respiratory system

Upload: geulissaddini

Post on 17-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

respirasi

TRANSCRIPT

  • CASE 1

    TUTORIAL D2

    DISUSUN OLEH :

    1. PUTRI ANGGRAENI K. 121.0211.019

    2. AVIRIGA SEPTA 121. 0211.148

    3. GESTI CHAIRUNISA 121. 0211. 039

    4. AYULITA HANA F. 121. 0211. 046

    5. AYU TIARA N. 121. 0211. 190

    6. RAHAYU PURNAMA 121. 0211. 017

    7. SARAH JIHAN 121. 0211. 186

    8. TRI HARTANTO 121. 0211. 135

    9. GEULISSA ADDINI 121. 0211. 194

    10. BIMA SENA 111. 0211. 033

    11. ILHAM PRIBADI 111. 0211. 195

    UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    JAKARTA

  • KATA PENGANTAR

    Assalamualaikum wr. wb.

    Salam sejahtera bagi umatnya.

    Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat

    dan karunia-Nya, kami berhasil menyelesaikan makalah tutorial Case I ini meliputi Basic science

    dan kelainan kongenital. Kami pun mengucapkan terima kasih kepada dr. Riza, selaku tutor pada

    tutorial kami, yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga makalah ini dapat

    diselesaikan tepat pada waktunya.

    Makalah ini adalah sebuah intisari dari hal-hal yang telah kita pelajari selama tutorial

    berlangsung. Makalah ini dibuat supaya kita dapat mengerti lebih dalam tentang bahasan kita

    dalam tutorial dan sebagai acuan pembelajaran bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat

    bermanfaat bagi kita semua dan dapat diambil hikmahnya.

    Kami sadar makalah ini masih jauh dari sebuah kata kesempurnaan, namun mudah-

    mudahan kita semua dapat mengambil semua ajaran yang terdapat di dalamnya. Kami

    mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.

    15 Februari 2014

    Penyusun

  • Case

    Mengamati kehamilan bibinya, Fahira seorang siswi SLTA, bertanya kepada anda sebagai

    mahasiswa kedokteran tentang tumbuh kembang bayi. Dia ingin mengetahui bagaimana janin

    dapat bernafas, kapan dan bagaimana pembentukan system pernafasan. Fahira juga ingin

    mengetahui tentang struktur sel di system pernafasan.

    Fahira mendapatkan kabar kalau adik sepupunya meninggal beberapa saat setelah

    dilahirkan. Menurut bibi fahira, bayinya tidak menangis saat dilahirkan. Dokter yang menolong

    menyatakan ini merupakan persalinan premature dan bayi mengalami distress pernafasan.

    Sebagai anak sekolah, fahira mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Saat ini, dia

    menanyakan kepadamu mengapa bayi itu tidak menangis saat dilahirkan. Dan dia ingin tahu

    bagaimana bayi dapat bernafas untuk pertama kali.

    Fahira pernah membaca artikel tentang kelainan congenital system respirasi dan gangguan

    pernafasan pada bayi baru lahir. Tetapi dia belum sepenuhnya memahami, fahira menghubungi

    kamu untuk menanyakan beberapa hal seperti apakah perbedaan dan persamaan

    Bronchopulmonary dysplasia dan hyaline membrane disease.

  • Alur Pikir

    System Respirasi

    Anatomi

    Embriologi Patologi

    Histology

    Penyakit Kongenital

    HMD BPD

    Factor Resiko

    Epidemiologi Etiologi Definisi

    Tanda dan Gejala

    Patofisiologi

    Tata Laksana

  • ANATOMI

    AnatomiHidung

    Ada 3 strukturpentingdarianatomihidung, yaitu :

    1. Dorsum nasi (batanghidung).

    2. Septum nasi.

    3. Kavumnasi.

    DorsoNasi

    Ada 2 bagian yang membangun dorsum nasi, yaitu :

    1. Bagian kaudal dorsum nasi.

    2. Bagian kranial dorsum nasi.

    Bagian kaudal dorsum nasi merupakan bagian lunak dari batang hidung yang tersusun oleh

    kartilago lateralis dan kartilago alaris. Jaringanikat yang keras menghubungkan antara kulit

    dengan perikondrium pad akartilago alaris.

    Bagian kranial dorsum nasi merupakan bagian keras dari batang hidung yang tersusun oleh

    os.nasalis kanan & kiri dan prosesus frontalis os.sismaksila.

    Septum Nasi

    Fungsi septum nasi antara lain menopang dorsum nasi (batanghidung) dan membagi dua kavum

    nasi.

    Ada 2 bagian yang membangun septum nasi, yaitu :

    1. Bagian anterior septum nasi.

    2. Bagian posterior septum nasi.

  • Bagian anterior septum nasi tersusun oleh tulang rawanya itu kartilago quadra angularis.

    Bagian posterior septum nasi tersusun oleh lamina perpendikularis os.ethmoidalis dan vomer.

    Kelainan septum nasi yang paling sering kita temukan adalah deviasi septi.

    KavumNasi

    Ada 6 batas kavum nasi, yaitu :

    1. Batas medial kavum nasi yaitu septum nasi.

    2. Batas lateral kavum nasi yaitu konka nasi superior, meatus nasi superior,

    konka nasi medius, meatus nasimedius, konka nasi inferior, dan meatus nasi inferior.

    3. Batas anterior kavum nasiyaitu nares (introituskavumnasi).

    4. Batas posterior kavum nasi yaitu koane.

    5. Batas superior kavum nasi yaitu lamina kribrosa.

    6. Batas inferior kavum nasi yaitu palatum durum.

    Sinus Paranasalis

    Ada 2 golonganbesar sinus paranasalis, yaitu :

    * Golongan anterior sinus paranasalis, yaitu :

    a. sinus frontalis,

    b. sinus ethmoidalis anterior, dan

    c. sinus maksilaris.

    * Golongan posterior sinus paranasalis, yaitu :

    a. sinus ethmoidalis posterior dan

    b. sinus sfenoidalis.

    Ostia golongan anterior sinus paranasalis berada di meatus nasi medius.

    Ostia golongan posterior sinus paranasalis berada di meatus nasi superior. Pus dalam meatus nasi

    medius akan mengalir kedalam vestibulumnasi. Pus dalam meatus nasi superior akan mengalir

    kedalam faring.

  • Anatomi Faring

    Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang

    bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas

    dan sempit di bagian bawah. Keatas, faring

    berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,

    kedepan berhubungan dengan rongga mulut melalui

    isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah

    berhubungan melalui adituspharyngeus, dan kebawah

    berhubungan esofagus. Faring terdiriatas:

    1. Nasofaring

    Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa struktur penting,

    seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantong Rathke,

    choanae, foramen jugulare, dan muara tuba Eustachius.

    Batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana. Kelainan kongenital koana salah

    satunya adalah atresia choana.

    Struktur Nasofaring :

    1. OstiumFaringeum tuba auditivamuaradari tuba auditiva

    2. Torus tubarius, penonjolan di atasostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena

    cartilago tuba auditiva

    3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena

    musculus levator velipalatini.

    4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius

    5. Plicasal pingo pharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari

    musculus salphing opharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva

    terutama ketika menguapa tau menelan.

  • 6.Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi

    Nasopharingeal Carcinoma.

    7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada

    pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.

    8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.

    9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing

    karena musculus sphincter palato pharing

    10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffa epharingei

    2. Orofaring

    Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsilaris,

    arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.

    a. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik

    faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.

    b. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah

    keluar bila terjadi abses.

    c. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dan

    ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil

    palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.

    Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus

    biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan

    3. Laringofaring

    Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta fossa piriformis.

    Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara, dan

    untuk arti kulasi.

    AnatomiSaluranNafasAtas

    (Laring)

  • Laring merupakan lanjutan bagian

    bawah orofaring dan bagian atas trachea.

    Disebelah atas laring terletak tulang

    hyoid dan akar lidah. Otot leher terletak

    didepan laring dan dibelakang laring

    terletak laringofaring dan vertebra

    servikalis. Pada sisi lain terdapat lubang

    kelenjar tiroid. Laring disusun oleh

    beberapa tulang rawan tidak beraturan

    yang dipersatukan oleh ligament dan

    membrane-membran.

    Tulang rawan tiroid dibentuk oleh dua lempeng tulang rawan datar yang digabungkan bersama

    ke bagian depan untuk membentuk tonjolan laryngeal atau adams apple (buahjakun). Disebelah

    atas tonjolan laring tersebut terdapat suatu noktahtiroid. Tulang rawan tiroid pada pria lebih

    besar dari pada wanita. Bagian atas dilapisi oleh epitel berjenjang dan bagian bawahnya oleh

    epitel bersilia.

