responsi sle bab iii

17
 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem dima na terja di infl amas i, prod uksi antibodi , dan ikata n depo sisi komp lek imun yang meng akib atkan kerus akan jari ngan . SLE terja di bila fakto r pred ispo sisi genet ik diaktivasi oleh faktor lin gku nga n, obat-obatan, atau agen infeksius sehi ngga menyeba bkan respon imun yang abnormal. Pada peny akit SLE ini terdapat gangguan autoimun multisistem dengan spektrum abnormalitas pada klinis dan laboratoris, termasuk perkembangan autoantibodi melawan DNA dan antig en inti ser ta mol eku l membr an sep ert i fos fol ipid. Ban yak nya antib odi be rbed a yang dapa t di pr od uksi pada pa si en de ngan SLE, menyebab kan manifestasi klinis dengan spektrum yang luas, baik yang tidak mengancam organ maupun mengancam organ (Wallace, 2008). Manifestasi klinik SLE sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Namun kecurigaan akan penyakit ini bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ sebagaimana terantum di bawah ini, yaitu (Sudoyo dkk., 2007): 1. Jender wanita d enga n ren tang usia repro duksi 2. Gejala konsti tusional: kelelahan, demam (t an pa bukt i infeksi) , dan penurunan berat badan 3. Muskuleske letal: arthritis, artralgia, miositis

Upload: aissyiyahn

Post on 12-Jul-2015

263 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

SLE, Systemic Lupus Erythematosus, review kasus

TRANSCRIPT

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 1/17

 

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem

dimana terjadi inflamasi, produksi antibodi, dan ikatan deposisi komplek imun

yang mengakibatkan kerusakan jaringan. SLE terjadi bila faktor predisposisi

genetik diaktivasi oleh faktor lingkungan, obat-obatan, atau agen infeksius

sehingga menyebabkan respon imun yang abnormal. Pada penyakit SLE ini

terdapat gangguan autoimun multisistem dengan spektrum abnormalitas pada

klinis dan laboratoris, termasuk perkembangan autoantibodi melawan DNA dan

antigen inti serta molekul membran seperti fosfolipid. Banyaknya antibodi

berbeda yang dapat diproduksi pada pasien dengan SLE, menyebabkan

manifestasi klinis dengan spektrum yang luas, baik yang tidak mengancam organ

maupun mengancam organ (Wallace, 2008).

Manifestasi klinik SLE sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal

tidak dikenali sebagai SLE. Namun kecurigaan akan penyakit ini bila dijumpai 2

(dua) atau lebih keterlibatan organ sebagaimana terantum di bawah ini, yaitu

(Sudoyo dkk., 2007):

1. Jender wanita dengan rentang usia reproduksi

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan

penurunan berat badan

3. Muskuleskeletal: arthritis, artralgia, miositis

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 2/17

 

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly  atau malar   rash), fotosensitivitas, SLE

membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, dan

vaskulitis

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik

6. Gastrointestinal: mual, muntah, dan nyeri abdomen

7. Paru-paru: pleurisy , hipertensi pulmonal, SLE parenkim paru

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,

hepatomegali)

10. Hematologi: anemia, leukopenia, trombositopenia

11.Neuropskiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organik, mielitis transversa,

neuropati kranial dan perifer 

Pada pasien ini dicurigai SLE karena didapatkan hal-hal berikut:

1. Perempuan berusia 15 tahun

2. Keluhan lemas seluruh badan dan demam

3. Malar rash, fotosensitivitas, vaskulitis

4. Proteinuria 2+

5. Mual, muntah, nyeri abdomen

6. Anemia

Penegakan diagnosis SLE berdasarkan karakteristik gambaran klinis dan

autoantibodi. Kriteria yang saat ini digunakan berdasarkan  American College of 

Rheumatology  (ACR). Adanya kombinasi dari 11 kriteria yang diketahui

kapanpun selama perjalanan penyakit menunjukkan adanya SLE pada pasien

tersebut. Kriteria diagnosa tersebut yaitu (Fauci et al , 2008):

