religiusitas masyarakat migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun -...

309
E ntrepreneuship masyarakat Lamongan di Jakarta terkonstruksi dalam sebuah dialekka bukan karena faktor lingkungan sosial budaya yang bersifat ekslusi sosial. Melainkan movasi dalam mobilitas sosial climbing untuk mentransformasi status sosial (achieved status) di masyarakat secara verkal. Konklusi ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan para informan yang berwirausaha dalam sektor kuliner. Temuan ini menunjukan bahwa lingkungan sosial budaya hanya memberi implikasi terhadap kesadaran diskursif pada pola migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta.

Upload: others

Post on 26-Jun-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneuship masyarakat Lamongan di Jakarta terkonstruksi dalam sebuah dialektika bukan karena faktor lingkungan sosial budaya yang bersifat ekslusi sosial. Melainkan motivasi dalam mobilitas sosial

climbing untuk mentransformasi status sosial (achieved status) di masyarakat secara vertikal. Konklusi ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan para informan yang berwirausaha dalam sektor kuliner. Temuan ini menunjukan bahwa lingkungan sosial budaya hanya memberi implikasi terhadap kesadaran diskursif pada pola migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta.

Page 2: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

RELIGIUSITAS DAN ENTREPRENEURSHIP Masyarakat Migran

Muhammad Ainun Nasikh

Cinta Buku Media

Page 3: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

RELIGIUSITAS DAN ENTREPRENEURSHIP MASYARAKAT MIGRAN

Penulis : Muhammad Ainun Nasikh Editor : Imam Zaki Fuad Desain Sampul : Nur Nukmah Layout : Nounna

Penerbit Nama Penerbit : Cinta Buku Media Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8 Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan Hotline CBMedia 0858 1413 1928 e_mail: [email protected] All rights reserverd Hak cipta dilindungi Undang-Undang Cetakan: Ke-1 Juni 2016 ISBN: 978-602-6902-31-3

Page 4: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

iii

Kata Pengantar

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirahi>h. Puji dan syukur Alhamdulillah

peneliti haturkan kepada Allah ta‘a>la> atas segala rahmat, hidayah,

dan lindungan-Nya. Berkat semua nikmat dan anugerah-Nya

peneliti dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan tema

“Religiusitas dan Entrepreneurship Masyarakat Migran”. Meskipun

dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangannya. Oleh

sebab itu, saran dan kritik yang membangun dari para guru besar

yang memberikan banyak pengetahuan kepada peneliti serta teman-

teman mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta senantiasa peneliti harapkan guna perbaikan. Tesis ini

merupakan hasil penelitan penulis sebagai persyaratan

menyelesaikan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Gagasan dalam pengerjaan research ini berawal dari keinginan

peneliti untuk mengungkapkan fenomena sosial kewirausahaan

masyarakat pedesaan di Jakarta. Secara sederhana, peneliti berusaha

untuk menggali nilai-nilia lokal dan motivasi masyarakat pedesaan

dalam berwirausaha dan berkompetisi agara survive di Jakarta

sebagai kota terbesar di Indonesia. Peneliti awalnya mengkaji

kewirausahaan masyarakat pedesaan sebagai problem solving pengangguran. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti

berharap semoga tesis ini tidak hanya memberikan manfaat secara

akademis. Tetapi juga manfaat secara praktis sebagai kontribusi

peneliti dalam pengembangan masyarakat.

Penyelasaian dalam pengerjaan tesis ini tidak akan terealisasi

tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti

mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah

memberikan motivasi dan saran dalam upaya penyelesaian tesis ini.

Pertama kepada bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA sebagai rektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah,

Page 5: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

iv

sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, beserta jajaran pengurus dan pimpinan, Prof. Dr. Didin

Syaefuddin, MA, dan Dr. JM. Muslimin, MA, juga kepada seluruh

civitas akademik dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN

Jakarta. Terlebih pegawai yang selalu memberikan kenyamanan dan

kemudahan dalam pelayanan kampus. Kepada mas Arif Mahmudi

dan mas Adam, mbak Vemy dan mbak Ima, pak Imron, pak Teguh,

pak Zul, pak Anin serta pegawai Sps lainnya.

Kedua kalinya, Prof. Dr. M Bambang Pranowo, MA yang

dengan penuh kesabaran dan ketekunan memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada peneliti. Sehingga disela-sela kesibukannya,

beliau banyak menyempatkan waktu buat peneliti. Atas semua ilmu

dan pengorbanan yang beliau berikan, peneliti mengucapkan banyak

terima kasih kepada Prof. Dr. M Bambang Pranowo, MA

jazakumullahu ahsana jaza khoiron katsi>ro>. Tidak lupa para dosen

Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah memberikan banyak

wawasan dan pengetahuan selama perkuliahan, Prof. Dr. Azyumardi

Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA,

Prof. Dr. Usep Abdul Matin, MA, Prof. Dr. Abdul Chair, MA, Prof.

Dr. Abdul Mujib, Prof. Dr. Ahmad Rodhoni MM, Prof. Dr. Zulkifli,

MA, Prof. Dr. Masri Mansoer MA, Prof. Dr. Abudin Nata, MA,

Prof. Dr. Muhammad Zuhdi, MA serta para dosen yang telah

memberikan banyak ilmu kepada peneliti.

Ketiga, peneliti ucapkan rasa terima kasih tak terhingga

kepada kedua orang tua. Bapak Sunadji dan Ibu Siti Fatimah atas

segala jerih payah dan kasih sayangnya dalam membesarkan dan

mendidik peneliti sampai saat ini. Peneliti berharap semoga mampu

memberikan kebahagiaan dan kebanggaan bagi kedua orang tua

kelak. Kepada saudara peneliti, Nurul Khasanah, Zahratun Nisak

dan Ahmad Thoriq Hidayatulah, serta Fitri Citra dan bu Yuyun

yang telah memberikan motivasi untuk terus berkarya bagi agama

bangsa dan kedua orang tua.

Keempat, peneliti ucapkan terimakasih banyak kepada senior,

teman, dan sahabat seperjuangan di Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Bapak Daminto

Danansuryo sahabat karib peneliti yang telah memberikan banyak

nasehat dan motivasi kepada peneliti selama kuliah di Sps UIN

Page 6: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

v

Jakarta. Kang Sansan Ziaul Haq yang setia menemani peneliti

keliling Jakarta n makan nasi pecel. Teman-teman SPS, bang Jaky

dan bang Choky sebagai teman setia di quite room, bang Iredo Fani

Reza, mas Novairi Husaini, Oja Rosalinda yang baik hati, pak

Zulkarnain as-Samarinda yang murah senyum, mas Irham yang

menemani peneliti keliling Jakarta, pak Munjin, pak Asep Saifullah,

Rahmad Hidayat, pak Bahrudin yang memberikan banyak

pengetahuan pada peneliti, mas joe Yudril yang ringan tangan pada

teman-teman, Fahmi Majid dan Firmansyah, Saipul dan Sairul, Pak

Tony dan Atok Islami, Hengky, mbak Yanti, Sonia, Fitria Anwar,

ust Munif Sulaiman, Jon Hafidz, Didik, Dadan, gus Rabitul Umam

dan Zainul Mun’im, bu Rahmi dan bu Ramlah, pak Kombes Yahya

Agil, pak Saifudin Herlambang, pak Zulkifli, pak Mu’thi, bu

Uswatun, pak Aiz, Suhendra, Widya, mbak Rista, Dewi, bang

Sahlan, dll.

Sahabat-sahabat di kosan yang selalu berbagi kebahagiaan

dan canda tawa bersama (Fadhil Marjan yang keren n suka

menolong, mas Nawir, mas Okha Putra dan Akmal Gunawan yang

membuat penulis selalu tertawa di kosan, Pak Amril dan Pak

Rahman Muhahalli yang sering memberi nasehat kepada peneliti,

mas Rof’il, Salman, dan Hulaimi, buya Isya, Syahir, Ghifar, Goldi,

Tarmiji dan Zainul). Semoga Allah mengabulkan cita-cita kita

semua agar menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa, dan

bangsa. Amiin ya robbal alamiinn.

Wassalamu Alaikum. Wr. Wb.

Peneliti

Muhammad Ainun Nasikh

Page 7: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

vi

Page 8: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

vii

Abstrak

Tesis ini menyimpulkan entrepreneuship masyarakat

Lamongan di Jakarta terkonstruksi dalam sebuah dialektika bukan

karena faktor lingkungan sosial budaya yang bersifat ekslusi sosial.

Melainkan motivasi dalam mobilitas sosial climbing untuk

mentransformasi status sosial (achieved status) di masyarakat secara

vertikal. Konklusi ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan para

informan yang berwirausaha dalam sektor kuliner. Temuan ini

menunjukan lingkungan sosial budaya hanya memberi implikasi

terhadap kesadaran diskursif pada pola migrasi masyarakat

Lamongan ke Jakarta.

Berdasarkan temuan selama penelitian, tesis ini sependapat

Mc Clelland (1961), yang menyimpulkan perilaku kewirausahaan

ditentukan oleh motivasi berprestasi (need of achievement) yang

mendukung perkembangan suatu masyarakat. Penelitian ini juga

sependapat dengan Philipp Koellinger (2008), Wacquant (1992),

yang menjelaskan perilaku kewirausahaan bukan ditentukan oleh

lingkungan sosial budaya. Temuan ini diperkuat oleh Bambang

Pranowo (2009), yang mendeskripsikan adanya interaksi masyarakat

Jawa dengan pasar disertai dengan intensitas kepemilikan lahan.

Memberikan implikasi pada aktivitas ekonomi berskala makro yang

menyebabkan kemajemukan profesi masyarakat Jawa. Lebih lanjut,

Robert W. Hefner (2000), menyimpulkan bahwa kebudayaan Jawa

tidak konta dengan sistem perdagangan dan kewirausahaan.

Sementara itu, peneliti tidak sependapat dengan Davidsson

(1995), Paul Tracey dan Nelson Phillips (2007), yang

mengidentifikasi pandangan mengenai korelasi antara nilai-nilai

budaya dan perilaku kewirausahaan. Penjelasan terbentuknya

perilaku kewirausahaan didasarkan atas asumsi masyarakat yang

mengajarkan nilai-nilai kewirausahaan akan banyak orang yang

menjadi wirausaha. Pendapat ini diperkuat oleh Koentjaraningrat

(2007), yang mendefinisikan adanya warisan budaya priayi menyebabkan masyarakat Jawa bekerja sebagai pegawai pegawai

negeri sipil (PNS). Dalam sektor kewirausahaan, masyarakat Jawa

Page 9: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

viii

mempunyai etos kerja yang rendah karena warisan budaya priayi yang menyebabkan enggan untuk berwirausaha.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif

(descriptive research) yang menjelasan maksud dari sebuah

fenomena sosial (taxonomic research). Jenis data dalam penelitian

ini berasal dari data primer dan sekunder dan dianalisis untuk

mendapatkan hasil penelitian yang valid, reliable dan objektif.

Lokasi dalam penelitian ini adalah Jakarta. Sedangkan yang menjadi

objek penelitian adalah masyarakat Lamongan yang secara ekslusif

berwirausaha dalam sektor kuliner. Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sosiologi, ekonomi, dan antropologi

yang dianalisis dengan teori kewirausahaan dan transformasi sosial.

Kedua teori tersebut merupakan preposisi yang digunakan untuk

mendeskripsikan fenomena sosial.

Kata Kunci : Migrasi, entrepreneurship, status sosial, budaya.

Page 10: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

ix

Pedoman Transliterasi Arab-Latin Ala-LC Romanization Tables

1. Konsonan

Initial Romanization Initial Romanization

ḍ ض omit ا

ṭ ط b ب

ẓ ظ t ت

‘ ع th ث

gh غ j ج

f ف }h ح

q ق kh خ

k ك d د

l ل dh ذ

m م r ر

n ن z ز

sس s ه،ة h

w و sh ش

y ي ṣ ص

1. Vokal

Page 11: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

x

Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab

meliputi: vokal tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].

a. Monoftong

Tanda Nama Huruf Latin

ــــ Fath}ah a

Kasrah i ــــ

ــــ D}ammah u

b. Diftong

Tanda dan

Huruf Nama Gabungan Huruf

ــــ ي Fath}ah dan Ya ay

ـــــ و Fath}ah dan Wawu aw

2. Maddah

Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda

ــــــــ ــىـــــ ـا Fath}ah dan Alif atau

Ya a>

ــــ ي Kasrah dan Ya i>

ـــــ و D}ammah dan Wawu u>

3. Ta Marbut}ah

Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata

lain [dalam istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka

transliterasinya t. Akan tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain

atau bukan sebagai posisi mud}a>f, maka menggunakan h. Contoh:

Kulli>yat al-A<da>b ك لية اآلد اب al-Bi>’ah الب يـئ ـــــــــــــــة

Page 12: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

xi

Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................... iii

Abstrak ..................................................................................... vii

Transliterasi ............................................................................. ix

Daftar Isi .................................................................................. xi

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1

B. Permasalahan .................................................................. 17

1. Identifikasi Masalah ....................................................... 17

2. Pembatasan Masalah ....................................................... 19

3. Rumusan Masalah ........................................................... 19

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................. 19

D. Tujuan Penelitian ............................................................ 29

E. Manfaat Penelitian .......................................................... 29

F. Metode Penelitian ........................................................... 30

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................... 30

2. Waktu Penelitian ............................................................ 33

3. Tahap Penelitian ............................................................. 34

4. Sumber Data ................................................................... 36

G. Sistematika Penulisan ..................................................... 38

BAB II

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama

Dalam Diskursus Ilmu Sosial

A. Diskursus Migrasi ........................................................... 41

1. Kajian Teori Migrasi ....................................................... 44

2. Migrasi dalam Perspektif Islam ....................................... 49

Page 13: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

xii

B. Entrepreneurship dalam Diskursus Ilmu Sosial ............... 53

1. Landasan Teori Entrepreneurship ................................... 55

2. Pendekatan Teori Perubahan Sosial ................................ 69

C. Entrepreneurship dalam Perspektif Islam ........................ 77

BAB III

Gambaran Umum Daerah Asal

Masyarakat Lamongan

A. Islam di Lamongan ......................................................... 81

1. Sejarah Penyebaran Islam di Lamongan .......................... 88

2. Akulturasi Islam di Lamongan ........................................ 94

3. Transformasi Sosial Tradisi Keagamaan ......................... 106

B. Deskripsi Wilayah Kabupaten Lamongan ....................... 110

1. Kondisi Geografis ........................................................... 115

2. Sistem Mata Pencaharian Penduduk ............................... 116

3. Tingkat Pendidikan Masyarakat ..................................... 121

C. Kondisi Sosial Masyarakat Lamongan ............................ 125

BAB IV

Migrasi dan Entrepreneurship

Masyarakat Lamongan di Jakarta

A. Motif Migrasi Masyarakat Lamongan ke Jakarta ............ 135

1. Faktor Kondisi Geografis ................................................ 145

2. Faktor Sosial Budaya ...................................................... 149

3. Faktor Ekonomi .............................................................. 156

B. Fase Migrasi Masyarakat Lamongan ............................... 163

C. Konstruksi Entrepreneurship ........................................... 176

1. Latar Belakang Berwirausaha ......................................... 182

2. Pola Manajemen Kewirausahaan ..................................... 209

D. Problem dalam Berwirausaha .......................................... 214

E. Filosofi Berwirausaha ..................................................... 217

Page 14: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

xiii

BAB V

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan

A. Pola Interaksi Sosial Masyarakat Lamongan di Jakarta ... 227

B. Korelasi Agama dengan Wirausaha ................................. 232

C. Ekspresi Keagamaan Masyarakat Lamongan di Jakarta .. 240

D. Entrepreneurship dan Diferensasi Sosial Keagamaan ...... 248

E. Kontribusi Masyarakat Lamongan

dalam Mereduksi Pengangguran ...................................... 257

BAB VI

Penutup

Kesimpulan .............................................................................. 271

Saran ........................................................................................ 273

Daftar Pustaka .......................................................................... 275

Glosarium ................................................................................. 289

Indeks ....................................................................................... 291

Biografi Penulis ........................................................................ 293

Page 15: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

xiv

Page 16: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

1

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ekonomi yang disebabkan kompetisi usaha

telah membawa implikasi terhadap kehidupan masyarakat.1

Pembangunan ekonomi suatu negara menyebabkan terjadinya

perubahan budaya.2 Problem kultural adalah hambatan yang berasal

dari masyarakat yang disebabkan oleh rendahnya etos kerja.

Eksistensi kebutuhan baru yang sengaja diciptakan manusia

memberikan dampak pada aspek transformasi sistem mata

pencaharian. Koentjaraningrat (2009), menyatakan mayoritas

masyarakat pedesaan secara general bermata pencaharian sebagai

petani (peasant communities) dan nelayan (fishing communities).3

Kondisi geografis dimana entitas masyarakat tinggal dapat

1 Pasar bebas sering dianggap tidak siap untuk mengatasi masalah sosial

seperti bahaya lingkungan, ketimpangan, masalah kesehatan, pengangguran,

kejahatan, dan sebagainya). Karena pasar dianggap tidak memiliki kapasitas untuk

memecahkan masalah sosial, tanggung jawab ini biasanya diserahkan kepada sektor

publik. Lihat, Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 72.

2 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.

4 (July 2010), 609-641. 3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2009), 217. Orang desa biasanya bekerja sebagai petani karena mentalias mereka adalah petani. Sementara orang perkotaan biasanya bekerja

sebagai buruh, pedagang dan pegawai serta berwirausaha. Mereka mempunyai

motivasi yang lemah untuk menjadi wirausahawan. Lihat juga, Koentjaraningrat,

Kebudayaan Mentalitas dan Pembangnan (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 37.

Page 17: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

2 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

mengkonstruk sistem mata pencaharian. Masyarakat yang tinggal di

daerah pesisiran secara umum bermata pencaharian sebagai nelayan.

Asumsi ini di dasarkan pada ketersediaan sumber daya alam yang

berasal dari laut. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah

pegunungan yang bermata pencaharian sebagai petani.

Masyarakat Indonesia pada dasarnya mempunyai kesempatan

yang sama untuk bermobilitas sosial, terutama dalam aspek

ekonomi. Keterbatasan lahan pertanian serta tuntutan untuk

meningkatkan status sosial dapat menjadi stimulus terhadap

transformasi sistem mata pencaharian suatu masyarakat. Manusia

sebagai mahluk utilitarian mempunyai kecenderungan berpikir

secara rasional ketika mengadopsi resiko. Kalkulasi pendapatan

sebagai media meningkatan status sosial menjadi pertimbangan

yang penting bagi masyarakat desa dalam mengambil opsi dalam

bekerja.

Masyarakat Jawa secara umum menempatkan status sosial

bukan hanya berdasarkan indikator kekayaan atau akumulasi materi.

Status sosial pada aspek pemerintahan adalah pertimbangan penting

yang membentuk orientasi kerja masyarakat Jawa. Berbeda dengan

masyarakat Cina yang menempatkan status sosial berdasarkan

akumulasi kekayaan. Pola kehidupan sosial dalam bentuk stratifikasi

sosial masyarakatnya di tentukan oleh kinerja mereka dalam

menghimpun kekayaan. Pola kehidupan masyarakat Jawa

membentuk suatu tatanan sosial yang menyebabkan sebagian besar

masyarakatnya berorientasi pola kerja di pemerintahan yang dikenal

dengan budaya priayi atau ambtenaar. Sistem priayi di Jawa

menurut Denys Lombard (1990), tidak selamanya diwariskan oleh

ayah kepada anak-anak mereka. Kebudayaan priayi berkembang dari

abad ke-17 dan diwariskan sampai saat ini.4

4 Denys Lombard, Le Carrefour Javanais (Paris: E>cole des Hautes E>tudes en

Sciences Sociales, 1990), 103. Diterjemahkan oleh, Winarsih Partaningrat Arifin

Page 18: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 3

Namun bahan-bahan etnografis menunjukan bahwa

kebudayaan Jawa tidak menolak perdagangan. Keakraban

masyarakat Jawa dengan pasar tidak mengherankan ketika

pedagang-pedagang yang berasal dari Jawa dengan mudah

membedakan transaksi yang bersifat sosial dan ekonomi. Orang

Jawa terlibat perdagangan namun tidak dalam akumulasi kekayaan,

mereka adalah pengusaha yang bukan kapitalis.5 Perubahan sosial

suatu masyarakat yang menilai status sosial bukan di dasarkan pada

aspek pendidikan atau jabatan dapat membentuk pola kehidupan

yang baru. Orientasi masyarakat yang pada awalnya bekerja sebagai

pegawai negeri sipil atau pemerintahan secara gradual dapat

tereduksi. Prestasi pada aspek akademisi mengalami degradasi

ketika masyarakat menghadapkan pencapaian pengetahuan dan

status sosial dalam dunia kerja tidak lagi menjadi sebuah indikator

yang intens.

Reifikasi sosial yang menjadi sebuah indikator ketika menilai

status sosial individu ditengah-tengah masyarakat ditentukan oleh

eksistensi materi. Feneomena pola kehidupan materialisme dapat

merubah sistem berpikir (mindset) masyarakat yang terdiri dari

entitas-entitas individu. Aspek prestasi dalam pendidikan dan status

kepangkatan dalam dunia kerja tidak lagi menjadi sebuah nilai yang

vital. Pemaknaan status sosial terhadap individu pada fase yang

demikian ditentukan oleh akumulasi kekayaan semata.

Alih profesi dianggap sebagai sebuah opsi yang tepat sebagai

mekanisme dalam meninkatkan income guna memenuhi kebutuhan

hidup. Masyarakat pedesaan tidak lagi memandang bahwa bekerja

sebagai petani ataupun nelayan dapat meningkatkan kekayaan

mereka secara massif. Ketiadaan lahan pertanian menjadi faktor

dkk, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama), 103. 5 Robert W. Hefner, Eds. Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam

Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan LP3ES, 2000), 303-304.

Page 19: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

4 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

yang dapat merubah pola sistem mata pencaharian masyarakat.

Aktivitas individu yang tidak mempunyai lahan pertanian pada

umumnya bergantung pada sektor yang lain. Untuk memenuhi

kebutuhan hidup, mereka pada umumnya bekerja sebagai buruh tani

dan serabutan.

Kewirausahaan merupakan diantara opsi yang memberikan

ekspektasi besar dalam akumulasi kekayaan. Profesi yang demikian

banyak membeikan ketidakpastian dalam upaya menghimpun

kekayaan. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih enggan

untuk memilih profesi sebagai seorang wirausaha. Diantara faktor

yang menghambat terbentuknya perilaku entrepreneur adalah

dikarenakan sikap individu yang tidak ingin berkompetisi.6

Termasuk konsep etos kerja nerima ing pandum (menerima segala

pemberian apa adanya).7

Pada kasus tertentu, jenis pekerjaan yang demikian dianggap

menjanjikan serta tidak membutuhkan sebuah legalitas pendidikan

dalam kontinuitasnya. Keberhasilan dalam berwirausaha memang

menjadi harapan semua orang. Meskipun tidak semuanya menuai

keberhasilan sebagaimana yang diharapkan.8 Golongan masyarakat

yang tidak mempunyai pendidikan yang layak secara umum

mengambil opsi bekerja pada sektor non formal yang tidak

membutuhkan gelar secara akademisi. Pertimbangan yang penting

pada sektor entrepreneur bukan ditentukan oleh hanya reproduksi

dunia pendidikan semata. Masyarakat yang tidak mempunyai

pendidikan yang layak senantiasa termotivasi untuk berwirausaha

ketika ingin memperbaiki kehidupan ekonominya. Diantara mereka

6 Willy Arafah. Esensi Lingkungan Bisnis dan Entrepreneurship (Jakarta:

Univaersitas Trisakti, 2010), 27. 7 Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan

Pemaknaan Budaya (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2015),

136. 8 Kasmir, Kewirausahaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 30.

Page 20: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 5

bahkan banyak yang eksis ketika menjalankan usaha di berbagai

sector di kota-kota besar di Indonesia.

Masyarakat migran dari golongan bawah mayoritas belajar

kewirausahaan dari pendidikan kewirausahaan pada tempat mereka

magang atau bekerja. Pola pendidikan yang demikian secara aktif

banyak memproduksi wirausahawan kelas kaki lima yang bergerak

dalam berbagai sektor perekonomian. Termasuk dalam sektor

kuliner yang dianggap tidak membutuhkan banyak keterampilan dan

modal untuk menjalankan usaha. Eksistensi usaha kecil yang

terdapat di kota-kota besar diharapakan memberikan kontribusi

dalam mengurangi jumlah pengangguran.

Masyarakat Lamongan merupakan di antara sekian banyak

kelompok migran yang terdapat di Jakarta. Secara umum, jenis

usaha kuliner menjadi orientasi masyarakat Lamongan dalam

mendirikan usaha. Opsi sektor kuliner merupakan jenis usaha yang

menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat Lamongan yang

bermigrasi ke-kota-kota besar di Indonesia. Sektor kewirausahaan

yang di jalankan oleh masyarakat Lamongan telah memberikan

dampak yang intens dalam mengurangi jumlah pengangguran di

kota-kota besa di Indonesia seperti Surabaya dan Jakarta.

Berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang

berorientasi sebagai priayi yang berorientasi sebagai pegawai

negeri.9 Meskipun bekerja sebagai priayi membawa seseorang untuk

bergaul dengan bebagai lapisan masyarakat. Pandangan hidup

diukur berdasarkan banyaknya teman dalam sistem kehidupan

masyarakat Jawa (blater) yang menjadi sebuah filosofi.10

Masyarakat Lamongan mempunyai perbedaan dengan masyarakat

Jawa pada orientasi kerja sebagai wirausaha. Dalam bahasa Jawa

9 Niels Murder, Petualangan Seorang Antropolog di Jawa (Yogyakarta:

Kanisius, 2007), 156. 10 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,

Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1993), 158-157.

Page 21: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

6 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

ada sebuah akronim untuk menggambarkan motivasi masyarakat

Lamongan dalam mengembangkan semangat kewirausahaannya

yakni: bondo nekat atau bonek sebagai ungkapan yang mempunyai

arti modal nekat dalam mengawali segala sesuatu.

Fenomena kewirausahaan masyarakat Lamongan menjadi

sebuah kajian yang unik bagi peneliti. Ditengah berbagai program

pemerintah atau swasta untuk mendirikan perguruan tinggi yang

memberikan pengajaran dan skill. Kewirausahaan masyarakat

pedesaan mempunyai peran yang tidak kalah penting dalam upaya

mereduksi problem sosial pengangguran. Metode pembelajaran yang

diterapkan kewirausahaan masyarakat pedesaan khususnya

masyarakat Lamongan adalah learning by working, yakni bekerja

sambil belajar.

Latar belakang kebudayaan merupakan diantara faktor yang

menyebabkan dan membentuk perilaku masyarakat. Budaya

masyarakat yang menilai perilaku atau status sosial bukan

ditentukan oleh faktor kekayaan mampu membentuk suatu

masyarakat yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan

sehari-hari. Masyarakat yang demikian ini biasanya bersifat

sederhana dan membentuk suatu tatanan kehidupan sosial yang

teratur. Para pemuda atau penduduk dapat merasa nyaman ketika

menempati kampung halamannya. Sistem kehidupan yang dibangun

bukan di dasarkan pada akumulasi kekayaan semata. Melainkan dari

aspek menjalankan nilai dan tatanan sosial secara holistic.

Setiap masyarakat pada dasarnya mempunyai peran yang

sama dalam memperbaiki sistem mata pencahariannya. Mereka bisa

menjadi petani dan pedagang sesuai dengan potensi yang mereka

miliki. Faktor geografis hanyalah sebagian kecil diantara beberapa

sebab yang mempengaruhi. Budaya ambtenaar yang diwariskan oleh

Belanda sampai saat ini masih dijalankan oleh masyarakat Jawa.

Sebagian besar mereka mempunyai motivasi untuk bekerja sebagai

pegawai pemerintahan atau yang dikenal dengan budaya priayi.

Page 22: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 7

Situasi ekonomi yang kurang baik disertai dengan minimnya

kemampuan mengembangkan karir pada akhirnya menyebabkan

masyarakat desa bermigrasi ke-kota. Krisis ekonomi ketika

dihadapkan pada perubahan sosial masyarakat tidak lagi menjadi

hambatan dalam mengingkatkan kemapanan dalam kehidupan.

Kebutuhan individu yang meningkat pada akhirnya membawa

implikasi berupa perubahan sosial, yakni fase dimana masyarakat

semakin individualis dan mementingkan aspek materi.

Situasi lokal masyarakat yang tidak nyaman serta kehidupan

perkotaan yang dianggap memberikan peluang yang menjanjikan

menjadikan push and pull antara pedesaan dengan perkotaan.

Masyarakat desa mempunyai asumsi bahwa kehidupan yang mereka

jalankan di desa tidak lagi baik. Kontrol sosial yang kuat disertai

peluang yang minim mengakibatkan masyarakat desa bemigrasi ke

kota-kota besar. Dengan adanya kontrol yang kuat menyebabkan

ruang gerak masyarakat desa terasa sempit dan tidak leluasa dalam

mengembangkan karirnya sebagaimana di kota-kota besar.

Dalam kehidupan, manusia mempunyai kebutuhan yang

bersifat materiil dan non materiil atau jasmani dan rohani.

Kebutuhan materiil erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan

yang bersifat jasmaniah sebagai sarana dalam melanjutan

kelangsungan hidup. Makan dan minum serta berbabagai sarana

kebutuhan lain sengaja diperjuangakan manusia guna

melangsungkan kehidupannya. Sementara kebutuhan yang bersifat

rohani ataua batiniah biasanya erat kaitannya dalam upaya untuk

meningkatkan status sosialnya. Kebutuhan ini lebih bersifat pada

upaya pemuasan nilai dan nama dalam kehidupan masyarakat.

Kelompok individu menetapkan berbagai indikator khusus yang

menjadi tolok ukur tinggi rendahnya status sosial seseorang.

Perubahan sosial dalam masyarakat desa erat kaitannya

dengan sistem mata pencaharian yang berhubungan dengan kondisi

alam. Termasuk beralihnya mata pencaharian yang awalnya dari

Page 23: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

8 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

petani pada sektor yang lain. Masyarakat yang mempunyai lahan

yang sedikit mensiasati penambahan kebutuhannya dengan mencari

kerja sampingan. Berdagang merupakan pekerjaan yang erat

kaitannya dengan kalangan ibu-ibu. Sedangkan bertani identik

dengan pekerjaan yang dilakukan oleh kalangan laki-laki.11

Adanya perubahan kondisi musim menyebabkan petani

mengalami ketergantungan yang tinggi dengan alam. Mereka hanya

mengandalkan mata pencahariannya dalam sektor pertanian semata

tanpa tergantung dengan mencari sumber pendapatan yang lain.

Para antropolog mengkaji tentang cara hidup manusia dengan

mengumpulkan data mengenai proses ekonomi atas budaya lokal.12

Termasuk dalam kegiatan sistem mata pencaharian masyarakat yang

tergantung dengan kondisi alam.

Budaya masyarakat desa yang masih berorientasi pada

pegawai dengan gaji bulanan yang stabil serta rendahnya kualitas

etos kerja masyarakat. Mengakibatkan meningkatnya jumlah

pengangguran dan menimbulkan problem sosial seperti kemiskinan,

kriminalitas dan masalah-masalah sosial lainnya.13

Pengangguran

merupakan problem sosial yang merugikan serta menimbulkan

berbagai dampak negatif.

Ketidaksesuaian antara skill dengan dunia kerja terkadang

menyebabkan kinerja kerja yang kurang efektif. Sebuah kondisi

dihadapkan dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang dan

keahlian yang tidak berkorelasi. Sebuah koreksi bagi kalangan

sarjana ataupun catatan penting bagi para pemerintah. Sebab sarjana

11 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,

2009), 95. 12 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,

2012), 46. 13 Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable

Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 322.

Page 24: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 9

mempunyai modal penting berupa Sumber Daya Manusia (SDM)

yang berkualitas.14

Orientasi masyarakat untuk menjadi pegawai dengan gaji

bulanan yang stabil menjadi faktor penyebab terjadinya fenomena

sosial yang demikian.15

Mindset masyarakat yang merasa lebih

bergengsi bilamana bekerja pada sebuah perusahaan besar ataupun

instansi pemerintahan daripada membuka lapangan kerja baru dari

awal. Adanya warisan budaya yang lebih berorientasi pada

keinginan untuk menjadi pegawai lebih tinggi daripada keinginan

untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Sebagaimana yang terjadi

pada masyarakat pedesaan yang berorientasi pada pekerjaan yang

menjamin kemapanan hidup daripada berhadapan dengan resiko

yang tidak pasti. Mayoritas masyarakat desa menjual tanah dan

ternaknya agar anak-anak mereka diterima bekerja dalam instansi

pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta.

Menurut Engelen, Thalmann, dan Brettel (2014), faktor

budaya berperan secara efektif memajukan orientasi kewirausahaan

suatu masyarakat. Terutama budaya nasional yang ditandai dengan

individualisme yang kuat. Sedangkan budaya yang bersifat hierarkis

umumnya meenjadi penghalang orientasi kewirausahaan.16

Namun

Mc Clelland (1961), menekankan kewirausahaan ditentukan karena

kebutuhan prestasi (need of achievement). Termasuk motivasi untuk

meningkatkan status sosial.

14 Hans Westlund and Roger Bolton, “Local Social Capital and

Entrepreneurship,” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography. Vol. 21, No. 2, (Sep, 2003), 77-113.

15 Hongbin Li, Lei Li, Binzhen Wu and Yanyan Xiong, “The End of Cheap Chinese Labor,” The Journal of Economic Perspectives, Vol. 26, No. 4 (Fall 2012),

57-74. 16 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 25.

Page 25: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

10 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Koentjaraningrat (2007), mendefinisikan adanya warisan

budaya priayi menyebabkan sebagian besar masyarakat Jawa

memilih bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau Pegawai

Negeri Sipil (PNS) serta pegawai perkantoran.17

Mayoritas jabatan

dalam struktur suatu instansi pemerintahan baik pusat maupun

daerah banyak didominasi oleh orang-orang Jawa. Peneliti dalam hal

ini menemukan seorang yang merantau ke Singkawang Kalimantan

Barat karena merasa lebih tertarik bekerja dalam sektor

pemerintahan daripada membuka usaha.18

Kondisi yang demikian

banyak terjadi pada masyarakat Jawa Tengah dan Timur.19

Masyarakat Jawa yang membedakan antara golongan priayi

yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan

golongan yang disebut wong cilik yang terdiri dari petani, tukang-

tukang dan pegawai kasar lainnya. Suatu kelemahan pembangunan

masyarakat pedesaan di Jawa adalah sikapnya yang pasif terhadap

hidup. Kesukaan mereka terhadap kebatinan, penilaian tinggi

terhadap sikap nerima ing pandum, dan tetap tabah dalam hal

penderitaan menjadi penghambat dalam kemajuan mereka.20

Masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang tinggal

disebuah pedesaan hampir seluruhnya bekerja dalam peasant

communities dengan bekeja sebagai petani dengan berorientasi

menjadi pegawai negeri (kebudayaan priayi) di kota-kota

administratif.21

17 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:

Djambatan, 2007), 392. 18 Wawancara dengan seorang pegawai pemerintahan di Singakawang

Kalimantan Barat pada Pertengahan April 2013. 19 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangnan (Jakarta: PT

Gramedia, 2008), 37. 20 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:

Djambatan, 2007), 350. 21 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2009), 220.

Page 26: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 11

Begitu pula masyarakat Indonesia khususnya masyarakat

Jawa yang tinggal di daerah pesisiran mayoritas bekerja sebagai

nelayan yang masuk dalam kategori fishing communities. Tidak bisa

di kesampingkan bahwa kondisi geografis turut berperan serta

dalam membentuk adanya diferensiasi budaya. Kebudayaan yang

ada dalam masyarakat pedesaan tentu berbeda dengan kebudayaan

yang ada dalam masyarakat perkotaan. Sebagai analisis

memanfaatkan kerangka integratif usaha kecil. Perhatian diberikan

pada sosial, budaya yang menjadi aspek yang mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh bagaimana seorang wirausaha beroperasi dalam

lingkungan politik dan ekonomi mereka.22

Bentuk konkrit dari wirausaha adalah kemampuan yang

dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-

kesempatan membuka usaha. Kelaziman dan keunikan dari

membuka usaha merupakan sikap dalam menganalisis peluang

kemungkinan menjalankan usaha.23

Mengumpulkan sumber daya

yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat guna

mendatangkan keuntungan dalam rangka meraih profit.

Kewirausahaan disebut sebagai watak seseorang yang didasarkan

pada perilaku untuk melihat peluang guna mewujudkan ide-idenya.24

Seorang entrepreneur secara insting mampu melihat dan

menciptakan peluang kerja yang kemudian direalisasikan menjadi

sesuatu yang lebih bernilai secara materiil dan sosial.

Banyaknya anggota masyarakat yang membuka dan

menciptakan lapangan pekerjaan diharapkan mampu untuk

22 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins

(London: Routledge Curzon, 2003), 10. 23 Patrick J. Murphy and Susan M. Coombes, “A Model of Social

Entrepreneurial Discovery,” Journal of Business Ethics, Vol. 87, No. 3 (Jul., 2009),

325-336. 24 Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah: Upaya

Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu

Modern Sahid, 2012), 26.

Page 27: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

12 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

meminimalisir pengangguran. Krisis moneter yang terjadi pada

tahun 1997 telah menyebabkan banyak pengangguran dimana-

mana.25

Pasca reformasi, kecenderungan antara produksi dan

kebutuhan tidak ada.26

Suatu negara dikatakan sejahtera bilamana

sebagian besar masyarakatnya membuka usaha guna meningkatkan

produktivitas. Perubahan sosial ditentukan oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal lebih disebabkan karena adanya kalangan

individu yang menghendaki adanya perubahan tersebut. Sedangkan

faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar masyarakat

tersebut. William Oughburn berpendapat bahwa perubahan sosial

disebabkan karena kondisi primer seperti georgafis ekonomis dan

sebagainya.27

Kelompok entrepreneur merupakan agent of change dalam

suatu masyarakat. Sebagai ilustrasi adalah kelompok entrepreneur

memainkan peranan penting dalam berbagai kebijakan filantropi

sosial. Bagi negara-negara berkembang, kelompok entrepreneur

memiliki kontribusi dalam mengelola sumber daya alam maupun

sumber daya manusia.28

Fenomena sosial yang demikian

menyebabkan pemerintah melakukan kebijakan khusus dalam

institusi pendidikan. Lembaga pendidikan kemudian dibentuk tidak

hanya berorientasi pada penciptaan lulusan yang hanya mencari

kerja semata. Namun lebih ditekankan agar mampu untuk

25 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit

Penguasa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 132. 26 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial Dalam Teori Makro: Pendekatan

Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2005), 121. 27 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002), 306. 28 David Schultz, “Blue-Collar Teaching in a White-Collar University,”

Journal of Public Affairs Education, Vol. 18, No. 1 (WINTER 2012), 67-86.

Page 28: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 13

menciptakan pekerjaan baru dengan menganalisis peluang yang ada

di masyarakat.29

Industri mikro mampu memenuhi kebutuhan masyarakat

sesuai dengan daya beli masyarakat.30

Home industri yang hanya

memproduksi barang dalam skala kecil setidaknya mampu

menampung tiga sampai enam karyawan sekitar. Barang yang

mereka hasilkan terkadang tidak kalah dengan kualitas produk yang

dihasilkan oleh pabrik yang berskala besar.31

Eksistensi home

industri diharapkan mempunyai andil guna menjaga nilai kearifan

lokal dengan tetap mempekerjakan kalangan masyarakat sekitar

atau anggota keluarga. Nilai gotong-royong menjadi sebuah hal

yang biasa bagi masyarakat yang mempunyai banyak anggotanya

yang terjun dalam bidang home industri.

Masyarakat yang membuka usaha tidak terlepas dari perilaku

yang mendesain mereka untuk membuka usaha. Kasus ini

memberikan gambaran umum bahwa seorang entrepreneur tidak

hanya dibentuk oleh institusi pendidikan yang hanya berorientasi

pada penciptaan lapangan kerja semata. Melainkan kemampuan

sikap internal berkomunikasi dalam bentuk kerja sama tim secara

interdisipliner.32

Paul Tracey and Nelson Phillips (2007),

menyatakan peran pendidikan wirausaha memberikan kontribusi

29 Thomas A. Bryer and Daniel Seigler, “Theoretical and Instrumental

Rationales of Student Empowerment Through Social and Web-Based

Technologies,” Journal of Public Affairs Education National Association of Schools of Public Affairs and Administration, Vol. 18, No. 3 (SUMMER 2012),

429-448. 30 Briana Cummings, “Benefit Corporations: How to Enforce a Mandate to

Promote the Public Interest,” Columbia Law Review, Vol. 112, No. 3 (APRIL 2012), 578-627.

31 Wawancara dengan Seorang Perajin sandal dari Lamongan Sandal di daerah Waru Sidoarjo Pertengahan 2014.

32 Eli Jones, James A. Roberts and Lawrence B. Chonko, “Motivating Sales Entrepreneurs to Change: A Conceptual Framework of Factors Leading to

Successful Change Management Initiatives in Sales Organizations,” Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 8, No. 2, (Spring, 2000), 37-49.

Page 29: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

14 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

penting mengembangkan pola berpikir dalam mendirikan usaha.

Lebih lanjut mereka menjelaskan entrepreneur banyak diproduksi

oleh melalui pendidikan dalam pengelolaan usaha dan metode

menganalisis usaha. Dengan demikian, hal itu dimasukkan sebagai

perspektif dari sarjana terkemuka yang terjun di lapangan.

Pandangan ini menyimpulkan pendidikan kewirausahaan

berpengalaman lebih banyak menciptakan pengusaha sukses. Sebab

pendidikan memberikan inovasi dan testing kepada sarjana untuk

menganalisis peluang dalam mendirikan usaha.33

Masyarakat yang tinggal di sebuah kampung terkadang

mempunyai insting berwirausaha yang tidak kalah dengan

masyarakat perkotaan maupun sarjana. Sebagai ilustrasi

menjamurnya pedagang kuliner di Jakarta yang berasal dari Madura,

Lamongan, Wonogiri, Padang, Solo dan sebagainya. Mereka

mempunyai insting berwirausaha diakibatkan oleh orientasi yang

sederhana. Fakta di lapangan menunjukan bahwa banyak kalangan

masyarakat yang tidak dibekali keterampilan berwirausaha.

Mempunyai insting wirausaha yang baik dan mampu melihat

peluang dalam masyarakat dengan melakukan aksi secara konkrit

tanpa banyak pertimbangan.

Pranata sosial seperti pendidikan pada dasarnya memainkan

peran penting dalam menghasilkan manusia-manusia yang

berkualitas (Ins>a<n al-ka<mi}l) di masa depan. Kasuistik tertentu

menunjukan tidak selamanya pendidikan kewirausahaan mampu

untuk menghasilkan kelompok entrepreneur muda. Sebagai contoh

adalah serbuan warung pecel lele dan soto Lamongan ke segenap

penjuru nusantara. Peneliti dalam hal ini tidak hanya menjumpai

pedagang Lamongan yang hanya berjualan di Surabaya atau Jawa

33 Paul Tracey and Nelson Phillips, “The Distinctive Challenge of

Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder to the Special Issue on

Entrepreneurship Education,” Academy of Management Learning & Education, Vol. 6, No. 2 (Jun, 2007), 264-271.

Page 30: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 15

Timur. Melainkan di sebagian besar kota besar yang terdapat di

Kalimantan dan berbagai daerah di Indonesia seperti Jakarta.

Urbanisasi masyarakat desa telah merubah sistem mata pencaharian

dari petani menjadi wirausaha.34

Tanpa dibekali dengan keahlian dalam bidang berwirausaha di

daerah perantauan, khususnya di Jakarta. Evolusi sosio kultural

meliputi seluruh komponen dalam suatu masyarakat yang mana

perubahan awal tersebut diakibatkan oleh adanya perubahan sistem

yang diwali oleh sebuah komponen yang berdampak pada komponen

yang lain.35

Bambang Pranowo (2009), menyatakan adanya tingkat

frenkuensi yang terkait dengan pasar yang disertai dengan tingkat

kepemilikan lahan. Hal itu mengakibatkan terjadinya kegiatan-

kegiatan berskala besar yang pada akhirnya menyebabkan

kemajemukan pekerjaan masyarakat Jawa.36

Menurut Spencer dan Madinus (1974), metode pengasuhan

anak masyarakat desa lebih konservatif dan otoriter. Fenomena ini

disebabkan oleh perilaku tradisional yang sangat memegang peranan

dalam mempersiapkan anak dalam menuju kedewasaan. Orang tua

hanya mengajarkan pengalaman yang telah dialaminya kepada anak-

anaknya.37

Keunikan berbeda justru terjadi di Lamongan yang

banyak memproduksi entrepreneur jalanan yang sering ditemui di

Jakarta. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah

34 Chee-Beng Tan and Yuling Ding, “Rural Urbanization and Urban

Transformation in Quanzhou, Fujian,” Canadian Anthropology Society, Vol. 50,

No. 2 (2008), 215-227. 35 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap

Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 64-65. 36 Kelaziman yang diistilahkan oleh Lambros Comitas (1973: 157-1573),

sebagai “kemajemukan pekerjaan” (occupational multiplicity). Bagi warga desa,

tidak ada garis batas yang tegas antara kegiatan yang berorientasi desa dengan yang

berorientasi pasar. Lihat, Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta:

Pustaka Alvabet, 2009), 66. 37 Nanat Fatir Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung: Gunung

Djati Press: 1999), 33.

Page 31: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

16 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

pendidikan tinggi dapat lebih sukses mencetak entrepreneur

dibanding pendidikan kewirausahaan pedesaan masyarakat

Lamongan? Peneliti sementara ini menyimpulkan bahwa antara pola

kehidupan sosial masyarakat Lamongan dengan pranata pendidikan

mempunyai kesamaan diantara keduanya. Yakni memproduksi

wiraswata yang mengurangi jumlah pengangguran dalam

masyarakat. Hanya saja keduanya mencetak agent of change dengan

caranya masing-masing sesuai dengan metode yang mereka

terapkan.

Pranata pendidikan mentransformasikan ilmu pengetahuan

sesuai dengan bentuk kurikulum yang telah diterapkan.38

Sedangkan

masyarakat pedesaan mencetak kalangan wirausaha dikarenakan

pengaruh oleh pola kehidupan dan adat istiadat masyarakat yang

bersangkutan untuk menjaga nilai-nilai lokal yang ada. Baik antara

instansi pendidikan dan konsep pendidikan yang ditawarkan oleh

masyarakat pedesaan mempunyai kesamaan. Yakni mencetak

manusia-manusia yang mempunyai kualitas sumber daya manusia

yang baik. Pasalnya pencarian kekayaaan bukan hanya karena

motivasi kerja. Melainkan karena tugas dan dorongan sosial yang

tumbul dari suatu masyarakat.39

Sebagian ahli menyatakan kewirausahaan merupakan bakat

yang dibawa seseorang sejak mereka lahir dan karenanya dapat

diajarakan.40

Anggapan tersebut tidaklah benar, sebab pengertian

kewirausahaan bukanlah bakat yang dibawa oleh manusia sejak

lahir. Melainkan berkaitan erat dengan pengetahuan dan tindakan

38 Stefano Zamagnisource, “Filosofia The Economy of Communion Project

as a Challenge to Standard Economic Theory,” Revista Portuguesa De Filosofia, T.

70, Fasc. 1 (2014), 44-60. 39 Max Weber, The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism

(Yogyakarta: Jejak, 2007), 9. 40Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah: Upaya

Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu

Modern Sahid, 2012), 25.

Page 32: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 17

yang dilakukan. Pengertian kewirausahaan merupakan definisi yang

dijelaskan oleh para ahli. Mereka mendefinisikan sesuai dengan

perspektif mereka masing-masing. Terkadang manusia yang

dibesarkan dalam lingkungan kewirausahaan tidak mampu untuk

tumbuh menjadi seorang wirausahawan. Sebagai contoh tentang

pendirian pranata yang berorientasi pada dunia usaha tidak

selamanya mencetak lulusannya untuk menjadi saudagar yang

suksess.

Kondisi masyarakat Lamongan bilamana dilihat dari

perspektif sosiologis yang tinggal dalam sebuah daerah yang udik

bisa dikatakan sulit untuk menghasilkan para wirausahawan.

Mereka biasa hidup erat kaitannya dengan alam seperti pertanian

dan peternakan. Masyarakat Lamongan bisa dikatakan tidak

mempunyai pendidikan berwirausaha sebagaimana yang

diedukasikan oleh pranata-pranata sosial yang berorientasi

menciptakan wirausahawan. Merupakan hal yang unik bilamana

masyarakat Lamongan banyak yang memutuskan diri untuk menjadi

seorang wirausahawan berupa soto dan berbagai jenis usaha yang

lainnya.

Masyarakat Lamongan yang hidup didaerah yang tandus

seakan-akan mereka merasa dibesarkan untuk menjadi penjual soto

atau pecel lele. Bahkan peneliti menemukan kasus bahwa sebagian

dari mereka adalah masih dalam tataran pendidikannya yang rendah.

Salah seorang penjual soto yang suksess peneliti temui mempunyai

pendidikan yang hanya lulusan SMP. Perubahan sosial memberikan

dampak berupa perubahan sistem mata pencahariannya

masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti

sengaja mengangkat tentang migrasi dan kewirausahaan masyarakat

Lamongan di Jakarta untuk proses Identifikasi lebih lanjut.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Page 33: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

18 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Migrasi yang terjadi di Jakarta telah membawa dampak sosial

terhadap masyarakatnya. Masalah yang dihadapi pemerintah Jakarta

terjadi pada beberapa aspek, termasuk dalam aspek ekonomi yang

dihadapi para migran ketika memutuskan untuk hijrah ke Jakarta.

Sebuah studi menunjukkan tingkat pengangguran terus mengalami

kenaikan dari waktu kewaktu.41

Meningkatnya angkatan kerja

disertai minimnya lapangan pekerjaan membawa implikasi berupa

problem sosial. Guna mengatasi jumlah pengangguran yang terus

mengalami kenaikan. Maka dibutuhkan lapangan pekerjaan baru

dalam jumlah besar.

Suatu negara dikatakan sejahtera apabila mempunyai minimal

2% entrepreneur dari keseluruhan jumlah penduduknya. Indonesia

diperkirakan mempunyai entrepreneur mencapai 400 ribu atau

sekitar 0,18% dari keseluruhan penduduk. Jumlah ini masih jauh

dari hitungan angka yang membutuhkan sekitar 4,4 juta

entrepreneur agar mencapai angka 2%.42

Dengan mengkaji beberapa aspek yang berkorelasi antara

kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta. Peneliti dalam ini

mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Paradigma para tokoh terhadap faktor-faktor yang

mengkonstruk kewirausahaan suatu masyarakat.

b. Perspektif para sosiolog tentang pengaruh agama dan budaya

terhadap sistem mata pencaharian masyarakat Jawa.

c. Kecenderungan masyarakat Lamongan beralih profesi dari

petani menjadi wirausaha.

d. Korelasi migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta dengan

perilaku kewirausahaan.

41 Badan Pusat Statistik, Diolah dari SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja

Nasional), tahun 2013-2014. 42 Lie Shi Guang, Rahasia Suksess Pebisnis Tionghoa (Yogyakarta: CV

Andi Offset, 2010), 10.

Page 34: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 19

2. Pembatasan Masalah

Fokus kajian dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang

masalah dan identifikasi masalah adalah untuk mengetahui perilaku

migrasi serta korelasinya dengan kewirusahaan masyarakat

Lamongan di Jakarta. Adapun yang menjadi subjek utama dalam

penelitian ini adalah masyarakat Lamongan yang secara eksplisit

membuka usaha kuliner di Jakarta.

Kewirausahaan dalam beberapa definisi disebut sebagai watak

seseorang yang didasarkan pada perilaku untuk melihat peluang

guna mewujudkan ide-idenya.43

Misalnya, konsep sosiologis yang

mendefinisikan peran sosial yang digunakan untuk memahami

perilaku entrepreneur yang dipandu oleh norma-norma sosial.44

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, peneliti merumuskan masalah

tentang faktor apa yang menyebabkan masyarakat Lamongan

berwirausaha di Jakarta? Guna memperjelas rumusan masalah secara

eksplisit agar tidak mengalami generalisasi dalam pembahasan dari

tema utama, peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara lebih

spesifik sebagai berikut: Pertama bagaimana masyarakat Lamongan

mengkonstruksi sistem berwirausaha? Kedua, bagaimana relasi

agama dengan kewirausahaan masyarakat Lamongan?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Kajian tentang entrepreneurship masyarakat Lamongan di

Jakarta selama ini belum dibahas oleh kalangan akademisi maupun

mahasiswa manapun. Penelitian tentang perilaku berwirausaha

masyarakat Lamongan di Jakarta masih baru yang disebabkan

43 Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah: Upaya

Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu

Modern Sahid, 2012), 26. 44 Norman Walzer, eds. Entrepreneurship And Local Economic

Development (New York: Lexington Books, 2009), 10.

Page 35: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

20 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

perubahan sosial di Lamongan dalam beberapa tahun terakhir.

Perubahan sosial di Lamongan telah menyebabkan beralihnya

profesi sebagian besar masyarakatnya yang awalnya bertani dan

nelayan menjadi wirausaha.

Meskipun penelitian ini masih tergolong baru, terdapat

beberapa penelitian yang sesuai dengan tema penelitian ini,

meskipun memiliki perbedaan antara tema dengan objek dengan

penelitian. Ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas

tentang entrepreneurship masyarakat migran. Sebagai relevansi

dengan tema, peneliti mengambil sumber yang berasal dari buku-

buku serta jurnal baik terbitan lokal maupun internasional yang

kredibel sesuai dengan tema penelitian.

Diantaranya adalah Sarah Turner dalam bukunya Indonesia's

Small Entrepreneurs: Trading on the margins. Buku ini menjelaskan

tentang keberadaan usaha kecil di Indonesia dalam bidang

perdagangan serta bagiamana kelompok usaha kecil menjalankan

usahanya agar memperoleh laba. Studi usaha kecil di negara

berkembang masih sering dibingkai dalam sektor informal dengan

pendekatan teoritis atau paradigma industri yang lebih luas.45

Buku

ini menjelaskan potensi penggunaan kerangka kerja baru dalam

sektor usaha kecil menengah (UKM). Kerangka kerja digunakan

untuk memeriksa organisasi dan operasi usaha kecil di negara-

negara berkembang untuk mencapai pemahaman yang lebih besar

dari tingkat mikro kegiatan usaha kecil masyarakat bawah pada

berbagai skala. Karya Sarah Turner ini mengeksplorasi hubungan

sosial-ekonomi dan budaya yang membuat hidup bagi pengusaha

kecil di Makassar Sulawesi Selatan di Indonesia.46

45 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins

(London: Routledge Curzon, 2003), 39. 46 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins

(London: Routledge Curzon, 2003), 189.

Page 36: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 21

Penerapan kerangka kerja baru penelitian ini mengungkapkan

keragaman fleksibilitas tenaga kerja, jaringan dan klaster gaya

antara jenis usaha yang diteliti dan kendala yang mereka hadapi

untuk pertumbuhan ekonomi. Analisis dimulai dengan pemeriksaan

dinamika internal ditemukan untuk mengeksplorasi dinamika

perubahan sosial. Usaha kecil di negara-negara berkembang telah

diidentifikasi oleh Sarah Turner dalam penelitiannya ini.

Dalam perspektif Sarah Turner, Indonesia merupakan negara

berkembang yang mempunyai jumlah pengusaha dalam skala mikro

yang besar. Sektor usaha kecil di negara ini cukup besar dan

beragam dalam berbagai macam sektor. Kebanyakan karya terbaru

pada usaha kecil di Nusantara telah dieksplorasi perusahaan besar di

Jakarta. Sarah Turner menyajikan bentuk cluster industri kecil dan

rumahan di Jawa yang menekankan pada unsur-unsur budaya lokal,

karena berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih besar

dari kegiatan tingkat mikro yang melibatkan usaha kecil dan

interaksi usaha kecil dalam berbagai skala. Kekurangan dalam

penelitian ini adalah Sarah Turner lebih memfokuskan kajiannya

pada aspek usaha kecil. Tanpa memberikan perbandingan secara

komparatif sebagai sebuah mekanisme dalam studi penelitian

ilmiah.47

M Lutfi Abdul Malik (2007-2008), dalam disertasinya di

Universitas Indonesia tentang Etos Kerja, Pasar dan Masjid:

Transformasi Sosial Keagamaan dalam Mobilitas Ekonomi

Kemasyarakatan. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan

masyarakat Gu Lakudo sebagai salah satu etnis yang cukup berhasil

dalam sektor perdagangan di Kota Bau-Bau Sulaewsi Tenggara.

Temuan utama dalam disertasi ini adalah bahwa pandangan Islam

tentang spirit dalam menjalankan ekonomi selaras dengan etika

Protestan Max Weber. Dalam konteks tersebut, masyarakat Gu

47 Sarah Turner, Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins

(London: Routledge Curzon, 2003), 155.

Page 37: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

22 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Lakudo menjalankan aktivitas perdagangan yang dilatarbelakangi

motivasi agama. Haji Abdul Syukur merupakan tokoh yang

menanamkan nilia-nilai agama dalam perubahan sosial masyarakat

Gu Lakudo.48

Masyarakat Gu Lakudo pada awalnya enggan untuk merantau

sebagaimana masyarakat Sulawesi umumnya. Secara sosio-historis,

mereka tidak mampunyai akar yang kuat untuk merantau. Tradisi

merantau masyarakat Gu Lakudo mulai terbentuk pada awal abad

ke-20. Kehidupan perekonomian yang baik kemudian mendorong

anggota masyarakat lainnya untuk pergi merantau. Pedagang yang

tidak mempunyai alat transportasi untuk berdagang akan

menumpang kapal orang Binongko dari Kepulauan Wakatobi. Pasca

merantau, masyarakat Gu Lakudo banyak yang menuai suksess di

tiga kota di Sulawesi Tenggara seperti: Bau-Bau, Raha dan

Kendari.49

Bagi peneliti, research ini mempunyai banyak kelebihan

sebagai rujukan awal. Diantaranya adalah mengenai kesesuaian

antara tema penelitian dengan tesis penliti. Selain itu, peneliti

banyak memaparkan data secara deskriptis dengan mewawancarai

objek di lapangan. Meskipun demikian, penelitian M Luthfi Malik

terdapat beberapa kekurangan mengenai penjelasan secara spesfik

jenis perdagangan masyarakat Gu Lakudo agar lebih mudah

dipahami oleh pembaca pada umumnya.

Lance Castles (1967), dalam penelitiannya tentang Tingkah

Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus.

Research ini menjelaskan tentang perilaku kewirausahaan

48 M Luthfi Malik, Etos Kerja, Pasar, dan Masjid: Transformasi Sosial

Keagamaan dalam Mobilitas Ekonomi Kemasyarakatan (Jakarta: LP3ES, 2003),

113-115. 49 M Luthfi Malik, Etos Kerja, Pasar, dan Masjid: Transformasi Sosial

Keagamaan dalam Mobilitas Ekonomi Kemasyarakatan (Jakarta: LP3ES, 2003),

160-161.

Page 38: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 23

masyarakat Kudus dalam memproduksi rokok.50

Sejarahwan

menyimpulkan bahwa kebiasaan merokok sudah lama ada di

Indonesia sejak zaman kerajaan. Sejak tahun 1624 tembakau sudah

diisap oleh raja-raja Jawa di Mataram.51

Klobot yang merupakan

daun jagung merupakan bahan baku yang digunakan untuk

membungkus rokok. Adanya bunyi kretek-kretek kemudian

memunculkan adanya penamaan rokok kretek.

Dalam buku ini Lance Castle memaparkan korelasi antara

perilaku keagamaan dengan sistem perdagangan yang terjadi pada

masyarakat Kudus. Integrasi antara agama dengan perilaku

kewirausahaan dan perdagangan kemudian memunculkan ungkapan

pada masyarakat Kudus dengan istilah jigang yang bermakna ngaji

dan berdagang. Perdagangan dan perilaku kewirausahaan ini

kemudian memunculkan sebuah kompetisi dengan masyarakat

Cina.52

Namun penelitian Castle tentang industri kretek di Kudus

kurang menjelaskan secara rinci awal mula pengambilalihan sektor-

sektor industri di Kudus oleh Cina secara mendalam.

Philipp Koellinger (2008) dalam penelitiannya yang berjudul

“Why are Some Entrepreneurs More Innovative Than Others”

menyatakan bahwa kemampuan melihat peluang merupakan hal

yang terpenting dalam menjalankan usaha. Kemampuan dalam

menjalankan usaha ditentukan kemampuan motivasi individu.

50 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The

Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,

Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 72.

51 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait, Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 59.

52 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,

Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 139.

Page 39: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

24 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Dalam contoh kasus sering ditemuinya menunjukan banyak keluaran

pendidikan tinggi yang berstatus sebagai pengangguran. Pertanyaan

yang mendasar diantaranya adalah mengapa beberapa wirausahawan

lebih kompetitif dari yang lainnya.53

Philipp Koellinger lebih lanjut

mengumpakan beberapa individu mempunyai analisis yang tepat

dalam melihat peluang.

Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan bahwa

kreativitas merupakan komponen terpenting dalam menjalankan

usaha. Analisis yang digunakan dalam penyusunan literatur ini

adalah komponen-komponen yang digunakan dalam membangun

usaha. Dari hasil temuannya, Philip Koelllinger lebih menekankan

bahwa kemampuan melihat peluang merupakan faktor yang muncul

dalam diri setiap individu. Tanpa memberikan faktor-faktor lain

yang menjelaskan temuannya dalam penelitian. Dalam kasus

tertentu ia menjumpai pengangguran yang berstatus sosial tinggi.

Karena tidak mampu menggali potensi yang terdapat dalam diri

mereka.

Selanjutnya adalah Polona Tominc dan Miroslav Rebernik

(2007), dalam jurnalnya yang membahas tentang “Growth

Aspirations and Cultural Support for Entrepreneurship: A

Comparison of Post-Socialist Countries”. Mereka menjelaskan

keberadaan usaha kecil telah membantu pemerintah dalam

pertumbuhan ekonomi dan memecahkan masalah pengangguran.54

Termasuk Penelitiannya ini menjelaskan peran penting usaha kecil

dalam meminimalisir jumlah pengangguran. Wirausahawan kecil

mengawali usahanya dengan menggunakan modal sosial (social

capital) melalui koneksi.

53 Philipp Koellinger, “Why are some entrepreneurs more innovative than

others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1, Special Issue: International

Issues in Entrepreneurship (June, 2008), 21-37. 54 Polona Tominc and Miroslav Rebernik, “Growth Aspirations and

Cultural Support for Entrepreneurship: A Comparison of Post-Socialist Countries,”

Small Business Economics, Vol. 28, No. 2/3 (Mar, 2007), 239-255.

Page 40: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 25

Modal sosial berupa aktor yang menjalankan usaha dalam

berbagai skala yang terhubung dalam jaringan usaha. Modal dalam

arti ekonomi biasanya identik dengan mata uang yang bersifat

materiil. Dengan mengandalkan koneksi dari teman atau konsumen,

modal sosial dapat dianalisis. Dalam kondisi tertentu, modal sosial

terkait dengan budaya dan norma tertentu yang menghasilkan

sebuah kombinasi baru. Modal sosial merupakan fenomena endogen

dalam arti hubungan yang bervariasi antara satu sama lain. Polona

Tominc dan Miroslav Rebernik

dalam penelitian ini lebih

memfokuskan peran penting modal sosial sebagai elemen utama

dalam membuka usaha.55

Paul Tracey dari University of Warwick dan Nelson Phillips

dari Imperial College London dalam penelitiannya yang berjudul

“The Distinctive Challenge of Educating Social Entrepreneurs: A

Postscript and Rejoinder to the Special Issue on Entrepreneurship

Education”. Dalam penelitiannya ini, mereka menjelaskan peran

pendidikan berwirausaha memberikan kontribusi penting untuk

mengembangkan pola berpikir dalam mendirikan usaha. Lebih lanjut

mereka menjelaskan entrepreneur banyak diproduksi oleh lembaga

pendidikan dalam pengelolaan usaha dan metode menganalisis

usaha. Dengan demikian, hal itu dimasukkan sebagai perspektif dari

sarjana di lapangan yang mana pendidikan kewirausahaan telah

berpengalaman dalam menciptakan banyak pengusaha sukses. Sebab

edukasi memberikan inovasi dan testing kepada sarjana untuk

menganalisis peluang dalam mendirikan usaha.56

55 Hans Westlund and Roger Bolton, “Local Social Capital and

Entrepreneurship.” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography Vol. 21,

No. 2, (Sep, 2003), 77-113. 56 Paul Tracey and Nelson Phillips, “The Distinctive Challenge of

Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder to the Special Issue on

Entrepreneurship Education,” Academy of Management Learning & Education, Vol. 6, No. 2 (Jun, 2007), 264-271.

Page 41: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

26 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Sumber kajian pustaka yang berikutnya berasal dari karya

Alex Nicholls dalam bukunya Social Entrepreneurship: New Models

of Sustainable Social Change. Nicholls merupakan dosen pertama

dalam kewirausahaan sosial yang ditunjuk di Inggris. Penelitian dan

pengalaman mengajarnya di berbagai mata pelajaran yang berpusat

pada isu-isu sosial dan etika. Nicholls memiliki latar belakang di

bidang pemasaran ritel. Dalam buku ini, Nicholls menjelaskan

kewirausahaan sosial bersifat dinamis dan berkembang sebagai

fenomena yang bergerak yang diartikulasikan pada pendekatan

organisasi yang berbeda.

Lebih lanjut, dalam buku ini Nicholls menekankan pentingnya

kewirausahaan sebagai sarana mengatasi krisis. Sampai saat ini

pemahaman tentang lapangan kerja tetap terbatas pada studi kasus

dan analisis instrumental efisiensi dan operasional praktik.

Meskipun lokasi teoritis kewirausahaan memiliki peran dalam studi

bisnis dengan preferensi metodologis. Contoh yang spesifik dari

praksis yang inovatif sering disematkan oleh profil dari pengusaha

yang bergerak dalam bidang sosial. Pendekatan seperti itu telah

membantu meningkatkan profil dari bidang penelitian, belum

menawarkan banyak di jalan serius teoritis wacana.57

Sumber kajian pustaka berikutnya dari Bambang Pranowo

dalam bukunya Memahami Islam Jawa yang merupakan disertasinya

selama perkuliahan di Australia. Pada awalnya beliau memilih

penelitian tersebut sebagai sanggahan terhadap Clifford Geertz,

yang mengklasifikasikan masyarakat Jawa kedalam tiga kategorisasi

yakni: santri, abangan dan priayi. Peneliti dalam hal ini melihat

adanya korelasi antara tema penelitian dengan buku karya Bambang

Pranowo. Terutama dalam sistem mata pencaharian masyarakat

Jawa yang dijelaskan secara mendetail.

57 Alex Nicholls, Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable

Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 103.

Page 42: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 27

Dalam penelitian tersebut, Bambang Pranowo menjelaskan

sistem mata pencaharian masyarakat Jawa dalam berbagai macam

sektor. Desa Tegalroso yang menjadi objek penelitian Bambang

Pranowo merupakan desa yang dihuni oleh mayoritas masyarakat

Jawa sebagaimana masyarakat Lamongan yang didominasi oleh

masyarakt Jawa. Lebih lanjut Bambang Pranowo menjelaskan

tentang sistem mata pencaharian penduduk desa Tegalroso dalam

sektor perdagangan. Sistem mata pencaharian penduduk desa

Tegalroso dijelaskan dalam buku ini tidak sepenuhnya tergantung

pada sektor pertanian.

Bambang Pranowo menjelaskan secara detail sistem

perdagangan dan pertanian masyarakat desa Tegalroso. Dalam

artian mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah

jadi yang prosesnya berawal dari hulu kehilir dengan menjualnya

kepasar sampai pada pengelolaan keuangan penduduk. Luasnya

lahan yang dimiliki oleh petani berpengaruh terhadap aktivitas di

pasar yang melahirkan hubungan yang relatif konstan antara desa

dan pasar.58

Penelitian ini mempunyai beberapa kekurangan seputar

kerangka teori yang dibangun.

Penelitian berikutnya adalah disertasi Nanat Fatah Natsir

yang telah dibukukan dengan tema Etos Kerja Wirausahawan

Muslim. Buku ini pada awalnya merupakan disertasi sebagai tugas

akhir dalam perkulihan S3 di Universitas Padjajaran Bandung

dengan tema Pengaruh Pola Pemahaman Etika Kerja Islam

Terhadap Tingkah Laku Kewirausahaan (Suatu Studi di Kalangan

Pimpinan dan Buruh Perusahaan Muslim di Tasikmalaya, Jawa

Barat). Pusat perhatian dalam penulisan buku ini adalah tentang

dimensi etika kerja Islam dalam perspektif kegiatan ekonomi.

Hasil penelitian ini mendukung teori Mc Clelland (1961) yang

menghubungkan tingkah laku kewirausahaan dengan pengasuhan

58 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,

2009), 79.

Page 43: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

28 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

anak dalam pola pemahaman keagamaan orang tua. Di samping itu

mendukung teori Weber (1930) yang menghubungkan tingkah laku

kewirausahaan dengan kepercayaan agama terutama Protestan.

Meskipun dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada ranah etos

kerja wirausahawan muslim. Nanat Fattah Natsir tidak memberikan

gambaran secara rinci tentang faktor motivasi dan demotivasi dalam

membentuk etos kerja.59

Selanjutnya adalah penelitian serta jurnal-jurnal ilmiah

terbitan lokal maupun internasional yang berkorelasi dengan tema

penelitian. Diantaranya disertasi Mochtar Naim di University of

Singapore yang membahas Merantau Pola Migrasi Suku

Minangkabau. Buku ini mengulas tentang tradisi merantau yang

terjadi pada masyarakat Minangkabau. Faktor ekonomi dan sosial

merupakan faktor utama yang menyebabkan migrasi masyarakat

Minang.60

Disertasi ini mempunyai banyak kontribusi dalam

memahami perilaku merantau masyarakat Minang. Meskipun

demikian, penelitian ini mempunyai beberapa kekurangan.

Diantaranya kerangka teori yang dibangun untuk menganalisis data.

