esmi Warassih, op.cit., hlm. 131-133. Hukum dan kebijakan publik memiliki keterkaitan yang erat dan memiliki kesamaan yaitu bermula pada fokus dan muara yang sama. Hanya saja pada proses pembentukan hukum lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undang-undang, sedangkan pada proses formulasi kebijakan publik hasil akhir adalah pada terpilihnya sebuah alternatif solusi bagi penyelesaian masalah-masalah publik tertentu. Hubungan ideal antara hukum dan kebijakan publik terletak pada manfaat kebijakan publik dalam memaparkan kandungan yang ada dalam sebuah produk hukum. Dalam Setiono, Hukum dan Kebijakan Publik, Bahan Matrikulasi Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008, hlm. 4-5.

Page 97: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana

mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan

pidana yang baik.136

Kebijakan hukum pidana diwujudkan dalam perundang-undangan

sebagai dasar hukum pelaksanaan kebijakan penanggulangan kejahatan,

merupakan bagian dari kebijakan publik.137 Kebijakan publik, menurut

James E. Anderson, sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan

tertentu. Sehingga implikasi dari pengertian tersebut adalah kebijakan

publik memiliki orientasi tujuan yang hendak dicapai, dimana untuk

mencapai tujuan yang dimaksud, pembuat kebijakan membutuhkan sarana

untuk mengesahkan suatu kebijakan publik menjadi sebuah dasar hukum

dalam melaksanakan tindakan yang dimaksud.138 Edward dan Sharkansky

menyatakan bahwa kebijaksanaan publik dapat ditetapkan secara jelas

dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato

pejabat pemerintah atau juga berupa program-program dan tindakan-

136 Menurut Marc Ancel, “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai

tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Lihat dalam Mokhamamad Najih, loc.cit, hlm. 43. Dengan demikian, istilah “penal policy” sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.

137 Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari kebijakan penegakan

hukum, khususnya hukum pidana, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral dari politik sosial dalam upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat. Namun demikian dalam pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan dan hal demikian akan nampak dalam perumusan sanksi pidana yang diancamkan. Barda Nawawi dan Muladi, loc. cit., hlm. 29-30.

138 Sehingga implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah: (1) bahwa kebijaksanaan

Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2) bahwa kebijaksanaan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) bahwa kebijaksanaan merupakan apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya pernyataan keinginan ; (4) bahwa kebijaksanaan dapat bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negative, berupa keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan (5) bahwa kebijaksanaan pemerintah dalam arti positif, dimana kebijaksanaan selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Lihat dalam M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 17-19.

Page 98: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan menurut Siegler, undang-

undang merupakan salah satu indikator adanya kebijaksanaan.139

Kebijakan hukum pidana atau kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana sebagai bagian integral dari politik sosial dalam

upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat

merupakan suatu proses bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan

baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan

legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan kebijakan aplikasi

(kebijakan eksekutif).140

Kebijakan hukum pidana yang diwujudkan dalam bentuk undang-

undang, dalam kaitannya dengan permasalahan diatas, salah satu

diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2

(dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan

menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan

penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum

pidana (non-penal policy) dimana masing-masing pemilihan penggunaan

sarana-sarana tersebut memiliki pertimbangan tujuan yang hendak dicapai

yaitu pengembalian uang Negara dalam kasus BLBI dan sarana yang

digunakan dalam mencapai tujuan tersebut berupa penyelesaian out of court

settlement.

2. Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi BLBI Melalui Sarana Non

Penal

1) Optimalisasi pengembalian uang negara

139 Ibid., hlm 17-19. 140 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 18.

Page 99: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan

menjadi 2 (dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana

dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan

kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana

di luar hukum pidana (non-penal policy). Sarana non penal pada

dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode

etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum

administrasi.141 Menghadapi perkembangan delik-delik baru, perlu

dipikirkan alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahan.

Permasalahan yang muncul mengenai pemilihan dan penetapan pidana

apa yang paling tepat, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment

ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or

inefficacious”,142 dengan melihat skala prioritas pembangunan dalam

sistem ekonomi yang berimbang dimana faktor ekonomi merupakan

primadona karena leverage effect yang diharapkan terhadap bidang-

bidang pembangunan yang lain, seringkali pendekatan non penal lebih

dikedepankan daripada menggunakan sarana penal. Meskipun secara

teoritik sarana di luar hukum pidana (non-penal policy) tidak

menguntungkan, dalam kasus-kasus yang serius pertimbangan

pemidanaan dinilai penting yaitu untuk tujuan moral dan deterrent

effect. Sehingga penekanan penggunaan sarana non penal dalam upaya

pengembalian uang negara terutama menghadapi kasus yang sulit,

dalam kasus BLBI misalnya terletak pada kemanfaatan digunakannya

sebuah sarana hukum yang dinilai tepat saat itu.

Upaya penanggulangan kejahatan sehubungan dengan

perkembangan masyarakat dalam pembangunan akan selalu

memanfaatkan hukum pidana, dapat bersifat otonom dalam arti bersifat

141 Muladi, op. cit., hlm. 156 142 Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op.cit., hlm.

132.

Page 100: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

murni dalam perundang-undangan hukum pidana baik dalam

merumuskan perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum, dalam

penentuan pertanggungjawaban pidananya, maupun dalam penggunaan

sanksi pidana dan tindakan yang diperlukan. Keterlibatan hukum

pidana yang bersifat komplementer terhadap bidang hukum lain dalam

hal-hal tertentu diharapkan bersifat fungsional mengingat situasi

perekonomian yang kurang menguntungkan.143

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian

Jaminan Kepastian Hukum kepada Para Debitor yang Telah

Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor

yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham merupakan finalisasi kebijakan

penyelesaian out of court settlement dengan memberikan legalitasnya

sebagai dasar hukum dalam penyelesaian kasus dana BLBI. Bahkan

jauh hari sebelum munculnya Inpres Nomor 8 Tahun 2002,

penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dilakukan dengan

membentuk suatu lembaga pemerintah dan bertindak atas nama

pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 sebagai

dasar hukum pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional

(BPPN).144 Upaya BPPN untuk mengoptimalkan pengembalian uang

Negara baik dari para bankir, pemegang saham terkait maupun dari

143 Supanto, op. cit., hlm. 41-44. 144 BPPN bertugas : a) melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah

kepada Bank Umum; b) melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang telah dinyatakan tidak sehat oleh BI; c) melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Tugas BPPN sebagaimana tercantum dalam keppres tersebut tidak diikuti dengan kewenangan yang jelas sehingga dikeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1998, dimana kewenangan BPPN antara lain meliputi meminta pernyataan bank dalam penyehatan untuk menaati persyaratan praktik perbankan yang sehat dan peningkatan kinerja bank,; meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk menandatangani segala dokumen yang bersifat mengikat; dan meminta untuk mengajukan rancana perbaikan. Disamping itu BPPN memiliki tugas tambahan untuk mengambil alih pengoperasian bank; menentukan tingkat kompensasi yang dapat diberikan kepada direksi, komisaris, dan karyawan bank; dan mengambil alih pengelolaan termasuk penilaian kembali kekayaan yang dimiliki bank. Lihat dalam loc.cit., hlm. 171.

Page 101: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

debitur masing-masing bank yang mendapat penyaluran dana BLBI,

ditempuh berbagai konsep penyelesaian yang sifatnya menyeluruh.145

Optimalisasi pengembalian dana BLBI ke dalam kas negara, dari

pemerintah melalui BPPN untuk melakukan tiga hal.146

1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali (pemilik bank), diberlakukan bagi bank-bank yang dikategorikan bank beku operasi (BBO), dan bank beku kegiatan usaha (BBKU). Penandatanganan perjanjian antara pemerintah dan pemegang saham tersebut meliputi Master Settlement and Aqcuisition (MSAA), Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA).

2. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS) pada bank-bank kategori Bank Take Over (BTO).

3. Pengalihan utang bank ke pemegang saham pengendali melalui penandatanganan Akta Pengakuan Hutang (APU).

Konversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara yang dilakukan pemerintah mengakibatkan pada tanggungan kerugian yang dialami oleh bank sebagai resiko dalam menjalankan bisnis perbankan sehingga kerugian Negara dalam menjalankan perusahaan bukan sebagai tindak pidana korupsi.

Sejalan dengan optimalisasi tersebut, dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan perjanjian antara pemerintah dan debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada

penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional.

2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya

145 Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.

146Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian

Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.

Page 102: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo.

3. Akta Pengakuan Utang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho.

2) Penerapan fungsi hukum pidana sebagai ultimum remidium

Penyelesaian kasus dana BLBI sepenuhnya menerapkan fungsi

hukum pidana sebagai ultimum remidium, dimana prinsip penyelesaian

out of court settlement yang memungkinkan terjadinya proses

bargaining dalam hal pengembalian uang Negara lebih dikedepankan

baru kemudian menggunakan hukum pidana bilamana pola

penyelesaian out of court settlement tidak tercapai. Hal ini nampak

dalam data hasil audit BPK No.34G/XII/11/2006, menyebutkan

terdapat 21 debitur yang menerima SKL dari pola penyelesaian Master

Settlement and Aqcuisition (MSAA) dan pola penyelesaian Akta

Pengakuan Hutang (APU), sedangkan debitur penandatangan Master

Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) tidak

memperoleh SKL karena dinilai tidak kooperatif dalam upaya

pengembalian utang. Adapun pemegang saham yang menandatangani

perjanjian PKPS dengan MRNIA yang tidak mendapat SKL adalah :147

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp)

Status

1. Danamon Ind.

Usman Admadjaja 12.532.749 Tidak ada kepastian

147Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 68. Daftar pemegang saham yang menandatangi perjanjian PKPS-APU. Selanjutnya lihat dalam Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 492.

