refrat rso jadi
TRANSCRIPT
Penilaian preoperatif sebaiknya dilakukan untuk memantapkan hubungan dokter
dengan pasien. Penting untuk mengetahui riwayat penyakit pasien dan melakukan
pemeriksaan pada pasien untuk menilai kondisi bedah dan kondisi medis pasien, pada
khususnya untuk menilai derajat berat ringannya suatu penyakit sistemik dan resiko
kematian perioperatif. Untuk kasus-kasus elektif, kita harus dapat memanfaatkan
kesempatan untuk mengoptimalkan kondisi medis pasien untuk meminimalisasi resiko
kematian perioperatif. Pasien harus diberi penjelasan singkat dan tepat mengenai
prosedur dan resiko tindakan, pertanyaan pasien harus dijawab dan (diharapkan)
ketakutan dan kecemasan pasien dapat teratasi. Tujuan penjelasan kepada pasien adalah
untuk memberikan informasi yang benar dengan cara yang menenangkan. Jika perlu
pengobatan preoperatiF dapat diresepkan.
SKEMA YANG DISARANKAN UNTUK PENILAIAN PREOPERATIF
Sangatlah penting untuk memiliki skema penilaian preoperatif agar semua hal yang
penting tidak terlewatkan.
Tabel 6.1 Point-point untuk penilaian pre-anestetik
Riwayat :
Penyakit yang menyertai
Pengobatan
Toleransi aktivitas
Masalah dengan tindakan anestesi sebelumnya, riwayat penyakit keluarga
Alergi
Pemeriksaan :
Berat badan
Tekanan darah
Kesehatan gigi
Penilaian untuk gangguan jalan napas termasuk klasifikasi Mallampati
Kondisi punggung dan ekstremitas bila direncanakan anestesi blok
Sistem lain yang sesuai
Informasi lain :
1
Hasil dari pemeriksaan yang berhubungan
Pendapat ahli, rujukan
Klasifikasi ASA
Informasi yang diberikan kepada pasien
Premedikasi
Profilaksis
Informasi kepada HDU/ICU jika ada indikasi
A. RIWAYAT
Riwayat dan catatan medis pasien sebaiknya digunakan untuk memperoleh informasi
tentang hal-hal di bawah ini :
Kondisi Pembedahan
Informasi tentang kondisi pembedahan dan operasi yang telah direncanakan, penting
untuk memperkirakan lama dan durasi operasi, memperkirakan jumlah cairan dan darah
yang hilang, tipe insisi dan kebutuhan analgesi intraoperatif dan postoperatif. Jika
operasi bersifat emergensi atau darurat, kemungkinan lambung pasien dalam keadaan
penuh. Diperlukan juga penilaian mengenai keadaan cairan dan respon terhadap
resusitasi pada saat itu.
Penyakit yang menyertai
Harus dilakukan pendekatan sistemik untuk menilai penyakit yang menyertai. Sangat
penting dilakukan evaluasi apakah penyakit tersebut di bawah kontrol dan apakah
terdapat perubahan yang baru saja terjadi mengenai derajat penyakit maupun
pengobatannya. Penting juga untuk menetapkan apakah perlu merujuk ke spesialis atau
meneliti lebih lanjut untuk evaluasi lengkap. Rujukan ke spesialis tidak untuk
menentukan “kesesuaian” anestesi, tetapi untuk menilai beratnya penyakit serta untuk
menetapkan apakah ada hal lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi
pasien.
2
Penyakit jantung iskemi, asma, penyakit paru obstruktif kronis, hipertensi dan diabetes
sering dijumpai pada pasien bedah dan berhubungan dengan resiko perioperatif yang
signifikan (tabel 6.2) Relevansi hal tersebut dibicarakan lebih lanjut pada bab 7.
