refrat faringitis kronik.docx

18
BAB 1 PENDAHULUAN Faringitis kronis adalah suatu kondisi infeksi (bakteri atau virus) at (kimia atau fisik) yang melibatkan peradanganpada mukosa faring yang persisten setidaknya selama satu tahun, selama lebih dari enam jam s selama lebih dari dua minggu sebulan dan selama lebih dari tiga bulan setahun. Faringitis kronik seringkali meresahkan penderitanya akibat geja ditimbulkannya seperti rasa mengganjal dan tidak nyaman pada tenggorok, tenggorokberlendir atau terasakering. Gejala tersebut tentunyadapat mengganggu aktifitas penderita bahkan bisa menurunkan semangat dan produktifitas belajar atau kerja penderita. Faktor penyakit infeksi, aler kronik dapat mempengaruhi terjadinya faringitis kronik. 1 Umumnya faktor predisposisi faringitis kronik adalah rinitis kronik, s iritasi kronik oleh rokok, minum beralkohol, inhalasi uap yang m mukosa faring dan debu. Berdasarkan patologinya faringitis kronik dibagi faringitis kronik hipertrofigranuler dan faringitis kronik atrofisika. klinis faringitis kronik pada umumnya terdapat rasa tidak nyaman di tengg !," Frekuensi mun#ulnya faringitis lebih sering pada populasi anak$anak. %i 1&$"' kasus faringitis pada anak$anak usia sekolah dan 1' kasus faringit pada orang de asa terjadi pada musim sejukadalahakibat dariinfeksi *trepto#o##us Group +. Faringitis jarang terjadi pada anak$anak kurang da tahun. 1

Upload: rossa-indah-rahmawati

Post on 07-Oct-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

Faringitis kronis adalah suatu kondisi infeksi (bakteri atau virus) atau iritasi (kimia atau fisik) yang melibatkan peradangan pada mukosa faring yang persisten setidaknya selama satu tahun, selama lebih dari enam jam sehari, selama lebih dari dua minggu sebulan dan selama lebih dari tiga bulan dalam setahun. Faringitis kronik seringkali meresahkan penderitanya akibat gejala yang ditimbulkannya seperti rasa mengganjal dan tidak nyaman pada tenggorok, tenggorok berlendir atau terasa kering. Gejala tersebut tentunya dapat mengganggu aktifitas penderita bahkan bisa menurunkan semangat dan produktifitas belajar atau kerja penderita. Faktor penyakit infeksi, alergi dan iritasi kronik dapat mempengaruhi terjadinya faringitis kronik.1 Umumnya faktor predisposisi faringitis kronik adalah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum beralkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Berdasarkan patologinya faringitis kronik dibagi menjadi faringitis kronik hipertrofi/granuler dan faringitis kronik atrofi/sika. Gambaran klinis faringitis kronik pada umumnya terdapat rasa tidak nyaman di tenggorok.2,3 Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Streptococcus Group A. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun. 4

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.5 Kantong ini dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Di atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, di depan faring berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan di bawah faring berhubungan dengan laring melalui aditus laring dan terus ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dari dalam ke luar dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.2 Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.2

Gambar 2.1 Anatomi Faring9

Faring terdiri atas : a. Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, di bagian depan adalah rongga hidung sedangkan di bagian belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring berhubungan dengan adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan fosa Rosenmuller, kantong Rathke, torus tubarius, koana dan foramen jugulare (dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus, n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna), serta berhubungan dengan petrosus os temporalis, foramen laserum dan muara tuba Eustachius.2b. Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, di bagian depan adalah rongga mulut, sedangkan di bagian belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2c. Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya epiglotis dapat menjadi lebar dan tipis. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.22.1.1 Ruang Faringeal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring (Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang dari faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.2 Ruang parafaring (Pharyngomaxillary fossa) berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis.2