Adapun jurnal internasional diantaranya adalah Chee Beng

Tan dan Yuling Ding yang membahas tentang “Urbanisasi

Masyarakat Pedesaan dan Transformasi Masyarakat Urban di

Quanzhou, Fujian”. Dalam jurnal ini Chee Beng Tan dan Yuling

Ding mengkaji tentang berubahnya sistem mata pencaharian

masyarakat migran di perkotaan. Terutama beralihnya sistem mata

pencaharian masyarakat desa dari petani menjadi wirausaha.61

Jurnal

ini mempunyai kekurangan yang disebabkan kecenderungan penulis

59 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:

Gunung Djati Press), 154. 60 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1984), 249. 61 Chee-Beng Tan and Yuling Ding, “Rural Urbanization and Urban

Transformation in Quanzhou, Fujian,” Canadian Anthropology Society, Vol. 50,

No. 2 (2008), 215-227.

Page 44: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 29

yang menitiberatkan pada sebuah aspek. Industrialisasi merupakan

aspek utama yang menjadi penekanan penulis dalam jurnal ini.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan penjelasan diawal, peneliti

ingin mengungkapkan beberapa fenomena sebagai berikut:

a. Konstruksi sistem berwirausaha masyarakat Lamongan di

Jakarta.

b. Faktor yang menyebabkan masyarakat Lamongan menjadi

wirausaha.

c. Relasi agama dengan kewirausahaan masyarakat Lamongan.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berasal dari bahasa Inggris research terdiri

dari dua suku kata re yang berarti kembali dan search mencari.

Secara harfiah penelitian diartikan sebagai sebuah usaha untuk

mencari kembali sehingga temuan berstandar ilmiah dan sampai

akhirnya membangun suatu pengetahuan.62

Penelitian pada

hakikatnya merupakan sebuah usaha untuk mengungkap setiap

realita yang ada dalam sebuah masyarakat. Karena itu penelitian

ilmiah selalu dimulai dengan sesuatu yang ingin diketahui.63

Penyusunan kerangka teori merupakan langkah penting dalam

suatu penelitian ilmiah. Sebab teori merupakan suatu bangunan

yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti.

Teori bisa dikatakan sebagai hubungan sistematis atas gejala dengan

pengkhususan variabel dengan maksud menjelaskan dan

memprediksikan gejala tersebut. Teori adalah konstruk untuk

memahami dan menyampaikan informasi mengenai objek dan

62 Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan

Kuantitatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 9. 63 Suyanto Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Pendekatan

Alternatif (Jakarta: Kencana Media Group, 2007), 33.

Page 45: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

30 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

peristiwa.64

Penelitian yang dilakukan oleh kalangan akademisi

maupun para ahli dapat memberikan dua manfaat secara umum,

yakni manfaat teoritis dan manfaat secara praktis.

F. Metode Penelitian

a. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

dilandaskan pada analisis dan konstruksi atas fenomena sosial

kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta. Peneliti dalam hal

ini melakukan analisis dan konstruksi secara metodologis, sistematis

dan konsisten. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran

sebagai salah satu manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa

yang dihadapi dalam kehidupan.65

Penentuan metodologi penelitian

digunakan sebagai strategi pemecahan masalah, karena pada tahap

ini mempersoalkan bagaimana masalah-masalah penelitian tersebut

dipecahkan dan ditemukan jawabannya.66

Penelitiffan sosiologis merupakan proses pengungkapan yang

di dasarkan pada penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal

dalam sosiologi sebagai ilmu. Dalam penelitian sosiologi dikenal

beberapa konsep dasar seperti interaksi sosial, kelompok sosial,

kebudayaan, perubahan sosial dan sebagainya.

Metode penelitian digunakan sebagai alat uji data dan analisa

untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid, reliable dan

objektif.67

Munculnya istilah “Metodologi Penelitian Sosial” adalah

sebagai konsekuensi adanya distingsi antara apa yang dinamakan

64 Muhammad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan

Kuantitatif (Jakarta: Rajawali Press, 2008), 65. 65 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 202), 410. 66 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2008), 31. 67 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 32.

Page 46: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 31

“Ilmu Pengetahuan Alam” dan “Ilmu Pengetahuan Sosial” sebagai

pembedaan antara “social sciencies” dengan “natural sciencies”

yang dikenal di negara-negara Barat.68

Seorang peneliti harus

menyusun suatu teori baru dengan menggunakan model induktif

pemikiran atau logika.69

Hasil penelitian sosiologi dapat

dimanfaatkan oleh ilmu-ilmu sosial lainnya.70

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif

yang menjelaskan maksud dari sebuah fenomena yang terjadi dalam

suatu masyarakat. Meneliti merupakan mencari data untuk diteliti

dengan menggunakan instrument penelitian.71

Kata kunci dari

penggunaan metode-metode penelitian kualitatif adalah terjadinya

pergeseran yang cukup berarti dalam aspek ontologi, epistimologi

dan metodologi ilmu pengetahuan. Metode kualitatif berpikir secara

historis, interaksional dan struktural.72

Pendekatan merupakan cara pandang dalam melihat sesuatu

dengan landasan berpikir asumsi tertentu.73

Pemahaman mengenai

dasar teori dan pendekatan dari penelitian kualitatif sangatlah

penting untuk memahami distingsi antara metode penelitian

kualitatif dengan kuantitatif. Dari hal tersebut dapat dipahami

mengapa penelitian kualitatif mengajukan research questions yang

68 Soerjono Abdurrahman, Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan

Penerapan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 39. 69 Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: CV Alfabeta,

2005), 89. 70 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 202), 411. 71 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung:

Alfabeta, 2008), 31. 72 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2001), 80. 73 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana

Media Prenada Group, 2009), 35.

Page 47: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

32 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

berbeda. Penelitian kualitatif mencari jawaban atas kehidupan sosial

yang menjadi objek penelitian.74

Studi kasus merupakan pendekatan dalam penelitian yang

penelaahannya dilakukan secara intensif, mendalam dan

komprehensif terhadap sebuah kasus secara mendalam. Studi kasus

dilakukan terhadap individu atau kelompok seperti yang dilakukan

oleh ahli antropologi, sosiologi dan psikologi sosial.75

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sosiologi, ekonomi dan antropologi. Peneliti menggunakan

pendekatan sosiologi digunakan untuk mengetahui dampak

perubahan sosial terhadap kewirausahaan masyarakat Lamongan di

Jakarta. Pendekatan ekonomi di dasarkan untuk mengungkap lebih

dalam aspek kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta.

Sedangkan pendekatan antropologi digunakan untuk mengetahui

perkembangan migrasi dan sistem mata pencaharian masyarakat

Lamongan.

Landasan kerangka yang dibangun untuk menganalisis dalam

penelitian ini adalah teori korelasi kewirausahaan dan budaya

Davidsson dan need of achievement Mc Clelland. Selain itu peneliti

menggunakan teori perubahan sosial sebagai bahan pendukung

untuk menganalisis masyarakat Lamongan saat ini. Teori

merupakan sebuah preposisi yang digunakan untuk menggambarkan

suatu gejala. Proposisi-proposisi yang dikandung dan membentuk

teori terdiri atas hubungan sebab akibat. Didalam teori terkandung

konsep teoritis yang berfungsi menggambarkan realita dunia

sebagaimana yang diobservasi.76

74 Bagong Suyanto, Sutinah, Eds. Metode Penelitian Sosial: Berbagai

Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2007), 168. 75 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2008), 22. 76 Bagong Suyanto, Sutinah, Eds. Metode Penelitian Sosial: Berbagai

Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2007), 34.

Page 48: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 33

Penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran

tentang suatu masyarakat atau kelompok tertentu.77

Metode

kualitatif deskriptif peneliti anggap sesuai dengan tema penelitian

tersebut yang bermuara pada suatu tindakan. Tendensi tradisional

dan konvensional dalam penelitian sosial yang menjadi “pseudo-

objektif” yang menyembunyikan nilai-nilai dalam pendekatan

partikuler. Adanya nilai-nilai partikuler itu diharapkan memberi

tempat kajian yang amat sadar difokuskan pada penduduk agar

menjadi perantara (agen) perubahan.78

Sebab seorang agent of

change tidak sekedar mencapai status sosial, namun ia harus dapat

menjalankan harapan-harapan masyarakat.

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa seseorang

dapat menjalankan peranannya apabila memiliki status dalam

masyarakat. Termasuk status sosial yang dimiliki oleh kelompok

entrepreneurship dalam meningkatkan status sosialnya. Sebaliknya

penelitian dalam pengelompokkan berbagai jenis penelitian

digolongkan dalam apa yang dinamakan dengan penelitian sosial.79

b. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama beberapa bulan terhadap

masyarakat Lamongan yang membuka usaha kuliner di Jakarta.

Sebagai tambahan guna mendapatkan data yang lebih konkrit.

Peneliti kembali melakukan research yang berkorelasi dengan

kewirausahaan dalam beberapa bulan sampai mendapatkan data

yang utuh sebagai hasil penelitian. Adapun penentuan waktu

penelitian adalah berikut:

77 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial san Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2008), 35. 78 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2001), 81. 79 Soerjono Abdurrahman, Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan

Penerapan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 3.

Page 49: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

34 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

1. Pra-studi lapangan

2. Studi lapangan

3. Pembuatan laporan penelitian

c. Tahap Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian sosial, terdapat tahapan-

tahapan standar yang harus dipenuhi oleh peneliti:80

1. Pemilihan dan analisis masalah penelitian

2. Penentuan strategi dan pemecahan masalah atau penentuan

metodologi penelitian yang digunakan

3. Pengumpulan data

4. Penyusunan hasil penelitian

Penelitian deskriptif (descriptive research) juga disebut

sebagai penelitian taksonomi (taxonomic research) yang merupakan

penelitian dengan mendeskripsikan.81

Penelitian ini dimaksudkan

untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sebuah fenomena sosial

dengan mendeskripsikan masalah yang diteliti.82

Rincian dalam

penelitian meliputi beberapa tahap antara lain sebagai berikut:

a. Tahap Pendahuluan

Pada tahap ini, peneliti melakukan penelitian awal terlebih

dahulu guna mendapat gambaran umum dari tema dan lokasi

penelitian.

b. Tahap Penelitian Lapangan

Dalam tahap ini, peneliti melakukan prosedur sesuai dengan

aturan yang berlaku untuk melakukan penelitian. Peneliti

80 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:

Lembaga penelitian UIN Jakarta Press, 2006), 139. 81 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:

Lembaga penelitian UIN Jakarta Press, 2006), 13. 82 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2008), 20.

Page 50: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 35

mulai melakukan penggalian data sesuai dengan fenomena

yang diteliti.

c. Tahap Analisis Data

Pada tahap ini peneliti menganalisa data yang peneliti peroleh

sebagai bahan penelitian. Analisis tersebut digunakan agar

data yang diperoleh peneliti dari setiap informan benar-benar

valid. Analisa data merupakan upaya mencari dan menata

secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan

lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang

kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagi temuan bagi

orang lain.83

Validitas digunakan untuk menjelaskan ilmiah

atas fenomena yang sedang dikaji.84

d. Tahap Penyusunan Hasil Laporan

Pelaporan dalam penelitian menggunakan bentuk lisan dan

tulisan. Langkah-langkah yang perlu untuk diikuti dalam

proses penyusunan laporan adalah: mengidentifikasi sasaran

laporan, mengembangkan susuan karangan, dan mengikuti

prosedur tertentu untuk ditinjau oleh orang yang menjadi

subjek penelitian.85

Prinsip penyajian data dalam penelitian

kualitatif adalah dalam bentuk uraian kata-kata dan

penjelasan langsung yang di dapatkan dari para informan.86

83 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan

Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Metaphisik: Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 104.

84 Marianne W. Jorgensen, Louise J. Phillips, Analisis Wacana Teori dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 315.

85 Robert K Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 169.

86 Bagong Suyanto, Sutinah, Eds. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2007), 173.

Page 51: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

36 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Tahap akhir dari proses hasil dari pelaksanaan penelitian ini

merupakani semua data yang peneliti peroleh dikumpulkan,

dan dianalisis agar data yang peneliti peroleh benar-benar

valid. Setelah itu kemudian disusun dan ditulis oleh peneliti.

d. Sumber Data

Sumber data merupakan objek penelitian yang memberikan

informasi kepada peneliti yang meliputi data primer dan sekunder.

Data primer adalah sumber data pokok yang langsung didapatkan

dari informan yang bersangkutan. Data primer tersebut bisa berasal

dari informasi melalui wawancara terhadap masyarakat Lamongan

yang membuka usaha kuliner di Jakarta. Adapun daftar nama

informan yang berhasil peneliti himpun antara lain sebagai berikut:

Tabel 1.1

Daftar Nama Informan

No Nama Lokasi Keterangan

1 Arif Pesanggrahan Wirausaha

2 Suliyanto Pasar Senen Wirausaha

4 Khozin Lebak Bulus Wirausaha

5 Fatoni Lebak Bulus Wirausaha

6 Aziz Pasar Senen Wirausaha

7 Kiswanto Kebayoran Wirausaha

8 Supii Cengkareng Wirausaha

9 Darkono Kebon Jeruk Wirausaha

10 Lukman Kebayoran Karyawan

11 Adib Grogol Karyawan

12 Tosin Tebet Karyawan

13 Suhud Lamongan Kuli

14 Ramelan Lamongan Kuli

15 Masdi Lamongan Tokoh Masyarakat

16 Maselan Lamongan Kuli

Page 52: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 37

17 Suhartini Pondok Indah Wirauasaha

18 Suminto Ciputat Wirauasaha

19 Hadi Tanah Abang Wirauasaha

20 Adi Ciputat Wirauasaha

21 Nur Wahid Ciputat Wirauasaha

Data sekunder merupakan sumber data tambahan yang tidak

langsung didapatkan peneliti dari informan yang bersangkutan. Data

sekunder diambil dari hasil dokumentasi, sumber tertulis dalam

sebuah penelitian, laporan pemerintah Kabupaten Lamongan, jurnal,

koran, majalah kewirausahaan, tesis, disertasi buku-buku terbitan

lokal maupun internasional dan lain-lain.87

Content analysis atau dinamakan dengan kajian isi untuk

menarik kesimpulan yang valid atas sebuah buku atau dokumen.88

Cara sederhana yang digunakan untuk membangun sebuah

keyakinan dalam penelitian adalah dengan membandingkan dengan

teks-teks yang lain.89

Analisa data harus disesuaikan dengan judul

penelitian. Pembuatan klasifikasi termasuk bentuk analisa pada

tingkat pertama yang digunakan untuk menguji tingkat orisinalitas

data.90

Content analysis berangakat dari aksioma bahwa studi

tentang proses dan isi komunikasi itu merupakan dasar bagi semua

87 Lexy J Moeleng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2000), 113. 88 Lexy J Moeleng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2000), 163. 89 Marianne W. Jorgensen, Louise J. Phillips, Analisis Wacana Teori dan

Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 268. 90 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2008), 93.

Page 53: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

38 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

ilmu sosial. Content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi

suatu pesan komunikasi.91

G. Sistematika Penulisan

Suatu laporan penelitian umumnya dibagi dalam lima atau

enam bab.92

Sebelum menulis bab laporan, ada bagian pendahuluan

yang memberikan gambaran umum tentang tema penelitan.

Sistematika penulisan dalam bab penelitian ini dibagi menjadi enam

bab sesuai pedoman akademik.93

Peneliti dalam hal ini

menggunakan panduan dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hiayatullah Jakarta.94

Bab I mengkaji tentang pendahuluan yang berisi latar

belakang masalah, permasalahan yang meliputi: identifikasi

masalah, pembatasan masalah, serta rumusan masalah. Sub bab

berikutnya dalam pendahuluan ini adalah penelitian terdahulu yang

relevan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi

penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan konteks perdebatan akademik, kerangka

teori yang hendak dibangun oleh peneliti. Sebagai acuan yang

memberikan gambaran dasar tentang pandangan beberapa teori dari

para ahli dalam mengkaji migrasi dan entrepreneurship dalam

diskursus ilmu sosial.

91 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan

Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 49.

92 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 52.

93 Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam 2011-2015 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011). 94 Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan

Notes Karya Ilmiah 2014 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).

Page 54: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Pendahuluan I 39

Dalam bab ini, peneliti menjelaskan tentang beberapa aspek

yang berkorelasi dengan kerangka teori dalam perdebatan akademik.

Pertama, deskripsi tentang migrasi dan migrasi dalam sudut

pandang Islam. Kedua entrepreneurship yang meliputi: diskursus

entrepreneurship dan pendekatan teori perubahan sosial. Ketiga,

entrepreneur dalam perspektif Islam.

Bab III merupakan kajian pokok penelitian yang menyajikan

temuan-temuan awal di lapangan. Kajian dalam bab ini menjelaskan

gambaran umum masyarakat Lamongan. Sebagai temuan awal

dalam penyusunan tesis ini. Terdapat beberapa sub bab yang

menjadi pembahasan peneliti dalam hal ini. Pertama sejarah

Kabupaten Lamongan yang meliputi: islamisasi di Lamongan,

akulturasi Islam di Lamongan. Kedua deskripsi wilayah Kabupaten

Lamongan yang menguraikan tentang kondisi geografis, sistem

mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan masyarakat.

Ketiga, kondisi sosial serta kehidupan masyarakat Lamongan saat

ini.

Bab IV yang terbagi menjadi enam sub judul untuk

menjelaskan analisis sesuai dengan temuan peneliti dalam

penggalian data. Pokok bahasa dalam bab ini terdiri daru beberapa

sub bab. Pertama, motif migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta.

Kedua, fase migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta. Ketiga,

konstruksi entrepreneurship masyarakat Lamongan. Keempat,

problem dalam berwirausaha dan yang terakhir adalah filosofi dalam

berwirausaha.

Bab V yang menerangkan tentang entrepreneurship dan

ekspresi keagamaan masyarakat Lamongan. Sebagimana pada bab

sebelumnya, bab ini terdiri dari beberapa sub judul yang

menjelaskan tentang aspek kewirausahaan dan keagamaan

masyarakat Lamongan. Pertama, pola interaksi sosial masyarakat

Lamongan di Jakarta. Kedua, relasi antara agama dengan wirausaha.

Ketiga, ekspresi keagamaan masyarakat Lamongan di Jakarta.

Page 55: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

40 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Keempat, entrepreneurship dan stratifikasi sosial keagamaan.

Kelima, kontribusi masyarakat Lamongan dalam mereduksi

pengangguran.

Bab VI merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran

yang dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

Termasuk format yang digunakan peneliti dalam penganggalian data

berupa wawancara.

Page 56: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

41

Bab II

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama

dalam Diskursus Ilmu Sosial

A. Diskursus Migrasi

Aktivitas migrasi atau yang lebih dikenal dengan perpindahan

penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain telah lama dikenal

dalam kehidupan manusia. Migrasi telah dimulai sejak zaman

manusia purba yang dikenal dengan istilah nomaden atau berpindah-

pindah. Perpindahan manusia tentu disebabkan karena berbagai

macam faktor yang mengharuskan mereka untuk bermigrasi. Secara

tidak langsung, migrasi telah membawa pengaruh besar bagi budaya

dan peradaban dunia.1

Termasuk perpindahan manusia dalam

aktivitas ekonomi dari desa ke kota.

Migrasi telah merubah kondisi lingkungan dan kehidupan

suatu masyarakat. Sementara itu, langkah yang dibuat dalam

pemahaman ilmiah dan sistematis antara hubungan dengan alam,

populasi dan lingkungan dalam pekerjaan. Namun, tidak sampai

tahun 1960-an, protes yang berkembang terhadap lingkungan dan

polusi datang bersama-sama dalam pemikiran terfokus tentang

interelasi dari aktivitas manusia dan lingkungan alam.2

Keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lahan pertanian

mereka sebut opium population. Teori ini dikembangkan oleh Plato

dan Aristoteles bahwa opium population tidak hanya ditentukan

1 Natalis Pigay, Migrasi Tenaga Kerja Internasional: Sejarah, Fenomena,

Masalah dan Solusinya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 12. 2 Tony Manzi, Karen Lucas, Tony Lloyd-Jones and Judith Allen, Eds.

Social Sustainability in Urban Areas: Communities, Connectivity and the Urban Fabric (London: Earthscan, 2010), 6.

Page 57: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

42 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

oleh lahan pertanian, tetapi harus di seimbangkan dengan

pengembangan keamanan.3

Kaitan terpenting antara kota dengan desa adalah migrasi

penduduk secara permanen dan sementara. Migrasi permanen terjadi

ketika suatu penduduk tinggal dalam sebuah perkotaan lebih dari

enam bulan.4

Riset sosiologis menunjukan bahwa migrasi

merupakan indikator sintesis bagi transformasi sosial.5 Fenomena

urban (urban phenomena) terjadi melalui proses perpindahan

domisili. Yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota. Karena

daya tarik kota yang menyediakan berbagai macam fasilitas dan

kemungkinan masa depan. Masyarakat yang berdatangan dari

pedesaan kemudian banyak yang berdatangan ke kota untuk mecari

sesuatu yang tidak mereka dapatkan di desa.6

Kasus di Asia

Tenggara dapat dibedakan dua pola utama urbanisme berkaitan

dengan pembentukan negara. Pertama kota-kota dagang yang

umumnya terletak di daerah pesisir. Kedua kota-kota pedalaman

yang menjadi pusat pemerintahan raja-raja.7

Kota merupakan produk sosiokultural, perilaku dan gaya

hidup manusia yang selalu berubah dari waktu ke waktu yang

sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi penduduknya.

Semakin besar kotanya, semkain kompleks masalah yang

3 T. Widodo, Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris

Perspektif Sosiologi Kependudukan (Surakarta: Lembaga Pengembangan

Pendidikan UNS, 2011), 25. 4 Riwanto Titrisudarmo, Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1997), 52. 5 Mustafa O. Attir, Burkart Holzner dan Zhedek Suda, Directions of

Change: Modernization Theory, Research, and Realities (Colorado: Westview Press, 1981). Diterjemahkan oleh. Hartono Hadikusumo,Sosiologi Modernisasi: Telaah Kritis Tentang Teori, Riset dan Realitas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989),

252. 6 Huriyuddin, Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung

Pintuair Bekasi Selatan (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1997), 39. 7 Hans Dieter Evers dan Rudiger Korf, Urbanisme di Asia Tenggara: Makan

dan Kekuasaan Dalam Ruang Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), 49.

Page 58: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 43

dihadapinya.8 Migrasi menjadi sebuah interaksi yang terjadi antara

desa dengan kota.9

Stenson dan Watt (1999), mendeskripsikan

pedesaan yang ideal dari kota yang penuh polusi di Inggris

ditentukan oleh arah masyarakatnya. Kaum urban berusaha untuk

melawan kehidupan kota yang penuh dengan masalah, konflik,

kejahatan, dan polusi. Atkinson (2006), menjelaskan awal model

perkotaan yang tercerahkan terkait dengan London yang

mempelopori perkembangan kota di Eropa.

Perkembangan hukum yang disertai dengan kebijakan untuk

mengatur kota yang terpinggirkan mungkin mengancam masyarakat

perkotaan kelas menengah. Awal tahun 1990-an pelaku sektor

swasta mendukung perkembangan perkotaan. Meskipun upaya

sebagian besar tidak berhasil karena sikap pemerintah yang

konservatif untuk mendorong perusahaan-perusahaan swasta.

Stenson dan Edwards (2001), menyatakan banyak kota di AS dan

Inggris sejak tahun 1970 memiliki lembaga negara nasional dan

lokal untuk memperbaiki kondisi wilayahnya. Buruh yang baru

datang diberikan solusi oleh negara dengan memberikan kebebasan

yang terkait dengan pasar.10

Platteau dan Abraham (2002), mendefinisikan kaum urban

cenderung untuk menegakkan praktik redistributif yang ketat.

Dimana individu yang diperkaya secara sosial terdorong untuk

berbagi dengan seluruh masyarakat. Tidak hanya kehidupan sehari-

hari, tetapi juga hasil yang dibedakan dari kerja keras mereka.

Dalam studi ini, mereka menunjukkan bahwa konservatisme

8 Eko Budihardjo, Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi

‘Human Zoo’ (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2014), 196-197. 9 Cucu Nurhayati, Sosiologi Perkotaan (Tangerang Selatan: v v UIN Jakarta

Press, 2013), 94. 10 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance

Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,

2007), 40.

Page 59: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

44 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

masyarakat dalam bentuk perlawanan terhadap kebijakan

ekonomi.11

1. Kajian Teori Migrasi

Migrasi mempunyai arti yang sangat luas sesuai dengan

konteks yang dimaksud. Pengertian migrasi dimaknai sebagai

perpindahan penduduk dari desa ke kota. Migrasi selanjutnya

didefinisikan sebagai sebuah proses terbentuknya kehidupan

perkotaan yang berbeda dengan kehidupan pedesaan dalam konteks

ekonomi, sosial dan perilaku masyarakatnya. Paul Knox (1994),

menjelaskan pengertian migrasi sebagai sebuah perubahan ekonomi

yang dimotori oleh manusia.12

Kota sebagai pusat pemerintahan serta perdagangan barang

dan jasa tidak banyak menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok

yang diproduksi oleh alam. Komoditas utama perkotaan banyak

disuplai oleh desa yang merupakan tulang punggung perkotaan.13

Desa yang mempunyai lahan yang luas dan sumber daya alam yang

melimpah memberikan pasokan bahan-bahan mentah pada kota-kota

besar. Komoditas yang dihasilkan masyarakat desa tidak hanya yang

berhubungan dengan alam. Melainkan juga barang-barang produksi

kerajinan yang terdiri dari tembikar, pandai besi, tukang kayu, dan

sebagainya.14

11 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does

Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University Of Chicago Press, Source: Economic Development And Cultural Change, Vol. 58, No.

4 (July 2010), 609-641. 12 Sugiono Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan

Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2013), 24. 13 Ashok Parthasarathi, “Rural Industrialisation Programme: Looking at

Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.

40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4, 2005), 4763-4767. 14 S. S. Solanki, “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political

Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-27.

Page 60: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 45

Peran desa yang mempunyai sumber daya alam yang

melimpah sangat penting bagi penyangga kehidupan masyarakat

perkotaan. Tipologi kehidupan masyarakat perkotaan yang sangat

heterogen dimana mayoritas penduduknya menghabiskan waktunya

pada aktivitas yang tidak berkorelasi dengan alam. Baik pada masa

klasik atau modern, masyakat perkotaan menjalankan sistem mata

pencaharian yang tidak identik dengan alam. Pola kehidupan

masyarakat perkotaan lebih berhubungan dengan aktivitas

perdagangan dan perkantoran. Hubungan antara pertanian dan non

pertanian sebagai bentuk hubungan antara desa dengan kota dan

transisi agraria di era industri.15

Program ini telah membawa

kemajuan dengan pada kota dan desa.

Unit usaha yang dijalankan masyarakat kota identik dengan

kegiatan yang mengolah sumber daya alam yang merupakan

komoditas utama sebagai pemasok bahan mentah. Kesenjangan

antara desa dan kota menyebabkan masyarakat desa melakukan

migrasi kekota.16

Peningkatan populasi dan kegiatan ekonomi yang

berkaitan dengan sektor pertanian. Murdoch (2003),

menghubungkan dengan gerakan untuk meningkatkan wisatawan

dan investasi perkotaan untuk wilayah pedesaan yang dianggap

berasal dari putaran perkotaan pedesaan.17

Banyaknya angkatan kerja muda menjadikan desa sebagai

pamasok tenaga kerja ke kota-kota besar. Minimnya infrastruktur

yang terdapat dalam sebuah pedesaan menjadi penghambat bagi

15 Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee

Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central

Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008), 355-381.

16 Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central

Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008),

355-381. 17 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local

perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59.

Page 61: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

46 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

masyarakat desa untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Sarana

dan prasarana yang lengkap pada sebuah perkotaan besar menjadi

sebuah motivasi utama bagi masyarakat desa yang ingin

melanjutkan jenjang pendidikannya.

Meningkatnya mobilitas sirkuler dan peningkatan

keterlibatan penduduk desa dalam kegiatan non pertanian telah

banyak diperdebatkan. Proses tersebut diakibatkan oleh

marginalisasi penduduk pedesaan akibat program pembangunan

pedesaan di masa Orba. Program pembangunan desa yang dimulai

dari pelita I telah menciptakan kapitalisasi pedesaan. Situasi

semacam ini telah menjadi seleksi alam yang ampuh bagi penduduk

desa. Proses marginalisasi penduduk desa menyebabkan mereka

keluar dari desa dengan mengadu nasib di kota.18

Diversifikasi pertanian dalam beberapa daerah masih

terhubung ke sektor pertanian. Kendala yang dihadapi adalah

mengintegrasikan tenaga kerja desa ke perkotaan.19

Masyarakat desa

yang mempunyai karir dalam bidang akademisi yang baik akan terus

melanjutkan pendidikannya sampai jenjang yang lebih tinggi.

Keinginan yang demikian merupakan bentuk upaya untuk

meningkatkan status sosial di masyarakatnya. Tingginya gengsi

bagi masyarakat desa yang di eksternalisasikan dan di

implementasikan dalam bentuk kerja keras di kota-kota besar.

Mereka enggan untuk kembali lagi kekampung halamannya selama

belum mempunyai karir yang baik di kota-kota besar.

Teori transisi demografi klasik yang dikemukakan oleh Frank

Notestein (1945-1953) menekankan tingkat kesuburan tanah

18 Abdul Haris dan Nyoman Adika, Dinamika Kependudukan dan

Pembangunan di Indonesia dari Perspektif Makro ke Realitas Mikro (Yogyakarta:

Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), 218-219. 19 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local

perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59.

Page 62: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 47

berpengaruh pada tingkat urbanisasi.20

Perubahan sosial dalam

bidang pekerjaan telah mengakibatkan terjadinya migrasi.

Sebagimana yang terjadi pada Amerika Utara dan Eropa pada abad

kesembilan belas dan dua puluh yang mengalami migrasi akibat

terjadinya arus industrialisasi. Kehidupan perekonomian

masyarakatnya telah mengalami perubahan dari pertanian menuju

pada industrialisasi. Landale, Nancy. S dan Avery Guest (1985),

mengemukakan teori yang mempengaruhi seseorang karena variable

sebagai berikut:21

a. Individu, dan karakteristik keluarga

b. Karakteristik lokasi: perumahan, pekerjaan, lingkungan

sekitar

c. Kontrak sosial

d. Peluang dalam menjangkau lokasi

e. Pertimbangan untuk pindah

Teori materialisme dikembangkan oleh Karl Marx dan

Frederich Engels yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk

ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi yang khas. Golongan

buruh cenderung memperbanyak anak untuk bekerja mendapatkan

upah.22

Oleh karena itu, migrasi merupakan fenomena yang terjadi

pada setiap negara. Karena banyak variabel yang mempengaruhi.

Individu yang menghadapi sebuah masalah akan berpikiran untuk

pindah atau menatap di daerah asalnya. Everet S Lee (1976),

20 Tim Dyson, “The Role of the Demographic Transition in the Process of

Urbanization,” Population and Development Review, Vol. 37, Demographic

Transition and Its Consequences (2011), 34-54. 21 T. Widodo, 103. 22 T. Widodo, Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris

Perspektif Sosiologi Kependudukan (Surakarta: Lembaga Pengembangan

Pendidikan UNS, 2011), 29.

Page 63: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

48 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

menyatakan faktor yang menentukan migrasi antara lain sebagai

berikut:23

a. Faktor yang terdapat di daerah asal

b. Faktor yang terkait dengan daerah tujuan

c. Faktor intervensi rintangan

d. Faktor personal atau individu

De Boeck dan Plissart (2004), telah membuat kontribusi yang

cukup besar dalam upaya untuk membaca urbanisme Afrika dan

teori perkotaan keranah intelektual.24

Teori demografi terbagi

menjadi dua bagian, yakni: Teori primer yang dirumuskan untuk

menerangkan kecenderungan demografis, yakni variabel-variabel

feritilitas, migrasi, dan mortalitas. Teori sekunder dirumuskan untuk

menjelaskan hubungan variabel yang secara tidak langsung terkait

dengan materi kependudukan, tetapi inklusif dalam kependudukan.

Contoh:

a. Mortalitas individu dipengaruhi oleh usia (teori primer)

b. Pendapatan berpengaruh terhdapa kesehatan penduduk (teori

sekunder).25

Teori gelombang perpindahan suku bangsa di jaman pra-

sejarah di Asia Tenggara selama ini didominasi oleh pedapat-

pendapat dari Kern dan Heine-Geldern yang mengemukakan bahwa

penduduk Kepulauan Nusantara sekarang ini berasal dari Asia

Tenggara.26

23 T. Widodo, 102. 24 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and

Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 10. 25 T. Widodo, 23. 26 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1984), 57.

Page 64: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 49

2. Migrasi dalam Perspektif Islam

Kajian tentang migrasi merupakan hal yang menarik bagi

kalangan sosiolog maupun akademisi. Mereka berusaha

mengungkap keterkaitan antara desa dan kota yang menyebabkan

migrasi masyarakat. Migrasi sejak lama telah di implementasikan

oleh Nabi Muhammad melalui peristiwa hijrahnya. Para sejarahwan

menyatakan bahwa hijrah dimaknai sebagai peristiwa penting yang

dialami oleh ummat Islam. Kehidupan Nabi Muhammad berubah

ketika beliau memutuskan untuk hijrah dari Mekkah menuju

Madinah.

Motivasi yang melatarbelakangi hijrahnya Nabi Muhammad

tidak terjadi secara instan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Everet S Lee, ada beberapa fenomena yang menyebabkan suatu

masyarakat atau individu memutuskan untuk melakukan migrasi.

Faktor tersebut dikarenakan yang terjadi di daerah asalnya maupun

faktor yang menjadi penarik di daerah perkotaan. Peneliti dalam hal

ini menyamakan antara hijrah dengan migrasi yang berorientasi

pada perbaikan kehidupan yang lebih baik. Termasuk dalam mencari

kebutuhan hidup sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran sebagai

berikut:

واذكروا الله فضل من واب ت غوا الرض ف فان تشروا الصلة قضيت فإذا ]10/اجلمعة[( 10) ت فلحون لعلكم كثريا الله

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah :

10)27

27 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 554.

Page 65: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

50 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Tingginya arus mobilitas sosial memunculkan adanya

stratifikasi dalam sistem pembagian kerja dengan ikatan solidaritas

organik. Perkembangan pesat yang terjadi di kota-kota besar telah

memicu mobilitas sosial masyarakat pedesaan untuk melakukan

migrasi ke kota-kota besar semacam Jakarta dan Surabaya dan

sebagainya. Banyaknya lapangan kerja yang ada pada kota-kota

besar menjadi faktor utama masyarakat desa melakukan migrasi di

kota-kota besar.

Redfield (1947), menyatakan bahwa terdapat kontradiksi

antara masyarakat desa dengan kota. Masyarakat desa masih

bersikap pasif dalam menerima kebudayaan baru yang masuk.28

Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman dalam (T.L Smith dan

P. E. Zhop, 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi

dasar sebagai penentuan antara desa dan kota. Ia membedakan

karakteristik desa dan kota berdasarkan beberapa hal antara lain di

karenakan mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan

penduduk, lingkungan, diferensiasi sosial, stratifikasi sosial,

interaksi sosial, dan solidaritas sosial. 29

Sistem pembagian kerja pada masyarakat tradisional masih

terbilang sederhana. Berbeda dengan masyarakat modern yang

mengenal lebih jauh sistem pembagian kerja secara terperinci dan

mapan yang lebih kompleks. Emile Durkheim lebih lanjut

menjelaskan bahwa solidaritas antara masyarakat perkotaan berbeda

dengan masyarakat pedesaan. Ikatan solidaritas yang dibangun oleh

masyarakat pedesaan bersifat gemeinschaft yang berorientasi pada

ikatan kekeluargaan. Solidaritas yang dibangun oleh masyarakat

desa merupakan solidaritas mekanik yang belum mengenal sistem

28 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development

(London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim

Penerjemah Bina Aksara, Pengantar Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: PT

Bina Aksara, 1987), 46. 29 Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2010), 40.

Page 66: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 51

pembagian kerja yang secara terperinci dan mapan. Sistem

pembagian kerja masyarakat kota yang kompleks dijelaskan dalam

Al-Quran sebagai berikut:

( 39) ت علمون وف فس عامل إن مكانتكم على اعملوا ق وم يا قل Artinya: Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui. (Az-Zumar : 39).

30

Masyarakat desa yang sebagian besar didominasi oleh

masyarakat holtikultura menggantungkan sistem mata

pencahariannya pada mengelola tanah. Intensitas hujan dan jenis

tanah berpengaruh pada heterogenitas tanaman yang dibudidayakan

para petani. Sedangkan masyarakat desa yang secara geografis

terletak dipesisiran bekerja dalam sektor fishing communities yakni

sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dengan

mencari ikan. Adanya pelarangan mencari ikan dengan

menggunakan bom peledak dapat berpengaruh pada ekosistem laut

yang menjadi komoditas.

Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa manusia bekerja sesuai

dengan tugas dan peran mereka masing-masing. Termasuk dalam

pengertian keadaan disini ialah tabiat dan pengaruh alam sekitarnya.

Sebagaimana dalam surat Al-Isra’ Ayat 84 sebagai berikut:31

( 84) سبيل أهدى هو بن أعلم ف ربكم ته شاكل على ي عمل كل قل

30 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 462.

31 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 290.

Page 67: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

52 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya. (Al-Isra’: 84).

32

Sistem peralatan hidup terbilang sederhana dalam aktivitas

membajak sawah dengan menggunakan binatang ternak. Sektor

pertanian dan perladangan masyarakat desa masih menggunakan

alat-alat sederhana untuk mengelola sawah-sawah dan pekarangan.

Masyarakat tradisional masih memanfaatkan kapak batu dan

berbagai jenis benda-benda yang terbuat dari batu sebagai sistem

peralatan hidup. Suatu perubahan kecil yang terjadi pada

masyarakat desa secara mencolok adalah penggunaan alat-alat

pertanian. Pada masa ini masyarakat desa menggunakan peralatan

modern untuk mengolah tanah dan sawah mereka.

Salisbury (1962), misalnya membahas tentang beralihnya

penggunaan kapak batu dengan kapak besi di kalangan penduduk

Papua New Guinea yang mempersingkat waktu dalam kegiatan

produksi pertanian.33

Masyarakat yang dalam kategori solidaritas

organik mempunyai ikatan yang lebih didasarkan pada sistem

pembagian kerja yang berorientasi pada keuntungan ekonomi,

berbeda dengan masyarakat pedesaan yang didasarkan pada

solidaritas mekanik yang belum mengenal sistem pembagian kerja

secara kompleks. Ikatan kekeluargaan mempunyai peranan yang

penting dalam masyarakat yang masih bersifat gemeinschaft.

Interaksi sosial yang terjadi pada masyarakat kota bersifat

gesseleschaft yakni pola ikatan masyarakat patembayan yang

didasarkan atas tawar-menawar secara rasional. Konstruk solidaritas

32 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 290

33 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development (London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim

Penerjemah Bina Aksara, Pengantar Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: PT

Bina Aksara, 1987), 32.

Page 68: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 53

masyarakat kota didasarkan atas pola pembagian kerja yang bersifat

heterogen. Ikatan yang dibentuk oleh masyarakat kota dalam bentuk

solidaritas organik yang didasarkan atas pembagian ikatan kerja

secara kompleks. Diversifikasi sistem mata pencaharian pedesaan,

bagaimanapun telah diidentifikasi sebagai karakteristik daerah

pedesaan Asia.34

Pola migrasi antara pedesaan dan perkotaan daerah telah

berubah dari orang yang meninggalkan daerah pedesaan juga

melibatkan orang perkotaan untuk datang ke beberapa daerah

pedesaan (Champion 1998). Kehidupan perkotaan dan pedesaan

telah terhubung pada beberapa daerah untuk aktivitas ekonomi.35

Kasus ini menunjukkan bahwa desa yang berfungsi sebagai sebuah

hinterland tidak selamanya menjadi pemasok kebutuhan yang

terpusat pada komoditas-komoditas yang diproduksi oleh alam.

B. Entrepreneurship dalam Diskursus Ilmu Sosial

Kewirausahaan dalam ruang kajian sosiologi masuk dalam

kategori fenomena sosial sebagai problem solving pengangguran.

Sejak lama para sosiolog telah mengkaji berbagai macam teori guna

memberikan solusi atas problem sosial yang demikian. Diantara

mereka ada yang menjadikan sosiologi sebagai ilmu praktis dan

akademis. Yakni memberikan kontribusi secara langsung maupun

tidak langsung dalam mengatasi problem sosial pengangguran.

Sosialisme merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang

mengubah masyarakat Eropa di akhir abad kedelapan belas dan

sembilan belas.

34 Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee

Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central

Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008),

355-381. 35 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local

perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59.

Page 69: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

54 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Kata entrepreneurship berasal dari basaha Perancis yang

mempunyai arti “between taker” atau “go between” yang diartikan

sebagai seseorang yang beraktivitas dalam dunia usaha dan berani

mengambil resiko dari setiap kegiatan wirausaha yang dijalankan.36

Definisi wirausaha menurut Scarborough, Zimmerer, dan

Wilson (2009) adalah seorang yang menciptakan bisnis baru dengan

mengambil resiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan

dan pertumbuhan yang mengidentifikasi peluang sehingga sumber

daya tersebut dapat dikapitalisasi.37

Sosiologi ekonomi didefinisikan sebagai pendekatan

sosiologis yang diterapkan pada fenomena ekonomi. Adapun yang

dimaksud dengan pendekatan sosiologis adalah konsep-konsep,

variabel-variabel, teori-teori, dan metode yang digunakan dalam

sosiologi untuk memahami kenyataan sosial, termasuk di dalamnya

kompleksitas aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi.38

Bilamana komunisme didasarkan pada gagasan bahwa

ekonomi dan politik harus dipisahkan, maka inti pokok dari

sosialisme adalah menyarankan agar kedua bidang tersebut harus

diintegrasikan. Prinsip utama dari sosialisme bukanlah semata-mata

bahwa produksi itu harus dipusatkan di tangan negara, akan tetapi

bahwa peran negara itu harus seluruhnya memainkan peran ekonomi

di dalam masyarakat sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan

ekonomi harus menjadi tugas dasar negara. Jika komunisme yang

berusaha keras untuk sejauh mengkin menghindari pengumpulan

36 Willy Arafah. Esensi Lingkungan Bisnis dan Entrepreneurship (Jakarta:

Univaersitas Trisakti, 2010), 2. 37 Franky Slamet, Hetty Tunjungsari dan Mei Le, Dasar-dasar

Kewirausahaan: Teori dan Praktik (Jakarta: PT Indeks, 2014), 3. 38 Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2011), 14.

Page 70: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 55

kekayaan biasanya cenderung pada kehidupan bagaikan fakir

(ascetic), maka sebaliknya doktrin-doktrin sosialis.39

1. Landasan Teori Entrepreneurship

Sosiologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan berusaha

untuk mendalam berbagai fenomena dan realitas sosial. Munculnya

sebuah teori tidak hanya ditekankan karena perkembangan

pemikiran dan keilmuan manusia. Faktor perubahan sosial dan

adanya problem sosial pada akhirnya memunculkan teori sebagai

penyelesaian permasalahan sosial.

Oleh karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi

perkembangan teori sosiologi. Diantara faktor yang berpengaruh

adalah permasalahan sosial yang melatarbelakangi munculnya

perkembangan teori sosiologi klasik. Teori sosiologi klasik muncul

karena problem sosial yang berawal dari revolusi politik di Perancis,

revolusi industri di Inggris, kemunculan kapitalisme, sosialisme,

feminisme serta pengaruh sosial lainnya. Teori kelembagaan adalah

perspektif yang sangat relevan dalam studi jaringan.

Mengingat kebutuhan keterlibatan beberapa bentuk lembaga

baik pemerintah dan sektor swasta sebagai pemain utama. Teori

pertukaran sosial, di mana teori jaringan sosial didirikan

memandang penting hubungan dalam sistem jaringan. Ahuja (2000),

menggunakan teori jaringan sosial dalam analisisnya menemukan

bahwa jumlah ikatan langsung dan tidak langsung mempengaruhi

kemampuan untuk berinovasi. Keterkaitan untuk bekerja pada

jaringan sosial adalah modal sosial.

Teori kewirausahaan yang dirangkum Kandasaami dan Wood

(1996) meliputi berbagai perspektif: sosial budaya, populasi

ekologis, ekonomi, psikologis, geografis dan last but not least

39 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis

karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,

1986), 119.

Page 71: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

56 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

(terakhir tapi bukan yang akhir), seperti dibahas diatas.40

Dalam

perspektif mereka, semua mempengaruhi lingkungan pribadi

entrepreneur.41

Teori psikologi ketiga mengenai wirauasha adalah

yang dikemukakan oleh Hagen (1962) yakni kepribadian kreatif.

Seorang wirausaha mempunyai kemampuan untuk memcahkan

masalah secara kreatif.42

Davidsson (1995) mengidentifikasi pandangan yang disebut

sebagai legitimasi sosial. Pandangan yang terakhir ini

mengasumsikan bahwa variasi dalam kewirausahaan didasarkan

pada perbedaan nilai dan keyakinan antara penduduk secara

keseluruhan dan potensi berkembang pada setiap individu. Benturan

nilai antara kelompok yang mendorong potensi wirausaha dari

organisasi rata-rata yang bekerja secara mandiri. Penelitian Lynn

(1991) membandingkan empat teori psikologis pertumbuhan

ekonomi yang telah dijelaskan dalam etos kerja Weber, Schumpeter

serta Mc Clelland bahwa motivasi berprestasi merupakan faktor

pendorong berkembangnya suatu masyarakat.43

Menurut Castells (1998), ketidakrataan dan ketidaksetaraan

tidak hanya terlihat pada skala ini. Dia berpendapat globalisasi

hanya menciptakan hubungan yang tak terduga melalui pola migrasi

dan menciptakan elit global dengan gaya hidup yang sama di setiap

40 Mukesh Sud, Craig V. Van Sandt and Amanda M. Baugous, “Social

Entrepreneurship: The Role of Institutions,” Journal of Business Ethics, Vol. 85,

Supplement 1: 14th Annual Vincentian International Conference on Justice for the Poor: A Global Business Ethics (2009), 201-216.

41 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward

Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 217. 42 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:

Gunung Djati Press, 1999), 35. 43 Sjoerd Beugelsdijk and Roger , “Entrepreneurial Culture and Economic

Growth: Revisiting McClelland's Thesis,” The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 67, No. 5 (Nov., 2008), pp.915-940.

Page 72: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 57

kota besar dunia. Pada saat yang sama menghasilkan sebuah tenaga

kerja urban dan lokal yang ada di bagian bawah pasar tenaga kerja di

setiap kota dunia. Gagasan mereka dikecualikan dari arus mikro

ekonomi terkait dengan globalisasi.44

Emile Durkheim (1859-1917), merupakan sosiolog Perancis

dengan teorinya solidaritas sosial. Solidaritas merupakan suatu

bentuk integrasi sosial dalam konstruk consensus diantara

masyarakat. Pondasi utama dalam konstruk solidaritas diantara

anggota masyarakat didasarkan atas ikatan kerja dan perbedaan

sistem mata pencaharian diantara anggota masyarakatnya.

Pada masyarakat gemeinschaft, konstruk solidarias mekanik

akan membentuk integrasi sosial diantara entitasnya secara utuh.

Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang mempunyai

heterogenitas diatara warganya. Solidaritas mekanik didasarkan

pada ikatan yang dibangun atas persamaan dengan ikatan emosional

yang kuat. Masyarakat kota yang mengalami perkembangan dalam

dunia industri akibat pengaruh dari modernisasi mengkonstruk

solidaritasnya yang didasarkan pada distingsi sistem pekerjaan yang

terbagi secara heterogen.

Pola kehidupan yang demikian kemudian memberntuk sebuah

akomoadasi yang didasarkan pada sistem timbal balik (take and

give) yang saling menguntungkan antara satu sama lain. Solidaritas

demikian lebih berorientasi pada sebuah consensus untuk mencapai

ikatan yang didasarkan atas bentuk sistem pembagian kerja yang

sangat kompleks akibat heterogenitas mata pencaharian

penduduknya. Sistem demikian berlaku pada masyarakat perkotaan

yang bervariatif.

Praktek yang paling umum ditemukan dalam jaringan

solidaritas berdasarkan keluarga. Hoff dan Sen (2006),

mengembangkan model yang menunjukkan bagaimana redistribusi

44 David Held, Eds. A Globalizing World? Culture, Economics, Politics

(New York: Routledge, 2004), 36-37.

Page 73: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

58 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

dalam seperti jaringan sering dikenakan pada anggota yang lebih

mungkin merugikan efek pada pendapatan. Dalam hal ini, kelompok

kerabat mengambil tindakan kolektif untuk memblokir pintu keluar

oleh beberapa anggota, meskipun kelompok sebagai keseluruhan

akan memperoleh keuntungan dari migrasi mereka jika mereka akan

terus berkontribusi pada sistem solidaritas.45

Pengangguran bagi

masyarakat gemeinschaft merupakan fenomena sosial yang

menurunkan status sosial dimasyarakat. Entrepreneur merupakan

solusi dalam meminimalkan jumlah pengangguran.

Herbert Spencer (1820-1903) merupakan sosiolog Inggris

dengan teori Evolusi dan perkembangan manusia. Dalam perspektif

Spencer, manusia senantiasa mengalami perkembangan dan dan

perubahan dalam kurun waktu yang relatif lama. Perkembangan

tersebut lebih didasarkan karena ketidaksesuaian antara pola-pola

kehidupan yang lama.46

Masyarakat sebagai sebuah entitas yang

terdiri dari elemen-elemen kecil senantiasa berubah sesuai dengan

tuntutan kehidupan. Perkembangan kehidupan manusia pada

akhirnya menyebabkan berubahnya sistem mata pencaharian.

Termasuk dalam sistem mata pencahariannya yang awalnya

terkait dengan alam. Untuk memenuhi kebtuhannya, manusia harus

senantiasa bekerja keras dan tidak boleh menganggur. System mata

pencaharian kehidupan masyarakat senantiasa mengalami

perkembangan yang disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Entrepreneur menjadi bagian manusia dalam

memperbaiki sistem mata pencahariannya. Yakni berubahnya

system mata pencaharian masyarakat dari petani menjadi wirausaha.

45 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does

Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.

4 (July 2010), 609-641. 46 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro: Pendekatan

Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2008), 28.

Page 74: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 59

Karl Marx (1818-1883) adalah sosiolog Jerman dengan

teorinya tentang konflik antar kelas borjuis dan proletar. Keinginan

kuat dari Marx adalah menciptakan manusia tanpa adanya kelas

sosial. Kaum borjuis senantiasa semena-mena terhadap kaum

proletar. Diantara dengan penggunaan teknologi mesin dalam

produksi pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengangguran yang

tinggi.

Kaum buruh merupakan kelompok yang senantiasa

mengalami penindasan dari kaum borjuis. Kedua istilah tersebut

dalam bahasa Al-Quran kemudian disempurnakan oleh Ali Syari’ati

sebagai representasi dari kaum mustad afin yang diwakili oleh kaum

buruh (prolatar) serta mutrafi>n yang diwakili oleh kaum borjuis.

Pertentangan kelas, menciptakan masyarakat tanpa adanya kelas

sosial. Sebagai bentuk protes mereka ingin membuka usaha karena

tidak ingin mengalami sebuah alienasi. Kaum buruh yang merasa

teralienasi akhirnya memutuskan untuk berdiri sendiri dengan

memilih berwirausaha.

Max weber (1864-1920) adalah sosiolog Jerman dengan

konsep etika prostestan.47

The protestant ethic and the spirit of

capitalism hanyalah fragmen yang menyediakan bagi Weber untuk

bergerak karean kontribusinya bagi sosiologi agama.48

Argumen

singkat yang dibangun oleh konsep ini sebagai ajaran bahwa

seseorang semakin kaya semakin disayang tuhan. Termasuk dalam

usaha dan kerja keras dengan menghindari diri dari menganggur.

Memahami teori rasionalisasi Weber tidak hanya menjelaskan

konsep tatanan kehidupan (lebensordnung) secara sosiologis dengan

47 Max Weber, The Sociology of Religion. Diterjemahkan oleh, Yudi

Santoso, Sosiologi Agama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 552. 48 Max Weber, The Sociology of Religion. Diterjemahkan oleh, Yudi

Santoso, Sosiologi Agama (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 19.

Page 75: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

60 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

bantuan aktualisasi nilai (wertverwirklichung) yang berasal dari

wilayah filsafat.49

Rasionalitas kognitif instrumental terlembagakan dalam

kegiatan ilmiah. Realitas estetis praktis terlembagakan dalam

kegiatan seni. Realitas moral praktis etika persaudaraan yang

dilembagakan di dalam agama keselamatan tidak selaras dengan

manusia spesialis maupun manusia yang mencari kesenangan.

Implementasi atas kontribusi Weber dalam sosiologi agama pada

akhirnya mengambangkan semangat kapitalisme di Eropa.

Semangat kapitalisme dijadikan sebagai motivasi kaum

protestan untuk mengembangkan sayapnya dalam bentuk

berwirausaha. Migrasi masyarakat Eropa pada abad kedua puluh

merupakan bagian dari implementasi semangat kapitalisme Max

Weber. Pandangan semangat inilah yang memberikan sebuah asumsi

kepada kaum protestan untuk berwirausaha. Asumsi dasar

memberikan pemahaman semakin kaya seseorang, maka semakin

disayang oleh Tuhan.

Teori sosiologi modern merupakan hasil pengembangan dari

aliran-aliran sosiologi klasik. Konsep yang hendak dibangan oleh

kajian ini berbeda dengan teori sosiologi klasik yang lebih

menekankan pada aspek praktis yang berangkat dari realitas sosial.

Teori sosiologi modern lebih menekankan pada penggunaan aspek

akademis. Ada beberapa tokoh utama yang mengkontruk teori

sosiologi klasik antara lain sebagai berikut:

Talcott Parsons (1902-1979) dikenal sebagai sosiolog

Amerika dengan konsep struktural fungsional. Suatu sistem dalam

masyarakat akan berjalan bilamana setiap elemen menjalankan tugas

sesuai dengan fungsi dan peranan mereka masing-masing. Tujan

49 Theories des Kommunikativen Handels, Band I: Handlungstrationaltat

Und Gesselschaftliche Rationalisierung (Suhrkamp Verlag, 1981), Penerjemah

Nurhadi, jurgen Habermas, Teori Tindakan Komulatif I Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), 234.

Page 76: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 61

dijalankannya sistem adalah agar tercapai sebuah goal dalam bentuk

consensus. Pengangguran sebagai problem sosial akan menghambat

berjalannya sebuah sistem. Diperlukan adanya semangat

kewirausahaan sebagai sebuah solusi dalam memperkecil

pengangguran. Peter L Berger (1929) merupakan sosiolog Amerika

dengan konsep dialektika manusia dengan masyarakat melalui tiga

tahap yang saling berintegrasi dalam mengkonstruk suatu

kebudayaan.

Adapun ketiga tahap tersebut dalam bentuk internalisasi,

eksternalisasi dan objektivasi. Internalisasi merupakan peresapan

atau pemasukan kembali realitas oleh manusia dan

mentransferkannya dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam

struktur-struktur kesadaran subjektif. Internalisasi bisa didapatkan

dari media massa, masyarakat atau teman sebaya.

Eksternalisasi adalah suatu pencurahan atau perwujudan dari

internalisasi kedalam bentuk tindakan-tindakan tertentu. Sedangkan

objektivasi adalah tahap dimana sebuah perilaku sosial menjadi

sebuah budaya baru dan diyakini secara bersama-sama. Manusia

merupakan mahluk yang dinamis serta menuju kearah yang lebih

baik. Pengangguran dalam kajian teori ini lebih disebabkan karena

individu tidak mampu mengeksternalisasikan kemampuannya.

Setiap masyarakat yang terus berjalan dalam sejarah pasti akan

mengalami masalah dalam hal pengalihan makna-makna

objektivasianya dari satu generasi ke generasi lainnya.

Teori tingkah laku kewirausahaan dikemukakan oleh Mc

Clelland (1961), yang mengenalkan motif psikologi perantara yaitu

kebutuhan prestasi (need of achievement).50 Rangkaian sebab akibat

Weber yang menghasilkan tingkah laku wirausaha diperluas oleh Mc

Clelland adalah nilai-nilai ideologi, peran keluarga, kebutuhan

50 Sjoerd Beugelsdijk and Roger , “Entrepreneurial Culture and Economic

Growth: Revisiting McClelland's Thesis,” The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 67, No. 5 (Nov., 2008), pp.915-940.

Page 77: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

62 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

berprestasi, dan tingkah laku berwirausaha.51

Dalam sebuah studi di

43 negara, mereka menyajikan data empiris untuk mendukung

kesimpulan bahwa daya saing adalah satu-satunya sikap yang

menjelaskan variasi seluruh populasi, pendukung terbaik

sebagaimana yang dijelaskan Schumpeter.52

Sosiolog Perancis Bourdieu (1989) menyebutkan

terbentuknya mindset wirausaha disebabkan reproduksi melalui

pendidikan. Dengan kondisi tersebut hal yang menjadi perhatiannya

di Perancis adalah pengakuan status sosial. Dimensi budaya berguna

dan relevan untuk memiliki pandangan yang komprehensif

mengenai perbedaan perilaku antara akademisi dengan masyarakat

pada suatu negara. Penelitian dari Iribarne (1993) telah dimasukkan

kedalam bukti tiga logika perilaku kunci antara orang-orang yang

bekerja di internal yang sama di perusahaan nasional pada tiga

negara yang berbeda: Perancis, Amerika Serikat dan Belanda.

Logika ini bisa menjelaskan keanekaragaman kewirausahaan sikap

dan perilaku di negara-negara tersebut. Prancis memiliki orientasi

kewirausahaan terlemah dan Belanda tampaknya memiliki budaya

kewirausahaan kuat.53

Thomas Zimmerer (2001) menjelaskan bahwa faktor

pendorong pertumbuhan kewirausahaan adalah pendidikan

kewirausahaan.54

Pihak universitas berperan menjadi pemberi

informasi tentang kesempatan kerja atau memberikan pendidikan

51 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:

Gunung Djati Press, 1999), 34. 52 Terrence E. Brown and Jan Ulijn, eds. Innovation, Entrepreneurship and

Culture: The Interaction Between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward Elgar Glensanda House, 2004), 183.

53 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward

Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 226-227. 54 Yohnson, “Peranan Universitas Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi

Young Entrepreneurs,” Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 5, No. 2,

September 2003: 97 – 111.

Page 78: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 63

kewirausahaan dengan menyediakan wadah bagi mahasiswanya

dalam menerapkan ilmunya dengan mendirikan bisnis kecil di lokasi

universitas. Peran universitas sebagai pencetak entrepreneur sangat

menentukan wirausahawan muda yang mampu bersaing secara

kompetitif. Dalam beberapa negara Eropa seperti Perancis, konteks

sosial dan pendidikan masih memainkan peran besar dalam

membentuk sikap dan perilaku berwirausaha masyarakatnya.55

Douglas A. Gray (1996) menyarankan untuk memulai usaha

sejak dini termasuk pada waktu masih kuliah.56

Membuka usaha

pada masa muda akan membentuk karakter entrepreneur yang

tangguh. Adanya pengalaman dalam menjalankan usaha menjadikan

seseorang semakin jeli dan teliti untuk melihat peluang sebagai

pertimbangan dalam mengembangkan usahanya di kemudian hari.

Lebih lanjut Paul Tracey and Nelson Phillips (2007), pendidikan

kewirausahaan merupakan kata kunci utama berupa bangunan

konseptual bagi para siswa guna mengembangkan potensinya.57

Karl Marx dan Max Weber memperdebatkan peran budaya

dalam merangsang pertumbuhan dalam aktivitas ekonomi.58

Teori

tingkah laku kewirausahaan adalah diantara teori yang menyatakan

tentang terbentuknya perilaku kewirausahaan. Teori psikologi

pertama dikemukakan oleh Schumpeter (1961) bahwa seorang

55 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The

Interaction between Technology, Progress and Economic Growth (USA: Edward

Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 232. 56 Yohnson, “Peranan Universitas Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi

Young Entrepreneurs,” Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 5, No. 2,

September 2003: 97 – 111. 57 Paul Tracey and Nelson Phillips, “The Distinctive Challenge of

Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder to the Special Issue on Entrepreneurship Education,” Academy of Management Learning & Education, Vol. 6, No. 2 (Jun, 2007), 264-271.

58 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-

Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001),

537-553.

Page 79: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

64 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

wirausaha adalah pembina perubahan. Adapun faktor-faktor yang

membantu pengembangan kewirausahaan adalah lingkungan yang

sesuai dan intuisi dalam memandang fakta secara esensial.59

Teori sosiologi pertama mengenai wirausaha diambil dari

pemikiran Weber (1958) yang menghubungkan wirausaha dalam

konteks sistem kepercayaan agama, terutama protestan. Dalam

sistem Weber, energi entrepreneur yang kuat berasal dari

pengadopsian kepercayaan religius yang berasal dari luar.

Menurutnya Hinduisme, budhisme dan islam tidak mendorong

timbulnya kewirausahaan.60

Mead (1928) dan Benedict (1946) adalah antropolog klasik

yang melakukan studi masyarakat Asia yang mendasarkan sanksi

budaya lebih pada rasa malu dari perasaan bersalah. Sementara

masyarakat Barat mempunyai kompleksitas individu yang tinggi.

Seikap malu sebagai sanksi sosial eksternal, sedangkan rasa bersalah

untuk internal yang pribadi keyakinan tepat dan salah.61

Lin (1936), menekankan bahwa di Asia Timur, status sosial

adalah dasar untuk sistem Konfusian sebagai sistem sosial sebagai

tujuan dari kerja untuk meningkatkan kedudukan sosial sesuai

kelompok melalui pembentukan anggota. Mianzi dapat diakuisisi

dalam tiga cara utama: 1) pekerjaan dari tinggi tingkatan sosial, 2)

prestasi dan pengaruh, dan 3) tekanan keluarga. Godsell dan

Redding (1991), memberikan pilihan lingkungan dapat

59 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:

Gunung Djati Press, 1999), 34. 60 Nanat Fatah Natsir, 36. 61 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural

Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-

Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001),

537-553.

Page 80: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 65

mempengaruhi tiga aspek tersebut. Entrepreneurship harus menarik

untuk sejauh itu memungkinkan orang untuk memperoleh mianzi. 62

Mianzi lebih relevan untuk kewiraswastaan menjadi motivasi

dalam berwirausaha. Karena hal tersebut berkaitan dengan status

sosial, prestasi, dan keberhasilan dalam bisnis. Seorang kelurga akan

kehilangan status sosial bilamana gagal dalam menjalankan usaha.63

Oleh karena itu, kewirausahaan sangat penting bagi pertumbuhan

ekonomi dan kemakmuran masyarakat dimana mereke beroperasi

dan menjalankan usahanya.64

Jaeger dan Kanungo (1990) telah menemukan bahwa banyak

model organisasi dan perilaku termasuk asumsi yang mendasari

tentang kapitalisme dan etos kerja Protestan yang tidak berlaku di

banyak negara. Sebagian besar berasal dari karya Max Weber yang

menulis tentang pengaruh etika Calvanist pada semangat

kewirausahaan. Pertanyaan apakah entrepreneurship adalah budaya

di seluruh dunia yang sama. Dengan demikian, portabilitas teori

kewirausahaan di seluruh kultur batas negara dapat diatasi.65

Oleh karena itu hubungan sosial, pertukaran sosial, jaringan

sosial dan komunitas praktek semua aspek penting untuk

menganalisis proses yang terlibat dalam membangun sebuah usaha.

Pertukaran merupakan sarana untuk berbagi pengetahuan,

khususnya dalam daya saing dalam arti komersial. Transfer

pengetahuan menyediakan berbagi pengetahuan. Polanyi (1966),

62 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural

Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-

Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001), 537-553.

63 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, ……. 537-553. 64 H. Kevin Steensma, Louis Marino and K. Mark Weaver, “Attitudes

Toward Cooperative Strategies: A Cross-Cultural Analysis of Entrepreneurs,”

Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 4 (4th Qtr., 2000), 591-609. 65 Anisya S. Thomas and Stephen L. Mueller, “A Case for Comparative

Entrepreneurship: Assessing the Relevance of Culture,” Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 2 (2nd Qtr, 2000), 287-301.

Page 81: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

66 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Nonaka dan Takeuchi (1994) adalah penggerak utama dari proses

kolaborasi. Kolaborasi kemudian membawa dengan ekonomi yang

terkait dengan berbagai akses untuk saling melengkapi.66

Menurut

Chell (1996), lingkungan eksternal menyediakan aturan yang

memandu perilaku berusaha. Jeffress (1991), menjelaskan

kewirausahaan didefinisikan sebagai inisiator dan agen perubahan.

Sebagai sumber daya yang langka yang dapat dipengaruhi oleh

faktor sosial, ekonomi dan politik. Ashcroft (1999), juga

menunjukkan beberapa kategori faktor sosial, budaya, politik,

administrasi, hukum, dan ekonomi yang mempengaruhi seorang

individu terhadap kewirausahaan, atau jika tidak ada dapat

mengurangi atau menghilangkan kemungkinan masuk

kewirausaha.67

Engle, Schlaegel, dan Dimitriadi (2011), menekankan

pentingnya faktor kelembagaan sebagai bahan yang lebih penting

dari yang formal. Faktor ini mencakup norma-norma budaya dan

sosial tersosialisasikan pada masyarakat. Kebudayaan nasional telah

dieksplorasi sebagai suatu hal untuk melukiskan kewirausahaan.

Linan dan Fernandez Serrano (2014) misalnya, membandingkan

tingkat kewirausahaan diantara negara-negara Uni Eropa. Mereka

berpendapat bahwa dengan integrasi Eropa, kebijakan dan peraturan

antar negara telah banyak dibakukan. Sehingga melukiskan

kewirausahaan tidak muncul karena perbedaan lingkungan

kelembagaan formal, namun karena perbedaan spesifik budaya.

66 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 204. 67 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 145.

Page 82: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 67

Studi mereka menggunakan dimensi nilai budaya Schwartz

(1994), menyimpulkan bahwa perbedaan budaya (embeddedness vs

autofikasi, hierarki vs egalitarianism, dan di bawah penguasaan vs

harmoni) memiliki signifikansi dalam mempengaruhi

kewirausahaan.68

Peter L Berger dan Thomas Luckman

menyimpulkan bahwa masyarakat sebagai suatu proses yang

berlangsung dalam tiga fase dialektis, yakni internalisasi,

eksternalisasi dan objektifikasi yang pada akhirnya akan membentuk

realitas sosial.69

Meskipun sangat sulit melihat hubungan yang erat antara

kondisi ekonomi dengan budaya. Ideologi budaya mencerminkan

kondisi-kondisi materiil dan hubungan-hubungan ekonomi dalam

kehidupan manusia yang riil.70

Welter (2011), menyimpulkan

konteks lingkungan sosial sekitar individu terikat memiliki

pengaruh pada perilaku dan tindakan seseorang.

Sementara Hayton dan George (2002), Pinillos dan Reyes

(2011) menjelaskan struktur nilai sosial yang membentuk budaya

akan memainkan peran penting dalam menentukan kewirausahaan

anggota masyarakat. Namun demikian, mekanisme melalui efek

inisial yang diberikan mempunyai peran yang jauh lebih jelas.

Davidsson, (1995), lebih menekankan pengaruh kultur suatu

masyarakat berperan penting dalam membentuk perilaku

kewirausahaan.71

Yakni perilaku yang berorientasi pada ekspansi

68 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 38. 69 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta

Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 106. 70 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and

Contemporary Perspectives. Diterjemahkan oleh M. Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 135.

71 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship, Regional Development ……. 54.

Page 83: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

68 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

pasar atau kapitalisme. Sebagai contoh, teori neo-Darwin (atau

sintetis) yang lazim disebut evolusi biologi mengasumsikan seleksi

alam untuk menjelaskan kelangsungan hidup sebuah sistem

kehidupan.

Pembelajaran organisasi dan transfer pengetahuan telah

menjelajahi daya serap dan transfer pengetahuan secara mendalam.

Alasan untuk tingkat relevansi adalah bahwa teori kelembagaan

sudah menggabungkan publik atau kemitraan swasta sementara

teori pertukaran sosial tidak dibatasi oleh asumsi pertukaran

transaksi komersial dengan agenda saing dilampirkan. Bahkan, teori

pertukaran sosial cukup erat dengan komunitas praktek.72

Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa kultur membangun struktur yang

lebih mirip satu sama lain daripada untuk kontra non-kewirausahaan

mereka bagian di negara mereka sendiri.

Mc Grath (1992), membrikan dukungan yang ditemukan

untuk hipotesis mereka bahwa pengusaha, terlepas dari kebangsaan

atau latar belakang budaya. Berbagi prediktabilitas mampu menilai

berbeda yang dimiliki oleh individu yang memiliki mengikuti

kewirausahaan. Meskipun bukti ini untuk mengharapkan bahwa

pengusaha, seperti rekan-rekan manajerial mereka memantulkan

nilai-nilai dominan mereka budaya nasional. Redding (1980),

sementara mereka mungkin berbagi beberapa sifat universal, orang

lain mungkin menjadi budaya yang lebih spesifik. Sebagai contoh,

tidak seperti saha Amerika ideal entrepreneur dengan ditandai sikap

individu. Sementara bukti bahwa pengusaha di Asia mengandalkan

hubungan kekeluargaan dalam mengembangkan bisnis mereka.

Fakta ini diilustrasikan oleh pengusaha Cina di Asia Tenggara

dan berbagai bisnis dioperasikan secara bersama oleh pedagang

72 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 203.

Page 84: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 69

Gujarat, Parsi, dan India.73

Oleh karena itu, sosial budaya dapat

mempengaruhi kinerja ekonomi dengan mengubah produksi

efektif.74

Meskipun kaya akan teori, beberapa penelitian empiris

menjelaskan faktor budaya yang relevan dengan entrepreneurship.

Peter L Berger (1991) berpendapat bahwa kewirausahaan dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi secara dinamis.

2. Pendekatan Teori Perubahan Sosial

Sosiolog modern banyak menaruh perhatian besar terhadap

perubahan sosial untuk menggambarkan kondisi sosial dimasa

depan. Perubahan sosial abad kedua puluh memasuki perkembangan

yang sangat pesat. Karena nilai-nilai, sikap-sikap, dan gaya hidup

orang dalam pekerjaan jasa secara kualitatif berbeda dari mereka

yang bekerja dalam sektor produksi.75

Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempunyai korelasi

yang kuat dengan sosiologi. Ilmu ini berasal dari bahas Yunani,

yaitu anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu.

