Download - respiratory system
-
CASE 1
TUTORIAL D2
DISUSUN OLEH :
1. PUTRI ANGGRAENI K. 121.0211.019
2. AVIRIGA SEPTA 121. 0211.148
3. GESTI CHAIRUNISA 121. 0211. 039
4. AYULITA HANA F. 121. 0211. 046
5. AYU TIARA N. 121. 0211. 190
6. RAHAYU PURNAMA 121. 0211. 017
7. SARAH JIHAN 121. 0211. 186
8. TRI HARTANTO 121. 0211. 135
9. GEULISSA ADDINI 121. 0211. 194
10. BIMA SENA 111. 0211. 033
11. ILHAM PRIBADI 111. 0211. 195
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAKARTA
-
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Salam sejahtera bagi umatnya.
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya, kami berhasil menyelesaikan makalah tutorial Case I ini meliputi Basic science
dan kelainan kongenital. Kami pun mengucapkan terima kasih kepada dr. Riza, selaku tutor pada
tutorial kami, yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini adalah sebuah intisari dari hal-hal yang telah kita pelajari selama tutorial
berlangsung. Makalah ini dibuat supaya kita dapat mengerti lebih dalam tentang bahasan kita
dalam tutorial dan sebagai acuan pembelajaran bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat diambil hikmahnya.
Kami sadar makalah ini masih jauh dari sebuah kata kesempurnaan, namun mudah-
mudahan kita semua dapat mengambil semua ajaran yang terdapat di dalamnya. Kami
mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.
15 Februari 2014
Penyusun
-
Case
Mengamati kehamilan bibinya, Fahira seorang siswi SLTA, bertanya kepada anda sebagai
mahasiswa kedokteran tentang tumbuh kembang bayi. Dia ingin mengetahui bagaimana janin
dapat bernafas, kapan dan bagaimana pembentukan system pernafasan. Fahira juga ingin
mengetahui tentang struktur sel di system pernafasan.
Fahira mendapatkan kabar kalau adik sepupunya meninggal beberapa saat setelah
dilahirkan. Menurut bibi fahira, bayinya tidak menangis saat dilahirkan. Dokter yang menolong
menyatakan ini merupakan persalinan premature dan bayi mengalami distress pernafasan.
Sebagai anak sekolah, fahira mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Saat ini, dia
menanyakan kepadamu mengapa bayi itu tidak menangis saat dilahirkan. Dan dia ingin tahu
bagaimana bayi dapat bernafas untuk pertama kali.
Fahira pernah membaca artikel tentang kelainan congenital system respirasi dan gangguan
pernafasan pada bayi baru lahir. Tetapi dia belum sepenuhnya memahami, fahira menghubungi
kamu untuk menanyakan beberapa hal seperti apakah perbedaan dan persamaan
Bronchopulmonary dysplasia dan hyaline membrane disease.
-
Alur Pikir
System Respirasi
Anatomi
Embriologi Patologi
Histology
Penyakit Kongenital
HMD BPD
Factor Resiko
Epidemiologi Etiologi Definisi
Tanda dan Gejala
Patofisiologi
Tata Laksana
-
ANATOMI
AnatomiHidung
Ada 3 strukturpentingdarianatomihidung, yaitu :
1. Dorsum nasi (batanghidung).
2. Septum nasi.
3. Kavumnasi.
DorsoNasi
Ada 2 bagian yang membangun dorsum nasi, yaitu :
1. Bagian kaudal dorsum nasi.
2. Bagian kranial dorsum nasi.
Bagian kaudal dorsum nasi merupakan bagian lunak dari batang hidung yang tersusun oleh
kartilago lateralis dan kartilago alaris. Jaringanikat yang keras menghubungkan antara kulit
dengan perikondrium pad akartilago alaris.
Bagian kranial dorsum nasi merupakan bagian keras dari batang hidung yang tersusun oleh
os.nasalis kanan & kiri dan prosesus frontalis os.sismaksila.
Septum Nasi
Fungsi septum nasi antara lain menopang dorsum nasi (batanghidung) dan membagi dua kavum
nasi.
Ada 2 bagian yang membangun septum nasi, yaitu :
1. Bagian anterior septum nasi.
2. Bagian posterior septum nasi.
-
Bagian anterior septum nasi tersusun oleh tulang rawanya itu kartilago quadra angularis.
Bagian posterior septum nasi tersusun oleh lamina perpendikularis os.ethmoidalis dan vomer.
Kelainan septum nasi yang paling sering kita temukan adalah deviasi septi.
KavumNasi
Ada 6 batas kavum nasi, yaitu :
1. Batas medial kavum nasi yaitu septum nasi.
2. Batas lateral kavum nasi yaitu konka nasi superior, meatus nasi superior,
konka nasi medius, meatus nasimedius, konka nasi inferior, dan meatus nasi inferior.
3. Batas anterior kavum nasiyaitu nares (introituskavumnasi).
4. Batas posterior kavum nasi yaitu koane.
5. Batas superior kavum nasi yaitu lamina kribrosa.
6. Batas inferior kavum nasi yaitu palatum durum.
Sinus Paranasalis
Ada 2 golonganbesar sinus paranasalis, yaitu :
* Golongan anterior sinus paranasalis, yaitu :
a. sinus frontalis,
b. sinus ethmoidalis anterior, dan
c. sinus maksilaris.
* Golongan posterior sinus paranasalis, yaitu :
a. sinus ethmoidalis posterior dan
b. sinus sfenoidalis.
Ostia golongan anterior sinus paranasalis berada di meatus nasi medius.
Ostia golongan posterior sinus paranasalis berada di meatus nasi superior. Pus dalam meatus nasi
medius akan mengalir kedalam vestibulumnasi. Pus dalam meatus nasi superior akan mengalir
kedalam faring.
-
Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang
bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas
dan sempit di bagian bawah. Keatas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
kedepan berhubungan dengan rongga mulut melalui
isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui adituspharyngeus, dan kebawah
berhubungan esofagus. Faring terdiriatas:
1. Nasofaring
Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa struktur penting,
seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantong Rathke,
choanae, foramen jugulare, dan muara tuba Eustachius.
Batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana. Kelainan kongenital koana salah
satunya adalah atresia choana.
Struktur Nasofaring :
1. OstiumFaringeum tuba auditivamuaradari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atasostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
musculus levator velipalatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plicasal pingo pharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari
musculus salphing opharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva
terutama ketika menguapa tau menelan.
-
6.Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Nasopharingeal Carcinoma.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing
karena musculus sphincter palato pharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffa epharingei
2. Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsilaris,
arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.
a. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik
faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
b. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah
keluar bila terjadi abses.
c. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dan
ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan
3. Laringofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta fossa piriformis.
Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara, dan
untuk arti kulasi.
AnatomiSaluranNafasAtas
(Laring)
-
Laring merupakan lanjutan bagian
bawah orofaring dan bagian atas trachea.
Disebelah atas laring terletak tulang
hyoid dan akar lidah. Otot leher terletak
didepan laring dan dibelakang laring
terletak laringofaring dan vertebra
servikalis. Pada sisi lain terdapat lubang
kelenjar tiroid. Laring disusun oleh
beberapa tulang rawan tidak beraturan
yang dipersatukan oleh ligament dan
membrane-membran.
Tulang rawan tiroid dibentuk oleh dua lempeng tulang rawan datar yang digabungkan bersama
ke bagian depan untuk membentuk tonjolan laryngeal atau adams apple (buahjakun). Disebelah
atas tonjolan laring tersebut terdapat suatu noktahtiroid. Tulang rawan tiroid pada pria lebih
besar dari pada wanita. Bagian atas dilapisi oleh epitel berjenjang dan bagian bawahnya oleh
epitel bersilia.
Tulang rawan krikoideus terletak dibawah tulang rawan tiroid dan berbentuk seperti suatu cincin
bertanda pada bagian belakangnya. Tulang tersebut membentuk dinding lateral dan posterior
laring dan dilapisi oleh epitel bersilia.