    Tulang rawan krikoideus terletak dibawah tulang rawan tiroid dan berbentuk seperti suatu cincin

    bertanda pada bagian belakangnya. Tulang tersebut membentuk dinding lateral dan posterior

    laring dan dilapisi oleh epitel bersilia.

    Epiglotis adalah tulang rawan berbentuk daun yang terikat pada bagian dalam bagian depan

    dinding tulang rawan tiroid, dibagian bawah noktah tiroid. Selama proses menelan, laring

    bergerak ke arah atas dan kearah depan, sehingga laring yang terbuka tersebut dapat ditahan oleh

    epiglottis.

    Tulang rawan aritenoid adalah sepasang piramida kecil yang dibentuk oleh tulang rawan

    hialin.Tulang rawan ini terletak pada ujung atas sebelah luar tulang rawan krikoideus dan

    ligament suara menyatu pada tulang rawan tersebut. Tulang rawan ini membentuk dinding

    posterior laring.

    Tulang hyoid dan tulang rawan laringeus digabungkan oleh ligament dan membrane. Salah

    satunya ialah membrane krikotiroid, sekelilingnya menyatu dengan sisi atas tulang rawan krikoid

    dan memiliki batas sebelah atas yang bebas, yang tidak sirkular seperti batasan sebelah bawah,

    tetapi membentuk dua garis paralel yang melintas dari depan ke belakang. Kedua batasan parallel

  • tersebut adalah ligament suara (vocal ligament). Mereka terikat pada bagian tengah tulang rawan

    tiroid disebelah depan dan pada tulang rawan aritenoid pada bagian belakang dan mengandung

    banyak jaringan elastic. Ketika otot intrinsic lain menggantikan posisi tulang rawan aritenoid,

    ligament suara ditarik bersama, menyempitkan celah diantara mereka. Apabila udara digerakkan

    melalui celah sempit yang disebut chink selama ekspirasi, ligament suara bergetar dan

    menghasilkan bunyi. Nada dari bunyi yang dihasilkan tergantung pada panjang dan kekencangan

    ligament. Tekanan yang meningkat menghasilkan not yang lebih tinggi sedangkan tekanan yang

    lebih kendur menghasilkan not yang lebih rendah. Suara bergantung kepada tenaga yang

    menyebabkan udara terhisap. Perubahan suara menjadi kata-kata yang berbeda tergantung pada

    gerakan mulut, lidah, bibir dan otot muka.

    ANATOMI SISTEM RESPIRASI

    Saluran nafas terbagi menjadi 2, yaitu :

    - saluran nafas atas :

    hidung --> faring (nasofaring --> orofaring --> laringofaring).

    - saluran nafas bawah :

    laring --> trachea --> bronkus

    (primer, sekunder, tersier) --> bronchiolus

    --> alveolus.

    TRACHEA

  • Trachea adalah sebuah pipa silinder atau tabung yang terdiri dari cincin-cincin tulang

    rawan yang berbentuk seperti huruf "C".

    Jumlah cincin : 16 - 20 buah.

    Ukuran : Panjang 13 cm, diameter 2,5 cm.

    Bagian :

    - Cincin tulang rawan : menjaga rongga trachea tetap terbuka.

    - Otot trachealis : sambungan antara ujung-ujung cincin tulang rawan.

    - Pseudostartified ciliated columnar epithelium : mengandung sel goblet untuk

    menghasilkan mukus.

    - Lumen trachea : tempat mengalirnya udara.

    Batas - batas :

    - superior : laring.

    - posterior : esofagus.

    - sinistra : aorta.

    - dextra : nervus vagus.

    - inferior : bronchus.

  • BRONCHUS

    Bronchus Primer, ada 2 jenis :

    Bronchus primer dextra, karakteristik :

    - lebih lebar, jarak ke trakea lebih pendek, dan posisi nya lebih curam.

    - karena itu lah jika ada benda asing yang terhirup akan lebih sering tersangkut di

    bagian kanan.

    Brinchus primer sinistra, karakteristik :

    - lebih langsing, jarak ke trachea lebih jauh, dan posisinya lebih landai.

  • Bronchus sekunder (lobaris) :

    A. Bronchus sekunder kanan, ada 3 jenis :

    - lobus superior

    - lobus media

    - lobus inferior

    B. Bronchus sekunder sinistra, ada 2 jenis :

    - lobus superior

    - lobus inferior

    Bronchus tersier (segmental) :

    A. Bronchus tersier kanan, ada 10 jenis :

    - lobus superior :

    segmental apicale, posterius, anterius.

    - lobus media :

    segmental lateral, mediale.

    - lobus inferior :

    segmental superius, basal lateral, basal anterius, basal medial, basal lateral.

    B. Bronchus tersier sinistra, ada 8 jenis :

    - lobus superior :

    segmental apicoposterius, anterius, lingurale superius, lingulare interius.

    - lobus inferior :

    segmental superius, basal anterius, basal medial, basal lateral, basal posterius.

    BRONCHIOLUS

  • bronchiolus adalah saluran terkecil yang berujung pada bronchiolus terminalis.

    fungsi : menghubungkan ke tempat pertukaran.

    tidak memiliki cincin tulang rawan, hanya memiliki otot polos.

    respiratory bronchioles termasuk tempat pertukaran.

    ALVEOLUS

  • alveolus adalah tempat pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida.

    komponen :

    - alveoli : tempat pertukaran gas yang dikelilingi oleh arteriol dan venula.

    - alveolar sac : kantung yang merupakan gabungan dari alveoli - alveoli.

    - alveolar duct : saluran yang menghubungkan bronchiolus dan alveoli.

    alveolus memiliki sel yang menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan

    dinding alveoli, sehingga mencegah paru-paru kolaps

    THORAX

  • Thorax terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : dinding thorax dan rongga thorax.

    Dinding Thorax (bagian permukaan dari thorax)

    tersusun oleh :

    12 vertebrae thoracal.

    12 costae, terdiri dari :

    - 7 costae sejati (costae 1 - 7).

    karena tulang iga secara langsung menghubungkan vertebrae dengan sternu,

    - 3 costae palsu (costae 8 - 10).

    karena tulang iga tidak secara lamgsung menempel ke sternum, namun

    menempel pada tulang iga diatasnya.

    - 2 costae melayang (costae 11 - 12).

    karena tulang iga hanya menempel pada vertebrae dan tidak menempel pada

    sternum maupun iga diatasnya.

    sternum, terdiri dari :

    - manubrium sterni :

    bagian yang terletak paling atas, dan memiliki bagian yang tebal karena

  • terdapat incisura jugularis.

    - corpus :

    bagian yang terletak di tengah, dan terdapat persambungan antara corpus dan

    manubrium sterni yang dinamakan angulus ludovici.

    - proceccus xiphoideus :

    bagian yang terletak paling bawah, dan berbentuk lancip seperti pedang.

    Rongga Thorax (bagian yang diisi organ-organ thorax)

    Rongga thorax terdiri dari :

  • Bagian lateral : yang di tempati oleh paru - paru.

    Bagian mediastinum : yang di tempati oleh organ selain paru.

    (ada 3 bagian anterior, medius, posterior).

    HISTOLOGI

    Histologi sistem pernapasan. Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk

    mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk

    mempertahankan homeostasis. Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari

    rongga hidung/mulut hingga ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan

    karbondioksida dengan pembuluh darah. Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:

    1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan

    bronkiolus terminalis.

    2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.

  • saluran pernapasan, secara umum dibagi menjadi pars konduksi dan pars respirasi

    Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris bersilia

    dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5 macam sel

    epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal, dan

    sel granul kecil.

    epitel respiratorik berupa epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet

    Rongga hidung

    Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat

    kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel

    respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh

    septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing

    dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka

    superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel

    olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar

    dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai

    reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal(berbentuk

    piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret

    yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui

  • zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap

    udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih

    jauh.

    epitel olfaktori, khas pada konka superior. Sinus paranasalis terdiri atas sinus frontalis, sinus

    maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan

    rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan

    mengandungsel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikitkelenjar

    kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke

    rongga hidung.

    Faring

    Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole,

    sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.

    Laring

    Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring

  • terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya

    makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari

    tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan

    apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh

    epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran

    mukosa dan serosa. Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke

    dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang

    terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati

    yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis

    (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang

    berbeda-beda.

    epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para pars laringeal berupa

    epitel respiratori Trakea. Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa

    pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung

    bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan

    sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong partikel

    asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada

    ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat

    ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan

    mencegah distensi berlebihan.