Antropologi mempelajari manusia sebagai bentuk biologis dan

mahluk sosial. Antropologi mempunyai dua sisi holistik. Pertama

meneliti manusia pada setiap waktu dan setiap dimensi

kemanusiaannya. Kedua seluruh dimensi manusia yang integral dan

dilihat secara menyeluruh. Kajian ilmu ini lebih memfokuskan pada

penduduk sebagai masyarakat tunggal di daerah yang sama.

Meskipun ilmu ini identik dengan sosiologi. Bilamana sosiologi

lebih menitibertakan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya,

73 Anisya S. Thomas and Stephen L. Mueller, “A Case for Comparative

Entrepreneurship: Assessing the Relevance of Culture,” Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 2 (2nd Qtr, 2000), 287-301.

74 Hanming Fang, “Social Culture and Economic Performance,” The American Economic Review, Vol. 91, No. 4 (Sep, 2001), 924-937.

75 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 23

Page 85: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

70 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

maka antropologi menitiberatkan pada unsur budaya, pola pikir, dan

pola kehidupannya.76

Robert King Merton yang mengkaji antara realitas empiris

atau realitas objektif dan menyebabkan ruang kajiannya lebih

bersifat ke makro-objektif. Kajian sosialnya lebih bersikap

observable, dan bukan dalam posisi psokiologis. Robert K Merton

termasuk sosiolog yang masuk dalam kategori fakta sosial.

Perspektif demikian lebih disebabkan karena anggapannya bahwa

struktur sosial bersifat mengekang dan mempengaruhi individu

dalam berperilaku.77

Semantara Nikola Danilevsky (1869), menekankan kesatuan

etnik dan keunikan sistem kebudayaan yang mana pertumbuhan

kebudayaan didorong oleh adanya perkembangan menurut logika

internal dari prinsip utama. Kebudayaan akan berjalan melewati

beberapa fase yang mengalami kemajuan dan kemuduran.78

Perubahan suatu masyarakat pada dasarnya merupakan gejala sosial

yang tidak bisa dicegah.

Budaya menganut pandangan-pandangan dunia yang

bervariasi untuk melukiskan pandangan kaleidoskopik mengenai

sifat realitas. Sebagian dari konsep ini adalah fatalism, etika kerja,

reinkarnasi, sisu, konfusianisme, weltschamerz, dusha, dan

sebagainya. Konsep-konsep ini dianut oleh kelompok atau

komunitas tertentu pada suatu bangsa atau masyarakat. Namun

76 Beni Ahmad Sebani, 13. 77 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta

Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 37 78 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE

Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 66.

Page 86: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 71

konsep yang lebih penting adalah bersifat universal yang sangat

berbeda sifat dan esensinya yang menyangkut ruang dan waktu.79

Ilmu pengetahuan sosial merupakan hasil konstruksi dari

jamannya yang diawali dengan kekuatan sosial dan intelektual.80

Karya tiga tokoh sosiologi yang masuk dalam teori klasik adalah,

Emile Durkheim (1858-1917), dan dua orang Jerman, Karl Marx

(1818-1883) dan Max Weber (1864-1920). Ketiga tokoh tersebut

mempunyai konsep yang berbeda dalam menjelaskan berbagai

macam teori yang terhimpun dalam rumpun sosiologi klasik.81

Voluntarisme adalah konsep yang menjadi perdebatan dalam

paradigma teori sosial. Ritzer mengasumsikannya sebagai

interaksionisme simbolik yang masuk dalam kategori definisi sosial.

Namun Poloma menyatakan bahwa masalah utama bagi Parsons

sebagai ahli teori makro bukan terletak dari tindakan individu,

melainkan norma yang menjadi sebuah konsensus dalam sebuah

masyarakat.82

Kehidupan manusia pada dasarnya mengalami perubahan-

perubahan dari masa kemasa. Merupakan sebuah sunatul<ah jika

setiap manusia dan masyarakat akan mengalami perubahan baik

secara cepat maupun lambat. Perubahan secara lambat dikenal

sebagai evolusi yang berangsur-angsur dalam waktu yang relatif

lama. Berbeda dengan perubahan revolusi yang terjadi dalam waktu

yang relatif cepat. Pelaku tindakan (agency) yang diajukan oleh

Giddens didasari oleh Freud dalam tiga dimensi internal manusia,

79 Richard D. Lewis, Komunikasi Bisnis Lintas Budaya (bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2005), 51. 80 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka

Publisher, 2007), 21. 81 Pip Jones, Introducing Social Theory/ Pengantar Tori-teori Sosial dari

Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2010), 31. 82 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta

Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 24.

Page 87: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

72 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

yakni: motivasi tak sadar (unconscious motive), kesadaran diskursif

(discursive unconscious), motivasi tdak sadar (discursive

consciousness).83

Komitmen dalam membangun teori sosiologi sebagai sebuah

instrumen yang dinyatakan secara sistematis dan saling

berhubungan secara logis dan didasarkan atas bukti empiris.84

Menurut Durkheim, masalah sentral dari eksistensi sosial adalah

masalah keteraturan bagaimana mencapai solidaritas sosial dalam

masyarakat. Bentuk solidaritas mekanik adalah sistem pembagian

kerja yang sangat sederhana.85

Peranan setiap indivdu mempunyai

banyak kesamaan dalam status sosialnya di masyarakat.

Perubahan sosial secara general disebabkan oleh adanya

faktor internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan oleh

adanya keinginan suatu masyarakat setempat untuk memperbaiki

kehidupannya. Pandangan masyarakat yang optimis untuk mencapai

sebuah kemajuan membawa dampak yang intens sebagai arus utama

dalam perubahan sosial. Keinginan masyarakat untuk memperbaiki

keadaan adalah motivasi utama yang mengarahkan terjadinya

perubahan sosial.

Kehidupan masyarakat yang tertutup (introvert)

mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang terjadi dalam

waktu yang relatif lama. Termasuk masyarakat yang konservatif

akan mengalami perubahan sosial dalam waktu yang lama.

Masyarakat pedesaan yang tinggal jauh dari perkotaan mengalami

kendala dalam akses dengan dunia luar. Terbatasnya akses dalam

83 I.B Wirawan, 307. 84 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and

Contemporary Perspectives. Diterjemahkan oleh M. Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 33.

85 Pip Jones, Introducing Social Theory. Diterjemahkan, Pengantar Tori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia, 2010), 46.

Page 88: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 73

dunia modern dan digital akan menghambat kemajuan suatu

masyarakat yang memasuki kehidupan dan kemajuan.

Kalangan masyarakat desa yang terdiri dari golongan orang

tua cenderung menganggap adanya pengaruh dari dunia luar hanya

membawa dampak negatif. Kelompok orang tua akan memegang

teguh tradisi yang telah lama ada dengan mewariskan nilai-nilai

lokal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kaum muda

mempunyai pandangan yang berbeda dengan golonan orang tua.

Mereka lebih terbuka dalam menyikapi pengaruh dari luar yang akan

memberikan dampak yang konstruktif progresif.

Wilbert Moore menyimpulkan bahwa perubahan sosial tidak

hanya gejala yang terjadi pada masyarakat modern.86

Masyarakat

pedesaan juga mengalami perubahan sosial dalam waktu yang relatif

lama. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat desa lebih

bersifat latensi melalui beberapa fase. Masyarakat desa mengalami

perubahan sosial dalam beberapa aspek seperti, ekonomi, budaya,

norma dan adat istiadat termsauk dalam interaksi sosial diantara

mereka.

Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang terbuka dan tidak

mudah mengalami cultural lag. Mereka lebih terbuka dan bersikap

welcome dalam menerima pengaruh dari dunia luar. Akses yang

dimiliki oleh masyarakat kota lebih lengkap dibandingkan dengan

masyarakat desa. Auguste Comte (1798-1857) merupakan seorang

tokoh sosiologi yang memberikan banyak sumbangan dalam teori

perubahan sosial.87

Dia menyimpulkan ada tiga tahapan yang

mempengaruhi perubahan sosial, yaitu tahap fase teologis, metafisik

dan positivisme. Comte membagi sosiologi menjadi dau fragmen

yakni sosiologi statis yang mengacu pada struktur masyarakat dan

sosiologi dinamis yang mengacu pada perubahan masyarakat.

86 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro: Pendekatan

Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2008), 15. 87 Jacobus Ranjabar, 27.

Page 89: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

74 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Kajian mengenai perubahan sosial telah menjadi pembahasan

yang unik diantara kalangan sosiolog yang ingin mengungkap

tentang fakta perubahan sosial dalam ranah realitas. Eksemplar para

tokoh sosiolog kemudian melahirkan sebuah teori yang digunakan

untuk menganlisis tentang perubahan sosial suatu masyarakat. Ada

bebera macam teori yang menjelaskan tentang perubahan sosial

sebagai berikut:88

a. Analisis Perkembangan Evolusi

Fokus kajian dalam teori evolusi menitibertkan pada aspek

perubahan sosial yang berlangsung dalam bebera fase yang cukup

lama. Objek utama dalam analisis perkembangan teori evolusi

adalah masyarakat pedesaan dan pedalaman yang masih bersifat

tradisional. Pola kehidupan mereka masih menggantungkan dirinya

dengan alam sekitar. Dimana alam merupakan instrumen utama

dalam kelangsungan kehidupan mereka.

Dalam teori evolusionisme dikenal dengan aliran

evolusionisme klasik E.B Taylor (1832) dan L.H. Morgan (1818-

1881). Ada empat anggapan dasar dalam teori ini, yakni:89

a. Manusia adalah bagian dari alam dan bekerja sesuai dengan

hukum alam.

b. Alam bergerak secara progresif dari sederhana menuju arah

yang lebih lengkap.

c. Hukum alam menguasai dan tidak mengalami perkembangan

sepanjang zaman.

d. Manusia di seluruh dunia mempunyai potensi yang sama.

Namun berbeda secara fundamental dalam perkembangan

intelegnsi dan pengalamannya.

88 Jacobus Ranjabar, 42. 89 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,

2012), 193.

Page 90: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 75

Pola evolusi sosial Spencer tentang kompleksitas sosial

didasarkan atas pembagian kerja serupa dengan Durkheim. Analisa

yang diberikan Spencer tidak terlalu jelas sebagaimana yang

digambarkan oleh Emile Durkheim dalam mengidentifikasi

pembagian kerja. Dikotomi yang demikian lebih didasarkan Spencer

sebagai manifestasi saja dalam hukum evolusi yang universial.90

b. Analisis Perkembangan Teori Revolusi

Berbeda dengan perubahan sosial secara evolusi, revolusi

dikaitkan sebagai perubahan sosial yang berlangsung secara cepat.

Dengan adanya penemuan-penemuan baru yang membawa implikasi

secara progress dan regress secara tidak langsung akan merubah

kehidupan suatu masyarakat. Motivasi dan keinginan kuat

masyarakat untuk maju sebagaimana yang terjadi pada masyaraka

lainnya. Masyarakat yang berusaha untuk mengejar

ketertinggalannya dengan akan mendorong mereka untuk

melakukan koreksi-koreksi terhadap warisan budaya lama.

Instrument yang demikian dianggap sebagai sesuatu yang tidak

relevan dan mampu untuk menjawab persoalan dalam sebuah

kehidupan yang lebih kompleks.

Problem-problem sosial dalam sebuah masyarakat

membutuhkan sebuah problem solving. Heterogenitas dan

kehidupan yang kompleks sebagai manifestasi dari adanya

perubahan yang membutuhkan problem solving. Sebagai ilustrasi

eksistensi agama Islam yang terlahir di dunia padang pasir dan

Jaziah Arab. Ketika bersinggungan dengan berbagai macam

kebudayaan dan kondisi geografis yang baru. Islam membutuhkan

sebuah adaptasi yang pada akhirnya akan menyebabkan sebuah

problem sosial.

90 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory Classical Founders and

Contemporary Perspectives. Diterjemahkan oleh M. Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988), 172.

Page 91: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

76 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Kondisi masyarakat padang pasir tentu berbeda dengan

kondisi masyarakat bahari khususnya Indonesia. Problem sosial

yang demikian pada akhirnya memaksa kalangan ummat Islam

untuk menetapkan sebuah hukum baru yang dikenal dengan istilah

ushul fiqih, ijma’ qiyas dan maqasid sha>ri’ah. Sepeninggal nabi

tentu membutuhkan para ulama yang akan meneruskan dan

meluruskan hukum mereka.

Robert K Merton yang mengkaji antara realitas empiris atau

realitas objektif menyebabkan ruang kajiannya lebih bersifat ke

makro-objektif. Kajian sosialnya lebih bersikap observable, dan

bukan dalam posisi psokiologis. Robert K Merton termasuk sosiolog

yang masuk dalam kategori fakta sosial. Perspektif demikian lebih

disebabkan karena anggapannya bahwa struktur sosial bersifat

mengekang dan mempengaruhi individu dalam berperilaku.91

c. Analisis Perkembangan Teori Siklus

Tokoh dalam teori ini adalah Ibnu Khaldun dalam kitabnya

Muqaddimah yang berarti pembukaan. Fokus utama dari teori ini

adalah bahwa suatu masyarakat mengalami kemajuan dan

perkembangan serta kemuduran. Masalah perubahan budaya jauh

lebih kompleks daripada yang terdapat dalam perubahan model

budaya yang bersifat siklus dan linier. Teori perubahan siklus lebih

cocok dalam kebudayaan yang bersifat nonmaterial, sedangkan

model linier lebih sesuai dengan perubahan linier adalah materiil.92

Teori siklus ekonomi biasanya mengusulkan proses yang

umum, dimana item yang difokuskan untuk kemajuan alami melalui

tahap yang berbeda selama periode waktu (hidupnya). Pandangan

klasik terjadi melalui beberapa fase yang dimulai dengan kelahiran,

91 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta

Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 37 92 Doyle Paul Johnson, Sociological Theory ….. 119.

Page 92: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 77

dan melanjutkan eksponensial pertumbuhan melalui titik akibat dari

pertumbuhan, untuk periode jatuh tempo dan stabilitas. Dari dua

siklus yang paling penting adalah teori dalam studi manajemen,

siklus hidup produk dan siklus hidup organisasi. Siklus hidup tidak

dapat dilihat secara independen dari operasi usaha seluruh karena

ada sebab dan akibat di tempat kerja yang cukup.93

C. Entrepreneur dalam Perspektif Islam

Studi tentang Islam dan kewirausahaan penting artinya untuk

mengetahui peranan dan motivasi agama bagi penganutnya dalam

usaha peningkatan ekonomi.94

Sejarah telah mencatat kalangan

entrepreneur berperan penting dalam mengiringi dakwah Nabi

Muhammad SAW.95

Abdurrhaman bin Auf adalah salah satu contoh

entrepreneur suksess yang mampu menganalisa peluang yang

terdapat dalam masyarakat Arab. Ketika Nabi Muhammad

berhijrah, banyak kalangan masyarakat Muhajirin yang

meninggalkan harta benda mereka di Mekkah. Salah seorang

diantaranya adalah Abdurrahman bin Auf yang termasuk dalam

kelompok masyarakat Muhajirin.

Ketika para sahabat telah berkumpul di Madinah. Nabi

kemudian mempersaudarakan antara kaum Anshar dengan

masyarakat Muhajirin. Masyarakat Anshar sebagai tuan rumah

sedangkan masyarakat Muhajirin sebagai tamu. Salah seorang

sahabat yang dipersaudaran oleh nabi adalah Abdurrahman bin Auf.

Beliau ditawari oleh saudaranya dari kalangan masyarakat Anshar

93 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton: Edward Elgar Publishing Limited, 2006), 132.

94 Darwis Abdullah, Agama, Budaya dan Masyarakat: Ikhtisar Laporan Hasil-hasil Penelitian (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1980),

141. 95 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Entrepreneurship Kaum Sarungan

(Jakarta: Khalifa, 2010), 21.

Page 93: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

78 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

segala macam kekayaan. Namun Abdurrahman bin Auf menolak dan

hanya meminta kepada sahabat tersebut agar ditunjukan dimana

letak pasar sebagai pusat perdagang dan perekonomian. Kemampuan

seperti ini adalah kemampuan dalam menganalisis peluang yang ada

di masyarakat yang menjadikannya sebagai salah seorang sahabat

terkaya.

Ilustrasi lain peranan kalangan entrepreneur dalam

menyelesaikan problem sosial adalah peranan penting Utsman bin

Affan dalam pembiayaan perang dan dakwah Islam yang dilakukan

oleh Nabi Muhammad SAW. Peran penting Khadijah dalam

membiayai perang dan dakwah nabi. Namun hal penting yang

terkadang di lupakan adalah profesi nabi Muhammad sebagai

seorang pedagang suksess yang tentu menjadi contoh bagi kalangan

ummatnya agar tidak menggantungkan diri sebagai pekerja. Namun

mampu menganalisis peluang dan menjadikan mereka sebagai

pencipta lapangan pekerjaan guna meminimalisir jumlah

pengangguran.

Sumber daya manusia yang banyak tapi tidak mempunyai

kualitas yang baik akan menjadi beban bagi suatu negara. Sementara

sumber daya manusia yang baik merupakan potensi bagi

pembangunan suatu bangsa, sumber daya manusia yang berkualitas

mempunyai dua potensi.96 Pertama, gagasan-gagasan, kreasi dan

konsepsi. Kedua, kemampuan dan keterampilan mewujudkan

gagasan-gagasan tersebut dengan cara produktif.

Masalah kualitas sumber daya manusia masih menjadi sebuah

perbincangan yang ramai dikalangan para pakar sosial. HIPIS atau

Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial pernah

mengadakan seminar dengan tema “kualitas manusia dalam

pembangunan” pada tahun 1984 di Palembang yang menyoroti

kualitas sumber daya manusia. Pada umumnya masih prihatin

96 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 59.

Page 94: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi, Entrepreneurship dan Agama I 79

melihat bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih

kurang baik.97

Kegiatan ekonomi di sektor swasta adalah sumber kehidupan

suatu negara yang tidak dikelola oleh negara. Upaya yang dilakukan

oleh perusahaan adalah dengan menciptakan investasi modal yang

berlangsung dan inovasi guna meningkatkan keadaan sosial ekonomi

suatu negara. Meskipun komunitas ilmiah telah memperdebatkan

manfaat wirausaha untuk ekonomi. Penelitian terbaru menunjukkan

bahwa start-up dan berwirausaha muda sangat penting untuk

penciptaan lapangan kerja dan memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Haitwanger, Jarmin, dan Miranda (2013) dalam penelitiannya yang

terbaru menegaskan bahwa wirausaha yang lebih muda

berkontribusi besar dalam penciptaan lapangan kerja.98

Kelompok

masyarakat yang membuka usaha dalam skala kecil maupun besar

menjadi sebuah solusi terhadap problem sosial pengangguran

sebagai upaya meminimalisir kemiskinan.

Tentunya menjadi sebuah pekerjaan yang penting bagi

kalangan dalam bidang akademisi. Khususnya bagi negara yang

sedang berkembang seperti Indonesia yang membutuhkan banyak

lapangan pekerjaan. Solusi pendidikan keterampilan kerja

diharapkan agar tidak hanya menciptakan pengangguran terdidik

disaat lulusannya menjalani hidup dalam usia yang produktif.

Keberadaaan seorang entrepreneur sebagai pencipta lapangan kerja

baru diharapkan mampu untuk meminimalisir jumlah pengangguran

dalam suatu negara.

Diantara arah perubahan sosial dalam suatu masyarakat

ditentukan oleh keberadaan kelompok-kelompok entrepreneur.

97 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 59. 98 Martha Garcia-Murillo, Jorge Andres Velez-Ospina and Patricia Vargas-

Leon, “The Techno-Institutional Leap and the Formation of New Firms,” Journal of Penn State University Pres, Vol. 3 (2013), 501-536.

Page 95: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

80 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Wirausahawan yang terjun di berbagai industri setidaknya

membantu negara menambahkan pilihan pekerjaan bagi

masyarakatnya. Anggota masyakat yang mempunyai keahlian yang

masih minim akan mereka tampung dan dimanfaatkan tenaganya

untuk menjalankan kegiatan usahanya.

Indsutri rumah tangga adalah unit usaha dengan jumlah

pekerja antara satu samapai empat orang. Revrisond Baswir (1999)

mengidentifikasi industri rumah tangga mempunyai sifat yang tidak

formal dengan struktur organisasi yang sederhana.99

Seorang

entreprnenur diharapkan mampu untuk mengurangi jumlah

pengangguran dalam sebuah masyrakat dengan membawa kemajuan

bagi daerah yang mereka singgahi. Secara sederhaana, kelompok

masyarakat yang membuka usaha berkontribusi dalam bebera hal

sebagai berikut:

1. Meningkatkan Standar Ekonomi

2. Sebagai Penggerak Dalam Pembangunan Nasional

3. Menciptakan Lapangan Kerja Baru

Ditengah pencanangan program pemerintah yang bertujuan

untuk mengurangi jumlah pengangguran dalam masyarakat dan

berbagai seminar yang diadakan oleh berbagai lembaga swasta dan

pemerintah. Entrepreneur dalam aksi merupakan opsi yang tepat

untuk mengurangi permasalahan sosial terutama pengangguran.

Faktor yang menyebabkan belum kuatnya sektor swasta di negara-

negara dunia ketiga adalah kewirausahaan (entrepreneurship) yang

belum membudaya, lemahnya penguasaan masyarakat akan

manajemen, lemahnya permodalan dan berbagai macam faktor

ekonomi lainnya.100

99 Azwir Dainy Tara, Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit

Pasti Berlalu (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), 51-52. 100 Ismail Nawawi, Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian

Konsep, Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi (Surabaya: CV. Putra

Media Nusantara, 2009), 14.

Page 96: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

81

Bab III

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan

A. Islam di Lamongan

Sejarah Kabupaten Lamongan tidak terlepas dari adanya

pengaruh kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Khususnya Jawa Timur

yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan besar di

Nusantara seperti Kediri, Mataram Kuno, Singasari, Majapahit serta

Demak di Jawa Tengah. Kemunduran Majapahit pada tahun 1471

menyebabkan jaring-jaring kekuasaan Islam menyebar dari ujung

timur sampai barat dibawah kontrol kerajaan Demak. Agama Islam

menyebar di pesisir utara pulau Jawa menggantikan agama Hindu-

Budha.1 Lamongan sebagai sebuah kabupaten di pesisir utara pulau

Jawa tidak terlepas dari proses islamisasi yang terjadi pada tahap

awal.

Kerajaan Majapahit yang berdiri selama kurang lebih tiga

ratus tahun. Armada maritimnya yang kuat dan tersohor dikawasan

Asia Tenggara tidak menutup kemungkinan mengadakan kontak

dagang dengan dinasti Turki Utsmani yang berkuasa bersamaan

dengan Majapahit. Ditemukannya makam Siti Fatimah Binti

Maimun di Gersik, Jawa Timur. Mengindikasikan bahwa Islam telah

masuk ke Lamongan pada masa kerajaan Majapahit. Catatan

perjalanan Ibnu Batutah menerangkan bahwa ia singgah di Aceh

yang pada masa itu dipimpin oleh sultan Malik al-Zahir yang telah

beragama Islam.

Pada masa Majapahit, kegiatan pertanian tidak menjadi

sebuah aktivitas perekonomian yang diandalkan. Pertukangan dan

1 Abdullah Ubaid Mathraji, Warna Islam Indonesia: Ekspresi Umat Islam di

Indonesia (Tangerang: Pustaka Cendekia Muda, 2008), 159.

Page 97: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

82 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

berbagai macam kerajinan menjadi sebuah kemajuan ekonomi pada

masa Majapahit. Pada abad ke-14 terdapat sebuah desa di

Lamongan yang menjadi sentra para pembuat kerajinan pandai besi.

Mereka ini tergabung dalam asosiasi pengusaha kecil yang membuat

aneka kerajinan dari bahan baku besi.2

Kedua ilustrasi diatas menjelaskan bahwa Islam telah masuk

ke-Nusantara pada masa kerajaan Majapahit belum mengalami

kemunduran. Meskipun masih menuai perdebatan yang panjang

diantara sejarahwan tentang awal mula kedatangan Islam. Tidak

memungkinkan orang-orang dari kalangan Arab, Persia dan India

telah menyebarkan Islam ke-Nusantara sejak abad pertama hijriyah.

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan awal mula

kedatangan Islam ke-Nusantara. Teori pertama di dasarkan pada

catatan Tionghoa dari dinasti Tang yang menyebutkan pembatalan

penyeranagn kerajaan Ho-Ling di bawah pemipinan Ratu Sima.

Kata Ta’Shin diidentikan dengan kalangan orang Arab keturunan

yang menetap di pesisir Sumatera. Pendapat ini banyak menua

silang pendapat tentang awal mula kedatangan Islam di Nusantara.

Namun sejarawan sepekat bahwa Aceh adalah tempat kedatangan

Islam pertama yang kemudian menyebar ke berbagai daerah.

Teori pertama yang mengatakan kedatangan Islam pada abad

pertama Hijriyah yang bertepatan pada tahun 7 M. Teori ini

dikemukakan oleh W.P Grenoeveldt, T.W. Arnold, Sayid Naquib al-

Attas, George Fadlo Hourani, J.C Van Leur, Hamka, serta Uka

Tjandrasasmita. Meskipun demikian, ada pula yang mengatakan

bahwa kedatangan Islam ke-Nusantara terjadi pada abad ke-13 M

2 Denys Lombard, Le Carrefour Javanais (Paris: E>cole des Hautes E>tudes en

Sciences Sociales, 1990). Diterjemahkan oleh , Winarsih Partaningrat Arifin dkk,

Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama), 34.

Page 98: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 83

yang dikemukakan oleh C. Snouck Hurggronje, J.P. Moquette, R.A.

Kern, Haji Agus Salim dan lain-lain.3

Pasca konflik antara Bani Umayyah dengan Ahlulbait terjadi

banyak eksodus secara besar-besaran. Mereka bermigrasi ke timur

jauh seperti India, Cina yang pada akhirnya sampai di Indonesia.

Oleh sebab itu, Islam yang pertama kali datang ke Indonesia adalah

yang dibawa oleh zurriyat Rasulullah atau keturunan Nabi

Muhammad Saw. Sebagai contoh adalah Syeikh Ahmad Subakir dan

Syeikh Abdul Ghafur an-Nasiyaburi yang merupakan ahlul bait yang

termasuk golongan awal yang datang ke-Jawa. Lalu berjumpa

dengan Ratu Sima, pemimpin dari kerajaan Kalingga dan berjumpa

dengan prabu Sri Adi Joyoboyo yang merupakan ratu kerajaan Daha

Kediri.4

Menurut Uka Tjandrasasmita, ada enam model penyebaran

Islam di Indonesia melalui beberapa saluran antara lain sebagai

berikut:5

a. Saluran Perdagangan

b. Perkawinan

c. Tasawuf

d. Kesenian

e. Politik

f. Pendidikan

M. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia 1200-2008

menegaskan bahwa proses islamisasi merupakan salah satu proses

3 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: PT Gramaedia,

2009), 12. 4 Husein Heriyanto dan Tim Across, Menguak Akar Spiritual Islam

Indonesia, Peran Ahlulbait Dalam Penyebaran Islam di Nusantara (Yogyakarta:

Rausyan Fikr Institute, 2013), 42. 5 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada Press, 2010), 201.

Page 99: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

84 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

yang penting dalam perkembangan sejarah Indonesia. Dapat

dipastikan bahwa Islam sudah datang ke-Nusantara sejak awal

lahirnya. Berita yang bersumber dari Dinasti Tang tentang

kehadiran saudagar-saudagar Tanzi (Arab) ke Kalingga pada tahun

674 Masehi adalah petunjuk bahwa Islam sudah ada di Indonesia

sejak awal mula kelahirannya. Semangat penyebaran Islam

keberbagai daerah dimotivasi oleh hadis nabi Muhammad SAW

“Sampaikan dariku walau satu ayat”.

Di antara tokoh penting yang menyebarkan agama Islam

kenusantara adalah Walisongo yang berjumlah Sembilan. Terdapat

beberapa macam pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Wali

Songo antara lain:6

a. Pendekatan Teologis seperti yang dilakukan oleh Sunan

Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel. Yang menjadi

objek dalam hal ini adalah kalangan rakyat bawah yakni

kalangan waisya dan sudra.

b. Pendekatan ilmiah seperti yang dilakukan oleh Sunan Giri

dalam melakuakn pengkaderan para da’i yang tersebar ke-

beberapa daerah di Nusantara seperti Bawean, Madura bahkan

sampai ke Maluku.

c. Pendekatan kelembagaan seperti yang dilakukan oleh Sunan

Kudus dan Sunan Gunungjati dengan mendirikan

pemerintahan, lembaga peribadatan masjid dan sebagainya.

d. Pendekatan kultural seperti yang dilakukan oleh Sunan

Kalijaga dan Sunan Bonang.

e. Pendekatan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan

Drajat di Lamongan dan Sunan Muria yang memilih hidup di

tengah kalangan rakyat jelata di pedesaan.

6 Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan

Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2003), 140-141.

Page 100: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 85

Dalam perkembangan sejarah, wajah umat Islam di Lamongan

tidaklah tunggal. Sebab umat Islam di Lamongan terbagi dalam

beberapa kelompok polarisasi beragam yang direpresentasikan oleh

kelompok keagamaan, organisasi sosial, politik dan sebagainya.7

Terdapat beberapa aliran Islam yang mewarnai kehidupan

masyarakat Lamongan baik pada masa dahulu maupun untuk

sekarang. Aliran yang lebih elektik adalah NU dan Muhammadiyah

yang mengaku menganut keempat madzab fiqih. Adapun yang

menjadi persamaan keyakinan Islam di Asia Tenggara adalah di

imaninya mazhab Syafi’i dalam bidang hukun fiqih atau

keagamaan.8

Agus Sunyoto menyatakan bahwa kebudayaan di Jawa

khsusunya dan di Indonesia pada umumnya telah berkembang pada

awal mula kelahiran Islam. Dari berbagai literatur sejarah yang

dihimpun dari beberapa sumber. Agus Sunyoto berkesimpulan

bahwa Islamisasi di pulau Jawa sudah berlangsung sejak zaman

kepemimpinan khalifah Islam dibawah kekuasaan Utsman Bin

Affan. Pada masa itu, sudah terjadi kontak sosial antara pedagang

pribumi dengan pedagang Arab. Perdagangan masyarakat Jawa

terjadi melalui kontak sosial dengan dunia luar termasuk dengan

pedagang Arab dan timur-tengah.

Pada abad ke-7 kapal dagang yang dibawa oleh rombongan

dari Nusantara berukuran tiga kali lipat besarnya dari kapal yang

dimilki oleh masyarakat Cina daratan. Mereka menganggap bahwa

kapal yang datang dari selatan jauh lebih besar dari pada kapal yang

dibuat oleh negaranya. Agus Sunyoto menyimpulkan dalam Atlas

Walisongonya bahwa penduduk Nusantara adalah masyarakat yang

7 Agus Muhammad, “Islam Nusantara di Tengah Gelombang Puritanisme,”.

Jurnal Tashwirul Afkar: Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan Islam Nusantara. Edisi No. 26 tahun 2008. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber

Daya Manusia (LAKPESDAM) Nahdlatul Ulama. Tebet, Jakarta Selatan. 8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan

Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 1998), 49.

Page 101: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

86 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

sudah berperadaban maju jauh melebihi negara-negara

tentangganya.

Selain dikenal mempunyai keahlian berdakwah dalam

menyebarkan agama Islam ke pulau Jawa, walisongo yang terdiri

dari sembilan orang dalam sebuah perkumpulan dakwah dikenal

mempunyai berbagai keahlian dalam bidang mereka masing-masing.

Adapun keahlian yang dimiliki oleh Walisongo antara lain sebagai

berikut:

a. Sunan Kudus adalah seorang wali yag mempunyai keahlian

dalam membuat alat-alat pertukangan.

b. Sunan Gunungjati menurunkan tokoh-tokoh yang menjadi

raja-raja di Cirebon dan Banten. Strategi dakwahnya adalah

memperluas hubungan politik dengan penguasa Banten,

Cirebon dan Demak melalui pernikahan.

c. Sunan Kalijaga mengembangkan dakwah dengan seni dan

budaya. Beliau merupakan wali yang mempunyai keahlian

dalam mendalang dengan mengambil cerita pewayangan yang

kemudian di transformasikan dalam bentuk pewayangan.

d. Sunan Bonang mempunyai keahlian dalam bidang seni

arsitektur, tasawuf dan sastra serta kesaktian yang terkenal

luas dikalangan masyarakat Tuban. Beliau merupakan wali

yang menjadi guru dari Sunan Kalijaga.

e. Sunan Drajat di Lamongan yang merupakan wali yang dikenal

ahli dalam bidang ekonomi dan sosial. Beliau merupakan wali

yang piawai dalam berdagang dan mempunyai kepekaan

sosial yang tinggi. Ajaran yang ditekankan oleh Sunan Drajat

adalah anjuran untuk memberi kepada sesama. Nama asli

Sunan Drajat adalah Raden Qosim yang merupakan putra dari

Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati dan merupakan adik

Page 102: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 87

dari sunan Bonang yang mempunyai nama Raden Makdum

Ibrahim.9

f. Sunan Muria menciptakan tembang sinom dan kinanti yang

berisi nasehat tentang ketauhidan.

g. Sunan Giri dikenal sebagai wali yang sangat menjaga ajaran

agama dan sulit untuk berkompromi dengan tradisi lokal

masyarakat setempat. Sejarah mencatat dakwah yang

dilakukan oleh Sunan Giri berbagai daerah Nusantara

mencapai Banjar, Martapura, Pasir, Gowa, Buton, Sulawesi

Selatan, Nusa tenggara dan Maluku.

h. Sunan Ampel merupakan Walisongo tertua yang berperan

penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa dan

Nusantara. Melalui pesantrennya di Ampel Denta, sunan

Ampel mengkader santri-santrinya untuk menjadi juru

dakwah seperti Sunan Giri, Raden Fatah, Raden Qosim atau

sunan Drajat serta Sunan Bonang. Jejak dakwah Sunan Ampel

tidak hanya di Surabaya dan wilayah Majapahit. Melainkan

juga mencapai Sukadana di Kalimantan.

i. Sunan Maulana Malik Ibrahim dikenal sebagai wali yang

mempunyai keahlian dalam mengobati orang. Beliau

merupakan wali yang dituakan oleh para wali lainnya selain

Sunan Ampel.

Masyarakat muslim Lamongan mulai terbentuk sejak awal

mula kedatangannya. Banyaknya pedagang yang datang dalam

menyebarkan agama Islam menyebabkan kalangan anggota

masyarakat muslim Lamongan mengalami polariasasi tersendiri

yang memberikan corak dan warna yang beragam. Banyaknya

kekayaan budaya masyarakat muslim Lamongan yang kemudian

9 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka

(Jakarta: Kencana, 2006), 48.

Page 103: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

88 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

mengalami akulturasi dengan budaya yang sesuai dengan ajaran

Islam kemudian memberikan corak yang berbeda antara muslim

nusantara dengan muslim yang berada di daerah lainnya di negara-

negara muslim pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.

1. Sejarah Penyebaran Islam di Lamongan

Dalam hikayat lama yang diceritakan secara turun-temurun

oleh masyarakat pedesaan Jawa Timur seperti di Lamongan.

Diyakini bahwa tokoh penyebar agama Islam pertama kali di pulau

Jawa bukanlah sembilan wali yang dikenal dengan sebutan

Walisongo. KH Abdul Ghafur yang merupakan pengasuh dan

pendiri pesantren Sunan Drajat menuturkan Syeikh Subakir adalah

tokoh pertama kali yang menyenyebarkan Islam di pulau Jawa

sebelum kedatangan Walisongo.10

Hikayat ini banyak diyakini oleh

masyarkat Lamongan yang tinggal di pedesaan.11

Meskipun hikayat ini masih bersifat penuturan dari mulut-

kemulut di kalangan masyarakat pedesaan Lamongan. Tidak ada

salahnya untuk mengambil sebuah kesimpulan dari penuturan para

orang tua sebagai acuan atau kesimpulan dalam menganalisis

penyebaran Islam pertama kali ke pulau Jawa. Hal ini sebagai

sebuah studi komparasi atau kroscek sejarah peradaban masyarakat

Jawa pada masa itu.

10 KH Abdul Ghafur adalah pengasuh pondok Pesantren Sunan Drajat

Lamongan Jawa Timur yang senantiasa memberikan pengajian pada pukul 07.00-

08.00 pagi dan sore 16.00-17.00 di radio Persada. Dalam pengajiannya, ia sering menuturkan bahwa Syeikh Subakir adalah generasi Walisongo yang pertama.

Sumber, pengamatan peneliti. 11 Cerita mengenai Syeikh Subakir sebagai tokoh penyebar agama Islam

pertama kali ke pulau Jawa sebelum kedatangan Walisanga banyak dituturkan oleh

komunitas masyarakat pedesaan. Peneliti menemui banyak pesantren tradisional di

Jawa Timur yang menuturkan kiprah Syeikh Subakir sebagai generasi pertama dalam menyebarkan agama Islam ke pulau Jawa. Selama menimba ilmu di

pesantren Langitan Tuban, peneliti mendapat kisah yang demikian dari para ustadz

setempat. Termasuk dari beberapa santri yang berasal dari berbagai kota/kabupaten

di Jawa Timur yang meyakini hal demikian.

Page 104: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 89

Ketika Walisongo memposisikan diri mereka sebagai guru

yang mengajarkan ilmu hikmah pada masyarakat Jawa. Keberadaan

mereka diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Meskipun

terdapat beberapa tuduhan tentang penjatuhan kerajaan Majapahit

oleh Islam dan Walisongo yang membuat Islam dicela oleh kalangan

masyarakat abangan. Kekuasaan yang diberikan kepada Raden

Patah di Demak yang merupakan anak kandung dari kerajaan

Majapahit menimbulkan sebuah opini publik tentang perilaku tidak

tahu balas budi dengan penjatuhan Majapahit.12

Faktor lain yang menyebabkan Islam mudah diterima oleh

masyarakat Lamongan adalah karena Islam tidak memandang

adanya status sosial sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat

Hindu-Budha. Konsep diferensiasi sosial merupakan salah satu

ajaran yang diterapkan oleh Islam dengan mengakui persamaan

derajat. Sehingga penduduk Lamongan banyak yang tertarik untuk

menerima ajaran Islam. Proses islamisasi Walisongo tidak merusak

adat istiadat masyarakat lokal dan membatasi diri pada pola

perilaku esoteric yang hanya dimengerti oleh beberapa orang

tertentu sesuai dengan adat-istiadat tertentu.13

Jalur perkawinan dan perdagangan menjadi strategi

Walisongo dalam penyebaran Islam. Banyaknya pedagang yang

berasal dari Gujarat dan Arab memudahkan proses islamisasi Jawa.

Sehingga islamisasi di Jawa berlangsung secara damai dan bisa

menjadi percontohan untuk dunia. Oleh karena itu, penyebaran

agama Islam di Indonesia adalah fenomena unik dan berbeda dengan

penyebaran Islam di daerah lainnya. Fenomena ini disebabkan

karena Islam yang masuk di Indonesia terjadi secara damai tanpa

melalui peperangan yang penjang. Sedangkan penyebaran agama

12 Ramdhon, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1996), 54. 13 Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi

Dengan Orang-Orang Yang Berbeda Budaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2005), 18.

Page 105: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

90 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Islam ke berbagai negara terjadi melalui peperangan yang panjang

dan melelahkan. Bahkan penyebaran Islam di Arab Saudi sana

terjadi melalui peperangan yang panjang antara Nabi Muhammad

saw dengan kaum kafir Quraisy.

Adapun faktor yang mendukung penyebaran Islam ke-

Nusantara selain dakwah yang dilakukan oleh Walisongo adalah

eksistensi kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Kerajaan-kerajaan

tersebut mempunyai andil besar dalam proses islamisasi Nusantara.

Kerajaan muslim pertama di Asia Tenggara adalah kerajaan

Samudera Pasai yang terletak di Aceh. Pada tahun 1500 mulai

terdapat banyak pedagang muslim yang menyebar di seluruh

wilayah di Asia Tenggara yang kemudian mendirikan beberapa

kerajan seperti Kesultanan Malaka (sebagian besar kepulauan

Melayu dan Sumatera), kerajaan Demak (Jawa Tengah, ujung

Selatan Kalimantan dan Sumatera Tenggara), Makassar (Sulawesi

dan pantai timur Kalimantan), Banten (Sumatera Selatan, pesisir

Jawa dan Jakarta) dan Brunei di Kalimantan Utara.14

Dalam konteks kesejarahan, keberadaan Walisongo di satu

sisi berkaitan erat dengan kedatangan muslim asal Champa yang

ditandai dengan kemunculan tokoh Sunan Ampel yang merupakan

sesepuh Walisongo. Disisi lain berkaitan juga dengan menguatnya

kembali unsur-unsur budaya Nusantara yakni agama Kapitayan yang

ditandai dengan pemujaan terhadap arwah leluhur dalam bentuk

tungkup atau punden. Walisongo kemudian berdakwah dengan

pendekatan al-muhafadotu ala qodimis sholih wal akhdu ala jadidil

ashlah.15 Syeikh Siti Jenar merupakan tokoh yang bersamaan dengan

datangnya Walisongo. Dia dikenal dengan nama Syeikh Lemah

Abang yang tahun kelahirannya sulit untuk dilacak. Pemikiran Siti

14 Neal Robinson, Pengantar Islam Komprehensif (Yogyakarta: Fajar

Pustaka Baru, 2001), 56. 15 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama Yang Mengungkap

Walisongo Sebagai Fakta Sejarah (Depok: Pustaka Iiman, 2012), 120.

Page 106: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 91

Jenar dianggap sebagai pemikiran liberal dan banyak menimbulkan

kontroversial yang mengakibatkan melawan Demak dan

Walisongo.16

Islamisasi yang terjadi di Indonesia khsusunya pulau Jawa

merupakan hal yang menarik. Sebab penyebaran Islam keberbagai

negara dilakukan melalui peperangan yang panjang dan melelahkan

dengan menaklukan dinasti-dinasti yang sedang berkuasa. Termasuk

penyebaran Islam ke berbagai negara di kawasan Timur-tengah

pasca wafatnya Nabi Muhammad. Sedangkan proses islamisasi yang

terjadi di Nusantara berlangsung secara damai tanpa adanya

peperangan yang panjang.

Sebagaimana yang terjadi pada berbagai daerah di Nusantara

dalam proses penyebaran Islam secara damai. Islamisasi di

Lamongan dikenal oleh kalangan masyarakat luas melalui peran

penting Sunan Drajat dalam berdakwah di Lamongan. Sunan Drajat

merupakan salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan Islam di

pulau Jawa. Beliau merupakan putra Sunan Ampel yang berasal dari

Ampel Denta Surabaya. Nama asli dari Sunan Drajat adalah Raden

Qosim yang sekarang diabadikan menjadi salah satu nama dari

sebuah lembaga pendidikan yang ada di Paciran-Lamongan.

Mengingat jasa yang diberikan oleh Sunan Drajat dalam penyebaran

Islam ke pulau Jawa pada umumnya dan di Lamongan pada

khususnya.

Beberapa penemuan menyebutkan bahwa masyarakat

Lamongan sebelum kedatangan Islam menganut agama Hindu-

Budha yang menjadi kepercayaan sebagian besar warganya. Kondisi

Lamongan pada masa pra kedatangan Islam menjadikan kabupaten

Lamongan sebagai salah satu palabuhan terbesar selain kabupaten

Tuban. Termasuk Kawasan Sedayu Gersik yang menjadi pelabuhan

dalam penggalangan kapal Majapahit.

16 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka

(Jakarta: Kencana, 2006), 59.

Page 107: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

92 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Sunan Drajat merupakan anggota Walisongo yang diyakini

beberapa tokoh sejarah memainkan peranan penting dalam

penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Namun menurut penuturan

masyarakat Desa Banjaranyar kecamatan Paciran-Lamongan.

Penyebaran Islam pertama kali di Lamongan bukanlah dilakukan

oleh Sunan Drajat. Melainkan oleh Syeikh Banjar yang merupakan

seorang nelayan muslim yang berasal dari Banjarmasin Kalimantan-

Selatan.

Syeikh Banjar bagi masyarakat Lamongan pesisiran lebih

akrab dikenal dengan sebutan mbah Banjar. Cerita ini diperkuat oleh

penuturan KH Abdul Ghofur yang sekarang mengasuh pondok

pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan. Oleh

karena itu, merupakan ironi sejarah bahwa sekarang hampir tidak

ada kepustakaan yang bisa didapatkan dalam bahasa Jawa.

Khususnya bukti otentik yang mengulas tentang penyebaran Islam

di pulau Jawa.17

Sebelum kedatangan Syeikh Banjar, masyarakat Lamongan

masih menganut kepercayaan Hindu-Budha. Syeikh Banjar

merupakan seorang muslim yang berangkat dari Kalimantan besarta

para santrinya dan hendak mengunjungi Sunan Ampel atau sowan

dalam bahasa Jawa. Beliau berangkat dengan menaiki sebuah kapal

yang dibuat bersama para santrinya. Ditengah perjalan kapal yang

dinaiki oleh Syeikh Banjar pecah di tengah laut Jawa. Ada asumsi

dari masyarakat sekitar kalau kapal yang dinaiki oleh syeikh Banjar

sengaja di pecahkan oleh setan atau jin agar beliau batal sowan ke

Sunan Ampel di Surabaya.

Syeikh Banjar beserta santrinya kocar-kacir dan terdampar di

desa Jelak kecamatan Paciran. Masyarakat pesisir sekitar

mempercayai bahwa Syeikh Banjar ditolong oleh ikan cucut yang

kemudian dikeramatkan oleh masyarakat pesisiran Lamongan,

17 Niels Murder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan,

1985), 114.

Page 108: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 93

khususnya Paciran dan Berondong. Bentuk pengkeramatan tersebut

adalah melarang anggota keluarganya untuk memakan ikan tersebut

sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang diberikan ikan cucut

dalam menyelamatkan Syeikh Banjar.

Ketika terdampar di desa Jelak, syeikh Banjar memutuskan

untuk berdakwah dan menetap di desa Jelak yang kala itu

masyarakatnya masih beragama Hindu-Budha. Lewat

kebijaksanaannya dalam berdakwah tanpa disertai dengan

kekerasan. Perjuangan Syeikh Banjar berhasil mengislamkan kepala

desa Jelak yakni mbah Mayang Madu. Seiring bertambanhnya

masyarakat pesisiran Lamongan yang memeluk agama Islam secara

cepat. Syeikh Banjar bersama mbah Mayang Madu berinisiatif

untuk mengajarkan agama Islam didesa Jelak dengan mendatangkan

guru tambahan.

Banyaknya para warga yang masuk Islam dan kurangnya

tenaga guru agama menyebabkan Syeikh Banjar kewalahan untuk

mendidik para santrinya. Beliau kemudian mengirim surat kepada

Sunan Ampel di Surabaya untuk mendatangkan guru tmabahan.

Sunan Ampel yang ketika itu masih berdakwah di Surabaya

menerima surat Syeikh Banjar dengan mengirimkan putranya yang

tak lain adalah Sunan Drajat yang dikenal dengan Raden Qosim.

Bersama Syeikh Banjar dan mbah Mayang Madu, Sunan

Drajat mengajarkan agama Islam dengan mendirikan sebuah

pesantren. Guna menarik hati masyarakat agar belajar Islam. Sunan

Drajat menggunakan media gendhing-gending atau gamelan sebagai

sarana efektif dalam berdakwah. Ketika gamelan dibunyikan,

banyak masyarakat pesisiran yang berdatangan untuk mengaji.

Namun ketika tidak dimainkan, banyak masyarakat yang tidak

berdatangan. Sehingga pesantren yang telah di dirikannya bersama

mbah Mayang Madu dan Syeikh Banjar menjadi sepi.

Melihat kondisi yang demikian, Sunan Drajat memberikan

fatwanya yang terkenal bagi masyarakat Lamongan pesisiran

Page 109: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

94 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

“barang siapa yang belajar di pesantrenku. Semoga Allah

meninggikan derajatnya”. Atas fatwa itulah kemudian Raden Qosim

mendapat julukan Sunan Drajat sebagai bentuk penghormatan

masyarakat sekitar.

Secara kultur, masyarakat Lamongan bisa peneliti

kategorikan menerima seluruh budaya yang ada. Kehidupan

masyarakat muslim Lamongan yang majemuk menyebabkan mereka

mempunyai khazanah kebudayaan yang heterogen. Adanya beragam

kebudayaan tersebut merupakan corak yang memberikan warna

tersendiri bagi kalangan muslim Nusantara.

Sunan Drajat dan mbah Mayang Madu terus berdakwah

kepada masyarakatnya sampai Syeikh Banjar wafat. Sebagai

penghormatan atas jasa Syeikh Banjar menyebarkan agama Islam di

pesisir utara Lamongan. Desa Jelak kemudian diubah namanya

menjadi desa Banjaranyar yang berasal dari dua kata bahasa Jawa

yakni banjar dan anyar. Banjar bermakna Syeikh Banjar sedangkan

anyar adalah baru. Dinamakan Banjaranyar dikarenakan agamanya

baru yakni Islam dan tokoh yang menyebarkannya adalah orang

Banjar.

2. Akulturasi Islam di Lamongan

Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah

yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti budi atau

akal.18

Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang

berhubungan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan sendiri

berasal dari bahasa Latin, colere yang berarti mengolah dan

mengerjakan tanah pertanian. Dalam bahasa Arab.19

Kebudayaan

berasal dari kata al-Tsaqa>fah yang berarti perbaikan, penyesuaian

18 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002), 172 19 Yusran Razak dan Tim Penyusun. Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan

Pemikiran Sosiologi perspektif Islam, (Tangerang: Lembaga Sosilogi Agama,

2008), 137

Page 110: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 95

dan perubahan. Pengertian ini kemudian dikembangkan oleh

masyarakat muslim sebagai bentuk penyesuaian dan perbaikan

pemikiran dan pengetahuan.

Secara terminologi, ada beberapa tokoh yang menjelaskan

tentang pengertian budaya. Paul B Horton mengartikan budaya

merupakan segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama

secara sosial oleh anggota masyarakat. Koentjaraningrat

menjelaskan bahwa keudayaan merupakan gagasan, tindakan dan

hasil karya manusia dalam sebuah kehidupan dan dijadikan miliki

bersama dengan belajar. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi

menjelaskan bahwa kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan

karsa masyarakat.20

Istilah ini adalah bentuk pengertian yang umum

bagi komunintas masyarakat akademik. Sedangkan Pasurdi Supardi

mengemukakan kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan

manusia sebagai makhluk sosial yang dijadikan untuk menjelaskan

dan memahami lingkungan agar dapat mendorong terwujudnya tata

kelakuan.

Akulturasi,21

merupakan perpaduan atau percampuran dua

unsur budaya berbeda yang menghasilkan sebuah budaya baru tanpa

menghilangkan nilai-nilai atau wujud dari budaya yang lama.

Sedangkan asimilasi,22

didefinisikan sebagai proses sosial yang

20 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002), 173 21 Akulturasi berasal dari kata “acculturation” yang berarti proses

pertemuan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti

percampuran unsur-unsur tersebut. Perbedaan antara unsur-unsur asing dengan

unsur yang asli masih nampak. Pengambilan unsur-unsur budaya tertentu tidak

menghilangkan unsur budaya yang asli. Akulturasi demikian dikenal dengan istilah akulturasi antagonistic. Lihat, Bisri Mustofa dan Elisa Vindi Maharani. Kamus Lengkap Sosiologi (Jogjakarta: Panji Pustaka, 2011), 12.

22 Asimilasi budaya “assimilation cultural” merupakan proses perubahan pola kebudayaan untuk menyesuaikan diri dengan mayoritas. Sehingga minoritas

akan mengikuti pola kebudayaan mayoritas. Kebudayaan yang terdapat dalam

kalangan masyarakat mayoritas akan menghilangkan unsur budaya kelompok

Page 111: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

96 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

menyebabkan adanya perpaduan budaya yang berbeda yang mana

perpaduan budaya tersebut menyebabkan hilangnya wujud budaya

lokal karena disebabkan pengaruh budaya yang berasal dari luar.

Islam Nusantara bisa dikatakan sebagai Islam yang ramah dan

toleran terhadap budaya lokal dan tidak menganggapnya sebagai

sebuah sumber yang mengancam eksistensi Islam. Dalam berbagai

kasus dapat di saksikan masyarakat muslim Nusantara memiliki

toleransi yang tinggi terhadap adanya perbedaan. Fakta ini

merupakan sebuah kajian yang unik bahwa Islam Nusantara tidak

menentang adat istiadat yang tidak sepaham dengan ajaran Islam.

Namun lebih ditekankan untuk mendialogkan antara tradisi lokal

dengan nilai-nalai keislaman. Sebagai bentuk dialektika antara

Islam dengan budaya lokal yang menghasilkan sebuah akulturasi

budaya yang tercermin dari kehidupan masyarakat Indonesia sebagai

modal sosial dalam pembangunan ummat Islam dimasa

mendatang.23

Islamisasi di Lamongan tidak serta merta merusak tatanan

sosial kebudayaan yang telah lama ada. Karena dapat menambah

khazanah dan kebudayaan masyarakat muslim Indonesia secara

keterogen. Masyarakat Lamongan yang mayoritas beragama Islam

masih kental dengan tradisi dan budaya yang diwariskan oleh nenek

moyang mereka. Peranan Walisongo dalam penyebaran agama Islam

di pulau Jawa menjangkau hampir seluruh daerah dan kabupaten

yang ada didalamnya.

Wujud kebudayaan yang dihasilkan oleh masyarakat pesisir

tentu berbeda dengan masyarakat pegunungan. Faktor keberadaan

georgrafis tentu berpengaruh pada wujud kebudayaan dan sistem

peralatan hidup yang digunakan. Masyarakat yang tinggal didaerah

minoritas. Lihat, Bisri Mustofa dan Elisa Vindi Maharani. Kamus Lengkap Sosiologi, (Jogjakarta: Panji Pustaka, 2011),

23 Ismail Nawawi, Pembangunan Dalam Perspektif Islam: Kajian Ekonomi, Sosial dan Budaya (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009), 169.

Page 112: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 97

pegunungan menggunakan cangkul atau peralatan yang berkaitan

dengan mengolah tanah. Begitu juga dengan masyarakat yang

tinggal di pesisir yang mayotitas bekerja sebagai nelayan

menggunakan perahu atau peralatan yang erat kaitannya dengan

sistem mata pencaharian yang berhungan erat dengan laut.

Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering

mempersoalkan perbedaan antara perubahan-perubahan sosial

dengan perubahan-perubahan kebudayaan. Perbedaan demikian

tergantung dari adanya perbedaan tentang pengertian masyarakat

dan kebudayaan.24

Oughburn mengatakan jika sebuah masyarakat

tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan

sebuah kebudayaan yang disebabkan oleh perubahan sosial.25

Maka

kehidupan masyarakat tersebut akan mengalami sebuah

ketertinggalan budaya dalam istilah cultural lag. Konsep ini

mengacau pada perubahan masyarakat yang masih tertinggal dengan

masyarakat lainnya yang yakni lag behind.26

Asimilasi terjadi karena golongan minoritas merubah sifat

khas dari unsur kebudayaannya dengan menyesuaikan diri dengan

golongan mayoritas. Sehingga lambat laun kelompok minoritas

kehilangan kepribadian kebudayaannya yang asli dan mengikuti

kebudayaan mayoritas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

perubahan identitas karena asimilasi dapat terjadi jika ada interaksi

antarkelompok berbeda yang menyebabkan kelompok mayoritas

mendominasi atas kelompok minoritas.

24 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002), 308. 25 Perubahan Sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur

masyarakat yang seubahan struktur masyarakat yang selalu berjalan dengan

perubahan kebudayaan dan fungsi suatu system social. Lihat Jacobus Ranjabar

“Perubahan sosial dalam teori makro pendekatan realitas sosial”. 26 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT

Gramedia, 1988), 111

Page 113: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

98 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Pandangan masyarakat Jawa yang menilai bahwa segala

sesuatu mempunyai kekuatan supranatural merupakan bentuk

sinkretisasi antara Islam dengan kebudayaan Hindu. Banyaknya

unsur tradisional yang dibuang, termasuk unsur yang memberikan

persentuhan antara Islam dengan budaya Jawa tradisional.

Memberikan peluang bagi terjadinya pertentangan antara muslim

Jawa yang saleh dengan sesama Jawa lainnya.27

Budaya juga ditentukan oleh konteks waktu yang

mempengaruhi pola lehidupan sebuah masyarakat. Namun demikian,

tradisi masih dianggap sebagai sebuah kontrol sosial yang berperan

penting terhadap sebuah masyarakat yang memberikan fungsi

sebagai sarana untuk:28

1. Membangun masa depan berdasarkan nilai-nilai secara turun

temurun atau local wisdom

2. Memberikan legitimasi atas sebuah tindakan dan perbuatan

terhadap pandangan hidup agar dapat digunakan untuk

mengikat anggotanya. Sebagai contoh anak muda anak

menggunakan ucapan yang lebih halus ketika berbicara

dengan orang tua. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan boso

kromo inggil.

3. Memberikan sebuah simbol atas identitas terhadap kelompok

tertentu dan memperkuat rasa primordial dan nasionalitas.

Sebagai contoh penggunaan blangkon oleh anak muda Jawa.

4. Memberikan tempat untuk keluhan dan pelajaran.

Sebagaimana sebuah tradisi masa lalu yang dibangun oleh

leluhurnya. Contoh dengan mengingat kejayaan kerajaan

Majapahit.

27 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama Di Tangan Penguasa

(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 49. 28 Piotr Sztomska. Sosiologi Perubahan Sosial. (Jakarta: Prenada Media,

2004), 76

Page 114: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 99

Pola kumunikasi dan interaksi yang dikonstruk Walisongo

dalam islamisasi pulau Jawa adalah dengan pendekatan kebudayaan.

Sistem nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi

segala tindakan manusia dalam hidupnya. Setiap individu

masyarakat sejak kecil telah diresapi nilai-nilai budaya

masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu telah berakar di dalam

mentalitas yang sukar diganti dengan yang lain dalam waktu yang

lain.29

Walisongo sebagai tokoh sental dalam keberhasilan Islamisasi

di pulau Jawa menekankan dengan menggunakan metode

pendekatan kebudayaan. Konsep yang demikian ini dikenal dengan

bil hikmah dan mauizah hasanah dengan pendekatan integratif.

Walisongo dikenal sebagai tokoh yang mampu membaur dengan

kalangan masyarakat pribumi. Terutama masyarakat Jawa yang

menjadi target utama dalam misi dakwah yang dijalankannya.

Walisongo berkesimpulan bahwa masyarakat Jawa masih memegang

teguh tradisi dan adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhurnya.

Sunan Drajat dalam menjalankan misi dakwahnya tidak serta

merta menggunakan jalur kekerasan ataupun paksaan kepada

penduduk Lamongan. Meskipun banyak tradisi masyarakat Jawa di

Lamongan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masalah-

masalah yang terjadi dalam suatu masyarakat bisa terjadi dalam

dunia dakwah yang terkadang sulit bahkan tidak mampu untuk

diselesaikan.30

Para wali termasuk Sunan Darajat melakukan

pendekatan secara bijaksana kepada penduduk Lamongan yang

masih menganut kepercayaan lama. Metode dakwah yang demikian

ini kemudian disambut dengan baik oleh masyarakat Lamongan.

Mereka menerima secara terbuka apa yang disampaikan oleh Sunan

29 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta : Uinversitas

Indonesia Press, 2010), 77. 30 Shonhaji Sholeh, Sosiologi Dakwah Perspektif Teoretik (Surabaya: IAIN

Sunan Ampel Press, 2011), 1.

Page 115: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

100 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Drajat. Alasan yang demikian ini merupakan alternatif terbaik

dalam menyikapi masyarakat yang masih kental dengan warisan

budaya leluhurnya.

Penyebarannya Islam ke pulau Jawa tidak serta merta

diterima dengan baik oleh penduduk lokal. Terutama oleh kalangan

masyarakat yang masih menganggap bahwa datangnya Islam dapat

merusak tatanan yang ada dalam masyarakat Jawa yang menganut

tradisi Hindu-Budha. Bahkan diantara kalangan kerajaan ada yang

berkesimpulan bahwa datangnya para Walisongo adalah penyebab

dari runtuhnya kerajaan Majapahit yang sempat berkuasa dalam

menyatukan Nusantara.

Pandangan demikian terbilang unik dikalangan masyarakat

Jawa pada waktu itu. Kehidupan masyarakat Muslim Jawa yang

terletak di Kabupeten Lamongan Jawa Timur. Konteks pemaparan

yang peneliti sampaikan karena ingin mengangkat seputar

kehidupan masyarakat muslim Lamongan yang kental dengan hal-

hal mistik. Utamanya kaum abangan yang mendiami wilayah

pedesaan Lamongan yang masih udik.

Masyarakat Thai dan Jawa keduanya mempunyai inspirasi

kebudayaan Hindu, namun dalam menjalankan serta menafsirkan

inspirasi kebudayaan tersebut tampak banyak perbedaan.31

Islam

Nusantara merupakan bentuk keislaman yang memadukan antara

tradisi lokal dengan unsur keagamaan. Kedatangan Islam ke-

Nusantara tidak serta merta merusak tatanan sosial serta adat

istiadat masyarakat setempat. Al-Quran sebagai kitab suci

mengajarkan agar manusia menghargai adanya sebuah perbedaan.

Echols (1963), mendefinisikan Kejawen dalam bahasa Inggris

adalah Javaneseness, Javanism yang merupakan suatu cap deskriptif

31 Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional

(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984), 30.

Page 116: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 101

bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai

hakikatnya Jawa yang mendefinisikan sebagai suatu kategori khas.32

Sunan Drajat dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang

ekonomi yang mengemban misi sosial dalam penyebaran agama

Islam Jawa. Diantara ajaran Sunan Drajat yang masih ada hingga

saat ini adalah perintah untuk memberi bukan untuk meminta.

Konsep lima ajaran pokok Sunan Drajat yang menjadi filosofi

masyarakat Jawa pada umumnya dan Lamongan pada khususnya.

Kelima ajaran pokok sunan Drajat antara lain sebagai berikut:

a. Wewehono teken marang wong kang wuto (memberikan

tongkat kepada orang buta)

b. Wewehono mangan marang wong kang luwe (memberi makan

pada orang yang lapar)

c. Wewehono busono marang wong kang wudo (memberi

pakaian pada orang yang tidak berbusana)

d. Wewehono iyupan marang wong kudanan (memberikan

tempat berteduh pada orang yang kehujanan)

Sebagai agama purikatif, Islam membutuhkan dukungan dan

cara berfikir rasional ilmiah. Tanpa adanya hal tersebut, tauhid

Islam bisa lumpuh terselubung dalam berbagai mitologi yang

bersifat kafarat. Konsep ajaran tauhid Islam menggariskan purifikasi

atau pendekatan konflik, yakni membedakan secara tegas antara

yang hak dengan yang batil.33

Walisongo dengan pendekatan budaya

dengan masyarakat lokal mampu untuk memadukan antara unsur-

unsur Hindu-Budha dengan keadaan masyarakat tanpa merusak

lokalitas yang ada.

32 Niels Murder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan,

1985), 16. 33 M Jandra. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi

Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah, 2003), 72-73

Page 117: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

102 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Adanya budaya baru yang masuk pada suatu wilayah dapat

memperkaya khazanah budaya lokal yang ada. Diantara faktor yang

mempermudah adanya akulturasi budaya adalah sikap masyarakat

yang terbuka dan tidak menutup diri dengan dunia luar. Masyarakat

yang memandang perlu adanya sebuah interaksi sosial dengan dunia

luar yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang

bersangkutan. Kelompok masyarakat seperti ini mudah untuk

menerima suatu ide pembaharuan dalam dalam komunitas mereka

masing-masing.

Begitu juga bahasa yang dugunakan oleh masyarakat yang

tinggal di daerah pegunungan dengan masyarakat yang tinggal di

lautan atau pesisiran. Adanya perbedaan letak geografis dapat

berpengaruh besar terhadap cara komunikasi yang digunakan oleh

masyarakat pesisiran dengan masyarakat pegunungan. Bahasa yang

digunakan oleh masyarakat pesisiran lebih keras dibandingkan

dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pegunungan.

Kondisi alam yang tandus serta jangkauan yang semakin jauh

menyebabkan diferensiasi dalam pola komunikasi sosial. Termasuk

beberapa unsur kebudayaan yang dikelompokkan oleh Malinowski

sebagai berikut:34

1. Bahasa

2. Sistem Teknologi

3. Sistem Ekonomi/ Mata Pencaharian

4. Organisasi Sosial

5. Sistem Pengetahuan

6. Religi

7. Kesenian

34 Soerjono Soeanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2002), 178

Page 118: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 103

Masyarakat yang konservatif sulit untuk menerima pengaruh

dari dunia luar. Mereka menganggap bahwa pengaruh dari dunia luar

hanya akan menimbulkan problem. Asumsi ini didasarkan bahwa

kebudayaan sendiri sudah cukup baik dan tidak memerlukan dunia

luar. Sebagai bentuk konsekuensi yang harus diterima oleh

masyarakat Jawa di Lamongan. Islam harus bisa berakulturasi agar

tidak mengalami penolakan oleh penduduk lokal. Perpaduan Islam

dengan budaya lokal di Lamongan kemudian melahirkan akulturasi

dalam beberap hal seperti:

1. Bahasa

Bahasa Arab adalah bahasa pokok yang terdapat dalam Al-

Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi

Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Sebagai agama yang

lahir di daerah Arabia, bahasa Arab menjadi bahasa yang mengakar

kuat dalam tradisi agama Islam. Kefashian dan ketegasan dalam

pelafalan ataupun pengucapan bahasa ini menjadi sangat penting

sekali.

Namun demikian lidah yang dimiliki oleh masyarakat

Indonesia terutama masyarakat Jawa masih belum fasih

sebagaimana lidah yang masyarakat Arab. Dialektik lidah

masyarakat Lamongan dengan bentuk Arab tertuang dalam

beberapa kosa-kata bahasa Arab dengan pelafalan Jawa antara lain

sebagai berikut:

1. Luhur (sholat zuhur)

2. Ngasar (sholat ashar)

3. Ngisak (sholat isya)

4. Sapar (bulan safar)

5. Mulud merupakan bentuk mauludan

6. Suboh (solat subuh)

7. Solikin berarti orang soleh

8. Slametan dari kata salamatan

Page 119: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

104 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

9. Jawah (hujan) yang berasal dari kata ja’a rahmah

10. Janur (sejenis smbol dari daun kelapa ketika acara

pernikahan) dari kata ja’a nuurun (datangnya cahaya)

11. Apem (makanan sewaktu tahlilan) dari kata afwan yang

berarti memohon ampunan kepada Allah

Pelafalan yang diucapkan oleh masyarakat Jawa pada awalnya

tidak sesuai sabagaimana yang diucapkan oleh masyarakat Arab.

Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo merupakan proses

Islamisasi yang memadukan antara bahasa Arab dengan dialektik

lidah orang Jawa. Termasuk proses pengucapan lidah masyarakat

Lamongan pada awal menerima Islam yang belum fasih dengan

kosa-kata bahasa Arab.

2. Adat Istiadat

Adat istiadat yang terdapat pada masyarakat Jawa sekarang

ini adalah perpaduan antara Hindu-Budha dan Islam yang

mengandung unsur-unsur sinkretisme atau kemistisan. Sebagai

masyarakat yang masih tradisional, masyarakat Lamongan memiliki

adat istiadat serta tradisi turun temurun sebagaimana masyarakat

Jawa pada umumnya. Bentuk tradisi tersebut antara lain:

a. Khataman

Khataman merupakan tradisi membacakan ayat-ayat dalam

Al-Qur’an dari awal sampai sampai khatam. Pembacaan Al-

Qur’an biasanya ditujukan bagi keluarga yang telah

meninggal dunia. Acara khataman seperti ini digelar di

rumah keluarga yang telah meninggal dunia dengan

mengundang santri atau ustadz untuk mengaji. Selain itu ada

juga khataman yang dilakukan oleh para warga dalam

sebulan sekali yang di laksanakan di masjid atau mushola

ketika ada sebuah acara tertentu seperti pengajian umum,

perayaan idul adha dan sebagainya.

Page 120: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 105

b. Slametan atau Tahlilan

Slametan merupakan tradisi mengirim doa untuk orang tua

atau keluarga yang dilakukan dengan mengundang tetangga

ataupun keluarga jauh. Slametan biasanya dilakukan mulai

dari satu sampai tujuh hari untuk mendoahkan bagi keluarga

yang telah meninggal dunia yang kemudian disebutTahlilan.

Jangka waktu dalam slametan juga menjadi acuan para warga

untuk mengadakan slametan. Selanjutnya pada hari

keseratus dari tanggal kematian keluarga disebut dengan

istilah Nyatus. Berikutnya hari kesetahun sampai hari ke

tiga tahun yang disebut Nyewu. Perhitungan tanggal

kegiatan dilakukan dengan menggunakan tanggalan Jawa

sebagai bahan perhitungan.

c. Mithoni

Mithoni merupakan tanda syukur kepada Allah karena

dikaruniai. Acara ini dilakukan ketika usia kandungan ibu

hamil tujuh bulan.

d. Suroan (Tahun baru Hijrah)

Nama Suronan diambil dari bulan As-syura dalam kalender

Hijriyah atau Islam. Cara memperingatinya mencampur

antara doa-doa agama Islam dan laku-laku, tindakan-

tindakan yang biasa dijalankan dalam tradisi masyarakat

Jawa atau Kejawen.

e. Mauludan

Mauludan merupakan tradisi yang dilakukan warga untuk

memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW. Acara

mauludan biasnya diisi pengajian dengan mendatangkan

para kiyai sebagai penceramah atau memberikan siramah

Page 121: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

106 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

rohani. Selain itu, dalam acara mauludan juga dibacakan

ayat suci Al-Qur’an maupun sholawat kepada nabi.

f. Ziarah Kubur

Ziarah Kubur merupakan tradisi tahunan yang dilakukan

pada bulan puasa atau Ramadhan. Ziarah kubur biasanya

bertujuan untuk menengok dan membersihkan makam

orang tua maupun kerabat yang telah meninggal dunia.

