referat nur fadillah 1408465692
DESCRIPTION
goodTRANSCRIPT
Referat
RINITIS ALERGI
Oleh :
NUR FADILLAHNIM 1408465692
Pembimbingdr. Asmawati Adnan, Sp.THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAUPEKANBARU
2015
RINITIS ALERGI
I. DEFINISI
Rinitis secara luas diartikan sebagai inflamasi pada mukosa hidung.
sedangkan rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik.1,2,3
II. EPIDEMIOLOGI
Rinitis alergi mempengaruhi 500 juta orang di seluruh dunia, terutama
anak-anak dan remaja. Penyakit ini mengganggu kegiatan dan produktivitas
sehari-hari serta menyebabkan kualitas hidup menurun. Rinitis alergi sering
disertai dengan penyakit penyerta seperti asma, konjungtivitis, rhinosinusitis,
urtikaria dan lain-lain yang dapat memperburuk penyakit.4
Prevalensi dari rhinitis alergi dapat bervariasi didalam suatu negara
maupun antar negara, hal ini dikarenakan perbedaan geografi sehingga tipe
dan potensi dari alergen berbeda-beda. Rinitis alergi sendiri tidak mengancam
jiwa kecuali disertai dengan asma yang berat dan anafilaksis sehingga
morbiditas dari kondisi ini dapat menjadi signifikan. Rinitis alergi sering
berdampingan dengan gangguan lain seperti asma, dan dapat berhubungan
dengan eksaserbasi asma. Rinitis alergi juga dapat berhubungan dengan otitis
media, disfungsi tuba eustachius, sinusitis, polip nasal, konjungtivitis alergi
dan dermatitis atopik.5
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras. Prevalensi rinitis alergi
tampaknya bervariasi antara penduduk dan budaya yang berbeda, mungkin
karena perbedaan genetik, faktor geografis atau perbedaan lingkungan
maupun faktor populasi yang lain. Pada anak, rinitis alergi paling banyak
terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Namun pada dewasa,
prevalensi antara laki-laki dan perempuan kuranglebih sama. Rinitis alergi
dapat terjadi pada anak, remaja dan dewasa muda dengan onset rata-rata pada
usia 8-11 tahun, tetapi rinitis alergi dapat muncul pada usia lain. Pada 80%
kasus, rinitis alergi muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi rinitis alergi telah
1
dilaporkan menjadi tinggi 40% pada anak-anak, kemudian menurun dengan
usia.5
Hasil penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung
didapatkan dari 167 pasien, insiden rinitis alergi paling tinggi pada
perempuan (53,3%) dibandingkan laki-laki (46,7%) dengan insiden tertinggi
ditemukan pada usia 18-34 tahun (52,7%) berdasarkan pekerjaan, insiden
tertinggi rinitis alergi ditemukan pada siswa sekolah atau mahasiswa 53,3%.
Berdasarkan klasifikasi ARIA-WHO sebagian besar pasien menderita rinitis
alergi persisten sedang-berat (52,7%). Kondisi komorbid ditemukan sebanyak
73,7% pada rinitis alergi. Dengan komorbid tertinggi adalah konjungtivitis
(59,9%) kemudian asma (24,6%) urtikaria (22,2%), dan rhinosinusitis (9,6%),
otitis media dan bronkitis kronik jarang yaitu (0,6%).4
III. ANATOMI HIDUNG
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat
kembali tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung luar (nasus
externus) dan rongga hidung (cavum nasi). Hidung luar berbentuk piramid
dengan ujung bebas, bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1. Pangkal hidung,
2. Batang hidung, 3. Puncak hidung, 4. Ala nasi, 5. Kolumela, 6. Lubang
hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1. Tulang hidung (os nasal), 2. Prosesus frontalis os maksila, 3. Prosesus
nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan di bagian bawah hidung, yaitu : 1. Sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
kartilago alar mayor dan, 3. Tepi anterior kartilago septum.3
2
Gambar 1.1 Anatomi hidung6
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
dengan banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior.3
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah : 1. Lamina perpendikularis os
etmoid, 2. Vomer, 3. Krista nasalis os maksila, dan 4. Krista nasalis os
3
palatine. Sedangkan bagian tulang rawan adalah: 1. Kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan 2. Kolumela.3
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang sendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.3
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus
yaitu, meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sphenoid.3
IV. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dapat berlangsung sampai
24-48 jam.3
Tahap sensitisasi adalah pada waktu kontak pertama dengan alergen.
Makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
4
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai stokin
seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya
di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (preformed mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PDG2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah
yang disebut Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).3
Histamin akan merangsang reseptor H1 sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.3
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil target. Respons ini
tidak berhenti disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-
8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis
dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
5
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini,
selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.3
V. KLASIFIKASI
Dahulu, rinitis alergi diklasifikasikan menjadi rinitis alergi seasonal
(musiman) yaitu yang muncul selama musim tertentu, dan rinitis alergi
perennial (sepanjang) tahun dengan gejala yang timbul intermiten atau terus-
menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Namun
tidak semua penderita cocok kedalam klasifikasi tersebut. Sebagai contoh,
beberapa pemicu alergi, seperti pollen (serbuk sari), mungkin musiman
(seasonal) pada iklim dingin, tetapi tahunan (perennial) pada iklim hangat,
dan pasien dengan rinitis alergi musiman yang multiple mungkin memiliki
gejala yang muncul sepanjang tahun.1 Saat ini digunakan klasifikasi rinitis
alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermitten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.3
6
VI. MACAM-MACAM ALERGEN
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan
Alergen yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. Farinae, B.tropicalis),
kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,anjing), rerumputan serta
jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan
Alergen yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan
Alergen yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan
Alergen yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.3
VII. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadinya rinitis alergi meliputi: riwayat atopi keluarga,
IgE serum lebih tinggi dari 100 IU/mL pada anak di bawah usia 6 tahun,
paparan terhadap alergen rumah tangga seperti hewan dan tungau debu rumah
tangga dan uji kulit tusuk positif.7
VIII. DIAGNOSIS
Rinitis alergi pada umumnya dapat didiagnosa dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti tes alergi dapat membantu
menegakkan diagnosis namun harus dilakukan dengan benar untuk mencegah
hasil negatif palsu.8
1. Anamnesis
Pada anamnesis pasien akan sering mengeluhkan gejala klasik dari rinitis
alergi: hidung tersumbat, gatal pada hidung, rhinorrhea dan bersin. Rinitis
alergi juga sering disertai konjungtivitis alergi dengan gejala pada umumnya
yaitu gatal pada mata, mata kemerahan serta berair.
7
Evaluasi pada rumah pasien dan lingkungan pekerjaan serta sekolah
dianjurkan untuk mengetahui faktor pemicu dari rinitis alergi. Anamnesis
mengenai lingkungan sebaiknya fokus pada alergen yang sering dan
berpotensial menimbulkan alergi seperti pollen, bulu binatang, asap rokok dll.
Penggunaan obat-obatan seperti beta-blocker, acetylsalicylic acid (ASA),
Anti inflamasi non-steroid, ACE Inhibitor dan terapi hormon serta
penggunaan kokain dapat menyebabkan gejala rinitis dan oleh karena itu
pasien sebaiknya ditanya apakah saat ini sedang menjalani suatu pengobatan
atau baru-baru ini telah menjalani suatu pengobatan serta perlu juga
ditanyakan penggunaan obat-obatan seperti narkotika. Pasien juga seharusnya
ditanyakan riwayat atopi pada keluarga, dampak gejala pada kualitas hidup,
juga penyakit penyerta seperti asma, otitis media dan polip nasal.1
2.Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada rinitis alergi dapat dilakukan dengan pemeriksaan
rinoskopi anterior dan pemeriksaan pada telinga, mata serta orofaring, karena
manifestasi klinis dari rinitis alergi dapat mempengaruhi organ-organ
tersebut.3,5
- Pada rinoskopi anterior tampak mukosa udem, basah berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi.3
- Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.3
- Pada telinga dapat ditemukan retraksi dan kaku pada membran timpani.5
- Gejala yang muncul pada mata dan spesifik pada anak adalah terdapatnya
bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain
itu gejala yang dapat muncul pada mata karena rinitis alergi yaitu injeksi
dan bengkak pada konjungtiva palpebra serta mata yang berair.3,5
- Sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan
punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic
crease.3
8
- Orofaring; Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang
tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi
(facies adenoid) pada anak. Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).3,5
3. Pemeriksaan penunjang:
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada rinitis
alergi yaitu:
- Hitung eosinofil
Eosinofil merupakan sel yang sering dijumpai pada penderita rinitis,
sinusitis, dan asma bronkial. Peningkatan jumlah eosinofil darah
menunjang diagnosis rinitis alergi namun harus dikombinasikan dengan
pemeriksaan lainnya karena hitung eosinofil dalam darah tepi dapat
normal atau meningkat.3,7
- Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test)
Merupakan pemeriksaan kadar IgE total dalam darah tanpa memandang
spesifikasi. Walaupun pada penderita rinitis alergi terjadi peningkatan
kadar IgE serum total, uji ini tidak sensitif dan tidak spesifik untuk rinitis
alergi, karena seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Untuk menegakkan
diagnosis, uji ini biasanya tidak digunakan sendirian. Sebaiknya penting
untuk mengukur IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test).3,7
- Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,
tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.3
- Uji kulit atau skin test digunakan secara luas untuk menunjukkan reaksi
alergi yang diperantarai IgE. Diagnosis alergi spesifik dapat dipastikan
bila uji kulit dilaksanakan dengan tepat. Uji kulit merupakan metode
9
utama untuk mengidentifikasi pemicu alergi yang spesifik pada rinitis.