  • epitel trakea dipotong memanjang

    epitel trakea, khas berupa adanya tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda ("c-shaped")

    Bronkus

    Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina propria yang

    mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot polos. Tulang rawan pada

    bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus yang lebih besar,

    cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan dengan mengecilnya garis tengah

    bronkus, cincin tulang rawan digantikan oleh pulau-pulau tulang rawan hialin.

    Epitel bronkus

    Bronkiolus

    Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya. Lamina propria

    mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel goblet

    dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat silindris

    bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi epitel selapis silindris

    bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada

    epitel bronkiolus terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang memiliki granul sekretori dan

    mensekresikan protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan neuroepitel yang

  • kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.

    epitel bronkiolus terminalis, tidak ditemukan adanya tulang rawan dan kelenjar campur pada

    lamina propria

    Bronkiolusrespiratorius

    Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan mukosa bronkiolus terminalis,

    kecuali dindingnya yang diselingi dengan banyak alveolus. Bagian bronkiolus respiratorius

    dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel

    bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1. Semakin ke distal alveolusnya semakin

    bertambah banyak dan silia semakin jarang/tidak dijumpai. Terdapat otot polos dan jaringan ikat

    elastis di bawah epitel bronkiolus respiratorius.

    Duktusalveolaris

    Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak terdapat muara alveolus,

    hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang disebut sebagai duktus alveolaris. Terdapat

    anyaman sel otot polos pada lamina proprianya, yang semakin sedikit pada segmen distal duktus

    alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen. Duktus alveolaris bermuara ke atrium

    yang berhubungan dengan sakus alveolaris. Adanya serat elastin dan retikulin yang mengelilingi

    muara atrium, sakus alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus mengembang sewaktu

    inspirasi, berkontraksi secara pasif pada waktu ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya

    pengembangan secara berlebihan dan pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan septa alveolar

  • yang tipis.

    bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris dan alveoli

    Alveolus

    Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara

    udara dan darah. Septum interalveolar memisahkan dua alveolus yang berdekatan, septum

    tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis dengan kapiler, fibroblas, serat elastin, retikulin,

    matriks dan sel jaringan ikat. Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan

    alveolus, fungsinya untuk membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas dengan

    mudah. Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik yang berperan dalam

    penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2) dan pembuangan partikel

    kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1 dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang

    mencegah perembesan cairan dari jaringan ke ruang udara. Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara

    sel alveolus tipe 1, keduanya saling melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2

    tersebut berada di atas membran basal, berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti

    dirinya sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini memiliki ciri mengandung badan lamela yang

    berfungsi menghasilkan surfaktan paru yang menurunkan tegangan alveolus paru.

    Septum interalveolar mengandung pori-pori yang menghubungkan alveoli yang bersebelahan,

    fungsinya untuk menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan memudahkan sirkulasi

    kolateral udara bila sebuah bronkiolus tersumbat.

  • alveolus

    Sawar darah udara dibentuk dari lapisan permukaan dan sitoplasma sel alveolus, lamina basalis,

    dan sitoplasma sel endothel.

  • sawar udara-kapiler

    Pleura

    Pleura merupakan lapisan yang memisahkan antara paru dan dinding toraks. Pleura terdiri atas

    dua lapisan: pars parietal dan pars viseral. Kedua lapisan terdiri dari sel-sel mesotel yang berada

    di atas serat kolagen dan elastin

    EMBRIOLOGI

    Sistem pernapasan merupakan pertumbuhan keluar dinding ventral usus depan, dan epitel

    laring, trachea, bronchus, serta alveoli berasal dari endoderm. Unsur tulang rawan dan otot

    berasal dari mesoderm splanknik. Dalam perkembangan minggu ke-4, trachea terpisah dari usus

    depan oleh septum oesofagotrachealis, sehingga membagi usus depan menjadi tunas pernapasan

    di sebelah anterior dan esophagus di sebelah posterior. Hubungan antara keduanya tetap

    dipertahankan melalui laring, yang terbentuk dari jaringan lengkung insang ke-4 dan ke-6. Tunas

    paru berkembang menjadi dua bronchus utama: bronchus kanan membentuk dua bronchi

    sekunder dan tiga lobus; bronchus kiri membentuk dua bronchi sekunder dan dua lobus.

    Kesalahan pemisahan usus depan oleh septum esfagotrakeal menimbulkan atresia esofagus dan

    fistula trakeoesofagus.

    Sesudah tahap pseudoglandular (5-16 minggu) dan tahap kanalikuler (15-26 minggu), sel-

    sel bronkioli yang dilapisi sel kubus, berubah menjadi sel-sel tipis, gepeng, sel epitel alveolus

    tipe I, berhubungan erat dengan kapiler darah dan getah bening. Dalam bulan ke-7, pertukaran

    gas antara darah dan udara di dalam alveolus sederhana sudah bisa terjadi. Sebelum lahir, paru-

    paru terisi oleh cairan yang mengandung sedikit protein, sedikit lendir, dan surfaktan. Zat ini

    dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II dan membentuk lapisan pelindung fosfolipid

    pada membrane alveolus. Pada saat pernapasan mulai, cairan paru diserap kembali, kecuali

    lapisan pelindung surfaktannya, yang mencegah menguncupnya alveoli pada ekspirasi dengan

    menurunkan tegangan permukaan pada interface udara-kapiler darah. Tidak ada atau kurangnya

    jumlah surfaktan pada bayi premature menyebabkan RDS karena menguncupkan alveoli

    primitive (penyakit membrane hialin).

  • Pertumbuhan paru-paru setelah lahir terutama disebabkan oleh

    bertambahnya jumlah bronkiolus respiratorius dan alveoli, dan bukan karena bertambah

    besarnya ukuran alveoli. Alveoli baru akan terbentuk selama 10 tahun pertama kehidupan

    pascalahir.

    1.Tunas paru terbentuk pada usia 4 minggu.

    2. Dibentuk dari suatu divertikulum pada dinding ventral usus depan, yang meluas ke arah

    kaudal (divertikulum respiratorium=tunas paru).

    3. Mulamula tunas paru mempunyai hubungan terbuka dengan usus depan, selanjutnya terpisah

    menjadi bagian dorsal yaitu esofagus dan bagian ventral yaitu trakea dan tunas paru.

    4. Saat pemisahan dengan usus depan, tunas paru

    membentuk trakea dan tunas bronkialis.

    5. Pada awal minggu ke5 masingmasing tunas membesar membentuk bronkus utama kiri dan

    kanan.

    6. Bronkus utama kiri membentuk dua cabang sekunder dan kanan membentuk tiga cabang

    sekunderkiri dua lobus dan kanan tiga lobus.

  • 7. Tunas paru berkembang terus menembus ke dalam rongga selom (kanalis

    perikardioperitonealis).

    8. Akhirnya kanalis perikardioperitonealis terpisah dengan rongga peritoneum dan perikardium

    masingmasing oleh lipatan pleuroperitoneal dan lipatan pleuroperikardial Tersisa rongga

    pleura primitifberkembang menjadi pleura visceralis (mesoderm) dan pleura parietalis

    (mesoderm somatik).

    9. Perkembangan selanjutnya bronkus sekunder terus bercabang secara dikotomi, membentuk

    10 bronkus tersier (segmental) di kanan dan 8 di kiri.

    10. Akhir bulan ke6 terbentuk 17 generasi anak cabang.

    11. Pasca lahir terbentuk 6 anak cabang tambahan.

    12. Saat lahir bifurcatio trakea akan terletak berhadapan dengan V.thoracalis ke4.

    13. Sampai bulan ke7 prenatal bronkioli terus bercabang menjadi saluran yang lebih banyak dan

    lebih kecil (tahap kanalikular), dan suplai darah terus meningkat.

    14. Pernapasan dapat berlangsung jika beberapa sel bronkiolus

    respiratorius berbentuk kubus berubah menjadi sel gepeng yang

    tipis.

    15. Sel tersebut berhubungan dengan banyak kapiler darah dan getah bening, ruangruang di

    sekitarnya dikenal sebagai sakus terminalis(alveoli primitif).

    16. Selama bulan ke7 telah terdapat banyak kapiler yang menjamin pertukaran gas sehingga

    janin prematur dapat bertahan hidup.

    17. Selama dua bulan prenatal dan beberapa tahun pasca lahir jumlah sakus terminalis terus

    meningkat. Terdapat dua jenis sel epitel : Sel e dapat je s se ep te Se epitel alveoli tipe I dan sel

    epitel alveoli tipe II.