Gambar 2.2 Anatomi Faring9

2.1.2 Fisiologi Faring Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan artikulasi.2a) Fungsi MenelanTerdiri 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan fase esofagal. Pada fase oral bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada transpor bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Pada fase esofagal terjadi gerakan tidak disengaja yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju ke lambung.2a) Fungsi dalam Proses Bicara Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.2

2.2. Definisi Faringitis kronis adalah suatu kondisi infeksi (bakteri atau virus) atau iritasi (kimia atau fisik) yang melibatkan peradangan pada mukosa faring yang persisten setidaknya selama satu tahun, selama lebih dari enam jam sehari, selama lebih dari dua minggu sebulan dan selama lebih dari tiga bulan dalam setahun.1

2.3 Etiologi 2.3.1 Faringitis Bakterial a. Grup A streptokokus beta-hemolitik. Gambaran klinis klasik mencakup demam, suhu lebih dari 101.5 F, tonsillopharyngeal eritema dan terdapat eksudat, bengkak, adenopati servikal anterior, sakit kepala, mual muntah pada anak-anak, palatal petechia dan batuk atau rinore. 4b. Grup C, G, dan F streptokokus dapat dibedakan secara klinis dari infeksi GAS (Grup A Streptokokus). Glomerulonefritis akut adalah komplikasi yang tidak biasa pada grup C faringitis streptokokus. Hubungan antara faringitis kelompok G streptokokus dan glomerulonefritis akut belum ditetapkan. Kemungkinan terkait dengan wabah yang ditularkan melalui makanan. Manfaat dari terapi antibiotik dengan jenis streptokokus tidak terbukti saat ini. 4c. Arcanobacterium (Corynebacterium) haemolyticus lebih sering terjadi pada orang dewasa muda dan sangat mirip dengan infeksi GAS, termasuk ruam scarlatiniform. Pasien sering disertai batuk. 4d. M pneumoniae pada orang dewasa muda menunjukkan gejala sakit kepala, faringitis dan gejala pernafasan bagian bawah. Sekitar 75% pasien menunjukkan adanya gejala batuk yang khas sperti pada infeksi GAS.4e. C pneumoniae memiliki gambaran klinis yang mirip dengan M pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului infeksi paru sekitar 1-3 minggu.4f. Neisseria gonorrhoeae merupakan penyebab yang jarang dari faringitis. Anamnesis yang cermat penting karena infeksi biasanya mengikuti kontak orogenital. Ini mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik yang parah. .4g. Corynebacterium diphtheriae jarang terjadi. Membran faring berwarna abu-abu putih yang berbau busuk dan dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas.42.3.2 Faringitis Virala. Adenovirus: Fitur yang membedakan dari infeksi adenovirus adalah konjungtivitis berhubungan dengan faringitis (demam pharyngoconjunctival). Ini adalah penyebab paling umum pada anak-anak muda dari 3 tahun.4b. Herpes simpleks: lesi vesikular (herpangina), terutama pada anak-anak adalah ciri khas. Pada pasien yang lebih tua, faringitis dapat dibedakan dari infeksi GABHS.4c. Coxsackie A dan B: Infeksi ini hadir mirip dengan herpes simpleks dan vesikel dapat ditemukan. Jika vesikula keputihan dan nodular itu dikenal sebagai faringitis lymphonodular. Coxsackievirus A16 dapat menyebabkan penyakit pada tangan, kaki dan mulut, dengan ulkus orofaringeal 4 sampai 8 mm dan vesikula pada tangan dan kaki, kadang-kadang pada bagian pantat. Ulkus orofaringeal dan vesikula berlangsung dalam waktu 1 minggu.4d. Virus Epstein-Barr (EBV): Secara klinis dikenal sebagai mononucleosis yang menular serta sangat sulit untuk dibedakan dari infeksi GAS. Faringitis eksudatif menonjol. Fitur khas termasuk adenopati retroservikal atau umum dan hepatosplenomegali. Limfosit atipikal dapat dilihat pada apusan darah tepi. Kultur virus dari pencucian sekitar 20% sensitif pada orang dewasa.4e. CMV: Manifestasi CMV mirip dengan mononukleosis yang menular. Pasien cenderung lebih tua, aktif secara seksual dan mengalami demam tinggi dan lebih malaise. Faringitis mungkin bukan keluhan yang menonjol.f. HIV-1: Hal ini terkait dengan faring edema dan eritema, luka aphthous umum, dan kelangkaan eksudat. Demam, mialgia dan limfadenopati juga ditemukan.42.3.3 Penyebab lain faringitis :a. Sariawan karena spesies candida, biasanya pada pasien yang immunocompromised. Mungkin sering terjadi pada anak-anak dan menyajikan dengan plak keputihan di orofaring.4b. Penyebab lainnya adalah udara kering, alergi / postnasal drip, cedera kimia, gastroesophageal reflux disease (GERD), merokok, neoplasia dan intubasi endotrakeal.4c. Penyebab yang jarang namun mengancam jiwa faringitis pada orang dewasa muda adalah sindrom Lemierre ini. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob, Fusobacterium necrophorum dan ditandai oleh infeksi orofaringeal dengan bukti tromboflebitis septik. Insidensinya sekitar satu dalam satu juta tetapi harus dipertimbangkan ketika pasien sakit kritis menyajikan dengan faringitis.42.3.4 Faktor Predisposisi : Faktor predisposisi faringitis kronik adalah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.2