Epiglotis adalah tulang rawan berbentuk daun yang terikat pada bagian dalam bagian depan
dinding tulang rawan tiroid, dibagian bawah noktah tiroid. Selama proses menelan, laring
bergerak ke arah atas dan kearah depan, sehingga laring yang terbuka tersebut dapat ditahan oleh
epiglottis.
Tulang rawan aritenoid adalah sepasang piramida kecil yang dibentuk oleh tulang rawan
hialin.Tulang rawan ini terletak pada ujung atas sebelah luar tulang rawan krikoideus dan
ligament suara menyatu pada tulang rawan tersebut. Tulang rawan ini membentuk dinding
posterior laring.
Tulang hyoid dan tulang rawan laringeus digabungkan oleh ligament dan membrane. Salah
satunya ialah membrane krikotiroid, sekelilingnya menyatu dengan sisi atas tulang rawan krikoid
dan memiliki batas sebelah atas yang bebas, yang tidak sirkular seperti batasan sebelah bawah,
tetapi membentuk dua garis paralel yang melintas dari depan ke belakang. Kedua batasan parallel
-
tersebut adalah ligament suara (vocal ligament). Mereka terikat pada bagian tengah tulang rawan
tiroid disebelah depan dan pada tulang rawan aritenoid pada bagian belakang dan mengandung
banyak jaringan elastic. Ketika otot intrinsic lain menggantikan posisi tulang rawan aritenoid,
ligament suara ditarik bersama, menyempitkan celah diantara mereka. Apabila udara digerakkan
melalui celah sempit yang disebut chink selama ekspirasi, ligament suara bergetar dan
menghasilkan bunyi. Nada dari bunyi yang dihasilkan tergantung pada panjang dan kekencangan
ligament. Tekanan yang meningkat menghasilkan not yang lebih tinggi sedangkan tekanan yang
lebih kendur menghasilkan not yang lebih rendah. Suara bergantung kepada tenaga yang
menyebabkan udara terhisap. Perubahan suara menjadi kata-kata yang berbeda tergantung pada
gerakan mulut, lidah, bibir dan otot muka.
ANATOMI SISTEM RESPIRASI
Saluran nafas terbagi menjadi 2, yaitu :
- saluran nafas atas :
hidung --> faring (nasofaring --> orofaring --> laringofaring).
- saluran nafas bawah :
laring --> trachea --> bronkus
(primer, sekunder, tersier) --> bronchiolus
--> alveolus.
TRACHEA
-
Trachea adalah sebuah pipa silinder atau tabung yang terdiri dari cincin-cincin tulang
rawan yang berbentuk seperti huruf "C".
Jumlah cincin : 16 - 20 buah.
Ukuran : Panjang 13 cm, diameter 2,5 cm.
Bagian :
- Cincin tulang rawan : menjaga rongga trachea tetap terbuka.
- Otot trachealis : sambungan antara ujung-ujung cincin tulang rawan.
- Pseudostartified ciliated columnar epithelium : mengandung sel goblet untuk
menghasilkan mukus.
- Lumen trachea : tempat mengalirnya udara.
Batas - batas :
- superior : laring.
- posterior : esofagus.
- sinistra : aorta.
- dextra : nervus vagus.
- inferior : bronchus.
-
BRONCHUS
Bronchus Primer, ada 2 jenis :
Bronchus primer dextra, karakteristik :
- lebih lebar, jarak ke trakea lebih pendek, dan posisi nya lebih curam.
- karena itu lah jika ada benda asing yang terhirup akan lebih sering tersangkut di
bagian kanan.
Brinchus primer sinistra, karakteristik :
- lebih langsing, jarak ke trachea lebih jauh, dan posisinya lebih landai.
-
Bronchus sekunder (lobaris) :
A. Bronchus sekunder kanan, ada 3 jenis :
- lobus superior
- lobus media
- lobus inferior
B. Bronchus sekunder sinistra, ada 2 jenis :
- lobus superior
- lobus inferior
Bronchus tersier (segmental) :
A. Bronchus tersier kanan, ada 10 jenis :
- lobus superior :
segmental apicale, posterius, anterius.
- lobus media :
segmental lateral, mediale.
- lobus inferior :
segmental superius, basal lateral, basal anterius, basal medial, basal lateral.
B. Bronchus tersier sinistra, ada 8 jenis :
- lobus superior :
segmental apicoposterius, anterius, lingurale superius, lingulare interius.
- lobus inferior :
segmental superius, basal anterius, basal medial, basal lateral, basal posterius.
BRONCHIOLUS
-
bronchiolus adalah saluran terkecil yang berujung pada bronchiolus terminalis.
fungsi : menghubungkan ke tempat pertukaran.
tidak memiliki cincin tulang rawan, hanya memiliki otot polos.
respiratory bronchioles termasuk tempat pertukaran.
ALVEOLUS
-
alveolus adalah tempat pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida.
komponen :
- alveoli : tempat pertukaran gas yang dikelilingi oleh arteriol dan venula.
- alveolar sac : kantung yang merupakan gabungan dari alveoli - alveoli.
- alveolar duct : saluran yang menghubungkan bronchiolus dan alveoli.
alveolus memiliki sel yang menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan
dinding alveoli, sehingga mencegah paru-paru kolaps
THORAX
-
Thorax terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : dinding thorax dan rongga thorax.
Dinding Thorax (bagian permukaan dari thorax)
tersusun oleh :
12 vertebrae thoracal.
12 costae, terdiri dari :
- 7 costae sejati (costae 1 - 7).
karena tulang iga secara langsung menghubungkan vertebrae dengan sternu,
- 3 costae palsu (costae 8 - 10).
karena tulang iga tidak secara lamgsung menempel ke sternum, namun
menempel pada tulang iga diatasnya.
- 2 costae melayang (costae 11 - 12).
karena tulang iga hanya menempel pada vertebrae dan tidak menempel pada
sternum maupun iga diatasnya.
sternum, terdiri dari :
- manubrium sterni :
bagian yang terletak paling atas, dan memiliki bagian yang tebal karena
-
terdapat incisura jugularis.
- corpus :
bagian yang terletak di tengah, dan terdapat persambungan antara corpus dan
manubrium sterni yang dinamakan angulus ludovici.
- proceccus xiphoideus :
bagian yang terletak paling bawah, dan berbentuk lancip seperti pedang.
Rongga Thorax (bagian yang diisi organ-organ thorax)
Rongga thorax terdiri dari :
-
Bagian lateral : yang di tempati oleh paru - paru.
Bagian mediastinum : yang di tempati oleh organ selain paru.
(ada 3 bagian anterior, medius, posterior).
HISTOLOGI
Histologi sistem pernapasan. Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk
mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis. Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari
rongga hidung/mulut hingga ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan
karbondioksida dengan pembuluh darah. Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:
1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
bronkiolus terminalis.
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.
-
saluran pernapasan, secara umum dibagi menjadi pars konduksi dan pars respirasi
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris bersilia
dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5 macam sel
epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal, dan
sel granul kecil.
epitel respiratorik berupa epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet
Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat
kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel
respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh
septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing
dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka
superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel
olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar
dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal(berbentuk
piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret
yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui
-
zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap
udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih
jauh.
epitel olfaktori, khas pada konka superior. Sinus paranasalis terdiri atas sinus frontalis, sinus
maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan
rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan
mengandungsel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikitkelenjar
kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke
rongga hidung.
Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole,
sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring
-
terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya
makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari
tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan
apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh
epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran
mukosa dan serosa. Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke
dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang
terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati
yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis
(otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang
berbeda-beda.
epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para pars laringeal berupa
epitel respiratori Trakea. Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa
pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung
bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan
sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong partikel
asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada
ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat
ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan
mencegah distensi berlebihan.
-
epitel trakea dipotong memanjang
epitel trakea, khas berupa adanya tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda ("c-shaped")
Bronkus
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina propria yang
mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot polos. Tulang rawan pada
bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus yang lebih besar,
cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan dengan mengecilnya garis tengah
bronkus, cincin tulang rawan digantikan oleh pulau-pulau tulang rawan hialin.