    18. Sel epitel alveoli tipe I, membentuk sawar darahudara dengan endotel. Sel epitel alveoli tipe

    II menghasilkan surfaktan (berkembang pada akhir bulan ke6), suatu cairan kaya fosfolipid dan

    mampu menurunkan tegangan permukaan pada antarmuka udaraalveolus.

    19. Sebelum lahir paru mengandung kadar klorida tinggi, sedikit protein, sedikit lendir dari

    bronkus dan surfaktan.

    20. Saat lahir, pernapasan dimulai, sebagian besar cairan paru cepat diserap oleh kapiler darah

    dan getah bening dan sejumlah kecil mungkin dikeluarkan melalui trakea dan bronkus selama

    proses kelahiran.

  • 21. Ketika cairan diserap di sakus alveolaris, surfaktan mengendap sebagai lapisan fosfolipid

    tipis pada selaput sel alveoli.

    22. Tanpa ada surfaktan, alveoli akan menguncup selama ekspirasi (atelektasis)

    23. Alveoli akan terus dibentuk selama 10 tahun pertama kehidupan setelah lahir

    Adaptasi Pernapasan Pascanatal

    a. penyebab bernapas saat lahir

    Keaadaan asfiksia ringan yang disebabkan karena kontraksi saat melahirkan dapat

    menyebabkan penekanan pada placenta sehingga menyebabkan hipoksia sehingga merangsang

    pusat pernapasan bayi untuk bernapas dan Impuls sensoris juga yg timbul karena penginginan

    kulit secara tiba-tiba setelah bayi dilahirkan sehingga merangsang stimulus tambahan thd pusat

    pernapasan.

    b. produksi surfaktan di alveolus

    Surfaktan adalah campuran heterogen fosfolipid dan protein yang disekresi oleh pneumosit

    tipe II di alveolus adanya Apoprotein mambantu penyebaran surfaktan dilapang paru dan untuk

    reuptake dan daur ulang surfaktan pada kasus bayi prematur glukokortikoid dapat meningkatkan

    sintesis apoprotein sehingga mencegah gawat napas karena prematuritas dan Insulin,

    hiperglikemia, ketosis menghambat pembentukan surfaktan sehingga banyak kasus ibu dengan

    menderita diabetes melitus yang memiliki bayi dengan distress napas akibat kekurangan

    surfaktan. surfaktan juga serperan sebagai imunitas paru, Surfactan A dan D (lectin) yg terdapat

    diserum dan paru akan menstimulasi fagositosis dan kemotaksis, mengatur pelepasan sitokin

    oleh sel b dan Lipid surfaktan dapat menekan imunitas tergantung Kadar protein dan lipid

    sebagai status imun paru

    Surfaktan yang kurang dapat menyebabkan paru lebih mundah terinfeksi

    c. proses penarikan napas pertama

    Merupakan terbentuk interface cairan-udara dalam paru Jika tegangan interface ini tidak

    diturunkan maka paru akan kolaps Surfaktan paru akan menurunkan tegangan paru dengan

  • membentuk lapisan lipid hidrofobik sehingga Surfaktan yang kurang menyebabkan tegangan

    paru yang tinggi

    transformasi fungsi paru dari organ sekretorik jadi organ reabsopsi

    Selama kehamilan cairan diparu janin kaya dengan Cl, K,H dalam rongga paru cairan ini

    penting dalam perkembangan paru tp tidak mendukung untuk adanya proses pernapasan sebelum

    lahir terjadi penyesuaian sebelum lahir sehingga cairan tersebut disekresi lebih sedikit

    dan Saat sudah lahir cairan diparu tersebut di rebsorpsi oleh epitel di alveolus karena terjadi

    perubahan fungsi epitel di alveolus dari sekresi Cl menjadi absorpsi Na sisa cairan paru diserap

    dan dialirkan ke sirkulasi lewat pembuluh darah atau limfatik melalui Transporter yg berperan

    kanal Na pada epitel

    pernapasan yang terlambat pada bayi dapat menyebabkan bahaya hipoksia pada bayi

    Ibu anestesi umum selama persalinan yang berefe padafetus dapat mempengaruhi

    pernapasan bayi jadi terlambat

    Trauma kepala saat melahirkan dapat mengakibatkan perdarahan intrakranial dan

    terbentuk hematoma yang menekan pusat pernapasan

    Proses melahirkan lama sehingga kontraksinya juga lama menyebabkan tertekanya

    placenta sehingga fetus terancam hipoksia

    Pemisahan plasenta prematur

    Kontraksi uterus berlebihan > menekan plasenta

  • SISTEM PERNAFASAN JANIN

    Pertumbuhan sistim pernafasan janin telah dimulai sejak minggu ke-empat kehamilan

    (hari ke 24) dimana celah laryngotracheal muncul didasar pharinx lama kelamaan semakin

    dalam membentuk diverticulum laryngotracheal. Dalam pertumbuhannya kearah kaudal lipatan

    longitudinal mesenchim berfusi membentuk tracheoesophageal, yang memisahkan laryngo

    tracheal tube ( diventral ) dengan esophagues di dorsal. Laryngotracheal tube bertumbuh menjadi

    larynx dan trachea. Tunas paru berkembang dari ujung kaudal tube ini dan segera bercabang

    menjadi 2 buah tunas brocho pulmonary (tunas paru). Dari setiap percabangan ini terbentuk

    saluran udara/pernafasan yaitu brochus dan bronchiolus. Jaringan pernafasan- bronchiolus

    duktus dan sacus elveolaris dan alveoli berkembang dari ujung terminal bronchiolus dan terus

    berkembang sampai periode post natal. Sel epitelnya berasal dari endodermal.

    PERKEMBANGAN ANATOMIK PARU JANIN

    Pada hari ke 26 28 bronchus primer terbentuk. Perkembangan selanjutnya terjadi pada

    empat fase yang overlapping, yaitu :

    Fase glandular, hari ke 28 sampai minggu ke 16. Disebut fase glandular karena secara histologis

    terlihat gambaran glandula yang dilapisi oleh epitel kuboid pada bagian terminalnya yang

    terjadi proses percabangan brochus. Demikian pula dengan arteri pulmonalis yang bertumbuh

    mengikuti percabangan bronchus. Pembuluh kapiler masih terpisah jauh dari terminal saluran

    nafas oleh jaringan interstitiel.

    Kehidupan ektra uterine belum memungkinkan pada tahap ini karena kapasitas pertukaran gas

    yang masih terbatas antara kapiler dan saluran nafas.

    Fase canalicular, minggu ke 13 sampai dengan minggu ke 25. Pada saat ini terjadi canalisasi

    saluran nafas. Setiap bronchus memunculkan 2 atau lebih bronchiolus respiratorius dan setiap

    bronchiolus respiratorius terbagi menjadi 3 sampai 6 ductus alveolaris. Epitel menjadi lebih

    tipis. Kapiler semakin dekat dengan epitel pernafasan dan potensi pertukaran gas masih terbatas.

    Fase terminal sac, dari 24 minggu sampai lahir. Ductus alveolaris tumbuh menjadi alveoli

    primitif. Epitel berdiferensiasi menjadi tipe I dan tipe II. Sel alviolar tipe I menutupi lebih

  • kurang 95 % alveoli. Jumlah kapiler semakin bertambah dan semakin dekat dengan sel tipe I,

    sehingga memungkinkan pertukaran gas yang lebih baik. Sel tipe II berperan dalam mensintesa,

    menyimpan dan mensekresikan surfaktant.

    Fase alveolar, mulai pada fase akhir kehidupan dalam kandungan berlangsung terus sampai 8

    tahun. Alveolarisasi yang sebenarnya dimulai kira-kira pada 34 sampai 36 minggu. Pada saat

    kelahiran alveoli dewasa baru didapatkan sekitar 1/8 sampai dengan 1/6. Jumlah alveoli terus

    bertambah sampai terbentuk alveoli dewasa seluruhnya setelah 8 tahun.

    Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama terdiri dari 2

    tipe sel, yaitu pneumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli merupakan epitel

    yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel endotel kapiler, yang

    memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II, yang lebih kecil dari tipe I terletak

    disudut-sudut aveoli, berbentuk kuboid dan mengandung lamellar inclusion spesifik bila dilihat

    dibawah mikroskop elektron. Lamellar body adalah tempat penyimpanan surfaktant intraseluler.

    Dengan analisa biokemik ternyata lamellar body mengandung surfaktant sejenis fospolipid.