Kegiatan ini dibarengi dengan mengirim doa untuk

keluarga yang sudah meninggal dunia.

3. Transformasi Sosial Tradisi Keagamaan Masyarakat

Lamongan

Gerakan pembaharuan Islam yang tersebar luas di kalangan

golongan pedagang di pusat-pusat perdagangan di Jawa antara tahun

1912 dan 1920 telah memfokuskan pada usaha-usaha membersihkan

Islam dari dogma-dogma Hindu dan animism dan memfokuskan

pada hal-hal yang berhubungan dengan moralitas. Ia juga

menkankan pada pentingnya ibadah haji di Mekkah. Sikap ini

menekankan pentingnya wiraswasta di dunia ketga.35

Santri dikenal sebagai kaum putihan yang taat dalam

menjalankan ajaran agama yang terpenagruh oleh konsep

kebangkitan Islam. Sedangkan kalangan abangan adalah kumpulan

petani yang kurang memahami ajaran Islam. Pola hubungan antara

santri dan abangan dalam bentuk interaksi disosiatif.36

Santri

bertindak secara rasional dalam mengejar kepentingan pribadi

sebagaimana mereka melakukan aktivitas ekonomi. Maka

35 Norman Long, Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: Bina Aksara,

1987), 88-89. Judul Asli An introduction to the sociology of rural development,

diterbitkan oleh Tavistock Publication Limited, London 1977. 36 Radin Fernando, “In the Eyes of the Beholder: Discourses of a Peasant

Riot in Java,” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 30, No. 2 (Sep, 1999), 263-

285.

Page 122: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 107

konsekuensi tertentu secara otomatis akan mengikuti dan

menentukan arah kehidupan mereka. Konsekuensi ini dapat

dimodelkan dan diprediksi dalam menetukan makna kebudayaan

yang mewarnai kehidupan masyarakat.37

Bentuk upacara keagamaan masyarakat Lamongan Jawa

Timur sebelum tahun 2000 dilaksanakan di sebuah pekuburan

umum. Pemakalah dalam hal ini mengambil data dari berbagai

penuturan yang disampaikan oleh para sesepuh daerah penelitian di

Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan. Sebagian besar

masyarakat Lamongan masih mengadakan upara seperti demikian

ini hingga menjelang akhir dekade tahun 90-an. Bagaimanapun

perayaan upacara keagamaan yang demikian ini tidak sepenuhnya

ditinggalkan oleh masyarakat.

Di daerah pedesaan, utamanya yang terletak di pegunungan

bentuk upacara di pemakaman masih banyak diadakan oleh

masyarakat setempat. Mereka secara berbodong-bondong dengan

melakukan kegiatan gotong-royong bersama-sama mendatangi

makam atau kuburan umum. Ritual upacara keagamaan yang

demikian ini dikenal oleh masyarakat Lamongan dengan sebutan

nyadran. Tujuan dilaksanakan nyadaran adalah agar terbebas dari

gangguan dan bisikan roh jahat dan meminta keberkahan kepada

Allah SWT. Bilamana peneliti menanyakan kepada penduduk atau

sesepuh desa mengapa upacara demikian ini dilaksanakan di sebuah

kuburan umum.

Maka para sesepuh kebanyakan menjawab dengan tujuan

mengingatkan kepada manusia yang masih hidup dengan kematian.

Sebab dengan mengingat kematian manusia akan banyak beramal

sholeh. Tujuan latensi dari diadakan uapacara yang demikian ini

adalah untuk memberikan kiriman do’ah kepada para leluhur atau

37 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE

Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 85.

Page 123: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

108 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

sesepuh yang telah mendahului atau keluarga yang telah meninggal

dunia. Alasan yang dikemukakan oleh para sesepuh desa terbilang

sangat sederahana dengan acuan bahwa dengan mengadakan

uapacara ini dikuburan maka akan mendekatkan yang masih hidup

dengan arwah keluarga yang telah meninggal dunia. Hal ini

mengindikasikan bahwa do’ah yang dibacakan dengan mendekatkan

diri pada pemakaman leluhur lebih mudah didengar dan dimengerti

oleh arwah yang bersangkutan.

Adapun yang menjadi dewa-dewa dalam pandangan

masyarakat Lamongan klasik adalah diyakini adanya sebuah

danyang-danyang. Mereka biasanya tinggal disebuah kuburan umum

atau pemakaman umum disetiap desa. Kebanyakan masyarakat juga

meyakini bahwa danyang tinggal di sebuah pohon-pohon besar yang

anker. Oleh karena itu masih banyak penulis jumpai pohon-pohon

besar yang ada di pemakaman umum di daerah peneliti.

Ketika komunitas santri mulai mendominasi kalangan

masyarakat Lamongan yang masih tradisional. Kebudayaan yang

ada kemudian mulai mengalami pergeseran dan perubahan sosial.

Budaya slametan dan sedekah bumi yang awalnya dilaksanakan di

kuburan umum atau pohon-pohon besar mulai bergeser. Perubahan

sosial kultural masyarakat Lamongan terjadi dengan semakin

banyaknya kaum santri yang mulai mendominasi. Kondisi yang

demikian kemudian menimbulkan sebuah konflik pada tahun 1980

antara kalangan santri dengan kalangan abangan.

Kalangan santri menilai bahwa sedekah bumi adalah kegiatan

yang berhubungan dengan setan dan bid’ah yang tidak sesuai

dengan ajaran agama Islam. Sedangkan kalangan kaum abangan

memandang bahwa mereka tidak menyenmbah setan atau kuburan

sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum santri. Kaum abangan

tetap berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang

menjadi sesembahan dan tempat bergantung setiap mahluknya.

Page 124: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 109

Namun kedua belah pihak masih bersikukuh dengan pendapat yang

mereka kemukakan masing-masing.

Pro-kontra dikalangan para sesepuh masyarakat Lamongan

terjadi dengan semakin banyaknya isu pengakfiran diantara salah

satu pihak yang tidak setuju dengan alasan yang mereka kemukakan

masing-msaing. Kalangan santri tidak ingin bahwa agama Islam

menjadi tercampur baur dengan dengan tradisi yang berhubungan

dengan kesyirikan. Sementara kaum abangan juga tidak ingin tradisi

yang diwariskan oleh nenek moyang mereka menjadi hilang hanya

karena doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh kalangan santri.

Kalangan santri yang di dominasi oleh masyarakat

Muhammadiyah bersikap lebih memegang prinsip ajaran Islam

dalam menjalankan tradisi keagamaan. Sedangkan kalangan

abangan sebagian besar didominasi oleh masyarakat nasioanalis

yang berhaluan NU. Kedua belah pihak ini pernah mendatangkan

para tokoh-tokoh mereka sebagai bahan acaun atau sebagai penguat

untuk membuktikan dalil yang mereka kemukakan. Bahkan

masyarakat Muhammadiayah pernah mendatangkan salah seorang

tokoh ternama yang suka membid’ahkan tradisi kaum abangan.

Termasuk tradisi tahlilah yang mereka katakan tidak sesuai dengan

ajaran Islam.

Bilamana pengajian yang dilaksanakan oleh kaum

Muhammadiyah berlangsung dengan dihadiri oleh masyarakat

Muhammadiyah. Maka tema pengajian yang diangkat dalam setiap

even-event pengajian umum adalah tentang larangan melaksanakan

tahlilan. Bukti-bukti yang kuat berdasarkan hadis-hadis nabi

dikemukakan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Pengajian seperti

ini dalam pandangan masyarakat Lamongan saat ini adalah bentuk

pengajian yang berisi tentang pisoh-pisohan yang berarti saling

menyalahkan satu sama lain untuk mendukung teori atau dalil yang

mereka sampaikan.

Page 125: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

110 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Sedangkan kaum abangan yang didominasi NU juga bersikap

kontra terhadap alasan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh

Muhammadiyah tentang pengharaman tradisi termasuk tahlilan.

Menyikapi perayaan tradisi seperti ini, kalangan NU abangan masih

bersikap longgar dan memandang tidak menentang ajaran Islam.

Masyarakat NU menandaskan bahwa ummat Islam adalah umat

yang satu dalam bidang akidah. Namun Islam tidak menafikan

unsur-unsur perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.

Keberagamaan ini tetap dalam satu naungan tunggal yang dikenal

dengan sebutan tauhid.38

Mereka berkeyakinan bahwa yang mereka

kerjakan tidak berhubungan dengan kesyirikan atau menyekutukan

Allah. Sehingga mereka tetap menjalankan tradisi-tradisi yang

diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Namun seiring dengan perkembangan waktu dan pro-kontra

yang terjadi dimasyarakat Lamongan, perayaan tradisi-tradisi mulai

mengalami pergeseran menjelang tahun 1995-an. Sebagai contoh

masyarakat Lamongan tidak lagi mengadakan upacara nyadran di

kuburan atau sebuah pohon besar. Meskipun sampai sekarang masih

ada beberapa daerah pedalaman yang masih menjalankan tradisi

yang demikian. Sehingga peneliti menjumpai banyak pohon-pohon

besar yang ada dikuran dan tidak di tebang sebagai bentuk simbolik

terhadap tradisi yang pernah di jalankan oleh nenek moyang mereka.

B. Deskripsi Wilayah Kabupaten Lamongan

Lamongan merupakan sebuah kabupaten di Jawa Timur yang

masuk kawasan Gerbangkertosusila yang di konversikan menjadi

Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan.

Kabupaten Lamongan terbagi menjadi beberapa sub daerah yang

memungkinkan untuk kegiatan bertani, berladang ataupun membuat

38 Gamal Al-Bana. Pluralitas Dalam Masyarakat Islam, (Jakarta: Mata Air

Publishing, 2006), 9

Page 126: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 111

tambak. Wilayah Lamongan yang terletak di bagian utara

memungkinkan untuk kegitan nelayan.

Paciran dan Brondong merupakan dua kecamatan yang masuk

di Lamongan utara yang berbatasan dengan laut Jawa. Mayoritas

penduduk di daerah ini bekerja sebagai nelayan yang masuk dalam

kategori fishing communities. Adapun wilayah Lamongan yang

terletak di daerah tengah sebagian besar penduduknya bekerja

sebagai petani yang masuk dalam kategori peasant communities.

Wilayah selatan umumnya banyak ditumbuhi oleh hutan-

hutan jati. Penduduk setempat memanfaatkan daerah ini sebagai

sarana untuk kegiatan bercocok tanam dengan membuka sawah

yang masyarakat setempat menamainya dengan istilah persil

diantara hutan-hutan. Persil merupakan cara memanfaatkan hutan-

hutan dengan membersihkannya dengan dimanfaatkan untuk

ditanami jagung atau padi. Para petani biasanya meminta ijin

kepada perhutani untuk memanfaatkan lahan kosong tersebut.

Kabupaten ini telah ada sejak masuknya Islam ke pulau Jawa.

Luas wilayah Lamongan adalah 1.812,80 km2

yang terbagi menjadi

27 kecamatan. Untuk mengetahui jumlah kecamatan dan desa di

Lamongan perlu untuk menyimak tabel berikut:

Tabel 1.2

Jumlah Desa, Dusun, RW dan RT Tiap Kecamatan

Kecamatan Desa RW RT

01. Sukorame 9 23 114

02. Bluluk 9 64 164

03. Ngimbang 19 92 303

04. Sambeng 22 143 345

05. Mantup 15 119 270

06. Kembangbahu 18 97 355

07. Sugio 21 135 366

Page 127: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

112 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

08. Kedungpring 23 116 386

09. Modo 17 131 296

10. Babat 23 127 394

11. Pucuk 17 77 270

12. Sukodadi 20 110 338

13. Lamongan 20 81 285

14. Tikung 13 75 247

15. Sarirejo 9 46 165

16. Deket 17 85 258

17. Glagah 29 94 233

18. Karangbinangun 21 185 264

19. Turi 19 73 249

20. Kalitengah 20 81 202

21. Karanggeneng 18 64 191

22. Sekaran 21 54 226

23. Maduran 17 35 162

24. Laren 20 100 266

25. Solokuro 10 50 217

26. Paciran 17 94 361

27. Brondong 10 57 60

Jumlah/Total 474 2.408 6.987

Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan

Kabupaten Lamongan 2010.

Batas wilayah administratif Lamongan adalah sebelah utara

berbatasan dengan laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan

Kabupaten Gersik. Pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten

Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Sedangkan sebelah selatan

berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang.

Page 128: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 113

Deskriprsi Kabupaten Lamongan sesuai dengan logo yang menjadi

lambang wilayah dan menggambarkan filosofi masyarakatnya

mempunyai makna simbolis sebagai berikut:39

a. Bentuk segi lima sama sisi pada lambang kabupaten

Lamongan tersebut dan gambar undak bertingkat lima yang

melambangkan sasar negara Pancasila yang merupakan

ideologi pemersatu bangsa Indonesia.

b. Bintang bersudut lima memancarkan sinar kearah penjuru

melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yakni pengakuan

terhadap kelima agama yang menjadi kepercayaan sebagian

besar masyarakat yang ada di Indonesia. Agama tersebut

meliputi Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Khonghucu.

c. Keris yang melambangkan kewaspadaan dan bahwa

Kabupaten Lamongan mempunyai latar belakang sejarah kuno

yang panjang.

d. Bukit atau gunung yang tidak berapi melambangkan bahwa

Kabupaten Lamongan memiliki daerah pegunungan yang di

dalamnya terkandung bahan-bahan yang penting untuk

pembangunan.

e. Ikan Lele melambangkan sikap hidup yang ulet tahan derita,

sabar tetapi ulet, bila diganggu ia berani menyerang dengan

senjata patilnya yang ampuh.

f. Ikan bandeng melambangkan potensi komoditi baru bagi

Kabupaten Lamongan yang penuh harapan di masa depan.

g. Air beriyak di dalam tempayan melambangkan bahwa air

selalu menjadi masalah di daerah ini, di musim hujan terlalu

banyak air dimusim kemarau kekurangan air.

39 Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan tahun 2012.

Page 129: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

114 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

h. Tempayan batu melambangkan tempat air bersih yang dapat

diambil oleh siapapun yang memerlukan dan bahwa daerah

Lamongan memiliki latar belakang sejarah yang panjang.

i. Padi dan Kapas melambangkan kemakmuran rakyat dalam

arti kecukupan pangan, sandang dan lain-lainnya.

Masyarakat Lamongan yang tinggal di sekitar bengawan solo

tidak kekurangan air sebagai sarana irigasi sawahnya. Mereka

memperoleh suplai air sepanjang tahun dari bengawan solo.

Meskipun pada waktu musim kemarau yang panjang. Petani yang

tinggal di sekitar bengawan solo mampu menanam padi lebih dari

sekali dalam setahun. Selain bertani, para petani yang tinggal di

sekitar bengawan solo juga memanfaatkan sarana irigasi untuk

membuat tambak. Pasca dibangunnya Babat Barage yang

merupakan pintu penampungan air bengawan solo yang berada di

desa Kendal Kecamatan Sekaran. Cadangan air di sepanjang

bengawan solo kemungkinan besar tetap tersedia sepanjang tahun.

Berbeda dengan daerah sekitar bengawan solo, wilayah

Lamongan yang terletak di selatan kondisi alamnya tandus. Daerah

ini kurang subur untuk kegiatan bercocok tanam dan tidak

memungkinkan untuk pertambakan. Karena tidak terdapat sungai

besar seperti bengawan solo yang bisa dimanfaatkan untuk membuat

tambak ataupun mengairi sawah sepanjang tahun. Petani di daerah

ini masih mengandalkan sistem tadah hujan untuk mengairi

sawahnya.

Iklim merupakan instrument penting yang menentukan

kegiatan pertanian di wilayah ini. Masyarakat setempat melakukan

aktivitas bercocok tanam dengan menggantungkan iklim. Penelitian

mengenai iklim menjadi salah satu hal penghambat untuk produksi

pertanian dewasa ini harus dilakukan secara terperinci dan cermat,

Page 130: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 115

baik dari segi tempat maupun waktu.40

Fenomena tersebut

disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan.

1. Kondisi Geografis

Secara geografis, Kabupaten Lamongan terletak diantara

6’51’54”-7’23’06” Lintang Selatan dan 112’41”-112’33’12” Bujur

Timur. Lamongan sebagai kawasan yang terletak di utara pulau

Jawa mempunyai beberapa kontur tanah yang berbeda. Sebagian

kawasan pesisir berupa perbukitan. Di bagian tengah terdapat

dataran rendah, di bagian selatan terdapat pegunungan, dan di

bagian utara mengalir bengawan solo.41

Kondisi wilayah Lamongan

secara geografis termasuk daerah yang kurang subur untuk kegiatan

bercocok tanam. Pada waktu musim kemarau kondisi tanah sangat

tandus sekali bahkan sampai mengeras. Ragam tanaman yang cocok

pada waktu musim kemarau adalah yang tidak membutuhkan

banyak air untuk hidup. Tembakau dan jagung merupakan

komoditas tanaman yang menjadi andalan petani pada musim

kemarau.

Tanaman yang mereka kembangkan disesuaikan dengan

kondisi lingkungan serta musim dan intensitas curah hujan yang

turun. Sebab para petani menggantungkan hujan untuk mengairi

sawahnya. Dengan area pertanian yang terbilang luas, komoditas

pertanian yang dihasilkan oleh para petani dari sangat beragam.

Hasil pertanian yang dihasilkan juga tergantung dengan musim

panen. Berikut ini adalah tabel luas tanah menurut komoditas yang

dihasilkan.

Wilayah Lamongan terbagi menjadi beberapa sub daerah

pertanian atau pemukiman yang meliputi tanah sawah, tanah kering,

tanah bangunan atau pekarangan. Beberapa tanah tersebut memiliki

luas wilayah yang berbeda-beda dan dipengaruhi oleh luas tanah

40 Jurgen Hohnholz, Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan

(Jakarta: PT Karya Unipress, 1986), 36. 41 Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan tahun 2012.

Page 131: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

116 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

yang digunakan dalam kegiatan bercocok tanam atau pembangunan

pemukiman. Untuk mengetahui luas wilayah tanah menurut jenis

penggunaannya, harus melihat tabel berikut ini:

Tabel 1.3

Ukuran Jenis Tanah

No Jenis Tanah Luas

1 Lahan Pertanian Sawah 23%

2 Lahan Non Pertanian 25%

3 Lahan Pertanian non sawah 52%

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan

Kabupaten Lamongan tahun 2011.

Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan untuk

menanam padi dan bersifat lembap. Tanah kering adalah tanah yang

tidak cocok untuk menanam padi karena tidak gambut atau cocok

sebagai penampungan air. Tanah kering digunakan untuk menanam

tembakau, jagung, ubi, ketela rambat dan sebagainya. Tanah

bangunan merupakan tanah yang digunakan untuk membuat tempat

pemukiman atau tempat tinggal. Sedangkan tanah pekarangan

adalah tanah yang digunakan untuk menanam tanaman yang mudah

untuk tumbuh. Tanah pekarangan umumnya terletak di dekat rumah

atau dikebun.

2. Sistem Mata Pencaharian Penduduk

Mayoritas penduduk Lamongan bekerja sebagai petani serta

nelayan. Mereka menggantungkan hidup dari kegiatan mengolah

sawah dan mencari ikan. Selain bekerja pada kedua sector tersebut,

masyarakat Lamongan juga banyak yang bekerja sebagai pedagang

kecil dan sektor lainnya. Mereka biasanya membuat toko pracangan

atau toko kecil yang menyediakan aneka kebutuhan rumah tangga

dan pupuk pertanian. Mereka menjual barang-barang tersebut karena

Page 132: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 117

sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang di dominasi oleh para

petani.

Kondisi pertanian yang terletak di daerah yang masih

mengandalkan musim menjadi sebab yang mengakibatkan para

petani menanam tanaman dengan menyesuaikan musim. Intensitas

curah hujan mempengaruhi ragam tanaman yang dikembangkan.

Pada musim kemarau mereka menanam tanaman yang tidak

membutuhkan banyak air. Tembakau merupakan alternatif bagi

petani untuk dikembangkan pada musim kemarau. Namun pada

musim penghujan, para petani menanam tanaman yang

membutuhkan banyak air. Sebagai contoh, mereka menanam padi

yang menjadi komoditas unggulan bagi para petani. Meskipun

demikian, terdapat masyarakat Lamongan yang masih mencari kerja

sebagaimana yang terdapat dalam table berikut:

Table 1.4

Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar

Menurut Jenis Kelamin tahun 2011

No Bulan Laki-laki Perempuan Total

1 Januari 108 79 187

2 Februari 66 38 104

3 Maret 59 41 100

4 April 41 38 79

5 Mei 55 40 95

6 Juni 90 75 165

7 Juli 153 101 254

8 Agustus 55 51 106

9 September 82 75 157

10 Oktober 142 63 205

11 November 78 50 128

12 Desember 93 33 126

Total 1.022 684 1.706

2010 2.374 2.109 4.483

Page 133: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

118 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

2009 2.374 2.109 4.483

2008 4.686 5.356 10.042

2007 4.071 2.757 6.828

2006 2.619 1.390 4.009

Sumber: Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmograsi

Kabupaten Lamongan tahun 2011.

Masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang

tinggal disebuah pedesaan hampir seluruhnya bekerja dalam peasant

communities dengan bekeja sebagai petani dengan berorientasi

menjadi pegawai negari (kebudayaan priyayi) di kota-kota

administratif.42

Begitu juga masyarakat Indonesia khususnya

masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pesisiran mayoritas bekerja

sebagai nelayan yang masuk dalam kategori fishing communities.

Para antropolog seharusnya membedakan satu kesatuan masyarakat

berdasarkan pada mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi

mereka berdasarkan pada beberapa kategori:43

1. Masyarakat berburu dan meramu (hunting and gathering

societies)

2. Masyarakat peternak (pastoral societies)

3. Masyarakat peladang (societies of shiffing cultivators)

4. Masyarakat nelayan (fishing communities)

5. Masyarakat petani pedesaan (peasant communities)

6. Masyarakat perkotaan kompleks (complex urban societies)

Mayoritas para penggarap sawah di Lamongan adalah orang

tua yang sudah berusia lanjut. Para pemuda lebih suka merantau

42 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2009), 220. 43 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2009), 217.

Page 134: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 119

keluar daerah daripada bekerja menjadi seorang petani. Motivasi

yang menyebabkan mereka merantau juga terkadang belum jelas.

Entah itu karena alasan gengsi maupun beratnya pekerjaan sebagai

seorang petani dengan hasil yang tidak sesuai dengan biaya yang

dikeluarkan.

Sedangkan para pemuda di Lamongan kebanyakan enggan

untuk melakukan pekerjaan sebagai seorang petani. Mereka

beranggapan bertani merupakan pekerjaan kasar dan berat serta

membutuhkan banyak tenaga. Namun hasil yang diperoleh tidak

sesuai dengan banyaknya modal yang dikeluarkan. Pada saat ini

jarang sekali pemuda yang mau bekerja sebagai petani. Meskipun

diantara mereka ada yang memiliki tanah garapan untuk kegiatan

bercocok tanam.

Konteks sosial dalam sistem pembagian kerja suatu

masyarakat kemudian melatarbelakangi munculnya konsep teori

solidaritas Emile Durkheim. Mekanisme pembagian kerja dalam

suatu masyarakat dapat memicu integrasi dan disintegrasi sosial.44

Dalam banyak contoh diferensiasi ekonomi dianggap sebagai

ancaman bagi struktur sosial yang bersifat tradisional dan sistem

solidaritas.45

Kalangan antropolog dan sosiolog masih

mempersoalkan apakah konsep-konsep, teori-teori, dan metodologi

ilmu ekonomi dapat diterapkan pada masyarakat non-industri.

Para ahli membagi dalam dua pendapat yang sebagian

menyatakan setuju sedangkan yang lain tidak sependapat. Firth

termasuk golongan ahli antropologi ekonomi yang menyatakan

bahwa pada dasarnya semua manusia sama dan terbebas dari kondisi

44 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta

Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 13. 45 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does

Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.

4 (July 2010), 609-641.

Page 135: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

120 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

tempat. Manusia dalam masyarakat sederhana, masyarakat

pedesaan, dan masyarakat industri mempunyai kesamaan terhadap

rangsangan-rangsangan ekonomi.46

Fragmentasi sistem kekerabatan masyarakat desa yang mata

pencahariannya ditentukan oleh kondisi geografis. Ekosistem

masyarakat holtikultura berpengaruh pada bentuk kerja sama

diantara penduduknya sesuai dengan konteks lingkungan.

Komponen suatu masyarakat akan menghimpun beberapa handai

taulannya untuk membantu mereka dalam kegiatan bercocok tanam.

Tipologi kerja sama secara gotong royong merupakan bentuk

simbiosis mutualisme. Yakni kedua belah pihak mempunyai inisiatif

serta empati yang di implementasikan dalam bentuk kooperasi agar

menguntungkan satu sama lain. Perintah untuk kerja sama guna

menguntungkan satu sama lain dijelaskan dalam Al-Quran sebagai

berikut:

قوى البر على وت عاونوا ث على ت عاونوا ول والت ]2/املائدة[ والعدوان ال

Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Ma’idah : 2).

47

Pendekatan transaksional dalam sistem kerja sama dimulai

dengan menggariskan struktur kalkulasi ekonomi dan sistem

peralihan. Selanjutnya mengidentifikasi jenis-jenis transaksi yang

berhubungan dengan membandingkan dengan penduduk lain.

Antropolog sosial telah mulai sejak usaha Malinowski (1922) dan

lain-lain. Mereka mempunyai keinginan untuk menganalisa

bagaimana sistem yang demikian dipertukarkan dalam masyarakat

46 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: Uinversitas

Indonesia Press, 2010), 174. 47 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya:

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul (Bandung: Al-Hilal, 2010), 106.

Page 136: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 121

agraris.48

Usaha ini mereka lalukan untuk menghitung untung rugi

dalam mekanisme cara kerjanya dalam mengelola sawah secara kerja

sama (cooperation). Efisiensi waktu dan biaya menjadi sebuah

motivasi yang pada akhirnya mengkonstruk model dialektika kerja

secara objektivikasi.

Minimnya difusi arus modernisasi pra-internalisasi termasuk

faktor lain yang menjadikan mereka mempunyai kepedulian sosial

yang kuat. Pada acara tertentu masyarakat desa akan bahu membahu

secara gotong royong dalam mencapai sebuah goal. Masyarakat desa

hidup secara paguyuban yang mengandalkan mata pencahariannya

dengan mengelola alam termasuk cause yang pada akhirnya

mengakibatkan mereka memiliki sebuah korelasi solidaritas yang

kuat.

3. Tingkat Pendidikan Masyarakat

Perkembangan dalam bidang pendidikan suatu daerah dapat

diketahui melalui sarana pendidikan, jumlah murid dan guru.

Adapun sekolah Taman Kanak-Kanak atau TK yang berstatus

negeri hanya ada dua. Masing-masing terdapat di Lamongan kota

dan yang lain di kecamatan Ngimbang. Pemerintah Lamongan

berupaya untuk meningkatkan pendidikan bagi semua lapisan

masyarakat. Termasuk bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus

dengan mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan jenjang

SDLB, SMPLB dan SMALB.

Tingkat pendidikan masyarakat Lamongan sangat beragam

sesuai dengan kemampuan mereka dalam melanjutkan studi. Sarana

dan prasarana yang terdapat di Lamongan masih terbilang belum

memadai. Hal ini disebabkan karena pembangunan di Kabupaten

48 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development

(London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim

Penerjemah Bina Aksara, Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: Bina Aksara,

1987), 148-149.

Page 137: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

122 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Lamongan masih dalam perencanaan. Adapun jumlah murid yang

terdapat di Lamongan sesuai dengan tingkatannya dapat dilihat

dalam tabel berikut:

Tabel 1.5

Jumlah Murid di Sekolah

No Nama Sekolah Jumlah

1 SD Negeri 62.022

2 SD Swasta 2.552

3 SMP Negeri 26.202

4 SMP Swasta 397

5 SMU Negeri 8.541

6 SMU Swasta 10.029

7 SMK Negeri 3.282

8 SMK Swasta 16.225

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan tahun 2011.

Tipologi pendidikan masyarakat Lamongan di pedesaan pada

umumnya masih berorientasi pada pengelolaan tanah dan sumber

daya alam serta pada aspek spiritual dan moral. Bukan berorientasi

pada dunia usaha atau menciptakan lapangan pekerjaan

sebagaimana mindest dan budaya masyarakat perkotaan.

Masyarakat agraris mayoritas menggantungkan kehidupannya dari

pertanian. Tanah dibersihkan dan semua ditanami dengan tanaman-

tanaman baru yang mempunyai nilai jual dan dibersihkan dengan

menggunakan alat bajak untuk menggantikan tanaman yang baru.

Curah hujan juga berpengaruh pada kehidupan pertanian suatu

masyarakat.49

Pola kehidupan masyarakat pedesaan yang masuk dalam

kategori holtikultura mengelola ladang dengan ukuran kecil. Namun

49 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap

Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 98.

Page 138: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 123

masyarakat pertanian mengelolanya dengan ukuran besar dengan

menggunakan teknologi canggih dan alat pembajak.50

Kultur

masyarakat desa yang masih bergantung pada sektor pertanian dan

persawahan. Terkadang membuat pola pikir mereka masih monoton

dan susah untuk merubah mindset untuk membuka usaha.

Masyarakat Lamongan yang ingin melanjutkan jenjang

pendidikannya di universitas negeri biasanya memilih meninggalkan

Lamongan. Mereka biasanya memilih kampus-kampus negeri yang

terdapat di Jawa Timur seperti di Surabaya dan Malang. Terdapat

pula mahasiswa Lamongan yang menjadikan Jogja dan Jakarta

sebagai tujuan berikutnya. Kedua kota pelajar ini menjadi pilihan

ketika tidak menemukan jurusan sesuai di perguruan tinggi di Jawa

Timur. Sebagai kota kecil di Jawa Timur, Lamongan mempunyai

beberapa perguruan tinggi swasta. Adapun kampus swasta yang

terdapat di Lamongan dapat dilihat dari beberapa tabel dibawah ini.

Tabel 1.6

Jumlah Kampus Swasta di Lamongan

No Nama Kampus Dosen Mahasiswa Rasio

1 UNISLA 142 4.774 34

2 UNISDA LAMONGAN 101 3.512 35

3 AKPER LAMONGAN 48 280 6

4 ASTIKIP PGRI LAMONGAN 24 225 9

5 STIE KH AHMAD DAHLAN 21 377 18

6 STIKES MUHAMMADIYAH 93 1.309 14

7 STIT AL-FALAH 20 460 23

8 STAIM 34 133 4

9 STAI SUNAN DRAJAT 26 216 8

10 STIT MUHAMADIYAH 18 89 5

11 STIE MUHAMADIYAH 21 119 6

50 Syamsir Salam, Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami Konsep-

Konsep Sosiologi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 40.

Page 139: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

124 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

13 Akademi Komunitas Negeri

Lamongan

- - -

Jumlah 568 11.574 21

2010 548 11.949 21

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan tahun 2011.

Setiap kelompok masyarakat mempunyai sistem pranata

secara formal dan informal yang diselenggarakan melalui berbagai

bentuk komunikasi sosial. Dalam masyarakat Jawa, pendidikan

humaniora mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-

pernyataan yang simbolik merupakan bagian integral dari sistem

budaya.51

Awal tahun 1920-an, beberapa ahli antropologi amerika

mulai tertarik untuk mengkaji hubungan antara kebudayaan dengan

kepribadian. Fokus dalam kajian mereka adalah bahwa lingkungan

kanak-kanak akan membawa pengaruh dalam pembentukan dan

kedewasaan seorang anak.52

Para ahli ilmu sosial sampai sekarang banyak yang sependapat

bahwa kualitas manusia tidak hanya diukur dengan keilmuan dan

keahlian semata. Tetapi juga dari kualitas moral dan dan

kepribadian untuk mengembangkan kehidupan.53

Keluarga

mempunyai fungsi untuk mempersiapkan anak didiknya, seorang

ayah bertugas sebagai kepala rumah tangga guna mencari

kehidupan.54

Kiranya tidak salah bilamana ada ungkapan dari kitab

Dur<atu>n an-Na<sihi>n yang menyatakan bahwa etika dan moral

51 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogyakarta, 1999), 37. 52 T.O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2006), 62. 53 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37. 54 Syamsir Salam, Mengerti Sosiologi Pengantar Memahami Konsep-

Konsep Sosiologi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 132.

Page 140: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 125

dibentuk di sebuah pedesaan. Sedangkan pengetahuan dan

keterampilan dibentuk pada sebuah perkotaan besar.

Secara teoritik dan empiris, pendididikan merupakan sarana

yang sangat fungsional dalam upaya pembentukan manusia yang

berkualitas. Yakni mampu secara mandiri dan memberikan

dukungan bagi perkembangan masyarakat, dan berpengaruh dalam

peningkatan mutu kehidupan masyarakat.55

Pendidikan juga

diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi terhadap

perkembangan ekonomi nasional.

Menurut Spencer dan Madinus (1974), metode pengasuhan

anak masyarakat desa lebih konservatif dan otoriter, hal ini

disebabkan oleh perilaku tradisional yang sangat memegang peranan

dalam mempersiapkan anak dalam menuju kedewasaan. Orang tua

hanya mengajarkan pengalaman yang telah dialaminya kepada anak-

anaknya.56

C. Kondisi Sosial Masyarakat Lamongan

Kondisi sosial masyarakat Lamongan pada saat ini merupakan

tahap peralihan dari tradisional menuju modern. Kebanyakan para

warga masih mempunyai tradisi tolong menolong diantara sesama.57

Jika dalam sebuah keluarga atau ada orang yang kesusahan. Maka

para warga akan membantu keluarga tersebut. Hal ini terlihat dari

kuatnya solidaritas diantara mereka untuk tolong menolong

terhadap orang yang terkena musibah. Sebagian masyarakat desa ini

juga memiliki sikap yang ramah terhadap orang lain. Sopan santun

juga menjadi hal yang sangat penting bagi para penduduk di desa

ini. Jika seseorang tak memiliki sopan santun. Warga

55 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 162. 56 Nanaf Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:

Gunung Djati Press: 1999), 33. 57 Wawancara dengan Bpk Mustari kepala Desa tanggal 17 Juli 2014.

Page 141: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

126 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

menganggapnya sebagi orang yang tidak berpendidikan. Meskipun

orang tersebut mampu meraih prestasi dalam bidang akademisi.

Beberapa sosiolog menyatakan bahwa perubahan sistem mata

pencaharian masyarakat dapat diidentifikasi melalui beberapa

faktor. Pertama dalam hal perubahan struktural mata pencaharian

(apa dan bagaimana mata pencaharian). Kedua, dalam hal konteks

geografis dimana mata pencaharian dikejar (yang mana mata

pencaharian). Ketiga, dalam hal konteks sosial, budaya, ekonomi

dan lingkungan atau dasar-dasar dari penghidupan yang dikejar

(mengapa mata pencaharian demikian). Masing-masing aspek desa,

studi telah mengalami perubahan yang tampaknya menjadi lebih

lebih dari inkremental.58

Tradisi gotong-royong masyarakat mulai luntur seiring

dengan berkembangnya modernisasi dan kompetisi ekonomi. Hanya

sebagian kecil masyarakat Lamongan yang masih meneruskan

tradisi gotong-royong. Mereka umumnya tinggal di daerah

pedesaaan yang terletak di pedalaman. Kebiasaan gotong-royong

terlihat dalam kegiatan bercocok tanam pada musim tanam maupun

musim panen.

Sebagai remunerasi keluarga yang merasa dibantu

memberikan dan menyiapkan makanan. Istilah kegiatan yang

demikian dalam bahas Jawa dikenal dengan ngirim yang bermakna

memberikan makanan bagi para pekerja di sawah. Simbiosis

mutualisme pada masyarakat desa mempunyai filosofi secara laten

berupa penerapan nilai-nilai kegotongroyongan dan kepedulian

terhadap sesama. Pekerja di sawah bekerja dengan semangat ketika

sebuah keluarga memberikan imbalan yang layak. Tindakan yang

demikian merupakan bentuk manifestasi sebagai rasa terima kasih

58Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and Piyawadee

Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking Rural lives in Central

Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008),

355-381.

Page 142: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 127

yang terhadap keluarga yang memberikan pengertian atas kerja

kerasnya. Keluarga yang mempunyai rasa empati yang

tinggimemberikan makanan kepada para pekerja sehari tiga kali.

Tindakan demikian dimaksudkan sebagai sebuah pengejawantahan

serta sarana dalam mengimplementasikan kedermawanan.

Adapun waktu memberikan makan pada para kuli-kuli di

sawah tidak hanya sekali pada waktu pagi, melainkan siang dan sore

hari. Makanan yang mereka berikan ada waktu pagi adalah nasi

yang lengkap dengan lauk pauknya sebagai sarapan untuk

menambah tenaga bagi para pekerja. Pada waktu siang hari para

buruh sawah pulang dan makan siang di rumahnya masing-masing.

Mereka tidak membutuhkan makan banyak pada waktu siang hari,

yakni sebatas makanan ringan sebagai bahan camilan. Namun pada

sore hari, para pekerja mendapatkan makan sore berupa nasi lengkap

dengan lauk-pauknya. Buruh yang tidak mau ikut makan

membungkus makanan dengan menggunakan daun pisang atau daun

jati. Istilah yang demikian dalam bahasa Jawa dikenel dengan

sebutan mbuntel atau membungkus makanan untuk dibawa pulang

ke rumah.

Implementasi masyarakat gemeinschaft dalam bentuk gotong

royong tidak hanya pada musim tanam. Menjeleng musim penen,

masyarakat desa masih melakukan kegiatan yang demikian secara

paguyuban dengan bekerja sama satu sama lain. Model gotong

royong yang dalam bentuk kepekaan sosial merupakan manifestasi

nilia-nilai kekeluargaan yang diajarkan oleh orang tua mereka.

Sebagai perumpamaan menjelang musim panen tembakau yang

mereka tanam pada musim kemarau. Para pemuda memberikan

bantuan secara sukarela tanpa menunggu perintah dari orang tuanya

atau tetangga yang mengalami kesulitan.

Internalisasi nilai-nilai kepedulian sosial diantara masyarakat

desa mereka eksternalisasikan tidak hanya terbatas dalam sektor

agraris. Ketika suatu keluarga megalami musibah, para tokoh

Page 143: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

128 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

masyarakat menyiarkan kepada seluruh penduduk desa. Tindakan ini

dilakukan agar warga sejenak menghentikan aktivitasnya di sawah

dan mendatangi keluarga yang bersangkutan. Tokoh masyakat

menyiarkan sebagai upaya untuk menghimpun warga di rumah

penduduk yang mengalami musibah. Secara sukarela mereka

berdatangan kerumah warga yang mengalami musibah sambil

membawa beras beberapa kilo. Istilah ini dalam bahas Jawa di kenal

dengan sebutan nylawat atau yang lebih populer ngelayat.

Menjelang musim kemarau, para petani menanam tanaman

yang tidak membutuhkan air dalam skala besar. Mereka mensiasati

kondisi demikian dengan diversitas tanaman yang tidak

membutuhkan banyak air sesuai dengan intensitas hujan. Berbeda

dengan daerah yang mempunyai sarana irigasi yang lancar serta

melimpah sepanjang tahun. Perubahan cuaca dan iklim tidak

memberikan efek yang intens bagi ragam tanaman yang hendak

dikembangkan di sawah.

Ragam jenis tanaman dapat mereka tanam sepanjang musim

tanpa mengenal kondisi cuaca pada masa itu. Istilah pekarangan

dalam masyarakat Jawa merupakan area yang terletak di dekat

rumah. Sawah tadah hujan hanya mampu untuk ditanami padi

setahun sekali.59

Tanah dibersihkan dengan menggunakan alat bajak

untuk menggantikan tanaman yang lama serta semua ditanami

dengan tanaman-tanaman baru yang mempunyai nilai jual. Kontek

curah hujan juga berpengaruh pada kehidupan pertanian suatu

masyarakat.60

Sebagian besar penelitian menyimpulkan curah hujan

digunakan untuk mengidentifikasi jenis tanaman dalam lingkungan

yang didominasi oleh daerah pertanian tadah hujan. Pendekatan

59 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,

2009), 59 60 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap

Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 98.

Page 144: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 129

yang berbeda menentukan banyak variasi dalam pola curah hujan,

tetapi sejauh mana petani dapat secara efektif memprediksi pola

curah hujan datang. Petani di Burkina Faso menggunakan berbagai

instrumen untuk meramalkan turunnya hujan.61

Berbeda dengan masyarakat Lamongan yang berdomisili di

pedalaman. Kehidupan materialisme telah menjadi fenomena sosial

sebagian besar masyarakat Lamongan saat ini. Kompetisi dalam

membangun rumah serta akumulasi kekayaan menjadi pemandangan

umum saat ini. Masyarakat yang mempunyai keterbatasan dalam

pencapaian ekonomi bahkan melakukan cara yang tidak biasa

dilakukan oleh masyarakat pedesaan.

Menjelang lebaran, terlihat sebuah pemandangan di beberapa

rumah berjejeran mobil sebagai upaya meningkatkan status sosial.

Kekayaan ini serta bukan karena pencapaian mereka selama di

perantauan. Melainkan karena sengaja meminjam sebagai sebuah

upaya dalam memamerkan kekayaannya di masyarakat.

Pengguanan alat-alat tradisional memberikan efek yang intens

tidak hanya terhadap produktivitas komoditi pertanian. Lamanya

waktu untuk membajak sawah dengan melibatkan banyak tenaga

membuat masyarakat desa saling bergotong-royong (cooperation)

dalam sistem pertanian. Kondisi ini terjadi pada masa tanam dan

pada masa panen yang dipengaruhi oleh keadaan musim sesuai

intensitas curah hujan. M.J Herskovits menyatakan bahwa

masyarakat adalah kelompok individu yang di organisasikan dengan

mengikuti cara hidup tertentu.62

Organisasi desa sebagai kelompok

di tingkat desa secara resmi diselenggarakan dengan status hukum.

Kasus ini membedakan mereka dari banyaknya lembaga desa

61 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does

Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No.

4 (July 2010), 609-641. 62 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,

2012), 137.

Page 145: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

130 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

tradisional yang tidak memiliki status hukum. Peran tekanan sosial

organiasasi masyarakat pedesaan perlu dipertimbangkan.

Struktur kerja secara cooperation secara tidak langsung

mengikat penduduk desa dalam sebuah konsensus. Ikatan yang

dikonstruk oleh masyarakat pedesaan umumnya dalam tipologi

solidaritas mekanik berdasarkan homogenitas profesi dalam sistem

mata pencaharian. Mayoritas penduduk desa memilih profesi

menjadi seorang petani yang masuk kategori masyarakat

holtikultura. Klasifikasi yang demikian mengelompokkan mereka

dalam kategori pesant communities. Berbeda dengan masyarakat

yang berada di daerah pesisiran yang didominasi oleh nelayan

dengan sistem peralatan hidup erat kaitannya dengan aktivitas

mencari ikan. Konteks kondisi geografis suatu masyarakat pada

kasus tertentu mengklasifikasikan sistem mata pencaharian

penduduknya. Pekerjaan sebagai nelayan yang merupakan sistem

mata pencaharian masyarakat pesisiran pada akhirnya menempatkan

mereka dalam klasifikasi fishing communities.

Tren membangun rumah mewah, khususnya yang

menggunakan semen dan bata sekarang ini menjadu sebuah

pemandangan yang umum di Lamongan. Fakta sosial ini berbeda

pada tahun 90-an ketika masyarakat Lamongan masih menjunjung

nilai-nilai gotong-royong dan kesederhanaan. Pada saat ini, sangat

sedikti sekali menemui rumah yang masih terbuat dari kayu di

Lamongan. Meskipun dari nilai nominal, harga kayu lebih mahal

dari batu bata.

Masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan dalam

akumulasi ekonomi guna membangun rumah senantiasa bersikap

askesis. Tindakan ini dilakukan sebagai sebuah uapaya untuk

menunjukan sikap kesederhanaan di tengah-tengah masyarakat yang

lagi menggandrungi dunia. Sementara masyarakat yang tidak puas

dengan kehidupannya senantiasa mengeluarkan kata-kata yang

tegas. Terdapat sebuah ungkapan bagi masyarakat yang demikian

Page 146: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 131

“omahku ditembok rayap” adalah sebuah ungkapan ketika seseorang

masih mepunyai rumah kayu ketika para tetangganya mempunyai

rumah tembok dari batu.

Beberapa pernyataan di atas menjelaskan bahwa kebudayan

tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Lebih

jauh lagi, perubahan kebudayaan menghasilkan pluralitas yang

semakin melebar dan juga sebaliknya. Terjadinya perubahan

kebudayaan juga mampu menghasilkan sebuah pola hidup yang

tidak dikenal kemudian menjadi sebuah kebiasaan yang belaku

dalam sebuah masyarakat yang dijadiakan pedoman hidup secara

bersama. Perubahan kebudayaan dalam perkembangannya

menghasilkan sebuah dampak yang berupa:63

1. Perubahan Progress

Merupakan perubahan yang menuju pada perbaikan. Dalam

artian suatu kebudayaan lebih maju lagi atau lebih canggih.

Perubahan ini mampu membawa dampak positif bagi sauatu

masyarakat. Contoh penggunaan teknologi canggih untuk

memudahkan kehidupan. Perubahan ini membawa dampak yang

negatif bagi kehidupan masyarakat Lamongan.

2. Perubahan Regress

Adalah perubahan yang membawa suatu kebudayaan pada

tatanan kemundurannya. Hal ini ditandai dengan semakin

banyaknya kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk perubahan ini

adalah berkurangnya nilai gotong royong dan kebersamaan diantara

masyarakat.

Meskipun terjadi perubahan sistem kebudayaan dalam

masyarakat akibat kontak dengan budaya lain. Suatu sistem sosial

tetap terangkai menjadi sebuah sekumpulan sistem bilamana

dijalankan oleh beberapa orang. Kata sosial dalam korelasi dengan

63 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Relasi Antara

Manusia (Yogyakarta: Jalasutra 2009), 194.

Page 147: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

132 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

sistem sosial merupakan sebuah kata yang mempunyai makna lebih

dari satu orang. Dengan demikian, sistem sosial merupakan sebuah

wadah atau sarana untuk berinteraksi sosial dalam pergulatan

hidup.64

Susunan golongan satu kota terutama ditentukan oleh fungsi

ekonominya yang kemudian berpengaruh pada struktur sosialnya.

Dengan adanya kota tiga golongan masyarakat dapat dilihat secara

jelas. Golongan pertama adalah pegawai dan mereka yang meniru

cara hidup pegawai (guru, dokter, dan sebagainya). Golongan kedua

adalah pedagang (wong dagang), diantaranya yang di dominasi oleh

kalangan santri. Golongan yang terakhir adalah golongan “orang

kecil” (wong cilik), yang terdiri dari buruh, pelayan rumah tangga

dan orang yang tidak mempunyai pekerjaan.65

Jika mengunjungi desa ini, jarang ditemukan pemuda yang

terlihat. Sebab sebagian besar mereka kebanyakan pergi

meninggalkan kampung halamannya. Kegiatan yang paling

mendominasi desa ini adalah kegiatan keagamaan. Jarang sekali

kegiatan sosial yang terlihat. Sedangkan mengenai kegiatan

keagamaan yang ada di Lamongan terbilang aktif karena

kebanyakan para remajanya banyak yang tidak mempunyai

kesibukan selain bersekolah dan mengaji. Para pemuda yang masih

sekolah juga terkadang suka nongkrong di masjid atau pinggir jalan.

Dalam segi budaya masyarakat Lamongan masih sangat

kental dengan budaya pedesaan yang moderen. Kaum muda yang

pergi merantau kebanyakan membawa tradisi modern dan bergaya

perkotaan. Jika mereka pulang mereka lebih suka menggunakan

logat kota daripada logat pedesaan Lamongan. Dari latar belakang

64 Trianto, Dimensi Transedental dan Transformasi Sosial Budaya, (Jakarta:

Lintas Pustaka Publisher, 2008), 53. 65 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The

Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,

Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 87-88.

Page 148: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Gambaran Umum Masyarakat Lamongan I 133

budaya, dapat dilihat aspek budaya dan sosial yang berpengaruh

dalam kehidupan masyarakat. Kasmiran Wuryo Suryadi (1985:16)

berpendapat bahwa masalah pribadi manusia mengandung tiga unsur

pokok persoalan, yaitu manusia, pribadi dan perkembangannya.66

Efektivitas kiyai dalam kehidupan masyarakat Lamongan masih

memainkan peran utama guna menengahi semua kepentingan

masyarakat yang ada. Peneliti dalam hal ini mengibaratkan kiai

sebagai seorang wasit dalam dunia sepak bola. Seorang wasit harus

bersikap fair dengan tidak memihak salah satu tim yang sedang ikut

berkompetisi.

66 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial : Dinamika Perkembangan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat

Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung

Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 100.

Page 149: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

134 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Page 150: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

135

Bab IV

Migrasi dan Entrepreneurship

Masyarakat Lamongan di Jakarta

A. Motif Migrasi Masyarakat Lamongan ke Jakarta

Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia yang menjadi

pusat pemerintahan dan perekonomian. Sebagai kota metropolitan,

Jakarta pernah menjadi pusat perdagangan VOC ketika menguasai

wilayah Nusantara. Pada awalnya Jakarta bernama Sunda Kelapa

yang kemudian berubah nama Jayakarta dan terakhir menjadi

Jakarta. Disentralisasi pembangunan di Jakarta merupakan faktor

yang menjadi daya tarik bagi para migran di berbagai daerah.1 Kaum

migran dari berbagai daerah di Indonesia sampai saat ini menjadikan

Jakarta sebagai tujuan utama. Tidak semua kaum migran

mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan harapan

mereka.

Diantara mereka ada yang menuai kesejahteraan dan

penghidupan yang lebih baik. Sementara banyak pula pendatang

yang menjadi beban bagi pemerintah ibukota. Migrasi massif

masyarakat ke Jakarta meningkat terutama pasca lebaran. Keluarga

yang telah lama tinggal di Jakarta akan membawa sanak saudaranya

untuk mengadu nasib di ibukota. Tingkat kepadatan penduduk akan

mengalami kenaikan yang cukup drastis pasca lebaran.2 Sementara

1 Michael Malley, “Indonesia: Violence and Reform Beyond Jakarta,”

Institute of Southeast Asian Studies Affairs (2001), 159-174. 2 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of

Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September

2002), 119-136.

Page 151: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

136 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

menjelang musim lebaran dan liburan, kondisi Jakarta akan terasa

sepi dan lengang karena ditinggal mudik oleh penduduknya.

Mayoritas penduduk Jakarta adalah kaum migran yang datang dari

berbagai daerah.

Kehidupan yang keras dan penuh dengan kompetisi dalam

multi bidang tidak menjadi hambatan bagi kaum migran. Dengan

tekad yang kuat, mereka menjadikan Jakarta sebagai destinasi

utama untuk memperbiki kehidupannya. Perputaran ekonomi dalam

skala besar di Jakarta disertai dengan banyaknya jenis pekerjaan

telah menjadi pertimbangan dan motivasi bagi kaum migran.

Mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan

skill dan potensinya di ibukota. Tergantung dengan kemampuan dan

keahlian yang dimiliki. Masyarakat yang berpendidikan tinggi dan

mempunyai keahlian yang memadai tidak akan mengalami banyak

hambatan dalam mencari pekerjaan. Sementara masyarakat yang

tidak mempunyai skill yang memadai akan menjadi kaum yang

termarjinalkan dan menempati daerah kumuh di pinggiran kota.

Pendatang yang termarjinalkan di ibukota akan memberikan

peluang meningkatnya jumlah kriminalitas. Penurunan jumlah

tenaga kerja menyebabkan kejahatan yang dilakukan kelompok

marjinal yang menuruti gaya hidup. Hancock (2006), menyarakan

beberapa kausus seperti tunawisma dan orang muda akan menyewa

tempat terlebih dahulu. Komposisi sosial masyarakat dalam kota

dengan cara yang tidak hanya melemahkan cita-cita komunitarian

retoris, tapi mempromosikan intoleransi. Pernyataan kebijakan

nasional dan lokal menekankan keuntungan yang akan diperoleh

untuk semua lapisan masyarakat.3

Slogan yang pernah dikampanyekan oleh pemerintah “siapa

suruh datang ke Jakarta” tidak menjadi alasan yang menghambat

3 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance

Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,

2007), 80.

Page 152: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 137

datangnya arus mobilisasi kaum migran di seluruh Indonesia.

Jakarta bagi sebagain besar masyarakat migran merupakan destinasi

utama daripada kota-kota lain di Indonesia. Banyaknya kaum

migran yang terkonsentrasi di Jakarta pada akhirnya membuat

ibukota Republik Indonesia ini menjadi kota terpadat pertama di

Indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih sembilan juta jiwa.

Kaum migran mempunyai anggapan bahwa fasilitas dikota

lebih lengkap daripada hidup di daerah terisolasi yang sulit untuk

meningkatkan kemakmuran rumah tangga. Sebagai bagian dari

upaya pemerintah dalam menatapkan kebijakan yang berbeda.

Kebijakan di perkotaan lebih terlihat yang bersaing dengan

pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan. Buruh dari berbagai

lapisan mengalami kekhawatiran atas sosial inklusi menandai

perubahan kebijakan dari pemerintah sebelumnya.4

Kehidupan di Jakarta yang kumuh dan penuh dengan

kemacetan menjadi sebuah pekerjaan rumah tangga pemerintah.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna memperbaiki

situasi dan kondisi yang terdapat di Jakarta. Diantaranya dengan

mencanangkan berbagai macam program pembangunan untuk

mengatasi kondisi yang demikian semrawut. Bagi kaum migran

yang mempunyai motivasi merantau yang tinggi, tidak menjadikan

problem demikian sebagai hambatan memperbaiki kehidupan.

Mereka senantiasa menjadikan hambatan sebagai sebuah tantangan

yang harus dihadapi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi.

Dalam karya magisterialnya tentang kota miskin di Afrika,

John Iliffe (1987) menekankan bahwa dimensi kunci tentang orang

miskin adalah bahwa mereka tinggal di perkotaan dalam waktu

lama. Kemiskinan tampaknya menjadi sebuah dimensi kehidupan

4 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance

Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,

2007), 17.

Page 153: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

138 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

perkotaan yang keras.5 Migrasi masyarakat pedesaan pada awalnya

dipengaruhi oleh motivasi untuk meningkatkan kehidupan ekonomi.

Metode untuk mengobservasi interaksi yang terjadi dalam suatu

masyarakat. Pembagian antara tradisional dan modern kadang-

kadang tampil dalam bentuk konseptual pedesaan kota-kota atau

penduduk kota mengenai perubahan sosial.

Redfield (1941-1947), menekankan ciri-ciri utama konsep

masyarakat migran. Konsep Redfield mempunyai kesamaan dengan

apa yang dinamakan Smelser sebagai masyarakat tradisional.

Riedfield menekankan aspek budaya sedangkan Smelser

menekankan pada aspek struktural.6 Sosiolog Martin Murray (2008),

menjelaskan kota metropolis selalu mengalami perubahan yang

karena intensitas kaum urban.7

Perkembangan migrasi dan

pembangunan suatu negara diciptakan secara identifikasi yang

melampaui orang-orang dari daerah desa. Mereka difasilitasi dan

dibina suatu ruang publik secara bersama.8

Achille Mbembe dan Sarah Nuttall (2008), mempertimbang

kan upaya besar selama beberapa dekade lalu di kota-kota Afrika

guna membaca kawasan kota urban. Pilihan Guyer tampaknya aneh

untuk studi perkotaan, mengingat bahwa untuk keseimbangan

pentingnya produktifnya karir. Dia telah merubah lensa antropologi

ekonomi, sejarah, dan hubungan tenaga kerja pedesaan. Dalam

5 Abdou Maliq Simone, “The Urban Poor and Their Ambivalent

Exceptionalities Some Notes from Jakarta,” Current Anthropology on behalf of

University of Chicago Press Wenner-Gren Foundation for Anthropological

Research, Vol. 56, No. S11, ( October 2015), S15-S23. 6 Norman Long, Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: Bina Aksara,

1987), 45. Judul Asli An introduction to the sociology of rural development,

diterbitkan oleh Tavistock Publication Limited, London 1977. 7 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and

Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 14. 8 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance

Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,

2007), 38.

Page 154: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 139

buku-bukunya, mereka mengutip sebagai upaya membaca kota

Afrika ke teori kontemporer dengan membahas literatur yang

berkaitan dengan teori perkotaan. Tapi setidaknya Guyer telah

membuat besar kontribusi untuk studi Afrika selama lebih dari tiga

puluh tahun.9

Jones (1984), menekankan tingkat migrasi yang rendah di

Asia Tenggara selama 30 tahun yang lalu. Fenomena ini masih

menggambarkan kebanyakan orang di wilayah ini tinggal di

pedesaan atau memiliki akar pedesaan dan kontak dengan kota

secara kuat. Fasilitas perkotaan yang lebih lengkap menjadi day

tarik bagi datangnya kaum urban. Di Jawa, pertanian budaya

menyediakan pemasukan yang lebih rendah dari pekerjaan di

kabupaten yang terletak lebih dekat dengan besar kota.10

Rendahnya

manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat pedesaan

menyebabkan mereka bermigrasi ke kota-kota besar. Kesempatan

memperbaiki kondisi ekonomi di kota lebih besar daripada di

pedesaaan.

Kota merupakan bagian dari antropocosmos, perbedaan

terhadap bagian lain dari human settlement adalah didasari oleh

aspek antroposnya, yaitu: karakter manusianya: kegiatan, perilaku,

budaya, dinamika kehidupan, dan sebaginya.11

Roy (2007)

menjelaskan bagaimana proses migrasi tersebut mungkin

9 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and

Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 9. 10 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of

Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September

2002), 119-136. 11 Sugiono Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan

Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2013), 21.

Page 155: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

140 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi

penduduk tempat-tempat ini12

Keanekaragaman perkotaan dalam hal kekayaan, gaya hidup,

pendapatan, agama, dan etnisitas telah menciptakan potensi besar

yang bisa menimbulkan konflik sosial. Penelitian di Merseyside dan

Brixton di London menunjukkan manfaat dari pertumbuhan dan

migrasi ke kota sering gagal yang pada akhirnya meningkatkan

jumlah orang miskin. Perbedaan kelas di kota-kota ditandai dengan

pelebaran kesenjangan ekonomi yang bersinggungan dengan etnis,

ras, agama, dan penanda perbedaan usia.13

Sosiologi dan demografi merupakan dua disiplin ilmu.

Melalui kajian sosiologi kependudukan, seseorang dibimbing untuk

berpikir interdisipliner, ilmiah, analisis, sintesis, dan kritis.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi sosial antara

individu dengan kelompok, struktur sosial, proses sosal, dan

perubahan sosial. Demografi memberikan deskripsi atau data jumlah

golongan, kompisisi dan struktur penduduk.14

Sebagai ilustrasi di

Filipina, Thailand dan Jawa pada emat puluh tahun yang lalu banyak

terdapat pedesaan kecil. Mobilitas penduduk yang cepat disebabkan

kemajuan transportasi dan pembangunan telah merubah kehidupan

masyarakat pedesaan kecil secar dramatis. Dinamika migrasi dan

perubahan komposisi demografi penduduk di berbagi daerah di Asia

Tenggara termasuk kawasan pedesaan adalah karena tuntutan

12 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and

Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 14. 13 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance

Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,

2007), 41. 14 T. Widodo, Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris

Perspektif Sosiologi Kependudukan (Surakarta: Lembaga Pengembangan

Pendidikan UNS, 2011), 14.

Page 156: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 141

kebutuhan ekonomi dan pergeseran sektoral masyarakat dari agrarsi

ke industri.15

Kota di negara Afrika melaporkan dengan beberapa bukti

yang tampaknya seperti asumsi yang masuk akal: banyak sekali

kaum migran Afrika yang tinggal di permukiman informal di kota-

kota dimana informalitas memainkan peran kunci seperti dalam

bidang ekonomi, politik, dan masyarakat. Satu juga dapat cukup

menyimpulkan bahwa ruang lingkup dan proporsi pemukiman

informal dan aktivitas sektor informal bervariasi di kota benua

Afrika. Seperti halnya hubungan antara kegiatan ekonomi

informal.16

Migrasi dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah

merantau. Merantau merupakan fenomena sebagian besar

masyarakat di Indonesia. Budaya merantau identik dengan

masyarakat Minangkabau atau Minang yang dikenal gemar

merantau keberbagai daerah. Ketika memasuki usia remaja

masyarakat Minang akan merantau meninggalkan kampung

halamannya menuju daerah perantauan. Banyak orang beranggapan

bahwa masyarakat Minang merupakan suku bangsa di Indonesia

yang gemar merantau. Hampir di berbagai daerah di Indoesia

teruatama kota-kota besar terdapat masakan Padang yang menjadi

makanan khas Minang. Asumsi peneliti menyimpulkan bahwa

masyarakat Minang tersebar keberbagai daerah di Indonesia.

Diantara faktor yang mendorong masyarakat Minang untuk

merantau dikarenakan adat istiadat yang mengambil garis keturunan

keluarga dari seorang ibu. Istilah demikian lebih familiar dikenal

dengan matrilineal. Dalam sistem adat masyarakat Minang,

kedudukan seorang perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

15 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of

Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September

2002), 119-136. 16 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and

Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 78.

Page 157: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

142 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Yakni dalam status kepemilikan harta pusaka yang di dominasi oleh

seorang istri dan diwariskan secara turun-temurun kepada pihak

perempuan. Seorang laki-laki tidak akan mendapatkan banyak

kekayaan ataupun warisan bilamana tidak merantau ke-daerah lain

untuk mengumpulkan kekayaan dari hasil jerih payahnya selama di

daerah perantauan.

Nilai-nalai dalam suatu masyarakat mempunyai pengaruh

yang lebih besar besar sebagai sebuah kontrol sosial. Dalam

bukunya yang berjudul The Coming Crisis Of Western Sociology

Gouldner mengkritik pemikiran dari Parsons karena pendiriannya

yang tidak kritis dan menerima status quo. Gouldner lebih jauh

mengatakan bahwa kebutuhan manusia tdiak hanya sekedar sebagai

sebuah sistem. Melainkan lebih dari itu yang berupa penanaman

nilai-nilai yang positif untuk mengubah struktur sosial.17

Untuk

mampu bertahan hidup masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhan

kebutuhan dasar tertentu. Kalangan fungsional menyebutnya

sebagai functional prequisities. Antara lain kebutuhan makan

minum, kebutuhan distribusi, transmisi budaya, berkomunikasi dan

reproduksi.18

Selain masyarakat Minang, terdapat beberapa suku lain di

Indonesia yang dikenal suka merantau. Adapaun suku-suku lain

tersebut antara lain: suku Banjar yang berasal dari pulau

Kalimanatan, suku Manado dan Bugis yang berasal dari Sulawesi,

suku Batak yang berasal dari Sumatera, suku Bawean atau Boyan

yang berasal dari pulau Bawean Jawa Timur serta suku Madura yang

berasal dari pulau garam Madura. Kebiasaan bebarapa suku tersebut

untuk merantau disebabkan oleh faktor ekonomi dan kebudayaan

yang melakat pada masyarakatnya.

17 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT

Gramedia, 1988), 52. 18 Amin Nurdin dan Ahmad Bashori. Mengerti Sosiologi Pengantar Untuk

Memahami Konsep-Konsep Dasar, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2006), 35.

Page 158: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 143

Masyarakat Madura merantau biasanya disebabkan karena

kondisi lingkungan yang tandus dan gersang. Kondisi daerah yang

kurang produktif tidak memungkinkan untuk intensifikasi dan

ekstentifikasi pertanian atau perladangan. Guna memperbaiki

kondisi kehidupan, masyarakat Madura kemudian memutuskan

untuk merantau. Kondisi budaya masyarakat Madura yang religius

dengan slogan santrinya kuat pada akhirnya membentuk sebuah

dialektika baru. Seorang dapat meningkatkan status sosialnya di

masyarakat ketika berhasil di perantauan dan mampu

mengumpulkan uang untuk berhaji. Gelar haji adalah kebanggaan

khusus bagi masyarakat Madura.

Suku Sunda dan Jawa mayoritas lebih menetap di daerah

asalnya dan tidak suka merantau. Terdapat sebuah ungkapan yang

menggambarkan masyarakat Sunda dan Jawa secara spesisif dengan

anekdot “makan tidak makan yang penting ngumpul”. Pada

beberapa dekade yang lalu, ungkapan yang demikian memang tepat

untuk menggambarkan pola kehidupan masyarakat Sunda dan Jawa.

Kondisi alam dan budaya yang memadai masih memungkinkan

masyarakat Sunda dan Jawa untuk tetap mencari penghidupan di

kampung halamannya. Pergesaran budaya dan kondisi lingkungan

yang berubah pada akhirnya menyebabkan masyarakat Sunda dan

Jawa merantau sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia.

Masyarakat di Kabupaten Lamongan bisa dijadikan sebuah

ilustrasi untuk menggambarkan pola kehidupan merantau

masyarakat Jawa. Meskipun adat istiadat masyarakat Lamongan

berbeda dengan masyarakat Minangkabau. Tidak mengambil garis

keturunan dari ibu dalam sistem matrilineal sebagaimana

masyarakat Minang di Sumatera Barat. Meskipun struktur perantau

Minangkabau di Jakarta seperti di rantau lainnya bertolak belakang

dengan sistem matrilineal yang ada di kampung halaman mereka.

Sistem masyarakat Minangkabau di Jakarta yang terjadi antara

suami dan istri bersama-sama mengepalai rumah tangga. Tidak ada

Page 159: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

144 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

dominasi yang dilakukan oleh istri terhadap suami sebagaimana

yang terdapat di kampung halaman mereka. Walaupun demikian,

rumah tangga mereka masih meneruskan kewajiban tradisional

dalam memberikan bantuan kepada kerabat mereka yang baru

datang dari kampung. Tradisi demikian pada akhirnya menyebabkan

meningkatnya jumlah perantau yang ada di Jakarta.19

Fenomena merantau telah menjadi kebiasaan sejak lama oleh

sebagian besar masyarakat di Kabupaten Lamongan. Tradisi

tersebut telah berlangsung secara turun-temurun dan tetap

dijalankan sampai sekarang oleh sebagian besar masyarakatnya.

Masyarakat Lamongan mempunyai anggapan tidak akan menuai

suksess bila tidak pergi meninggalkan kampung halaman. Filosofi

yang demikian kemudian diyakini oleh sebagian besar masyarakat

Lamongan dan menjadi sebuah kebiasaan secara turun temurun.

Masyarakat Lamongan yang pergi merantau terkadang pulang

beberapa kali dalam setahun. Namun terdapat juga masyarakat

Lamongan yang tidak kembali ke kampung halamannya dalam

beberapa tahun. Sebagaimana yang terjadi pada orang Kudus yang

pergi meninggalkan Kudus bisa dikatakan sebagai orang Kudus.

Sedangkan orang yang datang ke Kudus bisa dikatakan sebagai

orang Kudus yang mana hal ini berlaku bagi santri. Beberapa

diantara mereka akan kembali ke kampung halamannya pada waktu

lebaran.20

Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia sampai saat ini

masih menjadi tujuan utama migrasi masyarakat Lamongan.

Penegasan kembali dari ruang kota dalam teori sosial kritis sebagai

tujuan utama yang menggambarkan pada interpretasi dari tulisan-

19 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1984), 127. 20 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The

Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,

Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 80.

Page 160: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 145

tulisan para teori perkotaan Henri Lefebvre dan Soja (1989),

peningkatan prestasi kaum migran terletak pada artikulasinya

dengan apa yang disebut dengan “dialektika sosio spasial” dimana

perkotaan merupakan ruang yang menyusun kembali sebagai produk

dari masyarakat yang menjadi tujuan sosial.21

Masyarakat

Lamongan menjadikan Jakarta sebagai destinasi mengembangkan

kehidupan dan memperbaiki kondisi ekonomi. Regenerasi dari

lingkungan yang tertekan pada gilirannya sebagai sebuah strategi

yang diadopsi oleh kelompok yang kurang beruntung dam

bergantung pada perilaku dan gaya hidup yang dianggap

bermasalah.22

Sistem kehidupan yang bebas di Jakarta lebih diminati oleh

masyarakat Lamongan daripada kehidupan yang monoton dengan

kontrol sosial yang ketat. Para pemuda Lamongan menjadikan

kondisi yang demikian sebagai peluang dalam mengembangkan

usaha. Mereka lebih membenci kehidupan yang kontrol sosialnya

ketat daripada kehidupan yang keras.23

Masyarakat Lamongan yang

hidup di Lamongan mempunyai perbedaan dengan yang hidup di

perkotaan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat

Lamongan menjadikan Jakarta sebagai tujuan utama. Faktor

tersebut meliputi kondisi geografis yang terdapat di Lamongan,

faktor sosial budaya yang disebabkan perubahan social, dan faktor

ekonomi.

1. Faktor Kondisi Geografis

Masyarakat Lamongan pada awalnya merantau ke Jakarta

bukan bekerja sebagai pedagang atau penjual soto sebagaimana

yang dapat disaksikan untuk saat ini. Generasi rantau masyarakat

21 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and

Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 24. 22 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance

Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,

2007), 70. 23 Wawancara dengan Khozin (Lamongan November 2014).

Page 161: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

146 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Lamongan ke Jakarta banyak didominasi oleh masyarakat yang

berasal dari pedesaan khususnya yang wilayahnya sangat tandus.

Jarang sekali masyarakat Lamongan yang tinggal di perkotaan

Lamongan yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian

pergi meninggalkan kampung halaman mereka.

Fortier (2005), menjelaskan transnasionalisme Zanzibari

sebagai salah satu konsep umum dari geografi dari transnasional dan

diaspora masyarakat adalah rhizomatic. Yakni suatu jaringan yang

tidak teratur yang saling berhubungan. Dalam geografi ini, milik

mungkin melibatkan kedua lampiran dan gerakan. Hamilton (2007),

menganggap tema ini sebagai “koneksi” dan “mobility” sebagai

bagian dari circulatoriness geosocial dari diaspora masyarakat

Afrika.24

Myers dan Murray (2006), mengembangkan beberapa teori

neoliberal dan informal adalah sektor kewirausahaan.