Toleransi terhadap Aktivitas
Toleransi terhadap aktifitas dinilai dengan cara menentukan tingkat aktifitas maksimum
yang dapat dilakukan pasien. Toleransi terhadap aktifitas dapat digunakan untuk
memperkirakan hasil akhir secara keseluruhan. Hal tersebut dipengaruhi oleh usia, serta
dapat menilai cadangan kardiorespirasi. Penilaian ini sulit dilakukan apabila aktivitas
terbatas karena adanya arthritis. Pasien dengan keterbatasan aktivitas sedang (harus
berhenti karena tidak mampu bernapas, atau angina setelah berjalan cepat sejauh 100
yard atau menaiki dua tingkat anak tangga) memerlukan penelitian lebih lanjut dan
penilaian terapi pada saat itu. Pasien dengan keterbatasan aktivitas yang berat (sesak
napas pada aktivitas minimal seperti berjalan beberapa yard, tidak dapat menaiki satu
tingkat anak tangga tanpa berhenti) membutuhkan pengawasan invasif perioperatif dan
mendaftar ke HDU/ICU postoperasi.
Tabel 6.2 Beberapa kondisi medis dan resiko yang berhubungan
Infeksi saluran napas atas
Bronkospasme saat induksi, intubasi atau ekstubasi
Laryngeal spasme induksi, intubasi atau ekstubasi
Penyebaran infeksi karena pneumonia
Asma
Bronkospasme berat selama induksi, intubasi atau ekstubasi
Plug mukosa
Postoperatif pneumonia
Penyakit jantung iskemi
Iskemia berat dan disfungsi ventrikel
Aritmia
Perioperatif Infark myokard
Komplikasi dapat terjadi pada kasus infark dini (<3 bulan) dan angina tidak stabil
3
Hipertensi
Tekanan darah labil perioperatif
Aritmia
Iskemia miokard
Stroke
Gagal ventrikel kiri
Diabetes
Hipoglikemia/hiperglikemia
Disfungsi autonom-aritmia, hipotensi
Iskemia/ infark miokard tersembunyi
Refluks gastrooesophageal
Artritis
Kesulitan membuka mulut karena laringoskopi dan intubasi
Kesulitan posisi
Tulang-tulang belakang tidak stabil
Pengobatan
Pengetahuan terhadap dosis yang diperlukan, jadwal dan tipe pengobatan merupakan
hal yang penting. Khususnya obat-obat yang bekerja pada :
Sistem kardiovaskular (antihipertensi, antiangina, antiaritmia)
Sistem pembekuan darah (antikoagulan)
Sistem endokrin (agen anti diabetik, steroid)
Tonus bronchomotor
Sistem saraf (antidepresan, antikonvulsan)
Beberapa pengobatan harus dihentikan penggunaannya (antikoagulan) atau
memodifikasi dosis (insulin). Walaupun demikian, kebanyakan obat-obatan sebaiknya
dilanjutkan sampai waktu operasi (khususnya obat-obat antihipertensi, anti angina)
kemudian dimulai lagi secepatnya.
4
Masalah-masalah Yang Berhubungan Dengan Anestesi
Beberapa masalah yang berkaitan dengan pembiusan pasien sebelumnya, harus
diketahui dari rekam medis pasien tersebut (selama pasien tidak menyadarinya) atau
dengan pertanyaan langsung jika pasien masih ingat kejadiannya. Aspek-aspek berikut
ini akan mempengaruhi manajemen preoperatif pasien :
Beberapa masalah yang berkaitan dengan airway management, khususnya jika
pada proses pembiusan sebelumnya terdapat kesulitan dalam proses
laringoskopi-intubasi.
Respon terhadap kontrol nyeri dan beberapa efek opioid yang tak
menguntungkan.
Nausea dan vomitus post operasi dan respon terhadap terapinya.
Masa pemulihan yang terlalu lama.
Perawatan di HDU / ICU yang tidak diharapkan sebelumnya.
Terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan atau reaksi terhadap obat seperti
hipertermia malignan, apnoe karena pemberian suksinilkolin, dan reaksi
anafilaksis.
Alergi / Reaksi Obat
Alergi atau reaksi hipersensitivitas lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan
efek samping obat yang tidak diinginkan. Perbedaan antara keduanya biasanya dapat
diketahui dengan mengajukan pertanyaan spesifik kepada pasien. Manifestasi klinis
pada kulit (urtikaria, eritema), bronkhospasme, kolaps kardiovaskular, dan atau edema
angioneurotik, harus dinyatakan sebagai reaksi alergi sampai dapat dibuktikan lain.