Kriteria Batasan

Ruam malar Eritema menetap, datar, atau menonjol pada malar 

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 3/17

 

eminence 

Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran

keratotik scaling yang melekat dan sumbatan

folikular, parut atrofi dapat ditemukan

Fotosensitivitas Paparan sinar ultraviolet menyebabkan timbulnya

ruam kulit

Ulkus mulut Meliputi ulkus oral dan nasofaringeal

Arthritis Arthritis non erosif pada dua atau lebih persendian

perifer dengan rasa nyeri, bengkak, dan efusi

Serositis Pleuritis atau perikarditis yang dibuktikan dengan

rekaman EKG atau rub atau bukti efusi

Gangguan ginjal Proteinuria > 5 gram/hari atau ≥ 3+ atau cetakan

seluler 

Gangguan neurologi Kejang atau psikosis tanpa penyebab yang lain

Gangguan hematologi Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000/ L) atauɥ  

limfopenia (<1500/ L) atau trombositopeniaɥ  

(<100.000/ L) tanpa disebabkan oleh obat-obatanɥ

Gangguan imunologi Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipidAntibodi antinuclear 

(ANA) positif 

Titer abnormal dari ANA melalui imunofluoresensi

atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun

waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat

Sedangkan pada pasien ini yang didapatkan ialah:

Kriteria Temuan pada Pasien

Ruam malar +

Ruam diskoid -Fotosensitivitas +

Ulkus mulut +

Arthritis Tidak didapatkan arthritis, namun didapatkan

artralgia pada kedua sendi siku, lutut,

pergelangan tangan

Serositis -

Gangguan ginjal Hanya didapatkan proteinuria 2+

Gangguan neurologi -

Gangguan hematologi + (Limfopenia, Limfosit : 0,7x103

), didapatkan

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 4/17

 

anemia defisiensi Fe yang bukan merupakan

kriteria SLE

Gangguan imunologi Anti-dsDNA (+)

Antibodi antinuclear (ANA)

positif 

Belum diperiksa

Dengan demikian pada pasien ini ditemukan 5 dari 11 kriteria ACR

sehingga diagnosa SLE bisa ditegakkan pada pasien ini.

Kelainan ginjal ditemukan pada 50-60% dari semua pasien SLE, dan

tidak jarang merupakan gambaran klinis pertama dan satu-satunya yang akan

mengikuti periode reisi dan eksaserbasi sesuai dengan SLEnya. Manifestasi

klinis lupus nefritis bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan dan

ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam keadaan sindrom nefrotik atau

keadaan darurat medis (sindroma nefritik akut dan syndrome rapidly progressive

glomerulonephritis). Gejala lupus nefritis biasanya berkolerasi baik dengan

tingkat keterlibatan glomerulusnya (Sudoyo dkk., 2007).

Diagnosis klinis lupus nefritis ditegakkan bila pasien SLE terdapat

proteinuri ≥ 1gr/24jam dengan/atau hematuri (>8 eritrosit/lpb) dengan/atau

penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti lupus nefrtis

ditegakkan dengan biopsi ginjal berdasarkan klasifikasi morfologi dari WHO

(Sudoyo dkk., 2007).

Klasifikasi lupus nefritis terutama berdasarkan histologi. Biopsi ginjal

sangat berguna dalam merencanakan terapi saat ini dan jangka panjang. Biopsi

ginjal dibutuhkan untuk mengklasifikasikan pasien secara tepat. Meskipun pasien

lupus dengan proteinuria atau hematuria, tidak dapat langsung disimpulkan

bahwa penyakit yang melatarbelakangi adalah lupus nefritis. Biopsi ginjal dapat

mengidentifikasi lesi lainnya, termasuk komorbiditas dari diabetes mellitus dan

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 5/17

 

hipertensi, nefritis interstitiel akibat obat-obatan, renal vasculitis akibat hepatitis C

(cryoglobulinemia), atau perubahan mikroangipathy (seringkali akibat antibodi

antifosfolipid) (Imboden, et al , 2007).