2.4 Klasifikasia. Faringitis Kronik Tunggal atau CatarrhalDari temuan klinis ditandai dengan adanya mukosa faring hiperemi difus, oedem, dengan folikel limfoid yang jelas, ditutupi dengan catarrhal eksudat, kurang lebih berlimpah dan cair.1b. Faringitis Kronik HiperplastikPada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan berglanular. Gejala pasien berupa mengeluh tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk berdahak.6c. Faringitis Kronik AtrofiFaringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan tanda ialah pasien umumnya mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. 6

2.5 Patofisiologi Faringitis adalah peradangan faring yang dapat menyebabkan sakit tenggorokan. Agen etiologi yang melalui kontak orang ke orang, kemungkinan besar melalui tetesan sekresi hidung atau air liur. Gejala sering bermanifestasi setelah masa inkubasi berkisar antara 1 hingga 5 hari, dan terjadi paling sering pada musim dingin atau awal musim semi. Wabah faringitis dapat terjadi di lingkungan rumah atau sekolah, dan kemungkinan berhubungan dengan sumber makanan atau hewan. Bakteri penyebab paling umum dari faringitis adalah GABHS yang juga dikenal sebagai Streptococcus pyogenes. Bakteri ini memiliki protein M, faktor virulensi yang kuat dapat menghambat fagositosis bakteri, serta kapsul asam hialuronat yang meningkatkan kemampuannya untuk menyerang jaringan. Beberapa eksotoksin dan dua hemolysins (streptolysin S dan streptolysin O) lebih meningkatkan virulensi GABHS. Kokus dapat dideteksi pada kultur (tumbuh pada agar darah), tes aglutinasi lateks, atau tes cepat menggunakan antibodi monoklonal.7 Infeksi bakteri GABHS dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini dapat melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.6

2.6 Gejala Klinisa. Iritasi pada tenggorokan, yang dapat disebut sebagai perasaan kekeringan / ketidaknyamanan/ sting.b. Suara serak.c. Sensasi postnasal drip atau sensasi adanya sekresi retronasal.d. Sensasi konstriksi atau sensasi benda asing, yang mungkin dapat meningkatkan penelanan air liur, serta kurang terasa saat menelan makanan padat atau cairan.1