Page 103: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

2. Hokindo Ho Kianto/ Ho Kiarto

297.571 Dialihkan ke TP-BPPN

3. BUN Kaharudin Ongko 8.347.882 Vonis bebas 4 Bank Modern Samadikun Hartono 2.663.873 Proses pengadilan:

buron Total 23.842.075

Sedangkan peserta yang menandatangani PKPS APU yang

dinilai tidak kooperatif karena belum meyelesaikan kewajibannya dan

tidak mendapatkan SKL meliputi : 148

No.

Bank PSP JKPS APU/ Reformulasi (Juta Rp.)

Realisasi Pembayaran

(Juta Rp.)

Status

1. Bank Tamara Omar

Putihrai 190.169 31.028 Belum

selesai

2. Bank Tamara Lidia

Muchtar 202.802 13.762 Belum

selesai

3. Bank Namura-Yasonta

Adisaputra Januardy/

James

123.042 35.439 Belum

selesai

4. Bank BIRA Atang Latief 325.457 134.754 Belum

selesai

5. Bank Lautan Berlian

Ulung Bursa 615.443 160.113 Belum

selesai

6. Bank Putera Multikarsa

Marimutu Sinivasan

1.130.609 249.337 Belum

selesai

7. Agus Anwar Pelita/ Istismarat

577.812 - Belum

selesai

PKPS APU antara kedelapan obligor tersebut diatas dengan

BPPN sebagian besar ditandatangani pada tahun 2000, sedangkan

APU Bank Pelita ditandatangani pada tahun 2003. Hingga batas waktu

pelunasan kewajiban sebagaimana yang jatuh tempo pada Maret 2004,

148 Hasil audit BPK Nomor 34G/XII/11/2006, lihat dalam Abdul Rahman Saleh, ibid., hlm. 494.

Page 104: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

para obligor tidak mampu memenuhi kewajibannya. Sehingga

dilakukan reformulasi JKPS yang pada intinya pemerintah dalam hal

ini KKSK, yang bertugas memberikan pedoman baik berupa keputusan

maupun kebijakan bagi BPPN dalam melaksanakan tugas penyehatan

dan restrukturisasi utang perusahaan, memberikan keringanan kepada

obligor berupa penurunan jumlah kewajiban dalam APU dan

tambahan waktu untuk melunasi kewajibannya hingga Maret 2006,

termasuk kelonggaran dalam penyelesaian JKPS melalui kombinasi

pembayaran secara tunai dan penyerahan aset yang dilakukan dengan

mencicil. Reformulasi ini dilakukan dengan prasayarat bilamana

terjadi default, maka perjanjian utang dikembalikan pada perjanjian

APU awal.149 Namun demikian hingga Maret 2006 para obligor tidak

memenuhi kewajibannya sehingga jumlah kewajiban yang

diperhitungkan kembali pada APU awal ditambah denda dan bunga.

Penyelesaian out of court settlement kembali berlarut-larut karena

obligor menolak dasar perhitungan pemerintah yang ditambah dengan

bunga dan denda sebagai kewajiban dengan alasan selama ini telah

dilakukan pembayaran. Namun demikian nilai pembayaran sangatlah

kecil bila dibandingkan jumlah kewajiban yang harus ditanggung.

Alasan lain yang menyebabkan obligor menolak kembali pada APU

awal adalah karena obligor merasa memiliki bukti, prosedur,

korespondensi terutama dengan BPPN dan Tim Pemberantasan yang

menyatakan obligor tidak dalam keadaan default, dengan adanya

penolakan ini maka terdapat perbedaan jumlah kewajiban sebesar Rp.

149 Terhadap Agus Anwar tidak diberikan pengurangan utang melalui JKPS reformulasi

karena melarikan diri keluar negeri. Marwan Batubara, op. cit., hlm. 93. Dikeluarkan Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006 oleh Menteri Keuangan tentang Prosedur Operasi Standar Penanganan Program PKPS dan BPPN, antara lain (1) memberikan kelonggaran kepada delapan pengutang BLBI menyelesaikan kewajiban hingga akhir Desember 2006, (2) pola pembayaran PKPS dilakukan dengan 70 persen tunai dan 30 persen near cash, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) paling lambat akhir 2006. Debitur BLBI yang mampu melunasi kewajibannya hingga akhir Desember 2006 akan menerima surat keterangan PKPS dari Menkeu (dibebaskan dari tuntutan pidana). Lihat dalam Abdul Rahman Saleh, loc. cit., hlm. 324-327.

Page 105: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

100 miliar untuk masing-masing obligor. Sebagaimana diatur dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Pasal 36 ayat 4 disebutkan bahwa piutang Negara yang mencapai lebih

dari Rp. 100 miliar dalam penyelesaiannya ditetapkan oleh Presiden

setelah mendapat pertimbangan DPR. Berdasarkan keputusan DPR

pada 6 Februari 2008, terhadap obligor yang belum menyelesaikan

kewajibannya sesuai APU reformulasi akan ditindaklanjuti dengan

serangkaian tindakan pengurusan piutang Negara berupa penetapan

jumlah piutang Negara sehingga dapat ditindaklanjuti dengan

penetapan surat paksa, penyitaan terhadap harta kekayaan dan

gijzeling.150 Namun demikian hendaknya pemerintah mengkaji

kembali atas rencana pengenaan gijzeling terhadap obligor yang belum

melunasi kewajibannya, mengingat konsistensi yang selama ini

dipegang dan untung rugi atas diterapkannya gijzeling terhadap

pemulihan kerugian uang Negara. Pertimbangan “konsistensi”

pemerintah melakukan reformulasi perjanjian APU terhadap kedelapan

obligor tersebut diatas karena pada perjanjian APU awal tidak ada

mekanisme tentang asset settlement sehingga terhadap obligor yang

hingga batas waktu Maret 2006 belum juga menyelesaikan

kewajibannya dan juga menolak untuk kembali pada APU awal mau

tidak mau akan diselesaikan melalui APU reformulasi dengan

kombinasi pembayaran tunai dan penyerahan aset.

150 Dibacakan dalam Keterangan dan Jawaban Pemerintah RI Mengenai Penyelesaian KLBI

dan BLBI pada Rapat Paripurna DPR RI 12 Februari 2008. Lihat dalam http://www.presidenri.go.id/../856.html. Lembaga gijzeling adalah proses hukum dalam hukum perdata untuk penyelesaian hutang yang tidak dibayar berdasarkan niat buruk pengutang diajukan oleh dengan biaya ditanggung pemohon. Gijzeling diberlakukan melalui Perma Nomor 1 Tahun 2000 dapat diterapkan setelah adanya putusan pengadilan pada proses perdata yang telah in kracht, dengan jangka waktu terbatas yaitu hanya 6 (enam) bulan dan diperpanjang maksimal selama 3 (tiga) tahun dan si berhutang tidak mau melakukan pembayaran sesuai dengan doktrin imprisonment for civil debts. Selain itu negara harus memiliki hak untuk menggunakan hukum publik selayaknya hukum pidana, sehingga harus melalui settlement court. Lihat dalam http://beritasore.com/2008/04/11/gijzeling.

Page 106: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Ketika tekstur hukum terbuka maka penilaian hukum akan

kehilangan kekhususannya dalam menentukan apa yang secara hukum

benar dan salah pada kasus tertentu dengan mempertimbangkan tujuan,

hambatan situasional, dan alternatif praktis. Hukum pidana dipaksa

untuk melihat konteks yang jauh melampaui perbuatan, dengan

terkikisnya peraturan-peraturan, berlipatgandanya alasan-alasan

pemaaf, tumbuhnya doktrin pertanggungjawaban yang kompleks

merupakan analisis pengkategorian yang tumpang tindih dibidang

kejahatan.151 Pemberian kesempatan berulang kali dilakukan dalam

berbagai bentuk perjanjian pelunasan utang, reformulasi berupa

pengurangan kewajiban dan tenggang waktu pembayaran yang dapat

dimundurkan melalui Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal

16 Maret 2006 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan merupakan

kenyataan proses penyelesaian kasus BLBI yang berlarut-larut. Sikap

politik pemerintah dalam menentukan rangkaian kebijakan untuk

mengatasi penyelesaian kasus BLBI didasarkan pada fakta adanya

landasan hukum yang “sah” setelah melalui proses politik, adanya

hasil audit BPK terhadap recovery asset tahun 2006 dijadikan dasar

bagi pemerintah untuk melanjutkan penyelesaian kasus BLBI secara

out of court settlement sedangkan punitive sanction hanya akan

dikenakan pada obligor yang tidak kooperatif dan melakukan

perbuatan melawan hukum sebagai bagian dari apa yang disebut

pemerintah sebagai konsistensi kebijakan demi menjamin kepastian

hukum.