    Sel tipe II menangkap precursor pembentuk Fospolipid dan protein. Sintesa terjadi dalam

    endoplasmic reticulum. Setelah dimodifikasi dalam golgi aparatus komponen surfactant dibawa

    dan disimpan dalam lamellar body. Lamellar body ini disekresikan dengan cara exsocytosis dan

    dibuka diluar sel membentuk tubular myelin. Dari sini dihasilkan surfactant monolayer; yang

    diabsorpsi ke air liquid interface. Dengan mikroskop elektron tubular miyelin stelihat seperti

    kisi-kisi berbentuk tabung segi empat. Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi

    sebagai respons terhadap trauma. Setelah mengalami trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding

    arveoli dan sel tipe II berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian berkembang

    menjadi sel tipe I.

  • PERKEMBANGAN BIOKEMIK

    Surfaktant adalah kompleks antara fosfolipid dan protein, dimana 85 90 % adalah

    fospolipid dan 10 % protein. Komposisi lipid (Fospolipid) dari surfaktant terutama terdiri dari

    saturated palmitic acid. Komposisi surfaktan adalah seperti tabel berikut :

    % Total Weight Protein

    Protein 10 15

    Phospholipid 85 90

    % of Total Phospholipid

    Phospatidyl choline (PC) 80 85

    Disaturated phospatidyl choline 45 50

    Phospatidyl glycerol 6 11

    Phosphatidyl ethanolamine 3 - 5

    Phosphatidyl insitol 2

    Sphingomyeline 2

    Sintesa fatty acid dan fospolipid terjadi de novo dalam sel tipe II, yang bahan-bahannya

    diambil dari sirkulasi darah. Sumber energi diambilkan dari glycogen. Kadar glykogen dalam

    paru janin meningkat pada saat awal perkembangan paru yang mencapai puncaknya pada saat

    akhir kehamilan. Kemudian menurun dengan cepat bersamaan dengan peningkatan sintesa

  • fospolipid. Pada saat peningkatan sintesa phopatidyl choline, aktifitas enzim choline phospatidyl

    transverase juga meningkat pada saat akhir kehamilan. Demikian juga peningkatan sintesa Fatty

    acid paralel dengan peningkatan enzim fatty acid sintese. Selain komponen fospolipid juga

    terdapat komponen protein. Surfaktant protein A (SP-A) merupakan highly glycocilated protein

    yang berperan dalam sekresi surfaktant dan reuptake oleh sel tipe II. Juga berperan penting

    dalam pembentukan tubullar myelin. Komponen protein lain SP- B dan SP-C berperan dalam

    aktifitas permukaan surfaktant.

    Sejumlah rangsangan fisik, biokemik, dan hormonal dapat mempengaruhi perkembangan

    paru serta sintesa dan sekresi fospolipid. Insiden RDS lebih rendah pada bayi yang dilahirkan

    setelah proses persalinan baik pervaginam maupun dengan seksio sesarea dibandingkan dengan

    yang lahir tanpa diawali proses persalinan pada usia kehamilan yang sama. Persalinan diduga

    mempercepat sekresi surfaktant dan tidak mempengaruhi sintesa. Perbedaan jenis kelamin

    ternyata bayi laki-laki lebih sering dikenai RDS dibandingkan dengan bayi perempuan.

    Perbedaan kadar fospolipid dalam cairan ketuban memperlihatkan bahwa maturasi paru

    perempuan lebih cepat terjadi satu minggu. Diduga hal ini disebabkan peningkatan sekresi dan

    bukan peningkatan sintesa. Ibu dengan DM juga mempengaruhi pematangan paru, dimana RDS

    lebih sering didapatkan pada bayi dengan ibu menderita DM. Tidak jelas faktor apa yang

    menyebabkan terlambatnya maturasi paru, apakah hipoglikemia, hiperinsulinemia, gangguan

    metabolisme, fatty acid atau kombinasi faktor-faktor tersebut.

    Sintesa surfactant juga distimulasi oleh beberapa hormon seperti glucocorticoid hormon

    thyroid,TRH dan prolactin, dan oleh growth factor seperti, epidermal growth factor (EGF). Dari

    faktor tersebut, pengaruh glucocatiroid sangat banyak di teliti. Pemberian glukokortikoid kepada

    janin menyebabkan sejumlah perubahan morfologi, yang menandakan percepatan maturasi paru,

    pembesaran alveoli, penipisan inter alveolar septum, peningkatan jumlah sel tipe II dan

    peningkatan lamellar body dalam sel tipe II. Glukokortiroid juga meningkatkan sintesa

    fhospolipid paru dan protein surfactant. Secara klinis ternyata pemberian streroid antenatal

    mempercepat maturasi paru.

    Sekresi surfactant juga dirangsang oleh sejumlah zat, termasuk B.adrenergic-agonist (seperti

    terbutalin) dan perinoceptor agonist (seperti adenosin) dan Camp.

  • PENILAIAN MATURITAS PARU

    Penilaian maturitas paru dengan analisa fhospolipid dalam cairan ketuban telah dimulai

    sejak tahun 1971, ketika Gluck melaporkan adanya perubahan konsentrasi phospolipid dalam air

    ketuban selama kehamilan. Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa phospolipid yang

    terdapat dalam cairan ketuban terutama berasal dari paru janin. Dia juga menemukan bahwa

    phospolipid total dalam air ketuban meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada

    35 minggu. Kadar lecithin (phosphatidil choline) hampir sama dengan sphingomyelin sampai 35

    minggu. Dimana saat itu terjadi peningkatan kadar lesitin + 4 x sphingomyelin. Setelah 35

    minggu, kadar lesitin tetap meninggi sedangkan sphingomyelin sedikit menurun. Berdasarkan

    hal ini ratio L/S mulai diperhatikan, apalagi hasilnya dapat dibaca dengan segera dengan metode

    spektroskopi inframerah.

    Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa nampaknya maturitas paru sudah tercapai bila

    kadar lesitin telah melebihi kadar sphingomyelin. Pada keadaan normal ratio L/S = 2 tercapai

    pada kehamilan 35 minggu. Maturasi paru dianggap cepat bila Ls ratio > 2 pada 35 minggu

    kehamilan, dan dianggap terlambat bila < 1, setelah 35 minggu. Keadaan yang mempercepat

    maturasi paru antara lain, pregnancy induced hipertension, hipertensi karena kelainan ginjal,

    jantung sickle sell anemia, addiksinarkotik, diabetes kelas D,E,F dan PRM yang lebih dari 24

    jam. Keadaan yang memperlambat maturasi paru antara lain diabetes kelas A,B,C, hydrops

    fetalis dan non hipertensive ranal disease.

    Dalam hubungan dengan terjadinya RDS, tampaknya RDS tidak didapatkan bila L/S ratio

    > 2. Kadar phosphatidylglyceral (PG) sebesar > 3 % dari total phospolipid juga menunjukkan

    maturasi paru. Kombinasi penilaian L/S ratio dan kadar PG meningkatkan akurasi penilaian

    maturasi paru, dimana L/S matur dengan Pg positif mempunyai negative predictive value hampir

    100 %. Adanya darah dan mekoniumsangat mempengaruhi/mengurangi akurasi L/S ratio.

    Clement tahun 1972 melaporkan test stabilitas busa/test kocok, yang didasarkan kepada

    kemampuan surfactan untuk menjaga kestabilan busa dengan adanya etanol. Test ini cukup

    sederhana mudah dilakukan dan hasilnya dapat dibaca dengan segera. Test disebut mature bila

  • didapatkan busa dengan pengeceran air ketuban 1 : 2, dan disebut immature bila tidak

    dihasilkan busa dengan pengenceran 1 : 1. Dibandingkan dengan L/S ratio, test kocok sama

    akuratnya dalam prediksi maturitas, tapi false immature rate nya tinggi, sehingga harus

    dikonfirmasikan dengan L/S ratio. Juga test ini tidak akurat bila didapatkan darah atau

    nekonium.

    Penilaian maturitas paru juga didapatkan berdasarkan pemeriksaan mikroviskositas

    Cairan ketuban dengan polarisasi fluoresensi Viskositas cairan ketuban tinggi dan konstan

    sampai kehamilan 30 32 minggu, kemudian turun secara teratur sampai kehamilan aterm. Test

    ini cukup akurat dalam menilai maturitas tapi over estimate dalam menilai immaturitas. Dengan

    teknik polarisasi fluoresensi juga dilakukan penilaian ratio surfactant terhadap albumin. Test ini

    mudah dilakukan dan hasilnya dapat dibaca dengan segera, tapi memerlukan instrumen khusus.

    Hasil yang matur berkorelasi dengan baik dengan maturitas klinis, tapi hasil yang immature

    tidak bisa memeramalkan dengan baik terhadap kejadian RDS.