Berlainan dengan agen anestesi, alergi terhadap antibiotik, plester perekat, lateks, spray
dan jenis makanan tertentu penting untuk dicatat ; hal ini akan mempengaruhi
pemilihan teknik anestesi (tabel 6.3). Alergi terhadap lateks akhir-akhir ini lebih sering
terjadi (atau mungkin lebih umum dikenali). Riwayat terjadinya reaksi alergi setelah
kontak dengan produk karet seperti kondom, kateter urin, dan sarung tangan operasi
juga perlu diketahui. Terdapat juga reaksi silang terhadap beberapa jenis buah seperti
buah kiwi. Dermatitis kontak setelah terpapar lateks biasa terjadi dan tidak perlu terlalu
5
dikhawatirkan akan terjadi reaksi anafilaksis. Banyak produk (kecuali sarung tangan
bedah dan sarung tangan biasa non steril) yang tidak mengandung lateks.
Tabel 6.3. Alergi dan Implikasinya pada Anestesi
Alergi Implikasi
Antibiotik Pemilihan antibiotik untuk anafilaksis
Kerang, ikan, dan makanan laut lain Reaksi silang dengan agen kontras dan
protamine iv
Kuning telur, kacang kedelai Kemungkinan terjadi reaksi silang dengan
propofol
Anestesi lokal ester Pemilihan agen
Lateks Sarung tangan yang tidak mengandung
lateks, iv set, kateter, tracheal tube,
perangkat monitor, dan alat lain
Plester perekat Penggunaan bermacam trypoallergic
Riwayat Sosial / Kebiasaan
Riwayat kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan ketergantungan obat penting
diketahui. Pada perokok, adanya batuk produktif dapat mengindikasikan pasien butuh
terapi dan evaluasi lebih lanjut. Berhenti merokok selama lebih dari 12 jam akan
menurunkan jumlah CO-Hb darah secara signifikan dan memperbaiki transport oksigen
ke jaringan. Efek menguntungkan terhadap reaktivitas dan sekresi saluran napas tidak
akan terlihat (dalam bentuk menurunnya komplikasi paru-paru) sampai 4 minggu
berhenti merokok. Intoksikasi akut terhadap alkohol akan mengurangi kebutuhan
terhadap anestesi dan dapat mencetuskan terjadinya hipotermia serta hipoglikemia.
Penghentian konsumsi alkohol dapat menyebabkan agitasi, konfusi, hipertensi, palpitasi
dan kejang. Penyalahgunaan obat stimulan merupakan predisposisi terjadinya aritmia
dan konvulsi. Penggunaan stimulan dapat meningkatkan kebutuhan agen anestesi
(peningkatan MAC). Penyalahgunaan opioid meningkatkan dosis agen anestesi yang
dibutuhkan selama operasi.
6
B. PEMERIKSAAN FISIK
Semua pasien harus ditimbang.
Kepala, Leher, dan Jalan Napas
Pemeriksaan jalan napas harus dilakukan terhadap semua pasien yang akan
menjalani proses pembiusan. Adanya deformitas yang nyata, derajat pembukaan mulut,
rentang gerak cervical spine, devisai trakheal, lesi pada rongga mulut atau pada leher
memiliki arti penting (tabel 6.4). Ukuran mandibula harus dinilai dengan mengukur
jarak thyro-mental (jarak antara batas bawah mandibula ke thyroid notch dengan leher
dalam posisi ekstensi penuh). Jika jarak ini < 6.5 cm, laringoskopi mungkin akan lebih
sulit dilakukan. Tes lain yang dapat dilakukan untuk memperkirakan sulit atau
mudahnya laringoskopi dan intubasi trakhea adalah klasifikasi Malampati (tabel 6.5).
Penilaiannya dilakukan pada pasien dalam posisi duduk tegak. Pertama pasien
diperintahkan untuk membuka mulutnya selebar mungkin, lidah dijulurkan keluar dan
kemudian berkata ’aaaaahhh’. Struktur-struktur yang terlihat pada rongga mulut dicatat.
Pada Malampati kelas 3 dan 4 intubasi akan lebih sulit dilakukan. Tetapi tes ini tidak
begitu sensitif dan spesifik.