3) Konsistensi pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian

hukum melalui out of court settlement

Nilai kepastian hukum yang dipertahankan pemerintah sebagai

alasan mutlak dikeluarkannya kebijakan penyelesaian out of court

151 Philippe Nonet-Philip Selznick, op. cit., hlm. 100.

Page 107: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

settlement dalam kasus BLBI dinilai hanya mengedepankan pentingnya

kepastian hukum tanpa mempertimbangkan nilai keadilan bagi

masyarakat dan kepentingan hukum. Dominasi kepastian hukum dalam

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 nampak dari tujuan yang hendak dicapai

dari lahirnya sebuah kebijakan berupa pemberian jaminan kepastian

hukum berdasarkan penyelesaian kewajiban dalam perjanjian-

perjanjian, meliputi MSAA dan APU. Penyelesaian kewajiban tersebut

akan disertai dengan pelepasan dan pembebasan debitur dari aspek

pidana.

Nilai kepastian hukum dimaknai secara limitatif oleh pembuat

kebijakan dengan mengesampingkan makna kepastian hukum yang

termasuk juga konsistensi terhadap undang-undang yang berlaku. Nilai

kepastian hukum yang mendominasi mengabaikan keberadaan nilai

dasar lain, yaitu keadilan. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan

Jaksa Agung Abdulrahman Saleh bahwa rasa keadilan justru terabaikan

bilamana menilai kebijakan pemerintah dalam penyelesaian kasus

BLBI dengan menggunakan tolak ukur keadilan karena situasi kritis

yang dinilai luar biasa yang dihadapi saat itu.152 Ukuran keadilan

dipandang berbeda baik secara absolut maupun secara relatif. Keadilan

absolut berlaku dimana saja dan kapan saja, sedangkan keadilan relatif

diberlakukan berbeda-beda menurut tempat dan waktunya. Perbedaan

ukuran berlakunya keadilan menjadi dasar bagi pemerintah dalam

memilih kebijakan penyelesaian out of court settlement diluar dogma

keadilan berlaku secara universal.

Hukum pidana hanya merupakan salah satu cara saja, maka

secara bersamaan juga perlu dilakukan upaya-upaya lain secara sinergis

untuk menanggulangi kejahatan. Walaupun demikian penggunaan

hukum pidana tetap diperlukan sebagai sarana pencelaan masyarakat

dan negara terhadap kejahatan dan pelakunya, dengan memperhatikan 6

152 Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 329.

Page 108: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

prinsip menurut Nigel Walker, salah satu diantaranya hukum pidana

tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai.153

Terlepas digunakan atau tidaknya prinsip pembatasan hukum pidana

tersebut dalam penyelesaian kasus BLBI, serangkaian kebijakan yang

diambil pemerintah mengarah pada penggunaan out of court settlement

dinilai lebih baik dan damai untuk diterapkan dimana pemerintah tetap

konsisten melakukan asset tracing terhadap 8 (delapan) obligor yang

dilakukan mulai 1 Januari 2007. Kelanjutan asset tracing akan diikuti

dengan melakukan lelang aset yang hasilnya akan dimasukkan dalam

kas negara melalui mekanisme konversi aset menjadi uang tunai oleh

Panitia Urusan Piutang Negara dibawah Departemen Keuangan dengan

target kurang lebih 6 (enam) bulan. Konsistensi pemerintah akan terus

berlanjut, bahkan bila aset yang diperoleh dan kemudian dilelang

tersebut tidak mencukupi jumlah utang, melakukan pengejaran karena

konteksnya adalah kas Negara. 154 Namun demikian hendaknya

terhadap obligor yang tidak kooperatif segera ditentukan batas waktu

pengejaran, bila tidak maka pertimbangan yang mendasari penggunaan

out of court settlement atas adanya prinsip biaya dan hasil tidak berlaku

karena biaya operasional yang harus disediakan untuk jangka waktu tak

terbatas dengan hasil minimum.

4) Inefektivitas sarana penal

153 Prinsip yang membatasi penggunaan hukum pidana menurut Nigel Walker meliputi.

1. Hukum pidana tidak digunakan dengan tujuan semata-mata untuk pembalasan; 2. Tindak pidana yang dilakukan harus menimbulkan kerugian dan korban yang jelas. 3. Hukum pidana tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai. 4. Kerugian yang ditimbulkan pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat tindak pidana. 5. Mendapat dukungan masyarakat. 6. Dapat diterapkan secara efektif.

Lihat dalam Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, op. cit., hlm.78.

154 http://m.detik.com/read/2006/12/26.

Page 109: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Perkembangan penyelesaian kasus-kasus pidana dalam praktik

ini menyimpang dari paradigma lama yang dianut dalam sistem hukum

pidana klasik yaitu tujuan pidana untuk efek jera bagi pelaku dan fungsi

preventif bagi orang lain mengarah pada model penyelesaian dengan

restoratif-rehabilitatif yang diambil dari spirit penyelesaian menurut

hukum adat yang telah dimodernisasi untuk memulihkan keadaan,

meskipun sulit diterima masyarakat dan dipandang tidak sejalan dengan

rasa keadilan masyarakat, 155 terutama keadilan yang menetapkan

standar umum untuk memperbaiki perilaku dan tujuan yang hendak

dicapai melalui ukuran yang obyektif bahwa hukum harus

memperbaiki kejahatan dan ganti rugi harus memulihkan keuntungan

yang tidak sah.156

Pemerintah melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang

Release and Discharge menawarkan penyelesaian yang dibayar dengan

kepastian hukum berupa pelepasan dari segala proses hukum. Prosedur

hukum inilah yang dihindari oleh para debitur sehingga sedapat

mungkin dilakukan agar aparat hukum bersedia “menggeser” wilayah

hukum dari pidana ke wilayah hukum perdata. Pergeseran hukum dari

pidana ke perdata merupakan bentuk dekriminalisasi yang hanya

ditentukan berdasarkan kebijakan pemegang wewenang. Perubahan

masyarakat yang begitu cepat kadang tidak dapat diikuti oleh hukum

yang ada, dimana hukum harus mengikuti perubahan tersebut. Suatu

proses dekriminalisasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan

pemegang kebijakan berupa keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang

ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu dan

terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga

155 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 73. 156 Aristoteles membedakan keadilan atas keadilan distributif dan keadilan korektif. Dalam

Khudzaifah Dimyati, op.cit, 2005, hlm. 53.

Page 110: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

penerapannya akan menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum.157

Keraguan akan tujuan yang hendak dicapai dengan menetapkan sanksi-

sanksi negatif berupa penjatuhan pidana pada debitur yang tidak

kooperatif menjadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap

konsisten menyelesaikan kasus dana BLBI secara out of court

settlement, selain itu prioritas utama adalah pengembalian uang negara

mengingat situasi ekonomi yang membutuhkan kecepatan pengambilan

keputusan.

Penilaian bahwa out of court settlement lebih mampu menjadi

upaya penyelesaian kasus BLBI disebabkan adanya pandangan bahwa

proses peradilan justru memakan waktu yang lama, dengan biaya dan

tenaga yang tidak sedikit untuk pengembalian uang negara.158

Penegakan hukum di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih

terdapat kelemahan dalam bidang politik, ekonomi, keuangan, dan

iklim perbankan yang kurang bahkan tidak sehat, sehingga penegakan

hukum pidana sulit dilaksanakan secara konsisten dan sesuai dengan

asas kepastian hukum serta imparsialitas peradilan masih diragukan.159

Kejahatan merupakan gejala, dimana sebab-sebab yang menjadi faktor

kondusif timbulnya kejahatan tidak dapat diatasi dengan hanya

menggunakan upaya “penal”, disinilah letak keterbatasan jalur “penal”

157 Soerjono Soekanto, loc. cit., hlm. 156. Suatu proses dekriminalisasi yang

mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang kebijakan, antara lain : 1. Sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku

tertentu. 2. Adanya kemungkinan nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap

perilaku tertentu mengalami perubahan. 3. Timbul keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-

sanksi negatif tertentu. 4. Adanya keinginan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif

tertentu sangat besar. 5. Terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan

menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum. 6.

158 Mokhamad Najih, op. cit., hlm. 35. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto, ibid., hlm. 156.

159 Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 75.

Page 111: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

yang perlu ditunjang dengan oleh jalur “non penal”. Demikian pula

dengan efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya

tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.160

3. Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi BLBI Melalui Sarana Penal

Pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia lebih dikenal dengan

istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)161 diberikan oleh Bank

Indonesia dari segi yuridis dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of

last resort162 merupakan penyediaan likuiditas oleh bank sentral pada

lembaga keuangan atau pasar karena terjadi shock secara tiba-tiba sehingga

menyebabkan peningkatan permintaan likuiditas secara abnormal yang tidak

160 Johannes Anderson menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana harus dilihat dari

keseluruhan, karena adanya saling mempengaruhi antara hukum dan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan. Sedangkan menurut Karl O. Christiansen menyatakan adanya pertimbangan politik kriminal yang rasional dimana pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit untuk diukur. Lebih lanjut dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 44-49.