Antihistamin harus dihentikan 7-10 hari sebelum dilakukan uji kulit.
Kortikosteroid Intranasal, Leukotriene Inhibitors, dekongestan, maupun
kortikosteroid oral tidak perlu dihentikan padapada uji kulit. Uji kulit lebih
sensitif, cepat, dan lebih hemat dibanding RAST.7,8
- Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat membantu untuk mengevaluasi kemungkinan
abnormalitas struktur atau untuk membantu mendeteksi komplikasi atau
kondisi komorbid seperti sinusitis atau hipertrofi adenoid.5
IX. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis
Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari
kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance).3
2. Farmakologis
- Antihistamin
Antihistamin dibagi dalam dua golongan yaitu golongan
antihistamin generasi ke-1 (klasik) dan generasi ke-2 (non-sedatif).
Antihistamin generasi ke-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara
lain difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif menigkat reseptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada
SSP minimal (non-sedatif). Saat ini, antihistamin generasi ke-2 atau
non-sedatif merupakan lini pertama pengobatan farmakologis yang
direkomendasikan untuk semua pasien dengan rhinitis alergi. Telah
ditemukan bahwa hal ini efektif untuk mengurangi bersin, gatal dan
rinorrhea ketika diminum secara teratur pada saat gejala maksimal
atau sebelum paparan alergen. Meskipun sebelumnya, antihistamin
generasi pertama atau antihistamin sedatif juga efektif dalam
10
mengurangi gejala, namun telah terbukti berdampak negatif terhadap
fungsi kognisi, sehingga tidak direkomendasikan secara rutin untuk
pengobatan rinitis alergi.1,3
- Dekongestan
Dekongestan tersedia dalam bentuk oral dan topikal. Dekongestan
efektif dalam melegakan kongesti. Dekongestan bekerja pada reseptor
adrenergik untuk menghasilkan vasokonstriksi dan mengurangi
pembengkakan mukosa hidung sehingga juga dapat meredakan hidung
yang tersumbat. Namun, penelitian mengenai kombinasi antihistamin
dengan dekongestan oral menunjukkan hasil yang gagal. Efek
samping dari dekongestan meliputi insomnia, anoreksia, gangguan
emosi yaitu cepat marah, meskipun jarang tetapi dapat juga
menyebabkan peningkatan tekanan darah. Dekongestan oral harus
dihindari pada anak-anak yang berumur kurang dari satu tahun, dan
usia diatas 60 tahun atau pasien geriatri karena mungkin lebih sensitif
terhadap efek samping dekongestan oral, serta pasien dengan
hipertensi, penyakit jantung iskemik, glaukoma, hipertrofi prostat atau
diabetes mellitus. Dekongestan oral kontraindikasi pada pasien yang
menggunakan inhibitor monoamine oxidase (MAOIs) atau memiliki
hipertensi yang tidak terkontrol atau penyakit arteri koroner yang
berat. Adapun efek samping utama dari topikal dekongestan yaitu
dapat menyebabkan rinitis medikamentosa, karena risiko rebound
vasodilatasi maupun rinitis atrofi karena penggunaan kronis. Obat ini
tidak memiliki peran dalam pengobatan maintanance dari rinitis
alergi. Obat ini dapat digunakan jangka pendek (3-5 hari) untuk pasien
dengan kongesti byang berat untuk meningkatkan hasil pemberian
obat awal dengan intranasal kortikosteroid. European guidelines
menyarankan pemakaian maksimun dekongestan adalah 10 hari.8,9
- Steroid
Kortikosteroid intranasal adalah pengobatan andalan.