Tabel 6.4. Kondisi yang Berhubungan dengan Kesulitan Airway Mangement
Hidung
Deviasi Septum Kesulitan dalam insersi nasotracheal tube,
perdarahan
Polip Sama dengan diatas
Mulut
Skar dan kontraktur pada wajah Restriksi ketika membuka mulut
Makroglosia Kesulitan dalam memvisualisasikan laring
saat laringoskopi
Penonjolan gigi seri Sama seperti diatas dan cenderung
berbahaya
Pertumbuhan gigi yang jelek Gigi mudah tanggal
Mahkota gigi Proteksi dari bahaya
7
Mandibula
Mandibula yang pendek atau tertarik ke
belakang
Kesulitan dalam memvisualisasikan laring
saat laringoskopi
Masalah pada sendi temporo-
mandibular
Kesulitan dalam membuka mulut, bisa
terjadi perburukan gejala setelah
manipulasi mandibula saat airway
management
Leher
Kontraktur akibat luka bakar Kesulitan dalam memvisualisasikan laring
saat laringoskopi
Skar pasca trakheostomi Butuh tracheal tube dengan diameter yang
lebih kecil
Leher yang pendek dan gemuk Kesulitan dalam laringoskopi
Goiter / pembengkakan leher lainnya Deviasi atau kompresi jalan napas atas
Selulitis Deviasi, kompresi, atau pembengkakan
jalan napas atas
Restriksi gerakan leher Kesulitan dalam laringoskopi, petensial
terjadi trauma
Arthritis rheumatoid Jika terdapat bukti adanya subluksasi sendi
atlanto-aksial, atau munculnya kelainan
neurologis saat gerakan leher, – hati-hati
dalam memfiksasi kepala setelah induksi
dan selama intubasi
8
Tabel 6.5. Klasifikasi Mallampati
Kelas 1 : Dinding posterior faring, palatum mole, dan uvula terlihat jelas
Kelas 2 : Uvula tertutup sebagian oleh lidah, dinding posterior faring dan palatum
mole masih terlihat
Kelas 3 : Hanya palatum mole yang terlihat, dinding posterior faring dan uvula
tertutup seluruhnya oleh lidah
Kelas 4 : Hanya palatum durum yang terlihat, dinding posterior faring, uvula, dan
palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah
Dada dan Prekordium
Pemeriksaan fisik jantung dan paru harus dilaksanakan sesuai dengan kondisi
klinis pasien. Pada semua pasien, harus dilakukan auskultasi lapang paru untuk
membuktikan respirasi normal.
Abdomen
Jika terdapat distensi abdomen harus dicatat sebagai peningkatan resiko
regurgitasi dan aspirasi pulmoner yang signifikan.
Neurologi
Jika terdapat perubahan tingkat kesadaran, harus dicatat. Juga setiap terdapat
masalah neurologi (misalnya hemiparesis atau neuropati) harus dicatat. Hal ini dapat
bermanfaat jika gejala-gejala neurologis terjadi setelah dilakukan general atau regional
anestesi.
Punggung (Tulang belakang)
Infeksi pada kulit di atas tulang belakang merupakan kontraindikasi untuk
injeksi spinal atau epidural. Beberapa deformitas spinal juga dapat memprediksi
kesulitan dalam melakukan prosedur ini dan berpotensi terjadi kerusakan neurologi
(oleh karena itu merupakan kontraindikasi relatif).
9
Ekstremitas
Anggota gerak atas harus diperiksa untuk menentukan sisi yang tepat untuk
kanulasi venosa. Jika direncanakan blok lokal, tanda-tanda anatomis yang khas harus
diperiksa dan setiap infeksi kulit harus dicatat karena dapat menjadi kontraindikasi
anestesi lokal.
C. PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN
Pemeriksaan laboratorium rutin preoperatif sekarang diminimalisasi.
Pemeriksaan seharusnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. The
National Institute for Clinical Excellence telah membuat pedoman dan sebagian besar
rumah sakit menggunakan versi mereka sendiri. Hal-hal berikut harus dijadikan
petunjuk.
Hemoglobin
Pasien sehat yang akan menjalani pembedahan elektif dengan perkiraan kehilangan
darah < 10% dari total volume darah tidak memerlukan penilaian hemoglobin.