Gambar 2.3 Faringitis Kronik1

2.7 Diagnosis Pada faringitis yang disebabkan oleh bakteri, pemeriksaan pada faring yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada faring dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula dan limfadenopati servikalis anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut. Banyak pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak di bawah 3 tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini.7,8 Pada faringitis viral tampak faring dan tonsil hiperemis saat pemeriksaan. Saat pemeriksaan virus influenza, Coxsachie virus dan Cytomegalo virus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachie virus dapat menimbulkan lesi vesikuler di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.8 Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegakkan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari.8

2.8. Diagnosis Bandinga. Candidiasisb. Diphtheriac. Epiglottitisd. Gonorrheae. Herpes Simplexf. Mononucleosisg. Croup or Laryngotracheobronchitish. Pharyngitisi. Scarlet Feverj. Peritonsillar Abscessk. Pneumonial. Retropharyngeal Abscessm. Rheumatic Fever 42.9 Komplikasi Komplikasi umum faringitis (terutama terlihat dalam kasus faringitis bakteri) termasuk sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis dan pneumonia. Komplikasi faringitis supuratif oleh karena bakteri penyebaran infeksinya dari mukosa faring melalui hematogen, limfatik atau penyebaran langsung (lebih umum dengan GAS), abses peritonsillar, abses retrofaring atau limfadenitis serviks supuratif. Selain komplikasi umum di atas dapat pula terjadi komplikasi non supuratif (kejadian 3%) khusus untuk infeksi GAS termasuk demam akut rematik (3-5 minggu post infeksi), glomerulonefritis post streptococcal dan sindrom syok toksik.4

2.10 Penatalaksanaan Faringitis kronik penyakit yang susah untuk disembuhkan. Yang dapat dilakukan adalah mengurangi keluhan penderita dengan menyembuhkan penyakit dasar yang menyertai (sinusitis, rinitis alergi), menghindari iritan dan menghilangkan alergen.8 Terapi pada faringitis kronik hiperplastik hanya dilakukan terapi lokal dengan mengunakan kaustik faring dengan mengunakan zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro couter). Pengobatan simtomatik hanya diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan hanya diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati.8 Terapi untuk faringitis kronik atropi biasanya sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pengobatan yang dilakukan ditujukan pada rinitis atropi dan untuk faringitis kronik atrofi hanya ditambah dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.8

2.11 Prognosis Sebagian besar kasus faringitis sembuh secara spontan dalam waktu 10 hari, tetapi penting bagi dokter untuk menyadari potensi komplikasi yang tercantum di atas. Kegagalan pengobatan sering dan dikaitkan terutama untuk kepatuhan yang rendah, resistensi antibiotik, kontak dekat yang tidak diobati dan antibiotik yang terkait penekanan kekebalan tubuh pasien.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Ferrara L, Naviglio D, Caruso AA. Approach Under the Form of Semiquantitative Cytological Evaluation For Chronic Pharyngitis. European Scientific Journal. 2013. Vol 3: 218-212. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Soepardi EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6. Jakarta. FK UI. 2007. p 212-2163. Soesanto BA. Faktor Resiko Faringitis kronik [thesis]. Semarang: FakultasKedokteran Universitas Diponegoro; 2006, 2014. Acerra JR. 2014. Pharyngitis. Available from: http://emedicine.medscape.com. [ Diakses 1 Oktober 2014]5. Joshi AS. 2011. Pharynx Anatomy. Available from: http://emedicine.medscape.com. [ Diakses 1 Oktober 2014]6. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid. Soepardi EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6. Jakarta. FK UI. 2007. p 217-2197. Wilson A. Pharingitis. Essential Infectious Disease Topics for Primary Care Chapter 2. 2008. N.S. Skolnik. 15 Humana Press, Totowa, NJ. p168. Alan L. Bisno, M.D., 2011. Acute Pharyngitis: Primary Care. In: The New England Journal of Medicine 2011; 344:205-11. Available From: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200101183440308. [ Diakses 1 Oktober 2014]9. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Sugiharto L, editor. Ed 22. Vol 1. Jakarta: EGC 2007. p 136,141

18