Epitel bronkus
Bronkiolus
Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya. Lamina propria
mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel goblet
dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat silindris
bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi epitel selapis silindris
bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada
epitel bronkiolus terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang memiliki granul sekretori dan
mensekresikan protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan neuroepitel yang
-
kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.
epitel bronkiolus terminalis, tidak ditemukan adanya tulang rawan dan kelenjar campur pada
lamina propria
Bronkiolusrespiratorius
Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan mukosa bronkiolus terminalis,
kecuali dindingnya yang diselingi dengan banyak alveolus. Bagian bronkiolus respiratorius
dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel
bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1. Semakin ke distal alveolusnya semakin
bertambah banyak dan silia semakin jarang/tidak dijumpai. Terdapat otot polos dan jaringan ikat
elastis di bawah epitel bronkiolus respiratorius.
Duktusalveolaris
Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak terdapat muara alveolus,
hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang disebut sebagai duktus alveolaris. Terdapat
anyaman sel otot polos pada lamina proprianya, yang semakin sedikit pada segmen distal duktus
alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen. Duktus alveolaris bermuara ke atrium
yang berhubungan dengan sakus alveolaris. Adanya serat elastin dan retikulin yang mengelilingi
muara atrium, sakus alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus mengembang sewaktu
inspirasi, berkontraksi secara pasif pada waktu ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya
pengembangan secara berlebihan dan pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan septa alveolar
-
yang tipis.
bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris dan alveoli
Alveolus
Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara
udara dan darah. Septum interalveolar memisahkan dua alveolus yang berdekatan, septum
tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis dengan kapiler, fibroblas, serat elastin, retikulin,
matriks dan sel jaringan ikat. Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan
alveolus, fungsinya untuk membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas dengan
mudah. Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik yang berperan dalam
penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2) dan pembuangan partikel
kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1 dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang
mencegah perembesan cairan dari jaringan ke ruang udara. Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara
sel alveolus tipe 1, keduanya saling melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2
tersebut berada di atas membran basal, berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti
dirinya sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini memiliki ciri mengandung badan lamela yang
berfungsi menghasilkan surfaktan paru yang menurunkan tegangan alveolus paru.
Septum interalveolar mengandung pori-pori yang menghubungkan alveoli yang bersebelahan,
fungsinya untuk menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan memudahkan sirkulasi
kolateral udara bila sebuah bronkiolus tersumbat.
-
alveolus
Sawar darah udara dibentuk dari lapisan permukaan dan sitoplasma sel alveolus, lamina basalis,
dan sitoplasma sel endothel.
-
sawar udara-kapiler
Pleura
Pleura merupakan lapisan yang memisahkan antara paru dan dinding toraks. Pleura terdiri atas
dua lapisan: pars parietal dan pars viseral. Kedua lapisan terdiri dari sel-sel mesotel yang berada
di atas serat kolagen dan elastin
EMBRIOLOGI
Sistem pernapasan merupakan pertumbuhan keluar dinding ventral usus depan, dan epitel
laring, trachea, bronchus, serta alveoli berasal dari endoderm. Unsur tulang rawan dan otot
berasal dari mesoderm splanknik. Dalam perkembangan minggu ke-4, trachea terpisah dari usus
depan oleh septum oesofagotrachealis, sehingga membagi usus depan menjadi tunas pernapasan
di sebelah anterior dan esophagus di sebelah posterior. Hubungan antara keduanya tetap
dipertahankan melalui laring, yang terbentuk dari jaringan lengkung insang ke-4 dan ke-6. Tunas
paru berkembang menjadi dua bronchus utama: bronchus kanan membentuk dua bronchi
sekunder dan tiga lobus; bronchus kiri membentuk dua bronchi sekunder dan dua lobus.
Kesalahan pemisahan usus depan oleh septum esfagotrakeal menimbulkan atresia esofagus dan
fistula trakeoesofagus.
Sesudah tahap pseudoglandular (5-16 minggu) dan tahap kanalikuler (15-26 minggu), sel-
sel bronkioli yang dilapisi sel kubus, berubah menjadi sel-sel tipis, gepeng, sel epitel alveolus
tipe I, berhubungan erat dengan kapiler darah dan getah bening. Dalam bulan ke-7, pertukaran
gas antara darah dan udara di dalam alveolus sederhana sudah bisa terjadi. Sebelum lahir, paru-
paru terisi oleh cairan yang mengandung sedikit protein, sedikit lendir, dan surfaktan. Zat ini
dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II dan membentuk lapisan pelindung fosfolipid
pada membrane alveolus. Pada saat pernapasan mulai, cairan paru diserap kembali, kecuali
lapisan pelindung surfaktannya, yang mencegah menguncupnya alveoli pada ekspirasi dengan
menurunkan tegangan permukaan pada interface udara-kapiler darah. Tidak ada atau kurangnya
jumlah surfaktan pada bayi premature menyebabkan RDS karena menguncupkan alveoli
primitive (penyakit membrane hialin).
-
Pertumbuhan paru-paru setelah lahir terutama disebabkan oleh
bertambahnya jumlah bronkiolus respiratorius dan alveoli, dan bukan karena bertambah
besarnya ukuran alveoli. Alveoli baru akan terbentuk selama 10 tahun pertama kehidupan
pascalahir.
1.Tunas paru terbentuk pada usia 4 minggu.
2. Dibentuk dari suatu divertikulum pada dinding ventral usus depan, yang meluas ke arah
kaudal (divertikulum respiratorium=tunas paru).
3. Mulamula tunas paru mempunyai hubungan terbuka dengan usus depan, selanjutnya terpisah
menjadi bagian dorsal yaitu esofagus dan bagian ventral yaitu trakea dan tunas paru.
4. Saat pemisahan dengan usus depan, tunas paru
membentuk trakea dan tunas bronkialis.
5. Pada awal minggu ke5 masingmasing tunas membesar membentuk bronkus utama kiri dan
kanan.
6. Bronkus utama kiri membentuk dua cabang sekunder dan kanan membentuk tiga cabang
sekunderkiri dua lobus dan kanan tiga lobus.
-
7. Tunas paru berkembang terus menembus ke dalam rongga selom (kanalis
perikardioperitonealis).
8. Akhirnya kanalis perikardioperitonealis terpisah dengan rongga peritoneum dan perikardium
masingmasing oleh lipatan pleuroperitoneal dan lipatan pleuroperikardial Tersisa rongga
pleura primitifberkembang menjadi pleura visceralis (mesoderm) dan pleura parietalis
(mesoderm somatik).
9. Perkembangan selanjutnya bronkus sekunder terus bercabang secara dikotomi, membentuk
10 bronkus tersier (segmental) di kanan dan 8 di kiri.
10. Akhir bulan ke6 terbentuk 17 generasi anak cabang.
11. Pasca lahir terbentuk 6 anak cabang tambahan.
12. Saat lahir bifurcatio trakea akan terletak berhadapan dengan V.thoracalis ke4.
13. Sampai bulan ke7 prenatal bronkioli terus bercabang menjadi saluran yang lebih banyak dan
lebih kecil (tahap kanalikular), dan suplai darah terus meningkat.
14. Pernapasan dapat berlangsung jika beberapa sel bronkiolus
respiratorius berbentuk kubus berubah menjadi sel gepeng yang
tipis.
15. Sel tersebut berhubungan dengan banyak kapiler darah dan getah bening, ruangruang di
sekitarnya dikenal sebagai sakus terminalis(alveoli primitif).
16. Selama bulan ke7 telah terdapat banyak kapiler yang menjamin pertukaran gas sehingga
janin prematur dapat bertahan hidup.
17. Selama dua bulan prenatal dan beberapa tahun pasca lahir jumlah sakus terminalis terus
meningkat. Terdapat dua jenis sel epitel : Sel e dapat je s se ep te Se epitel alveoli tipe I dan sel
epitel alveoli tipe II.
18. Sel epitel alveoli tipe I, membentuk sawar darahudara dengan endotel. Sel epitel alveoli tipe
II menghasilkan surfaktan (berkembang pada akhir bulan ke6), suatu cairan kaya fosfolipid dan
mampu menurunkan tegangan permukaan pada antarmuka udaraalveolus.