    Untuk menilai kematurannya paru secara lebih akurat, maka penelitian diarahkan kepada

    pemeriksaan protein surfactant dalam air ketuban. Pada kehamilan 12 32 minggu tidak

    ditemukan protein dalam cairan ketuban. Titer protein meningkat dari kehamilan 32 minggu

    sampai dengan 37 minggu, kemudian menetap. Penelitian yang lebih khusus terhadap kadar

    surfactant protein A dengan mempergunakan monoclonal antibody spesifik menunjukkan bahwa

    kadar protein > 3 lg/ml sangat akurat untuk maturitas paru, dengan false-positive yang tinggi

    untuk immaturitas. Bila test ini digabungkan dengan L/S ratio dan kadar PG, maka prediksi

    immaturitasnya meningkat secara dramatis.

    KORTIKOSTEROID DAN MATURITAS PARU

    Penelitian tentang pengaruh glukokotikoid terhadap pematangan paru telah banyak

    dilakukan, baik invivo mapun vitro streroid ini mempercepat maturitas paru baik dari segi

    anatomik, biokemik maupun fisiologik glukokortikoid bekerja pada paru malalui mekanisme

    reseptor steroid klasik. Steroid masuk kedalam sel dan berikan dengan spesifik cytoplasmic

    receptor. Kompeks steroid-reseptor ini kemudian ditranslokasi ke neuklues, dimana dia

    berinteraksi dengan bagian tertentu dari DNA, menghasilkan transkripsi RNA, RNA ini

  • kemudian di translasi dalam sitoplasma menjadi protein glukokortikoid meningkatkan surfactan

    protein A,B,C beserta RNA nya sebagaimana juga fatty acid synthase, structural protein collagen

    dan elastin. Steroid berperan dalam mengatur sintesa surfactan, tapi tidak berperan dalam

    memulainya.

    Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa steroid mempercepat maturasi paru dan

    memperbaiki viabilitas bayi prematur. Berdasarkan ini trial klinis dilakukan dengan pemberian

    steroid pada antenatal. Hampir semua penelitian menunjukkan penurunan insiden RDS tapi

    dengan hasil yang terbatas. Penelitian-penelitian terakhir memperlihatkan kemungkinan steroid

    dapat meningkatkan fungsi paru post natal dan peningkatan proses kognitif. Secara umum steroid

    antenatal sangat efektif bila diberikan sebelum usia kehamilan 32 minggu. Hasil yang optimal

    didapatkan bila bayi dilahirkan paling sedikit 2 3 hari. dan paling lambat dalam 7 10 setelah

    mulainya pemberian obat. Tampaknya pemberian pada bayi laki-laki kurang berhasil

    dibandingkan dengan bayi perempuan. Pemberian steroid tidak menunjukan hubungan yang

    bermakna dengan peningkatan resiko infeksi neonatal, khorioamnionitis, penurunan berat lahir,

    neonatal adrenal suppression, neonatal sepsis maupun neonatal death, tapi terdapat sedikit

    peningkatan infeksi maternal.

    Meskipun dengan pemberian steroid secara optimal, kejadian RDS tidak bisa dicegah

    sama sekali, dimana masih didapatkan 10 % bayi menderita RDS bila usia kehamilan diatas 30

    minggu dan 35 % bila dibawah 30 minggu. Kombinasi dengan hormon tyroid membantu dalam

    mengurangi kejadian RDS dan menurunkan insiden penyakit paru kronis. Bagaimana

    mekanismenya masih dalam taraf penelitian.

    Penelitian terhadap perkembangan paru masih tetap berlangsung. Peranan gen dalam

    produksi surfactant, manipulasi hormonal terhadap surfactant dan elemen struktur paru masih

    dalam penelitian dan kemungkinan memberikan efek terapi yang lebih baik dimasa datang.

  • PENYAKIT KONGENITAL

    Kelainan congenital pada dinding paru

    Kelainan congenital ini terdiri atas 3 jenis yaitu:

    1. Pectus excavatum (Funnel chest)

    Processus xiphoideus sternum menekuk ke dalam, yakni ke arah diafragma yang

    menimbulkan deformitas pada thoraks. Bersifat herediter,berkurangnya faal paru,

    restriktif maupun obstruktif

    A. Etiologi :

    Kelainan kongenital biasanya yang menyebabkan dan Hipertrofi adenoid yang berat

    B. Epidemiologi :

    Tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki dan ada kecenderungan familial dari penyakit

    ini.

    Dapat dijumpai pada Sindrom Marfan & Sindrom Noonan

    C. Penatalaksanaan :

    Tindakan koreksi dengan operasi, dengan indikasi estetika / ada infeksi paru yang

    berulang

    Operasi dianjurkan pada umur 18 bulan 5 tahun

    Memisahkan berkas muskulus interkostal dari sternum & memperbaiki kecekungan

    sternum

    Memasang penyangga logam

    untuk mengangkat sternum

  • 2. Pectus carinatum (Pigeon chest)

    Sternum menonjol ke arah depan. Biasanya disertai dengan depresi vertikal pada

    daerah kondrokostal

    A. Etiologi :

    Pada umumnya disebabkan oleh ricketsia, penyakit paru yang berulang, dan infeksi yang

    berulang

    B. Epidemiologi :

    Lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pektus excavatum

    C. Manifestasi klinis :

    Kebanyakan penderita pectus carinatum tidak memberikan gejala

    D. Tatalaksana :

    Terapi operasi :

    - Yang mengalami deformitas

    Reseksi/pemotongan kartilago

    - Memperbaiki bentuk sternum

    Osteotomi transversal

    3. Sternal fissures

    Fisura disebabkan oleh kegagalan primodia sternum untuk berdifusi.

  • Celah sternal superior lebar & mencapai kartilago kosta keempat, celah sternum distal

    adalah bagian tak terpisahkan dari pentologi Cantrell, yang terdiri dari defek lain pada

    jantung, diafragma, & dinding abdomen

    Celah sternal lengkap adalah bentuk fisura paling jarang & harus diperbaiki

    selama masa bayi. Osteotomi dari masing-masing belahan & perkiraan kembali biasanya

    dapat

    dikerjakan.

    BRONKIEKTASIS

    1. DEFINISI

    Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus

    yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muscular dinding

    bronkus (Soeparman & Sarwono, 1990)

    Bronkiektasis merupakan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus permanen, dilatasi

    bronkus ini bisa setempat (fokal) dengan melibatkan jalan nafas yang memasok bagian

    parenkim paru yang terbatas, atau bisa juga difus dengan melibatkan jalan nafas dalam

    distribusi yang tersebar lebih luas (Isselbacher.etal,2000).

    Bronkiektasis merupakan kelaianan bronkhus di mana terjadi pelebaran atau dlatasi

    bronkus local dan permanen karena kerusakan struktur dinding. Bronkiektasis merupakan

    kelainan saluran pernafasan yang sering kali tidak berdiri sendiri, akan tetapi dapat

  • merupakan bagian dari sindrom atau sebagai akibat (penyulit) dari kelainan paru yang lain

    (Arif Muttagin, 2008).

    Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis (Brunner & Suddart,vol 1,

    2002)

    2. ETIOLOGI

    Bronkiektasis dapat disebabkan oleh beberapa kondisi berikut :

    a. Infeksi paru dan obstruksi dari bronkus.

    b. Aspirasi benda asing, muntahan atau material yang berasal dari saluran napas bagian atas.

    c. Tekanan dari tumor, dilatasi pembuluh, darah dan pembesaran kelenjar limfe.

    d. Kelainan struktur congenital (fibrosis kistik, kurangnya kartilago bronkus)

    3. KLASIFIKASI

    Berdasarkan atas bronkografi dan patologi bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

    1. Fusiform bronchiectacsis

    Fusiform bronchiectacsis atau Bronkiektasis silindris berbentuk tabung. Bronkiektaksis ini

    yang paling ringan dan sering ditemukan pada bronkiktasis yang menyertai bronchitis

    kronik.

    2. Saccular bronchiectacsis

    Bronkiektasis sakular ini berbentuk tabung. Bentuk ini merupakan bentuk bronkiektasis

    yang klasik,ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat

    irregular. Bentuk ini kadang kadang berbentuk kista (cyctic bronkiktasis)

    3. Varicose bronchiectasis

    Bentuknya merupakan bentuk antara diantara bentuk tabung dan katong. Istilah ini

    digunakan karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises pembuluh vena.

    4. TANDA DAN GEJALA

    Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan

    beratnya penyakit,lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas

    penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum,adanya hemoptitis dan

  • pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit

    yang berat ,dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.