Berdasarkan manifestasi klinisnya, lupus nefritis dapat diklasifikasikan

menjadi 5 kelas dengan uraian sebagai berikut (Wallace, 2007):

Ke-

las

Pola Deposisi

imun

kompleks

Sedi-

men

Proteinuria

(24jam)

Cr 

serum

Tekanan

darah

Anti

ds-

DNA

C3/

C4

I Nor-

mal

(-) Bland <200 mg N N (-) N

II Mesa-

ngial

Mesangial RBC

atau

Bland

200-500 mg N N (-) N

III Prolife-

ratif 

fokal

dan

seg-

mental

Mesangial,

subendote-

lial±subepi-

telial

RBC,

WBC

200-3500

mg

N – ↑

ringan

N-↑ (+) ↓

IV Prolife-

ratif 

difus

Mesangial,

subendote-

lial±subepi-

telial

RBC,

WBC,

RBC

cast

1000->3500

mg

N -

dialisis

Tinggi (+) –

titer 

tinggi

V Mem-

bra-

nous

Mesangial,

subepitelial

Bland >3000 mg N – ↑

ringan

N (-) –

titer 

mene-

ngah

N

Pada pasien ini didapatkan eritrosit 5-7/lpb, leukosit 11-15 /lpb, protein

Esbach 200 mg/24 jam, kreatinin serum normal (0,85 mg/dl), tekanan darah

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 6/17

 

meningkat (150/120 mmHg), dan anti-dsDNA (+). Meskipun berdasarkan

diagnosis klinis lupus nefritis masih belum terpenuhi, namun berdasarkan gejala

klinisnya termasuk lupus nefritis kelas III atau pola proliferatif fokal dan segmental.

3.2 Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam

penatalaksanaan pasien SLE, terutama pasien yang baru terdiagnosis. Butir-butir 

edukasi yang diperlukan terhadap pasien SLE antara lain (Sudoyo dkk., 2007):

1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya

2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut

3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait

dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat

bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya, maupun pemakaian

kontrasepsi.

4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri

pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah

terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,

mengatasi rasa nyeri

5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan

sebagainya. Perlu suplementasi vitamin dan mineral. Obat-obatan yang

dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis

lainnya termasuk antibiotik

6. Di mana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah

kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE

dan sebagainya

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 7/17

 

Sebelum pasien SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah

pasien tergolong yang memerluka terapi konservatif atau imunosupresif yang

agresif. Pada umumnya pasien SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak

berhubungan dengan kerusakan organ dapat diterapi secara konservatif. Bila

penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka

dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis

tinggi dan imuosupresan lainnya (Sudoyo dkk., 2007).

NSAID merupakan terapi yang efektif untuk gangguan muskuloskeletal

dan keluhan pada pasien SLE. Dari sudut pandang toksisitas gastrointestinal

bersama dengan risiko kardiovaskuler dari NSAID, perlu penggunaan yang

bijaksana dalam selang waktu yang terbatas pada pasien dengan risiko

gangguan gastrointestinal, ginjal, dan kardiovaskuler (Firestein et al., 2008).

Pada pasien ini tidak diberikan NSAID karena terdapat gangguan

gastrointestinal berupa mual, muntah, dan nyeri perut, juga karena sudah

terdapat gangguan pada ginjal berupa proteinuria 2+ dan tekanan darah 150/120

mm Hg.

Antimalaria, terutama hidroksiklorokuin, sering digunakan pada

manifestasi lupus muskuloskeletal dan kutaneus. Obat ini mempunya efek jangka

panjang dalam mencegah flare pada SLE. Beberapa studi juga menunjukkan

efek hidroksiklorokuin pada aktivitas penyakit dan serum kolesterol (Firestein et

al., 2008). Obat-obatan antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus,

baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek

sunblocking , antiinflamasi, dan imunosupresan. Pemberian klorokuin lebih dari 3

bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik

karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina (Sudoyo dkk., 2007).

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 8/17

 

Pasien yang mengonsumsi klorokuin dengan dosis yang sesuai memiliki resiko

terjadinya retinopati kira-kira 10% (Wallace, 2007). Pada pasien ini diberikan

klorokuin 250 mg per hari untuk mengatasi gejala lupus kutaneus dan arthalgia

yang muncul.