19. Sebelum lahir paru mengandung kadar klorida tinggi, sedikit protein, sedikit lendir dari
bronkus dan surfaktan.
20. Saat lahir, pernapasan dimulai, sebagian besar cairan paru cepat diserap oleh kapiler darah
dan getah bening dan sejumlah kecil mungkin dikeluarkan melalui trakea dan bronkus selama
proses kelahiran.
-
21. Ketika cairan diserap di sakus alveolaris, surfaktan mengendap sebagai lapisan fosfolipid
tipis pada selaput sel alveoli.
22. Tanpa ada surfaktan, alveoli akan menguncup selama ekspirasi (atelektasis)
23. Alveoli akan terus dibentuk selama 10 tahun pertama kehidupan setelah lahir
Adaptasi Pernapasan Pascanatal
a. penyebab bernapas saat lahir
Keaadaan asfiksia ringan yang disebabkan karena kontraksi saat melahirkan dapat
menyebabkan penekanan pada placenta sehingga menyebabkan hipoksia sehingga merangsang
pusat pernapasan bayi untuk bernapas dan Impuls sensoris juga yg timbul karena penginginan
kulit secara tiba-tiba setelah bayi dilahirkan sehingga merangsang stimulus tambahan thd pusat
pernapasan.
b. produksi surfaktan di alveolus
Surfaktan adalah campuran heterogen fosfolipid dan protein yang disekresi oleh pneumosit
tipe II di alveolus adanya Apoprotein mambantu penyebaran surfaktan dilapang paru dan untuk
reuptake dan daur ulang surfaktan pada kasus bayi prematur glukokortikoid dapat meningkatkan
sintesis apoprotein sehingga mencegah gawat napas karena prematuritas dan Insulin,
hiperglikemia, ketosis menghambat pembentukan surfaktan sehingga banyak kasus ibu dengan
menderita diabetes melitus yang memiliki bayi dengan distress napas akibat kekurangan
surfaktan. surfaktan juga serperan sebagai imunitas paru, Surfactan A dan D (lectin) yg terdapat
diserum dan paru akan menstimulasi fagositosis dan kemotaksis, mengatur pelepasan sitokin
oleh sel b dan Lipid surfaktan dapat menekan imunitas tergantung Kadar protein dan lipid
sebagai status imun paru
Surfaktan yang kurang dapat menyebabkan paru lebih mundah terinfeksi
c. proses penarikan napas pertama
Merupakan terbentuk interface cairan-udara dalam paru Jika tegangan interface ini tidak
diturunkan maka paru akan kolaps Surfaktan paru akan menurunkan tegangan paru dengan
-
membentuk lapisan lipid hidrofobik sehingga Surfaktan yang kurang menyebabkan tegangan
paru yang tinggi
transformasi fungsi paru dari organ sekretorik jadi organ reabsopsi
Selama kehamilan cairan diparu janin kaya dengan Cl, K,H dalam rongga paru cairan ini
penting dalam perkembangan paru tp tidak mendukung untuk adanya proses pernapasan sebelum
lahir terjadi penyesuaian sebelum lahir sehingga cairan tersebut disekresi lebih sedikit
dan Saat sudah lahir cairan diparu tersebut di rebsorpsi oleh epitel di alveolus karena terjadi
perubahan fungsi epitel di alveolus dari sekresi Cl menjadi absorpsi Na sisa cairan paru diserap
dan dialirkan ke sirkulasi lewat pembuluh darah atau limfatik melalui Transporter yg berperan
kanal Na pada epitel
pernapasan yang terlambat pada bayi dapat menyebabkan bahaya hipoksia pada bayi
Ibu anestesi umum selama persalinan yang berefe padafetus dapat mempengaruhi
pernapasan bayi jadi terlambat
Trauma kepala saat melahirkan dapat mengakibatkan perdarahan intrakranial dan
terbentuk hematoma yang menekan pusat pernapasan
Proses melahirkan lama sehingga kontraksinya juga lama menyebabkan tertekanya
placenta sehingga fetus terancam hipoksia
Pemisahan plasenta prematur
Kontraksi uterus berlebihan > menekan plasenta
-
SISTEM PERNAFASAN JANIN
Pertumbuhan sistim pernafasan janin telah dimulai sejak minggu ke-empat kehamilan
(hari ke 24) dimana celah laryngotracheal muncul didasar pharinx lama kelamaan semakin
dalam membentuk diverticulum laryngotracheal. Dalam pertumbuhannya kearah kaudal lipatan
longitudinal mesenchim berfusi membentuk tracheoesophageal, yang memisahkan laryngo
tracheal tube ( diventral ) dengan esophagues di dorsal. Laryngotracheal tube bertumbuh menjadi
larynx dan trachea. Tunas paru berkembang dari ujung kaudal tube ini dan segera bercabang
menjadi 2 buah tunas brocho pulmonary (tunas paru). Dari setiap percabangan ini terbentuk
saluran udara/pernafasan yaitu brochus dan bronchiolus. Jaringan pernafasan- bronchiolus
duktus dan sacus elveolaris dan alveoli berkembang dari ujung terminal bronchiolus dan terus
berkembang sampai periode post natal. Sel epitelnya berasal dari endodermal.
PERKEMBANGAN ANATOMIK PARU JANIN
Pada hari ke 26 28 bronchus primer terbentuk. Perkembangan selanjutnya terjadi pada
empat fase yang overlapping, yaitu :
Fase glandular, hari ke 28 sampai minggu ke 16. Disebut fase glandular karena secara histologis
terlihat gambaran glandula yang dilapisi oleh epitel kuboid pada bagian terminalnya yang
terjadi proses percabangan brochus. Demikian pula dengan arteri pulmonalis yang bertumbuh
mengikuti percabangan bronchus. Pembuluh kapiler masih terpisah jauh dari terminal saluran
nafas oleh jaringan interstitiel.
Kehidupan ektra uterine belum memungkinkan pada tahap ini karena kapasitas pertukaran gas
yang masih terbatas antara kapiler dan saluran nafas.
Fase canalicular, minggu ke 13 sampai dengan minggu ke 25. Pada saat ini terjadi canalisasi
saluran nafas. Setiap bronchus memunculkan 2 atau lebih bronchiolus respiratorius dan setiap
bronchiolus respiratorius terbagi menjadi 3 sampai 6 ductus alveolaris. Epitel menjadi lebih
tipis. Kapiler semakin dekat dengan epitel pernafasan dan potensi pertukaran gas masih terbatas.
Fase terminal sac, dari 24 minggu sampai lahir. Ductus alveolaris tumbuh menjadi alveoli
primitif. Epitel berdiferensiasi menjadi tipe I dan tipe II. Sel alviolar tipe I menutupi lebih
-
kurang 95 % alveoli. Jumlah kapiler semakin bertambah dan semakin dekat dengan sel tipe I,
sehingga memungkinkan pertukaran gas yang lebih baik. Sel tipe II berperan dalam mensintesa,
menyimpan dan mensekresikan surfaktant.
Fase alveolar, mulai pada fase akhir kehidupan dalam kandungan berlangsung terus sampai 8
tahun. Alveolarisasi yang sebenarnya dimulai kira-kira pada 34 sampai 36 minggu. Pada saat
kelahiran alveoli dewasa baru didapatkan sekitar 1/8 sampai dengan 1/6. Jumlah alveoli terus
bertambah sampai terbentuk alveoli dewasa seluruhnya setelah 8 tahun.
Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama terdiri dari 2
tipe sel, yaitu pneumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli merupakan epitel
yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel endotel kapiler, yang
memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II, yang lebih kecil dari tipe I terletak
disudut-sudut aveoli, berbentuk kuboid dan mengandung lamellar inclusion spesifik bila dilihat
dibawah mikroskop elektron. Lamellar body adalah tempat penyimpanan surfaktant intraseluler.
Dengan analisa biokemik ternyata lamellar body mengandung surfaktant sejenis fospolipid.