    Bronkiektasis tidak dapat secara cepat didiagnosis, karena gejala-gejalanya mungkin

    akan menyerupai dengan bronkitis kronis. Tanda yang definitif dari bronkiektasis adalah

    riwayat batuk produktif dalam jangka waktu lama, dengan sputum yang secara tetap negatif

    terhadap basil tuberkel.

    Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering memberikan gejala :

    a. Batuk

    Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung

    kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik,jumlah sputum bervariasi,umumnya

    jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun.

    Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid,sedang apabila terjadi infeksi sekunder

    sputumnya purulen,dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi

    sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan sputum sangat berbau.

    b. Hemoptisis

    Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan

    ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan

    timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai

    perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau

    terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari peredaran darah

    sistemik)

    Pada brokiektasis kering,hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya,karena

    jenis ini letaknya di lobus atas paru,drainasenya baik,sputum tidak pernah menumpuk dan

    kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal.

    5. EPIDEMIOLOGI

    Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat sangat penting pada negara-

    negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS,bronkiektasis mengalami penurunan

    sering dengan kemajuan pengobbatan. Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk

    dengan golongan sosio ekonomi yang renddah. 1,5 data terakhir yang diperoleh dari RSUD

  • DR. Soetomo tahun 1990 menempatkan bronkiektasis pada urutan ke-7 terbanyak. Dengan

    kata lain didapatkan 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien raat inap.

    6. PATOFISIOLOGI

    Infeksi merusakkan dinding bronkial, sehingga akan menyebabkan hilangnya struktur

    penunjang dan meningkatnya produksi sputum kental yang akhirnya akan mengobstruksi

    bronkus. Dinding secara permanen menjadi distensi oleh batuk yang berat. Infeksi meluas ke

    jaringan peribronkial, pada kondisi ini timbullah saccular bronchiectasis. Setiap kali

    dilatasi, sputum kental akan berkumpul dan menjadi abses paru, eksudat keluar secara bebas

    melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya terlokalisasi dan mempengaruhi lobus atau segmen

    paru. Lobus bawah merupakan area yang paling sering terkena.

    Retensi dari sekret dan timbul obstruksi pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi dan

    kolaps (atelektasis) alveoli distal. Jaringan parut (fibrosis) terbentuk sebagai reaksi

    peradangan akan menggantikan fungsi dari jaringan paru. Pada saat ini kondisi klien

    berkembang ke arah insufisiensi pernapasan yang ditandai dengan menurunnya kapasitas

    vital (vital capacity), penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio residual volume terhadap

    kapasitas total paru. Terjadi kerusakan pertukaran gas di mana gas inspirasi saling

    bercampur (ventilasi-perfusi imbalance) dan juga terjadi hipoksemia.

    7. MANIFESTASI KLINIS

    Batuk kronik dan produksi sputum purulen kehitaman dan berbau busuk

    Batuk semakin berat kalau pasien berubah posisi

    Jumlah sputum yang dikeluarkan bergantung stadium penyakit, tetapi pada stadium yang

    berat dapat mencapai 200 ml sehari

    Hemoptisis sering terjadi biasanya berupa sputum yang mengandung darah (50-70%

    kasus dan dapat disebabkan oleh perdarahan mukosa yang rapuh atau adanya inflamasi)

    Pneumonia berat. Sesak napas, sianosis

    Clubbing finger, terjadi akibat insufisiensi pernafasan.

    Asimptomatik pada beberapa kasus

  • 8. PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

    a. Pemeriksaan Fisik Fokus

    - Inspeksi

    Klien dengan bronkhiektasis terlihat mengalami batuk-batuk dengan sputum yang

    banyak terutama pada pagi hari serta setelah tiduran dan berbaring. Pada inspeksi, bentuk

    dada biasanya normal.

    Adanya batuk darah sering dijumpai pada sekitar 50% dari klien dengan bronkhiektasis.

    Batuk darah pada klien dengan bronkhiektasis biasanya bersifat masif karena sering

    melibatkan pecahnya pembuluh darah arteri yang meregang pada dinding bronkhus dan

    melemahnya dinding bronkhus akibat stimulus batuk lama dapat menyebabkan batuk darah

    masif.

    - Palpasi

    Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.

    - Perkusi

    Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor.

    - Auskultasi

    Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan

    obstruktif pada.

    b. Pemeriksaan Diagnostik

    1. Pemeriksaan Laboratorium

    - Pemeriksaan darah tepi

    Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang ditemukan adanya leukositosis yang

    menunjukkan adanya supurasi aktif dan anemia yang menunjukkan adanya infeksi menahun.

    - Pemeriksaan urine

    Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya proteinuria yang bermakna dan

    disebabkan oleh amiloidosis. Namun imunoglobulin serum biasanya dalam batas normal

    kadang bisa meningkat atau menurun.

  • 2. Pemeriksaan Sputum

    Pemeriksaan sputum meliputi volume dan warna sputum serta sel-sel dan bakteri yang ada

    dalam sputum. Bila terdapat infeksi maka volume sputum akan meningkat dan menjadi

    purulen serta mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri. Biakkan sputum dapat

    menghasilkan flora normal dari nasofaring seperti Streptokokus pneumoniae, Hemofilus

    influenza, Staphylococcus aureus, Kleibsiela, Aerobacter, Amoeba proteus, dan

    Pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan sputum berbau busuk berarti menunjukkan

    adanya infeksi kuman anaerob.

    3. Pemeriksaan Radiologi Thoraks Foto (AP dan Lateral)

    Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas corakan menjadi

    kabur, mengelompok, kadang-kadang ada gambaran sarang tawon (honey comb structure)

    serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai

    lobus paru kiri karena mempunyai diameter yang lebih kecil daripada paru kanan dan

    letaknya menyilang di mediastinum, segmen lingual lobus atas kiri, dan lobus medius paru

    kanan.

    Pada klien dengan TB paru, gambaran bronkhiektasis dapat berbentuk sakular atau silindris,

    dan dapat ditemukan pada lobus atau segmen yang mengalami gangguan. Kadang-kadang,

    kelainn ini juga ditemukan pada daerah yang kurang nyata mengalami gangguan. Diduga

    bronkhiektasis yang terjadi pada TB paru dapat ditetapkan berdasarkan pada hal ini di mana

    tidak ada kecurigaan dari Rontgen thoraks yang menyangkut atas keterlibatan parenkrin

    paru.

    4. Pemeriksaan Bronkhogram

    Bronkhogram tidak rutin dikerjakan, tetapi bila ada indikasi dilakukan untuk mengevaluasi

    klien yang akan dioperasi, yaitu klien dengan pneumonia yang terbatas pada suatu tempat

    dan berulang serta tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat pengobatan

    konservatif atau klien dengan hemoptisis yang masif. Bronkhogram diiakukan pada kondisi

    klien yang sudah stabil setelah pemberian antibiotik dan postural drainase yang adekuat

    sehingga bronkhus bersih dari sekret.

  • 10. PENATALAKSANAAN MEDIS

    Ada empat tujuan utama dari penatalaksanaan medis pada pasien bronkiektasis yaitu :

    Menemukan dan menghilangkan masalah yang mendasari

    Memperbaiki bersihan sekret trakeobronkial

    Mengendalikan infeksi

    Memulihkan obstruksi

    Pengobatan :

    Pembersihan bronkus setiap hari dengan seksama, disertai drainase postural yang

    biasanya harus dilanjutkan seumur hidup

    Bronkodilator yang digunakan untuk menurunkan kejadian obstruksi saluran napas, dan

    untuk membantu pembersihan sekret, berguna pada pasien pada saluran napas yang

    hiperreaktif

    Pemberian antibiotik untuk mengontrol infeksi juga merupakan terapi lain yang penting

    Vaksinasi yang diberikan tepat pada waktunya terhadap penyakit anak-anak yang sering

    disertai komplikasi pneumonia, penggunaan antibiotik yang benar dan pengobatan lain pada

    pneumonia serta pengangkatan segera benda asing yang diaspirasi, semuanya merupakan

    tindakan pencegahan.

  • HYALIN MEMBRAN DISEASE

    Hyaline Membrane Disease (HMD), juga dikenal sebagai respiratory distress

    syndrome (RDS), adalah penyebab tersering dari gagal nafas pada bayi prematur, khususnya

    yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu.

    Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru

    lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau

    komplikasinya.

    HMD disebut juga Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi

    kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran

    bernafas, (pernafasan cuping hidung, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan

    sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan dan pada

    pemeriksaan radiologis ditemukan pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram.

    Pengenalan surfaktan eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan

    klinik dari penyakit dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit.

    Hyaline Membrane Disease (HMD)

    Respiratory Distress Syndrome (RDS)

    Definisi

    HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe

    1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir,

    ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan

    dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48

    96 jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat

    didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh

    retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada

    pemeriksaan radiologist ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaranground

    glass appearance dan air bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS.