Para petani hanya mampu menanam padi sekali dalam

setahun, yakni ketika musim penghujan tiba. Karena peranan

keadaan iklim untuk pertanian sangat penting.25

Pada waktu musim

kemarau dimanfaatkan oleh para petani untuk berladang serta

menanami sawahnya dengan tembakau atau tanaman yang tidak

membutuhkan banyak air. Petani yang menanam tembakau pada

musim kemarau menyiasatinya dengan membuat sumur di sekitar

sawahnya. Sumur tersebut biasanya dimanfaatkan airnya untuk

menyirami tembakau yang mereka tanam. Masyarakat Lamongan

mempunyai sebuah ungkapan untuk menggambarkan kondisi

geografis wilayahnya “nek udan kebanjiran, nek ketigo kepanasan”.

Ungkapan ini mempunyai arti ketika musim penghujan kebanjiran

dan ketika musim kemarau kepanasan.26

24 Garth Myers, African Cities Alternative Visions of Urban Theory and

Practice (London: Zed Books Ltd, 2011), 168-169. 25 Jurgen Honhholz, Geografi Pedesaan (Jakarta: PT Karya Unipress, 1986),

35. 26 Wawancara dengan Masdi (Lamongan, 2014).

Page 162: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 147

Tidak bisa dikesampingkan bahwa kondisi geografis turut

berperan serta dalam membentuk diferensiasi budaya.27

Kebudayaan

masyarakat pedesaan tentu berbeda dengan kebudayaan yang ada

dalam masyarakat perkotaan. Portes (1997), Willis (2004) dalam

teori transnationality dapat didefinisikan sebagai status orang-orang

yang bergerak dengan mudah diantara budaya yang berbeda. Kaum

migran kebanyakan sering mengejar ekonomi, politik, dan

kepentingan budaya yang memerlukan kehadiran simultan.

Transnationality masih berlangsung saat beberapa kondisi tidak

membatasi. Gupta dan Ferguson (1992) melihat transnationality

sebagai semacam pengalaman 'bifocal' dimana kaum migran

berpikir baik lokal maupun global, dengan berbagai tingkat

keberhasilan. Riggs (1997), memberikan gambaran kekuatan

modernisasi telah menimpa daerah terpencil yang meresap ke

pedesaan yang berbasis pertanian. Hal itu sebagai sebuah pertanda

bahwa perkotaan telah menyerang pedesaan.28

Masyarakat di Kabupaten Lamongan yang tidak memiliki

sawah untuk bertani atau tambak untuk membudidayakan ikan, akan

mencoba mengadu nasib dengan merantau ke kota-kota besar di

Indonesia seperti Jakarat, Surabaya dan kota-kota besar lainnya

diluar pulau Jawa. Ketiadaan lahan pertanian inilah diantara faktor

utama yang menjadi penyebab perilaku merantau warga Lamongan.

Konsep bekerja keras dan menghindari sikap menganggur menjadi

motivasi utama masyarakat Lamongan ketika merantau. Ketiadaan

sawah menyebabkan mereka merantau daripada masih tetap

menganggur di kampung halamannya.

Para perantau dari Lamongan tidak hanya di dominasi oleh

orang-orang yang tidak mempunyai sawah. Mereka yang memiliki

27 Perkuliahan umum agama dan perubahan sosial oleh Prof. Bambang

Pranowo setiap Senin jam 08.00-10.00 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 Gavin W. Jones, “Southeast Asian Urbanization And The Growth Of

Mega-Urban Regions,” Journal of Population Research, Vol. 19, No. 2 (September

2002), 119-136.

Page 163: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

148 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

tanah garapan untuk bercocok tanam terkadang enggan untuk

memilih profesi sebagai petani. Generasi muda di Lamongan tidak

lagi tertarik bekerja sebagai petani yang mereka anggap akan

menurunkan status sosialnya. Bekerja sebagaia petani secara

matematis dalam pandangan mereka tidak sesuai dengan harapan.

Banyaknya biaya dan tenaga yang harus dikeluarkan untuk bertani

serta minimnya hasil yang didapat ketika musim panen.

Menyebabkan masyarakat Lamongan memutuskan untuk merantau

dengan memilih profesi selain petani. Kondisi alam yang tandus

serta dorongan yang kuat untuk meninggalkan kampung halaman,

baik itu karena alasan gengsi ataupun menganggur guna mencari

penghidupan yang lebih baik. Menjadi salah satu alasan yang

menyebabkan perilaku merantau masyarakat Lamongan.

Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan daerah

perkotaan besar dalam segi pembangunan ekonomi dengan letak

yang tak jauh dari Kabupaten Lamongan. Sarana dan prasarana di

Jakarta lebih baik dibandingkan dengan Lamongan. Lapangan

pekerjaan dikota terbesar di Indonesia ini juga sangat beragam.

Tergantung kemampuan dan skill yang dimiliki oleh masyarakat

migran dalam menentukan pekerjaannya. Mata pencaharian

penduduk kota Jakarta yang identik dengan non pertanian menjadi

pertimbangan utama masyarakat Lamongan yang tidak tertarik

bekerja sebagai petani. Tidak berhubungan atau atau mahluk hidup,

melainkan banyak bergaul dengan benda mati maupun mesin29

.

Kondisi tersebut memungkinkan para pemuda yang merantau ke

Jakarta beranggapan bahwa kehidupan di Jakarta akan lebih baik

daripada di Lamongan. Pemuda yang merantau ke Jakarta bekerja

dalam berbagai macam sektor perekonomian. Tergantung dari

kemampuan serta keterampilan yang mereka miliki.

29 Ruslan Prawiro, Kependudukan: Teori dan Fakta (Bandung: Alumni

1981), 165.

Page 164: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 149

2. Faktor Sosial Budaya

Membicarakan sebuah masyarakat tentu tidak dapat

dihindarkan dari pembicaraan mengenai sebuah kebudayaan. Kajian

antropologi pada sebuah masyarakat masih terfokus pada

masyarakat yang masih kuno. Sedangkan objek kajian masyarakat

modern lebih menjadi pembahasan sosiologi. Meskipun demikian

objek kajian antropologi terhadap perkembangan sebuah masyarakat

tidak melebihkan sosiologi.30

Dalam kehidupan suatu masyarakat,

sering terdengar kata budaya yang berhubungan dengan kehidupan

masyarakat setempat.

Kebudayaan identik dengan kajian antropologi yang

membahas tentang perkembangan kehidupan manusia yang berawal

dari taraf sederhana sampai ke perubahan dalam bentuk yang

kompleks. Auguste Comte,31

membagi perkembangan manusia

mengalami beberapa fase dalam kehidupannya sebagai berikut:

pertama tahap teologis yang merupakan ahap yang paling sederhana

dan dianggap bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan ghaib

diluar kemampuan manusia. Tahap ini masih bisa dikatakan sebagai

tahap yang tidak dapat dipakai dalam sebuah ilmu pengetahuan

modern. Contoh dalam kasus ini adalah ketika seorang sakit

dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan mistik.

Kedua tahap metafisik

30 Budiono Kusumohamidjojo. Filsafat Kebudayaan Proses Relasi Antara

Manusia, (Yogyakarta: Jalasutra 2009), 83 31 Auguste Comte merupakan sosiolog yang berasal dari Perancis dan

dianggap sebagai tokoh pendiri sosiologi. Karena memberikan nama pertama kali

dalam ilmu tersebut yaitu dari kata socius dan logos. Socius berarti teman atau

kawan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Meskipun dia tidak memberikan

penjelasan secara rinci tentang masalah-masalah apa yang terjadi dalam sosiologi. Tetapi dia mempunyai anggapan pokok bahwa sosiologi terdiri dari dua kata yakni

social statistic dan social dynamic. Kedua konsep tersebut merupakan pembagian

sosiologi yang sfiatnya pokok sekali. Lihat, Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 398.

Page 165: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

150 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Tahap ini merupakan tahap peralihan dimana manusia masih

menghubungkan gejala sesuatu dengan hal-hal yang bersifat ghaib.

Namun tidak semua perkara didasarkan atas berlakunya sebuah

kekuatan ghaib karena manusia mulai menghubungkan dengan

sebab akibat. Sebagai contoh di Jawa ketika seseorang sakit dan

pergi ke dukun dikaitkan dengan kekuatan ghaib numun juga

dikaitkan dengan sebab akibat dengan menggunakan metode

penyebuhan alami dengan memanfaatkan tumbuhan untuk diramu

sebagai obat. Ketiga Tahap Positifis. Merupakan tahap dimana

manusia mulai menggunakan kajian ilmiah untuk memecahkan

suatu masalah. Tahap ini adalah tahap dimana ketika terjadi

perkembangan ilmu pengetahuan. Bilamana seseorang sakit, maka ia

akan pergi ke dokter dan diberi resep sesuai dengan aturan medis.

Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai dan sikap yang

diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui

usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam

pola-pola bahasa dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang

berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian

diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang yang

tinggal disuatu kawasan pada perkembangan teknis tertentu.

Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi

yang memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari.32

Perkembangan manusia dalam bentuk pmikiran dan

pengetahuan akan menyebabkan perkembangan suatu kebudayaan.

Perubahan pola perilaku yang berhubungan dengan kemampuan

serta pengetahuan manusi ketika menyikapi sebuah gejala sosial

yang ada. Sebab kemajuan pemikiran manusia atau masyarakat akan

32 Deddy Mulyana. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi

Dengan Orang-Orang Yang Berbeda Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2005), 18.

Page 166: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 151

berpengaruh terhadap kebudayaannya.33

Termasuk dalam pola

kehidupan suatu masyarakat yang pada akhirnya menyebabkan

terjadinya perubahan perilaku sosial masyarakatnya.

Budaya materialisme yang kuat dan kompetisi yang tinggi

dalam bidang ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan

masyarakat Lamongan memilih bekerja dengan meninggalkan

kampung halaman mereka. Para ibu-ibu terutama buruh tani akan

merasa bangga bilamana anak-anak mereka kerja di luar Lamongan.

Keluarga yang mempunyai anak remaja atau sudah dewasa dan tidak

menetap di kampung halamannya akan merasa bangga dengan

menceritakan keberhasilan anaknya perantauan. Meskipun

perkataan mereka tidak bias dibuktikan secara empiris dengan

adanya kepemilikian terhadap sesuatu.

Fenomena demikian menyebabkan para pemuda di Lamongan

untuk mengadu nasib dan berjuang keras di kota-kota besar. Mereka

yang telah suksess akan kembali ke kampung halamannya dalam

beberaapa kalai selama setahun dan memamerkan pencapaian

kekayaannya. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan statsu

sosialnya di masyarakat terutama meningkatkan status ekonomi.

Diantara pencapaian masyarakat modern adalah kemampuannya

dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengantarkan

manusia pada puncak peradabannya. Faktor modernisasi yag

mendekatkan manusia pada rasionalisasi sejatinya merupakan

bentuk kesadaran baru bagi manusia untuk melakukan moblitas

sosial.34

33 Perubahan kebudayaan yang dipicu oleh adanya discovery dan invention

mengikuti sebuah pandangan bahwa evolusi kebudayaan adalah sumber dari

perubahan kebudayaan. Lawannya adalah pandangan yang mengatakan bahwa difusionalisme yang meyakini bahwa suatu discovery dan invention tidak terjadi

dua kali. Melainkan hanya sekali dan menyebar kepada suatu masyarakat. Lihat

Budiono Kusumohamidjojo. Filsafat Kebudayaan Proses Relasi Antara Manusia

(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 188. 34 Trianto. Dimensi Transedental dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta:

Lintas Pustaka Publisher, 2008), 109.

Page 167: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

152 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Para pemuda yang telah suksess di daerah perantauan akan

menjadi pertimbangan sendiri keluarga di Lamongan. Khususnya

bagi kalangan ibu-ibu yang mempunyai anak gadis. Mereka bahkan

datang sendiri ke rumah pria untuk melamarkan anak gadisnya agar

dijadikan pendamping hidup. Pergeseran norma sosial yang

demikian kemudian memunculkan sebuah budaya baru di Lamongan

dalam adat pernikahan. Yakni perempuan melamar laki-laki, bila

ditolak oleh pihak laki-laki, maka keluarga tersebut secara tidak

langsung akan menurunkan status sosialnya di tengah masyarakat.

Dalam urusan mencari jodoh, prinsip bibit, bebet dan bobot

(kualitas fisik, kehartaan dan status) menjadi kriteria pokok.

Perkawinan dalam masyarakat Jawa biasanya sangat umum karena

ditentukan oleh status sosialnya. Kalangan priayi biasanya

menikahkan anaknya dengan sesama priayi. Mereka biasanya

mempunyai keengganan untuk menikahkan anaknya dengan

masyarakat yang berasal dari kelas bawah atau wong cilik.35

Seorang perantau yang jarang kembali ke kampung

halamannya akan mempunyai kebanggaan tersendiri. Meskipun

mereka tidak menuai suksess di perantauan Jakarta. Ketika seorang

pemuda tidak menuai suksess di perantauan, mereka akan

menceritakan pengalamannya secara mendalam kepada keluarga

atau tetangganya sebagai cara lain dalam meningkatkan status

sosialnya di kampung halaman. Para tentangga biasanya akan

menyambut dengan meriah bilamana ada seorang pemuda yang

selama beberapa tahun tidak pulang ke kampung halamannya.

Mereka akan memberikan sambutan yang antusias walaupun dalam

kenyataannya tidak mendapatkan apapun.

Kondisi yang demikian juga terjadi pada masyarakat

Minangkabau yang enggan untuk kembali ke kampung halamannya.

35 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,

Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1993), 186-187.

Page 168: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 153

Ketika mereka kembali ke kampung halamannya akan terasa

canggung. Sekarang badannya di kampung dan pikirannya di rantau.

Kampung halaman bagi mereka terasa sebagai sangkar dimana tidak

banyak hal yang mampu untuk dikerjakan dan maupun kesempatan

yang luas. Muhammad Amir, yang berasal dari Minangkabau

menyebutnya sebagai situasi psikologis “Minang complex” yang

berakar pada kehidupan sosial dan kebudayaan mereka. Mungkin

juga pada posisi yang lemah dari laki-laki dalam struktur

kekeluargaan matrilineal Minangkabau di mana merantau dijadikan

sebagai jalan keluarnya.36

Sementara seorang yang sering berinteraksi dengan

masyarakatnya cenderung dikesampingkan pergaulannya ditengah-

tengah masyarakat. Apapun tindakan yang mereka lakukan dalam

memberikan bantuan kepada tetangganya dianggap sebagai angin

lalu. Tidak memberikan dampak apapun seperti prestise yang

diterima oleh para perantau yang jarang kembali kekampung

halamannya. Pihak orang tua akan memberikan sambutan dan

simpati lebih kepada orang-orang yang telah lama merantau

dariapada yang berdiam diri di rumah. Norma dan nilai sosial

dianggap sesuatu yang tidak terlalu penting bagi sebagian besar

masyarakatnya.

Keluarga di Lamongan kebanyakan suka bergabung dan

membentuk kelompok dengan beberapa keluarga yang lebih suksess

di perantauan. Tindakan ini mereka lakukan agar anak-anak mereka

diajak kerja sama ataupun di pekerjakan ditempatnya di perantauan.

Sementara keluarga yang kondisi ekonominya kurang baik, lebih

cenderung dikesampigkan oleh kelompoknya. Sistem gotong royong

yang mereka berikan tidak bernilai apapun bila kondisi ekonominya

kurang baik atau sedang menempuh proses. Fenomena sosial yang

demikian kemudian memunculkan sebuah ungkapan diantara

36Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1984), 226.

Page 169: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

154 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

masyarakat Lamongan “luweh abot duwit timbang dulur” yang

mempunyai makna lebih lebih mementingkan harta daripada

keluarga.37

Sebagai ekspresi kekecewaaan masyarakat yang merasa

dikesampingkan oleh beberapa keluarganya. Terbentuklah sebuah

ungkapan “wong liyo iso dadi dulur lan dulur iso dadi wong liyo”

peribahasa ini merupakan sebuah protes atau tanggapan atas

kekecewaan keluarga yang dikesampingkan oleh keluarga lainnya.38

Masyarakat yang termarjinalkan pada akhirnya bangkit dan

berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya di kota-kota

besar. Diantaranya adalah Jakarta yang menjadi tujuan utama

masyarakat Lamongan yang berusaha untuk memperbaiki kondisi

ekonomi dan meningkatkan status sosialnya.

Perjalanan Lamongan ke Jakarta yang tidak terlalu dekat dan

jauh melalui kereta api Surabaya Jakarta. Menjadikan Jakarta

sebagai sebuah magnet bagi masyarakat Lamongan dalam

mengekspresikan kemampuannya. Ruang gerak Jakarta yang lebih

luas dengan kontrol sosial yang longgar membuat masyarakat

Lamongan khususnya anak-anak muda menjadikannya

pertimbangan yang penting daripada Surabaya. Jakarta sebagai

sebuah kota terbesar di Indonesia secara tidak langsung akan

meningkatkan status dan gengsi bagi para penduduknya. Termasuk

bagi para kaum migran yang berasal dari Lamongan akan merasa

bangga bilamana bekerja di Jakarta.

Perspektif Max Weber lebih berguna, karena lebih terfokus

pada dimensi tindakan sosial. Penjelasan weber mengandung konsep

modernisasi, walaupun ia tidak menggunakan istilah tersebut.

Konsiderasi-konsiderasi yang dipersoalkan didapati dalam

bahasanya menganai pembangunan masyarakat. Dalam karya

Weber, pembangunan masyarakat secara kontinyu dapat dilihat

37 Wawancara dengan Kiswanto (Jakarta, Agustus 2015) 38 Wawancara dengan Adib (Lamongan Juli, 2015).

Page 170: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 155

sebagai suatu perkembangan yang merupakan (peningkatan)

rasionalisasi dan kekecewaan (Entzauberung).39

Masyarakat kota yang tidak mempunyai kontrol sosial yang

kuat akan memberikan ruang gerak yang luas untuk

mengembangkan kreativitasnya. Generasi muda yang merasa

mempunyai banyak potensi akan memilih kota sebagai destinasi

utama dalam mengembangkan karirnya. Arnold Gehlen, seorang

antropolog dan filsuf Jerman, pernah mendefinisikan manusia

sebagai makhluk bebas lingkungan (Unwelt freies Wesen). Sifat

tersebut menyebabkan hubungan manusia bersifat labil.40

Tidak adanya sebuah keseimbangan antara generasi muda

dengan generasi tua terkadang menimbulkan sebuah konflik.

Menyikapi perubahan sosial kalangan orang tua merasa adanya

kemajuan terkadang bertentang dengan keraifan lokal yang ada.

Yakni menurunnya nilai-nilai sosial dan berkurangnya rasa gotong-

royong dengan pudarnya nilai sosial diantara warganya. Perubahan

sosial tidak selamanya menuju kearah progress namun juga kearah

regress disertai menurunnya kesetiaan pada nilai-nilai sosial

masyarakat.

Upaya yang dilakukan oleh orang tua adalah bersikap

konservatif dengan melindungi generasi muda dari pengaruh-

pengaruh luar. Kelompok anak muda yang melek dengan teknologi

bersikap lebih moderat dan tidak menganggap perubahan sosial

sebagai gajala yang mengarah pada sesuatu yang bersifat regress.

Guna menengahi adanya perspektif yang berbeda antara generasi

39 Mustafa O. Attir, Burkart Holzner dan Zhedek Suda, Directions of

Change: Modernization Theory, Research, and Realities (Colorado: Westview

Press, 1981). Diterjemahkan oleh. Hartono Hadikusumo,Sosiologi Modernisasi: Telaah Kritis Tentang Teori, Riset dan Realitas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989),

184-185. 40 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES,

1988), 142.

Page 171: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

156 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

muda dengan kalangan orang tua. Diperlukan mediasi yang akan

memberikan sebuah perspeltif diantara kedua belah pihak.

3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab terjadinya

migrasi yang mendukung setiap masyarakat untuk mengadu nasib di

daerah lain guna mencari penghidupan yang lebih layak. Sosiologi

memamdang ekonomi merupakan bagian integral dari masyarakat41

Istilah komunitas mengalami perkembangan pesat semenjak abad

ke-14 yang awalnya digunakan untuk menunjuk pada suatu

kelompok tertentu. Pada abad ke-16 komunitas telah mengandung

makna “kesamaan” dalam identitas atau ciri-ciri yang dimiliki oleh

sekelompok orang. Kelompok yang memiliki minat yang sama

dalam sebuah komunitas dinamakan dengan istilah community of

interest. Pada abad ke-18 istilah ini digunakan untuk menunjuk

suatu unit tempat tinggal tertentu.42

Pembagian kerja dan pertukaran merupakan merupakan dua

fenomena yang membawakan ahli ekonomi menjadi

menyombongkan sifat sosial dan ilmu pengetahuannya. Durkheim

mengkritik Tonnies tentang konsep geselleschaft yang

memperlakukan masyarakat dengan teori utilitariansime sebagai

sebuah timbunan atom yang bebas tanpa sebuah ikatan yang hanya

merupakan sebuah kesatuan bilamama terikat sepanjang adanya

pengaruh eksteren.43

Kehidupan masyarakat pedesaan pada dasarnya masih

bergantung dengan mengelola alam. Tanah dan sarana irigasi

41 Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2011), 46. 42 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006), 141. 43 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis

Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Uinversitas Indonesia,

2007), 278.

Page 172: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 157

merupakan instrument pokok bagi kontinuitas kehidupan

masyarakat pedesaan. Kajian mengenai pola kehidupan masyarakat

desa merupakan bagian integral dari cabang ilmu sosiologi

pedesaaan.44

Sistem mata pencaharian hidup masyarakat desa

identik dengan mengolah tanah yang mereka manfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika masyarakat holtikultura

mengelola ladang dalam skala kecil, maka masyarakat agraris

mengelolanya dalam skala besar dengan menggunakan teknologi

canggih dan alat pembajak.45

Mayoritas model ekologi pedesaan

Jawa memandang tingkat kepadatan penduduk desa tegalan lebih

rendah daripada persawahan. Karena rendahnnya akses mereka pada

sumber air bersih yang mengakibatkan rendahnya produktivitas

pertanian.46

Perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

penggunaan alat-alat modern dapat meningkatkan produktivitas

pertanian dan efisiensi waktu.47

Kesadaran petani akan penggunaan

teknologi mendorong mereka untuk berkompetisi dalam

memasarkan komoditinya di pasar.48

Pengertian desa secara umum lebih sering diidentikan dengan

kehidupan masyarakat yang hidup secara bercocok tanam atau

44 Sosiologi pedesaan dalam perpspektif John M. Gillette (1922: 6) adalah

cabang ilmu sosiologi yang secara sistematik mempelajari komunitas-komunitas

pedesaan guna mengungkapkan kondisi-kondisi serta kecenderungan-kecenderungannya dan merumuskan prinsip-prinsip kemajuan. Sedangkan menurut

Dwight Sanderson (1942: 10), sosiologi pedesaan adalah sosiologi tentang

kehidupan dalam lingkungan pedesaan. Lihat, Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 12-13.

45 Syamsir Salam, Mengerti Sosiologi Pengantar Memahami Konsep-Konsep Sosiologi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 40.

46 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009), 37.

47 Ashok Parthasarathi, “Rural Industrialisation Programme: Looking at Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.

40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4, 2005), 4763-4767. 48 Ashok Parthasarathi, “Rural Industrialisation Programme: Looking at

Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.

40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4, 2005), 4763-4767.

Page 173: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

158 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

pertanian. Egon E. Bergel (1955: 121), mendefinisikan desa sebagai

kehidupan dan pemukiman yang dihuni oleh petani (peasant).49 Pola

kehidupan masyarakat desa pra-modernisasi masih bersifat

tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana. Aktivitas

sehari-hari identik dengan mengolah alam yang masih

menitiberatkan pada penggunaan alat-alat tradisional. Penduduk

desa yang masih melestarikan lingkungan akan menjaga alamnya

secara baik. Beberapa daerah pedesaan bahkan enggan menggunakan

bahan-bahan kimia yang mereka anggap akan merusak lingkungan.

Pola kehidupan gemeinschaft tidak menjadi acuan utama

dalam kehidupan masyarakat desa. Pada beberapa macam aspek,

masyarakat desa tidak menjujung lagi adat istiadat yang terikat

pada sistem kehidupan masyarakat yang hidup sevara paguyuban.

Perubahan sosial yang berawal dari inovasi tidak selamanya

memebawa pada progress. Perbaikan tidak selamanya menyebabkan

adanya sebuah kemajuan yang membawa pada perbaikan sistem.

Pada sisi lain terjadinya regresi yang menyababkan berkurangnya

ikatan sosial diantara masyarakat desa.

Keterbatasan lahan pertanian disertai dengan pertumbuhan

pendudukan yang tinggi pada akhirnya akan memaksa manusia

untuk mencari sebuah solusi. Transisi penggunaan tenaga manusia

dengan menggunakan tenaga mesin pada akhirnya akan

menyebabkan pengangguran dimana-mana. Terbatasnya lahan

pertanian pada akhirnya akan menyebabkan petani beralih pekerjaan

dengan menjadi buruh.50

Kompetisi ekonomi yang terjadi pada masyarakat Lamongan

merubah sistem mata pencaharian penduduknya. Kelompok pemuda

49 Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2010), 29. 50 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 10.

Page 174: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 159

dalam sebuah masyarakat desa tidak lagi meminati mata

pencaharian sebagai petani. Fenomena sosial yang demikian pada

akhirnya membawa implikasi terhadap minimnya tenaga kerja

dalam sektor agraris. Reifikasi sosial masyarakat Lamongan

merupakan indikasi bahwa achieved status diimplementasikan

dalam motivasi ekonomi. Teori migrasi didorong oleh keharusan

akumulasi kapitalis dengan bidang yang menyertainya menjadi

kepemilikan untuk menegaskan kembali kebutuhan mereka, Sebagai

platform untuk mungkin lebih eksplorasi eksperimental instansiasi

orang miskin di kehidupan perkotaan.51

Bagi masyarakat Lamongan, sistem mata pencaharian dengan

menggantungkan diri dari alam dianggap sebagai sebuah pekerjaan

yang tidak menjanjikan. Sementara hasil yang dinikmati tidak sama

dengan banyaknya biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk

mencukupi modal dalam melaksanakan kegiatan pertanian. Banyak

diantara masyarakat Lamongan yang kemudian enggan bekerja

sebagai seorang petani. Pemuda yang awalnya menggantungkan diri

dengan pertanian kemudian banyak yang memilih pekerjaan lain di

kota-kota besar seperti Jakarta.52

Perubahan sosial dengan beralihnya mata pencaharian

sebagian masyarakat Lamongan menyebabkan para petani

kekurangan tenaga untuk menggarap sawahnya. Fenomena sosial

tersebut terjadi ketika memasuki musim tanam dan musim panen.

Seorang petani merasa minder terhadap saudagar-saudagar yang

terdapat dari kota-kota besar apalagi dengan seorang pegawai atau

pamong praja, atau seorang guru serta pejabat-pejabat lainnya. Jika

petani mempunyai komoditas pertanian dalam jumlah lebih, mereka

akan menyekolahkan anak-anaknya untuk menjadi seorang guru

51 Abdou Maliq Simone, “The Urban Poor and Their Ambivalent

Exceptionalities Some Notes from Jakarta,” Current Anthropology on behalf of University of Chicago Press Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research, Vol. 56, No. S11, ( October 2015), S15-S23.

52 Wawancara dengan Masdi (Lamongan 2104).

Page 175: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

160 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

atau seorang pegawai negeri. Pola ini memberikan gambaran kepada

bahwa mobilitas sosial diatas merupakan upaya untuk menjauhi

pertanian dan sedapat mungkin bertautan dengan kota dan

pemerintah.53

Implementasi dari penyaduran nilai-nilai baru dalam

masyarakat pada akhirnya akan merubah sistem tatanan sosial

masyarakat Lamongan. Sistem perekonomian yang menjadi bagian

dari sebuah masyarakat dalam menjalankan pola kehidupannya akan

menerima dampak dari adanya perubahan sosial. Petani dan nelayan

sebagai sebuah pekerjaan masyarakat desa tidak selamanya menjadi

instrument utama untuk melangsungkan kehidupan.

Penyaduran nilai-nilai baru suatu masyarakat akan

memberikan imbas bagi berbagai aspek kehidupan yang diawali

dengan perubahan sistem mata pencaharian hidup. Oleh karena itu,

masyarakat pascra tradisional banyak yang berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan yang tidak identik dengan alam. Masyarakat

Lamongan yang pada awalnya didominasi oleh kalangan nelayan

dan petani tidak selamanya mempertahankan sistem mata

pencaharian yang demikian.

Genarasi muda pada saat ini enggan untuk meneruskan

pekerjaan orang tua mereka sebagai petani. Dominasi kehidupan

modern yang menuntut perbaikan penampilan hidup adalah faktor

utama yang menyebabkan masyarakat Lamongan enggan bekerja

sebagai petani atau nelayan. Mereka memutuskan bekerja di

berbagai macam sektor di perkotaan besar seperti Jakarta dan

sebagainya.54

Terbatasnya jumlah tenaga kerja yang menyebabkan para

petani di Lamongan kemudian mendatangkan tenaga kerja dari

daerah lain. Pada pihak lain, sistem kekerabatan masyarakat

53Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 1984), 61. 54 Wawancara dengan Suhud (Lamongan 2015).

Page 176: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 161

pedesaan yang lebih mengutamakan masyarakat setempat membawa

dampak berupa masyarakat enggan untuk mendatangkan tenaga

kerja dari luar. Modernisasi yang menjadi gerakan global tidak

hanya melanda kehidupan masyarakat perkotaan yang megalami

perubahan progress. Dampak modernisasi terhadap seluruh aspek

kehidupan masyarakat kota telah menyebar pada masyarakat

pedesaan. Lingkungan yang jauh dari pusat-pusat modernitas tidak

selamanya menghambat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat

desa. Beberapa kasus menunjukan pada dasa warsa terakhir

menunjukan tidak adanya distingisi yang jelas untuk membedakan

eksistentsi kehidupan masyarakat desa dengan kota.

Menurut Comte, ada tiga factor yang dapat menyebabkan

terjadinya perubahan sosial. Pertama rasa bosan yang berkaitan

dengan hierarki kebutuhan manusia. Kedua usia yaitu jika usia

manusia meningkat, maka kekuatan konservatifnya akan meningkat,

semakin berpengaruh dan memperlambat laju perubahan. Ketiga

demografi atau peningkatan jumlah penduduk.55

Evolusi sosio

kulural meliputi seluruh komponen dalam suatu masyarakat yang

mana perubahan awal tersebut diakibatkan oleh adanya perubahan

sisitem yang diwali oleh satu komponen yang berdampak pada

komponen yang lain.56

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah

anggota suatu budaya dan penerima pesan adalah anggota budaya

lainnya dan budaya mempengaruhi orang ketika sedang

55 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial : Dinamika Perkembangan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat

Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung

Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 27. 56 Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap

Realitas Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 64-65.

Page 177: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

162 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

berkomunikasi.57

Marx materialisme sejarah. Tipologi masyarakat

Marx didasrkan pada penelusuran perbedaan-perbedaan progresif

dari dari pembagian kerja. Sebagaimana dinyatakan olehnya dalam

Naskah-naskah 1844, maka perluasan pembagian kerja itu sama

artinya dengan pertumbuhan keterasingan dan pertumbuhan

kepemilikan pribadi.58

Solanki (2007), menitiberatkan pelatihan dalam sebuah

cluster mungkin terorganisir dengan asosiasi pemerintah lokal di

setiap cluster untuk memeberikan kontribusi dalam pembangunan

ekonomi pedesaan.59

Secara ringkas kota dipahami sebagai wilayah

yang mempunyai fungsi sosial yang kompleks, terdiri dari berbagai

suku bangsa yang disertai dengan adanya system pembagian kerja

secara jelas.60

Homogenitas sistem mata pencaharian digunakan

sebagai instrument utama penduduk desa dalam aktivitas mata

pecahariannya.

Emile Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik

merupakan ikatan sosial yang dikonstruk oleh sekelompok

masyarakat yang mempunyai kesamaan kerja. Sistem mata

pencaharian masyarakat desa yang homogen dijadikan landasan

pokok dalam membangun sebuah solidaritas yang kokoh. Rasa

empati dan kepekaan sosial yang tinggi diimplementasikan oleh

masyarakat desa dalam bentuk gotong royong dan sebuah konsensus

yang mengikat warganya. Konstruk teori yang dikemukakan oleh

Emile Durkheim termasuk dalam kategori paradigam fakta sosial.

57 Deddy Mulyana, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya:

Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang yang Berbeda Budaya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 20.

58 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,

1986), 29. 59 S. S. Solanki, “Sustainability Of Rural Artisans,” Economic And Political

Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-27. 60 Cucu Nurhayati, Sosiologi Perkotaan (Tangerang Selatan: UIN Jakarta

Press, 2013), 7.

Page 178: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 163

Masyarakat terbentuk bukan sekedar karena adanya kontak sosial,

melainkan atas dasar kesadaran kelompok (collective

consciousness).61

B. Fase Migrasi Masyarakat Lamongan ke Jakarta

Sejarah pertama kali migrasi masyarakat Lamongan ke

Jakarat belum diketahui secara pasti. Dari beberapa sumber

khususnya yang berasal dari informan. Peneliti berusaha untuk

menguraikan sejarah awal mula migrasi masyarakat Lamongan ke

Jakarta yang terjadi sejak kemerdekaan Indonesia. Terdapat

beberapa fase yang diterangkan oleh para informan khususnya

orang-orang tua di Lamongan untuk menjelaskan sejarah migrasi

masyarakat Lamongan ke Jakarta.

Fenomena merantau masyarakat Lamongan secara massif

terjadi sekitar tahun 1965 ketika kondisi di Jawa Timur khususnya

Lamongan tidak lagi aman. Warga desa yang didominasi oleh

kalangan petani banyak yang menjadi target dari Partai Komunis

Indonesia atau PKI. Merasa daerah mereka kurang aman, para

anggota masyarakat Lamongan ini kemudian pergi meninggalkan

kampung halaman mereka. Destinasi utama masyarakat Lamongan

kala itu adalah kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan

Semarang.

Generasi enam lima ini dalam merantau masih terbatas pada

pulau Jawa dan kota-kota besar di Jawa. Belum berekspansi ke kota-

kota besar di luar pulau Jawa seperti Pontoanak, Palembang, Medan,

Makassar, Manado, dan sebagainya. Wilayah rantau mereka masih

terkonsentrasi di pulau Jawa dan belum menyasar wilayah di luar

pulau Jawa.

61 I.B Wirawan, Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta

Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 17.

Page 179: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

164 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Salah seorang tokoh masyarakat Lamongan menuturkan

bahwa kondisi Lamongan di kala itu masih belum kondusif.

Kalangan abangan yang didominasi oleh kalangan petani banyak

yang memberikan simpati kepada kaum Komunis. Sementara

kalangan santri banyak yang memilih jalan untuk berkonfrontasi

dengan kalompok partai komunis. Lebih lanjut Masdi salah seorang

tokoh masyarakat yang peneliti wawancarai menuturkan bahwa

masyarakat Lamongan dikala itu terpecah menjadi dua kelompok

yang menolak dan mendukung partai komunis.62

Kelompok masyarakat yang mendukung partia komunis akan

cenderung patuh dan menuruti ajakan yang disampaikan oleh

pimpinan mereka. Diantaranya adalah dengan memasang stiker BTI

atau Barisan Tani Indonesia yang berlambangkan palu arit di setiap

pintu rumahnya. Tindakan ini mereka lakukan sebagai bentuk

kesetiaan kepada partai yang mereka anggap mampu untuk

memberikan kesejahteraan kepada mereka. Masyarakat abangan

yang didominasi petani dan nelayan adalah pendukung setia PKI

pada masa itu. Kehidupan yang susah dan rendahnya kualitas hidup

serta kepemilikian kekayaan atas beberapa kelompok adalah

motivasti utama kelompok ini cenderung memilih bekerjasam

dengan PKI.

Marwan salah seorang sesepuh yang peneliti temui

menuturkan bahwa PKI adalah kelompok yang menginginkan

terciptanya kepemilikan terhadap sesuatu secara merata. Oleh

karena itu, mereka memilih jalan berkonfrontasi dengan kalangan

masyarakat yang dianggap menguasai sektor perekonomian

khususnya orang-orang kaya yang mempunyai kekayaan lebih.

Dalam menjalankan aksinya, kelompok masyarakat komunis masuk

dalam berbagai macam sektor.63

62 Wawancara dengan Masdi (Lamongan, Agustus 2015). 63 Wawancara dengan Marwan (Lamongan, Juli 2014).

Page 180: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 165

Berbeda dengan kelopok masyarakat abangan. Santri

merupakan kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan tindakan

yang dilakukan oleh partai komunis. Konfrontrasi dengan partai

komunis dianggap sebagai cara yang paling tepat dalam

menruntuhkan partai komunis. Kalangan masyarakat santri

tradisional di Lamongan banyak yang memahami PKI sebagai

sebuah ideologi yang dapat mengancam kebebasan beragama.

Kemampuan kiai dalam memiliki asset seperti sawah, tambak dan

sebagainya yang menjadi simbolisasi kekayaan oleh kaum komunis.

Dapat menjadi terancam ketika orang-orang komunis berkuasa dan

menjadikan kepemilikan pribadi secara kolektif.

Wariman menuturkan kelompok komunis dianggap tidak

memberikan kesempatan dalam mengembangkan ekonomi

masyarakatnya. Lebih lanjut, tindakan kepemilikan kolektif

masyarakat komunis mereka anggap sebagai bentuk ancaman

ekonomi. Tokoh masyarakat khususnya kalangan kiai yang

mempunyai lahan dan tambak yang luas akan melakukan protes atas

kepemilikan kolektif. Setiap masyarkat dibolehkan memiliki sesuatu

asalkan didapatkan dengan cara yang halal dan tidak melangggar

norma-norma agama.

Masyarakat Lamongan yang tidak menolak atau mendukung

partai lebih cenderung meninggalkan kampung halaman mereka

sendiri. Beberapa diantara mereka bahkan mengajak sanak

saudaranya untuk hijrah dari Lamongan menuju ke kota-kota besar

lainnya di Pulau Jawa. Tindakan ini mereka lakukan untuk

menghindari kekaucauan politik yang melanda kampung-kampung

mereka. Kota sebagai sebuah tempat yang aman untuk menghindari

kekacauan politik. Situasi yang terjadi pada tahun 1960-an

membuat kondisi yang tidak aman di Lamongan pada akhirnya

harus memaksa penduduknya beramai-ramai meninggalkan

kampung halaman mereka.

Page 181: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

166 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Penduduk yang tidak mau meninggalkan kampung halaman

mereka kebanyakan memutuskan berkumpul di rumah kepala desa

ataupun kiai. Menjelang sore atau malam hari, mereka secara

beramai-ramai pergi meninggalkan rumah mereka dan menuju ke

rumah kepala desa atau kiai. Salah seorang saksi sejarah enam lima.

Sumi menuturkan bahwa masyarakat Lamongan kala itu dicekam

dengan ketakutan mendalam yang membuat mereka melakukan

aktivitas ekonomi secara bersama-sama. Ketika seorang santri

melintasi desa yang banyak didominasi oleh kalangan abangan.

Mereka akan membawa sebuah parang sebagai bentuk penjagaan

diri atas orang-orang komunis.

Lebih lanjut, Sumi menuturkan Djuraimi membawa sebuah

pedang ketika menjemput istrinya yang tinggal di kampung yang

didominasi oleh masyarakat abangan. Tindakan ini dilakukan

sebagai bentuk ancaman terhada orang-orang yang berafiliasi pada

partai komunis. Lebih lanjut Choirul Huda menuturkan bahwa

ketika menjadi santri. Banyak mayat-mayat yang mengapung di

sekitaran Bengawan Solo Langitan Tuban serta Babat Lamongan.

Peristiwa yang demikian merupakan puncak kondusifitas

masyarakat Lamongan yang tidak lagi aman.

Gelombang merantau masyarakat Lamongan yang kedua

terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an ketika situasi di Lamongan

sudah mulai kondusif. Masyarakat Lamongan yang merantau ke

Jakarta pada tahun 1980-an dan 1990-an banyak yang bekerja

sebagai kuli bangunan dan serabutan. Pada masa itu tidak terlalu

susah untuk mencari pekerjaan. Sukiman adalah salah seorang

perantau Lamongan ke Jakarta generasi 1980-an. Awalnya ia

merantau karena ajakan temannya yang terlebih dahulu bekerja

sebagai kuli kontrak di Cengkareng Jakarta Barat.

Pendidikan bagi generasi kedua ini dianggap tidak terlalu

diperhitungkan dalam dunia kerja. Mereka menyimpulkan bahwa

banyak pabrik-pabrik atau pengembang besar yang siap

Page 182: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 167

menerimanya bekerja. Guna masuk kerja dalam perusahaan atau

kerja tetap. Diantaranya adalah Suhud yang pernah bekerja sebagai

kuli Ciputra yang pada awalnya diajak oleh temannya dari Sugio

Lamongan. Pria yang kini berusai sekitar 65 tahun ini kini menjadi

seorang petani dan menghabiskan masa tuanya di kampung

halamannya. Oleh karena itu, tidak semua orang Lamongan yang

merantau ke Jakarta menuai suksess sebagaimana harapan awal

mereka ketika merantau.

Rumilan merupakan contoh masyarakat migran yang pernah

tinggal di Jakarta dan tidak menuai suksess sebagaimana teman-

temannya.64

Kondisi sosial masyarakat Lamongan yang masih hidup

dalam kesederhanaan kala itu, tidak membuat kaum migran yang

berasal dari Lamongan merasa canggung untuk kembali ke daerah

asalnya. Masyarakat masih menerima orang-orang yang kembali

dengan baik. Tolok ukur keberhasilan di daerah perantauan tidak

menjadi pertimbangan yang penting. Bagi masyarakat Lamongan

yang bermigrasi ke Jakarta merasa tidak menjadikannya sebagai

problem karena masyarakat masih memegang nilai-nilai sosial yang

tidak membedakan status sosial dari aspek kekayaan semata.

Fase migrasi masyarakat Lamongan yang ketiga terjadi pada

tahun 1990-an yang mengawali migrasi secara massif. Motivasi

ekonomi adalah faktor kuat yang menyebabkan masyarakat

Lamongan bermigrasi ke Jakarta pada masa ini. Tekanan sosial

masyarakat mulai nampak pada masa 1990-an yang diawali dengan

semangat perbaikan dan peningkatan kualitas hidup. Dalam

pandangan mereka, mencari penghidupan yang layak tidak harus

menetap di kampung halamannya. Berdasarkan penuturan salah

seorang informan, Thohir yang pergi ke Jakarta sejak tahun 1994

awal mula merantau dikarenakan ingin memperbaiki kondisi

ekonomi. Jenis pekerjaan masyarakat Lamongan di Jakarta pada fase

ini masih tersebar pada bebarapa sector. Belum banyak masyarakat

64 Wawancara dengan Rumilan. (Lamongan, Agustus 2015).

Page 183: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

168 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Lamongan yang membuka warung-warung sebagaimana yang

sekarang di setiap sudut kota Jakarta.

Kegiatan kewirausahaan masyarakat Lamongan masih

dijalankan oleh bebera orang Lamongan yang tertarik berjualan soto

dan pecel lele. Dari penuturan Thohir dapat disimpulkan bahwa fase

ketiga adalah fase peralihan masyarakat Lamongan dalam sistem

masyarakat Lamongan. Tidak hanya itu saja, kondisi sosial yang

terdapat di Lamongan juga mulai mengalami perubahan. Orang-

orang dikatakan suksess bilamana mampu memperbaiki kondisi

ekonominya di perantauan.

Fenomena perubahan sosial ini kemudian menyebabkan

sebagain besar masyarakat Lamongan yang bermigrasi ke Jakarta

lebih memilih menetap daripa kembali kekampungnya. Kondisi

kehidupan yang keras tidak menjadikan alasan bagi mereka untuk

menetap di Jakarta. Lestari adalah salah seorang yang merantau ke

Jakarta pada fase ini yang enggan kembali ke Lamongan. Regenerasi

dari lingkungan tertekan pada gilirannya menjadi strategi yang

diadopsi oleh kelompok yang kurang beruntung bergantung pada

pemberantasan perilaku dan gaya hidup dianggap bermasalah sosial

sebanyak sebagai anti sosial.65

Berbeda dengan beberapa fase sebelumnya. Gelombang

migrasi secara massif masyarakat Lamongan terjadi pada tahun

2000 sampai sekarang. Dalam konteks ini, laku rantau masyarakat

Lamongan tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi ekonomi semata.

Perubahan sosial yang berdampak pada perilaku masyarakat

Lamongan pada akhirnya menyebabkan tradisi merantau

masyarakatnya menjadi sebuah budaya. Kehidupan materialisme

yang disertai dengan kompetisi ekonomi mebuat generasi muda di

Lamongan merasa tidak nyaman ketika dalam usia yang masih

65 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban Renaissance

Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of Bristol,

2007), 70.

Page 184: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 169

produktif tetap tinggal di kampungnya masing-masing. Tanpa

melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial, seorang pemuda akan

merasa malu dan tidak nyaman ketika glutek di kampungnya dalam

keadaan menganggur.

Norma-norma sosial berupa empati adalah sebuah kontrol

sosial secara laten yang mengikat semua warganya dalam bentuk

pengendalian perilaku sosial. Seorang dianggap menyimpang

bilamana mereka tidak memiliki kepedulian sosial terhadap warga

yang lain. Sanksi sosial yang diberikan oleh anggota masyarakat

lainnya adalah dalam bentuk rasa risih terhadap perilaku yang

dianggap tidak sesuai. Secara simbolik norma-norma sosial bentuk

aturan hukum yang bersifat memaksa warganya untuk patuh.

Tanpa adanya peraturan yang tertulis, anggota masyarakat

secara sukarela maupun terpaksa akan menyadari perannya masing-

masing. Sanksi sosial yang diberikan adalah bentuk pengucilan atau

rasa tidak nyaman dengan sikap yang tidak baik terhadap perilaku

yang menyimpang dari norma-norma sosial yang tidak tertulis.

Efektifitas sanksi dalam bentuk pengucilan dan tidak mau

menghargai satu sama lain terkadang lebih kuat daripada sanki

hukum dalam bentuk peraturan yang tertulis. Keberpatuhan yang

begitu kuat tidak lain karena masyarakat desa akan merasa malu dan

terkucil dari kelompoknya ketika mereka melanggar norma sosial.

Ketatnya norma sosial yang diberikan oleh anggota

masyarakat berupa kontrol sosial pada akhirnya menjadikan desa

sebagai penjara sosial bagi warganya. Rogers (1995), memfokuskan

kajiannya melalui kebijakan kesejahteraan negara termasuk pajak

progresif. Kota dianggap sebagai tempat bagi kaum migran untuk

menghindari pengucilan sosial yang terjadi pada masyarakat

pedesaan.66

Generasi muda yang lebih banyak berinteraksi dengan

66 Tony Manzi, Karen Lucas, Tony Lloyd-Jones and Judith Allen, Eds.

Social Sustainability in Urban Areas: Communities, Connectivity and the Urban Fabric, (London: Earthscan, 2010), 8.

Page 185: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

170 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

dunia luar akan merasa tidak nyaman dengan begitu ketatnya

kehidupan masyarakat desa. Faktor yang disebabkan karena mereka

akan merasa terbatasi ruang geraknya. Anak-anak muda merasa

tidak bisa untuk mengembangkan kretifitasnya ketika menetap di

kampung halamannya. Tindakan yang mereka lakukan dengan

meninggalkan kampung halamannya dengan memilih berhijrah ke

kota-kota besar yang memberikan sebuah ruang gerak yang luas.

Masyarakat migran Lamongan generasi terakhir sangat

enggan untuk kembali kekampung halamnnya meskipun hidup

dalam kondisi perkonomian yang tidak baik di Jakarta. Mereka lebih

suka menghabiskan umurnya di kota-kota besar dengan bekerja

serabatan agar tetap bertahan hidup. Alasan utama mereka adalah

malu untuk kembali ke kampung halaman mereka. Ketatnya norma

sosial dan budaya materialisme yang melanda sebagian besar

masyarakat Lamongan menyebabkan para pemuda menjadikan

kampung halaman mereka sebagai penjara sosial. Mereka biasanya

kembali ke kampung halaman ketika memasuki usia empat puluh

tahun keatas dan memilih bekerja sebagai petani dan karyawan para

tengkulak. Adapun kelompok masyarakat yang gagal biasanya lebih

suka berdiam diri di rumah atau menetap di pesantren dari tiap-tiap

desa.

Ungkapan demikian kemudian banyak dimaknai oleh

kalangan orang tua dan anak-anak muda sebagai sebuah dorongan

untuk merantau ke daerah lainnya. Masyarakat selalu mengalami

perubahan dalam semua tingkatan kompleksitas internalnya. Pada

tingkatan makro terjadi perubahan ekonomi, politik dan kultur. Pada

tingkat mezzo terjadi perubahan kelompok, komunitas dan

organisasi. Pada tingkatan mikro terjadi perubahan interaksi dan

perilaku individual. Sebab masyarakat bukan hanya sekedar

kesatuan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait

bertingkat ganda. Pada masa dahulu fase lebih ditekankan pada

Page 186: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 171

aspek sebab akibat dengan kini yang merupakan fase penyebab

perubahan fase berikutnya.67

Perubahan lingkungan telah menyebabkan adanya perubahan

dalam cara kerja antropologi. Ekspansi jalanan kebudayaan dapat

dilihat pada tiga tingkatan dimensinya yakni simbolik, evaluatif,

dan kognitif. Dimensi simbolik ditemukan dengan adanya berbagai

bentuk materi yang konkrit maupun abstrak yang menjadi tanda dari

adanya suatu nilai yang menunjukan sifat-sifat tertentu seperti

pakaian dan tempat tinggal dan praktik sosial. Dimensi evaluatif

lebih ditekankan dengan membangun sebuah nilai dan norma yang

berbeda dari yang berlaku secara umum. Dimensi kognitif dapat

dikaji dari penguasaan sistem pengetahuan dan cara pandang

kelompok yang membedakannya dengan kelompok yang lain.

Budaya jalanan bisa dikatakan sebagai budaya yang tumbuh dan

menyimpang dari induknya yang dianggap mapan sebagai pelepasan

diri dari budaya yang general.68

Orang tua di Lamongan lebih menyukai ketika setelah anak-

anak mereka lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) bekerja di luar

kampung halamannya daripada menetap di daerah asalnya. Mereka

mempunyai prestise yang tinggi pada keadaan dimana dalam usia

produktif masih menganggur. Fenomena yang demikian terjadi pada

sebagian besar masyarakat Lamongan yang menganggap bahwa

kondisi menganggur saat usia produktif merupakan sebuah aib bagi

keluarga. Kalangan orang tua merasa lebih terhormat ketika anak-

anaknya bekerja di luar kampung halamannya daripada bekerja di

kampung sendiri. Meskipun di luar kampung halamannya mereka

masih bekerja serabutan dalam berbagai sektor.

Bagi pemuda di Lamongan akan merasa malu bilamana tetap

tinggal di kampung halamannya meskipun tanpa melanggar norma-

67 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2004), 65. 68 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006), 190.

Page 187: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

172 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

norma sosial atau sebuah tindakan penyimpangan sosial. Kondisi

dalam keadaan menganggur diartikan sebagai aib atau tindakan

yang akan merendahkan harga diri keluarga. Mereka lebih memilih

memilih mengadu nasib di daerah lain daripada menganggur di

kampung halamannya. Mayoritas pemuda ketika lulus SMA atau

SMP lebih memilih mencari pekerjaan di berbagai sektor meskipun

tanpa disertai dengan perhitungan yang matang.

Struktur sosial bukan berubah karena pengaruh individu,

namun lebih ditekankan karena tuntutan dan kebutuhan sistem.

Konteks ini menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi bukan

karena orang mengingkarinya, melainkan karena evolusi.69

Pada

abad ke-19 mulai ada perhatian terhadap kemajuan kebudayaan

manusia. Evolusi kebudayaan merupakan perubahan kebudayaan di

dunia dari bentuk-bentuk sederhana menuju perubahan yang lebih

kompleks.70

Perubahan sosial masyarakat desa pada masa ini adalah

konsekuensi yang harus diterima karena kemajuan zaman yang

mengharuskan seseorang pemuda memiliki gengsi yang tinggi. Bisa

dikatakan bahwa masa ini merupakan masa dimana seorang pemuda

tidak lagi memelihara sapi atau kambing serta menghabiskan

umurnya disawah. Pekerjaan yang erat hubungannya dengan alam

tidak lagi menjadi sebuah hal yang diminati oleh masyarakat.

Perasaan bahwa kerja yang demikian merupakan sebuah kerja yang

akan menurunkan status seseorang pada masyarakat modern.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah

69 Pip Jones, Introducing Social Theory. Diterjemahkan, Pengantar Teori-

teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia, 2010), 68. 70 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: Uinversitas

Indonesia Press, 2010), 89.

Page 188: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 173

satu faktor yang harus diperhatikan dalam mampengaruhi proses

perubahan sosial.71

Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang mengharuskan

orang untuk mengatur strategi bertahan hidup (survival srategy) dan

strategi pengumpulan kekayaan (accumulative strategy) bagi

berbagai kelompok dalam masyarakat sebagaimana yang dijelaskan

Featherstone, (1991) dan Hannerz (1996). Fenomena ini kemudian

menyebabkan perubahan karakter masyarakat desa dengan

melemahnya ikatan-ikatan tradisional. Peranan individu dalam

pengambilan keputusan lebih besar dibandingkan dengan peranan

institusi sosial.72

Perkembangan masyarakat merupakan hasil

interaksi yang produktif antara manusia dengan alam.73

Ada tiga

faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, yaitu:74

a. Tekanan kerja dalam masyarakat

b. Keefektifan komunikasi

c. Perubahan lingkungan alam

Perubahan sosial dihubungkan dengan aktor individual yang

menunjukan bagaimana variable-variabel mikro mempengaruhi

variable makro. Hernes, (1976), menyatakan perubahan yang terjadi

dalam struktur sosial dalam kurun waktu tertentu yang meliputi

beberapa unsur. Termasuk interkasi antar individu dengan

71 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial: Dinamika Perkembangan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat

Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 40.

72 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 165.

73 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,

1986), 43. 74 Beni Ahmad Sebani, Pengantar Antropologi (Bandung: Pustaka Setia,

2012), 181.

Page 189: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

174 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

kelompoknya.75

Perubahan sosial selanjutnya terjadi dengan

munculnya kelas menengah di kota-kota yang terdiri dari golongan

intelektual, pedagang, dan wirausaha. Golongan menengah

kebanyakan memusatkan perhatiannya pada masalah ekonomi dan

politik.76

Immanuel Castell dan Daniel Bell merupakan pionir dalam

teori perkembangan informasi masyarakat. Bell (1977) menekankan

indikasi utama dalam perkembangan masyarakat pasca industrial

adalah penemuan alat-alat yang mempercepat arus informasi.

Castell (1996) menekankan perkembangan informasi ditandai oleh

adanya kebudayaan virtual riil, yaitu sebuah sistem yang terangkum

dalam dunia maya. Perubahan ini kemudian menyebabkan sebuah

perubahan sikap dan perilaku suatu masyarakat.77

Ketika usia remaja para pemuda banyak yang merantau

keberbagai kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya,

Bandung, Palembang, Medan, Pontianak, Makassar dan sebagainya.

Para pemuda yang merantau kekota-kota besar seperti Jakarta dan

Surabaya kebanyakan karena ajakan dari teman ataupun sanak

saudara yang lebih dulu merantau. Namun ada juga yang merantau

karena inisiatif sendiri untuk mencari penghidupan yang lebih layak

atau sekedar ingin meninggalkan kampung halamannya. Tidak

semua masyarakat Lamongan yang pergi merantau menuai

kesuksesan. Banyak pula diantara mereka yang gagal dengan masih

bekerja sebagai tenaga kasar seperti kuli bangunan ataupun buruh

pabrik di perusahaan-perusahaan milik orang Cina. Namun mereka

75 Ujianto Singgih Prayitno, Perubahan Sosial : Dinamika Perkembangan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Pusat

Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung

Nusantara I Lt. 2 bersama Publica Press, 2014), 22. 76 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogyakarta, 1999), 26. 77 Rahma Sugiharti, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial

Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2014), 39.

Page 190: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 175

masih lebih suka mencari penghidupan di daerah di kota-kota besar

daripada di daerah sendiri. Dengan banyaknya para pemuda yang

pergi merantau maka akan jarang ditemui pemuda di Lamongan,

khususnya di daerah pedesaan.

Sebagian besar pemuda di Lamongan lebih banyak memilih

merantau daripada melanjutkan pendidikan. Masyarakat Lamongan

beranggapan tidak akan menuai suksess bilaman tidak merantau.

Dalam pandangan sebagian masyarakatnya. Seorang anak ketika

memasuki usia remaja akan merasa malu ketika menganggur dan

tetap berada dikampung halamannya. Meskipun mereka tidak

melakukan tindakan penyimpangan sosial.

Masyarakat Lamongan menilai keberhasilan atau kualitas

keilmuan seseorang bukan ditentukan dari mana mereka belajar di

perguruan tinggi. Melainkan dari kesuksesan mereka dalam

mengumpulkan kekayaan di daerah perantauan. Tolok ukur

keberhasilan tersebut dibuktikan dengan membangun rumah,

membeli sawah, dan membeli sebuah mobil. Adanya perspektif

demikianlah yang menyebabkan pemuda termotivasi untuk memilih

bekerja dari pada melanjutkan belajar ke perguruan tinggi.78

Tanpa bekal keterampilan yang cukup pemuda di Lamongan

mempunyai semangat yang tinggi untuk hijrah meninggalkan

kampung halaman. Di Jakarta, mereka belajar secara otodidak

dengan mengawali karir dari bawah, yakni dengan ikut orang

terlebih dahulu sebelum membuka usaha sendiri. Masyarakat

Lamongan cenderung meremehkan seorang yang belajar sampai

perguruan tinggi yang tidak memiliki keterampilan. Sebab banyak

para pemuda yang tak melanjutkan pendidikannya mampu

bekompetsis dengan anak-anak lulusan perguruan tinggi terutama

dalam kewirausahaan. Faktor inilah yang kemudian menjadikan para

pemuda lebih memilih untuk mencari rizki dari pada mencari ilmu.

78 Wawancara dengan Lukman (Jakarta, April 2014).

Page 191: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

176 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Sebagian pemuda, merantau memiliki makna tersendiri yakni

meningkan gengsi diantara pemuda lain dalam masyarakat. Sebab

mereka tidak berada dikampung halaman dalam keadaan

menganggur dan terlepas dari kontrol sosial masyarakatnya.

Meskipun dalam faktanya, mereka banyak bekerja sebagai tanaga

kasar ataupun kembali kekampung halaman dengan tidak membawa

hasil. Seiring dengan perkembangan zaman yang lebih maju serta

tuntutan untuk bersaing dalam dunia kerja. Mulai terdapat perantau

yang bertujuan untuk menimba ilmu pengetahuan di berbagai

macam perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang terdapat

di Jakarta. Para pemuda yang melanjutkan pendidikannya biasanya

memilih perguruan tinggi yang mengajarkan skill atau keterampilan

yang mereka butuhkan dalam dunia kerja. Namun perantau masih

didimonasi oleh para pemuda yang bekerja dalam berbagai sektor

dari pada belajar ke perguruan tinggi.

C. Konstruksi Entrepreneurship

Masyarakat Lamongan sebagaimana masyarakat Jawa pada

umumnya terdiri dari golongan wong cilik, wong sugih, wong pinter

dan wong pangkat. Klasifikasi yang demikian menyebabkan adanya

kemajemukan dalam kehidupan masyarakat Lamongan. Bukan

dalam pembagian sistem keagamaan masyarakatnya. Diferensiasi

sosial dalam suatu masyarakat ditentukan bukan karena tingkatan

strata atau status. Heterogenitas sistem pembagian pada masyarakat

majemuk tidak menyebabkan suatu masyarakat mengalami

fragmentasi dalam sistem kehidupan mereka. Mayoritas masyarakat

Jawa lebih menyukai pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil yang

mereka anggap mampu untuk meningkatkan status sosialnya.

Pegawai Negeri Sipil merupakan pekerjaan yang menjadi

kebanggaan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Status

seseorang secara horizontal dalam masyarakat Jawa terbagi menjadi

tiga golongan, yakni: wong cilik, wong sugih, wong pinter dan wong

Page 192: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 177

pangkat. Masyarakat Jawa yang merantau keluar pulau Jawa karena

ingin bekerja sebagai pegawai pemerinthanan yang dianggap mampu

untuk meningkatkan status sosialnya. Keluarga pada masyarakat

Jawa bahkan rela menjual harta bendanya agar anak-anak mereka

diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pembiayaan

perjalanan dan keperluan selama menjalani tes agar menjadi

pegawai negeri sipil senantiasa disiapkan. Fenomena sosial

menunjukan masyarakat Jawa banyak yang mendominisi pekerjaan

dalam eselon maupun pemerintahan.

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Koentjaraningrat atau Davidsson (1995), masyarakat Lamongan

kurang tertarik untuk bekerja dalam sektor pemerintahan.79

Kebudayaan priayi ini pernah mewarnai perjalanan masyarakat

Lamongan dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat ini, kebudayaan

tersebut mulai luntur dan kurang digemari sebagain besar

masyarakat Lamongan. Guna mendeskripsikan pola kehidupan

masyarakat Jawa tidak bisa digeneralisir. Sebab masyarakat Jawa

mempunyai kebudayaan yang berlaku secara heterogen. Yakni tidak

semuanya tertarik bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Motivasi

bergdagang yang tinggi adalah diantara faktor yang membuat

masyarakat Lamongan memutuskan untuk membuka usaha.

Penjelasan terbentuknya kewirausahaan masyarakat Lamongan

dalam kasus tersebut sesuai dengan teori tingkah laku

kewirausahaan dikemukakan oleh Mc Clelland (1961).80

Konsep makan tidak makan yang penting ngumupul bertolak

belakang dengan realita yang terjadi pada masyarakar Lamongan

pada saat ini. Orang tua di Lamongan yang tidak mempunyai

kemampuan membiayai anaknya untuk melanjutkan pendidikan

akan menyuruh anak-anaknya keluar dari kampung halamannya

79 Wawancara dengan Masdi (Lamongan 2014). 80 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim (Bandung:

Gunung Djati Press, 1999), 34.

Page 193: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

178 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

guna mengadu nasib di daerah lain. Tindakan ini dilakukan agar

anak-anak muda mereka tidak glutek atau menetap di kampung

halamannya yang mereka anggap tidak akan memberikan banyak

pembelajaran. Bagi orang tua di Lamongan pengalaman di daerah

perantauan adalah pengetahuan yang berharga.

Orang tua menjadikan tindakan anaknya yang tidak keluar

dari kampung halamannya sebagai beban mental. Masyarakat yang

anak-anaknya pergi merantau akan memberikan penilaian kurang

baik terhadap anak-anak muda yang masih berdiam diri di rumah

mereka masing-masing. Orang tua menyuruh anaknya belajar dalam

menjalankan usaha bukan dari sekolah atau perguruan tinggi.

Melainkan dari pengalamannya ikut berdagang masyarakat

Lamongan yang telah terlebih dahulu suksess. Jenis usaha yang

dijalankan oleh masyarakat Lamongan di Jakarta pada sektor

informal kelas kaki lima. Umumnya usaha yang dikelola adalah

warung dengan membuka soto dan pecel lele yang menjadi makanan

khas Lamongan.

Sikap memilih terhadap latar belakang keluarga yang

mengajak kerja sama menjadi pertimbangan yang sangat penting

bagi masyarakat Lamongan.81

Seorang keluarga bahkan rela anaknya

menganggur daripada ikut keluarga yang memaksanya bekerja keras

namun tidak diperhatikan. Sikap dikesampingkan menjadi

pertimbangan penting bagi masyarakat Lamongan dalam

mengikutkan sanak keluarganya di perantauan. Masyarakat

Lamongan sangat selektif dalam memilih orang yang akan

mempekerjaan anak-anak mereka. Hubungan kekeluargaan mereka

bisa renggang bilamana anak-anakanya ditelantarkan namun dipaksa

untuk bekerja keras.

Masyarakat Lamongan senantiasa membentuk sebuah pola

ikatan dengan kelurga jauh atau orang yang berasal dari luar desa

mereka. Pola sosial yang demikian dianggap sebagai sebuah

81 Wawancara dengan Marwan (Lamongan, 2014).

Page 194: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 179

tindakan agar tidak menjatuhkan posisi keluarga di hadapan

keluarga yang lain. Yakni tidak menjadikan anak-anak mereka

sebagai buruh pada keluarga yang telah suksess terlebih dahulu.

Mitra dagang dan teman menjalankan usaha lebih disukai

masyarakat Lamongan daripada menjadikan anaknya sebagai

seorang buruh pada keluarga yang lain.

Cara mendidik anak-anak agar menjadi wirausahawan suksess

senantiasa dilakukan oleh masyarakat Lamongan dengan

menyuruhnya bekerja di warung-warung terlebih dahulu. Mereka

tidak suka jika anak-anak mereka bekerja di pabrik atau sebagai

pegawai toko biasa. Kalangan orang tua mempunyai sebuah

kesimpulan ketika anak-anak mereka bekerja pada warung orang-

orang Lamongan. Pak Tosin merupakan orang tua yang menyuruh

anaknya untuk bekerja ikut orang dalam bidang kuliner. Beliau

mengungkapkan “nek anaku kerja na pabrik gurong tentu iso gawe

pabrik, nek anaku kerja melu bakol soto. Mene iso buka usaha

dewe”. Ungkapan ini mempunyai sebuah arti ketika anak saya

bekerja di pabrik, belum tentu bisa mendirikan pabrik.82

Namun

ketika anak saya bekerja di warung maka suatu saat ia akan bisa

mendirikan usaha sendiri. Harapan membuka usaha sendiri dengan

pembelajaran di perantauan adalah sebuah tindakan yang dilakukan

oleh masyarakat Lamongan.

Setelah mengetahui seluk beluk dalam menjalankan usaha

kuliner, mereka akan memisahkan diri dengan atasannya dan

memilih membuka usaha sendiri. Suliyanto misalnya yang

merupakan salah seorang pedagang Soto Lamongan di kawasan

Jakarta Pusat mendapatkan pengalaman manajemen berwirausaha

selama ikut pedagang Lamongan yang lain di kota Kembang

Bandung. Selama menjadi karyawan, Suliyanto senantiasa belajar

manajemen dan cara memasak soto dan pecel lele Lamongan di

warung milik atasannya. Beberapa tahun setelah lama bekerja dan

82 Wawancara dengan bpk Tosin (Lamongan, 2014).

Page 195: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

180 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

memahami konsep-konsep dalam menjalankan usahanya serta sikap

merasa teralienasi. Suliyanto akhirnya membuka usaha sendiri agar

bisa bebas dan leluasa dalam bekerja.83

Pergeseran sosial yang demikian merupakan sebuah fase

peralihan dalam konstruk sistem mata pencaharian penduduknya.

Anak-anak muda cenderung memaknai masa sekarang ini sebagai

sebuah masa ketika seorang tidak bekerja dengan menggembala sapi

atau kambing serta mencari ikan di laut. Kota sebagai sebuah sarana

yang mereka harapkan mampu untuk mengembangkan potensinya

dimasa depan. Mengolah hasil bumi dan laut, yakni ayam dan ikan

yang menjadi menu utama warung-warung Lamongan di Jakarta.

Mengolah bahan mentah menjadi masakan siap saji bagi

sebagian besar anak Lamongan adalah bentuk pekerjaan yang

mereka gemari. Tanpa dibekali dengan keterampilan memasak yang

memadai. Masyarakat Lamongan mampu untuk mendirikan usaha

warung-warung kaki lima dengan tenda khas Lamongan. Salah

seorang warga Lamongan yang telah enam tahun berjualan pecel lele

dan soto Lamongan menuturkan bahwa ia hanyalah lulusan SMP

dan tidak mempunyai keterampilan dalam bidang memasak atau

memasarkan barang.

Suliyanto menuturkan bahwa pengalaman membuatnya

mempunyai kemampuan berjualan soto Lamongan di sekitaran pasar

senen Jakarta Pusat. Baginya pengalaman merupakan sekolah untuk

kalangan orang-orang yang mengalami keterbatasan dana untuk

melanjutkan jenjang pendidikanya. Ajis seorang pedagang soto

Lamongan di Cengkareng Jakarta Barat menuturkan. Para pemuda

di Lamongan yang tidak mampu untuk melanjutkan jenjang

pendidikannya akhirnya banyak yang memutuskan untuk berjualan

soto dan pecel lele. Kondisi yang demikian sebagai sarana dalam

menerobos untuk memperbaiki kehidupan ekonomi.84

83 Wawancara dengan Suliyanto (Jakarta, Agustus 2015). 84 Wawancara dengan Ajiz (Lamongan, Agustus 2015).

Page 196: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 181

Pedagang soto dan pecel lele Lamongan tidaklah di dominasi

oleh kalangan santri sebagimana dalam penelitian Clifford Geertz di

Mojokuto. Masyarakt Lamongan meyakini konsep berdagang bukan

karena latar belakang sosial keagamaan.85

Arif, seorang wirausaha

Lamongan di Pesanggrahan Jakarta Selatan. Pria paruh baya ini

telah berjualan dari tahun 1989 dan memulai usaha bersama istrinya.

Setiap manusia pada dasarnya mempunyai kesempatan yang

sama menjadi wirausaha tergantung keuletan dan tanggung

jawabnya. Menurut Arif, tidak berkah bilamana seorang santri yang

seharusnya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat

malah memilih berjulan soto dan pecel lele. Lebih lanjut ia

menuturkan “pernah suatu ketika keluarga saya yang lulusan

pesantren dan perguruan tinggi meninggalkan posisinya sebagai

ustad dan memilih berjualan soto dan pecel lele. Namun apa yang

terjadi justru kehidupannya berantakan. Sehingga ia sowan ke kiai

dan diberi nasehat agar kembali mengajar lagi. Sebab tidak baik

bagi seorang ustad bilamana meninggalkan tugasnya mengajar di

masyarakat malah memilih berjualan soto dan pecel lele.”86

Konsep kewajiban dan tanggung jawab sosial menurut Talcott

Parsons adalah dengan menjalankan tugas sesuai dengan peran

masing-masing. Individu merupakan bagian dari komponen

masyarakat yang bekerja sesuai dengan perannya. Masyarakat

muslim abangan bertugas untuk mengelola tanah dan menjalankan

ekonomi. Santri yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas

diaharapkan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Sementara priayi yang mempunyai tugas mengatur pemerintahan

mempunyai peranan untuk memperbaiki kondisi sosial suatu

masyarakat.