Kortikosteroid intranasal adalah obat yang paling efektif untuk
mengontrol semua gejala dari rinitis. Secara umum, kortikosteroid
11
intranasal aman digunakan. Namun, ada sejumlah kecil evidence yang
menunjukkan bahwa kortikosteroid intranasal dapat mendukung untuk
terjadinya penekanan pada hypothalamic-pituitary adrenal axis
dengan penggunaan jangka panjang. Efek samping umunnya ringan,
seperti pengerasan kulit, kekeringan, dan epistaksis ringan. Tambahan
kortikosteroid sistemik harus dijadikan pilihan pengobatan terakhir,
tapi mungkin diperlukan untuk gejala yang parah atau berat.
Kortikosteroid sistemik oral lebih disukai daripada kortikosteroid
parenteral karena risiko yang lebih rendah dari efek samping
sistemiknya.9
- Nasal Cromolyn
Nasal kromolindicadangkan untuk pasien yang tidak terkontrol
dengan baik atau tidak mentolerir antihistamin oral atau steroid
intranasal. Nasal kromolin dapat efektif apabila digunakan secara
teratur sebelum timbulnya gejala alergi. Kromolin hampir tidak
mempunya efek samping sehingga aman digunakan.8
- Antikolinergik ipratropium bromide
Antikolinergik ipratropium bromide tersedia dalam bentuk nasal
atau spraydan merupakan antikolinergik spray yang efektif untuk
pasien dengan gejala vasomotor seperti rhinorrea. Antikolinergik
menurunkan produksi mukus dan mengurangi rhinorrea dengan
hampir tidak ada efek samping.8,9
- Leukotriene inhibitors
Mengurangi gejala alergi melalui inhibisi inflamasi. Manfaat dari
penggunaan leukotrine inhibitor sebanding dengan antihistamin oral.
Namun beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid inhalasi
memiliki keunggulan dalam memperbaiki gejala obstruksi hidung
dibandingkan leukotriene inhibitor. Terapi kombinasi leukotriene
inhibitor dan antihistamin memperbaiki gejala intranasal
dibandingkan dengan monoterapi, tetapi lagi-lagi kurang efektif bila
dibandingkan dengan menghirup steroid inhalasi saja.8
12
Adapun efektifitas dari berbagi obat untuk rinitis alergi dalam mengontrol
gejala, pilihan pengobatan rinitis alergi berdasarkan gejala, algortima
penatalaksaan rinitis alergi dan dosis obat-obatan yang digunakan dalam
penatalaksaan rinitis alergi yaitu:
Tabel 1. Efektifitas dari obat-obatan rinitis alergi.9
Tabel 2. Pilihan pengobatan rinitis alergi berdasarkan gejala.8
13
Tabel 3. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi.2
Tabel 4. Dosis pengobatan untuk rinitis alergi.1
14
Tabel 5. Efek samping obat.8
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau trikor asetat.3
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan IgG blocking antibody dan penuruan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.3
X. KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, dimana
beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Komplikasi lainnya yaitu otitis media efusi yang sering residif terutama pada
anak-anak dan komplikasi lain yang dapat muncul yaitu sinusitis paranasal.3
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Small P, Kim H. Allergic Rhinitis.Allergy, Asthma, and Clinical Immunology.2011,7(Suppl1):S3p.2.2011;1-6.
2. Pawankar et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma in Asia Pacific and the ARIA Update 2008.World Allergy Organization Journal 2012; 5:S212-S217.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-enam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: 118-22.
4. Moeis, RM, Sudiro M, Herdiningrat S. RB. Universitas Padjajaran Bandung. Althea Medical Journal. 2014; 1(2) Allergic Rhinitis Patients Characteristics in Dr. Hasan Sadikin general Hospital Bandung Indonesia. www.journal.fk.unpad.ac.id p.75-76.
5. Javed S, Michael KA. Allergic Rhinitis. www.emedicine.medscape.com/article/134825-overview. Feb 16, 2015. [diakses pada 17 Mei 2015].
6. Otolaryngology for medical students; orientation, goals, tips, and key topics. Available at : https://www.uwoent.ca/files/clerkship_lecture.pdf&sa=u&ei=zopovlzsltw3uqsvxiloba&ved=ocasqfjaa&usg=afqjcnegwj_p-ajqd4it5ytsh_gbr1o17g
7. Harsono G dkk. Faktor yang di Duga Menjadi Risiko Pada Anak dengan Rinitis Alergi di RSU DR. Cipto Mangunkusumo. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol.XXIII, No. 3, Desember. 2007. Hal. 119-120.
8. Ambulatory Clinical Guidelines.Allergic Rhinitis. Faculty Group Practice Quality Management Program. University of Michigan.October. 2013;10-13.
9. Tran NP, Vickery J, Blaiss MS. Management of Rhinirs: Allergic and Non-Allergic. Allergy, Asthma, and Immunology Research. 2011 July;3(3); 148-156.
16