Penilaian Hemoglobin diperlukan pada :
Neonatus < 6 bulan
Wanita > 50 tahun
Pria > 65 tahun
Penyakit Sickle Cell
Keganasan
Kelainan hematologi
Kehilangan darah preoperatif
Trauma
Malnutrisi
Penyakit Sistemik lainnya dan ASA 3 atau di atasnya.
Ureum dan Elektrolit
Tidak diindikasikan pada pasien sehat yang akan menjalani operasi elektif.
10
Diindikasikan pada :
Pasien > 65 tahun
Penyakit Ginjal
Diabetes
Hipertensi
Penyakit jantung iskemik/vaskuler
Peyakit liver
Pasien dalam pegobatan digoxin, diuretik, steroid, ACE inhibitor,dan agen
antiaritmia.
Sebaliknya, koreksi cepat pada kelainan elektrolit dapat menyebabkan pasien yang
stabil menjadi bermasalah, seperti demielinisasi pontin sentral pada saat koreksi
hiponatremi, dan aritmia pada saat koreksi hipokalemia. Bila memungkinkan, operasi
sebaiknya ditunda, dan kelainan elektrolit dikoreksi secara perlahan-lahan (2-3 hari
untuk hiponatremia).
Angka Pembekuan
Dindikasikan pada :
Penyakit perdarahan yang sudah diketahui atau koagulopati
Terapi antikoagulan
Tranfusi darah untuk mengganti > 20% total volume darah
Infus koloid atau plasma pengganti > 20% total volume darah (total volume
darah berkisar antara 70-80 ml/kg BB)
Bruit yang tidak bisa dijelaskan
Kehilangan darah/berkurangnya hemoglobin yang tidak bisa dijelaskan
Hipersplenisme
Penyakit liver
Gagal Ginjal
11
Elektrokardiogram (EKG)
Diindikasikan pada :
Pria > 40
Wanita > 50
Penyakit Kardiovaskuler
Penyakit Ginjal
Diabetes
Ketidakseimbangan Elektrolit
Aritmia
Pasien yang diterapi dengan antihipertensi, antiaritmia, dan antiangina.
Perubahan pada EKG (dalam 3 bulan) harus dianggap signifikan dan perlu pemeriksaan
lebih lanjut.
Foto Rontgen
Diindikasikan pada :
Penyakit dada
Penyakit kardiovaskuler
Perokok lama dengan gejala penyakit dada
Keganasan
Pada kondisi-kondisi di atas (dalam waktu kurang dari 3 bulan) Foto Rontgen cukup
memuaskan, kecuali jika ada perubahan gejala.
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan lain mungkin diperlukan untuk menilai derajad keparahan penyakit,
efektivitas pengobatan, dan apakah pasien dalam kondisi medis optimal serta adanya
resiko-resiko pada pasien.
Pemeriksaan ini meliputi :
Test Fungsi Paru
Analisa Gas Darah
Echocardiografi
12
EKG
Enzim-enzim hepar (pada alkoholis, penyakit liver)
Gula Darah (Diabetes)
Fungsi Endokrin (hipo/hipertiroidisme)
Beberapa pemeriksaan juga diperlukan untuk menentukan nilai dasar preoperatif
yang dibandingkan dengan nilai intra dan post operatif (misalnya Analisa Gas
Darah).
D. MENILAI RESIKO ANESTESI
Penilaian resiko penting dalam hal :
Data kelengkapan kondisi medis
Terdapat persetujuan tindakan
Menyusun tahap tindakan yang sesuai
Menyiapkan keperluan untukperawatan perioperatif (monitor ketat, HDU/ICU)
Kondisi klinis dapat dinilai dengan klasifikasi status fisik ASA (tabel 6. 6).
ASA kelas 4 atau lebih dan kebanyakan ASA kelas 3 tidak memenuhi syarat untuk
pembedahan lama (satu hari) dan sering memerlukan monitor extra ketat selama dan
setelah operasi. Kelas satu dan lima akan dijelaskan sendiri. Perbedaan antara kelas
dua dan tiga serta kelas tiga dan empat tidak begitu tegas. Beikut contoh kelas 2, 3
dan 4 :
Kelas 2 : hipertensi terkontrol tanpa komplikasi
Kelas 3 : penyakit arteri koroner dengan angina
Kelas 4 : infark miokard dengan gagal jantung
Pada laporan kematian tahun 1999, NCEPOD melaporkan bahwa 84 % pasien
meninggal adalah pasien dengan ASA kelas > 3. Berbagai sistem skoring lain telah
digambarkan untuk menilai resiko pasien dengan penyakit jantung, pernapasan atau
penyakit sistemik dan hal ini dibahas pada bagian lain dalam buku ini.