Sel tipe II menangkap precursor pembentuk Fospolipid dan protein. Sintesa terjadi dalam
endoplasmic reticulum. Setelah dimodifikasi dalam golgi aparatus komponen surfactant dibawa
dan disimpan dalam lamellar body. Lamellar body ini disekresikan dengan cara exsocytosis dan
dibuka diluar sel membentuk tubular myelin. Dari sini dihasilkan surfactant monolayer; yang
diabsorpsi ke air liquid interface. Dengan mikroskop elektron tubular miyelin stelihat seperti
kisi-kisi berbentuk tabung segi empat. Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi
sebagai respons terhadap trauma. Setelah mengalami trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding
arveoli dan sel tipe II berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian berkembang
menjadi sel tipe I.
-
PERKEMBANGAN BIOKEMIK
Surfaktant adalah kompleks antara fosfolipid dan protein, dimana 85 90 % adalah
fospolipid dan 10 % protein. Komposisi lipid (Fospolipid) dari surfaktant terutama terdiri dari
saturated palmitic acid. Komposisi surfaktan adalah seperti tabel berikut :
% Total Weight Protein
Protein 10 15
Phospholipid 85 90
% of Total Phospholipid
Phospatidyl choline (PC) 80 85
Disaturated phospatidyl choline 45 50
Phospatidyl glycerol 6 11
Phosphatidyl ethanolamine 3 - 5
Phosphatidyl insitol 2
Sphingomyeline 2
Sintesa fatty acid dan fospolipid terjadi de novo dalam sel tipe II, yang bahan-bahannya
diambil dari sirkulasi darah. Sumber energi diambilkan dari glycogen. Kadar glykogen dalam
paru janin meningkat pada saat awal perkembangan paru yang mencapai puncaknya pada saat
akhir kehamilan. Kemudian menurun dengan cepat bersamaan dengan peningkatan sintesa
-
fospolipid. Pada saat peningkatan sintesa phopatidyl choline, aktifitas enzim choline phospatidyl
transverase juga meningkat pada saat akhir kehamilan. Demikian juga peningkatan sintesa Fatty
acid paralel dengan peningkatan enzim fatty acid sintese. Selain komponen fospolipid juga
terdapat komponen protein. Surfaktant protein A (SP-A) merupakan highly glycocilated protein
yang berperan dalam sekresi surfaktant dan reuptake oleh sel tipe II. Juga berperan penting
dalam pembentukan tubullar myelin. Komponen protein lain SP- B dan SP-C berperan dalam
aktifitas permukaan surfaktant.
Sejumlah rangsangan fisik, biokemik, dan hormonal dapat mempengaruhi perkembangan
paru serta sintesa dan sekresi fospolipid. Insiden RDS lebih rendah pada bayi yang dilahirkan
setelah proses persalinan baik pervaginam maupun dengan seksio sesarea dibandingkan dengan
yang lahir tanpa diawali proses persalinan pada usia kehamilan yang sama. Persalinan diduga
mempercepat sekresi surfaktant dan tidak mempengaruhi sintesa. Perbedaan jenis kelamin
ternyata bayi laki-laki lebih sering dikenai RDS dibandingkan dengan bayi perempuan.
Perbedaan kadar fospolipid dalam cairan ketuban memperlihatkan bahwa maturasi paru
perempuan lebih cepat terjadi satu minggu. Diduga hal ini disebabkan peningkatan sekresi dan
bukan peningkatan sintesa. Ibu dengan DM juga mempengaruhi pematangan paru, dimana RDS
lebih sering didapatkan pada bayi dengan ibu menderita DM. Tidak jelas faktor apa yang
menyebabkan terlambatnya maturasi paru, apakah hipoglikemia, hiperinsulinemia, gangguan
metabolisme, fatty acid atau kombinasi faktor-faktor tersebut.
Sintesa surfactant juga distimulasi oleh beberapa hormon seperti glucocorticoid hormon
thyroid,TRH dan prolactin, dan oleh growth factor seperti, epidermal growth factor (EGF). Dari
faktor tersebut, pengaruh glucocatiroid sangat banyak di teliti. Pemberian glukokortikoid kepada
janin menyebabkan sejumlah perubahan morfologi, yang menandakan percepatan maturasi paru,
pembesaran alveoli, penipisan inter alveolar septum, peningkatan jumlah sel tipe II dan
peningkatan lamellar body dalam sel tipe II. Glukokortiroid juga meningkatkan sintesa
fhospolipid paru dan protein surfactant. Secara klinis ternyata pemberian streroid antenatal
mempercepat maturasi paru.
Sekresi surfactant juga dirangsang oleh sejumlah zat, termasuk B.adrenergic-agonist (seperti
terbutalin) dan perinoceptor agonist (seperti adenosin) dan Camp.
-
PENILAIAN MATURITAS PARU
Penilaian maturitas paru dengan analisa fhospolipid dalam cairan ketuban telah dimulai
sejak tahun 1971, ketika Gluck melaporkan adanya perubahan konsentrasi phospolipid dalam air
ketuban selama kehamilan. Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa phospolipid yang
terdapat dalam cairan ketuban terutama berasal dari paru janin. Dia juga menemukan bahwa
phospolipid total dalam air ketuban meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada
35 minggu. Kadar lecithin (phosphatidil choline) hampir sama dengan sphingomyelin sampai 35
minggu. Dimana saat itu terjadi peningkatan kadar lesitin + 4 x sphingomyelin. Setelah 35
minggu, kadar lesitin tetap meninggi sedangkan sphingomyelin sedikit menurun. Berdasarkan
hal ini ratio L/S mulai diperhatikan, apalagi hasilnya dapat dibaca dengan segera dengan metode
spektroskopi inframerah.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa nampaknya maturitas paru sudah tercapai bila
kadar lesitin telah melebihi kadar sphingomyelin. Pada keadaan normal ratio L/S = 2 tercapai
pada kehamilan 35 minggu. Maturasi paru dianggap cepat bila Ls ratio > 2 pada 35 minggu
kehamilan, dan dianggap terlambat bila < 1, setelah 35 minggu. Keadaan yang mempercepat
maturasi paru antara lain, pregnancy induced hipertension, hipertensi karena kelainan ginjal,
jantung sickle sell anemia, addiksinarkotik, diabetes kelas D,E,F dan PRM yang lebih dari 24
jam. Keadaan yang memperlambat maturasi paru antara lain diabetes kelas A,B,C, hydrops
fetalis dan non hipertensive ranal disease.
Dalam hubungan dengan terjadinya RDS, tampaknya RDS tidak didapatkan bila L/S ratio
> 2. Kadar phosphatidylglyceral (PG) sebesar > 3 % dari total phospolipid juga menunjukkan
maturasi paru. Kombinasi penilaian L/S ratio dan kadar PG meningkatkan akurasi penilaian
maturasi paru, dimana L/S matur dengan Pg positif mempunyai negative predictive value hampir
100 %. Adanya darah dan mekoniumsangat mempengaruhi/mengurangi akurasi L/S ratio.
Clement tahun 1972 melaporkan test stabilitas busa/test kocok, yang didasarkan kepada
kemampuan surfactan untuk menjaga kestabilan busa dengan adanya etanol. Test ini cukup
sederhana mudah dilakukan dan hasilnya dapat dibaca dengan segera. Test disebut mature bila
-
didapatkan busa dengan pengeceran air ketuban 1 : 2, dan disebut immature bila tidak
dihasilkan busa dengan pengenceran 1 : 1. Dibandingkan dengan L/S ratio, test kocok sama
akuratnya dalam prediksi maturitas, tapi false immature rate nya tinggi, sehingga harus
dikonfirmasikan dengan L/S ratio. Juga test ini tidak akurat bila didapatkan darah atau
nekonium.
Penilaian maturitas paru juga didapatkan berdasarkan pemeriksaan mikroviskositas
Cairan ketuban dengan polarisasi fluoresensi Viskositas cairan ketuban tinggi dan konstan
sampai kehamilan 30 32 minggu, kemudian turun secara teratur sampai kehamilan aterm. Test
ini cukup akurat dalam menilai maturitas tapi over estimate dalam menilai immaturitas. Dengan
teknik polarisasi fluoresensi juga dilakukan penilaian ratio surfactant terhadap albumin. Test ini
mudah dilakukan dan hasilnya dapat dibaca dengan segera, tapi memerlukan instrumen khusus.