161 Istilah BLBI atau liquidity support dikenal sejak 15 Januari 1998 sebagaimana

ditegaskan pemerintah dalam Letter of Intent dengan International Moneter Fund (IMF) yang menyatakan pentingnya bantuan likuiditas Bank Indonesia pada perbankan menjadi salah satu prasyarat cairnya bantuan IMF. Dalam arti luas liquidity support meliputi kredit subordinasi, Kredit Likuiditas Darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun BLBI saat itu mencakup bantuan likuiditas pada bank untuk menutup kekurangan likuiditas berupa saldo debet, fasilitas diskonto SBPU khusus serta talangan untuk membayar kewajiban luar negeri. http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, loc.cit., 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia merupakan dana bank sentral yang dipergunakan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam jumlah besar dalam rangka menghindari efek negatif pada sistem perbankan. Lihat dalam Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 91-94. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebagai fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun jangka panjang. Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 2. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm 3.

162 Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank (BI) dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Pasal 37 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 112: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

dapat dipenuhi oleh sumber-sumber lainnya.163 Bantuan likuiditas dalam

berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima menurut

tujuannya, dana BLBI diperuntukkan membayar dana pihak ketiga

(masyarakat). Namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar

transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI.

Bantuan likuiditas pada awalnya merupakan obyek dalam hukum

perdata, karena adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau

kontrak sebagai kreditur dan debitur. Kelemahan dalam pemberian kredit

likuiditas darurat, antara lain ketidakjelasan kriteria bank yang dapat dipilih

sebagai bank penerima kredit, prosedur pengawasan yang kurang efektif,

dan adanya moral hazard penyalahgunaan bantuan oleh pemilik dan

pengurus bank, serta mismanajemen dalam bank bersangkutan merupakan

salah satu masalah internal yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan,

termasuk fungsi pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia yang

dilakukan tidak sesuai dengan prosedur membuka celah bagi debitur

menyalahgunakan dana BLBI.164 Timbulnya penyalahgunaan dana BLBI

yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara membawa

implikasi pada bergesernya hubungan hukum dari hukum perdata menuju

hukum pidana menjadi dasar penyelesaian pengembalian dana BLBI.

163 Suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun

dana dalam rekening giro bank tidak mencukupi sehingga harus mencari sumber pendanaan lain, baik simpanan bank itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain. Bilamana pandanaan masih tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening giro bank bersangkutan di BI. Pada saat terjadi krisis, bank-bank yang telah bersaldo negatif tetap diperbolehkan melakukan kliring untuk mempertahankan stabilitas perbankan di masyarakat. Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 4.

164 Struktur perbankan Indonesia dikatakan rentan karena pelaksanaan liberalisasi yang

terlalu cepat, ditandai dengan pertumbuhan jumlah bank yang pesat tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank sentral, lemahnya penerapan prinsip good corporate governance karena konsentrasi kepemilikan amat tinggi, terjadi economic boom dan integrasi keuangan internasional. Sehingga perbankan Indonesia tidak siap dalam menghadapi krisis keuangan yang terjadi di Asia pada tahun 1997. Kusumaningtuti, op.cit., hlm. 2.

Page 113: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Terkait dengan tugasnya Badan Pemeriksa Keuangan melakukan

audit investigasi terhadap kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada

pemerintah sebagai berikut.165

Tabel I. Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah

Deskripsi Jumlah (Rp. juta) Bank Beku Operasi (BBO), 10 bank 57.686.947 Bank Take Over (BTO), 5 bank 57.639.214 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), 18 bank 17.320.988 Bank Dalam Likuidasi (BDL), 15 bank 11.888.937 Total 144.536.086

Hasil audit investigasi yang dilakukan oleh BPK menemukan adanya

penyimpangan dalam penyaluran BLBI oleh BI dan penyimpangan

penggunaan BLBI oleh bank penerima, yaitu : 166

Tabel II. Penyimpangan penyaluran BLBI dan penyimpangan

penggunaan BLBI

Temuan Audit Investigasi

BLBI yang disalurkan

Potensi kerugian Negara/penyimpangan (Rp. juta)

%

165 Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah. Dalam Indonesian

Corruption Watch, op. cit., hlm 5. Lihat juga Lampiran II Bank-bank penerima BLBI per 29 Januari 1999. Dalam Marwan Batubara, loc.cit. hlm. 43. Pemeriksaan investigasi diupayakan untuk menstabilkan keuangan Negara pada posisi semula. Setelah pemeriksaan berakhir dilaksanakan, pemeriksa wajib menyusun laporan hasil pemeriksaan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pemeriksaan yang dilaksanakan dan jika diperlukan dapat diususun laporan intern pemeriksaan yang diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan secara keseluruhan dengan tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya kerugian Negara. Lihat dalam Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 66.

166 Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah. Dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm 5. Lihat juga Lampiran III Daftar potensi kerugian negara dalam penyaluran BLBI. Dalam Marwan Batubara, loc.cit. hlm. 44-45.

Page 114: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

A. Penyaluran BLBI oleh BI 1. Saldo debet 2. FSBUK 3. Fasilitas Saldo Debet 4. New Fasdis 5. Dana talangan Rp. 6. Dana talangan valas

144.536.086 18.163.169 28.231.481 54.460.895 28.530.968 5.335.003 9.814.570

138.442.026 18.163.169 28.231.481 54.460.895 28.530.968 142.903 8.912.610

95.78 100 100 100 100 2.68 80

B. Penggunaan BLBI oleh bank penerima

144.536.086 84.842.162 58.70

Audit yang dilakukan oleh BPK secara umum menyimpulkan, dalam

pemberian dana talangan valas kepada perbankan nasional terdapat

penyimpangan yang dilakukan BI, yaitu.167

a. Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai

sebelum melaksanakan pembayaran valas.

b. Melakukan pengikatan jaminan yang tidak sepenuhnya dapat

menjamin pengembalian dana talangan dari bank debitur dalam negeri

yang mendapat pinjaman dana talangan valas.

c. Melakukan pembayaran yang menyalahi ketentuan.

d. Tidak menciptakan prosedur pengendalian terhadap penggunaan dana

talangan valas oleh bank debitur dalam negeri dan pengembalian valas

dari kreditur luar negeri.

Dari total penerimaan dana BLBI pada 48 bank, senilai Rp.144,53

triliun, telah ditemukan penyimpangan-penyimpangan mencapai nilai

Rp.84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan dana BLBI, diuraikan sebagai

berikut. 168

167 Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm 7.

Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000. Laporan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK dan BPKP menyebutkan bahwa kerugian Negara juga disebabkan oleh peranan BI, antara lain pengawasan perbankan, lalai dalam melakukan pengamanan terhadap bank yang dalam laporannya terindikasi pelanggaran BMPK, prinsip prudential, dan kejanggalan mutasi akuntasi.

168 Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000, dalam ibid.

Page 115: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Tabel III. Uraian penyimpangan penggunaan BLBI

P

E

P

Penyimpangan terbesar dilakukan oleh 5 bank, yang mencapai 74%

dari total penyimpangan 48 bank penerima BLBI, yaitu : 169

Tabel IV. 5 (lima) besar penyimpangan BLBI

Nama Bank Nilai penyimpangan

BLBI

% Pemilik

Bank Dagang Nasional Indonesia

24,47 triliun 28,84 Sjamsul Nursalim

Lihat juga Lampiran 4 Daftar potensi kerugian Negara dalam penyimpangan penggunaan BLBI berdasarkan bank penerima per 29 Januari 1999. Dalam Marwan Batubara, op. cit. hlm. 46-47.

169 Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000, dalam ibid., hlm. 7. Lihat juga dalam Munir Fuady, op. cit., hlm. 106.

No.

Uraian Penyimpangan Jumlah (Rp.juta)

1 BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman atau pinjaman subordinasi

46.088

2 Untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis

113.812

3 Untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait 18.505.140 4 Untuk transaksi surat berharga 136.902 5 Untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang

melanggar ketentuan 4.469.316

6 Untuk membiayai kontrak derivative baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/ cut loss

22.363.682

7 Untuk membiayai placement baru di PUAB 9.822.383 8 Untuk membiayai ekspansi kredit atau

merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada

15.812.953

9 Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen personal baru, peluncuran produk baru, penggantian system baru.

456.357

10 Untuk membiayai over head bank umum 87.144 11 Untuk membiayai lain-lain yang tidak termasuk

butir 1-10 di atas 10.028.324

Jumlah 84.842.162

Page 116: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Bank Central Asia 15,82 triliun 18,64 Soedono Salim

Bank Danamon 13,8 triliun 16,27 Usman Admadjaja

Bank Umum Nasional (BUN)

5,09 triliun 6,00 Bob Hasan

Bank Indonesia Raya (BIRA)

3,66 triliun 4,31 Atang Latief

Potensi kerugian Negara akibat penyimpangan-penyimpangan

tersebut diatas disebabkan adanya fakta-fakta, yaitu :

1. BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp.144,53 triliun (posisi 29 Januari 1999)

2. Pemerintah harus membayar bunga kepada BI sebesar 3 % per tahun dari nilai BLBI setelah disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen.

3. Bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah.

4. Apabila BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai dengan pedoman akuntansi BI, BLBI kepada BBO/BBKU/BDL akan disisihkan sebagai kerugian 100% dan untuk BLBI kepada BTO akan disisihkan sebagai kerugian 2-20%.

5. BPPN dan tim likuidasi Bank-Bank Dalam Likuidasi melakukan upaya pengembalian BLBI, tetapi karena membutuhkan waktu, potensi kerugian Negara saat audit dilakukan belum bisa dihitung.

6. BLBI kepada BTO akan dikonversi menjadi penyertaan (equity) pemerintah, pengembalian BLBI akan sangat tergantung dari divestasi yang dilakukan.

Berdasarkan data-data berkaitan dengan penyimpangan BLBI baik

dalam hal penyaluran oleh BI maupun penggunaannya oleh bank penerima

sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat ditemukan adanya unsur-unsur

tindak pidana dalam BLBI, antara lain sebagai berikut :

1. Penggunaan BLBI diluar ketentuan yang telah ditentukan.

Dana kredit likuiditas (BLBI), pada prinsipnya hanya boleh

dipergunakan untuk membayar nasabah, namun beralih pada

penggunaan lain sebagaimana diuraikan dalam Tabel III diatas, telah

memenuhi unsur tindak pidana melawan hukum. Uraian salah satu

Page 117: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

unsur inilah yang dapat memasukkan penyimpangan-penyimpangan

dalam kasus BLBI dalam ranah hukum pidana.170

2. Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)

Pembatasan pemberian kredit kepada kelompok sendiri, dikenal

dengan BMPK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 4 tidak melebihi 10 persen

(10%) modal bank, namun pada kenyataannya kredit diberikan pada

unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan

melebihi batas yang telah ditetapkan.171 Pelanggaran BMPK sesuai

dengan Pasal 49 ayat 9 (2) jo. Pasal 50 jo. Pasal 50 A UU No.10 Tahun

1998 tentang Perbankan merupakan tindak pidana.

3. Pemberian fasilitas kliring yang diberlakukan BI meskipun rekening

bank yang bersangkutan telah bersaldo negatif. Keadaan perekonomian

yang tidak stabil tidak dapat dijadikan alasan yang membenarkan

proses kliring terhadap bank yang bersaldo negatif tetap berlangsung,

melainkan seharusnya mengambil tindakan untuk menghentikan

operasional bank bersangkutan, melakukan rekapitulasi tanggungan

kewajiban pada pihak ketiga terutama nasabah. Selain itu BI dalam

melakukan pengikatan jaminan tidak sepenuhnya dapat menjamin

170 Penyalahgunaan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dilakukan para

bankir pemerintah dan swasta penerima BLBI merupakan salah satu bentuk kejahatan bisnis. Hasil audit BPK, 31 Juli 2000 menyebutkan, dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum nasional, sebesar Rp 138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan berpotensi merugikan Negara, karena kurang jelas pengunaannya. BPK menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8 triliun, antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk membiayai kontrak derivatif atau spekulasi valas. Audit yang dilakukan BPKP terhadap 42 bank penerima BLBI, 17 Juli 2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 53,4 triliun penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan dan Rp 1,159 triliun penyalahgunaan non tindak pidana korupsi atau non tindak pidana perbankan. Penyalahgunaan BLBI paling besar menurut audit BPKP adalah spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan membayar kepada pihak terkait. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27-No 2 Tahun 2008, loc.cit., hlm. 49. Lihat juga dalam artikel BLBI dan Hukum Yang Bungkam http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16.

171 Samsul Nursalim sebagai pemilik BDNI menurut kantor akuntan Ernst and Young bahwa seluruh kredit per 13 April 1998 sebesar Rp 16,904 triliun, dimana 75,6 persen (75,6%) dari seluruh uang dipinjamkan sebagai kredit. Lihat dalam Kwik Kian Gie, loc. cit., hlm. 168.

Page 118: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

pengembalian dana talangan dari bank debitur dalam negeri yang

mendapat pinjaman dana talangan valas. 172

4. Penggelembungan nilai aset oleh debitur BLBI dalam upaya menutup

kewajiban yang harus dibayarkan pada pemerintah.

Menurut audit BPK, dari total jaminan aset yang diserahkan ke

BPPN dari BI senilai Rp. 132,77 triliun, sedangkan besaran dana BLBI

yang dikeluarkan pemerintah senilai Rp. 144,5 triliun. Adapun nilai

komersial aset hanya mencapai Rp. 12,29 triliun, sehingga terdapat

penggelembungan aset sebesar Rp. 120,5 triliun oleh pihak perbankan.

Selebihnya tidak mempunyai nilai komersial, misalnya tidak likuid,

bermasalah dengan hukum dan fiktif. Namun demikian dengan nilai

aset yang jauh dari laporan yang diberikan, debitur tetap menerima

fasilitas release and discharge berupa SKL sehingga bebas dari

tuntutan pidana.173 Penggelembungan nilai aset dilakukan oleh para

debitur, salah satu diantaranya adalah Syamsul Nursalim (SN).

Berdasarkan MSAA kewajiban pembayaran SN mencapai Rp. 28.408

triliun, dengan skema pembayaran sebagai berikut :

a. Pembayaran tunai senilai Rp. 1 triliun.

b. Pembayaran dengan penyerahan aset dengan perkiraan mencapai

Rp. 27,4 triliun.

Review ulang yang dilakukan oleh BPK atas aset-aset tersebut

hanya mencapai Rp. 25,131 triliun (8,6%) dari nilai yang disepakati

sebelumnya. Penurunan aset terbesar adalah perusahaan tambak

Dipasena, penilaian aset oleh Credit SuisseFirast Boston dan SN

mencapai Rp. 19,961 triliun sedangkan penilaian yang dilakukan oleh

172 Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 7. Sumber Laporan Audit BPK

No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000. Laporan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK dan BPKP menyebutkan bahwa kerugian Negara juga disebabkan oleh peranan BI, antara lain pengawasan perbankan, lalai dalam melakukan pengamanan terhadap bank yang dalam laporannya terindikasi pelanggaran BMPK, prinsip prudential, dan kejanggalan mutasi akuntasi.

173 Marwan Batubara, op.cit., hlm. 182-183.

Page 119: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

PricewaterhouseCoopers sepengetahuan DPR hanya mencapai kurang

dari Rp. 1 triliun.174 Mark up nilai aset dari nilai sesungguhnya

merupakan suatu tindak pidana melanggar Pasal 49 ayat 1 Undang-

undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berkaitan dengan pencatatan

laporan keuangan yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan

pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 10 miliar.175

Penyalahgunaan dana BLBI merupakan suatu bentuk tindak pidana

korupsi yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (white collar

crime), White collar crime sebagai kegiatan di bidang bisnis sering terjadi

dalam bentuk penyampaian laporan keuangan suatu perusahaan secara tidak

benar, penyuapan pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak

langsung untuk memperoleh kemudahan dan penyimpangan penggunaan

dana termasuk dalam kasus penyalahgunaan BLBI.176 Maka penyelesaian

pengembalian uang negara dalam bentuk utang yang diberikan berupa dana

BLBI yang bertujuan membayar pihak ketiga (masyarakat) sebagai nasabah

telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI

yang menimbulkan kerugian keuangan negara dinilai telah cukup memenuhi

rumusan pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU

Nomor 20 tahun 2001 untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam

proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.

174 Ibid. hlm. 188-189. Lihat juga dalam Lihat dalam Kwik Kian Gie, op. cit., hlm. 172-

174. 175 Lihat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 49 ayat 1 huruf a,b,dan c. 176 Dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada 1939, white collar crime diartikan sebagai

kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. Lihat dalam M. Arief Amrullah, loc. cit., hlm. 21-25. Kejahatan bisnis telah memasukkan konsep hukum pidana dengan sifat memaksa kedalam lingkup hukum perdata sebagai penerimaan (kooptasi). Implikasinya pada pola penyelesaian antara kooptasi hukum pidana dalam lingkup hukum perdata secara mutlak, sehingga tidak terdapat bargaining dan masih adanya ruang untuk melakukan tawar-menawar dalam pola penyelesaian dimaksud, lihat dalam Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 38-39.

Page 120: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Pertanggungjawaban pidana juga dapat dilakukan terhadap

pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terjadi karena

pemberian kredit bank yang seharusnya dibatasi pada unit usaha yang

dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan, sebesar 10 persen (10%)

modal bank, tidak dipatuhi sehingga dinilai telah melanggar Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan.