85 Wawancara dengan Arif (Jakarta, November 2015). 86 Petikan wawancara dengan Arif (Jakarta, September 2015).

Page 197: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

182 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

1. Latar Belakang Berwirausaha

Keberhasilan bisnis orang Cina di perantauan Asia Tenggara

memberikan sebuah pemahaman apakah peranan nilai-nilai dan

budaya serta struktur sosial memberikan pengaruh terhadap perilaku

berwirausaha mereka. Seperti halnya catatan kinerja negara-negara

Asia Timur dengan warisan budaya Konfusius yang digambarkan

memberikan pengaruh pada budaya berwirausaha masyarakat Cina.

Orang Cina lebih berwatak wirausaha dibandingkan dengan

penduduk pribumi Asia Tenggara pada umumnya.87

Godelier (1996),

menyatakan perubahan lanskap masyarakat yang berasal dari agraris

menjadi masyarakat yang berorientasi pada pasar dengan

pertimbangan rasionalisasi yang berbeda dan logika yang berbeda.88

Pekerjaan dalam bidang kewiraswastaan berkaitan dengan

penggabungan antara sumber-sumber baik yang berupa benda

maupun bukan kedalam kombinasi baru yang menguntungkan.89

Problem yang sering dihadapi oleh wirausaha dari desa adalah sering

terlantar dan kekurangan modal dalam menjalankan usahanya.90

Kaum Cina Asia Tenggara terutama sekali, menghadapi tekanan

besar yang ditentukan karena dua faktor: kepercayaan internasioanal

terhadap xinyong (kepercayaan) seperti perakat yang mengikat

transaski perdagangan, dan guanxi (hubungan pribadi) sebagai alat

untuk mereduksi biaya transaksi dalam bisnis yang dilakukan dalam

87 Robert W. Hefner, Eds. Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam

Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan LP3ES, 2000), 179. 88 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006), 176. 89 Norman Long, An Introduction to the Sociology of Rural Development

(London: Tavistock Publication Limited, 1977). Diterjemahkan oleh, Tim

Penerjemah Bina Aksara, Pengantar Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: PT

Bina Aksara, 1987), 175. 90 S. S. Solanki, “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political

Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-27.

Page 198: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 183

berbagai situasi di mana perlindungan hukum untuk pelaksanaann

kontrak sering tidak dapat diandalkan.91

Warisan budaya pada suatu masyarakat terkadang

memberikan pengaruh bagi individu yang ada di dalamnya.

Kewirausahaan masyarakat Cina misalnya dikarenakan warisan

budaya yang mengkonstruk perilaku berwirausaha mereka. Budaya

berbasis malu mengarahkan warganya pada dimensi sosial dari

keberhasilan dan kegagalan menjalankan usaha. Peningkatan status

seseorang ditentukan keberhasilan atau kegagagalan menjalankan

usaha. Masyarkat Cina lebih bersifat kolektif dan mengenali

keanggotaan kelompoknya. Mereka merasa bangga ketika berhasil

menjalankan usaha. Kecenderungan dipandang sebagai generalisasi

untuk masyarakat kolektif Cina seperti di Asia Timur yang berbeda

dengan masyarakat Barat yang individualis.92

Masyarakat Wajo

misalnya berhasil dalam mengembangkan usaha antara lain sebagai

berikut:93

a. Peranan agama yang dianut oleh masyarakat Bugis Wajo

(Islam) yang berintegrasi dengan sistem budaya

Panngaderreng, memberi pedoman dalam bertindak dalam

menjalankan motivasi berwirausaha. Karena mereka

berpandangan bahwa bumi dan langit diciptakan Tuhan

sebagai sumber rejeki bagi mahluknya.

91 Robert W. Hefner, Eds. Market Cultures, Society and Morality in the

new Asian Capitalism (Colorado: Westview Press, 1998). Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan

LP3ES, 2000), 181. 92 Thomas M. Begley and Wee-Liang Tan, “The Socio-Cultural

Environment for Entrepreneurship: A Comparison between East Asian and Anglo-

Saxon Countries,” Journal of International Business Studies, Vol. 32, No. 3 (2001),

537-553. 93 Darwis Abdullah, Agama, Budaya dan Masyarakat: Ikhtisar Laporan

Hasil-hasil Penelitian (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1980),

143-144.

Page 199: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

184 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

b. Peranan ekonomi yang diberikan sejarah kepada orang Bugis

Wajo semenjak Puang ri Manggalluntung abad 15 sampai

dewasa ini.

c. Peranan lembaga yang demokratis dalam pelapisan

masyarakat Bugis Wajo, baik zaman pemerintahan swapraja

atau masa pemerintahan otonomi daerah yang memungkinkan

mobilitas sosial secara vertikal dan horizontal.

d. Kekayaan alam “Tana Wajo” relatif kaya sebagai anugerah

tuhan sebagai pulaung untuk berkembang.

e. Peran warisan kebudayaan “Triwangsa” Yakni Battempola,

Talotenreng, dan Tua yang diakui oleh orang Bugis Wajo

dalam membentuk watak perilaku berwirausaha mereka.

Masyarakat Lamongan yang mewarisi budaya priayi masih

menjadikannya sebagai sebuah pedoman untuk meningkatkan status

sosialnya.94

Berbeda dengan masyarakat Cina, pencapaian status

masyarakat Jawa ditentukan oleh posisi mereka pada sebuah

instansi pemrintahan atau perusahaan. Budaya berdasarkan strata

sosial pada sebuah instansi inilah yang menyebabkan masyarakat

Jawa berorientasi kerja pada posisi sosial. Bukan pada akumulasi

kekayaan sebagaimana masyarakat Barat dan Cina. Meskipun

kebudayaan ini mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat

Lamongan.

Kewirausahaan masyarakat Lamongan terbentuk bukan

karena faktor budaya priayi. Motivasi berprestasi individu menjadi

faktor utama yang menyebabkan masyarakat Lamongan

berwirausaha untuk menjadi saudagar yang suksess. Konsep

kontruksi kewirausahaan masyarakat Lamongan sesuai dengan etos

kerja Weber, Schumpeter serta Mc Clelland. Menurut mereka

94 Wawancara dengan Edi Purwanto warga Lamongan yang migrasi dan

bekerja sebagai Pegawai Negeri,(Singkawang, April 2013).

Page 200: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 185

motivasi berprestasi merupakan faktor pendorong berkembangnya

suatu masyarakat.

Bentuk koreksi yang diberikan oleh masyarakat Lamongan

terhadap sebuah sistem kebudayaan yang telah lama ada adalah

dengan membangun sebuah usaha kecil yang memungkinkan mereka

akan terbebas dari alienasi. Kekebasan dalam berekspresi dalam

menikmati hidup merupakan motivasi yang pada awalnya hanya

dimiliki oleh sekelopok individu masyarakat Lamongan.95

Proses

dialektikan yang demikian kemudian menyebar kepada kalangan

luas seiring dengan pencapaian-pencapaian dalam ekonomi.

Masyarakatnya yang mempunyai kesadaran secara consensus

mempengaruhi mereka untuk mendirikan sebuah usaha.

Implementasi dari sebuah consensus ini merupakan bagian dari

adanya difusi dari beberapa masyarakat Lamongan yang berdiaspora

ke berbagai wilayah dikota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

William Oughburn berpendapat bahwa perubahan sosial disebabkan

karena kondisi primer seperti geografis, ekonomis dan sebagainya.96

Perubahan kebudayaan disebabkan banyaknya tradisi dan

bentrokan antara tradisi yang satu dengan lainnya. Benturan antara

sebuah tradisi telah banyak dikaji oleh para pakar antropolog dan

sosiolog. Cepat atau lambat sebuah tradisi akan mengalami

perubahan yang disebabkan oleh fragmen-fragmen masa lalu yang

disahkan menjadi tradisi bila berbenturan dengan realitas dan

ditunjukan sebagai sesuatu yang tidak berguna.97

Masyarakat modern atau post-industrial mengalami

perubahan sosial bukan hanya dipicu oleh adanya modal

kapitalisme. Melainkan dipengaruhi oleh dominannya ilmu

pengetahuan, pendidikan dan adanya revolusi teknologi informasi

95 Wawancara dengan Fatoni (Lamongan, Juli 2015). 96 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 202), 306. 97 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2004), 73.

Page 201: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

186 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

yang kemudian melahirkan kapitalisme dalam sebuah masyarakat.98

Suatu perubahan terhadap pandangan kerja akan berdampak pada

perubahan terhadap pandangan belajar.99

Weber berusaha untuk menonjolkan daya tarik yang

berdasarkan pemilihan (Wahlverwandschaft) antara Calvinisme atau

tepatnya antara jenis-jenis tertentu dengan kepercayaan-

kepercayaan Calvinisme dengan etika ekonomi dan kegiatan

kapitalisme modern. Segi yang menojol dalam karya tersebut adalah

adanya upaya untuk menonjolkan sebuah rasionalisasi kehidupan

ekonomi. Hal ini menunjuk pada sebuah hubungan kausal untuk

menjadikan sebuah sebab-akibat.100

Sistem komunikasi verbal dan

nonverbal membedakan antara satu kelompok dengan kelompok

lainnya. Budaya memberikan identitas terhadap kelompok yang

akan membedakan dengan kelompok lainnya.101

Budaya reaktif bersifat entrovert, kelompok budaya reaktif

bersifat mendengar sebelum mereka bertindak. Mereka dikenal

sebagai pendengar yang baik dan kemudian memutuskan untuk

menjalankan aksinya sendiri. Budaya reaktif dapat ditemukan di

Jepang, Cina, Taiwan, Singapura, Turki dan Finlandia.102

Setiap

orang mempunyai suatu sistem pengetahuan dari budayanya berupa

realitas yang tak pernah dipersoalkan lagi (Schutz, 1970). Realitas

ini menyediakan skema interpretatif bagi seseorang untuk

98 Rahma Sugiharti, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial

Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2014), 59. 99 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES,

1988), 267. 100 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis

Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia,

2007), 162. 101 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya:

Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang yang Berbeda Budaya (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2005), 58. 102 Richard D. Lewis, Komunikasi Bisnis Lintas Budaya (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2005), 42.

Page 202: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 187

menafsirkan tindakannya dan tindakan orang lain. Sistem makna

kultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan

tema nilai (value themes).103

Ciputra (2009), mengemukakan fakta bahwa kebanyakan

generasi muda Indonesia tidak dibesarkan dalam budaya

entrepreneur. Melainkan dalam budaya pegawai atau pekerja.

Mereka lahir dari kalangan pegawai negeri, petani, nelayan, buruh,

hingga pekerja serabutan. Entrepreneurship tidak ada dalam

pendidikan keluarga, tidak mengherankan jika setelah dewasa

mereka memiliki pola pikir mencari kerja dan tidak dalam pola

menciptakan lapangan kerja.

Aspek pendidikan yang rendah tidak menjadi hambatan bagi

masyarakat Lamongan untuk berwirausaha. Wirausahawan yang

berasal dari Lamongan mungkin bisa dikatakan tidak mempunyai

keahlian dalam bidang entrepreneur sebelum mengelola usahanya.

Sebagai masyarakat yang berasal dari sebuah pedesaan yang belum

maju di Jawa Timur. Masyarakat Lamongan mempunyai insting

yang kuat untuk berwirausaha. Tradisi entrepreneur yang berasal

dari pedesaan juga terjadi pada masyarakat di berbagai daerah

seperti Cina, Solo, Madura dan tentu saja Padang. Oleh karena itu,

pengalaman dalam menjalankan usaha secara implementasi bisa

dikatakan sebagai bentuk pendidikan entrepreneur secara aksi dan

otodidiak. Yakni menjalanakan bisnis hanya dengan bermodalkan

kemauan serta ketekunan untuk berhadapan dengan berbagai macam

resiko yang tidak pasti.

Pendidikan entrepreneur masyarakat pedesaan bisa dikatakan

kontras dengan pendidikan entrenpeneur yang sedang diterapkan

oleh pranata pendidikan yang hanya berorentasi pada bisnis dengan

membuka usaha. Masyarakat Lamongan yang berasal dari kampung

103 Deddy Mulyana, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya:

Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang yang Berbeda Budaya (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2005), 178-179.

Page 203: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

188 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

di Jawa Timur mampu untuk melawan mitos dengan merubah

kebiasaan lama. Bahkan mereka berjualan pecel lele yang mana bagi

sebagian besar masyarakat Lamongan adalah hewan yang mereka

keramatkan karena telah berjasa dalam menyelematkan tokoh-tokoh

Lamongan.

Budaya mitos atau pengkeramatan pada sesuatu masih terjadi

pada berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.

Sebagai perumpamaan adalah bagi masyarakat Kudus maupun

Bromo Probolinggo yang mengkeramatkan sapi. Meskipun Kudus

mempunyai aspek keislaman yang kuat, kota ini bisa dikatakan

reformis Islam kurang berhasil dalam meperbaiki sistem

kepercayaan masyarakat Kudus. Banyak praktek peninggalan Hindu

yang sampai saat ini masih dijalankan oleh sebagian besar

masyarakat Kudus. Diantaranya adalah mereka tidak menyembelih

sapi bagi sebagian besar masyarakat Kudus bagian barat.104

Sapi

adalah hewan yang mereka keramatkan sehingga tidak mereka

konsumsi apalagi untuk keuntungan ekonomis sebagaimana

masyarakat Lamongan pada umumnya. Masyarakat Lamongan yang

sebagian besar didominasi oleh kalangan masyarakat Jawa tidak

menggantungkan mata pencahariannya dengan bekerja pada sebuah

instansi pemerintahan dan perusahaan sebagaimana mayoritas

masyarakat Jawa pada umumnya.

Selama melakukan research, peneliti mengkalisifikasikan

wirausaha masyarakat Lamongan menurut strata pendidikannya.

Pedagang soto Lamongan yang berusia empat puluh tahun keatas

kebanyakan didominasi oleh lulusan Madrasah. Sementara pedagang

yang berusia dibawah empat puluh tahun mempunyai pendidikan

SMA. Mereka lebih memilih bekerja dariapada melanjutkan jenjang

104 Lance Castles, Religion Politics and Economi Behavior in Java: The

Kudus Cigarette Industry (Yale University, 1967). Diterjemahkan oleh J. Sirait,

Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan), 102.

Page 204: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 189

pendidikannya. Masyarakat Lamongan lulusan SMA tidak

mempunyai akses untuk masuk dalam dunia kerja yang menuntut

ijazah sarjana.

Tingkat pendidikan yang rendah disertai dengan keterbatasan

untuk melanjutkan ke-jenjang yang lebih tinggi. Merupakan diantara

variabel yang berpenagruh dalam membentuk perilaku

kewirausahaan masyarakat Lamongan. Terbatasnya akses memilih

pekerjaan formal pada akhirnya memaksa mereka untuk bekerja

pada sektor non-formal. Sektor kuliner menjadi pilihan bagi

beberapa warga yang bermigrasi ke kota-kota besar.

Selama menjadi karyawan, masyarakat Lamongan senantiasa

belajar kepada majikannya sebagai sebuah pengalaman baru di

daerah urban. Konsep “dodolan kaleh sinau” yang bermakna bekerja

sambil belajar senantiasa diterapkan oleh masyarakat Lamongan

yang saat ini telah membuka usaha sendiri.105

Orientasi

menghimpun kekayaan bukanlah motivasi utama bagi masyarakat

Lamongan sebelum membuka usaha sendiri. Mereka umumnya lebih

berorientasi pada menjalankan usaha sebagai bekal pengetahuan

untuk mengetahui seluk-beluk berwirausaha. Sebagai seorang yang

telah membuka usaha selama lima tahun, Rofiq tidak serta merta

menjadikan merantau sebagai motivasi utamanya dalam

mengumpulkan kekayaan. Pengalamannya bekerja pada warung

Lamongan di Jakarta Timur telah menjadikannya sebagai seorang

wirausaha kelas kaki lima.106

Dalam beberapa kasus, peneliti menemui penjual soto yang

tendanya bertuliskan Lamongan yang tidak hanya dijalankan oleh

orang Lamongan. Namun orang yang berasal dari luar Lamongan

seperti Solo di sekitaran Stasiun Pasar Senen Jakarta Pusat. Pada

awalnya masyarakat Lamongan memakai identitas bukan Lamongan

105 Wawancara dengan Khozin (Lamongan, November 2014). 106 Wawancara dengan Rofiq, pengusaha pecel lele di Pondok Labu

(November 2015).

Page 205: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

190 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

sebagaimana yang terjadi pada penjual soto Lamongan yang berada

di Jalan Sumenep Jakarta.107

Pedagang soto yang demikian

kebanyakan di dominasi oleh kalangan orang tua yang mempunyai

usia diatas empat puluh tahun. Yakni generasi pedagang yang hijrah

ke Jakarta sebelum tahun 2000. Pemilihan lokasi merupakan

pertimbangan yang penting dalam menjalankan usaha.108

Trotoar

dan emperan rumah adalah tempat yang menjadi tujuan masyarakat

Lamongan dalam menjalankan usahanya.

Surabaya pada masa itu merupakan kota yang menjadi ikon

Jawa Timur dan menjadi kebaggaan sebagain besar masyarakatnya.

Pedagang Lamongan memakai identitas Surabaya dikarenakan lebih

familiar dan mudah untuk dikenal oleh sebagian besar masyarakat

Jakarta. Sehingga trend soto Surabaya pada tahun 2000-an masih

mendominasi Jakarta khususnya di sekitaran jalan-jalan besar yang

dipadati oleh banyak kendaraan bermotor.

Generasi pedagang tahun 2010 keatas lebih cenderung

menggunakan identitas Lamongan sebagai nilai jual yang mereka

anggap lebih familiar. Mereka pada umumnya anak-anak yang hanya

lulusan SMA dan tidak mempunyai peluang yang besar untuk masuk

dalam dunia kerja secara formal. Sehingga mereka kemudian

membuka usaha sendiri dengan teman-teman di perantauannya. Hal

ini dikarenakan Lamongan sudah menjadi kota yang mulai

berkembang dan tersohor di Indonesia. Era ini dimulai dengan

kepemimpinan Masfuk yang menjabat sebagai bupati di Lamongan.

Berkat tangan dinginnya dalam mengembangkan Persela yang

merupakan tim sepak bola kebanggaan masyarakat Lamongan.

Dengan seringnya Persela mengikuti sepak bola dan masuk

media nasional. Kepercayaan diri di kalanagn pemuda masyarakat

107 Kisah Soto Lamongan 'menaklukkan' Jakarta

file:///D:/ENTREPRENEURSHIP/LAMONGAN/Kisah%20Soto%20Lamongan%2

0'menaklukkan'%20Jakarta%20-%20BBC%20Indonesia.htm 108 Franky Slamet, Hetty Tunjungsari dan Mei Le, Dasar-dasar

Kewirausahaan: Teori dan Praktik (Jakarta: PT Indeks, 2014), 128.

Page 206: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 191

Lamongan meningkat dan menjadi sebuah kebanggaan tersendri

bagi warganya. Para pemuda Lamongan kemudian banyak

menjalankan usahanya dengan memakai identitas Lamongan.

Bahkan diantara mereka terdapat sebuah warung tenda khas

Lamongan yang memberikan nama warung LA yang berasal dari

singkatan supporter Lamongan LA Mania yang berarti Lamongan

Asli.109

Kefanatikan para pemuda masyarakat Lamongan dalam tim

sepak bola. Diantara mereka kemudian ada yang menjalankan

warung dengan memakai nama identitas Joko Tingkir yang konon

menjadi ikon supporter Lamongan.110

Dalam kompetisi sepak bola

pernah terjadi bentrok antara tim Lamongan dengan Surabaya yang

mengakibatkan lima supporter Surabaya tewas.

Banyak pedagang Lamongan di Surabaya khususnya warung-

warung yang memakai identitas Lamongan dirazia oleh kelompok

supporter Surabaya Bonek yang dalam akronim Jawa berarti berarti

bondo nekat atau modal nekat. Kejadian ini berlangsung pada tahun

2011 ketika peneliti masih kuliah di Surabaya. Pedagang-pedang

yang memakai nama Lamongan dirusak oleh kalangan supporter

Surabaya sebagai bentuk protes atas tewasnya supporter Persebaya.

Bahkan peneliti banyak menjumpai poster atau spanduk-spanduk

yang berisi profokasi terhadap orang Lamongan.

Salah seorang penjual soto asal Glagah Lamongan yang

membuka warung di Nginden Semolowaru beberapa bulan tidak

memakai atribut Lamongan ketika kejadian ini. Di sekitar rumah

sakit Dr Soetomo Surabaya seorang ibu yang berjualan bakso dan

soto Lamongan mengalami razia dan pencoretan kata-kata

Lamongan di warungnya.111

109 Wawancara dengan Adib (Lamongan Agustus, 2015). 110 Wawancara dengan pedagang soto Lamongan (Jakarta, Januari, 2016). 111 Wawancara dengan Rokan (Surabaya sekitar 2011).

Page 207: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

192 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Kejadian yang demikian justru membuat para pemuda malah

enggan untuk memakai nama identitas Surabaya sebagai nama yang

menjual dalam menjalankan usahanya kulinernya. Peneliti dalam hal

ini tidak menjadikan fenomena protes yang dilakukan oleh supporter

Surabaya sebagai faktor utama yang membuat pemuda Lamongan

enggan untuk memakai nama Surabaya. Sebab Surabaya masih

menjadi kota number one di Jawa Timur dan pusat perekonomian di

Indonesia timur.

Proses dialektika yang seperti ini kemudian merubah

kebiasaan orang Lamongan yang awalnya bekerja sebagai tenaga

kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Dengan merubah sistem

kultur lama, mereka bekerja di kota besar dengan mendirikan usaha

atau membuka lapangan pekerjaan. Masyarakat pedesaan

kebanyakan cenderung mengajarkan banyak hal kepada anak

turunnya sesuai dengan pengalaman yang pernah mereka alami.

Sebagaimana dalam bidang pengelolaan tanah dan sesuatu yang

berhubungan dengan masalah etika dan moralitas. Para ahli ilmu

sosial sampai sekarang banyak yang sependapat bahwa kualitas

manusia tidak hanya diukur dengan keilmuan dan keahlian semata.

Tetapi juga dari kualitas moral dan dan kepribadian untuk

mengembangkan kehidupan.112

Terjadi sebuah pergeseran antara kehidupan masyarakat

Lamongan pada dekade 80-an dengan yang terjadi sekarang. Pada

masa dekade 80-an sebagian besar mereka datang ke kota dengan

memlih bekerja sebagai buruh. Sedangkan pada masa ini mulai

bergeser menjadi seorang pedagang soto Lamongan yang tersebar

hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Peneliti dalam hal

ini tidak hanya menjumpai soto Lamongan di Jawa saja. Melainkan

di Kalimantan dan Sumatera bahkan sampai Papua. Kondisi yang

112 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37.

Page 208: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 193

demikian tergolong sebagai sesuatu yang unik ketika mereka

berangkat dengan modal nekat dalam bahasa Jawa bondo nekat.

Masyarakat Lamongan yang mengkeramatkan ikan lele yang

dianggap sangat berjasa dalam menyelematkan adipati Surajaya

malah memilih berjualan pecel lele. Kasus ini menunjukan bahwa

mitos hewan yang dikeramatkan tidak lagi menjadi sebuah nilai

yang ditaati oleh warganya. Berbeda degan masyarakat Tengger di

Probolinggo atau Kudus yang tidak menyembelih sapi dikarenakan

alasan ketaatan pada leluhur mereka. Masyarakat Lamongan justru

mementingkan sisi ekonomis bila dibandingkan dengan sisi mistis.

Terjadi sebuah dialektika antara unsur mistis dan dengan nilai-nilai

ekonomis. Modernisasi yang telah tersebar merata di pedesaan tidak

serta merta menyebabkan penundukan keberagamaan dan

tradisionalitas.113

Penurunan lapangan kerja di sektor pertanian adalah masalah

semua negara.114

Proses pengembangan ide dari setiap generasi

mendefinisikan penelitian dan pengembangan sebagai karya kreatif

yang dilakukan secara sistematis untuk meningkatkan bekal

pengetahuan, termasuk pengetahuan manusia, budaya dan

masyarakat.115

Specht (1993), menunjukkan kategori faktor secara

umum yaitu: ekonomi, sosial, politik, dan pembangunan

infrastruktur dimana faktor-faktor tertentu dapat dikelompokkan.

Sebagai contoh faktor ekonomi yang rmasuk dalam ketersediaan

modal, resesi dan pengangguran.116

113 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet,

2009), 278. 114 Lise Herslund, “Rural diversification in the Baltic countryside: a local

perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-59. 115 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 37. 116 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases

Page 209: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

194 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Guna membentuk karakter entrepreneur mahasiswa, maka

diterapkan sebuah strategi pembelajaran yang melibatkan antara

kurikulum dengan aksi. Strategi pembelajaran secara kurikulum

adalah pembelajaran dalam bentuk memberikan teori tentang

pentingnya bewirausaha. Sedangkan strategi aksi adalah

kemampuan untuk menerapkan antara teori dengan

mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial. Program pemerintah

dalam bentuk memberikan pinjaman kepada masyarakat yang belum

mempunyai modal akan menjadi insting baru bagi para anggota

masyarakat yang berkeinginan untuk menciptakan lapangan

pekerjaan. Program seperti ini kemudian banyak diikuti oleh

kalangan bank swasta maupun pemerintah dengan memberikan

pinjaman dan cicilan yang ringan kepada angota nasabahnya.

Program tersebut tentu berkontribusi penting dalam upaya

pengentasan kemiskinan. Baik secara struktural yang diakibatkan

oleh kebijakan pemerintah yang kurang tetap maupun kemiskinan

secara kultural yang di akibatkan oleh pola kehidupan masyarakat

yang mempunyai daya saing atau motivasi yang rendah dalam dunia

kerja. Konsep kewirausahaan yang ditawarkan oleh pemerintah

harus sesuai dengan norma-norma dalam menjalankan usaha.117

Pola

pikir masyarakat yang masih terbelakang tentunya menjadi

perhatian penting bagi pemerintah dalam upaya mengatasi

kemiskinan secara kultural. Pemberian bantuan semata tanpa

disertai dengan sosialisasi yang tepat malah akan mendatangkan

problem baru dalam sebuah masyarakat yang disebabkan oleh etos

kerja yang rendah.

Indonesai adalah negara yang mempunyai banyak potensi dan

sumber daya alam yang melimpah termasuk jumlah penduduk yang

(Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 146. 117 Sebastian Köhn, “Entrepreneurship and the Right of the Child to a

Nationality in an Era of Migration,” The Annual Meeting American Society of

International Law), Vol. 106 (March 2012), 67-69.

Page 210: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 195

banyak. Negeri ini mempunyai banyak potensi yang harus segera

dikembangkan oleh masyarakatnya. Sumber Daya Manusia (SDM)

yang banyak tapi tidak mempunyai kualitas yang baik akan menjadi

beban bagi pembangunan suatu negara. Sedangkan sumber daya

manusia yang baik merupakan potensi penting bagi pembangunan

suatu bangsa. Sumber daya manusia yang berkualitas mempunyai

dua potensi.118

Pertama adalah gagasan-gagasan, kreasi dan

konsepsi. Kedua kemampuan dan keterampilan mewujudkan

gagasan-gagasan tersebut dengan cara produktif.

Sebagai solusi efektif dalam meningkatkan SDM adalah

membentuk mahasiswa yang berkarakter entrepreneur.

Pembentukan program jurusan yang seperti ini dapat secara efektif

mengurangi tingkat lulusan pencari kerja dan meningkatkan kualitas

lulusan agar mampu untuk mencetak lapangan kerja yang

berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi bagi suatu negara.

Harapan kampus yang mencetak entrepreneur adalah membentuk

perilaku entrepreneur untuk mendesain dirinya menjadi seorang

pencipta lapangan kerja.

Pengelolaan bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau

barang jadi akan memberikan nilai jual yang lebih. Sebuah kayu Jati

bilamana dibiarkan dalam sebuah hutan hanya akan menjdi sebuah

kayu bakar yang tidak mempunyai nilai jual secara ekonomis. Air di

sebuah pegunungan yang memiliki tingkat kejernihan yang tinggi

hanya akan menjadi air minum biasa bilamana tidak diolah dan

dikelola secara baik. Begitu pula dengan lahan sawah tidak akan

produktif bilamana dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya dan tidak

dikelola secara baik hanya akan menjadi sesuatu yang mubazir.

Sementara definisi identitas profesional dan histori yang

konsekuensi sosiologis telah menghasilkan karakteristik penting

118 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 59.

Page 211: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

196 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

bahwa profesi merupakan konstruksi sosial atau budaya dan sangat

dipengaruhi oleh konteks nasional.119

Pemerintah mengharapkan para sarjana yang baru lulus

mempunyai kemampuan mendirikan bisnis baru meskipun

berukuran kecil namun membuka kesempatan pekerjaan bagi banyak

orang. Pihak universitas sebagai tempat mendidik lulusannya

bertanggung jawab dalam mendidik untuk melihat peluang bisnis

serta mengelola bisnis tersebut dengan memberikan motivasi untuk

mempunyai keberanian menghadapi resiko. Perusahaan besar di

kota-kota metropolitan termasuk dalam kategori menghadapi

sebuah ketidakpastian dalam menjalankan kegiatan usaha. Resiko

perusahaan besar adalah ketika tidak sesuainya antara pendapatan

dengan jumlah profit yang dihasilkan.120

Menyikapi ilustrasi diatas maka diperlukan banyak penulisan

tentang kewirausahaan agar semakin banyak orang mengetahui

dunia kewirausahaan. Penulisan karya ilmiah tentang kewirausahaan

lebih difokuskan pada tugas universitas guna memotivasi para

sarjana menjadi entrepreneur yang didukung data penelitian. Namun

yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana pihak universitas

mampu mencetak wirausahawan muda. Peranan universitas

dijelaskan oleh beberapa pendapat para pakar ekonomi dan sosial.

Konstruk masyarakat modern merepresentasikan

institusionalisasi dan rasionalitas instrumental diatas semua. Dalam

sebuah kasus, masyarakat akan bertindak secara efisiensi dan penuh

dengan perhitungan, bukan karena alasan emosi atau tradisi, atau

119 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The

Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward

Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 81. 120 Kristian Behrens, Gilles Duranton, and Frédéric Robert-Nicoud,

“Productive Cities: Sorting, Selection, and Agglomeration,” Journal of Political

Economy, Vol. 122, No. 3 (June 2014), 507-553.

Page 212: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 197

kesetiaan pada pemikiran yang sempit.121

Dagmara Stoerring dan

Bent Dalum (2007), menekankan kondisi wilayah tidak menjadi

pengaruh yang dominan dalam pembentukan sistem mata

pencaharian masyarakat. Kondisi geografis tidak memberikan

pengaruh yang signifikan, dalam arti yang bahwa kewirausahaan

merupakan kegiatan lokal setiap masyarakat. Namun, tidak pasti

seberapa besar kemungkinan itu adalah bahwa klaster berwirausaha

akan dikembangkan melalui lulusan universitas menjadi wirausaha

sukses.122

Perbedaan sebagian karakter sosial perliaku kewirausahaan

secara personal dapat dijelaskan melalui latar belakang historis arus

migrasi mereka. Dalam beberapa kasus terjadi migrasi dari daerah

pedesaan ke-perkotaan terjadi di negara-negara yang mengalami

kendala dalam sistem upah. Masuknya masyarakat desa ke kota-

kota adalah untuk kesempatan kerja yang lebih baik. Kecenderungan

ini telah mengakibatkan peningkatan usia rata-rata penduduk di

daerah adalah pedesaan. Kondisi ini dapat menjelaskan varian

signifikan demografis tidak berpengaruh dalam konstruk perilaku

kewirausahaan.123

Rogers (1995) memahami karakteristik mekanisme dan

implikasi difusi inovasi harus dilakukan untuk pekerjaan yang

komprehensif. Studi multidisiplin bidang antropologi, sosiologi,

pendidikan, ekonomi industri, dan ulasan dari penelitian saat ini

umum dalam proses difusi. Rogers (1995) yang mengusulkan empat

unsur difusi sebagai:

121 Pip Jones, Introducing Social Theory. Diterjemahkan, Pengantar Tori-

teori Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 119-120.

122 Philip Cooke and Dafna Schwartz, Eds. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, (Canada: Routledge 2 Park Square, 2007),

141. 123 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 171.

Page 213: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

198 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

1. Inovasi

2. Komunikasi dari satu individu pada individu yang lain

3. Terjadi dalam suatu sistem sosial

4. Transpiresi dari waktu ke waktu

Variasi dalam elemen-elemen ini dapat mempengaruhi tingkat

difusi espektasi secara resmi dalam pengaturan organisasi.

Misalnya, pemecahan masalah kolektif (dalam keputusan adopsi

organisasi), norma dan budaya kelompok, peran dan jenis aktor,

kehadiran influencer yang dikenal sebagai agen perubahan, dan asal

inovasi dan pengaruh eksternal.124

Dengan demikian, banyak unsur

yang terlibat dalam difusi menyoroti signifikansi komunikasi dan

transfer pengetahuan. Namun, pemahaman adopsi sangat penting

untuk meningkatkan proses. Terutama sebagai adopsi inovasi

dikatakan penentu inovasi ini.125

Terutama budaya kewirausahaan

yang kuat.126

Sejumlah penelitian masa lalu diterapkan semacam

pendekatan evolusioner untuk analisis dinamis sistem logis, sosial

atau ekonomi semacam ini yang menekankan bahwa kewirausahaan

merupakan hasil seleksi alam.127

Dalam artian apakah budaya yang

124 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 171. 125 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 231. 126 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 240. 127 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The

Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward

Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 245.

Page 214: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 199

diperlukan untuk membentuk perilaku baru dari menjanjikan ide

logis dan sejauh mana adalah bahwa masalah interaksi antara

teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.128

Pengertian ekonomi rakyat muncul sebab terjadinya kesenjangan

sosial ekonomi dalam masyarakat. Kesenjangan tersebut merupakan

pemilikan asset-aset ekonomi berupa sumber daya produksi dan

produktivitas antara yang kuat dengan yang lemah.129

Sebagai contoh dominasi wirausahawan dari pedesaan di

beberapa negara yang cenderung lebih proaktif daripada yang

perkotaan (Harding, 2006).130

Generasi muda mempunyai banyak

potensi yang digunakan untuk menetukan arah pembangunan bangsa

di masa depan dengan menjadi sosok entrepreneur dalam

pembangunan ekonomi.131

Sektor informal merupakan anak kandung perekonomian

Indonesia jauh sebelum Belanda datang. Sebagian kajain ilmiah ini

pertama kali diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dalam

penelitiannya yang menjangkau tentang usaha-usaha kecil di luar

jangkaun pemerintah.132

Praktek merancang mekanisme untuk meningkatkan generasi

dalam bidang teori dan praktek yang disebut sebagai manajemen

pengetahuan. Kebutuhan manajemen pengetahuan muncul dari

128 Terrence E. Brown, Innovation, Entrepreneurship and Culture: The

Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward

Elgar Publishing Limited Glensanda House, 2004), 12 129 Azwir Dainy Tara, Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit

Pasti Berlalu (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), 3. 130 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 174. 131 Muhammad Saroni, Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda:

Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 71.

132 Azwir Dainy Tara, Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit Pasti Berlalu (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), 80.

Page 215: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

200 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

kegagalan standar akuntansi untuk sepenuhnya mengakui nilai

intelektual dan modal.133

Membuka usaha bukanlah perkara yang

mudah. Ada orang yang membuka usaha karena tidak ada pilihan

lain selain membuka usaha sendiri. Ada orang yang membuka usaha

sendiri karena pendidikan rendah yang membuat dia sulit mencari

pekerjaan. Ada juga orang yang terpaksa membuka usaha sendiri

karena terkena PHK dari perusahaannya. Sedangkan ada orang yang

membuka usaha sendiri karena lebih senang memilih usaha sendiri

daripada bekerja pada orang lain. Ada beberapa alternatif pilihan

usaha baru. Pilihan usaha ada tiga macam yaitu waralaba

(franchise).

Pada bagian ini, kami memberikan bukti prevalensi sistem

solidaritas pada masyarakat pedesaan Afrika dan konservatisme

dalam menolak diferensiasi ekonomi yang dapat merusak

solidaritas. Temuan utama mereka adalah lingkungan yang ditandai

dengan berisiko tinggi dan pasar kegagalan, lembaga masyarakat

sering memberikan anggota dengan cara mengalokasikan risiko

secara efisien. Mekanisme ini dapat mengambil berbagai bentuk,

seperti pertukaran hadiah, kredit timbal balik, pinjaman lahan, dan

tenaga kerja.134

Masyarakat Lamongan dalam memulai usaha senantiasa

diawali dengan akumulasi kekayaan di daerah perantauan sebagai

modal. Sedangkan masyarakat yang beulm mempunyai modal yang

cukup akan menjual ternak atau sawah sebagai modal usaha. Proses

konstruksi wirausaha masyarakat Lamongan mempunyai kesamaan

133 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation And Entrepreneurship In

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories And Cases (Northampton Massachusetts 01060 Usa: Edward Elgar Publishing Limited, 2006),

118. 134 Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does

Community Conservatism Constrain Village Organizations?,” The University Of Chicago Press, Source: Economic Development And Cultural Change, Vol. 58, No.

4 (July 2010), 609-641.

Page 216: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 201

dengan melamar kerja sebagai pegawai negei. Orang tua di

Lamongan bahkan menjual sebagian sawah dan ternak mereka

sebagai pembiayaan dalam memberikan dukungan secara materiil

kepada anak-anaknya.

Sektor usaha kuliner yang dijalankan oleh masyarakat

Lamongan dimulai dengan menyewa tanah sesuai dengan

kemampuannya. Guna menghindari sengketa lahan dengan pemilik.

Warga Lamongan yang membuka usaha di Jakarta terlebih dahulu

menanyakan status lahan agar mendapatkan kejelasan dan

kenyamanan dalam menjalankan usahanya. Pada awal memulia

usaha, masyarakat Lamongan senantiasa menjadikan keluarga inti

sebagai rekan kerjanya terlebih dahulu. Anak-anak muda yang masih

belum menikah senantiasa bermitra usaha dengan teman-teman

sebayanya di perantauan Jakarta yang berbeda kecamatan.135

Dalam menjalankan sebuah usaha, kebanyakan para warga

Lamongan menyewa lahan yang terdapat disamping trotoar jalan

raya. Salah seorang tokoh Lamongan menjelaskan bahwa insting

berjualan masyarakat Lamongan dikarenakan mereka tidak terlalu

suka dengan kerja ikut orang, yakni dengan menghabiskan waktunya

pada orang Cina. Motivasi ini juga peneliti temui dengan seorang

pedagang Lamongan di Pesanggrahan Jakarta Selatan. Kegagalan

awal dalam memulai usaha tidak menjadikan hambatan bagi

masyarakat Lamongan di Jakarta. Adanya kegagalan terkadang

membuat pelaku usaha lebih kreatif dan mencari solusi atas problem

yang sedang dihadapi.136

Pada awalnya masyarakat Lamongan hanya berjualan

sendirian bersama teman-temannya. Kemudian setelah mereka

suksess kemudian mengajak sanak saudanya untuk membantu

135 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember 2015) 136 Rowland Atkinson And Gesa Helms, Eds. Securing an Urban

Renaissance Crime, Community, and British Urban Policy, (Bristol: University of

Bristol, 2007), 63.

Page 217: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

202 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

aktivitas bisnisnya dalam menjalankan usaha sebagai partner.137

Meskipun mereka suksess secara ekonomi. Kebanyakan mereka

membangun rumah megah yang tidak bisa mereka tempati

dikarenakan menghabiskan aktivitasnya di kota-kota besar.

Marx mengharapkan agar karyanya dapat memberikan suatu

dasar untuk mengatasi praxis tertentu, dan bukan merupakan

sekedar penelitian akademis tentang masyarakat.138

The Protestant

ethic and the spirit of capitalism yang disebut Weber dalam bentuk

dua buah artikel panjang pada tahun 1904 dan 1905 menandai usaha

pertamanya untuk mengetengahkan secara pasti soal-soal ini pada

taraf umum. Beberapa ciri utama dari etos yang mewarnai perhatian

Weber di dalam bukunya tersebut sudah diungkapkan dalam

studinya mengenai buruh pertanian. Perbedaan menyolok antara

kondisi-kondisi kehidupan dan keadaan buruh terikat dengan buruh

harian, terletak pada pola sikap menerima pola-pola tradisional

tentang sikap hormat serta sikap perlindungan (patronage) di satu

pihak dan sikap indivisulaisme ekonomi di lain pihak. Akan tetapi

sikap individualisme ekonomi ini, jelas buka merupakan suatu hasil

dari keadaan-keadaan ekonomi para buruh harian semata-mata,

tetapi mengungkapkan suatu bagian dari suatu etik, yang dengan

sendirinya membantu meruntuhkan struktur tradisional lama dari

perusahaan-perusahaan pertanian besar.139

Beberapa penelitian yang menyatakan bahwa budaya Jawa

tidak mendukung untuk mengembangkan sikap berwirausaha.

137 Darcy W. Lear and Alejandro Sánchez, “Sustained Engagement with a

Single Community Partner,” American Association of Teachers of Spanish and

Portuguese, Vol. 96, No. 2 (June 2013), 238-251. http://www.jstor.org/stable/ 23608324. Accessed: 11/02/2015 04:4.

138 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Uinversitas Indonesia,

2007), 227. 139 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis

Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (Jakarta: Uinversitas Indonesia,

2007), 153.

Page 218: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 203

Merupakan teori yang dibantahkan oleh perilaku empiris

kewirausahaan masyarakat Lamongan di Jakarta. Pencarian

kekayaaan bukan hanya karena motivasi kerja, melainkan juga

karena tugas dan dorongan sosial yang tumbul dari suatu

masyarakat.140

Seorang dikatakan sukses bukan karena mereka

berasal dari lulusan lembaga pendidikan tinggi ternama di Indonesia

ataupun luar negeri. Dari data lapangan yang peneliti kumpulkan

banyak lulusan perguruan tinggi di Lamongan yang tidak

mempunyai karir yang suksess dalam dunia kerja sebagaimana

masyarakat yang berpendidikan rendah.

Salah seorang lulusan Universitas Gajah Mada malah kalah

bersaing dalam dunia kerja bila dibandingkan dengan lulusan SMP

atau SMA. Mereka hanya mampu bekerja dalam bidang instansi

pemerintahan yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap dengan

kualitas pembiayaan yang rendah. Hal ini tentu menjadi pelajaran

yang berharga bagi kualitas lembaga pendidikan untuk mampu

mencetak generasinya dalam segala bidang pendidikan.

Seorang lulusan perguruan tinggi bagi sebagian besar

masyarakat Lamongan yang masih berpendidikan rendah mereka

anggap mampu untuk menangani hal dalam sebagian besar bidang.

Mereka tidak mempedulikan asal usul atau status pendidikan yang

melekat pada diri mereka. Seorang sosiolog misalnya yang sudah S2

dituntut untuk bisa memperbaiki televisi. Meskipun tidak

mempunyai keahlian dalam bidang permesinan. Seorang

entreprnenur diharapkan mampu untuk mengurangi jumlah

pengangguran dalam sebuah masyarakat dengan membawa

kemajuan bagi daerah yang mereka singgahi. Ditengah pencanangan

program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah

pengangguran dalam masyarakat dan berbagai seminar yang

diadakan oleh berbagai lembaga swasta dan pemerintah.

140 Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Yogyakarta:

Jejak, 2007), 9.

Page 219: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

204 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Entrepreneur dalam aksi merupakan opsi yang tepat untuk

mengurangi permasalahan sosial terutama pengangguran.

Kalangan orang tua yang berpendidikan rendah masih

mengesampingkan pentingnya nilai pendidikan di masyarakat.

Bekerja dengan berjualan seakan-akan bagi masyarakat Lamongan

memiliki nilai gengsi tersendiri. Tolok ukur kualitas keberhasilan

seseorang bukan ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan atau

jenis pekerjaan. Melainkan karena kemampuan mereka dalam

mendirikan usaha dan mempekerjakan orang.

Dialektika yang demikian kemudian menjadi motivasti bagi

para pemuda yang datang dari kampung udik di Lamongan untuk

mendirikan berbagai macam usaha sesuai dengan kemampuan yang

mereka miliki. Termasuk berjualan soto meskipun tidak dibekali

dengan pengetahuan seputar kuliner. Mereka mampu untuk menjadi

pedagang soto yang suksess sebagaimana lulusan perguruan tinggi

yang orientasinya terpusat pada pengembangan bisnis.

Sebagai contoh peneliti menemukan seorang lulusan sekolah

SMA dan tidak memiliki kemampuan dalam bidang permesinan

justru meraih kesuksesan dengan bekerja sebagai teknisi dan

mendirikan sebuah usaha dalam bidang permesinan. Seorang

informan berikutnya yakni Andi yang tidak memiliki keahlian

kuliner sukses dalam bidang kulineristik termasuk ibu Anik yang

suksess dalam berjualan Soto dan sate di Kalimantan Barat sana.

Namun terdapat seorang sarjana lulusan UGM justru tidak mampu

mendirikan sebuah usaha dan memutuskan untuk menjadi guru

swasta di kampung halamannya.

Beberapa ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa tidak

selamanya lembaga pendidikan menjadi instrumen utama yang

mampu untuk mencetak lulusan yang mempunyai kualitas kerja

yang bagus sebagaimana orang-orang yang berpendidikan rendah.

Adanya tradisi berjualan kemudian diikuti oleh sebagian besar

masyarakat Lamongan generasi berikutnya yang seakan-akan

Page 220: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 205

menjadi sebuah tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh

warganya.

Peneliti menjumpai banyak masyarakat Lamongan yang

menjual tanah dan ternaknya hanya sekedar sebagai modal usaha

dengan mendirikan warung soto atau pecel lele. Meskipun mereka

bisa dikatakan belum memiliki analisis yang kuat tentang

perkembangan bisnis yang akan mereka kelola. Dalam artian apakah

memperoleh keuntungan atau sebaliknya yakni tidak laku alias rugi.

Akar dalam pandangan masyarakat dalam kehidupan sosial yang

menekankan aturan yang paling mendasar dari kehidupan sosial,

yang bertujuan untuk mempromosikan antara orang-orang dari

semua strata sosial, budaya.141

Teori lain memusatkan perhatian pada aspek psikologis

perkembangan kapitalisem adalah teori yang diajukan oleh David

Mc Clelland (1976). Ia memusatkan perhatian pada masalah adakah

sindrom kepribadian universal yang mendahului setiap ledakan

perkembangan ekonomi yang pernah terjadi dalam sejarah.

Jawabannya adalah ada. Perkembangan ekonomi selalu dilakukan

dan merupakan hasil dari penyebaran motivasi untuk berprestasi

(kebutuhan untuk berprestasi). Motivasi tersebut menemukan jalan

keluarnya yang terbaik dalam aktivitas kewirausahaan. Masyarakat

dengan motvasi tingggi akan menghasilkan usahwan yang lebih giat

dan selanjutnya akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang

lebih cepat.142

Pendekatan paling kuat tentang analisis kebudayaan meliputi

pembentukan sistem kebudayaan sebagai entitas spiritual dengan

sebuah otonomi, yang tak dapat dihilangkan dari tindakan-tindakan

141 Luca Crivelli And Benedetto Guisource, “Filosofia Do 'Economy of

Communion' Enterprises Deserve the 'Social' Label? A Comparative Discussionof

their Aims and Logic of Action,” Revista Portuguesa De Filosofia, T. 70, Fasc. 1

(2014), 28-43. http://www.jstor.org/stable/23785808. Accessed: 11/02/2015 04:44 142 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2004),

282.

Page 221: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

206 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

individu yang mereka bentuk. Spirit kebudayaan dianggap

menggerakan dan memotivasi yang disosialiasasikan ke

dalamnya.143

Isu pokok dari kehidupan sosial terletak pada isi dan

konfigurasi dari hubungan hubungan sosial yang selalu berubah.

Proses perubahan itu dapat dirangsang oleh sistem ekonomi dan

politik.144

Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang

untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis.

Mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk

mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam

rangka meraih sukses. Kewirausahaan juga bisa disebut sebagai

watak seseorang yang didasarkan pada perilaku untuk melihat

peluang guna mewujudkan ide-idenya.145

Argumen Weber didukung oleh Werner Sombart (1902), yang

melihat spirit kapitalisme sebagai semangat utama dalam

mendorong kesadaran akan perubahan ekonomi. Siprit ini kemudian

dikaitkan dengan kebudayaan dan agama.146

Semangat kapitalisme

Max Weber kemudian memberikan pengaruh pada semangat

mobilitas sosial (social mobility147

Koentjoroningrat mengemukakan

pandangannya bahwa etos merupakan watak yang tampak dari luar

143 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE

Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 53.

144 Niels Murder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan,

1985), 129. 145 Sukamdani Sahid Gitosarjono, Bisnis dan Kewirausahaan Syariah Upaya

Menuju Kesejahteraan Umat Islam (Bogor: Sekolah Tinggi Agama Islam Terpadu

Modern Sahid, 2012), 26. 146 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE

Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 128.

147 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 274.

Page 222: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 207

yang terlhat oleh orang lain.148

Etos berasal dari bahasa Yunani,

ethos, artinya ciri atau sifat, yang dimiliki oleh seseorang atau

kelompok suku bangsa.149

Dapat ditambahkan bahwa teori iklim yang dikemukakan oleh

para sosiolog akan berpengaruh terhadap etos kerja. Negara yang

berlokasi di daerah subtropik mempunyai iklim yang merangsang

warganya untuk bekeja lebih giat. Sementara negara yang terletak di

daerah khatulistiwa akan semakin kurang giat dalam bekerja dan

mereka akan cepat lelah. Namun hal ini dibantah oleh David C Mc

Clelland bahwa iklim tidak berpengaruh terhadap etos kerja.

Ternyata tidak semua negara yang terletak di mempunyai etos kerja

yang rendah.150

Potensi kognitif yang muncul secara konsisten yang

dirasionalisasikan akan berdampak luas terhadap masyarakat

tradisional.151

Pendidikan kewirausahaan adalah satu program

pendidikan yang menggarap aspek kewirausahaan sebagai bagian

penting dalam pembekalan kompetensi anak didik.152

Emile Durkheim (1885-1917) membahas sosiologi ekonomi

kurang komprehensif dan sistematis. Meskipun dalam bukunya The

Division of Labor in Society (1893) memberikan sumbangan

tersendiri bagi ekonomi. Bagi para ekonom, membandingkan kerja

merupakan sebuah sarana untuk memperoleh keuntungan dan

kesejahteraan secara efisien. Bagi Durkheim, pembagaian kerja

148 Koentjoroningrat, Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan

Ekonomi, (Jakarta: LIPI, 1980), 231. 149 Mochtar Bukhori, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam Di

Indonesia, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1994), 6. 150 Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah

University Press, 2004), 41. 151 Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komulatif: Rasio dan Rasionalisasi

Masyarakat (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), 269. 152 Muhammad Saroni, Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda:

Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 45.

Page 223: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

208 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

tidak hanya ditujukan untuk mencapai sebuah keuntungan secara

ekonomi. Lebih lanjut ia membandingkan bahwa pembagian kerja

mempunyai sebuah fungsi yang lebih luas. Sistem pembagian kerja

merupakan sarana utama dalam menciptakan kohesi sosial dan

solidaritas diantara anggota masyarakat.153

Dalam masyarakat Minangkabau jaringan hubungan dibentuk

oleh sistem kekerabatan matrilineal yang bermula dari hubungan

semande (ibu ayah yang sama), seperut (jaringan hubungan yang

muncul kerna sekelompok orang memiliki nenek yang sama),

senenek (merujuk pada suatu jaringan hubungan yang timbul karena

sekelompok orang mempunyai satu nenek buyut gaek), seninik

(berasal dari niniek yang sama), sekaum (semarga yang sama atau se

klan yang sama), dan sesuku (dari suku yang sama).154

Bourdie menjelaskna bahwa capital budaya didefinisikan

sebagai kepemilikan kompetensi kultural tertentu, atau seperangkat

pengetahuan kultural yang menyediakan bentuk konsumsi kultural

yang dibedakan secara khusus dan klasifikasi rumit dari barang-

barang kultural simbolis.155

Ada beberapa alasan banyak orang tua

yang tidak mengingnkan anaknya menjadi wirausaha antara lain

tidak jujur, sumber penghasilan tidak stabil. Pandangan ini

menjadikan orang banyak yang menyebabkan anaknya menjadi

insinyur, guru, pegawai negeri dan sebagainya. Budaya yang tidak

adaptif bisa dikatakan sebagai budaya yang sangat birokratis.

Orang-orangnya reaktif menolak resiko dan tidak sangat kreatif,

informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh organisasi.

Umumnya mereka belajar menjadi pedagang baik rumah

makan atau usaha yang lain dari pengalaman hidup yang mereka

153 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana

Media Prenada Group, 2009), 23. 154 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana

Media Prenada Group, 2009), 163-164. 155 Damsar dan Indrayati, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana

Media Prenada Group, 2009), 218

Page 224: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 209

alami selama di daerah perantauan. Sebab mereka tidak belajar

sebagaimana anak-anak bisnis pada umumnya dengan menghadiri

seminar tentang kewirausahaan atau yang bersumber dari buku.

Masyarakat Lamongan ketika memasuki usia dewasa merasa

mempunyai insting berjualan dengan membuka rumah makan atau

usaha yang lainnya.

2. Pola Manajemen Kewirausahaan

Menurut Robert W Hafner, sistem perdagangan yang

dijalankan masyarakat Jawa tidak bersifat kapitalis dengan

akumulasi kekayaan semata. Asumsi ini di dasarkan pada beberapa

pengusaha Jawa yang tidak mewariskan kekayaannya secara turun-

temurun.156

Mereka adalah pengusaha yang bukan golongan

kapitalis. Kewirausahaan masyarakat Lamongan dibentuk melalui

Lamongan University yang memberikan beasiswa dan pembelajaran

langsung kepada para peserta didiknya. Beasiswa yang diberikan

umumnya RP. 900.000-1.200.000 yang disesuaikan dengan besar

kecilnya warung. Selain itu, terdapat pula warung-warung

Lamongan yang memberikan akomodasi kepada karyawannya.

Diantaranya yang dilakukan oleh Arief yang menyedikan kontrakan

gratis kepada seluruh karyawannya. Selain itu, mereka juga

memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sabun cuci dan

sebagainya.157

Kewirausahaan sektor kuliner Lamongan muncul karena

adanya semangat kewirausahaan masyarakatnya. Sebagaimana

kewirausahaan distro Bandung dan aneka jaket kulit di Garut karena

semangat kewirausahaan masyarakatnya. Perkembangan media juga

memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Kalangan

156 Robert W. Hefner, Eds. Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam

Kapitalisme Asia Baru (Jakarta: PT. Pustakan LP3ES, 2000), 303-304. 157 Wawancara dengan Haji Arif di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Maret

2016.

Page 225: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

210 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

orang tua di Lamongan banyak yang menyekolahkan anak-anak

mereka di Lamongan university yang mana akan menjamin

keterampilan mereka dalam mengembangan jiwa wirausaha.

Masyarakat Lamongan dalam mendirikan sebuah wirausaha

mampu bertahan dalam menghadapi krisis dan pembangunan

infrasruktur yang terkadang memberikan dampak pada omset.

Sementara itu, mereka menghadapi ancaman dari berbagai macam

pihak, termasuk preman dan trantib yang mengadakan pungutan

liar. Diantara faktor yang memotivasi masyarakat Lamongan

berwirausaha adalah karena kebebasan dalam menjalani kehidupan.

Sebab mereka tidak terikat dengan perusahaan yang membatasi

ruang gerak kehidupan mereka.

Tanpa adanya pembukuan mereka menjalankan usahanya

secara cermat dan tidak mengalami kendala dalam mengatur

sirkulasi dalam menjalankan usaha. Rata-rata orang Lamongan

membuka warungnya dari jam lima sore sampai jam dua belas

malam dengan rentan kerja delapan jam setiap harinya. Etos kerja

yang ditanamkan oleh masyarakat Lamongan adalah sebagai sebuah

upaya dalam melindungi generasinya dari pengaruh luar.

Masyarakat Lamongan bisa dikatakan tidak mempunyai jiwa

berdagang sebagaimana masyarakat Padang atau Cina yang

mewariskan budaya pedagangan kepada generasinya.

Pelajaran berdagang masyarakat Lamongan bukan karena

sistem budaya yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

Melainkan dari pengalaman yang menuntut mereka untuk menjadi

seorang pedagang. Budaya priayi yang menggolongkan masyarakat

dalam kelas sosial runtuh seiring dengan keruntuhan Orde Baru.

Transformasi sosial masyarakat Lamongan dalam orientasi kerja

tidak hanya tertuju pada pegawai negeri sipil atau eselon pada

perusahaan-perusahaan besar. Sebaimana yang terlihat dari peta

perpolitikan nasional saat ini, kaum pengusaha banyak

mendomianiasi dalam bursa pencalonan pemimpin. Sebut saja

Page 226: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 211

Jokowi, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Hari Tanoesoedibjo, Surya

Paloh, Dahlan Iskan dan sebagainya.

Kemampuan untuk melihat peluang dalam mengembangkan

aktivitas kewirausahaan menjadi sebab kelangsungan aktivtas

kewirausahaan. Mereka biasanya memanfaatkan lahan-lahan kosong

yang terdapat di Jakarta. Umumnya mereka menyewa lahan tersebut

sesuai dengan kemampuan mereka dalam menyewa. Lahan-lahan

yang tidak produktif tersebut kemudian dimanfaatkan oleh

masyarakat Lamongan. Fenomena yang demikian secara tidak

langsung memberikan pengaruh dalam meningkatkan aktivitas

perekonomian. Masyarakat Lamongan dalam hal ini tidak hanya

memberikan kontribusi dalam mengurangi pengangguran.

Melainkan memberikan tambahan pemasukan bagi warga setempat

atau pemilik toko atau bengkel yang lahan mereka tidak digunakan.

Bagi masyarakat yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan

selama tinggal di daerah perantauan akan menjalankan aktivitas

usahanya dengan membeli tempat yang permanen. Mereka yang

belum mempunyai keuangan yang kurang akan menyewa lahan

sesuai dengan kemampuan mereka. Teori kewirausahaan

memandang bahwa dalam menjalankan usaha tidak mengenal latar

belakang suatu masyarakat. Pada dasarnya setiap individu

mempunyai kesempatan yang sama dalam menjalankan sebuah

usaha. Golongan usia produktif di Lamongan yang merasa di

kesampingkan di kampung halamannya akan berusaha untuk

meningkatkan status sosialnya dengan cara meningkatkan

kemampuan dalam akumualasi kekayaan di daerah perantauan.

Mereka umumnya di dominasi oleh lulusan Sekolah

Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)

yang tidak mempunyai kenayamanan untuk menetap di kampung

halamannya. Opsi yang mereka adopsi adalah dengan memutuskan

diri untuk berhijrah ke Jakarta. Orientasi untuk hijrah pada awalnya

hanyalah sebuah dorongan yang timbul dari lingkungan dimana

Page 227: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

212 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

mereka tinggal. Sementara kemampuan dalam menjalankan sebuah

usaha lahir selama mereka magang di warung-warung orang

Lamongan lainnya. keterampilan masyarakat Lamongan dalam

menjalankan usaha tidak hanya memfokuskan dalam bidang kuliner.

Beberapa anak muda yang berasal dari Lamongan bahkan berhasil

dalam menjalankan usaha dalam mekanik dan otomotif. Meskipun

mereka pada awalnya tidak mempunyai kemampuan dalam bidang

permesinan atau manajerial.

Opsi yang mereka adopsi terbaik selain dalam dunia

pendidikan atau pesantren dalam meningkatkan status sosial adalah

dengan mendirikan sebuah usaha. Masyarakat Lamongan yang

menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan untuk

masuk atau bekerja di sebuah perusahaan-perusahaan besar atau

pegawai negeri sipil. Secara tidak langsung mengambil atindakan

dengan mencari penghasilan tanpa melibatkan ijazah. Seorang

pedagang Lamongan yang peneliti temui mengatakan bahwa alasan

utama mendirikan usaha adalah di karenakan tidak mempunyai

kesempatan berkarir dalam bidang pemerintahan. Adi Jaya memulai

usahanya ketika masih berumur 23 tahun dengan belajar

berwirausaha dari warung milik masyarakat Lamongan yang

menagajirinya dalam menjalankan usaha.158

Kemampuan memasak

dan mengelola keuangan ia dapatkan selama magang di warung-

warung milik orang Lamongan. Adi sekarang menyewa sebuah

warung dengan ongkos sebesar RP. 800.000 perbulan.

Pola kewirausahaan yang dijalankan masyarakat Lamongan

adalah dengan mendirikan warung yang berbeda dengan lokasi

dimana pada awalnya mereka belajar. Tindakan ini dilakukan untuk

menghindari rasa tidak enak dengan warga Lamongan yang telah

membesarkannya atau agar tidak terjadi persaingan dalam

menjalankan usaha. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat

Lamongan dalam menjalankan usahanya adalah banyaknya preman

158 Wawancara dengan Adi di Ciputat Tangerang Selatan, Maret 2016.

Page 228: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 213

dan trantib yang terkadang meminta pungutan secara liar. Kasus ini

menunjukan bahwa pemerintah kurang melindungi usaha kecil.

Pertumbuhan kewirausahaan masyarakat Lamongan diawali

dengan banyaknya generasi Lamongan yang sukses dalam

berwirausaha. Problem kultural berupa budaya priayi tidak menjadi

sebuah hambatan bagi masyarakat Lamongan dalam memulai

usahanya. Motivasi utama mereka dalam menjalankan usaha

dikarenakan meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Sikap

engganan mereka untuk menjadi pegawai negeri atau pemerintahan

dikarenakan adanya persepsi yang menyatakan bahwa setinggi

apapun jabatanmu dalam sebuah pemerintahan atau perusahaan.

Kamu tetaplah menjadi seorang pegawai, dan sekecil apapun usaha

yang kamu jalankan. Status sosialmu adalah sebagai bos atau

pemimpin perusahaan. Dengan demikian dapat dicermati bahwa

masyarakat Lamongan berusaha untuk merubah status sosialnya

bukan berdasarkan jabatan atau posisi dalam sebuah perusahaan.

Melainkan dalam kemampuan dalam manajemen usahanya.

Nama termasuk indkator menjalankan usaha agar marketable

dan menjadi daya tarik bagi konsumen. Tempat yang strategis

menjadi sebuah opsi yang penting dalam menjalankan usaha.

Masyarakat Lamongan mempunyai anggapan bahwa tempat

menjadi sebuah pertimbangan penting dalam berwirausaha. Namun

kualitas masakan menjadi pertimbangan yang penting untuk

menjaring pelanggan. Diantara pedagang Lamongan bahkan

memilih lokasi yang strategis seperti di pusat kota Jakarta kawasan

Sudirman dan Thamrin serta belakang plaza Indonesia. Opsi ini

dilakukan untuk menjaring pembeli yang berasal dari kelas

menengan keatas dengan harga kelas rakyat. Peneliti menemui

seorang pedagang Lamongan yang mendirikan usaha di belakang

Plaza Indonesia dan warungnya ramai. Konsumen umumnya di

dominasi oleh pegawai-pegawai mal-mal yang enggan untuk makan

di restoran dalam mall yang harganya lebih mahal.

Page 229: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

214 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Pedagang Lamongan berasumsi bahwa dengan menjual

makanan yang harganya lebih murah akan menarik minat konsumen.

Kepemilikan warung yang di dirikan oleh beberapa orang akan

meringankan dan mengurangi banyaknya beban yang dikeluarkan.

Masyarakat Lamongan yang berwirausaha tidak mempunyai latar

belakang keluarga yang berwirausaha. Mereka kebanyakan

dibesarkan dari daerah agraris yang mana orang tua mereka sebagian

besar bekerja sebagai petani. Faktor latar belakang keluarga tidak

menjadi hambatan dalam menjalankan aktivitas kewirausahaan.

Orang tua di Lamongan tidak menanamkan pendidikan

kewirausahaan kepada anak-anak mereka. Perilaku motivasi

berprestasi adalah diantara faktor yang menyebabkan masyarakat

Lamongan berwirausaha di Jakarta.

Espektasi pasar yang besar menjadi peluang untuk

menjalankan kegiatan kewirausahaan. Lingkungan sosial tidak

memberikan dampak dalam menjalankan usaha. Orang tua yang

bekerja sebagai pegawai biasanya mengharapkan anaknya untuk

bekerja sebagai pegawai. Bukan berwirausaha. Sementara orang tua

yang berprofesi sebagai wirausaha diyakini dapat menjadi panutan

(entrepreneurial role model) yang akan membentuk minat anak

untuk berwirausaha di masa depan. Motivasi berwirasusaha

masyarakat Lamongan di dasarkan karena mempunyai keinginan

untuk menikmati kebebasan dalam menjalani kehidupan. Mereka

bisa membuka warungnya kapan saja dan dimana saja tergantung

dengan kemampuan untuk menyewa lahan dan tempat mereka untuk

berjualan.

D. Problem dalam Berwirausaha

Jakarta sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia

mempunyai nilai plus dan minus bagi kaum urban. Tidak terkecuali

bagi masyarakat Lamongan yang menjadikan Jakarta sebagai kota

besar yang mempunyai prospek dalam mengembangkan usaha

Page 230: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 215

kuliner khasnya, yakni soto Lamongan dan pecel lele. Para pedagang

Lamongan yang berjualan di Bali misalanya banyak yang

dideportasi pasca bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi yang

berasal dari Lamongan. Andri Prastiyo salah seorang pedagang soto

Lamongan bersama temannya di Bali menuturkan kejadiannya

secara mendalam pada peneliti.159

Para pedagang ini kemudian

berjualan di daerah lain termasuk Jakarta dan Surabaya. Wilayah

Jakarta dan Surabaya terutama kota-kota besar di luar Jawa menjadi

destinasi utama masyarakat Lamongan dalam berwirausaha.

Masyarakat Lamongan yang berasal dari Glagah kebanyakan tidak

berjualan pecel lele karena mereka mengkeramatkan.

Eksistensi usaha kuliner masyarakat Lamongan di Jakarta

terkendala oleh pembangunan infrastruktur seperti jalan dan

jembatan. Konsumen atau pelanggan tetap umumnya enggan untuk

makan di warung masyarakat Lamongan yang disekitarannya di

bangun jembatan layang. Seorang pedagang Lamongan bernama

Arif menuturkan bahwa omsetnya mengalami penurunan akibat

pembangunan jalan Raya Cipadu Blok M yang menggangu arus lalu

lintas kendaraan. Baginya, membuka usaha bukanlah perkara yang

mudah. Ada orang yang membuka usaha karena tidak ada pilihan

lain selain membuka usaha sendiri. Ada orang yang membuka usaha

sendiri karena pendidikan rendah yang membuat dia sulit mencari

pekerjaan. Ada juga orang yang terpaksa membuka usaha sendiri

karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK dari

perusahaannya. Sedangkan ada orang yang membuka usaha sendiri

karena lebih senang memilih usaha sendiri daripada bekerja pada

orang lain.

Sector kuliner merupakan usaha yang menjanjikan bagi

sebagian entrepreneur yang menjalankan usahanya di Jakarta.

Banyaknya jumlah penduduk serta kesibukan mereka dalam

aktivitas perkantoran merupakan pangsa pasar tersendiri bagi kaum

159 Wawancara dengan Andri Prastiyo (Lamongan, Januari 2015).

Page 231: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

216 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

migran yang mempunyai motivasi berwirausaha. Fenomena yang

demikian menjadi peluang tersensiri bagi pangsa pasar sektor

kuliner Lamongan. Masyarakat Jakarta yang mempunyai aktivitas

perkantoran yang padat pada umumnya menginginkan segala

sesuatu yang bersifat instan. Termasuk dalam bidang makanan.

Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan yang

mempunyai waktu luang yang lebih banyak untuk memasak. Kaum

urban metropolitan mempunyai kesibukan yang padat dan

mengharuskan mereka untuk bergerak cepat.

Arif merupakan pedagang Lamongan yang berjualan di

Jakarta Selatan sejak 1990. Pria asal Karanggeneng ini awalnya

membuka usaha bersama istrinya. Kendala yang dihadapi selama

membuka usaha pecel lele adalah banyaknya preman yang meminta

uang tambahan dan makan secara gratis. Menghadapi kondisi yang

demikian, Arif mengajak dialog para preman tersebut dan

memberikan penjelasan dengan pendekatan tanpa disertai dengan

kekerasan.

Lebih lanjut, pria paruh baya ini menjelaskan bahwa

menyelesaikan permasalahan tidak harus menggunakan sikap

kekerasan. Arif menuturkan dalam bahasa Jawa “ngalawan preman

ojo gawe okol, tapi gawe akal. Akal luweh kuat timbang okol”.

Ungkapan ini mempunyai makna dalam menyelesaikan

permasalahan tidak harus menggunakan kekerasan. Melainkan

menggunakan akal dengan pendekatan yang baik kepada setiap

orang yang hendak melakukan tindakan kekerasan.160

Masyarakat Jawa di Lamongan senantiasa menggunakan

hitung-hitungan Jawa sebelum memulia usahanya yang mereka

anggap penting. Namun beberapa informan yang peneliti temui

tidak serta merta menjadikannya sebagai acuan utama. Salah

seorang informan menjelaskan bahwa ia tidak mempunyai amalan

160 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember 2015).

Page 232: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 217

apapun dalam menjalankan usaha kecuali sholat lima waktu sehari

semalam dan menjadikan bekerja sebagai modal beibadah.

Pernah suatu ketika usaha milik warga Lamongan pada tahun

1990-an di datangi oleh kelompok preman dan mau mengacak-acak

jika telat membayar kepada mereka. Arif kemudian mendatangi

pimpinan preman tersebut secara baik-baik dan diajak ngomong

secara baik-baik. Arif menuturkan melalukan tindakan demikian

karena pada dasarnya manusia itu baik dan mereka akan menjadi

baik bilamana kita ajak ngomong baik-baik (pendekatan persuasif).