Hasil yang matur berkorelasi dengan baik dengan maturitas klinis, tapi hasil yang immature
tidak bisa memeramalkan dengan baik terhadap kejadian RDS.
Untuk menilai kematurannya paru secara lebih akurat, maka penelitian diarahkan kepada
pemeriksaan protein surfactant dalam air ketuban. Pada kehamilan 12 32 minggu tidak
ditemukan protein dalam cairan ketuban. Titer protein meningkat dari kehamilan 32 minggu
sampai dengan 37 minggu, kemudian menetap. Penelitian yang lebih khusus terhadap kadar
surfactant protein A dengan mempergunakan monoclonal antibody spesifik menunjukkan bahwa
kadar protein > 3 lg/ml sangat akurat untuk maturitas paru, dengan false-positive yang tinggi
untuk immaturitas. Bila test ini digabungkan dengan L/S ratio dan kadar PG, maka prediksi
immaturitasnya meningkat secara dramatis.
KORTIKOSTEROID DAN MATURITAS PARU
Penelitian tentang pengaruh glukokotikoid terhadap pematangan paru telah banyak
dilakukan, baik invivo mapun vitro streroid ini mempercepat maturitas paru baik dari segi
anatomik, biokemik maupun fisiologik glukokortikoid bekerja pada paru malalui mekanisme
reseptor steroid klasik. Steroid masuk kedalam sel dan berikan dengan spesifik cytoplasmic
receptor. Kompeks steroid-reseptor ini kemudian ditranslokasi ke neuklues, dimana dia
berinteraksi dengan bagian tertentu dari DNA, menghasilkan transkripsi RNA, RNA ini
-
kemudian di translasi dalam sitoplasma menjadi protein glukokortikoid meningkatkan surfactan
protein A,B,C beserta RNA nya sebagaimana juga fatty acid synthase, structural protein collagen
dan elastin. Steroid berperan dalam mengatur sintesa surfactan, tapi tidak berperan dalam
memulainya.
Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa steroid mempercepat maturasi paru dan
memperbaiki viabilitas bayi prematur. Berdasarkan ini trial klinis dilakukan dengan pemberian
steroid pada antenatal. Hampir semua penelitian menunjukkan penurunan insiden RDS tapi
dengan hasil yang terbatas. Penelitian-penelitian terakhir memperlihatkan kemungkinan steroid
dapat meningkatkan fungsi paru post natal dan peningkatan proses kognitif. Secara umum steroid
antenatal sangat efektif bila diberikan sebelum usia kehamilan 32 minggu. Hasil yang optimal
didapatkan bila bayi dilahirkan paling sedikit 2 3 hari. dan paling lambat dalam 7 10 setelah
mulainya pemberian obat. Tampaknya pemberian pada bayi laki-laki kurang berhasil
dibandingkan dengan bayi perempuan. Pemberian steroid tidak menunjukan hubungan yang
bermakna dengan peningkatan resiko infeksi neonatal, khorioamnionitis, penurunan berat lahir,
neonatal adrenal suppression, neonatal sepsis maupun neonatal death, tapi terdapat sedikit
peningkatan infeksi maternal.
Meskipun dengan pemberian steroid secara optimal, kejadian RDS tidak bisa dicegah
sama sekali, dimana masih didapatkan 10 % bayi menderita RDS bila usia kehamilan diatas 30
minggu dan 35 % bila dibawah 30 minggu. Kombinasi dengan hormon tyroid membantu dalam
mengurangi kejadian RDS dan menurunkan insiden penyakit paru kronis. Bagaimana
mekanismenya masih dalam taraf penelitian.
Penelitian terhadap perkembangan paru masih tetap berlangsung. Peranan gen dalam
produksi surfactant, manipulasi hormonal terhadap surfactant dan elemen struktur paru masih
dalam penelitian dan kemungkinan memberikan efek terapi yang lebih baik dimasa datang.
-
PENYAKIT KONGENITAL
Kelainan congenital pada dinding paru
Kelainan congenital ini terdiri atas 3 jenis yaitu:
1. Pectus excavatum (Funnel chest)
Processus xiphoideus sternum menekuk ke dalam, yakni ke arah diafragma yang
menimbulkan deformitas pada thoraks. Bersifat herediter,berkurangnya faal paru,
restriktif maupun obstruktif
A. Etiologi :
Kelainan kongenital biasanya yang menyebabkan dan Hipertrofi adenoid yang berat
B. Epidemiologi :
Tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki dan ada kecenderungan familial dari penyakit
ini.
Dapat dijumpai pada Sindrom Marfan & Sindrom Noonan
C. Penatalaksanaan :
Tindakan koreksi dengan operasi, dengan indikasi estetika / ada infeksi paru yang
berulang
Operasi dianjurkan pada umur 18 bulan 5 tahun
Memisahkan berkas muskulus interkostal dari sternum & memperbaiki kecekungan
sternum
Memasang penyangga logam
untuk mengangkat sternum
-
2. Pectus carinatum (Pigeon chest)
Sternum menonjol ke arah depan. Biasanya disertai dengan depresi vertikal pada
daerah kondrokostal
A. Etiologi :
Pada umumnya disebabkan oleh ricketsia, penyakit paru yang berulang, dan infeksi yang
berulang
B. Epidemiologi :
Lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pektus excavatum
C. Manifestasi klinis :
Kebanyakan penderita pectus carinatum tidak memberikan gejala
D. Tatalaksana :
Terapi operasi :
- Yang mengalami deformitas
Reseksi/pemotongan kartilago
- Memperbaiki bentuk sternum
Osteotomi transversal
3. Sternal fissures
Fisura disebabkan oleh kegagalan primodia sternum untuk berdifusi.
-
Celah sternal superior lebar & mencapai kartilago kosta keempat, celah sternum distal
adalah bagian tak terpisahkan dari pentologi Cantrell, yang terdiri dari defek lain pada
jantung, diafragma, & dinding abdomen
Celah sternal lengkap adalah bentuk fisura paling jarang & harus diperbaiki
selama masa bayi. Osteotomi dari masing-masing belahan & perkiraan kembali biasanya
dapat
dikerjakan.
BRONKIEKTASIS
1. DEFINISI
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus
yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muscular dinding
bronkus (Soeparman & Sarwono, 1990)
Bronkiektasis merupakan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus permanen, dilatasi
bronkus ini bisa setempat (fokal) dengan melibatkan jalan nafas yang memasok bagian
parenkim paru yang terbatas, atau bisa juga difus dengan melibatkan jalan nafas dalam
distribusi yang tersebar lebih luas (Isselbacher.etal,2000).
Bronkiektasis merupakan kelaianan bronkhus di mana terjadi pelebaran atau dlatasi
bronkus local dan permanen karena kerusakan struktur dinding. Bronkiektasis merupakan
kelainan saluran pernafasan yang sering kali tidak berdiri sendiri, akan tetapi dapat
-
merupakan bagian dari sindrom atau sebagai akibat (penyulit) dari kelainan paru yang lain
(Arif Muttagin, 2008).
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis (Brunner & Suddart,vol 1,
2002)
2. ETIOLOGI
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh beberapa kondisi berikut :
a. Infeksi paru dan obstruksi dari bronkus.
b. Aspirasi benda asing, muntahan atau material yang berasal dari saluran napas bagian atas.
c. Tekanan dari tumor, dilatasi pembuluh, darah dan pembesaran kelenjar limfe.
d. Kelainan struktur congenital (fibrosis kistik, kurangnya kartilago bronkus)
3. KLASIFIKASI
Berdasarkan atas bronkografi dan patologi bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Fusiform bronchiectacsis
Fusiform bronchiectacsis atau Bronkiektasis silindris berbentuk tabung. Bronkiektaksis ini
yang paling ringan dan sering ditemukan pada bronkiktasis yang menyertai bronchitis
kronik.
2. Saccular bronchiectacsis
Bronkiektasis sakular ini berbentuk tabung. Bentuk ini merupakan bentuk bronkiektasis
yang klasik,ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat
irregular. Bentuk ini kadang kadang berbentuk kista (cyctic bronkiktasis)
3. Varicose bronchiectasis
Bentuknya merupakan bentuk antara diantara bentuk tabung dan katong. Istilah ini
digunakan karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises pembuluh vena.
4. TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan
beratnya penyakit,lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas
penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum,adanya hemoptitis dan
-
pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat ,dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
Bronkiektasis tidak dapat secara cepat didiagnosis, karena gejala-gejalanya mungkin
akan menyerupai dengan bronkitis kronis. Tanda yang definitif dari bronkiektasis adalah
riwayat batuk produktif dalam jangka waktu lama, dengan sputum yang secara tetap negatif
terhadap basil tuberkel.
Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering memberikan gejala :
a. Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung
kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik,jumlah sputum bervariasi,umumnya
jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun.
Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid,sedang apabila terjadi infeksi sekunder
sputumnya purulen,dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi
sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan sputum sangat berbau.
b. Hemoptisis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan
ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan
timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai
perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau
terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari peredaran darah
sistemik)
Pada brokiektasis kering,hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya,karena
jenis ini letaknya di lobus atas paru,drainasenya baik,sputum tidak pernah menumpuk dan
kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal.
5. EPIDEMIOLOGI
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat sangat penting pada negara-
negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS,bronkiektasis mengalami penurunan
sering dengan kemajuan pengobbatan. Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk
dengan golongan sosio ekonomi yang renddah. 1,5 data terakhir yang diperoleh dari RSUD
-
DR. Soetomo tahun 1990 menempatkan bronkiektasis pada urutan ke-7 terbanyak. Dengan
kata lain didapatkan 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien raat inap.
6. PATOFISIOLOGI
Infeksi merusakkan dinding bronkial, sehingga akan menyebabkan hilangnya struktur
penunjang dan meningkatnya produksi sputum kental yang akhirnya akan mengobstruksi
bronkus. Dinding secara permanen menjadi distensi oleh batuk yang berat. Infeksi meluas ke
jaringan peribronkial, pada kondisi ini timbullah saccular bronchiectasis. Setiap kali
dilatasi, sputum kental akan berkumpul dan menjadi abses paru, eksudat keluar secara bebas
melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya terlokalisasi dan mempengaruhi lobus atau segmen
paru. Lobus bawah merupakan area yang paling sering terkena.
Retensi dari sekret dan timbul obstruksi pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi dan
kolaps (atelektasis) alveoli distal. Jaringan parut (fibrosis) terbentuk sebagai reaksi
peradangan akan menggantikan fungsi dari jaringan paru. Pada saat ini kondisi klien
berkembang ke arah insufisiensi pernapasan yang ditandai dengan menurunnya kapasitas
vital (vital capacity), penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio residual volume terhadap
kapasitas total paru. Terjadi kerusakan pertukaran gas di mana gas inspirasi saling
bercampur (ventilasi-perfusi imbalance) dan juga terjadi hipoksemia.
7. MANIFESTASI KLINIS
Batuk kronik dan produksi sputum purulen kehitaman dan berbau busuk
Batuk semakin berat kalau pasien berubah posisi
Jumlah sputum yang dikeluarkan bergantung stadium penyakit, tetapi pada stadium yang
berat dapat mencapai 200 ml sehari
Hemoptisis sering terjadi biasanya berupa sputum yang mengandung darah (50-70%
kasus dan dapat disebabkan oleh perdarahan mukosa yang rapuh atau adanya inflamasi)
Pneumonia berat. Sesak napas, sianosis
Clubbing finger, terjadi akibat insufisiensi pernafasan.
Asimptomatik pada beberapa kasus
-
8. PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Fisik Fokus
- Inspeksi
Klien dengan bronkhiektasis terlihat mengalami batuk-batuk dengan sputum yang
banyak terutama pada pagi hari serta setelah tiduran dan berbaring. Pada inspeksi, bentuk
dada biasanya normal.
Adanya batuk darah sering dijumpai pada sekitar 50% dari klien dengan bronkhiektasis.
Batuk darah pada klien dengan bronkhiektasis biasanya bersifat masif karena sering
melibatkan pecahnya pembuluh darah arteri yang meregang pada dinding bronkhus dan
melemahnya dinding bronkhus akibat stimulus batuk lama dapat menyebabkan batuk darah
masif.
- Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
- Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor.
- Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan
obstruktif pada.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah tepi
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang ditemukan adanya leukositosis yang
menunjukkan adanya supurasi aktif dan anemia yang menunjukkan adanya infeksi menahun.
- Pemeriksaan urine
Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya proteinuria yang bermakna dan
disebabkan oleh amiloidosis. Namun imunoglobulin serum biasanya dalam batas normal
kadang bisa meningkat atau menurun.
-
2. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum meliputi volume dan warna sputum serta sel-sel dan bakteri yang ada
dalam sputum. Bila terdapat infeksi maka volume sputum akan meningkat dan menjadi
purulen serta mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri. Biakkan sputum dapat
menghasilkan flora normal dari nasofaring seperti Streptokokus pneumoniae, Hemofilus
influenza, Staphylococcus aureus, Kleibsiela, Aerobacter, Amoeba proteus, dan
Pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan sputum berbau busuk berarti menunjukkan
adanya infeksi kuman anaerob.
3. Pemeriksaan Radiologi Thoraks Foto (AP dan Lateral)
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas corakan menjadi
kabur, mengelompok, kadang-kadang ada gambaran sarang tawon (honey comb structure)
serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai
lobus paru kiri karena mempunyai diameter yang lebih kecil daripada paru kanan dan
letaknya menyilang di mediastinum, segmen lingual lobus atas kiri, dan lobus medius paru
kanan.
Pada klien dengan TB paru, gambaran bronkhiektasis dapat berbentuk sakular atau silindris,
dan dapat ditemukan pada lobus atau segmen yang mengalami gangguan. Kadang-kadang,
kelainn ini juga ditemukan pada daerah yang kurang nyata mengalami gangguan. Diduga
bronkhiektasis yang terjadi pada TB paru dapat ditetapkan berdasarkan pada hal ini di mana
tidak ada kecurigaan dari Rontgen thoraks yang menyangkut atas keterlibatan parenkrin
paru.
4. Pemeriksaan Bronkhogram
Bronkhogram tidak rutin dikerjakan, tetapi bila ada indikasi dilakukan untuk mengevaluasi
klien yang akan dioperasi, yaitu klien dengan pneumonia yang terbatas pada suatu tempat
dan berulang serta tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat pengobatan
konservatif atau klien dengan hemoptisis yang masif. Bronkhogram diiakukan pada kondisi
klien yang sudah stabil setelah pemberian antibiotik dan postural drainase yang adekuat
sehingga bronkhus bersih dari sekret.
-
10. PENATALAKSANAAN MEDIS
Ada empat tujuan utama dari penatalaksanaan medis pada pasien bronkiektasis yaitu :
Menemukan dan menghilangkan masalah yang mendasari
Memperbaiki bersihan sekret trakeobronkial
Mengendalikan infeksi
Memulihkan obstruksi
Pengobatan :
Pembersihan bronkus setiap hari dengan seksama, disertai drainase postural yang
biasanya harus dilanjutkan seumur hidup
Bronkodilator yang digunakan untuk menurunkan kejadian obstruksi saluran napas, dan
untuk membantu pembersihan sekret, berguna pada pasien pada saluran napas yang
hiperreaktif
Pemberian antibiotik untuk mengontrol infeksi juga merupakan terapi lain yang penting
Vaksinasi yang diberikan tepat pada waktunya terhadap penyakit anak-anak yang sering
disertai komplikasi pneumonia, penggunaan antibiotik yang benar dan pengobatan lain pada
pneumonia serta pengangkatan segera benda asing yang diaspirasi, semuanya merupakan
tindakan pencegahan.
-
HYALIN MEMBRAN DISEASE
Hyaline Membrane Disease (HMD), juga dikenal sebagai respiratory distress
syndrome (RDS), adalah penyebab tersering dari gagal nafas pada bayi prematur, khususnya
yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu.
Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru
lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau
komplikasinya.