Atas dasar kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari

kejahatan korporasi, maka sangat beralasan jika kebijakan kriminal

(criminal policy) diorganisasikan secara sistematis guna penanggulangan

kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara

berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata,

hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah non-

yuridis, yakni dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam rangka

mengatasi kendala-kendala penggunaan bidang hukum lainnya. Dalam

kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umumnya

pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum

remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium, diharapkan dalam

hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. (1) Tingkat kerugian yang

diderita publik; (2) Tingkat keterlibatan corporate managers; (3) Lamanya

masa pelanggaran; (4) Frekuensi pelanggaran oleh korporasi; (5) Bukti-

bukti kesengajaan tindak pidana; (6) Bukti telah terjadinya penyuapan; (7)

Reaksi negatif dari media massa; (8) Preseden dalam hukum; (9) Riwayat

kejahatan serius yang dilakukan korporasi; (10) Kemungkinan pengaruh

pencegahan; (11) Tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi.177

Kejahatan ekonomi atau “white collar crime” mencakup pula

kejahatan korporasi, yakni setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi

yang diancam sanksi, baik itu hukum administrasi, hukum perdata atau

177 Muladi, op. cit., hlm. 150.

Page 121: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

hukum pidana. Kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit

antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan

“mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan “sungguh-sungguh

jahat” tetapi lebih karena kesialan ( unfortunate mistake) atau secara teknis

tidak berbuat apa yang diharuskan (technical omission). Krisis moneter

yang terjadi secara sistemik di seluruh wilayah Asia sehingga sulit untuk

dibendung ketika krisis ini menjalar pada perbankan nasional dijadikan

alasan oleh debitur dalam mempertanggungjawabkan kesalahannya.178

Kejahatan ekonomi, khususnya kejahatan korporasi, telah menjadi

perhatian nasional maupun internasional karena dimensinya cukup luas

dilihat dari sudut korban yang menanggung akibatnya (viktimologi), seperti

perusahaan saingan, negara, karyawan, konsumen, masyarakat, dan

pemegang saham. Belum lagi kerugian tidak langsung seperti biaya sistem

peradilan yang mahal, karena biasanya kasus dan sasaran korbannya juga

sangat kompleks. Faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya

kejahatan ekonomi karena ciri-ciri sebagai berikut: kompleks, difusi

tanggung jawab, difusi korban, sulit dideteksi, sanksi kurang berat serta

hukum dan status pelaku yang mendua.

Hukum pidana, menurut Utrecht, memberi suatu sanksi istimewa,

baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum

publik.179 Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan

oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun hukum publik dengan

membuat sanksi istimewa karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan

pemerintah yang lebih keras. Tindakan keras inilah yang umumnya

dianggap mampu memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus diharapkan

mampu mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan

pemerintah terkait dengan kasus penyalahgunaan dana BLBI yang dilakukan

178 Pengaturan perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian, termasuk pengaturan yang berkenaan dengan kecukupan modal, sebenarnya telah diperkenalkan jauh sebelum krisis Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 4-5.

179 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, loc. cit., hlm. 10.

Page 122: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

pada saat terjadi krisis perbankan dan moneter di Indonesia pada tahun

1997.

Prinsip hukum pidana sebagai primum remidium bukan suatu hal

yang mustahil dengan tetap mempertimbangkan kemanfaatan sarana hukum

pidana untuk memulihkan kerugian keuangan negara dan kerugian pada

pihak ketiga sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dalam bidang

keuangan dan perbankan.180 Hukum pidana dapat menjadi primum

remidium jika: 181

a. korban sangat besar;

b. terdakwa residivis;

c. kerugian tidak dapat dipulihkan.

Salah satu alasan yang memperkuat penggunaan fungsi hukum

pidana sebagai primum remidium dalam kejahatan bisnis yang didalamnya

tidak terdapat ruang untuk tawar-menawar antara pola penyelesaian melalui

hukum perdata dan hukum pidana adalah besarnya korban baik masyarakat

sebagai nasabah dan negara sebagai penanggung jawab kestabilan sistem

perbankan nasional yang memberikan dana BLBI untuk menalangi

sementara bagi para nasabah. Bahkan pengembaliannya melalui out of court

settlement yang ditempuh secara konsisten oleh pemerintah selama ini dari

berbagai tagihan pembayaran dari para obligor belum mampu menutup

jumlah kerugian yang diderita negara dan akibatnya bagi perekonomian

negara.

Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejak kasus

BLBI ditangani Kejaksaan Agung pada tahun 2000 hingga tahun 2005, dari

65 orang tersangka yang telah dilakukan pemerikaan, baru 16 orang

tersangka yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, sebagai berikut.

180 Permasalahan yang muncul adalah mengenai pemilihan dan penetapan pidana apa yang paling tepat dengan melihat dari segi manfaat dijatuhkannya pidana, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious” Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, loc.cit., hlm. 132.

181 Menurut H.G de Bunt dalam Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 77.

Page 123: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Pengadilan atas 16 Orang Tersangka BLBI 182

No. Vonis Pengadilan Jumlah (orang)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Seumur hidup (in absentia) 20 tahun penjara (in absentia) 8 tahun penjara 4 tahun penjara Dibawah 1 tahun Bebas

3 orang 2 orang 1 orang 1 orang 6 orang 3 orang

Total 16 orang

Proses hukum melalui peradilan pidana bukannya tidak ada namun

demikian proses hukum berlangsung demikian lambat, hal ini nampak dari

sejumlah 16 kasus yang dilimpahkan, baru 5 kasus yang telah divonis di

tingkat kasasi dan telah in kracht dan putusan tanpa dihadiri terdakwa,

karena yang bersangkutan telah melarikan diri. Sedangkan 11 kasus lainnya

masih dalam proses dan belum jelas kepastian hukumnya.

Hasil yang dicapai dari proses peradilan secara keseluruhan dinilai

sangat mengecewakan. Tiga tersangka, yaitu Leonard Tanubrata, Kaharudin

Ongko, dan Leo Ardiyanto memperoleh vonis bebas oleh pengadilan. Dari

13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama,

banding, atau kasasi, hanya Hendrawan Hartono, terpidana kasus korupsi

BLBI Aspac, yang dapat dilakukan eksekusi. Dibutuhkan waktu selama 4

tahun untuk sampai pada putusan yang in kracht setelah adanya putusan

Peninjauan Kembali oleh MA dengan vonis 1 tahun penjara. Selebihnya

para terdakwa melarikan diri keluar negeri ketika proses hukum

berlangsung,183 termasuk David Nusa Wijaya pemilik Bank Sertivia dan

Adrian Kiki selaku pemilik Bank Surya.

David Nusa Wijaya adalah pemegang saham non kooperatif

meskipun telah menandatangi APU dengan BPPN, dengan JKPS awal Rp.

182 Marwan Batubara, op.cit. hlm. 87. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, op.

cit., hlm. 18. 183 Marwan Batubara, ibid., hlm. 86. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, ibid.

Page 124: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

3,336 triliun dan turun menjadi Rp. 2,305 triliun berdasarkan JKPS

Reformulasi, disamping pelanggaran lain sehingga uang negara yang dapat

ditagih kembali hanya sejumlaah Rp. 27,892 miliar atau recovery rate hanya

mencapai 0,84%. Sehingga BPPN menyerahkan tindakan hukum atas David

Nusa Wijaya pada pihak kepolisian, namun dalam proses hukum yang

bersangkutan melarikan diri keluar negeri dan diekstradisi. Selanjutnya

dijatuhi vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada

proses banding di Pengadilan Tinggi divonis empat tahun penjara, dan pada

tingkat Mahkamah Agung divonis lebih tinggi yaitu delapan tahun

penjara.184 Namun demikian hingga saat ini vonis belum dapat dieksekusi

karena terpidana kasus korupsi BLBI kembali melarikan diri keluar negeri.

Hal yang sama juga dilakukan oleh terpidana kasus korupsi BLBI

Adrian Kiki Ariawan. Perkembangan terbaru dalam upaya pengejaran

terhadap Adrian Kiki dimulai dengan keluarnya putusan Pengadilan

Australia (Magistrate of the State of Western Australia) pada 16 September

2009 yang menyatakan bahwa Adrian Kiki dapat diekstradisi ke Indonesia.

Meskipun atas putusan ini Adrian Kiki tidak menggunakan hak banding,

ektradisi belum dapat dilakukan karena dimungkinkan untuk melakukan

sejenis perlawanan dengan menyatakan belum mau diekstradisi untuk

menjalani pidana.185

Hukum pidana harus maju kedepan dalam hal dimana hukum lain

selain hukum pidana gagal. Sebagaimana dikemukakan Modderman, bahwa

negara seharusnya menjatuhkan pidana terhadap hal-hal yang bertentangan

dengan hukum, yang tidak dapat dihambat oleh upaya-upaya lain dengan

184 Kwik Kian Gie, op. cit., hlm. 215. Dari 16 orang PSP, mencakup 1 BTO dan 11 BBKU,

meskipun telah dikelola oleh BPPN selama empat tahun, tidak memperoleh SKL. Dengan demikian terdapat 7 bank yang dialihkan pada tim penyelesaian BPPN, sedangkan sisanya termasuk David Nusa Wijaya diproses ke lembaga peradilan. Selanjutnya dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 78. Reformulasi JKPS dilakukan setelah default pada batas yang ditentukan yaitu Maret 2004, adapun reformulasi ini memberi keringanan beban utang debitur berupa penurunan kewajiban sebagaimana tercantum dalam APU dan mundurnya tenggang waktu pengembalian kewajiban hingga Maret 2006.