Tabel 6. 6 Klasifikasi ASA
Kelas 1 Pasien sehat
Kelas 2 Penyakit sistemik ringan
13
Kelas 3 Penyakit sistemik berat dengan keterbatasan aktivitas
Kelas 4 Penyakit sistemik berat tak mampu beraktivitas dan mengancam nyawa
Kelas 5 Hampir mati, tak dapat diharapkan hidup dalam 24 jam dengan atau
tanpa operasi
Jika prosedur dilakukan sebagai tindakan emergensi maka tanda ”e” ditambahkan
pada kelas ASA
E. INFORMASI PADA PASIEN DAN PERSETUJUAN
Pasien mungkin takut, cemas atau khawatir terhadap tindakan bedah dan
pembiusan sehingga informasi dan keterangan yang diberikan jangan spesifik yang
berhubungan dengan pembedahan (seperti prognosis bedah, luka operasi, bekas luka,
cacat, keterbatasan pola hidup). Anestesi berhubungan dengan kecemasan meliputi
kematian, kesadaran, nyeri selama operasi, nyeri setelah operasi, kehilangan kontrol,
mual dan muntah.
Coba periksa kecemasan ini dan tentramkan pasien :
Berikan keterangan dengan sabar.
Coba realistis dengan resikonya tapi dengan cara yang bijak. Pasien mempunyai
hak untuk tahu resiko utama (dengan angka kejadian lebih dari 1 %, pada tabel
6.7) dan resiko signifikan yang menyebabkan luka permanen.
Terangkan apa yang akan dilakukan untuk mengurangi dan menghindari resiko.
Gambarkan apa yang seharusnya diharapkan pasien (pemasangan kanul dan
monitor) sebelum induksi anestesi dan saat pemulihan
Diskusikan pilihan cara anestesi (GA atau regional) dengan pasien.
Diskusikan alternatif cara jika rencana awal tak bekerja (misal GA jika RA
gagal).
Semua diskusi ini dilakukan sesederhana mungkin dengan bahasa pasien.
Jumlah informasi yang diberikan tergantung pada keingintahuan pasien dan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
14
Tabel 6.7 Komplikasi yang sering terjadi
Regional anestesi
sakit kepala (blok subarchnoid)
perdarahan lokal
cedera saraf
efek partial
General anestesi
tenggorokan kering / luka
suara serak
cedera gigi
mual muntah setelah operasi
komplikasi lain sesuai penyakit sebelumnya
Kanulasi pembuluh darah
tidak nyaman
hematoma
thrombosis
nyeri
infeksi
F. PERSIAPAN PREOPERASI PADA PASIEN
Pada umumnya, untuk operasi elektif :
Pasien dewasa puasa makan berat 6 jam sebelum operasi. Mereka boleh makan
ringan pagi hari ketika operasi dijadwalkan pada siang hari.
Anak dan balita puasa makan atau minum susu 6 jam sebelum operasi.
Semua pasien tidak boleh minum 2 jam sebelum operasi.
Bayi puasa ASI atau formula 4 jam sebelum operasi.
Alasan puasa sebelum operasi yaitu untuk meminimalkan isi perut dan
hubungannya dengan resiko terjadinya muntah (regurgitasi) dan aspirasi setelah
induksi anestesi. Meskipun puasa cukup, beberapa pasien masih bersiko muntah dan
15
terjadi aspirasi paru, pasien ini mempunyai kemampuan pengosongan lambung yang
lambat atau penurunan tonus sfingter esofagus yang lemah. (tabel 6.8 dan 6.9).
Profilaksis antasid harus disiapkan dan intubasi trakea harus dilakukan dengan
metode yang cepat. Pasien ini tidak cocok untuk pemasangan laryngeal mask airway.