HMD disebut juga Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi
kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran
bernafas, (pernafasan cuping hidung, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan
sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan dan pada
pemeriksaan radiologis ditemukan pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram.
Pengenalan surfaktan eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan
klinik dari penyakit dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit.
Hyaline Membrane Disease (HMD)
Respiratory Distress Syndrome (RDS)
Definisi
HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe
1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir,
ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan
dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48
96 jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat
didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh
retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada
pemeriksaan radiologist ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaranground
glass appearance dan air bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS.
Insidensi
Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru
lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari semua
kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya.
-
HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur
kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-
30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi
pada bayi matur.
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37
minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang
dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. Pada ibu
diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi
surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-
hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya
infeksi kongenital kronik.
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. (9)
Pada
laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan
oleh sel pneumosit tipe II.
Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin releasinghormon pada ibu.
Etiologi dan Patofisiologi
Pembentukan Paru dan Surfaktan
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari
esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler,
serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak
antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30
minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 34
minggu.
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum
mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur
baru muncul setelah 35 minggu kehamilan.
Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi
paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema
paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi.
-
Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80
%, phosphatidylglycerol 7 %, phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant protein
A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi
fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan.,
fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di
alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.
Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan dikirim ke
aparatus Golgi (3) melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam
badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan.
Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan
disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5). Mielin tubular menciptakan
fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara (6) di alveolus,
yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta
protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil (7), melalui jalur
spesifik yang melibatkan endosom (8) dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan
lamelar (9) untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (10).
Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam.
Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum
didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di
retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi
dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus.
Etiologi HMD
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan dari
paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan
permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin,
phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin.
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia,
dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat
pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi
oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya
surfaktan.
-
Patofisiologi HMD
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik
mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena
jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan
dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke
rongga laveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat
respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial
mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan
saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan
tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat
diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding
dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan
bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir
respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami
atelektasis.
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang kecil dan
berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli
memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia.
Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan
meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui
paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi
surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat
menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu
terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis
metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan
-
penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus
arteriosus memperburuk hipoksemia.
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi
vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah
paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein
pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan
karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa
terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting
yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang. Compliance paru.
Patologi
Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi menyerupai liver. Secara mikroskopis,
terdapat atelektasis luas. Beberapa ductus alveolaris, alveoli dan bronchiolus respiratorius
dilapisi mebran kemerahan homogen atau granuler. Debris amnion, perdarahan intra-alveolar,
dan emfisema interstitial dapat ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan positive
end expiratory pressure (PEEP). Karakteristik HMD jarang ditemukan pada penderita yang
meninggal kurang dari 6-8 hari sesudah lahir. Membran hyalin tidak didapatkan pada bayi
dengan RDS yang meninggal
Ditandai dengan alveoli yang kolaps berselang-seling dengan alveoli yang mengalami
hiperaerasi, kongesti vaskuler, dan membran hyalin (fibrin, debris sel, eritrosit, netrofil dan
makrofag). Membran hyalin terlihat sebagai materi yang eosinifil dan amorf, membatasi atau
mengisi rongga alveolar dan menghambat pertukaran gas.
2.5 Manifestasi klinik
Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui
beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x / menit).Bila
didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien
-
membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang
berat (bila berat badan lahir.
Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan pernafasan
cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas
dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat
terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang
progresif dari sianosis dan dyspnea.
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi
peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya
penyakit.apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya
intervensi segera.
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria.
Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat
dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada
kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut,
bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 33
minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi
lebih kecil (usia kehamilan 26 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik.
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar
oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari
kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema
interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.
Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadibronchopulmonary
displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD berat).
Diagnosis
Gejala klinis
Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu
(>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama
kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir.
-
Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat
asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun
ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam.
Tabel 2.1 Silverman score
Grade Gerakan dada
atas
Dada bawah
(retraksi ICS)
Retraksi
epigastrium
PCH Grunting
0 sinkron - - - -
1 Tertinggal
pada inspirasi
ringan ringan minimal Terdengar pada
stetoskop
2 See-saw jelas jelas jelas Terdengar
tanpa stetoskop
Gambaran Rontgen
Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang
karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim
dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi
dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul
dalam 6-12 hari.
Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat :
Stage I : gambaran reticulogranular
Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung
Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.
Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus. Gambaran white
lung.
Thoraks berbentuk seperti lonceng karena aerasi tidak adekuat ke seluruh bagian paru. Volume
paru berkurang, parenkim paru menunjukkan pola retikulogranular difus, serta adanya gambaran
air bronchogram sampai ke perifer.
Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi secara uniform. Paru mengalami
hipoaerasi disertai peningkatan air bronchogram.
Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air bronchogram nyata, gambaran jantung
sukar dinilai. Terdapat area kistik di paru kanan, menunjukan alveoli yang berdilatasi atau awal
-
dari pulmonary interstitial emphysema (PIE).
Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak
menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah
awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif,
hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.
Echocardiograf
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat
pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan
adanya kelainan struktural jantung.
Tes kocok (Shake test)
Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui
nasogastrik tube pada neonatus banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %, dicampur
di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15 menit.
Pembacaan :
Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD
+1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD
+2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung
+3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua deret
+4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur
Amniosentesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya HMD,
antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis
(pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin-spingomielin
Tes apung paru
Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk mengetahui
apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya mayat harus
segar.
Keluarkan alat-alat dalm rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu kesatuan,
pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat. Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak
yang berisi air. Bila terapung, lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang kanan.
-
Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan pemisahan masing-masing
lobus, kanan terdapat 5 lobus, kiri 2 lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang
tenggelam, mana yang terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5
potong dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan perifer. Apungkan ke-25
potongan kecil-kecil tersebut. Bila terapung, letakan potongan tersebut pada 2 karton, dan
lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air. Bila
terapung berarti tes apung positif, paru-paru mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan
hidup. Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap
pernah dilahirkan hidup.
Diagnosis Banding
Pneumonia neonatal
Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan
HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan
HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy
coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.
Transient Tachypnea of The Newborn
Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan.
Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS hipoaerasi). Densitas retikulogranular
bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak menetap
minimal 3 4 hari.
Sindroma aspirasi mekonium
Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema
fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi.
Lain-lain
Penyakit jantung sianotik ( anomali total aliran balik vena pulmonal), sirkulasi fetal yang
persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi pleura, eventrasi diafragma, dan
kelainan kongenital seperti malformasi kistik adenomatoid, limfangiektasi pulmonal, hernia
-
diafragma, atau emfisema lobaris harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan
gambaran rontgen.
Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul
sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan. Perdarahan paru,
sepsis.
Hal-hal yang dapat menimbulkan edema paru seperti PDA, obstruction of pulmonary
venous drainage, hypoplastic left heart syndrome, dan edema pulmo neurogenik, sekunder
darimperdarahan intracranial.
Hal-hal yang diasosiasikan dengan hipoaerasi paru seperti sedasi ibu, hipoksemia berat,
hipotermia, kerusakan CNS. Keadan ini tidak menimbulkan gambaran opak granular bilateral
pada rontgen thoraks (berbeda dengan RDS).
predisp
osisi
Usia
kehamilan
Derajat
distress
Mulainya
gejala
Hipoksem
ia
Hipeca
pnea
Respo
n
terhad
ap O2
Respon
terhadap
IPPV
Suara
nafas
Tanda
infeksi
Rontgen dada
HMD premat
ur
preterm +++/++++ Beberapa
jam
++/++++ +/+++ ++ Membaik Turun,
crackles
- kabur
Air bronchogram
granuler
TTN SC
ibu
overhid
rasi
Full term
Near term
++ Beberapa
jam
+ -/+ +++ Bukan
indikasi
crackles - Kabur
Vaskular marking
Cardiomegali
pneum
onia
Ibu
mengal
ami
infeksi
Preterm
Full term
++/++++ Hari
pertama /
lebih
++/++++ +/++ ++ Variabel,
mungkin
membaik
Turun
crackles
+ Bercak / granuler
Efusi pleura
MAS Fetal
distress
Full term
Post term
++/+++ Sej