Dosis glukortikoid sangat penting diperhatikan bila dibandingkan jenis

glukortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukortikoid

berefek panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pada manifestasi

minor SLE seperti arthritis, serositis, dan gejala konstitusional dapat diberikan

prednisone 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius

seperti vaskulitis, luus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis,

pneumotitis lupus, glumerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemoltik,

trombositopenia sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati,

neuropati perifer, dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi). dapat diberikan

prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprenisolon intravena 1

gram atau 15mg/kgBB/hari selam 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai

pengganti glukortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednisone

oral 1-1,5 mg/kgBB/hari. Respon terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi

dapat juga dalam waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Toksisitas SLE

merupakan prolem tersendiri alam penatalaksanaan SLE. Setelah pemberian

glukortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus dilakukan penurunan

dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul

eksaserbasi akut. Setelah dosis prednisone mencapai 30 mg/hari maka

penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis

prednisone dinaikkan ke dosis efektif sebelumnya sampai beberapa minggu,

kemudian dicoba diturunkan kembali (Sudoyo dkk., 2007).

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 9/17

 

Berikut ini adalah regimen terapi glukokortikoid (Wallace, 2007):

Regimen Indikasi Efeks Samping TerseringPulse GC (PGC):

250 mg

PDNeq/hari 1-5

hari. 0,5-1 g

MP/hari IV 1-3

hari, setiap bulan

sesuai indikasi

Biasanya dengan

GC oral (30-60

mg PDNeq/hari).

Komplikasi yang

mengancam jiwa/organ

(contoh RPGN,

myelopathy, severe

acute confusional state,

pendarahan alveolar,

vasculitis, optic neuritis)

HDGC-refractory

Disease

DPGN atau severe

FPGN

Sama dengan HDGC (lihat

bawah),tetapi secara keseluruhan efek

samping mungkin rendah, sebagian

karena dosis oral GC bisa ditapering

lebih cepat.

perlu perhatian khusus karena dosis

yang besar : kelebihan cairan,

hipertensi, gejalaneuropsikiatrik.

Jarang: aritmia-kematian mendadak,

myalgias/arthralgia, kejang, cegukan

yang keras, GC-anafilaksis

Very High Dose

GC (VHDGC):

>100 mg

PDNeq/hari,

IV/PO (dimulai

dengan dosis

terbagi)

Komplikasi yang

mengancam organ/jiwa

Sama tetapi lebih parah dari psikosis

HDGC

resiko terjadinya infeksi yang parah

meningkat (hindari penggunaan lebih

dari 1-2 minggu)

High Dose GC

(HDGC): >30 mg

dan>100 mg

PDNeq/hari,

IV/PO

DPGN atau FPGN yang

parah (kurang dari 6-8

minggu) 

Thrombocytopenia/hem

olytic anemia

Acute lupus

pneumonitis, lupus crisis

Efek samping yang sama pada HDGC

dan MDGC tetapi insiden dan

keparahannya lebih rendah

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 10/17

 

Moderate Dose

GC (MDGC):

>7.5 mg dan30

mg PDNeq/hari,

IV atau PO

SLE kambuhan sedang

(contoh miositis, severe

pleurisy,

ophthalmoplegia [kecuali

optic neuritis],

trombositopenia)

dengan PGC, atau

CY/AZA untuk penyakit

yang parah

Supresi HPA-axis, Cushing sindrom,

hipertensi, hipokalemia, hiperglikemia,

hiperlipidemia, aterosklerosis

osteoporosis, osteonekrosis ,

resikoinfeksi, retardasi pertumbuhan

tulang, glaucoma, katarak, kulit yang

mudah rapuh, jerawat, insomnia,

steroid psikosis, perubahan suasana

hati yang cepat berubah, dll.

Low Dose GC

(LDGC): 7.5 mg

PDNeq/hari, PO

Arthritis, gejala

konstitusional yang

sedang (tidak berespon

dengan

analgesik/NSAID/Antima

laria).

general

lymphadenopathy

dosis pemeliharaan

Toksis harian kecil. Katarak, gejala

putus Glucocortikoid (tapering sampai

ke /di bawah LDGC), retardasi

pertumbuhan tulang bisa terjadi.

Kemungkinan minimal osteoporosis,

osteonekrosis, supresi HPA-axis.

Alternate Day

GC (ADGC)

Membranous nephritis

dengan sindroma

nefrotik (120 mg

PDNeq)

selama tapering dosis

GC.

Dosis pemeliharaan

(misal 15 mg dosis

Penurunan efek samping (contoh

supresi HPA-axis, skeletal

retardasi pertumbuhan, infeksi,

Cushing syndrome) bila

dibandingkan regimen harian

osteoporosis dapat terjadi.