Pada pasien dengan pembedahan emergensi, perlu dipertimbangkan adanya perut
yang terisi penuh bahkan meskipun saat ini kelaparan. Jelas, pasien ini mempunyai
penyakit abdomen akut dan akan terjadi gastric stasis. Namun, stasis dapat juga
terjadi akibat cemas, nyeri dan analgesik narkotik.
G. PREMEDIKASI
Hal ini jarang digunakan pada pasien dewasa kecuali ada indikasi spesifik.
Premedikasi mungkin diperlukan :
Untuk mengurangi kecemasan pasien yang berlebihan
Mengurangi nyeri (bila perlu) untuk bergerak, posisi dan prosedur (kanulasi,
analgesik regional) sebelum induksi anestesi.
Indikasi spesifik seperti profilaksis antasid, trinitrat gliceryl
TABEL 6.8 Faktor yang berhubungan dengan penurunan tonus sphincter
esophagus bawah
- Kegemukan
- Kehamilan (setelah trimester pertama)
- Hiatus hernia
- Penyakit reflek gastroesofagal
- Distensi abdomen
- Obat-obatan : atropine, glycopyrrolate, opioids, anestesi volatile
TABEL 6.9 Faktor yang meningkatkan rata-rata pengosongan lambung
Fisiologis
- asam
- makanan yang mengandung protein tinggi
16
- kehamilan
Patofisiologi
- kecemasan (ansietas)
- trauma
- bedah
- syok
- nyeri
- diabetes
Obat-obatan
- opioids
- antikolinergik
- antidepresan trisiklik
Anak-anak sering diberikan obat-obatan premedikasi sedatif dan krim anestesi
lokal topikal yang dioleskan pada kulit pada sisi kanulasi vena.
Benzodiazepin, opioids dan antikolinergik adalah ansiolitik tradisional.
Benzodiazepin
Temazepam 10-20 mg diberikan per oral 1-2 jam sebelum sedasi prosedur
pembedahan dan amnesia tanpa memperpanjang sedasi setelah operasi. Diazepam 5-10
mg diberikan per oral 1-2 jam sebelum sedasi prosedur pembedahan, tapi masih
dimungkinkan diperpanjang setelah pembedahan. Dalam ruang anestesi, midazolam
intravena 1-3 mg menimbulkan amnesia dan sedasi.
Opioids
Indikasi utama pemberian opioids adalah untuk menghilangkan nyeri pre operasi
(fraktur, akut abdomen). Morfin 5-10 mg intramuskuler 60-90 menit sebelum
pembedahan adalah cukup. Opioids sering dikombinasikan dengan antiemetik (sebagai
contoh cyclizine 50 mg).
17
Antikolinergik
Indikasi utama adalah untuk mengurangi sekresi oral pada dewasa dan untuk
mencegah bradikardi selama induksi pada anak-anak. Glycopyrrolate dapat digunakan
pada dosis 0,2-0,4 mg intravena untuk dewasa dan 10-20 µg/kgBB untuk anak-anak.
Profilaksis untuk aspirasi pneumonitis
Dalam induksi anestesi, reflek batuk hilang dan regurgitasi dari perut dapat
diaspirasi ke trakea. Pemisahan aspirasi pneumonitis tergantung keasaman (pH) dari isi
perut dan volumenya. Pasien yang terutama beresiko termasuk wanita hamil, begitu
juga dengan hiatus hernia, reflek gastroesofagal, gangguan jalan napas, ileus dan
kegemukan (lihat juga tabel 6.8 dan 6.9). Obat-obatan dapat digunakan untuk
meminimalisasi sekret gaster dan volume isi gaster.
Histamin (H2) antagonis dan inhibitor pompa proton
Ranitidin 150-300 mg per oral atau 50-100 mg iv/im mengurangi keasaman dan
volume isi gaster. Inhibitor pompa proton seperti omeprazole dapat digunakan sebagai
alternatif.
Antasid
Antasid yang non partikulat seperti sodium sitrate 30-60 mg dapat diberikan
segera sebelum induksi anestesi.
Prokinetik
Metoclopramide, suatu dopamin antagonis, dapat digunakan untuk meningkatkan
pengosongan lambung, secara simultan meningkatkan tonus dari sphincter esofagal
bawah. Ada sedikit bukti bahwa beberapa agen secara signifikan menurunkan resiko
regurgitasi.
18
19