185 http://www.detiknews.com/read/2009/10/15/15:35

Page 125: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remidium.186 Pada kasus

David Nusa Wijaya, sarana non penal telah dilaksanakan melalui

penandatanganan Akta Pengakuan Utang (APU) dengan BPPN yang

kemudian dilakukan reformulasi oleh pemerintah berupa penurunan jumlah

kewajiban dan mundurnya jatuh tempo pembayaran yang tidak dipenuhi

oleh yang bersangkutan sehingga kemudian penyelesaian terakhir yang

ditempuh pemerintah dalam hal ini diwakili BPPN adalah tindakan hukum

melalui proses peradilan pidana. Fungsi hukum pidana sebagai ultimum

remidium diupayakan sebagai jalan terakhir, meskipun demikian dalam

pelaksanaannya terhadap terpidana belum dapat dieksekusi karena

lambannya sikap tegas aparat penegak hukum dalam peradilan tindak pidana

korupsi.

Buruknya penanganan kasus BLBI diperparah dengan kebijakan

Jaksa Agung yang menghentikan proses penyidikan dengan mengeluarkan

SP3 terhadap debitur BLBI dengan alasan telah memperoleh Surat

Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8

Tahun 2002. Berdasarkan laporan BPK No.34G/XII/11/2006 debitur yang

memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) mencapai 21 orang, 187 antara

lain Syamsul Nursalim pemilik BDNI yang belakangan tersandung dalam

kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan selaku Ketua Tim yang

memimpin penyidikan lanjutan kasus BLBI. Pemberian SKL membawa

implikasi bagi para debitur dapat dinyatakan bebas dari tuntutan pidana

Inpres tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang

Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur

Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham, lebih dikenal dengan Inpres tentang release

and discharge. Berdasarkan Inpres ini, para debitur BLBI dianggap sudah

186 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 10. 187 Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 68.

Page 126: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

menyelesaikan utangnya, walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban

pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan

sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang

diperiksa dalam proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila

kasusnya dalam proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau

bukti baru yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.

Upaya pengembalian uang Negara termasuk penyelesaian kasus

penyalahgunaan dana BLBI sebenarnya dapat ditempuh dengan

menggunakan sarana penal melalui persidangan in absentia bagi terdakwa

kasus korupsi BLBI. Berdasarkan catatan ICW, sedikitnya terdapat enam

kasus korupsi BLBI pada yang diperiksa dan diputus secara in absentia.188

Persidangan perkara korupsi secara in absentia dapat dibenarkan dalam

kerangka hukum positif di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 38

UU No. 31 tahun 1999 diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyebutkan jika

terdakwa dalam perkara korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak

hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat

diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (in absentia). Meskipun demikian

terhadap putusan in absentia tersebut masih dibuka kesempatan bagi

terdakwa atau kuasanya untuk mengajukan banding terhadap putusan yang

dijatuhkan. Pengkhususan terhadap terdakwa meninggal dunia sebelum

putusan dijatuhkan berupa penetapan oleh hakim atas penuntut umum untuk

melakukan perampasan barang-barang yang telah disita dengan

pertimbangan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan

188 Lihat juga dalam artikel Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia

http://antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viacat&cid=6. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil yang menunjukkan pelaksanaan peradilan in absentia sampai dengan saat ini efektif hanya terhadap pemeriksaan dan putusan perkara pidana terhadap terdakwa yang melarikan diri untuk menghindarkan diri dari penuntutan. Dalam Edi Irsan Kurniawan, Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi. http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journals&id=65&type=19&task=list.

Page 127: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

telah melakukan tindak pidana korupsi, dan penetapan perampasan tersebut

tidak dapat dimohonkan upaya banding.

Peradilan kasus korupsi secara in absentia dinilai memiliki beberapa

keuntungan, yaitu :

a) Jaminan kepastian hukum

Upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum, meskipun

terdakwa melarikan diri, tetap berlangsung melalui peradilan in

absentia. Proses persidangan dari awal hingga vonis tanpa kehadiran

terdakwa (in absentia), meskipun diberi kesempata namun tidak

menggunakan kesempatan untuk menggunakan haknya di persidangan,

terhadap putusan yang telah in kracht tersebut dapat dilakukan eksekusi

baik terhadap aset maupun terpidana bilamana tertangkap kembali.

b) Keberadaan aset-aset dari pelaku korupsi bisa langsung disita dan

dieksekusi, sehingga jumlah kerugian negara dapat ditekan turut

ditentukan tindakan aparat penegak hukum untuk secara aktif

menangani kasus korupsi terutama tersangka maupun terdakwa yang

melarikan diri.

Sikap kompromistis pemerintah terhadap debitur BLBI didasarkan

pengalaman kegagalan BPPN sebelum dibubarkan dalam penyelesaian

kasus korupsi BLBI melalui proses hukum, baik perdata maupun pidana.

Mekanisme yang dimungkinkan secara perdata seperti penyitaan,

menggugat ke pengadilan, atau melakukan paksa badan

(gijzeling/penyanderaan) terhadap debitur yang membandel membayar

utang atau tidak mau menyerahkan asetnya. Upaya itu seringkali mengalami

kegagalan dan justru mendapat perlawanan, bahkan tidak sedikit yang kalah

di pengadilan. Sedangkan ketika diproses secara pidana seperti yang

diuraikan sebelumnya, hasilnya jauh dari memuaskan. Bahkan tidak

memberikan efek jera, karena pelakunya divonis ringan. Penjatuhan vonis

yang dinilai berat sekalipun tidak memberikan efek karena pada

kenyataannya terdakwa melarikan diri keluar negeri.

Page 128: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Proses penyelesaian kasus korupsi BLBI yang berjalan lamban,

terutama terhadap terdakwa dan terpidana yang melarikan diri keluar negeri,

turut dipengaruhi pula perbedaan sistem hukum negara sebagaimana dialami

oleh Tim Pemburu Koruptor yang terdiri atas Kejaksaan Agung,

Depkumham, Polri, Deplu, dan unsur PPATK dalam kasus Adrian Kiki

masih terkendala perlawanan dari yang bersangkutan. Keterbatasan yang

menyulitkan membawa kembali terdakwa dan terpidana koruptor untuk

menjalani pidananya adalah tidak adanya perjanjian ekstradisi di negara

yang menjadi tempat pelarian, misalnya Singapura. Inilah titik dimana

pemerintah seharusnya mulai mengambil tindakan tegas dalam upaya

mengembalikan uang negara tidak hanya terfokus pada konteks

pengembalian kas negara namun juga mempertimbangkan serangkaian

kebijakan penyelesaian kasus BLBI merupakan preseden hukum yang buruk

dalam lintasan sejarah hukum Indonesia, dimana asas-asas peraturan

perundang-undangan yang berlaku dikesampingkan dengan proses politik

singkat untuk memunculkan keabsahan produk hukum sebagaimana

terdapat dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and

Discharge.

Sedangkan kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam perundang-

undangan dikesampingkan, upaya non penal hanya efektif dilaksanakan dan

dipenuhi oleh beberapa obligor. Namun demikian terhadap obligor yang

tidak kooperatif konsistensi pemerintah untuk mengupayakan pengembalian

uang negara dengan terus mengejar obligor tidak dibatasi waktu yang tegas

hingga kapan dilakukan. Fungsi pidana sebagai ultimum remidium

dikesampingkan, pidana dianggap tidak lagi efektif bilamana dikaitkan

dengan pengembalian uang Negara karena subyek yang dihadapi adalah

pihak yang sangat paham akan proses tawar-menawar hukum, menandatangi

perjanjian dengan menyadari sepenuhnya kewajiban yang harus dibayarkan

kemudian melakukan melakukan penggelembungan aset jaminan sehingga

nilai aset sesungguhnya jauh dari yang dilaporkan serta pelanggaran

perbankan lainnya. Namun pidana pula yang juga dinilai efektif diterapkan

Page 129: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

sebagai ultimum remidium, setelah upaya out of court settlement melalui

pelbagai perjanjian tidak dilaksanakan, pada beberapa kasus korupsi BLBI

karena justru proses pidana inilah yang dihindari hingga penawaran

pengembalian yang berkepastian hukum dipilih sebagai alternatif

penyelesaian.

Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana

menanggulangi kejahatan harus memperhitungkan semua faktor yang dapat

mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya sehingga

kriminalisasi harus terus dilakukan evaluasi, karena, menurut Sudarto,189

pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang

mengetahui tentang adanya sanksi pidana namun demikian intensitas

pengaruhnya tidak sama antara tindak pidana satu dengan tindak pidana

lainnya. Putusan pengadilan terhadap terdakwa kasus korupsi BLBI yang

hingga saat ini belum dapat dilaksanakan eksekusinya merupakan bentuk

kegagalan tujuan dijatuhkannya pidana baik retributif sebagai upaya

pencapaian keadilan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sehingga

mengakibatkan kerugian Negara dan utamanya jatuhnya kepercayaan

masyarakat terhadap perbankan, kegagalan tujuan penjatuhan pidana untuk

memperbaiki pelaku karena tanpa eksekusi tidak akan ada pembinaan,

maupun kegagalan tujuan pidana sebagai prevensi general dimana pidana

mencegah masyarakat atau calon-calon pelaku melakukan tindak pidana

yang sama.