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 11/17

 

ekuivalen prednisone

untuk GN)• AZA, azatioprin; CY, Siklofosfamid, LN, lymphadenopathy; MP,

methylprednisolone; ON, osteonekrosis, OP, osteoporosis; PDNeq,

prednisone equivalent; RPGN, rapidly progressive glomerulonephritis: FPGN,

Focal proliferative glomerulonephritis; AM, Antimalaria.

• Dosis diasumsikan pasien dengan berat badan 60 kg, penyesuaian

diperlukan pada pasien dengan berat badan berbeda

Pada pasien ini diberikan terapi agresif glokortikoid high dose berupa

metilprednisolon 2 x 16 mg yang setara dengan prednison 40mg/hari..

Metilprednisolon dipilih sebagai terapi glukortikoid untuk meminimalisir efek

samping karena pada pasien ini memiliki tekanan darah 150/120 mmHg.

Diberikan glukortikoid high dose karena pada pasien ini didapatkan manifestasi

vaskulitis dan sudah mulai ada kelainan ginjal (proteiuria 2+) meskipun masih

belum memenuhi kriteria lupus nefritis. Setelah 6 minggu dan kondisi pasien

mulai stabil (flare sudak membaik), dosis ini bisa ditapering 2 mg/minggu bila

tidak timbul eksaserbasi akut.

Sedangkan terapi sitotoksik pada SLE diberikan dengan indikasi khusus,

yaitu (Firestein et al., 2008):

UMUM

Keterlibatan organ mayor atau organ non mayor yang ekstensif (misal kulit) yang

refrakter terhadap terapi lini pertama

Kegagalan respon atau ketidakmampuan untuk menurunkan kortikosteroid ke

dosis yang bisa diteria untuk penggunaan jangka panjang

Keterlibatan organ spesifik

Ginjal:

Proliferative or membranous nephritis

Hematologik:

Trombositopenia berat (trombosit <20 × 103/μL)

Thrombotic thrombocytopenic purpura–like syndrome

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 12/17

 

Anemia hemolitik atau aplastik berat atau neutropenia imun yang tidak berespon

terhadap kortikosteroid

Pulmonary:

Lupus pneumonitis atau perdarahan alveolar 

Jantung:

Miokarditis dengan penurunan fungsi ventrikel kanan, perikarditis dengan

impending tamponade

Gastrointestinal:

Vaskulitis abdominal

Sistem saraf:

Myelitis transversa, cerebritis, psikosis refrakter terhadap kortikosteroid,

mononeuritis multiplex, neuropati perifer berat

Berikut ini adalah obat-obatan sitotoksik yang digunakan pada terapi SLE

(Firestein et al., 2008):

Obat Dosis

Jenis

Toksisitas Evaluasi

Pemantauan

Laboratorium

Azatioprin 50-100

mg/hari

dalam 1-3

dosis

dengan

makanan

Mielosupresi,

hepatotoksik,

gangguan

limfoproliferatif 

Darah tepi

lengkap,

kreatinin,

AST/ALT

Darah tepi

lengkap setiap 2

minggu dengan

perubahan

dosis; baseline

tests setiap 1-3

bulan

Mikofenolat

Mofetil

1-3 g/hari

dibagi dalam

Mielosupresi,

hepatotoksik,

Darah tepi

lengkap,

Darah tepi

lengkap setiap

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 13/17

 

Obat Dosis

Jenis

Toksisitas Evaluasi

Pemantauan

Laboratorium2 dosis

dengan

makanan

infeksi kreatinin,

AST/ALT

1-2 minggu

dengan

perubahan

dosis; baseline

tests setiap 1-3

bulanSiklofosfamid 50-150

mg/hari

dosis

tunggal saat

sarapan;

Mielosupresi,

sistitis hemorgik,

gangguan

limfoproliferatif,

keganasan

Darah tepi

lengkap,

kreatinin,

AST/ALT,

urinalisis

Darah tepi

lengkap dengan

hitung jenis

setiap 1-2

minggu dengan

perubahan dosis

dan kemudian

setiap 1-3 bulan;

  jaga leukosit

>4000/mm3

dengan

penyesuaian

dosis; urinalisis

dan AST atau

ALT setiap 3

bulan; urinalisis

setiap 6-12

bulan setelah

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 14/17

 