    Insidensi

    Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru

    lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari semua

    kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya.

  • HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur

    kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-

    30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi

    pada bayi matur.

    Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37

    minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang

    dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. Pada ibu

    diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi

    surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-

    hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya

    infeksi kongenital kronik.

    Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. (9)

    Pada

    laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan

    oleh sel pneumosit tipe II.

    Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin releasinghormon pada ibu.

    Etiologi dan Patofisiologi

    Pembentukan Paru dan Surfaktan

    Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari

    esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler,

    serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak

    antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30

    minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 34

    minggu.

    Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum

    mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur

    baru muncul setelah 35 minggu kehamilan.

    Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi

    paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema

    paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi.

  • Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80

    %, phosphatidylglycerol 7 %, phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant protein

    A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi

    fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan.,

    fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di

    alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.

    Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan dikirim ke

    aparatus Golgi (3) melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam

    badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan.

    Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan

    disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5). Mielin tubular menciptakan

    fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara (6) di alveolus,

    yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta

    protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil (7), melalui jalur

    spesifik yang melibatkan endosom (8) dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan

    lamelar (9) untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (10).

    Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam.

    Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum

    didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di

    retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi

    dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus.

    Etiologi HMD

    Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan dari

    paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan

    permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin,

    phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin.

    Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia,

    dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat

    pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi

    oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya

    surfaktan.

  • Patofisiologi HMD

    Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik

    mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena

    jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan

    dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke

    rongga laveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat

    respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.

    Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial

    mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan

    saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan

    tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat

    diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding

    dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan

    bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir

    respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami

    atelektasis.

    Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang kecil dan

    berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli

    memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia.

    Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,

    bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.

    Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan

    meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui

    paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi

    surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.

    Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat

    menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu

    terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis

    metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan

  • penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.

    Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus

    arteriosus memperburuk hipoksemia.

    Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi

    vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah

    paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein

    pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.

    Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan

    karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa

    terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting

    yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang. Compliance paru.

    Patologi

    Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi menyerupai liver. Secara mikroskopis,

    terdapat atelektasis luas. Beberapa ductus alveolaris, alveoli dan bronchiolus respiratorius

    dilapisi mebran kemerahan homogen atau granuler. Debris amnion, perdarahan intra-alveolar,

    dan emfisema interstitial dapat ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan positive

    end expiratory pressure (PEEP). Karakteristik HMD jarang ditemukan pada penderita yang

    meninggal kurang dari 6-8 hari sesudah lahir. Membran hyalin tidak didapatkan pada bayi

    dengan RDS yang meninggal

    Ditandai dengan alveoli yang kolaps berselang-seling dengan alveoli yang mengalami

    hiperaerasi, kongesti vaskuler, dan membran hyalin (fibrin, debris sel, eritrosit, netrofil dan

    makrofag). Membran hyalin terlihat sebagai materi yang eosinifil dan amorf, membatasi atau

    mengisi rongga alveolar dan menghambat pertukaran gas.

    2.5 Manifestasi klinik

    Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui

    beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x / menit).Bila

    didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien

  • membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang

    berat (bila berat badan lahir.

    Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan pernafasan

    cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas

    dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat

    terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang

    progresif dari sianosis dan dyspnea.

    Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi

    peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya

    penyakit.apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya

    intervensi segera.

    Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria.

    Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat

    dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada

    kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut,

    bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 33

    minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi

    lebih kecil (usia kehamilan 26 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik.

    Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar

    oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari

    kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema

    interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.

    Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadibronchopulmonary

    displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD berat).

    Diagnosis

    Gejala klinis

    Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu

    (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama

    kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir.

  • Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat

    asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun

    ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam.

    Tabel 2.1 Silverman score

    Grade Gerakan dada

    atas

    Dada bawah

    (retraksi ICS)

    Retraksi

    epigastrium

    PCH Grunting

    0 sinkron - - - -

    1 Tertinggal

    pada inspirasi

    ringan ringan minimal Terdengar pada

    stetoskop

    2 See-saw jelas jelas jelas Terdengar

    tanpa stetoskop

    Gambaran Rontgen

    Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang

    karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim

    dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi

    dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul

    dalam 6-12 hari.

    Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat :

    Stage I : gambaran reticulogranular

    Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung

    Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.

    Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus. Gambaran white

    lung.

    Thoraks berbentuk seperti lonceng karena aerasi tidak adekuat ke seluruh bagian paru. Volume

    paru berkurang, parenkim paru menunjukkan pola retikulogranular difus, serta adanya gambaran

    air bronchogram sampai ke perifer.

    Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi secara uniform. Paru mengalami

    hipoaerasi disertai peningkatan air bronchogram.

    Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air bronchogram nyata, gambaran jantung

    sukar dinilai. Terdapat area kistik di paru kanan, menunjukan alveoli yang berdilatasi atau awal

  • dari pulmonary interstitial emphysema (PIE).

    Laboratorium

    Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak

    menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah

    awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif,

    hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.

    Echocardiograf

    Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat

    pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan

    adanya kelainan struktural jantung.

    Tes kocok (Shake test)

    Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui

    nasogastrik tube pada neonatus banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %, dicampur

    di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15 menit.

    Pembacaan :

    Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD

    +1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD

    +2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung

    +3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua deret

    +4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur

    Amniosentesis

    Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya HMD,

    antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis

    (pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin-spingomielin

    Tes apung paru

    Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk mengetahui

    apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya mayat harus

    segar.

    Keluarkan alat-alat dalm rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan,

    pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat. Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak

    yang berisi air. Bila terapung, lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.

  • Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan masing-masing

    lobus, kanan terdapat 5 lobus, kiri 2 lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang

    tenggelam, mana yang terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5

    potong dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan perifer. Apungkan ke-25

    potongan kecil-kecil tersebut. Bila terapung, letakan potongan tersebut pada 2 karton, dan

    lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air. Bila

    terapung berarti tes apung positif, paru-paru mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan

    hidup. Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap

    pernah dilahirkan hidup.

    Diagnosis Banding

    Pneumonia neonatal

    Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan

    HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan

    HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy

    coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.

    Transient Tachypnea of The Newborn

    Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan.

    Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS hipoaerasi). Densitas retikulogranular

    bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak menetap

    minimal 3 4 hari.

    Sindroma aspirasi mekonium

    Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema

    fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi.

    Lain-lain

    Penyakit jantung sianotik ( anomali total aliran balik vena pulmonal), sirkulasi fetal yang

    persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi pleura, eventrasi diafragma, dan

    kelainan kongenital seperti malformasi kistik adenomatoid, limfangiektasi pulmonal, hernia

  • diafragma, atau emfisema lobaris harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan

    gambaran rontgen.

    Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul

    sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan. Perdarahan paru,

    sepsis.

    Hal-hal yang dapat menimbulkan edema paru seperti PDA, obstruction of pulmonary

    venous drainage, hypoplastic left heart syndrome, dan edema pulmo neurogenik, sekunder

    darimperdarahan intracranial.

    Hal-hal yang diasosiasikan dengan hipoaerasi paru seperti sedasi ibu, hipoksemia berat,

    hipotermia, kerusakan CNS. Keadan ini tidak menimbulkan gambaran opak granular bilateral

    pada rontgen thoraks (berbeda dengan RDS).

    predisp

    osisi

    Usia

    kehamilan

    Derajat

    distress

    Mulainya

    gejala

    Hipoksem

    ia

    Hipeca

    pnea

    Respo

    n

    terhad

    ap O2

    Respon

    terhadap

    IPPV

    Suara

    nafas

    Tanda

    infeksi

    Rontgen dada

    HMD premat

    ur

    preterm +++/++++ Beberapa

    jam

    ++/++++ +/+++ ++ Membaik Turun,

    crackles

    - kabur

    Air bronchogram

    granuler

    TTN SC

    ibu

    overhid

    rasi

    Full term

    Near term

    ++ Beberapa

    jam

    + -/+ +++ Bukan

    indikasi

    crackles - Kabur

    Vaskular marking

    Cardiomegali

    pneum

    onia

    Ibu

    mengal

    ami

    infeksi

    Preterm

    Full term

    ++/++++ Hari

    pertama /

    lebih

    ++/++++ +/++ ++ Variabel,

    mungkin

    membaik

    Turun

    crackles

    + Bercak / granuler

    Efusi pleura

    MAS Fetal

    distress

    Full term

    Post term

    ++/+++ Sej