“Sekarang pimpinan preman tersebut sudah tiada dan saya ikut juga

mengantarkan jenazahnya ke pemakaman” ujar Arif.161

Menurut penuturan Haji Arif, hidup ini pada dasarnya

menebar kebaikan, sejahat apapun preman akan menjadi baik

bilamana sering kita dekati. Beliau menuturkan bahwa orang tuanya

abangan, bukan santri. Ia kemudian di pondokkan di pesantren

Langitan Tuban-Jawa Timur selama beberapa tahun di sana. Selama

menimba ilmu di pesantren Langitan, ia merasa tidak terlalu pintar

dibandingkan dengan santri-santri lainnya.

Sehingga sering membantu kiai Faqih di sawah bersama

santri-santri lainnya. Dalam mencapai keberhasilan, ia tidak

mengandalkan ilmunya di kemudian hari. Melainkan menempuh

jalan denga cara berbakti kepada kiainya dengan mengharapkan

do’ah. Sampai saat ini, Haji Arif masih sering berhubungan dengan

beberapa kiai di Langitan dan meminta wejangannya.

E. Filosofi Berwirausaha

Setiap kelompok masyarakat dalam suatu komunitas

mempunyai sebuah filosofi kehidupan yang menjadi pedoman bagi

para individu masing-masing. Sosiologi sebagai sebuah ilmu yang

mengkaji tentang masyarakat lebih tertarik pada cerminan kultur

realitas waktu ketimbang cerminan psikologisnya. Sosiologi

161 Wawancara dengan Arif (Pesanggrahan Jakarta, Maret, 2016).

Page 233: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

218 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

memusaktkan perhatian pada simbol-silmbol khas nilai, norma dan

orietasi yang mengacu pada waktu bersama yang dimilki oleh

kelompok, komunitas dan unit sosial lainnya.162

Masyarakat Minang misalnya dalam merantau mempunyai

sebuah filosofi “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung” yang

merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada masyarakat di

setiap daerah yang mereka singgahi. Ketika merantau, masyarakat

Minang akan menghormati adat istiadat masyarakat setempat

dimana mereka tinggal dan menjalankan aktivitas kehidupannya.

Masyarakat Minang yang merantau dikenal sebagai masyarakat

yang sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat.

Masyarakat Lamongan yang merupakan bagian dari

masyarakat Jawa juga mempunyai sebuah filosofi tersendiri ketika

merantau. Adopsi filosofi yang demikian ini tak lain merupakan

bagian dari sebuah filosofi Jawa yang menjadi pedoman masyarakat

Lamongan ketika merantau. Sebagai kaum migran masyarakat

Lamongan senantiasa berpedoman pada nasehat orang tua mereka

yakni “urip na daerahe wong liyo gak sah neko-neko”163. Filosofi

yang demikian mempuyai makna bahwa hidup di daerah orang tidak

harus macam-macam yakni tidak menimbulkan keributan atau

menganggu ketentraman masyarakat sekitar. Pola interaksi

masyarakat Lamongan senantiasa membaur dengan masyarakat

dimana mereka tinggal di perantauan. Arif adalah salah seorang

warga Lamongan yang pernah warungnya didatangi oleh kelompok

preman.

Upaya yang dilakukan oleh Arif adalah melalui sebuah

mediasi dengan mengajak berkomunikasi kawanan preman yang

sengaja membuat kerusuhan diwarungnya. Filosofi penyelesaian

masalah yang dilakukan oleh Arif adalah “ngalahno okol nganggo

162 Piotr Sztomska, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media,

2004), 52. 163 Wawancara dengan Khozin (Jakarta, Desember 2015).

Page 234: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 219

akal” ungkapan ini mempunyai sebuah makna mengalahkan orang

berotot tidak harus dengan pertengkaran. Tetapi dengan

menggunakan akal tanpa harus membalas dengan frontal terhadap

sekelompok oknum tersebut. Beliau mengajak ngomong dan

mendatangi secara baik-baik kelompok preman tersebut dan

menanyakan apa kemauannya. Oleh karena itu, masyarakat

Lamongan bilamana mengalami sebuah kasus diskomunikasi akan

menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan. Mereka

biasanya mendatangi kawanan kelompok yang merasa mengusik

ketentraman mereka dalam menjalankan usahanya.164

Fenomena demikian banyak dialamai oleh masyarakat

Lamongan di Jakarta dan Surabaya. Dari pembelajaran yang

diberikan oleh orang tuanya. Masyarakat Lamongan senantiasa

beradaptasi terlebih dahulu sebagai bentuk penyesuaian dengan

masyarakat setempat. Konsep ini diajarkan oleh orang tua di

Lamongan sebelum anak-anak mereka merantau“wong urip na

dunyo kudu iso tepo seliro”. Tepo seliro adalah ungkapan Jawa yang

melekat pada masyarakat Lamongan yang dimkanai sebagai

tindakan yang bisa menempatkan diri pada tempatnya.165

Meskipun

masyarakat Lamongan mempunyai latak belakang yang kasar dan

keras dikarenakan kondisi alamnya yang tandus. Mereka senantiasa

bersikap ramah dan meninggalkan statusnya di daerah asalnya di

Lamongan. Meskipun dalam menjalankasn usahanya masih terdapat

beberapa orang Lamongan yang masih memakai identitas Jawa

Timur sebagai atribut yang merekat di warungnya seperti

pemakaian Cak yang mempunyai makna sama dengan mas atau

abang dalam panggilan yang familiar pada sebagain besar

masyarakat Jakarta.

Namun sebagian besar pemuda Lamongan masih

menggunakan identitas ini secara formal dalam menjalankan

164 Wawancara dengan Suhud (Lamongan, 2014). 165 Wawancara dengan Maselan (Jakarta, September 2015)

Page 235: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

220 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

usahanya di Jakarta. Anak-anak muda Lamongan sengaja

memperkenalkan istilah yang demikian agar lebih dikenal oleh

kalangan masyarakat Jakarta. Sebelum memulai usaha, mereka

senantiasa menanyakan status kepemilikan lahan yang akan

digunakan sebagai tempat untuk menjalankan usahanya. Tindakan

ini mereka lakukan agar mempunyai kejelasan dalam status

kepemilikan lahan tersebut.

Budaya Jawa yang menghargai orang lain senantiasa

diimplementasikan oleh masyarakat Lmaongan dengan tidak

semena-mena. Ungkapan ini dalam bahasa Jawa “adigang adigung

dan adiguna” yang dalam bahasa Jawa mempunyai makna

sewenang-wenang dalam setiap bertindak.166

Masyarakat setempat

akan menerima secara baik status pendatang yang menerapkan

filosofi yang demikian dalam merantau. Kondisi lingkungan yang

tandus tidak menjadikan watak masyarakat Lamongan kasar dan

keras. Meskipun pola komunikasi diantara masyarakat Lamongan di

Jawa Timur bersifat egaliter dengan pengaruh bahasa Surabaya yang

blak-blakan.

Bekerja keras untuk mencapai sebuah tujuan yang mereka

inginkan dalam menganggapai kemauannya. Pengaruh pesantren

Jawa-Timur senantiasa membentuk watak masyarakatnya yang

masih menjung tinggi konsep keberkahan. Yakni bertambahnya

kebaikan dalam hidup karena cara yang baik untuk mendapatkan

sesuatu. Filosofi kerja keras masyarakat Lamongan di perantauan

tergambar dengan sebuah ungkapan “sikil dadi sirah, sirah dadi

sikil”. Maknanya adalah bekerja keras.167

Filosofi ini ditambah

denga ungkapan “awan dadi bengi bengi dadi awan”. Kerja siang

malam atau tidak kenal waktu. Kebanyakan para pedanang

166 Wawancara dengan Ajiz (Jakarta, Januari 2015). 167 Wawancara dengan Darkono, seorang pedagang soto Lamongan di kerea

api Kertajaya (Lamongan-Jakarta Agustus, 2015).

Page 236: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 221

Lamongan membuka warungnya pada malam hari atau sore hari

sampai pagi atau tengah malam.168

Sebagaimana yang peneliti jalaskan pada bab sebelumnya,

fenomena merantau masyarakat Lamongan tidak hanya disebabkan

oleh kondisi geografis atau motivasi ekonomi. Faktor budaya

masyarakat karena perubahan sosial masyarakatnya pada akhirnya

menyebabkan masyarakat Lamongan memilih merantau daripada

menetap di kampung halamannya. Mereka mempunyai sebuah

ungkapan untuk menggambarkan kondisi sosial masyarakat

Lamongan saat ini “luweh enak dadi kuli namahe wong liyo

tinimbang dadi bos na omahe dewe”. Ungkapan ini adalah bentuk

ekspersi penggambaran kondisi masyarakat Lamongan saat ini.169

Filosofi yang demikian mempunyai makna kebebasan dalam

menjalani aktivitas sehari-hari masyarakatnya. Kontrol sosial yang

kuat oleh orang tua dan beberapa pemuka agama yang membatasi

ruang gerak anak muda, menyebabkan masyarakat Lamongan lebih

menyukai bekerja di daerah pernatauan daripada di kampung

halamannya sendiri. Kebebasan dan ruang gerak mereka di daerah

asalnya akan terasa sempit dan tidak mempunyai keluasan dalam

mengembangkan bakat dan potentsinya. Faktor yang demikian

kemudan menjadi sbeuah dialektika yang dialami oleh sebagian

besar anak-anak muda Lamongan yang pada akhirnya menyebabkan

mereka lebih menyukai kerja di perantauan daripada di kampung

halaman mereka sendiri. Orang tua dan pemuka agama serta

kalangan yang lebih dekat dengan pesantren biasanya bersikap sinis

terhadap anak-anak muda yang tidak sependapat dengan kemamuan

mereka.

Pemuka agama dan orang tua di Lamongan masih menjadi

orang yang diutamakan dalam berbagai macam acara. Kualitas

keilmuan tidak menjadi pertimbangan yang penting bagi seseorang.

168 Wawancara dengan Supii (Lamongan, November 2014) 169 Wawancara dengan Khozin (Lamongan, November 2014).

Page 237: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

222 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Peran dominan yang dimainkan oleh orang sepuh dan keluarag kiai

terkadang membatasi kalangan anak muda di Lamongan untuk

mengembangkan bakat dan kemampuannya. Para santri yang tidak

mendapatkan sebuah akses untuk mengembangkan bakatnya di

rumah lebih memilih untuk hijrah ke daerah lainnya. Mereka

beranggapan bahwa orang kampung mengetahui seluk-beluk

kehidupannya, termasuk kenakalannya sewaktu kecil. Asumsi

demikian menjadi sebuah dasar dan hambatan untuk

mengembangkan potensi di kampung halaman sendiri.

Mengembangkan bakat di perantauan terasa lebih bebas

daripada di kampung halaman sendiri. Daerah perantaua bagi

masyarakat Lamongan bukanlah tempat dimana penjara sosial

berada. Sementara kebanyakan orang tua di Lamonagn menyoroti

anak-anak muda dari segi pakaian dan penampilannya yang mereka

anggap sebagai tolok ukur akan perilaku seseorang. Anak-anak

muda lebih banyak yang memakai sarung ketika mengelilingi desa

mereka masing-masing. Jika keluar rumah biasanya mereka

memakau topi dan celana panjang atau kaos panjang yang

mencerminkan pakaian seorang santri. Mereka akan merasa malu

ketika memakai kaos oblong dan celana.

Teori penilaian sosial Sherif dan Hovland (1961) mencoba

menggabungkan sudut pandangan psikologi, psikologi, dan

antropologi dalam teorinya ini. Menurutnya orang membentuk

situasi penting bagi dirinya. Pembentkan situasi ini mencakup

faktor-faktor intern (sikap, emosi, motif, pengaruh pengalaman

masa lampau dan sebagainya), maupun eksternal (lingkungan

sekitar). Kontruk teori ini menyangkut tentang perilaku.170

Fenomena demikian akhirnya berdampak pada sebuah

tekanan sosial yang kuat sebagai bentuk tindakan untuk menjadikan

diri mereka sebagai seorang santri yang menjalankan norma-norma

170 Sarlito Wibowo, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta: CV Rajawali,

1984), 203.

Page 238: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 223

sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Para pemuda biasnaya akan

tetap tinggal di dalam rumah bilamana tidak mempunyai keperluan

yang penting. Mereka akan menyuruh adik-adiknya yang masih

kecil untuk belanja atau membeli sesuatu yang dibutuhkan. Namun

wanita di Lamongan banyak yang memakai pakaian yang lebih

terbuka, kalangan anak pria biasanya lebih meras malu dari pada

wanita yang lebih blak-blakan.

Masyarakat Cina mempunyai filosofi air yang menjadikan

mereka mudah beradaptasi dimanapun. Ketika berdagang

masyarakat Cina mempunyai semangat untuk menghimpun

kekayaan secara tetap dengan keuntungan yang tidak seberapa.

Berbeda dengan orang Cina, masyarakat Lamongan yang merupakan

bagian dari masyarakat Jawa juga mempunyai sebuah filosofi dalam

menjalankan usahanya. Dalam berwirausaha harus senantiasa

memperhatikan etika. Pengertian etika adalah cara berhubungan

manusia dengan manusia lainnya.171

Adopsi filosofi Jawa senantiasa dipraktekkan oleh masyarakat

Lamongan dalam menjalankan usahanya. Diantara filosofi

berdagang yang dituturkan oleh Suhartini yang merupakan

masyarakat Lamongan adalah “bati sitik langganane akeh. Luweh

becik timbang bati akeh langganane sitik”. 172 Ungkapan ini

mempunyai makna bahwa dalam berdagang tidak hanya mengejar

keuntungan sesaat dan meninggalkan keuntungan jangka panjang.

Pedagang dari Lamongan senantiasa tidak memberikan harga

yang mahal kepada konsumen yang baru datang. Mereka senantiasa

mencari pelanggan dan meinggalkan keuntungan yang sesaat.

Tindakan ini diakukan agar para pembeli dating kembali dan tidak

kapok untuk makan lagi di warung milik orang Lamongan.

Kenyamanan dalam mencari penghidupan senantiasa

diimplementasikan oleh masyarakat Lamongan dalam menjalankan

171 Kasmir, Kewirausahaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 23. 172 Wawancara dengan Suhartini (Jakarta, April, 2016).

Page 239: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

224 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

usaha di Jakarta. Oleh karena itu, masyarakat Lamongan mayoritas

berwirausaha di luar kampung halaman mereka untuk kenyamanan

dalam menjalankan roda perekonomian. Kondisi yang demikian

berbeda dengan wirausahan di kampung Ledok Yogyakarta pada

tahun 2000 yang enggan untuk keluar dari kampung halamannya.

Mayoritas dari mereka lebih memilih untuk menjadi penyuplai

sayuran dan kebutuhan dasar pada sektor usaha kecil seperti warung

di kota-kota seperti Sleman dan Gunung Kidul.173

Kecenderungan dan kegemaran mereka bekerja secara mandiri

adalah pedoman untuk mencari penghidupan secara nyaman. Migran

Lamongan yang berwirausaha kebanyakan ingin terbebas dari

tekanan orang lain. Khozin salah seorang pedagang soto Lamongan

menuturkan “luweh enak usaha dewe timbang dadi kuline wong

liyo”.174 Dalam bahasa Indonesia, kalimat ini mempunyai arti lebih

nyaman membuka usaha sendiri daripada menjadi karyawan orang

lain.

Kompetisi sektor kuliner di Jakarta terus mengalami

intensitas kenaikan yang cukup ketat. Masyarakat Lamongan dalam

menanggapi banyaknya pedagang yang berasal dari berbagai daerah

tidak ambil pusing. Arif menuturkan bahwa bila berdagang harus

sama-sama laku dan melarang mendo’ahkan yang buruk pada

saingan dagang. Beliau senantiasa bersikap kompetitif dengan

memberikan pelayanan yang baik kepada para konsumen. Haji Arif

lebih lanjut menuturkan “wong tuku iku konco, dadi ojo sampek

gawe gelo konco.” Seorang pembeli adalah teman jangan sampai

kita mengecewakan teman.175

Keberhasilan dalam menjalankan usaha tidak hanya

ditentukan oleh lamanya waktu dalam mengelola usaha. Melainkan

173 Patrick Guinness, Kampung, Islam and State in Urban Java (Singapore:

National University of Singapore, 2009), 31. 174 Wawancara dengan Khozin (Lamongan, Agustus, 2015). 175 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember, 2015).

Page 240: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Migrasi dan Entrepreneurship Masyarakat Lamongan di Jakarta I 225

dari kesenangan selama bekerja. Fatoni yang pernah berjualan soto

Lamongan di sekitar rumah sakit Fatmawati menuturkan bahwa

berdagang seperti “dolang dodol karo mbolang. Ungkapan ini

mempunyai arti bermain sambil berdagang. Bekerja dengan sepenuh

hati tanpa disertai beban kehidupan akan menjadikan rejeki lancar.

Motivasi berwirausaha kuliner masyarakat Lamongan

senantiasa dihadapkan pada income yang tidak pasti. Adi salah

seorang penjual soto Lamongan di Jakarta Timur menuturkan

“dodol soto bayarane bendino, dadi karyawan bayarane sak ulan

pisan.”176 Berdagang soto hasilnya setiap hari dan menjadi karyawan

gajinya sebulan sekali. Orang-orang Lamongan yang nyaman

terhadap kerja sebagai wirausaha memaknainya sebagai kerja yang

memakai akal, bukan okol atau otot.

Berwirausaha adalah sikap dalam menerima takdir yang

berhadapan dengan sesuatu yang tidak pasti dalam artian untung

rugi. Meksipun demikian, konsep keberkahan senantiasa menjadi

control masyarakat Lamongan dalam menjalankan usahanya. Haji

Arif adalah seorang pedagang soto Lamongan yang suksess dan

mempunyai lima cabang warung. Konsep keberkahan senantiasa

menjadi pedomannya dalam menjalankan usaha, dia menuturkan

“dagang nek berkah rejekine turah. dagang nek olo rejekine

muspro”. 177 Pedagang yang jujur rejinya banyak, sementara

pedagang yang curang rejekinya akan hilang. Konsep ini sesuai

dengan ungkapan pedagang pecel lele Lamongan di kawasan Kebon

Jeruk Jakarta. Darkono yang menuturkan “wong becik rejekine

apek, wong olo rejekine soro”. Konsep kejujuran dan keberkahan

merupakan kontrol sosial yang kuat dalam aktivitas perokonomian

masyarakat Jawa.178

176 Wawancara dengan Adi (Jakarta, Maret, 2016). 177 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Desember, 2015). 178 Wawancara dengan Darkono, seorang pedagang soto Lamongan Kebon

Jeruk (Lamongan-Jakarta Agustus, 2015).

Page 241: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

226 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Filosofi rendah hati merupakan ajaran yang diwariskan oleh

orang tua kepada anak-anak mereka. Tata kelakuan dan kehidupan

ini kemudian menjadi sebuah tuntunan yang menjaga sikap dan

perilaku rendah hati. Termasuk dalam aktivitas perdagangan petuah

orang tua memberikan motivasi ekonomi “Nek rame ojo gumede.

Nek sepi ojo ngresulo” adalah konsep menerima hasil atas jerih

payah selama berdagang. Seorang pedagang tidak seharusnya

bersikap tinggi hati tatkala dagangannya untung banyak dan

mengeluh ketika sepi.179

Berwirausaha bagi masyarakat Lamongan yang memasuki

usia sepuh bisa dijadikan sebagai sarana dalam mengintrospeksi diri.

Tindakan ini dimaksudkan untuk mengetahui sebab yang

menjadikan usahanya tidak laku guna mencari sebuah solusi.

Aktivitas berwirausaha terkadang dimaknai sebagai tuntutan dalam

memenuhi kebutuhan ekonomi. Haji Arif menuturkan bahwa pajak

manusia lebih banyak daripada yang lain. Sebab haji juga pajak

manusia yang harus dibayar kepada Tuhan dan zakat adalah pajak

yang dibebankan kita kepada anak-anak yatim.

Kreativitas yang terbentuk bukanlah sebuah kreativitas yang

dipelajari sejak mereka hidup dalam keadaan anak-anak yang hidup

dalam keadaan manja. Lebih menitiberatkan pada sebuah

pengalaman dan kemampuan dalam mengaplikasikan pengalamnnya

dalam tindakan nyata.180

Sebagai penjelasan sebelumnya, masyarakat

Lamongan mempunyai berbagai macam cluster usaha yang

kemudian menyebabkan adanya kemajemukan unit usaha

masyarakat Lamongan.

179 Wawancara dengan pedagang pecel lele Lamongan (Jakarta, Januari

2015). 180 Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah

University Press, 2004), 212.

Page 242: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

227

Bab V

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan

Masyarakat Lamongan

A. Pola Interaksi Sosial Masyarakat Lamongan di Jakarta

Interaksi sosial masyarakat Lamongan yang berdomisili di

perkotaan mempunyai distingsi dengan masyarakat yang berada di

pedesaan. Lingkungan sosial perkotaan yang bebas dan tidak

mempunyai kontrol sosial yang kuat dianggap sebagai sebuah sarana

dalam mengembangkan potensi. Pola interaksi masyarakat

Lamongan yang berdomisili di perkotaan di bentuk oleh warga yang

berasal dari desa atau daerah yang berbeda. Masyarakat Lamongan

senantiasa berinteraksi dengan masyarakat Lamongan yang berasal

dari sebuah perkampungan yang berbeda dengan yang lainnya.

Sangat jarang sekali peneliti temui masyarakat Lamongan yang

berinteraksi secara cooperation dengan sesama masyarakat

Lamongan yang berasal dari pedesaan yang sama.

Pola kehidupan masyarakat Lamongan biasanya berkaitan

erat dengan masyarakat Lamongan yang berasal dari daerah lain.

Konstruk solidaritas mekanik berlaku bagi masyarakat Lamongan

pada kasus yang demikian. Secara umum, mereka akan membentuk

sebuah interaksi sosial yang bersifat asosiatif dalam bentuk kerja

sama yang menguatkan satu sama lain. Tindakan ini dilakukan

untuk menghindari kontrol sosial yang begitu kuat. Masyarakat

Lamongan tidak tertarik membentuk pola ikatan kerja dengan

masyarakat Lamongan yang berasal dari sebuah pedesaan yang

sama. Kecenderungan orang Lamongan untuk menghindar dari

sesama komunitas yang berasal dari pedesaan yang sama.

Page 243: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

228 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Motif yang demikian menjadi sebuah pertimbangan penting

dalam menjalankan aktivitas kehidupan mereka selama tinggal di

perkotaan besar seperti Jakarta. Apabila masyarakat bertemu

dengan sesama keluarga atau anggota masyarakat yang berasal dari

pedesaan yang sama. Tindakan yang mereka lakukan adalah dengan

menghindar agar bebas dalam mengembangkan karir selama tinggal

di Jakarta. Proses ketika meniti jalan kehidupan adalah sebuah fase

yang dilalui oleh seseorang untuk mendapatkan apa yang mereka

inginkan. Mobilitas sosial masyarakat Lamongan selama tinggal di

Jakarta terjadi melalui sebuah pola interaksi sosial dengan

masyarakat yang berasal dari daerah yang berbeda.

Pemahaman nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh orang

tua mereka membentuk perilaku selama mereka tinggal di

perkotaan. Masyarakat Lamongan yang belum mencapai kemapanan

hidup dalam mobilitas sosial ekonomi lebih bersikap menghindar

dari masyarakat Lamongan yang berasal dari pedesaan yang sama.

Tingginya gengsi atau sikap tidak ingin menurunkan status sosial

adalah diantara faktor yang menyebabkan masyarakat Lamongan

berinteraksi secara demikian. Selama menjalani proses kehidupan

sebagai solusi memperbaiki kehidupan ekonomi. Menghindari diri

dengan bergaul dengan sesama komunitas yang berasal dari

perkampungan yang sama adalah upaya untuk menjaga status

sosialnya.

Kalangan orang tua dalam keluarga lebih bersikap selektif

terhadap anak-anak mereka selama tinggal di perkotaan besar di

Jakarta. Sikap yang enggan dilakukan oleh anak adalah pantang

untuk membantah pendapat dan saran yang dikemukkakan oleh

orang tua. Anggapan adanya sanksi magis berupa kuwalat

merupakan manifestasi sebuah kontrol sosial yang kuat untuk

mendorong anak agar memathui kedua orang tua. Struktur

Page 244: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 229

pendidikan dimanifestasikan dalam bentuk interaksi sosial berupa

sopan-santun atau tata karma (unggah-ungguh).1

Tindakan yang dilakukan oleh orang tua adalah melarang

bergaul dengan sesama keluarga yang mempunyai keretakan sosial

karena faktor ekonomi atau status sosial. Sikap orang tua dalam

menjaga kewibawaan keluarga adalah bersikap sangat selektif

kepada anak-anaknya ketika bergaul atau berinteraksi sosial. Bentuk

penghormatan atau penghargaan tinggi yang diberikan oleh anggota

keluarga yang telah menetap di Jakarta adalah sebagai sebuah

magnet yang menjadi intensitas dalam mengkonstruk solidaritas

sosial. Sikap orang tua tidak membatasi pergaulan anak-anaknya

dengan sesama keluarga atau orang yang berasal dari pedesaan yang

sama ketika mereka merasa dihormati atau dihargai. Istilah ini

dalam bahasa Jawa disebut nguwongno wong atau menghargai dan

menghormati orang lain.

Perubahan masyarakat dalam bidang ekonomi dari pertanian

ke migrasi membawa transformasi pada bentuk dari tradisional

menuju ke modern. Struktur sosial secara langsung maupun tidak

langsung akan mengalami sebuah perubahan. Ngenger merupakan

sebuah mobilitas sosial kelas tradisional. Bentuk mobilitas sosial

terjadi pada masyarakat Jawa. Ngenger dimaknai sebagai sebuah

mobilitas sosial vertikal yang biasa dilakukan oleh oleh masyarakat

petani kepada sektor lain di Jawa. Migrasi merupakan sebuah

mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat yang lain dalam

upaya untuk merubah status dan struktur sosial.2

Akumulasi kekayaan atau pecapaian masyarakat Lamongan

dalam bidang ekonomi selama tinggal di Jakarta tidak menjadi

1 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,

Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1993), 100-101. 2 Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan

Pemaknaan Budaya (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2015),

171-172.

Page 245: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

230 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

sebuah kohesi sosial bagi masyarakat migran lainnya. Keluarga yang

belum mencapai kemapanan dalam kehidupan ekonomi tidak

menjadikan anak-anak mereka sebagai tenaga kerja. Upaya yang

dilakukan oleh orang tua adalah dengan menyuruh anak-anaknya

untuk bekerja kepada orang lain. Selama bekerja mereka mempunyai

kebebasan dan merasa tidak diperlakukan sebagai seorang karyawan

oleh keluarganya sendiri. Para orang tua di Lamongan lebih

menyukai ketika anak-anak mereka menjadi karyawan orang lain

daripada keluarga sendiri.

Salah seorang warga Lamongan menuturkan bahwa menjadi

karyawan orang lain lebih menyenangkan daripada menjadi

karyawan bagi keluarga sendiri. Dalam wawancara yang peneliti

lakukan Adib yang bekerja sebagai karyawan soto dan pecel lele

Lamongan menuturkan “bekerja pada orang lain lebih bebas

daripada bekerja ikut keluarga sendiri”.3 Dia lebih mengedepankan

status sosial daripada kebebasan dalam menjalankan usaha.

Sarana dan prasarana lengkap bilamana seorang yang tinggal

di Jakarta mampu untuk meningkatkan gengsinya. Seorang guru

yang tinggal di Lamongan masih kalah gengsinya dengan seorang

kuli yang tinggal di Jakarta. Eskalasi waktu mudik merupakan

sebuah tolok ukur yang menjadikan masyarakat Lamongan yang

tinggal di Jakarta jarang sekali pulang. Eksistentsi kereta cepat

Jakarta-Surabaya tidak menjadikan arus mudaik Lamongan Jakarta

berlangsung setiap beberapa bulan sekali. Keengganan pulang

adalah sebagai bentuk menghindari status sosial yang belum mapan

bagi masyarakat Lamongan.

Masyarakat migran yang mempunyai tingkat pendidikan

rendah kebanyakan bekerja di sektor informal yang tidak

membutuhkan kualifikasi tingkat pendidikan. Mereka

mengembangkan skill dan kemampuannya pada sektor informal

yang tidak mempunyai ijazah. Kerja serabutan pada umumnya

3 Wawancara dengan Adib, karyawan soto Lamongan.

Page 246: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 231

merupakan bentuk kerja yang diidamkan oleh kalangan migran yang

mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Golongan yang

demikian mengalami banyak kendala ketika melamar pekerjaan

dalam sebuah perusahaan yang lebih mementingkan aspek

pendidikan daripada skill. Masyarakat Lamongan yang mempunyai

tingkat pendidikan rendah bilamana datang ke kota-kota besar

karena inisiatif sendiri dan mempunyai motivasi berwirausaha.4

Berbeda dengan masyarakat Minang yang mempunyai sanak

saudara yang kemudian mereka mengajak sanak saudaranya untuk

ikut bergabung. Masyarakat Lamongan cenderung lebih suka

bergerak secara individual tanpa bantuan keluarga atau orang

sekampung. Alasan sosial merantau masyarakat Minang

dikarenakan tekanan adat atau merasa kaku dan tidak mempunyai

banyak kesempatan bila tetap tinggal di kampung halaman.

Angakatan tua tidak banyak memberikan kesempatan kepada

angkatan muda yang mengakibatkan banyak tanggung jawab sosial.5

Menurut Weber sebuah realitas sosial merupakan hasil dari

pengalaman hidup manusia. Weber mempunyai asumsi dasar

tentang manusia. Pertama, realitas sosial merupakan hasil dari

pemaknaan subjektif. Kedua adalah asumsi Durkheim bahwa

masyarakat merupakan realitas objektif sebagaimana sebuah fakta.6

Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Lamongan

lebih menyukai berinteraksi dengan masyarakat Lamongan yang

berasal dari pedesaan atau perkampungan yang berbeda karena

kebebasan dalam menjalankan aktivitas, menghindari kontrol sosial

yang ketat, serta menghindari proses dalam meniti karir.

4 Wawancara dengan Suliyanto (Jakarta, Oktober 2015). 5 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1984), 249-250. 6 Geger Riyanto, Peter L Berger Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta:

LP3ES, 2009), 72.

Page 247: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

232 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Tindakan tersebut dilakukan agar selama meniti karir tidak

diketahui oleh sesama warga yang berasal dari perkampungan yang

sama. Mereka biasanya berinteraksi sosial ketika sudah mencapai

kemapanan dalam di kota-kota besar. Masyarakat Lamongan lebih

menyukai ketika mendirikan usaha dengan orang yang berasal dari

luar desa atau perkampungan mereka. Segala sesuatu yang

berhubungan dengan aktivitas selama di Jakarta tidak dibawa ke

kampung halaman. Selain itu, digunakan sebagai sarana dalam

menghindari gunjingan sosial ketika mereka kembali ke kampung

halaman mereka.

Pola perdagangan masyarakat Lamongan terbentuk dari

keluarga yang berasal dari seayah atau seibu. Sangat jarang mereka

membentuk wirausaha dari saudara yang sudah terpisah antara ayah

dan ibu. Pola yang terpisah biasanya menyebabkan kompetisi dalam

bidang ekonomi diantara keluarga. Pola yang demikian tidak hanya

terjadi dalam dunia kewirausahaan. Melainkan dalam bentuk

kompetisi pekerjaan yang lainnya.

B. Korelasi Agama dengan Wirausaha

Aspek keagamaan masyarakat Lamongan di Jakarta dibentuk

karena kesadaran individu untuk menjalankan kegiatan keagamaan.

Kondisi ini berbeda dengan kehidupan masyarakat Lamongan yang

berada di daerah asalnya. Kegiatan kegaamaan terdorong bukan

karena adanya kesadaran dari dalam. Melainkan kesadaran diskursif

yang mempengaruhi warganya untuk mengekspresikan aktivitas

keagamaan secara komunal. Agama bagi masyarakat Lamongan

yang tinggal di daerah asalnya merupakan bagian kontrol sosial

yang membentuk perilaku warganya. Namun bagi masyarakat

migran Lamongan di Jakarta, agama adalah sebuah kewajiban yang

bersifat personal.

Kalangan orang tua di Lamongan sebagaimana masyarakat

Jawa pada umumnya masih menekankan agar anak-anak mereka

Page 248: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 233

bekerja pada sektor pemerintahan atau swasta daripada

berwirausaha. Adanya pendapatan yang stabil dengan gaji bulanan

yang tetap menjadi sebuah pertimbangan penting dalam orientasi

bekerja di pemerintahan atau swasta daripada berwirausaha dengan

dihadapkan dengan resiko yang tidak pasti. Berwirausaha hanya

menjadi sebuah alternatif ketika dihadapkan dengan kemungkinan

yang minim dalam menempuh karir di pemerintahan atau swasta

karena tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai

dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Kewirausahaan masyarakat Lamongan tidak hanya dibentuk

oleh motivasi berprestasi (need of achievement) untuk

meningkatkan status sosialnya ditengah masyarakat. Suatu

masyarakat mengalami perkembangan dan kemajuan ketika

ditengah-tengah masyarakat ada seorang tokoh atau beberapa tokoh

yang memberikan pengaruh. Pesan-pesan moral para tokoh agama

atau tokoh masyarakat membentuk pola kehidupan khusus yang

menentukan arah perubahan.

Masyarakat yang hidup dalam kebiasaan skeptis karena

peranan tokoh agama yang membentuk pola kehidupan yang

demikian. Orientasi dan motivasi kehidupan digambarkan sebagai

sesuatu yang menjauhi kehidupan dan kemewahan duniawi. Etos

kerja masyarakat yang pola kehidupannya pada pemberiaan yang

bersifat apa adanya dapat membentuk masyarakat yang pemalas dan

mempunyai etos kerja yang rendah. Bagi mereka orientasi

kehidupan didasarkan pada pola kehidupan sederhana dan apa

adanya.

Pola kehidupan skeptic masyarakat yang demikian masih

terjadi pada beberapa masyarakat Indonesia yang hidup di daerah-

daerah yang menjunjung tinggi nilai dan kehidupan yang sederhana.

Kompetisi ekonomi pada masyarakat yang demikian masih terjadi

secara longgar. Indikasi kebaikan dan pengakuan sosial bukan di

dasarkan pada reifikasi sosial yang berorientasi pada akumulasi

Page 249: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

234 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

materi. Kesederhanaan dan menaati norma-norma dan nilai-nilai

sosial menjadi sebuah indikator dalam perilaku sosial

masyarakatnya. Mayoritas masyarakat yang hidup dalam

kesederhaan menjadi penyebab bagi para warganya untuk tetap

nyaman ketika menetap di kampung halaman mereka. Umumnya

mereka mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan

yang identik dengan meanfaatkan komoditas alam.

Sistem kehidupan masyarakat yang demikian umumnya

bermigrasi karena dorongan untuk mencari pengetahuan serta

mengembangkan karir di daerah tujuan. Status sosial ditentukan

bukan karena akumulasi kekayaan semata, melainkan dari

pengetahuan serta keterampilan yang mereka dapatkan. Pola migrasi

masyarakat ini karena dilatar belakangi oleh motivasi pendidikan

dan pengetahuan.

Budaya priayi pada masyarakat Jawa tidak menggolongkan

masyarakat kedalam strata sosial berdasarkan akumulasi kekayaan

semata. Namun berdasarkan peran mereka di masyarakat atau

pemerintahan. Peran priayi yang dijalankan oleh masayarakat Jawa

tidak hanya sebatas peran dalam aspek pemerintahan. Jabatan tinggi

dalam suatu perusahaan atau eselon menjadi prestise tersendiri bagi

mayoritas masyarakat Jawa. Ilustrasi yang demikian

menggambarkan bahwa pola struktur sosial masyarakat Jawa bukan

ditentukan oleh akumulasi kekayaan semata. Namun di dasarkan

pada peran dan kontribusi mereka di tengah masyarakat.

Perkembangan kedudukan seorang aristokrat diperkuat

dengan adanya tiga aspek yang mendasarinya. Adanya

perkembangan tersebut memperkuat kedudukan kaum aristokrat

yang memegang kendali pemerintahan. Karena adanya orientasi

untuk memegang teguh kepada status, tradisi dan prefigurasi.

Ketiga pokok orientasi tersebut berkaitan antara satu sama lain

serta adanya saling ketergantungan. Bagi kelompok yang mapan

kedudukannya, mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan

Page 250: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 235

kedudukan status sosialnya untuk lebih kuat. Sebuah asumsi logis

ketika status menjadi kritertia untuk suatu konservatisme.

Masyarakat tradisional mempunyai budaya yang mendukung kultus

serta simbol-simbol yang mendukung ekspresi dan gaya hidup

priayi.7

Namun bagi masyarakat yang asketis, pola kehidupan yang

didasarkan pada reifikasi sosial cenderung mengarah pada akumulasi

kekayaan. Individu serta entitas yang ada di dalamnya mengalami

sebuah gejolak atau cultural lag. Pada umumnya, masyarakat yang

demikian bermigrasi karena dilatarbelakangi oleh motivasi ekonomi.

Generasi muda ketika memasuki usia yang produktif memilih

meninggalkan kampung halamannya untuk memperbaiki kondisi

perekonomiannya. Umumnya mereka tidak nyaman untuk tinggal di

kampung halamannya.

Budaya yang menjadi sebauah sarana meningkatkan statsu

sosialnya menjadi alasan utama bermigrasi masyarakat yang

dmikian. Latar belakang kondisi sosial yang tidak didsarakan pada

penataan terhadap nilai-nilai dan norma-norma sosial. Masyarakat

menganggap bahwa keadaan tidak mempunyai pekerjaan (tuna

karya) adalah sesuatu yang dapat menurunkan status sosialnya di

tengah-tengah masyarakat. Pola kehidupan masyarakar pada tahun

sebelum memasuki abad kedua puluh masih bersisat skeptis.

Kesederhanaan dan akumulasi materi tidak menjadi pertimbangan

yang penting ditengah-tengah masyarakar. Mereka menilai ukuran

status sosial bukan ditentukan oleh kepemilikan materi. Namun

karena pola perilaku dalam mentaati nilia-nilai dan norma-norma

sosial di tengah masyarakat. Pada fase ini, masyarakat Lamongan

senantiasa hidup dalam kesederhanaan dan tidak menonjolkan

kekayaan.

7 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,

Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1993), 72.

Page 251: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

236 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Para tokoh agama yang belum mempunyai kemapanan dalam

kehidupan ekonomi senantiasa menonjolkan kehidupan sederhana.

Metode pembelajaran yang demikian kemudian memberikan

pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat yang cenderung

berorientasi pada kesederhanaan. Sementara pada tahun 2000

keatas, pola kehidupan tokoh agama yang mempunyai kemapanan

dalam kehidupan ekonomi lebih menuruti gaya hidup yang mewah

dan kurang menonjolkan aspek kesederhanaan. Pengajian yang di

sodorkan ke masyarakat lebih berorientasi pada kemampuan dalam

pencapaian ekonomi senantiasa mereka angkat di permukaan umum

sebagai legitimasi bahwa seseorang yang mendekat kepada tuhan

diberikan kekayaan.

Ukuran kasih sayang tuhan kepada manusia pada dasarnya

merupakan konsep etika protestan yang dikemukakan oleh Max

Weber dalam spirit kapitalismenya. Bagi masyarakat yang

mempunyai kekayaan yang melimpah dan kemampuan dalam

pencapaian ekonomi yang mapan. Tentu konsep yang demikian

tidak menjadi soal bagi masyarakat yang mempunyai kemapanan

dalam hidup. Sementara bagi masyarakat yang belum mempunyai

kemampuan dalam kemapanan ekonomi bersikap sebaliknya.

Komunitas masyarakat yang mempunyai kehidupan ekonomu

yang baik senantiasa bersama masyarakat yang mempunyai

kemapanan. Termasuk juga yang dilakukan oleh para pemuka agama

yang cenderung hanya berkumpul dengan komunitas yang sama

dalam kemapanan. Masyarakat yang merasa termarjinalkan

cenderung untuk bekerja keras agar mempunyai status sosial yang

sama di tengah masyarakatnya. Upaya yang mereka lakukan adalah

dengan merubah pola kehidupan yang awalnya bergantung dengan

kondisi alam dengan merantau atau bermigrasi.

Masyarakat Lamongan mempunyai sebuah kepercayaan

bahwa pola kehidupan yang monoton di desa tidak benyak

mempengaruhi prospek kehidupannya. Dalam padangan sebagian

Page 252: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 237

besar masyarakat Lamongan, pola kehidupan yang monoton hanya

menghambat kemajuan pola pikir dan kehidupan perekonomian.

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Lamongan yang merasa

tidak nyaman ketika tinggal di kampung halaman mereka adalah

dengan melakukan migrasi.

Jakarta merupaka kota metropolitan yang menjadi tujuan

utama masyarakat Lamongan. Gaya hidup yang bebas disertai

dengan kontrol sosial yang renggang menjadi pertimbangan

tersendiri bagi warga Lamongan. Pola kontrol sosial yang renggang

merupakan sebuah keleluasaan dalam mengembangkan karir di masa

depan. Ruang gerak yang bebas di perkotaan bisa menjadi sebuah

nilai tambah dalam mengembangkan kehidupan yang lebih baik di

Jakarta.

Sementara kehidupan yang monoton disertai dengan kontrol

sosial yang ketat dianggap sebagai hambatan dalam

mengembangkan aktivitas dimasa depan. Masyarakat senantiasa

menilai dan mengawasi aktivitas seseorang di pedesaan. Upaya yang

dilakukan oleh masyarakat dengan adalah dengan memberikan

kontrol sosial yang ketat. Fenomena ini memberikan gambaran

bahwa masyarakat pedesaan sukar untuk dipisahkan dengan

aktivitas pertanian. Bekerja sebagai petani memberikan nilai

tambah dalam benak sebagian masyarakat. Sebab aktivitas yang

demikian dilakukan secara bersamaan dengan warga masyarakat

lainnya.

Berbeda dengan masyarakat yang bekerja sebagai seorang

pedagang yang mengirimkan barang dagangannya keluar desa.

Steorotip yang diberikan masyarakat kemudian menimbulkan

sebuah anggapan yang kurang baik karena mereka tidak mengetahui

aktivitas yang dijalankan oleh pedagang. Kondisi yang demikian

diperparah dengan kehidupan pedagang yang belum mencapai

kemapanan dalam kehidupan ekonomi.

Page 253: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

238 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Masyarakat desa yang mempunyai pekerjaan di kota

(forensen) memulai aktivitas di pagi hari dengan sistem pulang-

pergi dari desa ke kota. Istilah yang demikian dalam bahasa Jawa di

kenal dengan sebutan ngalong, yakni pulang-pergi dalam memulai

aktivitas bekerja. Selain sebagai hinterland atau penyangga

kehidupan masyarakat perkotaan, pola kehidupan masyarakat desa

juga memberikan kontribusi dalam penyangga aktivitas sosial

pemerintahan dan perekonomian. Eksistensi desa tidak hanya

memberikan kontribusi dalam bentuk sumber daya alam, melainkan

sebagai penyuplai kebutuhan masyarakat perkotaan dalam sector

pekerjaan.

Keberadaan usaha kecil yang dijalankan oleh masyarakat

Lamongan secara tidak langsung memberikan kontribusi dalam

mengurangi jumlah pengangguran di Jakarta. Adanya hambatan

yang dialami oleh sebagian besar pedagang kecil yang terdapat di

Jakarta. Tidak menjadi hambatan yang berarti bagi ekspansi usaha

sektor kuliner masyarakat Lamongan di Jakarta. Keberadaan

warung-warung milik warga lamongan di Jakarta juga mampu untuk

memberikan kontribusi dalam mengurangi problem sosial

pengangguran.

Pengangguran yang diakibatkan oleh minimnya lapangan

pekerjaan menjadi tanggung jawab penting bagi pemerintah dalam

upaya mengurangi problem sosial yang demikian. Warung-warung

Lamongan senantiasa menyerap jumlah tenaga kerja yang berasal

dari berbagai daerah atau sekitar tempat usaha yang mereka

jalankan. Mereka mampu menggaji karyawan RP. 900.000-

1.000.000 perbulan untuk setiap karyawan tergantung jumlah

pemasukan dan keuntungan yang di dapatkan.

Mangkraknya proyek yang dijalankan oleh pemerintah

terkadang memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap

kelangsungan usaha kecil di Jakarta. Arif merupakan diantara warga

Lamongan yang menjalankan usaha kuliner di Jakarta selatan.

Page 254: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 239

Adanya proyek jembatan layang yang digarap dalam waktu yang

lama oleh pemerintah memberikan dampak dalam omset bulanan.

Sebelum dibangunnya jembatan layang, Arif mampu memperoleh

pendapatan lima juta setiap malam dalam jumlah rata-rata. Namun

setelah dibangunnya jembatan layang yang tidak kunjung selesai,

jumlah pendapatannya rata-rata perarinya tiga juta rupiah per

malam. “saya sekarang hanya mampu mendapatkan keuntungan

sebesar tiga juta permalam. Pada waktu yang lalu saya sebelum

dibangunnya jembatan layang, saya bisa mendapatkan keuntungan

bersih sebanyak lima juta rupiah perhari”

Ketahanan usaha kecil dalam menghadapi hambatan dan

krisis ekonomi lebih kuat dibandingkan dengan usaha yang brskala

besar. Sector non-formal ini mampu bertahan ditengah terpaan krisis

ekonomi di Indonesia. Ketika usaha yang lain banyak yang gulung

tikar dalam menghadapi krisis, sector kuliner yang dijalankan

masyarakat Lamongan masih bertahan dalam kondisi apapun.

Ditengah program pemerintah dalam upaya mengurangi jumlah

pengangguran dengan menyedikan lapangan pekerjaan baru.

Entrepreneurship dianggap sebagai problem solving untuk

mereduksi pengangguran. Kaum migran yang bergerak dalam sektor

informal dengan mendirikan kewirausahaan dapat memberikan

kontribusi dalam memperkecil jumlah pengangguran. Keberadaan

masyarakat dari golongan bawah mereka tampung sebagai tenaga

kerja tanpa menekankan pada tinggi rendahnya aspek pendidikan.

Kondisi bekerja sebagai karyawan atau pegawai menjadi

problem kultural bagi masyarakat Lamongan lainnya. Mereka

memaknainya dengan anggapan bahwa bekerja menjadi wirausaha

mempunyai lebih banyak waktu luang dan kebebasan dalam

menjalani hidup. Sementara bekerja di sebuah perusahaan dan

pemerintahan hanya membatasi diri dengan aturan-aturan yang

berlaku. Pandangan ini diperkuat dengan fluktuasi income yang di

dapatkan dalam periode tertentu, yakni dengan pendapatan perhari.

Page 255: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

240 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Wirausahawan Lamongan mempunyai sebuah asumsi bahwa bekerja

diperkantoran membatasi diri mereka.

Bila diperhatikan dengan seksama, masyarakat Lamongan

yang tinggal di Jakarta mempunyai tingkat perbedaan yang

mencolok dengan masyarakat Lamongan yang tinggal di pedesaan.

Mereka menjalankan peribadatan sebagai bentuk kewajiban yang

harus mereka penuhi termasuk sholat lima waktu. Sedangkan

masyarakat Lamongan yang tinggal di pedesaan dalam menjalankan

kegiatan keagamaan lebih dipengaruhi oleh kehidupan lingkungan

sekitarnya. Pola kehidupan masyarakat Jawa yang tinggal di

pedesaan mempunyai perbedaan dengan perkotaan. Masyarakat desa

pada umumnya menjadikan sarung sebagai idntitas untuk

menampilkan perilaku keagamaan. Yakni meningkatkan gengsinya

dengan pembawaan status santai dan berwibawa.8

C. Ekspresi Keagamaan Masyarakat Lamongan di Jakarta

Kalangan orang tua di Lamongan ketika menyuruh anak-anak

mereka bekerja sebagai karyawan di sektor kuliner lebih bersikap

seletif dan tidak sembarangan. Tindakan ini dilakukan agar anak-

anak mereka bisa terjaga dan terbimbing selama tinggal di kota-kota

besar. Biasanya orang tua menyukai jika anak-anak mereka ikut

pada orang Lamongan yang membuka warung-warung di Jakarta

yang mempunyai pemahaman dan penerapan agama yang baik. Dari

sini bisa terlihat bahwa orientasi yang dibangun bukan hanya pada

orientasi akumulasi kekayaan semata. Namun proteksi dari

pengaruh dunia luar yang membawa dampak negatif selama tinggal

di Jakarta.

8 Denys Lombard, Le Carrefour Javanais (Paris: E>cole des Hautes E>tudes en

Sciences Sociales, 1990). Diterjemahkan oleh , Winarsih Partaningrat Arifin dkk,

Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama), 156-157.

Page 256: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 241

Masyarakat yang tinggal di Lamongan berbeda dengan

masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah perantauan.

Khususnya masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah Jakarta

yang merupakan kota terbesar di Indonesia yang heterogen.

Masyarakat Lamongan yang berdomisili di daerah perantauan lebih

terbuka daripada masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah

Lamongan asalnya.9 Umumnya etos kerja masyarakat Lamongan

yang tinggal di daerah perantauan lebih tinggi daripada mereka yang

tinggal di kampung halamannya.

Pualam merupakan organisasi sosial yang didirikan oleh

masyarakat Lamongan sebagai wadah perkumpulan dalam

menjalankan silaturrahmi. Paguyuban ini didirikan atas inisiatif

tokoh-tokoh Lamongan yang berada di daerah Jabodetabek (Jakarta,

Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Menurut penuturan orang

Lamongan yang merantau lebih dari sepuluh tahun di Jakarta,

Pualam mengadakan silaturrahmi di antara warga Lamongan dalam

tempo setahun sekali atau ketika ada acara tertentu. Mereka

biasanya mengadakan acara ini di anjungan Jawa Timur Taman

Mini Indonesia Indah setelah hari raya.

Pualam terdiri dari pedagang soto, pecel lele dan berbagai

elemen masyarakat Lamongan yang bekerja dalam berbagai macam

sektor di Jakarta. Dalam acara yang diadakan oleh masyarakat

Lamongan biasanya dihadiri oleh ribuan migran yang berasal dari

Lamongan. Halal-bihalal adalah acara yang diadakan secara rutin

oleh warga Lamongan setiap tahunnya. Menurut penuturan Narsim,

Pualam mempunyai anggota tetap. Yakni masyarakat Lamongan

yang telah bekerja di daerah Jakarta dan sekitarnya selama lebih dari

sepuluh tahun.10

9 Wawancara dengan Ramelan (Lamongan, 2014). 10 Wawancara dengan Narsim, seorang pegawai ekspedisi dari Lamongan

yang menetap selama lima belas tahun di Jakarta.

Page 257: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

242 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Formala atau Forum Mahasiswa Lamongan merupakan

organisasi yang didirikan untuk mewadahi kegiatan masyarakat

Lamongan. Kegiatan yang dijalankan oleh Formala adalah

berdiskusi dan kajian ilmiah diantara mahasiswa Lamongan. Pada

malam Jum’at mahasiswa Lamongan mengadakan kegiatan

manaqiban dan dziba’an yang diamalkan oleh sebagian besar

masyarakat Lamongan yang menganut aliran NU. Mahasiswa

Lamongan yang mempunyai aliran Muhammadiyah tidak ikut serta

dalam mengadakan kegiatan ini. Mereka lebih toleransi terhadap

mahasiswa NU.

Secara umum, komposisi antara NU dan Muhammadiyyah di

Lamongan tidak berbeda jauh sebagaimana daerah Jawa Timur pada

umumnya yang didominasi oleh kalangan NU. Selain kedua aliran

tersebut banyak juga aliran kejawen di Lamongan. Mereka

kebanyakan tinggal di daerah pegunungan dan pedalaman yang

didominasi oleh kalangan petani.

Kaum migran dari Lamongan yang tinggal di Jakarta

mempunyai cara yang berbeda dalam menjalankan aktivitas

keagamaannya. Kebanyakan mereka menjalankan peribadatan sesuai

dengan kemampuan mereka di Jakarta. Dalam artian tidak terlalu

mencolok sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Lamongan di

daerah asalnya.11

Masyarakat Lamongan di daerah asalnya

cenderung menjadikan aktivitas keagamaannya sebagai sebuah

ritual peribadatan yang terlembagakan. Tindakan ini dilakukan

sebagai upaya untuk meningkatkan statsus sosialnya, bukan

menjalankan aktivitas rohani secara esensi. Sikap ingin dihormati

adalah model persaingan diantara masyarakat yang ingin

menampilkan aktivitas keagamaan ke ruang publik.'12

11 Wawancara dengan Fatoni (Lamongan, Juli 2015). 12 Etan Diamond, Souls of The City: Religion and the Search for

Community in Postwar America (Bloomington: Indiana University Press, 2003),

Page 258: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 243

Masyarakat Lamongan lebih suka bilamana mereka hidup

berdampingan dengan kumunitas masyarakat Lamongan yang

berbeda perkampungan atau kecamatan. Mereka kebanyakan

menjaga jarak dengan masyarakat yang berasal dari daerah atau

perkampungan yang sama. Tindakan ini lebih menguatkan diantara

mereka untuk bersolidaritas sosial yang pada akhirnya mengikat

masyarakat Lamongan.13

Perilaku sosial masyarakat migran berubah seperti terlihat

dari bentuk arsitektur rumah tinggal, pola hidup bertetangga,

apresiasi seni budaya, praktek ekonomi, sikap berorganisasi dan

berkelompok dan sebagainya. Menurut Nairun, orang pertama kali

yang membangun pagar adalah H Misbach pada tahun 1985, seorang

pendatang yang menetap sejak lama di Pintu Air Bekasi. Secara

ilustratuf, rumah tanpa pagar mempunyai banyak definisi

keterbukaan, kepercayaan sosial, kebersamaan dan rasa aman.

Namun rumah tanpa pagar mempunyai arti yang lain secara

negatif.14

Pola interaksi dengan masyarakat Lamongan yang berbeda

kecamatan lebih memudahkan mereka untuk bergerak secara leluasa

tanpa adanya sebuah kontrol sosial yang kuat diantara masyarakat

yang berasal dari pedesaan yang sama. Selama di daerah perantauan,

masyarakat Lamongan biasanya tidak mengandalkan pola hubungan

dengan mengandalkan masyarakat yang berasal dari pedesaan atau

keluarga yang sama. Jaringan wirausaha yang mereka bentuk

biasanya berkonstruk dari masyarakat Lamongan yang berasal dari

pedesaan atau perkampungan yang berbeda.15

Keluarga yang belum suksess dalam menjalankan usaha

menjalin mitra dengan teman atau kerabat yang berasal dari

13 Wawancara dengan Kiswanto (Lamongan, Agustus 2015) 14 Huriyuddin, Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung

Pintuair Bekasi Selatan (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1997), 42. 15 Wawancara dengan Adib (Jakarta, September 2015).

Page 259: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

244 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

pedesaan yang berbeda atau dari kecamatan yang jauh.16

Migrasi

masyarakat secara massif di kota-kota besar memunculkan kaum

proletar dengan kapasitas daya saing rendah.17

Kelompok migran

yang demikian didominasi oleh masyarakat yang tingkat

pendidikannya rendah dan tidak mempunyai banyak skill yang

memadai.

Kompetisi yang ketat di Jakarta pada akhirnya menimbulkan

sebuah seleksi alam secara ketat dalam bentuk kompetisi untuk

mencapai kemapanan hidup dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Menurut Charles Darwin, dunia merupakan sebuah kompetisi besar

yang menyebabkan makhluk hidup berkompetisi dalam mencapai

kehidupan yang lebih baik. Kaum migran yang terdiri dari berbagai

latar belakang masyarakat yang terkonsentrasi di kota-kota besar

pada akhirnya melakukan berbagai upaya dalam mencapai sebuah

tujuan hidup.

Kalangan orang tua Lamongan yang telah sukses dengan

mempunyai anak yang tingkat pendidikannya rendah

mengesampingkan aspek pendidikan dalam kehidupan mereka.

Motif pencapaian ekonomi merupakan alasan utama yang dijadikan

tolok ukur oleh kalangan orang tua di Lamongan sampai saat ini.

Tingkat pendidikan yang tinggi tanpa pencapaian ekonomi yang

matang hanyalah sebuah pencapaian yang tidak meningkatkan

status sosial. Masyarakat Lamongan yang demikian lebih berpikiran

pragmatis dalam memahami aspek pengetahuan dan pendidikan.

Bilamana seorang hanya mampu berteori tanpa memberikan sebuah

bukti yang konkrit menjadi gunjingan dan cemoohan tersendiri bagi

masyarakat Lamongan.

Kelompok masyarakat Lamongan yang tinggal di pesisiran

mempunyai sebuah filosofi yang unik dalam memandang dunia

16 Wawancara dengan Tosin (Jakarta, April 2015). 17 Cucu Nurhayati, Sosiologi Perkotaan (Tangerang Selatan: UIN Jakarta

Press, 2013), 52-53.

Page 260: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 245

pendidikan yang belum mampu menciptakan manusia secara

matang. Terutama kemapanan dalam pencapaian kehidupan

ekonomi. Filosofi masyarakat Paciran adalah “jangan mengajari ikan

untuk berenang” yang bermakna jangan mengajari orang yang sudah

berpengalaman dan merasakan pahit manisnya asam kehidupan.

Sementara masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah

pegunungan mempunyai sebuah filosofi “jangan mengajari burung

untuk terbang” sebab pengalaman mereka dalam kehidupan lebih

lama.

Pengalaman sampai saat ini masih menjadi sebuah

pembelajaran hidup yang penting bagi sebagian besar masyarakat

Lamongan. Terutama pengalaman yang didapatkan di daerah

perantauan yang tidak terdapat di kampong halaman sendiri. Jakarta

sebagai sebuah kota besar tentu menjadikan penduduknya untuk

belajar dan memberikan pengalaman berharga tentunya. Komposisi

Jakarta yang multikultur menjadikannya sebagai sebuah kota

terpadat dan kompleks di wilayah Indonesia.

Adapun sebab berikutnya yang menjadikan Jakarta sebagai

tujuan utama masyarakat Lamongan adalah karena daya tariknya.

Infrastruktur yang lengkap serta merasa lebih gengsi bila hidup di

kota besar adalah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Lamongan

dalam meningkatkan status sosialnya. Selama beberapa tahun

mereka tinggal di Jakarta sampai mereka ingin kembali ke kampong

halaman mereka sendiri. Ketika seorang pemuda mempunyai rumah

di Jakarta, maka mereka enggan untuk kembali ke kampung

halamannya. Teori demikian lebih idntik dengan everet S. Lee yang

menjadikan motif migrasi yang disebabkan karena daya tarik kota

yang bersangkutan.

Pola kehidupan masyarakat Lamongan yang ada di pedesaan

dengan Jakarta mempunyai sebuah distingsi. Ritual peribadatan

antara masyarakat Lamongan yang tinggal di sebuah pedesaan

biasanya dalam bentuk control sosial. Sistem keagamaan

Page 261: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

246 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

masyarakat Lamongan dalam menjalankan ibadahnya adalah karena

tuntutan lingkungan yang mereka tempati dan kontrol sosial yang

begitu kuat. Dalam menjalankan ritual keagamaan, masyarakat

Lamongan yang tinggal di pedesaan biasanya dipengaruhi oleh

tekanan yang berasal dari lingkungannya. Agama dalam hal ini

dijalankan sebagai bentuk pelepasan dari pengucilan sosial yang

terjadi di masyarakat. Mereka merasa menanggung malu ketika

tidak menjalankan aktivitas keagamaan di tengah-tengah

masyarakat. Generasi muda biasanya tidak mau bergaul dengan

kehidupan luar rumah dan memutuskan untuk menetap di rumah

mereka masing-masing. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya untuk

menghindari sanksi sosial yang ada di tengan masyarakat.

Clifford Geertz (1960), menjelaskan bahwa masyarakat

muslim Jawa yang terbagi menjadi tiga kategorisasi bekerja dalam

bidang masing-masing.18

Santri bekerja sebagai pedagang, priayi

dalam pemerintahan serta abangan sebagai petani. Namun dalam

data yang peneliti temui justru berbeda dalam artian sedikit santri

yang bekerja sebagai pedagang. Kebanyakan mereka bekerja sebagai

petani yang menggarap sawah atau buruh di persawahan. Kaum

abangan malah banyak yang bekerja sebagai pedagang soto dan

membuka aneka usaha lainnya. Dalam sejarah, hubungan antara

priayi dengan kalangan rakyat jelata masih terpisah secara simbolik

maupun kultural.19

Kasus pada masyarakat Lamongan, menunjukan

tidak semuanya masyarakat Jawa mempunyai kecenderungan yang

demikian.20

18 Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of

Glencoe, 1960), 228-232. 19 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit

Penguasa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 269. 20 Adanya beragam ilustrasi diatas menunjukan betapa sulitnya membuat

sebuah generalisasi tentang tata aturan pembagian warisan budaya dalam

masyarakat Jawa. Lihat Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta:

Pustaka Alvabet, 2009), 45.

Page 262: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 247

Trikotomisasi ini dalam sistem keagamaaan masyarakat Jawa

tentu kurang sesuai. Sebab masyarakat Jawa dalam menjalankan

sistem keagamaan tidak mengalami distingsi sebagaimana yang di

jelaskan oleh Clifford Geertz. Namun peneliti dalam hal ini akan

membahas dalam aspek sistem mata pencaharian berdasarkan

trikotomi tersebut.

Santri dan dalam perspektif Greetz (1960), mayoritas bekerja

sebagai seorang pedagang atau wirausahawan. Kaum abangan

identik dengan pekerjaan yang berkorelasi dengan alam sebagai

petani dan nelayan. Sementara kaum priayi lebih identik dengan

pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil yang menjamin kemapanan

hidup secara ekonomi di kota-kota besar. Pola keagamaan

masyarakat Lamongan di Jakarta dijalankan secara personal dan

sukarela tidak ada paksaan dalam menjalankan aktivitas keagamaan.

Mereka menjalankan ajaran agama dalam ruang publik secara

bersama-sama. Dalam penampilan, masyarakat Lamongan di

perkotaan biasanya lebih egaliter dan tidak monoton. Fenomena

yang demikian sangat berbeda dengan masyarakat Lamongan yang

berada di daerah asalanya. Mereka lebih menyukai menggunakaan

atribut keagamaan secara mencolok seperti menggunakan sarung

atau baju yang mencerminkan ekspresi keagamaan.

Masyarakat Lamongan memaknai agama di perkotaan sebagai

ajaran yang bersifat personal dan tidak di jalankan secara komunal.

Mereka lebih leluasa dalam menjalankan ajaran agama di perkotaan

daripada di pedesaan yang lebih bersifat terlembagakan. Diantara

masyarakat yang telah suksess menjalankan usaha ada yang

berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan seperti tarekat dan

berbagai majelis keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat

dimana mereka tinggal. Orang tua akan memarahi jika anak-anak

mereka meninggalkan sholat.

Page 263: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

248 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

D. Entrepreneurship dan Diferensasi Sosial Keagamaan

Keruntuhan orde baru memberikan pengaruh pada pola

oreintasi kerja masyarakat Lamongan dalam meningkatkan status

sosialnya. Masyarakat Lamongan sebelum keruntuhan orde baru

menempatkan golongan priayi sebagai kasta sosial khusus. Budaya

priayi yang demikian kemudian membentuk pola interaksi dalam

kehidupan masyarakat. Seorang pegawai pemerintahan senantiasa

dihormati oleh kalangan masyarakat desa, golongan ini kemudian

disusul oleh kelompok kiyai atau pemuka keagamaan.

Dalam orde tradisional klasifikasi berdasarkan usia, pangkat

dan awu atau tali kekerabatan sangat menonjol karena hubungan

sosial terjalin secara teratur. Hierarki merupakan masa bagi dimensi

tradisional yang membentuk relasi antar individu dengan

masyarakat. pola hubungan yang demikian tidak hanya tampak

dalam bidang birokrasi atau kepangkatan sebagai orientasi dalam

mengukur status sosial. Stratifikasi sosial yang dibentuk juga

menyangkut jenis pekerjaan.21

Ascribed status adalah status yang dibawa sejak manusia

terlahir. Misalnya kedudukan seorang anak bangsawan menjadi

bangsawan.22

Achieved status merupakan kedudukan yang dicapai

oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini

tidak dicapai atas dasar kelahiran. Akan tetapi bersifat terbuka bagi

siapa saja.23

Misalnya seseorang dapat menjadi kaya dengan usaha

tertentu.

Sektor kuliner selama ini menjadi pilihan bagi sebagian besar

masyarakat Lamongan yang bermigrasi ke Jakarta. Keterampilan

21 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,

Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1993), 70. 22 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1999), 265. 23 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1999), 266.

Page 264: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 249

berdagang yang melekat pada masyarakat Lamongan selama ini

belum pernah diletili oleh kalangan ahli. Terutama yang berasal dari

kalangan luar seperti Lance Castle yang melakukan penelitian pada

industri kretek pada masyarakat Kudus atau Sarah Turner yang

melakukan penelitian pada sistem kewirausahaan mikro masyarakat

di Makassar Sulawesi Selatan. Hill (1995), memahami bagaimana

nilai-nilai sosial mempengaruhi pengusaha pribumi dapat

meminjamkan wawasan tentang bagaimana nilai-nilai dapat

menciptakan keunggulan kompetitif di tingkat masyarakat.24

Keterampilan masyarakat Lamongan dalam kegiatan usaha

kuliner bukanlah sebuah keahlian yang diwariskan secara turun-

temurun oleh orang tua mereka. Etos kerja yang dimiliki oleh

masyarakat Lamongan menyebabkan mereka menimba ilmu secara

otodidak di daerah perantauan. Sektor kuliner selama beberapa

terakhir ini menjadi minat sebagian masyarakat Lamongan.25

Teori tindakan Marxian berkenaan dengan tujuan dan

pembangunan struktur sosial di masyarakat, bentuk kehidupan sosial

adalah spirit yang dieksternalisasikan dalam sebuah tindakan yang

berlandaskan pada kesadaran-kesadaran kritis yang mengantarakan

mereka untuk mencapai sebuah tujuan bersama yakni pada reifikasi

sosial.26

Eksternalisasi ini merupakan sebuah pertentangan dengan

sikap alienasi yakni seorang individu hanya dijadikan sebagai

sebuah instrument oleh kelompok kapitalis untuk mencapai sebuah

kebebasan finansial.

Berbeda dengan pendapat yang mengemukakan bahwa

pencapaian status seseorang karena posisinya dalam sebuah instansi

24 H. Kevin Steensma, Louis Marino and K. Mark Weaver, “Attitudes

Toward Cooperative Strategies: A Cross-Cultural Analysis of Entrepreneurs,”

Journal of International Business Studies, Vol. 31, No. 4 (4th Qtr., 2000), 591-609. 25 Wawancara dengan Kiswanto (Lamongan, Juli, 2015). 26 John Scott, Social Theory: Central Issues in Sociology (London: SAGE

Publication Ltd, 2012). Diterjemahkan oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),116.

Page 265: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

250 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

pemerintahan. Masyarakat Lamongan saat ini menilai stratifikasi

sosial bukan berdasarkan tinggi rendahnya pendidikan atau posisi

dalam sebuah pemerintahan. Kalangan orang tua memberikan

kedudukan yang tinggi bagi masyarakat Lamongan yang telah

berhasil dalam menjalankan usaha. Aspek materialisme dan sikap

menghindari alienasi yang kuat menyebabkan masyarakat

Lamongan mengesampingkan aspek pendidikan dan motivasi dalam

jenjang karir di pemerintahan.

Sebagaimana yang peneliti kemukakan di awal tentang

konstruksi kewirausahaan masyarakat Lamongan. Peneliti

menjelaskan bahwa mereka kebanyakan ikut orang di luar keluarga

atau dalam lingkup orang yang berasal kampung sendiri. Pelajaran

dan pengalaman secara otodidak inilah diantara faktor yang

melatarbelakangi perilaku kewirausahaan masyarakat Lamongan.

Keberhasilan menjalankan usaha merupakan salah satu cara untuk

meningkatkan status sosial.

Darkono salah seorang penjual soto di kawasan Kebon Jeruk

Jakarta menuturkan ada kebanggaan tersendiri ketika memberikan

lapangan pekerjaan. Ukuran kewibawaan bukan hanya diukur oleh

nilai-nilai keagamaan maupun kapabilitas seseorang. Melainkan

oleh simbol-simbol duniawi seperti harta, jabatan.27

Orang Jawa

memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai suatu

keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Oleh karena itu

kerangka berpikir tersebut tidak maklum dan akan kontras dengan

pertentangan yang mutlak dengan dialektik, atau bahkan relativisme

yang benar.28

Adanya perubahan sosial menyebabkan masyarakat

Lamongan berusaha untuk meningkatkan status sosialnya di

27 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama Di Tangan Penguasa

(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 235. 28 Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional

(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984), 52.

Page 266: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 251

masyarakat. Masyarakat Lamongan memandang bahwa status sosial

merupakan pengahargaan yang perlu diperjuangkan. Mereka tidak

mengenal adanya status sosial yang di bawa sejak mereka terlahir

sebagaimana masyarakat yang berkasta yang tersusun dalam bentuk

kasta sosial.

Guna mendapatkan status sosial yang lebih tinggi masyarakat

Lamongan perlu usaha keras untuk meningkatkan status sosialnya.

Reifikasi sosial meruapakan indicator dalam meningkatkan status

sosial masyarakat diantara anggotanya. Diantara cara untuk

meningkatkan ststus sosial adanya bekerja keras guna mencapai

kemapanan dalam kompetisi eknomi.29

Para pemuda di Lamongan merasa menanggung malu ketika

dalam usia produktif mereka masih tetap tinggal di kampung

halamannya. Bagi para pemuda di Lamongan, menganggur

merupakan sebuah aib yang menjatuhkan status sosial tidak hanya

bagi dirinya sendiri. Keluarga yang mempunyai anak yang masuk

dalam usia produktif merasa malu bila masih menganggung dan

tidak mempunyai pekerjaan.

Orang tua lebih suka mengirim anaknya keluar kampung

halamannya dariapada membiarkan anak mereka menganggur, yakni

meninggalkan kampung halamannya dalam bebarapa waktu agar

tidak menjadi bahan ejekan bagi kalangan orang tua lainnya.

Kebanyakan para ibu-ibu menceritakan berbagai macam prestasi

anaknya ketika tinggal di daerah perantauan. Meskipun dalam

prakteknya mereka mempunyai prestasi yang kurang terbukti.