Obat Dosis

Jenis

Toksisitas Evaluasi

Pemantauan

Laboratoriumberhenti

Metrotreksat 7.5-15

mg/minggu

dalam 1-3

dosis

dengan

makanan

atau air/susu

Mielosupresi,,

hepatik fibrosis,

pneumonitis

Foto thorax,

serologi

hepatitis B dan

C pada pasien

dengan risiko

tinggi, AST

atau ALT,

albumin,

alkaline

phosphatase

dan kreatinin

Darah tepi

lengkap, AST,

albumin,

kreatinin setiap

1-3 bulan

Siklolsporin 100-400

mg/hari

dalam 2

dosis pada

saat yang

bersamaan

setiap hari

saat makan

atau antara

makan

Gangguan

fungsi ginjal,

anemia,

hipertensi

Darah tepi

lengkap,

kreatinin,

asam urat, tes

fungsi hati,

tekanan darah

Kreatinin setiap

2 minggu

sampai dosis

stabil, kemudian

setiap bulan;

darah tepi

lengkap, kalium,

dan tes fungsi

hati setiap 1-3

bulan; level

siklosporin bila

digunakan dosis

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 15/17

 

Obat Dosis

Jenis

Toksisitas Evaluasi

Pemantauan

Laboratoriumtinggi

Siklofosfamid (alkylating agent ) maupun mikofenolat mofetil (inhibitor 

relatif limfosit-spesifik inosine monophosphatase dan sintesa purin) merupakan

pilihan yang dapat diterima sebagai induksi perbaikan pada pasien yang sakit

berat. Azatioprin ( purine analogue dan cycle-specific antimetabolite) dapat efektif 

namun lebih lambat dalam menimbulkan respon (Fauci, 2008).

Pada pasien dengan biopsi ginjal yang menunjukkan kelas III atau IV,

terapi awal dengan kombinasi glukokortikoid dan siklofosfamid mengurangi

perburukan ke ESRD (End Stage Renal Disease) dan memperbaiki survival.

Suatu studi jangka pendek dengan dengan menggunakan glukortikoid dan

mikofenolat mofetil menunjukkan regimen tersebut lebih aman dan tidak lebih

inferior daripada siklofosfamid dalam menunjukkan perbaikan, dan mikofenolat

mofetil atau azatioprin lebih aman daripada siklofosfamid dalam menjaga

perbaikan setelah 6 bulan fase induksi (Fauci, 2008). Siklofosfamid dapat

menyebabkan  prolong amenorrhea karena  premature ovarian failure yang dapat

menyebabkan infertilitas (Saoji, 2008).

Siklofosfamid tidak digunakan pasien ini karena pasien masih berusia 15

tahun, belum menikah dan belum memiliki anak sehingga disarankan

penggunaan obat lain yang tidak menimbulkan resiko infertilitas. Mofetil

mikofenolat tidak menjadi pilihan karena harganya mahal dan tidak ditanggung

oleh Jamkesmas. Oleh karena itu pada pasien ini diberikan azatriopin 2 x 50 mg.

Azatioprin yang ditambahkan pada glukokortikoid dapat menurunkan jumlah flare

SLE dan memelihara kebutuhan glukokortikoid (Fauci, 2008).

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 16/17

 

DAFTAR PUSTAKA

Imboeden J, et al. 2007. Current Diagnosis and Treatment  Rheumatology. 2nd

Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc

Fauci AS, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine: 17th Edition. The

McGraw-Hill Companies, Inc

Firestein GS, et al. 2008. Kelley's Textbook of Rheumatology . 8th Edition.

Elsevier, Inc

Madhok R. and Wu O. Systemic Lupus Erythematosus. British Medical Journal,

Clinical Evidence 2009, 07: 1123

5/11/2018 RESPONSI SLE BAB III - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/responsi-sle-bab-iii 17/17

 

Saoji VA. Prmature Ovarian Failure due to Cyclophosphamide: A Report of Four 

Cases in Dermatology Practice. Indian Journal of Dermatology,

Venereology and Leprology. 2008; 74: 128-132

Wallace DJ, Hahn BH. 2007. Dubois’ Lupus Erythematosus. 7th Edition.

Lippincott: Williams & Wilkins.

Wallace, DJ. 2008. Lupus The Essential Clinician’s Guide. Oxford University

Press