189 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, loc. cit., hlm. 20. Penggunaan hukum

pidana sebagai salah satu sanksi sosial sebagaimana diungkapkan Nigel Walker memiliki keterbatasan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang sampai dimana tapal batas penggunaan hukum pidana. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 131.

Page 130: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge

merupakan kebijakan inkremental dalam upaya penyelesaian kasus tindak

pidana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dalam

pembuatannya dipengaruhi oleh imbangan kekuatan politik. Berlaku

sebagai kebijakan yang menjadi dasar hukum bagi penyelesaian kasus

tindak pidana korupsi BLBI, dalam butir-butir Inpres Nomor 8 Tahun

2002 tentang Release and Discharge terdapat ketidaksinkronan dengan

Tap MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundang-

undangan yang berlaku sebagai dasar pengaturan sistem norma di

Indonesia yang turut mempengaruhi efektivitas hukum. Ketidaksinkronan

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge dengan

peraturan perundang-undangan lain diatasnya, antara lain :

a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

meliputi Pasal 1 ayat (3), Pasal 14, dan Pasal 27 ayat (1);

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, meliputi Tap MPR

No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan

Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Tap MPR No.VIII/MPR/2001

tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan

Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Tap MPR

No.X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh

Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001;

c. Undang-Undang, meliputi (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 4,

(2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang

Perbankan Pasal 49 ayat (2) huruf a, Pasal 50, dan Pasal 50A.

Page 131: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

2. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat ditempuh melalui

penggunaan sarana hukum pidana (penal policy) dan sarana diluar hukum

pidana (non penal policy). Penggunaan non penal policy berupa

penyelesaian secara out of court settlement dalam rangka penyelesaian

kasus tindak pidana korupsi kasus BLBI didasarkan atas pertimbangan

pemerintah, meliputi.

a. Optimalisasi pengembalian uang Negara dari obligor pemegang

saham secara out of court settlement melalui mekanisme perjanjian

MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA

(Master Refinancing and Note Issuance Agreement), dan APU (Akte

Pengakuan Utang) dilihat dari nilai kemanfaatan.

b. Konsistensi pemerintah atas jaminan kepastian hukum penyelesaian

kasus BLBI melalui out of court settlement hingga dikeluarkannya

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and

Discharge sebagai dasar hukum penyelesaian tindak pidana korupsi

kasus BLBI. Kebijakan serupa tetap berlanjut pada pemerintah

berikutnya dengan melakukan reformulasi perjanjian Akta Pengakuan

Utang.

c. Penerapan fungsi hukum pidana berlaku sebagai upaya hukum

terakhir (ultimum remidium).

d. Inefektivitas sarana penal

B. Implikasi

1. Ketidaksinkronan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release

and Discharge dengan peraturan perundang-undangan diatasnya,

merupakan preseden hukum terbesar yang dialami Indonesia karena

adanya kecacatan hukum baik formil maupun materiil pada kebijakan

pemerintah yang kemudian berlaku sebagai dasar hukum penyelesaian

tindak pidana korupsi kasus BLBI secara out of court settlement.

2. Mekanisme out of court settlement yang diupayakan dalam rangka

pengembalian uang Negara berkaitan dengan tindak pidana korupsi kasus

BLBI tidak secara optimal tercapai karena inkonsistensi pelaksanaan

Page 132: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

kebijakan dan hukum pidana sebagai ultimum remidium diterapkan secara

lambat.

C. Saran

1. Kebijakan merupakan keluasan dari kewenangan namun tetap harus berada

dalam koridor batas-batas pembentukan kebijakan yang berlaku yaitu asas

umum pemerintahan yang baik dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Perjalanan suatu pemerintahan akan selalu diperlukan adanya

suatu kebijakan sehingga preseden hukum dalam penyelesaian kasus BLBI

melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian

Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan

Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak

Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham yang melukai rasa keadilan hukum dalam pandangan

masyarakat hendaknya tidak terulang kembali dengan melakukan kajian

awal sebelum mengeluarkan suatu kebijakan yang menjadi dasar hukum

penyelesaian.

2. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan lemahnya

perekonomian negara merupakan sedikit dari multi akibat tindak pidana di

bidang perbankan dalam kasus BLBI. Konsistensi out of court settlement

dalam penyelesaian kasus BLBI melalui Instruksi Presiden Nomor 8

Tahun 2002 hendaknya harus dihentikan ketika ternyata upaya tersebut

tidak optimal kemudian beralih menggunakan sarana hukum pidana

sebagai upaya hukum terakhir yang memungkinkan adanya persidangan in

absentia dan mekanisme sita terhadap aset-aset obligor agar menjadi shock

therapy bagi pelaku dan tujuan prevensi umum bagi calon-calon pelaku

tindak pidana korupsi di bidang perbankan agar tidak terulang kembali

mengingat dampaknya bagi perekonomian negara. Disamping upaya

represif melalui sarana penal sebagai upaya terakhir sebagaimana tersebut

diatas, upaya preventif yang hingga saat ini dinilai lemah adalah fungsi

Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional.

Page 133: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta. Abdul Rahman Saleh. 2008. Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz.

Memoar 930 hari di Puncak Gedung Bundar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika,

Jakarta. Barda Nawawi Arief dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. I,

Alumni, Bandung. ____________________________. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana,

Alumni, Bandung. Barda Nawawi Arief. 2005. Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana. Ed. Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung. __________________. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Ed. Pertama ctk. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum, ctk. 4, PT. Rineka Cipta,

Jakarta. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru

Utama, Semarang. Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi, Ed.2, ctk. I., Sinar Grafika, Jakarta. Hans Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, ctk. I. Nusamedia.

Bandung. Imam Syaukani dan A. Ahsani Thohari. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum, Ed.1,

ctk. 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Johnny Ibrahim. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Banyumedia, Malang.

Page 134: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Khudzaifah Dimyati. 2005. Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Kusumaningtuti. 2009. Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di

Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Terkorup, Kompas, ctk. I., Jakarta. Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (1), Kanisius, Yogyakarta. Marwan Batubara. 2008. Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara,

Haekal Media Center, Jakarta. M. Arief Amrullah. 2006. Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang. Moh. Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama

Media, Yogyakarta. Mokhamamad Najih. 2008. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Intrans

Publishing, Malang. M. Irfan Islamy. 2007. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi

Aksara, Jakarta. Muhammad Djafar Saidi. 2008. Hukum Keuangan Negara, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta. Muin Fahmal. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam

Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta. Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di

Indonesia, ctk. I, The Habibie Center, Jakarta. Munir Fuady. 2004. Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung. ___________. 2007. Dinamika Teori Hukum, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia,

Bogor. Nur Basuki Minarno. 2009. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana

Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ed. I, ctk. ke-2, Laksbang Mediatama, Jakarta.

Philippe Nonet-Philip Selznick. 2008. Hukum Responsif, ctk. 2, Nusamedia,

Jakarta.

Page 135: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

Riawan Tjandra. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ed. Revisi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Romli Atmasasmita. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media,

Jakarta. Satjipto Rahardjo. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban, ctk. I, UKI Press,

Jakarta. Setiono. 2005. Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana UNS, Surakarta. ______. 2008. Hukum dan Kebijakan Publik, Bahan Matrikulasi Program

Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Soerjono Soekanto. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali,

Jakarta. ________________ dan Sri Mamudji. 2005. Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Solichin Abdul Wahab. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM Press,

Malang.

Soetandyo Wignyosoebroto. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM, Jakarta.

Supanto. 2007. Delik Agama, ctk. 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, ctk. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.

B. Makalah dan Jurnal

Burhanuddin Abdullah, Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia, Ceramah pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas tanggal 13 Juni 2003, p.1-6, Jakarta terdapat dalam http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8DCFCBCE-0709-40B7-843CD1FEC3FE61B/8035/tindak.pdf. , 12 Oktober 2009, 08.05 WIB.

Page 136: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

La Porta, http://mba.tuck.dartmouth.edu/pages/faculty/rafael laporta/ publications/laporta PDF papers-ALL/Laws and finance-all/law&finance/PDF. 10 Oktober 2009, 23.00 WIB.

Raul A. Barreto, Corruption, Optimal Taxation, and Growth, dalam

http://pfr.sagepub.com/cgi/content/abstract/31/3/2007., 10 Oktober 2009, 22.40 WIB.

Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, Problem Bank Identification,

Intervention And Resolution In Indonesia, Ocassional Internal Paper, 2002, p. 69, terdapat dalam http: //www.seacen.org/publications/content/2008/rp74/4-chap3.pdf., 10 Oktober 2009, 22.30 WIB.

http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, 10 Oktober 2009, 22.45 WIB.

Indonesian Corruption Watch. 2006. Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, Jakarta.

Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 2 Tahun 2008, hlm. 48-52.

Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia, dalam http://antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viacat&cid=6. Edi Irsan Kurniawan, Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia

Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi.

http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=co

m_journals&id=65&type=19&task=list

http://www.detiknews.com/read/2009/10/15/15:35

BLBI dan Hukum Yang Bungkam

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16. http://www.mediaindonesia.com/, 13Februari 2008.

C. Koran

Kompas, 14 Januari 2003.

Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004.

Page 137: BOO TESIS revisi - Digital Library UNS/Studi... · Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan ... Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor

D. Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan

Perundangan. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum

Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.