Para wanita khususnya ibu-ibu yang tinggal di kampung

halamnanya akan menceritakan berbagai macam keberhasilan

anaknya terutama dalam prestasi ekonomi. Fenomena yang

demikian kemudian menjadi motivasi tersendiri bagi anak-anak

muda di Lamongan untuk mengadu nasib di kota-kota besar seperti

29 Wawancara dengan Arif (Jakarta, Januari, 2015).

Page 267: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

252 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Jakarta, Surabaya, Jogja, Medan, Makassar, Kalimantan dan

sebagainya.30

Masyarakat Lamongan mempunyai perbedaan yang unik

dengan komunitas masyarakat Jawa pada umumnya. Kebudayaan

priayi yang menjadi pengungkapan keberhasilan masyarakat Jawa

dalam peningkatan status sosial kurang diminati oleh kalangan

masyarakat Lamongan. Pencapaian keberhasilan adalah ketika anak-

anak mereka mampu bekerja dalam dunia pemerintahan. Dengan

kata lain sebagai pegawai negari sipil, termasuk juga menduduki

posisi-posisi penting dalam suatu perkantoran atau pemerintahan.

Kalangan orang tua di Lamongan yang mayoritas masyarakat

Jawa mempunyai pandangan yang sebaliknya. Bekerja dalam

pemerintahan atau sebagai karyawan bagi meraka sama saja dengan

menjadikan diri mereka sebagai seorang buruh atau karyawan. Posisi

kerja yang demikian sama halnya dengan menjadikan mereka

sebagai seorang bawahan.31

Kalangan orang tua lebih merasa bangga bilamana anak-

anaknya bekerja dengan membuka usaha sendiri. Tipologi kerja

yang demikian menyebabkan mereka lebih leluasa atau bebes dalam

bergerak. Sebab mereka akan mempossikan dirinya sebagai seorang

atasan bukan menjadi seorang bawahan. Sebab kerja dengan menjadi

pegawai, termasuk pegawai pemerintahan akan menjadikan mereka

mengalami alienasi atau keterasingan. Dalam artian mereka bekerja

dengan mencurahkan segenap tenaga dan upayanya untuk untuk

kepentingan orang lain.

Meskipun mempunyai jumlah karyawan yang terbatas yang

terdiri dari dua atau tiga orang, kalangan orang tua atau anak muda

akan merasa bangga sebab mereka seakan-akan menjadi seorang

boss atau atasan. Anak-anak muda di Lamongan akan merasa

bangga bilamana meraka mampu mempekerjakan anak-anak muda

30 Wawancara dengan Supii (Lamongan, 2015) 31 Wawancara dengan Suwadi (Lamongan, 2014).

Page 268: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 253

yang masih menganggur di kampung halamannya. Suatu

kebanggaan tersendiri bilamana mereka mampu untuk mengurangi

pengangguran di kampong halamannya. Termasuk ketika

memberikan gaji kepada para karawannya yang berasal dari desa

atau perkampungan yang sama.

Tinggi rendahnya suatu pendidikan bagi masyarakat pedesaan

di Lamongan bukan menjadi tolok ukur yang utama bagi kalangan

orang tua. Merupakan sebuah aib bilamana anak-anak muda yang

mempunyai pendidikan tinggi masih menganggur dan tidak

mempunyai pekerjaan yang tetap. Kompetisi dalam dunia ekonomi

telah merubah pola kehidupan masyarakat Lamongan.

Motivasi untuk mengumpulkan kekayaan secara tidak

langsung telah merubah gaya hidup masyarakat Lamongan. Pola

kehidupan yang pada awalnya berawal dari pedesaan tidak

selamanya tergantung pada sebuah lingkungan awal. Yakni

masyarakat desa pada dasarnya sukar untuk merubah gaya hidupnya

dengan menyesuaikan diri dengan masyarakat perkotaan.

Masyarakat desa yang melakukan migrasi atau merantu ke kota

selamanya tidak menjadi masyarakat yang terbelakang

Motivasi kuat masyarakat Lamongan yang mengadu nasib

mereka di perkotaan secara tidak langsung menjadikan mereka eksis

di perkotaan. Kehidupan di kota-kota besar sebagaimana Jakarta

dan Surabaya telah menjadi motivasi masyarakat Lamongan untuk

berkompetisi dengan masyarakat lainnya dalam meningkatkan

status sosial. Struktur pendidikan mempunyai kewibawaan yang

berfungsi sebagai faktor kunci dalam masyarakat, yakni sebagai

symbol status sosial.32

Masyarakat Jawa biasaya memandang status

sosial berdasarkan kepangkatan atau posisi dalam sebuah

pemerintahan atau perusahaan swasta. Ukuran kekayaan tidak

32 Sartono Kartodirjo, A. Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo,

Perkembangan Peradaban Priayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1993), 187.

Page 269: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

254 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

menjadi sebuah indikator dalam menempatkan status soaialnya.

Berbeda dengan masyarakat Lamongan yang menjadikan barometer

kekayaan sebagai sebuah instrument utama dalam penempatan

status sosialnya.

Pada zaman penjajahan terdahulu santri melakukan aktivitas

perdagangan sebagai bentuk protes terhadap kebudayaan priayi yang

dianggap sebagai antek-antek Belanda. Tjokroaminoto adalah tokoh

yang memelopori organisasi serikat dagang Islam yang menghimpun

para pedagang yang berasal dari kalangan santri. Masyarakat

Lamongan mengenal santi abangan dan priayi dalam bentuk

stratifikasi sosial, bukan dalam bentuk aspek keagamaan

sebagaimana yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam

trikotominya. Kalangan masyarakat abangan dianggap menempati

kasta sosial terendah dan santri serta priayi menempati strata sosial

tertinggi.

Kalangan abangan memberontok sebagai bentuk protes

terhadap masyarakat yang lebih menghargai kalangan santri

daripada abangan. Santri bersama kiyai dianggap sebagai golongan

khusus yang harus dihormati, sementara priayi dianggap sebagai

pembesar. Setelah kekalahan PKI pada 1965 kalangan abangan

banyak yang di marjinalkan oleh pemerintah. Termasuk kemampuan

mereka dalam akses untuk menduduki posisi strategis dalam bidang

pemerintahan. Kalangan marjinal ini tentu memiliih sektor swasta

sebagai garapan utamanya dalam mengakumulasi ekonomi guna

memenuhi kebutuhan hidupnya. Golongan ini adalah mereka yang

merasa dikesampingkan oleh masyarakatnya.

Meskipun sistem kasta dalam masyarakat Jawa telah runtuh

seiring dengan keruntuhan Majapahit dan masuknya Islam.

Golongan tertentu dalam sebuah masyarakat merasa masih di

kesampingkan dan menempati kasta sosial terendah. Mobiltas sosial

adalah sebuah upaya untuk meningkatkan status sosial masyarakat

Lamongan. Saluran mobilitas ini adalah menyasar dalam bidang

Page 270: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 255

perdagangan. Tak jarang kalangan masyarakat Lamongan yang

berasal dari golongan abangan mempunyai tingkat religiusitas yang

lebih tinggi daripada santri. Golongan abangan yang telah suksess

dalam menjalankan usaha akan menunaikan rukun Islam yang

kelima, yakni berangkat haji. Diantara golongan abangan ini bahkan

ada yang menjadi donator tetap dalam pembiayaan masjid atau

musholla.

Penelitian ini sependapat dengan pernyataan Bambang

Pranowo bahwa dalam sistem keagamaan masyarakat Jawa tidak

terbagi secara trikotomi sebagaimana yang dikemukakan oleh

Clifford Geertz yang mana golongan santri dianggap sebagai

kelompok masyarakt Jawa yang taat dalam menjalankan ajaran

agama dan abangan serta priayi dianggap sebagai golongan yang

tidak taat menjalankan perintah agama. Kalangan masyarakat

abangan dalam konteks ini menunjukan tingkat religiusitas yang

lebih tinggi dariapada masyarakat santri yang mempunyai etos kerja

yang rendah. Trikotomi yang demikian hanya terjadi pada status

sosial, bukan dalam sistem keagamaan. Masyarakat Lamongan

berwirausaha untuk meningkatkan status sosial dalam beberapa

kasus.

Orientasi kewirausahaan masyarakat Lamongan tidak hanya

dipengaruhi oleh faktor untuk meningkatkan status sosialnya dalam

akumulasi kekayaan semata. Ibadah haji adalah faktor lain yang

menjadi latar belakang masyarakat Lamongan dalam mendirikan

wirausaha. Status tokoh agama terutama kiyai dalam masyarakat

Jawa Timur masih menempati strata sosial tertinggi. Sebab

stratifikasi sosial yang demikian diberikan secara khusus kepada

orang-orang tertentu. Dalam masyarakat Indonesia, istilah kiyai

diberikan kepada masyarakat karean perannya bukan karean sekolah

atau tinggi rendahnya pendidikan yang dicapainya.

Masyarakat yang bukan termasuk golongan kiyai atau priayi

akan termotivasi untuk meningkatkan status sosialnya. Diantaranya

Page 271: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

256 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

adalah dengan akumulasi kekayaan yang dianggap sebagai sarana

yang tepat dalam meningkatkan status sosialnya. Upaya yang

mereka lakukan yakni dalam menyempurnakan rukun Islam yang

kelima, yakni ibadah haji. Fenomena ini tidak hanya berlaku bagi

santri yang mempunyai pemahaman keagamaan yang bersifat

holistic. Golongan abangan yang dianggap sebagai golongan yang di

kesampingkan oleh kalangan santri akan termotivasi untuk berhaji

ketika menuai hasil dalam berwirausaha.

Sikap masyarakat terhadap individu yang telah menunaikan

haji dalam beberapa kasus dapat menjadi motivasi berhaji.

Menunaikan ibadah haji merupakan cara termudah bagi kalangan

masyarakat Lamongan untuk meningkatkan status sosialnya. Gelar

haji disematkan pada nama seseorang merupakan metode untuk

memperoleh persamaan dengan golongan priayi pada masyarakat

Jawa. Diantara beberapa pedagang yang peneliti wawancarai enggan

untuk menyebutkan langsung namanya. Mereka senantiasa

memberikan embel-embel haji di depan nama mereka. Tindakan ini

dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada penliti bahwa

informan tersebut telah menunaikan ibadah haji.33

Pedagang yang telah mencapai kemapanan dalam kehidupan

akan menjadi donator dalam pembangunan tempat ibadah dan

sarana keagamaan. Masyarakat yang telah mencapai kemapanan

dalam kehidupan ekonomi biasanya erat hubungannya dengan para

tokoh agama. Masyarakat yang belum mencapai kemapanan secara

ekonomi akan berusaha untuk meningkatkan status sosialnya

diantara masyarakat lainnya. Upaya ini dilakukan untuk

menghindari pengucilan diantara warga. Masing-masing warga

33 Wawancara dengan Hj. Suhartini pedagang tahu campur Lamongan di

Pondok Indah Jakarta selatan dan Hj. Arif di Pesanggrahan. Kedua warga Lamongan tersebut telah menuai suksess di Jakarta dan menunaikan ibadah haji.

Dalam wawancara dengan kedua orang tersebut. Mereka biasanya menyematkan

gelar haji di depan nama panggilan mereka. (Sumber: penelitian lapangan di Jakarta

Selatan, Maret 2016).

Page 272: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 257

berusaha untuk menonjolkan diri agar eksistensi mereka diakui oleh

warga lainnya. Aktivitas yang demikian dilakukan sebagai opsi

untuk meningkatkan status sosialnya.

E. Kontribusi Masyarakat Lamongan dalam Mereduksi

Pengangguran

Kabupaten Lamongan termasuk kota yang banyak

memproduksi kalangan wirausahawan kelas kaki lima yang

menjalankan usahanya pada sektor kuliner. Eksistensi usaha yang

dikelola oleh masyarakat Lamongan secara tidak langsung

membawa perubahan sosial terhadap masyarakatnya. Daerah yang

banyak mempunyai sektor usaha kecil diharapkan mampu untuk

mengurangi jumlah pengangguran. Sebagai contoh DKI Jakarta

yang menjadi tujuan utama berwirausaha masyarakat Lamongan.

Kondsi wilayah yang gersang ditunjang dengan sarana dan prasarana

yang tidak memadai tidak menjadi hambatan bagi masyarakat

Lamongan untuk berkembang. Pemerintah sebagai pemangku

kebijakan publik hendakanya menjadikan masyarakat Lamongan

sebagai percontohan bagi daerah yang suksess dalam

mengembangkan sektor kewirausahaan.

Migrasi masyarakat Lamongan ke berbagai daerah di

Indonesia seperti Jakarta secara tidak langsung akan membawa

perubahan sosial terhadap daerah asal maupun daerah yang menjadi

tujuan kewirausahaannya. Diaspora masyarakat Lamongan secara

tidak langsung akan membawa implikasi berupa pemerataan

penduduk dan peningkatan ekonomi masyarakatnya. Eksistensi

pedagang Lamongan yang telah sukses diperantauan pada akhirnya

menjadi sebuah penarik bagi masyarakat Lamongan lainnya. Secara

beramai-ramai ingin mengikuti jejak seniornya dalam menjalankan

usaha.

Berbagai macam program pengentasan kemiskinan yang

dibentuk pemerintah tidak akan berjalan secara maksimal bilamana

Page 273: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

258 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

masyarakat tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk membuka

usaha. Akibatnya banyak program pemerintah mangkrak dan tidak

mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat.

Minimnya lapangan pekerjaan disertai dengan bertambahnya

angkatan pencari kerja menyebabkan terjadinya pengangguran.34

Problem sosial yang demikian terjadi di berbagai negara termasuk

Indonesia yang mengalami peningkatan jumlah pengangguran setiap

tahun. Index nasional yang merupakan perbandingan antara jumlah

pengangguran dengan angkatan kerja menjadi tolok ukur dalam

pembangunan suatu negara adalah konteks sosial budaya kerja.35

Guna memperkecil pengangguran diperlukan lapangan kerja

baru dalam jumlah banyak. Sander Wennekers dan Roy Thurik

(1999) menjelaskan bahwa usaha kecil mempunyai peran yang

signifikan dalam meminimalisir jumlah pengangguran. Pada tahun

1980-an dan 1990-an usaha kecil berperan penting dalam

pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa yang meliputi Belanda,

Norwegia, Islandia, dan Swiss. Kelompok politisi dan lembaga

sosial Uni Eropa memiliki slogan bahwa usaha kecil mempunyai

peran penting dalam menyelamatkan kehidupan ekonomi suatu

negara.36

Kelompok masyarakat yang membuka usaha dalam skala

besar maupun kecil akan memberikan kontribusi dalam mengurangi

34 Dalam sebuah pemilihan model kerja, pengangguran didefinisikan

sebagai pekerja dengan pencari kerja. Dunia membedakan antara pekerja dengan

pengusaha yang bersifat determinan terhadap pekerja. Lihat, Andreas Wagener,

“Entrepreneurship and Social Security,” Finanz Archiv Public Finance Analysis, Vol. 57, No. 3 (2000). 284-315.

35 Terrence E. Brown and Jan Ulijn, eds. Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction Between Technology, Progress and Economic Growth, (USA: Edward Elgar Glensanda House, 2004), 81.

36 Sander Wennekers and Roy Thurik, “Linking Entrepreneurship and Economic Growth,” Journal Small Business Economics, Vol. 13, No. 1 (Springer:

1999), 27-55.

Page 274: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 259

jumlah pengangguran dan kemiskinan.37

Davidsson (1995),

mengidentifikasi pandangan mengenai korelasi antara nilai-nilai

budaya dan perilaku kewirausahaan. Penjelasan kewirausahaan

didasarkan pada gagasan jika masyarakat mengajarkan nilai-nilai

kewirausahaan, maka lebih banyak orang akan menjadi pengusaha.

Mc Clelland (1961) menyimpulkan bahwa perilaku kewirausahaan

bukan ditentukan oleh faktor sosial budaya, melainkan motivasi

setiap individu. Pendapat ini diperkuat oleh Philipp Koellinger

(2008) bahwa kemampuan dalam menjalankan usaha ditentukan

motivasi dan inovasi individu. Dalam contoh kasus sering

ditemuinya menunjukan banyak keluaran pendidikan tinggi yang

berstatus sebagai pengangguran.38

Meningkatnya jumlah pengangguran telah menimbulkan

problem yang dapat merugikan kehidupan suatu masyarakat.

Termasuk di kota-kota besar yang menjadi tujuan kaum urban.

Ketika lahan pertanian tidak lagi menjadi tempat yang prospek

untuk memenuhi kebutuhan. Masyarakat yang berasal dari pedesaan

memutuskan untuk pindah ke kota-kota dan mencari pekerjaan

selain bertani. Migrasi meningkat kuat ketika lahan pertanian

semakin kecil.39

Tim Dyson (2011), menekankan tingginya

37 Schumpeter mendefinisikan kewiraswastaan adalah bentuk baru sebagai

solusi dalam mengurangi jumlah kemiskinan. Kalangan pengusaha berperan dalam

penyelesaian problem sosial dalam bentuk mengurangi jumlah kemiskinan. Lihat,

Eli Gimmon and Jonathan Levie, “Instrumental Value Theory and the Human

Capital of Entrepreneurs,” Journal of Economic Issues, Vol. 43, No. 3 (September 2009), 715-732.

38 Philipp Koellinger, “Why are Some Entrepreneurs More Innovative than Others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1, (June 2008), 21-37.

39 Elizabeth W. Lehrer and Robert L. Schooley, “Space use of Woodchucks

Across an Urbanization Gradient Within an Agricultural Landscape,” Journal of

Mammalogy, Vol. 91, No. 6 (December 2010), 1342-1349.

Page 275: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

260 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

pendapatan ekonomi di kota dalam sektor non pertanian menjadi

faktor utama yang menarik orang-orang desa untuk berurbanisasi.40

Sebuah studi menunjukkan tingkat pengangguran terus

mengalami kenaikan dari waktu kewaktu.41

Institusi sosial seperti

pendidikan tinggi merupakan tempat untuk menyiapkan manusia

yang secara inovatif memberikan kontribusi secara riil terhadap

masyarakat.42

Problem sosial seperti pengangguran merupakan

tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali. Masyarakat pedesaan

yang masuk dalam tipologi gemeinschaft menilai perguruan tinggi

masih memproduksi manusia yang mempunyai keahlian secara

akademisi dan teori. Bukan dalam ranah aksiologi yang memberikan

kontribusi secara konkrit bagi perubahan sosial (social change),43

kearah yang lebih baik. Pendekatan daripada isu-isu sosial tertentu

dimana proses kewirausahaan digambarkan sebagai hal yang relevan

dalam perubahan sosial secara efektif dalam semua konteks.44

Problem sosial yang demikian diperparah dengan semakin

minimnya lapangan pekerjaan yang diperebutkan oleh lulusan

perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Output lembaga

pendidikan yang berjumlah ribuan orang tidak selamanya

mendapatkan pekerjaan secara layak sesuai dengan bidang keilmuan

40 Tim Dyson, “The Role of the Demographic Transition in the Process of

Urbanization,” Population and Development Review, Vol. 37, Demographic

Transition and Its Consequences (2011), 34-54. 41 Badan Pusat Statistik, Diolah dari SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja

Nasional), tahun 2013-2014. 42 Philipp Koellinger, “Why are Some Entrepreneurs More Innovative than

Others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1, (June 2008), 21-37. 43 Wilbert Moore mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan

penting dalam struktur sosial yang berhubungan dengan pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Perubahan sosial bukanlah gejela masyarakat modern, melainkan

sebuah hal yang universal dalam pengalaman hidup manusia. Lihat, Jacobus

Ranjabar, Perubahan Sosial Dalam Teori Makro: Pendekatan Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2005), 15.

44 Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change (New York: Oxford University Press, 2006), 159.

Page 276: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 261

yang mereka tekuni. Terkadang antara jurusan dengan keterampilan

yang mereka geluti selama perkuliahan tidak sesuai dengan

pekerjaan yang mereka tangani. Sebagai contoh adalah seorang

lulusan teknik sipil yang bekerja sebagai tim SARS dalam

menanggulangi bencana alam dikarenakan tidak ada alternatif

pekerjaan lain.45

Peneliti dalam hal ini juga menjumpai lulusan

akuntansi negara yang bekerja menjadi seorang guru drum band

dalam sebuah sekolah di Sekolah Dasar (SD).46

Tidak tersedianya

jenis pekerjaan yang sesuai dengan bidang perkuliahan

menyebabkan fresh gradute lebih memilih bekerja seadanya

daripada menjadi pengangguran.47

Masalah dalam institusi pendidikan terkadang dihadapkan

dengan masalah sosial dan ekonomi.48

Terbatasnya lapangan

pekerjaan berimbas pada banyaknya pengangguran.49

Menyikapi

fenomena tersebut, lembaga pendidikan dan pemerintah telah

melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir jumlah

pengangguran. Di antaranya dengan menerapkan sistem ekonomi

45 Wawancara dengan alumni salah satu kampus ternama di Surabaya yang

merantau ke Jakarta dengan memutuskan untuk bekerja menjadi tim SARS. Beliau

memutuskan bekerja yang tidak sesuai dengan background-nya teknik sipil selama

menempuh pendidikan. Alasan utamanya yang dikemukakan adalah tidak adanya lapangan pekerjaan lain selain menjadi tim SARS. (Lamongan Juli 2014).

46 Wawancara dengan alumni kampus negeri di Jogjakarta yang memutuskan untuk bekerja sebagai guru drum band di sebuah SD di pedesaan

Lamongan. (Lamongan Agustus 2015). 47 Pengangguran merupakan problematika masyarakat sepanjang masa.

Manusia tradisional yang masih hidup dalam keadaan primitif sekalipun

membutuhkan aktivitas bekerja (lawan dari pengangguran) untuk memenuhi kebutuhan hisup. Kemunduran suatu masyarakat ditentukan oleh partisipasi

masyarakatnya dalam kerja. Lihat, Ali Murtadho, “Kajian Pengangguran Dalam

Perspektif Pemikiran Ekonomi Ibn Khaldun,” Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Tahun, 2010.

48 Feargal Quinn, “Acquiring the 'Right' Skills,” Journal Studies: An Irish

Quarterly Review, Vol. 101, No. 402 (Summer 2012), 208-214. 49 Sander Wennekers and Roy Thurik, “Linking Entrepreneurship and

Economic Growth,” Small Business Economics, Vol. 13, No. 1 (Aug, 1999), 27-55.

Page 277: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

262 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

kerakyatan yang menjangkau kalangan masyarakat kelas menengah

bawah. Polona Tominc dan Miroslav Rebernik (2007), menjelaskan

eksistensi usaha kecil mampu menyediakan lapangan kerja baru.

Beberapa penelitian telah membantu pemerintah dalam

pertumbuhan ekonomi dan memecahkan masalah pengangguran.50

Lebih lanjut Alex Nicholls (2006) menekankan pentingnya

kewirausahaan sebagai sarana mengatasi krisis.51

Pendirian program Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) menjadi prioritas utama pemerintah sebagai

solusi meminimalisir pengangguran. Program bantuan dalam bentuk

pinjaman modal kepada rakyat menengah bawah ini diharapkan

memberikan bantuan berupa pembiayaan kepada masyarakat yang

kekurangan modal membuka usaha. Termasuk memberikan

pelatihan kerja dengan mendirikan Badan Pekatihan Kerja (BLK).

Selain modal dalam bentuk pinjaman uang, modal sosial memainkan

peran penting dalam membuka usaha. Bourdieu dan Wacquant

(1992) menjelaskan bahwa modal sosial adalah kalkulasi dari

sumber daya yang aktual atau virtual, yang diperoleh dari individu

ke- individu atau kelompok berupa kepercayaan satu sama lain.52

Banyak pemberdayaan yang digunakan untuk meningkatkan

kualitas dalam sebuah masyarakat. Setiap teknik pemberdayaan

mempunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan faktor-faktor

50 Polona Tominc and Miroslav Rebernik, “Growth Aspirations and

Cultural Support for Entrepreneurship: A Comparison of Post-Socialist Countries,” Small Business Economics, Vol. 28, No. 2/3 (Mar, 2007), 239-255.

51 Alex Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change, (New York: Oxford University Press, 2006), 128.

52 Hans Westlund and Roger Bolton, “Local Social Capital and Entrepreneurship,” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography. Vol.

21, No. 2. (Sep, 2003), 77-113.

Page 278: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 263

setempat.53

Pelatihan dan pengenalan pasar menyediakan kerja yang

diperlukan dalam dunia modern guna menghindari masalah

pengangguran.54

Masyarakat merupakan mitra utama individu dalam sebuah

pergaulan sosial. Mereka menjadi pendukung dalam menciptakan

manusia-manusia yang terampil dengan menggunakan kemampuan

kontrol sosialnya. Oleh karena itu, lulusan perguruan tinggi tidak

seharusnya menganggur agar tidak menjadi bahan ejekan bagi

masyarakat.55

Krisis moneter yang terjadi pasca reformasi telah

membawa perubahan yang banyak di negeri ini. Krisis ini

menyebabkan banyak terjadi pengangguran dimana-mana.56

Berbagai usaha telah dilakukan oleh manusia untuk mengatasi

masalah sosial pengangguran. Dalam mengatasi masalah sosial tidak

perlu samata-mata melihat aspek sosiologis, tetapi juga aspek-aspek

lainnya. Sehingga diperlukan suatu kerja sama antara ilmu

pengetahuan kemasyarakatan pada khususnya untuk memecahkan

masalah sosial yang dihadapi.57

Pencapaian pembangunan suatu negara adalah memperkecil

jumlah pengangguran. Kalangan yang membuka usaha tidak

53 Ismail Nawawi, Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep,

Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi (Surabaya: CV. Putra Media

Nusantara, 2009), 152. 54 Philip Cooke and Dafna Schwartz, Eds. Creative Regions Technology,

culture and knowledge entrepreneurship, (Canada: Routledge 2 Park Square, 2007), 35.

55Muhammad Saroni, Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda: Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik (Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media, 2012), 182. 56 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit

Penguasa (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), 132. 57 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1999), 440-441.

Page 279: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

264 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

sepatutnya hanya berorientasi untuk melebarkan sayapnya semata.58

Kebijakan ekonomi membuat lebih mudah untuk mewujudkan

perubahan. Sementara kebijakan lingkungan memiliki dampak pada

permintaan negara untuk menciptakan produk-produk baru dan

dikembangkan secara modern di wilayah tersebut. Pelatihan tenaga

kerja yang mendasar untuk menyediakan tenaga kerja yang

diperlukan secara modern untuk menghindari masalah pengangguran

yang lebih parah.59

Kerja keras merupakan kewajiban yang telah diberikan

kepada ummat manusia di dunia. Bilamana mereka hidup dalam

keadaan menganggur, maka mereka menyalahi kodrat yang telah

diberikan oleh Tuhan.60

Dalam Webster World University

Dictionary dijelaskan bahwa etos ialah sifat dasar atau karakter

yang merupakan kebiasaan dan watak bangsa atau ras. Penguasaan

beberapa metode berpikir dan keterampilan bekerja menjadikan

mereka bersikap serba professional dan rasioanal. Tentunya akan

menggeser sikap terhadap perilaku tidak rasional budaya tertentu

pada masyarakat yang sebelumnya.61

Dodge dan Robbins (1992), menegaskan bahwa masalah

lingkungan eksternal lebih penting. Mereka mengusulkan empat

tahap yang digunakan untuk mengkategorikan usaha kecil dalam

konteks pembentukan, pertumbuhan awal, pertumbuhan, dan

58 Ismail Nawawi, Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep,

Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009), 99.

59 Philip Cooke and Dafna Schwartz, Eds. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, (Canada: Routledge 2 Park Square, 2007),

35. 60 Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah

University Press, 2004), 118. 61 Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), 288.

Page 280: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 265

stabilitas.62

Bird (1989), mengusulkan faktor lingkungan dalam

konteks sosial yang meliputi: ekonomi, politik, dan teknis waktu

dalam lokasi, zeitgeist atau semangat zaman, serta lingkungan

budaya. Faktor pemilik meliputi: tujuan pemilik, kemampuan

operasional pemilik, kemampuan manajerial pemilik dan

kemampuan strategis pemilik. Specht (1993) menunjukkan kategori

faktor umum yaitu: sosial, ekonomi, politik, pembangunan

infrastruktur dimana faktor-faktor tertentu dapat dikelompokkan.

Sebagai contoh terbatasnya ketersediaan modal yang menyebabkan

pengangguran.63

Dalam konsep “gainful employment” seseorang di katakan

bekerja bilamana bekerja dalam sebuah pekerjaan tertentu dan

mendapatkan upah atau penghasilan yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan atau keuntungan (Farooq, 1981; Shryock dan

Siegel, 1976).64

Dalam dunia ekonomi, bekerja biasanya dikaitan

dengan kegiatan yang menghasilkan uang atau produktif.65

Seseorang yang mempunyai aktivitas secara umum bisa

dikategorikan tidak menganggur. Pengangguran merupakan masalah

62 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 145. 63 Damian Hine, John Kapeleris, Innovation and Entrepreneurship in

Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases (Northampton Massachusetts 01060 USA: Edward Elgar Publishing Limited,

2006), 145. 64 Riwanto Titirsudarmo, Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1997), 91. 65 Abdul Haris dan Nyoman Adika, Dinamika Kependudukan dan

Pembangunan di Indonesia dari Perspektif Makro ke Realitas Mikro (Yogyakarta:

Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), 150.

Page 281: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

266 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

sosial yang dapat menyebabkan timbulnya dampak negatif seperti

kriminalitas.66

Implikasi utama dari pengangguran adalah dampak psikologis

(utilitas). Kesejahteraan yang negatif akan berkorelasi dengan

pengangguran dalam mencari pekerjaan.67

Menurunnya standar

kualitas hidup merupakan diantara dampak yang ditimbulkan oleh

pengangguran. Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh

pemerintah adalah dalam bentuk pelatihan kerja dengan orientasi

menyiapkan tenaga terampil. Efektivitas pelatihan dalam jangka

panjang tersebut adalah mungkin untuk memberikan evaluasi.68

Jatuhnya pendapatan rata-rata, ketidaksetaraan peningkatan,

pinjaman pemerintah yang lebih tinggi dan perubahan kebijakan

publik (terutama kebijakan sosial). Sebagai konsekuensi dari

prospek ekonomi yang negatif, harapan yang tinggi ditempatkan

pada sektor swasta sebagai salah satu agen utama untuk mengatasi

tantangan sosial pengangguran sebagai review dalam menanggapi

sektor swasta dan sektor publik.69

UMKM adalah unit usaha yang

berdiri sendiri dan dilakukan oleh perorangan atau badan usaha di

semua sektor.70

66 Steven Raphael and Rudolf Winter‐Ebmer, “Identifying the Effect of

Unemployment on Crime,” Journal of Law and Economics The University of

Chicago Law School, Vol. 44, No. 1 (April 2001), 259-283. 67 Andrew E. Clark, “Unemployment as a Social Norm: Psychological

Evidence from Panel Data,” Journal The University of Chicago Press on behalf of the Society of Labor. Vol. 21, No. 2 (April 2003), 323-351.

68 Michael Lechner and Conny Wunsch, “Are Training Programs More Effective When Unemployment Is High?,” Journal of University of Chicago Press on behalf of the Society of Labor Economists and the NORC, Vol. 27, No. 4

(October 2009), 653-692. 69 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 75. 70 Tulus Tambuna, Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia Isu-isu

Penting (Jakarta: LP3ES, 2012), 11.

Page 282: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 267

Masyarakat modern merupakan masyarakat utilitarian yang

rasional dimana segala sesuatu dipertimbangakan menurut

perhitungan akal secara wajar. Adapun efek negatif dari tingkat

pengangguran yang lebih kecil dirasakan oleh wanita daripada laki-

laki. Sedangkan efek dari kepuasan hidup tentang kewirausahaan

adalah positif bagi perempuan dan tidak ada untuk laki-laki.

Relevansi lembaga informal bahwa mereka memiliki asal-usul dan

dibentuk oleh kultur dengan hubungan sosial. Williamson (2000),

menggariskan modal sosial dan budaya sering terlihat transenden

untuk mendapatkan modal keuangan dan sumber daya lainnya yang

dibutuhkan untuk memulai usaha. Pendekatan kelembagaan dengan

teori yang luas mengulurkan janji untuk mengembangkan penelitian

kewirausahaan masa depan.71

Fenomena sosial yang mempengaruhi kewirausahaan sebagai

sebuah proses dialektika diantara masyarakat Lamongan.

Masyarakat yang telah suksess menjalankan sebuah usaha menjadi

daya tarik sendiri yang menyebabkan internalisasi diantara

masyarakat Lamongan yang lain. Bentuk enksternalisasi dalam

konstruk dialektika sebagaimana yang dijelaskan oleh Peter L

Berger adalah dalam bentuk trilogi dialektika dalam bentuk

objektifasi. Perubahan sosial yang demikian tidak hanya terjadi pada

masyarakat Lamongan yang tinggal di daerah perkotaan saja, daerah

pedesaan sebagai agen sosialisasi tidak luput dari dampak yang

ditimbulkan oleh adanya perubahan sosial.

Problem sosial dalam dunia kerja menjadi perhatian yang

tersendiri bagi kalangan akademisi. Mereka kemudian secara

beramai-ramai membuka prodi atau jurusan yang berorientasi pada

keinginan untuk mencetak entrepreneur atau membuka lapangan

kerja. Sebagai contoh adalah dengan dibukanya kampus yang

71 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 4.

Page 283: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

268 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

menyiapkan para peserta didiknya dengan membekali mereka

dengan keahlian kewirausahaan guna melihat peluang yang ada.

Termasuk mengelola sumber daya alam agar mempunyai nilai jual

yang lebih di masyarakat.

Pengangguran sebagai sebuah problem sosial membutuhkan

sebuah problem solving. Banyaknya masyarakat yang menganggur

akan menimbulkan sebuah problem sosial berupa kriminalitas dan

kenakalan remaja. Kelompok masyarakat yang menganggur bahkan

mudah untuk melakukan berbagai tindakan kriminalitas.

Pemberitaan di media cetak maupun elektronik menyebutkan

beberapa kasus kejahatan terjadi karena pengangguran. Motif utama

para pelaku kejahatan banyak didoimnasi oleh faktor ekonomi

dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sejaka lama pengangguran telah menjadi pboblem sosial yang

dikaji oleh beberepa pakar sosiologi guna memberikan problem

solving atas fenomena yang demikian. Sosiolog Perancis Augute

Comte telah membagi tahap pemikiran manusia dalam sebuah

trikotomisasi yakni: Pertama tahap teologis yang mendasarakan

bahwa manusia sama sekali manusia belum manjadi sebuah mahluk

yang utinilatitarain. Tahap yang demikian mengkaitan sesuatu yang

berasal dari kekuatan supranatural. Manusia dalam tahap ini dikatan

menganggur bilamaa tidak melakukan sebuah aktivitas yang akan

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola pemahaman

yang didasarkan pada hubungan manusia dengan segala sesuatau

yang bersifat kosmologis tanpa melibatkan sebuah pemahaman yang

utuh dengan didasarkan sains.

Kedua tahap metafisik yang merupakan fase peralihan

dimana manusia masih menghubungkan gejala sesuatu dengan hal-

hal yang bersifat ghaib. Namun tidak semua perkara didasarkan atas

berlakunya sebuah kekuatan ghaib karena manusia mulai

menghubungkan dengan sebab akibat. Sebagai contoh di Jawa

ketika seseorang sakit dan pergi ke dukun dikaitkan dengan

Page 284: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Entrepreneurship dan Ekspresi Keagamaan I 269

kekuatan ghaib numun juga dikaitkan dengan sebab akibat dengan

menggunakan metode penyembuhan alami dengan memanfaatkan

tumbuhan untuk diramu sebagai obat. Tahap kedua merupakan

lanjutan dari tahap pertama yakni tahap metafisik. Manusia dalam

fase ini mulai berpikir secara rasional tanpa meninggalkan sesuatu

yang bersifat teologis dan berhbungan dengan klenik. Upaya dalam

menyelesaiakan persoalan sosial senantiasa didasarkan atas sebuah

pemikran dengan tanpa meninggalkan sebuah klenik.

Sedangkan tahap yang terakhir merupakan tahap positifis

dimana manusia mulai menggunakan kajian ilmiah untuk

memecahkan suatu masalah. Tahap ini adalah tahap dimana ketika

terjadi perkembangan ilmu pengetahuan. Bilamana seseorang sakit,

maka ia akan pergi ke dokter dan diberi resep sesuai dengan aturan

medis. Pada fase yang terakhir, manusia mulai berpikir secara

rasional dengan mengedepankan akal pikiran secara utuh. Manusia

senantiasa menggunakan akal pikirannya untuk menyelesaikan

sebuah masalah.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan telah melakukan

berbagai upaya untuk mengatasi problem sosial yang demikian.

Diantaranya dengan memberikan berbagai macam pelatihan dan

keterampilan hidup untuk menyiapkan para warganya. De Clercq

dan Arenius (2006), menjelaskan tingkat pengangguran memiliki

korelasi yang kuat dengan kewirausahaan. Meskipun hubungan

antara kedua belum jelas karena pengangguran yang tinggi

mendorong penciptaan usaha baru.72

Kelompok entrepreneur dikatakan sebagai entitas dalam

sebuah masyarakat yang membuka usaha tanpa adanya sebuah

ikatan dengan pemerintah. Sektor yang mereka garap adalah sektor

swasta dengan terpisah dari sektor pemerintahan. Masyarakat yang

72 Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship,

Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland:

Springer International Publishing, 2015), 37.

Page 285: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

270 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

membuka usaha secara tidak langsung akan memberikan kontribusi

dalam mengurangi jumlah pengangguran. Banyaknya sektor usaha

yang mereka kerjakan secara langsung akan membutuhkan banyak

karyawan yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah

pengangguran.

Ekspansi KFC atau MC Donalisasi telah mampu untuk

menampung ribuan tenaga kerja dari berbagai negara. Masyarakat

desa yang membuka usaha dalam skala kecil bukan berarti tidak

mempunyai kontribusi dalam megurangi jumlah pengangguran.

Secara sedernaha mereka akan merekrut tenaga kerja yang

menganggur sesuai dengan pembiayaan yang mereka mampu untuk

menggaji karyawannya.

Pola kehidupan yang demikan bukan berarti

mengesampingkan pendidikan kewirausahaan. Masyarakat desa

yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi tak jarang mampu

untuk mejadi seorang wirausahaan suksess di kota-kota besar.

Diantara mereka bahkan mampu untuk mempekerjakan masyarakat

kota yang masih menganggur.

Pengangguran dalam pemahaman lama dikategorikan sebagai

seorang yang tidak mempunyai pekerjaan dan mencukupi

kebutuhannya. Istilah ini dalam Islam dikenal dengan faki>r. Yakni

sesoerang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mampu untuk

mencukupi kebutuhan hidupnya. Tentu pengertian ini di dasarkan

atas sebuah argument yang jelas. Termasuk dalam pengelompokkan

beberepa jenis umur yang dikatakan layak dengan kateori yang

demikian.

Page 286: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

271

Bab VI

Penutup

A. Kesimpulan

Kajian studi dalam penelitian ini menyimpulkan, konstruksi

kewirausahaan masyarakat Lamongan terbentuk bukan karena

faktor sosial budaya. Melainkan motivasi berprestasi (need of

achievement) individu meningkatkan status sosialnya. Konsep

kewirausahaan masyarakat Lamongan sesuai dengan etos kerja

Weber, Schumpeter serta Mc Clelland. Menurut mereka, motivasi

berprestasi merupakan faktor pendorong berkembangnya suatu

masyarakat.

Secara spesifik, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan

masyarakat Lamongan mengalami transformasi menjadi wirausaha.

Pertama motivasi untuk akumulasi kekayaan guna memperbaiki

kehidupan ekonomi. Kedua, masyarakat Lamongan mempunyai

sebuah filosofi yang diyakini oleh sebagian besar warganya bahwa

bekerja menjadi seorang wirausaha dapat meningkatkan status

sosialnya. Pandangan yang demikian kemudian mengalami difusi

yang menjadi penyebab transformasi sistem mata pencaharian

masyarakat.

Faktor selanjutnya yang menjadi penyebab masyarakat

Lamongan berwirausaha adalah adanya sikap untuk terbebas dari

alienasi. Kebebasan dalam berekspresi dalam menikmati hidup

merupakan motivasi yang pada awalnya hanya dimiliki oleh

sekelompok individu diantara masyarakat Lamongan. Proses

dialektika yang demikian kemudian menjadi objektivasi kalangan

luas seiring dengan pencapaian-pencapaian pada aspek ekonomi.

Page 287: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

272 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Masyarakat yang mempunyai kesadaran diskursif mempengaruhi

mereka untuk menjadi wirausaha.

Kewirausahaan masyarakat Lamongan mempunyai relasi

dengan faktor keagamaan. Kelompok wirausahawan yang menuai

hasil akan melaksanakan rukun Islam yang kelima sebagai sarana

dalam meningkatkan status sosialnya. Penyematan gelar nama haji

adalah sebuah kebiasaan yang mereka lakukan. Masyarakat

Lamongan yang tinggal di Jakarta menjalankan aktivitas keagamaan

secara personal. Sedangkan masyarakat Lamongan yang berdomisili

di pedesaan menjalanakn aktivitas keagamaan secara komunal.

Sektor kuliner Lamongan mampu bertahan dalam menghadapi

krisis dan pembangunan infrasruktur yang terkadang memberikan

dampak pada omset. Hambatan dalam berwirausaha disebabkan

karena beberapa faktor seperti menghadapi ancaman dari berbagai

macam pihak, termasuk preman dan trantib yang mengadakan

pungutan liar.

Tanpa adanya pembukuan masyarakat Lamongan

menjalankan usahanya secara cermat dalam mengatur sirkulasi

omset atau pengeluaran. Rata-rata orang Lamongan membuka

warungnya dari jam lima sore sampai jam dua belas malam dengan

rentan kerja delapan jam setiap harinya. Pelajaran berdagang

masyarakat Lamongan bukan karena sistem budaya yang diwariskan

kepada generasi berikutnya. Melainkan dari pengalaman yang

menuntut mereka untuk menjadi wirausahawan.

Transformasi sosial masyarakat Lamongan dalam orientasi

kerja tidak hanya pada pegawai negeri sipil atau eselon pada

perusahaan-perusahaan besar. Kemampuan menganalisis peluang

dalam mengembangkan aktivitas kewirausahaan menjadi sebab

kelangsungan aktivitas kewirausahaan. Mereka biasanya

memanfaatkan lahan-lahan kosong yang terdapat di Jakarta dengan

menyewa sesuai dengan kemampuan. Lahan-lahan yang tidak

produktif tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat

Page 288: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Penutup I 273

Lamongan. Fenomena yang demikian secara tidak langsung

memberikan dampak dalam meningkatkan aktivitas perekonomian.

Pertumbuhan kewirausahaan masyarakat Lamongan diawali dengan

banyaknya generasi Lamongan yang sukses dalam berwirausaha.

B. Saran

Kabupaten Lamongan termasuk kota yang banyak

memproduksi kalangan wirausahawan kelas kaki lima yang bergerak

dalam sektor kuliner. Eksistensi usaha yang dikelola oleh

masyarakat Lamongan secara tidak langsung membawa perubahan

sosial terhadap masyarakatnya. Kondisi wilayah yang gersang

dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai tidak menjadi

hambatan bagi masyarakat Lamongan untuk berkembang.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan publik hendakanya

menjadikan pola pendidikan kewirausahaan masyarakat Lamongan

untuk mengembangkan sektor kewirausahaan.

Migrasi masyarakat Lamongan ke Jakarta secara tidak

langsung akan membawa perubahan sosial terhadap daerah asal

maupun daerah yang menjadi tujuannya kewirausahaan. Diaspora

masyarakat Lamongan secara tidak langsung akan membawa

implikasi berupa pemerataan penduduk dan peningkatan ekonomi

masyarakatnya. Kewirausahaan yang dijalankan oleh masyarakat

Lamongan diharapkan banyak menciptakan lapangan pekerjaan di

Jakarta. Eksistensi pedagang Lamongan yang telah suksess

diperantauan pada akhirnya menjadi sebuah magnet bagi

masyarakat Lamongan lainnya.

Page 289: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

274 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Page 290: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

275

Daftar Pustaka

A. Buku :

Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Abdurrahman, Soerjono. Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.

Abdurrahman. Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.

Alex, Nicholls, eds. Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Change. New York: Oxford University

Press, 2006.

Asifudin, Ahmad Janan. Etos Kerja Islami, Surakarta:

Muhammadiyah University Press, 2004.

Atkinson, Rowland and Helms, Gesa, Eds. Securing an Urban Renaissance Crime, Community, and British Urban Policy, Bristol: University of Bristol, 2007.

Badan Pusat Statistik, Diolah dari SAKERNAS (Survei Angkatan

Kerja Nasional), tahun 2013-2014.

Badroen, Faisal dkk. Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Kencana,

2007.

Brown, E Terrence and Ulijn, Jan eds. Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction Between Technology, Progress and Economic Growth, USA: Edward Elgar Glensanda

House, 2004.

Bryant Coralie and White Louise. Manajemen Pembangunan.

Jakarta: LP3ES, 1998.

Budihardjo, Eko. Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi Human Zoo, Jakarta: Kompas Media Nusantara,

2014.

Page 291: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

276 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Bukhori, Mochtar. Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1994.

Bungin, Burhan. Metode Penulisan Sosial. Surabaya: Airlangga

University Perss, 2001.

Castles, Lance. Religion Politics and Economi Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry. Yale University, 1967.

Coen, Bruce J. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta,

1992.

Cooke, Philip and Schwartz, Dafna Eds. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, Canada: Routledge 2 Park Square, 2007.

Cooke, Philip and Schwartz, Dafna. Creative Regions Technology, culture and knowledge entrepreneurship, Canada: Routledge

2 Park Square, 2007.

Dainy Tara, Azwir. Stategi Membangun Ekonomi Rakyat: Masa Sulit Pasti Berlalu, Jakarta: Nuansa Madani, 2001.

Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2011.

E. Brown, Terrence. Innovation, Entrepreneurship and Culture: The Interaction between Technology, Progress and Economic Growth, USA: Edward Elgar Publishing Limited Glensanda

House, 2004.

Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa: Penelitian, Perbandingan, dan Pemaknaan Budaya, Yogyakarta: Center for Academic

Publishing Service, 2015.

Evers, Hans Dieter dan Korf, Rudiger. Urbanisme di Asia Tenggara: Makan dan Kekuasaan Dalam Ruang Sosial, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Farihah, Ipah. Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Geertz, Clifford. The Religion of Java, London: The Free Press of

Glencoe, 1960.

Page 292: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Daftar Pustaka I 277

Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis karya-karya Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

Gitosarjono, Sukamdani Sahid. Bisnis dan Kewirausahaan Syariah Upaya Menuju Kesejahteraan Umat Islam, Bogor: Sekolah

Tinggi Agama Islam Terpadu Modern Sahid, 2012.

Guang, Lie Shi. Rahasia Suksess Pebisnis Tionghoa, Yogyakarta:

CV Andi Offset, 2010.

Hamidi, Jazim dan Lutfi, Mustafa. Entrepreneurship Kaum Sarungan, Jakarta: Khalifa, 2010.

Haris, Abdul dan Adika, Nyoman. Dinamika Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia dari Perspektif Makro ke Realitas Mikro, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam,

2002.

Hasan, Muhammad Tolhah. Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabora Press, 2005.

Held, David. A Globalizing World? Culture, Economics, Politics (New York: Routledge, 2004.

Hine, Damian and Kapeleris, John. Innovation and Entrepreneurship in Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases, Northampton Massachusetts USA:

Edward Elgar Publishing Limited, 2006.

Hine, Damian Kapeleris, John. Innovation and Entrepreneurship in Biotechnology, An International Perspective Concepts, Theories and Cases, Northampton: Edward Elgar Publishing

Limited, 2006.

Huriyuddin. Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung Pintuair Bekasi Selatan, Jakarta: Badan Litbang

Departemen Agama RI, 1997.

Huriyuddin. Pergeseran Kultural di Kampung Urban: Studi di Kampung Pintuair Bekasi Selatan, Jakarta: Badan Litbang

Departemen Agama RI, 1997.

Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2006.

Page 293: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

278 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Jones, Pip. Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Hingga Postmodernisme, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2010.

Jurgen Habermas. Theories des Kommunikativen Handels, Band I: Handlungstrationaltat Und Gesselschaftliche Rationalisierung, Suhrkamp: Verlag, 1981.

K Yin, Robert. Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002.

Kartasapoetra. Sosiologi Umum. Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Kasmir, Kewirausahaan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Kementrian Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahnya: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jalaluddin As-Suyuthi, Ringkasan Hadis Bukhari Muslim dan Asbabun Nuzul, Bandung: Al-Hilal, 2010.

Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta:

LP3ES, 1988.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangnan, Jakarta: PT Gramedia, 2008.

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Uinversitas

Indonesia Press, 2010.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta:

Djambatan, 2007.

Koentjoroningrat. Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta: LIPI, 1980.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogyakarta, 1999.

Lewis, Richard D. Komunikasi Bisnis Lintas Budaya Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2005.

Long, Norman. An Introduction to the Sociology of Rural Development, London: Tavistock Publication Limited,

1977.

Maliki, Zainuddin. Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan Elit Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.

Page 294: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Daftar Pustaka I 279

Manzi, Tony, Etc, Eds. Social Sustainability in Urban Areas: Communities, Connectivity and the Urban Fabric, London:

Earthscan, 2010.

Marianne W. Jorgensen, Louise J. Phillips. Analisis Wacana Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Marta Peris-Ortiz, José M. Merigó-Lindahl, Eds. Entrepreneurship, Regional Development and Culture An Institutional Perspective, (Switzerland: Springer International

Publishing, 2015.

Moeleng, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2000.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.

Muhammad. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Social Lainnya. Bandung:

Rosdakarya, 2008.

Murtadho, Ali. Kajian Pengangguran Dalam Perspektif Pemikiran Ekonomi Ibn Khaldun, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN

Jakarta Tahun, 2010.

Myers, Garth. African Cities Alternative Visions of Urban Theory and Practice, London: Zed Books Ltd, 2011.

Naim, Mochtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.

Natsir, Nanaf Fatir. Etos Kerja Wirausahawan Muslim, Bandung:

Gunung Djati Press: 1999.

Nawawi, Ismail. Pembangunan dan Problema Masyarakat: Kajian Konsep, Model, Teori dari Aspek Ekonomi dan Sosiologi, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009.

Page 295: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

280 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984.

Niels Murder, Petualangan Seorang Antropolog di Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Nurhayati, Cucu. Sosiologi Perkotaan, Tangerang Selatan: UIN

Jakarta Press, 2013.

Patilima, Hamid. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: CV

Alfabeta, 2005.

Patrick Guinness. Kampung, Islam and State in Urban Java, Singapore: National University of Singapore, 2009.

Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam 2011-2015, Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes Karya Ilmiah 2014, Jakarta: Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

2014.

Peris-Ortiz, Marta José and M. Merigó-Lindahl, Eds.

Entrepreneurship, Regional Development and Culture An Institutional Perspective, Switzerland: Springer

International Publishing, 2015.

Poloma, Margaret. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Grarfindo

Persada, 2004.

Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2009.

Raharjo. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2010.

Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka

Publisher, 2007.

Ranjabar, Jacobus. Perubahan Sosial Dalam Teori Makro: Pendekatan Realitas Sosial, Bandung: Alfabeta, 2005.

Salam, Syamsir dan Aripin, Jaenal. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Lembaga penelitian UIN Jakarta Press, 2006.

Page 296: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Daftar Pustaka I 281

Salam, Syamsir. Mengerti Sosiologi Pengantar Memahami Konsep-Konsep Sosiologi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Salim Agus. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana,

2006.

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2001.

Sanderson, K Stephen. Makro Sosiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2000

Saroni, Muhammad. Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda: Membuka Kesadaran Atas Pentingnya Kewirausahaan Bagi Anak Didik, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Sartono Kartodirjo, Sudewo, A. dan Hatmosuprobo, Suhardjo.

Perkembangan Peradaban Priayi, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1993.

Scott, John. Social Theory: Central Issues in Sociology, London:

SAGE Publication Ltd, 2012.

Sebani Ahmad, Beni. Pengantar Antropologi,Bandung: Pustaka

Setia, 2012.

Singgih Prayitno, Ujianto. Perubahan Sosial: Dinamika Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Publica Press, 2014.

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Social dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002.

Soetomo, Sugiono. Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Sugiharti, Rahma. Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2014.

Page 297: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

282 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2008.

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2011.

Sutinah, Suyanto. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Pendekatan Alternatif Jakarta:Kencana Media Group, 2007.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada,

2004.

Titrisudarmo, Riwanto. Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Turner, Sarah. Indonesia's Small Entrepreneurs Trading on the Margins, London: Routledge Curzon, 2003.

Walzer, Norman, eds. Entrepreneurship And Local Economic Development, New York: Lexington Books, 2009.

Weber, Max. The Protestan Ethic nd The Spirit of Capitalism,

Yogyakarta: Jejak, 2007.

Weber, Max. The Sociology of Religion, Jogjakarta: IRCiSoD,

2012.

Widodo, T. Sosiologi Kependudukan: Kajian Teoritis dan Empiris Perspektif Sosiologi Kependudukan, Surakarta: Lembaga

Pengembangan Pendidikan UNS, 2011.

Wirawan, I.B. Teori-teori Sosial Dalam Pandangan Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012.

B. Jurnal :

Arulampalam, Wiji Alison and etc, “Unemployment Persistence,”

Oxford Economic Papers, Vol. 52, No. 1, (Jan, 2000), 24-50.

Behrens, Kristian Gilles and etc.“Productive Cities: Sorting,

Selection, and Agglomeration,” Journal of Political

Economy, Vol. 122, No. 3 (June 2014), 507-553.

Beugelsdijk, Sjoerd and Roger , “Entrepreneurial Culture and

Economic Growth: Revisiting McClelland's Thesis,” The

Page 298: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Daftar Pustaka I 283

American Journal of Economics and Sociology, Vol. 67, No.

5 (Nov., 2008),915-940.

Bryer, A. Thomas and Seigler, Daniel. “Theoretical and

Instrumental Rationales of Student Empowerment Through

Social and Web-Based Technologies,” Journal of Public Affairs Education National Association of Schools of Public Affairs and Administration, Vol. 18, No. 3 (SUMMER

2012): 429-448.

Cummings, Briana. “Benefit Corporations: How to Enforce a

Mandate to Promote the Public Interest,” Columbia Law Review, Vol. 112, No. 3 (April 2012): 578-627.

Dyson, Tim “The Role of the Demographic Transition in the

Process of Urbanization,” Population and Development Review, Vol. 37, Demographic Transition and Its

Consequences (2011), 34-54.

E. Clark, Andrew. “Unemployment as a Social Norm: Psychological

Evidence from Panel Data,” Journal The University of Chicago Press on behalf of the Society of Labor. Vol. 21,

No. 2 (April 2003), 323-351.

Garcia-Murillo, Martha and Vargas-Leon, Patricia. “The Techno-

Institutional Leap and the Formation of New Firms,”

Journal of Penn State University Pres, Vol. 3 (2013), 501-

536.

Gimmon, Eli and Levie, Jonathan. “Instrumental Value Theory and

the Human Capital of Entrepreneurs,” Journal of Economic Issues, Vol. 43, No. 3 (September 2009): 715-732.

Herslund, Lise. “Rural diversification in the Baltic countryside: a

local perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-

59.

Herslund, Lise “Rural diversification in the Baltic countryside: a

local perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-

59.

Page 299: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

284 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Herslund, Lise. “Rural diversification in the Baltic countryside: a

local perspective,” Geo Journal, Vol. 70, No. 1 (2007), 47-

59.

Jonathan Rigg, Suriya Veeravongs, Lalida Veeravongs and

Piyawadee Rohitarachoon, “Reconfiguring Rural Spaces and

Remaking Rural lives in Central Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008), 355-

381.

Jones, Eli James, A. Roberts and Chonko B, Lawrence. “Motivating

Sales Entrepreneurs to Change: A Conceptual Framework of

Factors Leading to Successful Change Management

Initiatives in Sales Organizations,” Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 8, No. 2, (Spring, 2000): 37-49.

Koellinger, Philipp. “Why are some entrepreneurs more innovative

than others,” Small Business Economics, Vol. 31, No. 1,

Special Issue: International Issues in Entrepreneurship

(June, 2008): 21-37.

Köhn, Sebastian. “Entrepreneurship and the Right of the Child to a

Nationality in an Era of Migration,” The Annual Meeting

American Society of International Law), Vol. 106 (March

2012), 67-69.

Lechner, Michael and Wunsch, Conny. “Are Training Programs

More Effective When Unemployment Is High?,” Journal of

University of Chicago Press on behalf of the Society of

Labor Economists and the NORC, Vol. 27, No. 4 (October

2009), 653-692.

Lehrer, W. Elizabethand Schooley, L. Robert. “Space use of

Woodchucks Across an Urbanization Gradient Within an

Agricultural Landscape,” Journal of Mammalogy, Vol. 91,

No. 6 (December 2010), 1342-1349.

Li, Hongbin, Li, Lei, Wu, Binzhen and Xiong, Yanyan. “The End of

Cheap Chinese Labor,” The Journal of Economic Perspectives, Vol. 26, No. 4 (Fall 2012): 57-74.

Page 300: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Daftar Pustaka I 285

Murphy, J Patrick and Coombes, M Susan. “A Model of Social

Entrepreneurial Discovery,” Journal of Business Ethics, Vol.

87, No. 3 (Jul, 2009): 325-336.

Parthasarathi, Ashok “Rural Industrialisation Programme: Looking

at Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol.

Parthasarathi, Ashok. “Rural Industrialisation Programme: Looking

at Khadi and Village Industries Commission,” Economic and Political Weekly, Vol. 40, No. 44/45 (Oct. 29 - Nov. 4,

2005), 4763-4767.

Quinn, Feargal. “Acquiring the 'Right' Skills,” Journal Studies: An Irish Quarterly Review, Vol. 101, No. 402 (Summer 2012):

208-214.

Raphael, Steven and Winter‐Ebmer, Rudolf. “Identifying the Effect

of Unemployment on Crime,” Journal of Law and

Economics The University of Chicago Law School, Vol. 44,

No. 1 (April 2001), 259-283.

Rigg, Jonathan etc. “Reconfiguring Rural Spaces and Remaking

Rural lives in Central Thailand,” Source: Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 3 (Oct, 2008), 355-

381.

Schultz, David. “Blue-Collar Teaching in a White-Collar

University,” Journal of Public Affairs Education, Vol. 18,

No. 1 (Winter 2012): 67-86.

Solanki, S. S. “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-

27.

Solanki, S. S. “Sustainability of Rural Artisans,” Economic and Political Weekly, Vol. 43, No. 19 (May 10 - 16, 2008), 24-

27.

Sud, Mukesh, and etc. “Social Entrepreneurship: The Role of

Institutions,” Journal of Business Ethics, Vol. 85,

Supplement 1: 14th Annual Vincentian International

Page 301: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

286 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Conference on Justice for the Poor: A Global Business

Ethics (2009): 201-216.

Tanguy Bernard, Alain De Janvry, Elisabeth Sadoulet, “When Does

Community Conservatism Constrain Village

Organizations?,” The University of Chicago Press, Source: Economic Development and Cultural Change, Vol. 58, No. 4

(July 2010), 609-641.

Tominc, Polona and Rebernik, Miroslav. “Growth Aspirations and

Cultural Support for Entrepreneurship: A Comparison of

Post-Socialist Countries,” Small Business Economics, Vol.

28, No. 2/3 (Mar, 2007): 239-255.

Tracey, Paul and Phillips, Nelson. “The Distinctive Challenge of

Educating Social Entrepreneurs: A Postscript and Rejoinder

to the Special Issue on Entrepreneurship Education,”

Academy of Management Learning & Education, Vol. 6,

No. 2 (Jun, 2007): 264-271.

Wagener, Andreas. “Entrepreneurship and Social Security,” Finanz Archiv Public Finance Analysis, Vol. 57, No. 3 (2000): 284-

315.

Wang, Qingfang and Li, Wei. “Entrepreneurship, ethnicity and local

contexts: Hispanic entrepreneurs in three U.S. southern

metropolitan areas,” Geo Journal, Vol. 68, No. 2/3, (2007):

167-182.

Wennekers, Sander and Thurik, Roy. “Linking Entrepreneurship and

Economic Growth,” Journal Small Business Economics, Vol. 13, No. 1 (Springer: 1999): 27-55.

Westlund, Hans and Bolton, Roger. “Local Social Capital and

Entrepreneurship,” Small Business Economics, Special Issue on Entrepreneurship, Firm Growth and Regional Development in the New Economic Geography Vol. 21, No.

2, (Sep, 2003): 77-113.

William, Michael, Fortunato, Patrick, and etc. “Promoting Fair

Local Organizing for Broadband Delivery: Suggestions for

Community Level Action in Persistently Underserved

Page 302: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

Daftar Pustaka I 287

Communities,” Journal of Information Policy, Vol. 3 (2013):

158-180.

Yohnson. “Peranan Universitas Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi

Young Entrepreneurs,” Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 5, No. 2, September 2003: 97–111.

Zamagnisource, Stefano. “Filosofia The Economy of Communion

Project as a Challenge to Standard Economic Theory,”

Revista Portuguesa De Filosofia, T. 70, Fasc. 1 (2014): 44-

60.

Page 303: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

288 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Page 304: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

289

Glosarium

Achieved Status : Status berdasarkan perjuangan dan usaha

Adaptation : Adaptasi

Aksiologi : Kegunaan ilmu

Akulturasi : Percampuran budaya tanpa menghilangkan

Unsur budaya yang lama

Akumulasi : Pengumpulan atau penimbunan

Alienasi : Keterasingan

Altruistik : Perhatian terhadap kesejahteraan orang

lain tanpa memperhatikan diri sendiri

Ascetisme Protestan : Ajaran bahwa orang perlu kaya dan tidak

takut pada kekayaan. Sebab kekayaan

tidak mendatangkan dosa.

Ascribed Status : Status bawaan

Asimilasi : Percampuran dua budaya dan yang asli

hilang

Asssigned Status : Status yang diberikan oleh masyarakat

Conscience Collective : Kesadaran bersama

Diametral : Pandangan para tokoh yang bervariasi

Divergen : Berpikir secara bercabang-

cabang/menyebar

Ekslusi sosial : Proses yang menghalangi kemajuan

individu atau kelompok disebabkan

rendahnya kualitas pendidikan atau

lingkungan

Eksplanasi : Adalah teks yang menerangkan atau

menjelaskan mengenai proses fenomena

alam maupun sosial

Eksponensial : Orang yang menerangkan atau

menafsirkan suatu teori.

Elaborasi : Penggarapan secara tekun dan cermat

Page 305: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

290 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Empiris : Berdasarkan pengalaman dan kenyataan

melalui uji coba

Fenomenologi : Cabang ilmu filsafat yang mengkaji

manusia dan masyarakat sebagai sebuah

fenomena atau fakta

Forensen : Masyarakat desa yang bekerja di kota.

Gemeinschaft : Masyarakat paguyuban.

Geselleschaft : Ikatan lahir yang bersifat sebagai suatu

bentuk dalam pikiran belaka (imagination)

serta trukturnya bersifat mekanis

sebagaimana dapat diumpamakan dengan

sebuah mesin.

Hermeneutik : Ilmu yang mengkaji tentang interpretasi

makna atau hakikat dari segala sesuatu.

Hinterland : Daerah penyokong atau penyuplai

kebutuhan masyarakat kota.

Integrasi : Penyatuan

Introvert : Mendengarkan dan memasukan ide-ide

baru

Kesadaran Diskursif : Berkaitan dengan nalar dan bertindak

secara logis

Kesadaran Induktif : kesadaran dalam prosedur penarikan

kesimpulan (induksi) dari data-data yang

ada.

Kognitif : Berdasarkan pengetahuan

Koherensi : Tersusunnya uraian atau pandangan

sehingga bagian-bagiannya berkaitan satu

dengan yang lain.

Komunal : Berhubungan dengan rakyat atau secara

umum

Konservatif : Bersikap mempertahankan keadaan,

kebiasaan, dan tradisi yang berlaku.

Konvergen : Menuju satu titik pertemuan

Mobilitas Sosial : Perpindahan Status Sosial.

Page 306: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

291

Indeks

A achieved status, 159 Agama, 11, 12, 16, 19, 22, 23, 35,

38, 41, 42, 49, 51, 52, 59, 77, 81, 94, 98, 101, 113, 120, 132, 144, 183, 188, 206, 232, 243, 246, 247, 251, 264

akumulasi, 271 Akumulasi, 229

B Bambang Pranowo, 8, 15, 26, 27,

128, 147, 157, 193, 247, 255

D Diaspora, 258, 273

E ekonomi, 271, 273 Ekonomi, 21, 22, 23, 29, 30, 31, 54,

80, 96, 102, 132, 144, 156, 188, 199, 207, 208, 209, 262, 263, 264

Eksistensi, 1, 5, 13, 215, 238, 257, 258, 273

entrepreneur, 11 Entrepreneur, 58, 77, 80, 199, 204,

208, 263 entrepreneurship, 19 Entrepreneurship, 1, 4, 8, 9, 14, 19,

24, 25, 26, 41, 53, 54, 55, 56, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 77, 135, 158, 176, 183, 187, 193, 194, 196, 197, 198, 199, 200, 227, 239, 248, 258, 259, 261, 262, 263, 265, 267, 270

I implikasi, 273 Implikasi, 266

Islam Jawa, 8, 15, 26, 27, 101, 128, 157, 193, 247

J Jakarta, 1, 3, 4, 5, 8, 10, 12, 14, 15,

17, 18, 19, 21, 22, 23, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 41, 42, 43, 50, 52, 54, 55, 67, 69, 70, 71, 72, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 87, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 97, 98, 99, 101, 102, 106, 110, 115, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 128, 132, 133, 135, 136, 137, 138, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 151, 152, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 185, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 195, 197, 199, 201, 202, 203, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251, 252, 254, 257, 258, 261, 262, 264, 265, 266, 267, 272, 273

Jawa, 2, 3, 4, 5, 6, 10, 11, 14, 15, 18, 21, 22, 23, 26, 27, 81, 82, 83, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 96, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 111, 112, 115, 118, 123, 124, 126, 127, 128, 132, 139, 140, 142, 143, 144, 147, 150, 152, 157, 160,163, 165, 176, 177, 184, 187, 188, 190, 191, 192, 193, 203, 206, 209, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 223, 225, 229, 233, 234,

Page 307: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

292 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

238, 240, 241, 242, 246, 247, 251, 252, 254, 255, 256, 269

K Kabupaten Lamongan, 37, 39, 81,

107, 110, 112, 113, 115, 116, 118, 122, 124, 143, 144, 147, 148, 257, 273

Koentjaraningrat, 1, 10, 95, 99, 118, 120, 172, 177

L Lamongan, 5, 6, 13, 14, 15, 17, 18,

19, 27, 29, 30, 32, 33, 36, 39, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92, 93, 94, 96, 99, 100, 101, 103, 104, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132, 135, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 151, 152, 153, 154, 158, 159, 160, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 235, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 261, 267, 271, 272, 273

M Masyarakat pedesaan, 3, 72, 73, 192,

260

Max Weber, 16, 21, 55, 59, 60, 63, 65, 71, 154, 156, 162, 173, 186, 202, 203, 207, 236

Mc Clelland, 9, 27, 32, 56, 61, 177, 184, 205, 207, 259, 271

Migrasi, 18, 28, 41, 42, 43, 44, 48, 49, 60, 135, 138, 141, 144, 153, 163, 229, 231, 244, 258, 260, 273

Motivasi berprestasi, 271

P pendidikan, 273 Pendidikan, 42, 47, 83, 121, 122,

124, 125, 140, 166, 187, 207 Pengangguran, 8, 58, 61, 238, 257,

262, 266, 268, 270 Priayi, 5, 152, 229, 235, 248, 254 produktif, 272

R Reifikasi sosial, 159

S sektor, 273 Sektor, 5, 21, 52, 189, 199, 201, 249,

270, 272 Solidaritas, 50, 57 Sosiolog, 62, 69, 138, 268

T Transformasi sosial, 211, 272

W wirausahawan, 273

Wirausahawan, 15, 24, 27, 28,

56, 62, 64, 80, 125, 177, 187,

240, 276

Page 308: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

293

Biografi Penulis

Muhammad Ainun Nasikh yang akrab

dipanggil Nasikh atau Ainun, lahir di

Lamongan Jawa Timur pada 27 Januari

1990. Pendidikan pertamanya adalah MI

Tarbiayatul Aulad Desa Gunungrejo

Kedungpring dan belajar agama dari

ayahnya sendiri. Selepas itu, pada usia 12

tahun (2002) memutuskan hijrah dari

kampung halamannya guna melanjutkan

pendidikannya di SMP Negeri 2 Widang

Tuban sambil belajar ilmu agama di

Pesantren Langitan Widang Tuban Jatim yang diasuh oleh KH

Abdullah Faqih dan KH Ahmad Wahib.

Tamat dari SMP Negeri 2 Widang Tuban, penulis

melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Tuban sambil menetap di

pesantren lamanya guna memperdalam ilmu pengetahuan agama.

Selama menetap di pesantren, penulis aktif sebagai pengurus dan

guru bantu. Menjelang liburan pesatren, penulis menjadi tenaga

bantu mengaji di kampung halamannya dari tahun 2005-2011.

Pada tahun 2008, melanjutkan studinya di perguruan tinggi

IAIN Sunan Ampel Surabaya yang sekarang berubah nama menjadi

UIN sambil mengajar di lembaga pendidikan TPQ Hidayatullah

Wonokromo-Surabaya. Disamping itu, penulis bekerja sebagai

marketing sandal pada usaha yang penulis kelola. Pada tahun 2013,

penulis merantau ke Kalimantan Barat guna mendaftarakan diri

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kota Singkawang sambil

bekerja di sektor swasta bersama saudaranya.

Page 309: RELIGIUSITAS Masyarakat Migranrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/49988/1/ainun - SPS.pdf3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi (Jakarta: PT Rineka

294 I Religiusitas dan Entrepreneurship masyarakat migran

Menjelang bulan Ramadhan, penulis memutuskan untuk

kembali ke kampung halamannya sambil kembali nyantri di

Pesantren Sunan Drajat Lamongan Jawa Timur yang diasuh oleh

Prof. Dr KH Abdul Ghofur. Setelah menamatkan program S1-nya

dalam bidang Sosiologi di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis

sempat bekerja kembali sebagai marketing di perusahaan swasta di

Surabaya. Saat ini penulis menempuh pendidikan S2 konsentrasi

Antropologi dan Sosiologi Agama di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta serta mengajar pada LBB di Bintaro Tangsel.