sound governance berakhirnya good governance oleh fadillah putra

89
SG S ound Governance (SG) adalah konsep yang sama sekali baru di Indonesia. Konsep ini menyeruak hadir di tengah kegandrungan dunia yang teramat sangat dengan Good Governance (GG) yang seolah telah menjadi kebenaran absolut dalam wacana demokrasi dan administrasi publik. Buku ini dengan nekad hadir ke tengah kemapanan keyakinan masyarakat akan sistem nilai yang disebut GG. Mungkin saja konsep baru ini akan diabaikan begitu saja, ditentang habis karena dianggap telah melanggar pakem, atau mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan. Tetapi semoga tidak untuk meng- gantikan posisi dogmatis GG. Sejak lebih dari dua dekade terakhir perkembangan ilmu administrasi publik telah sampai pada konsep GG. Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisa melewati batas-batas perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapan dengan semesta perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup. Sedangkan batas sektoral adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan, transportasi, bisnis perusahaan, kelautan, maupun pengendalian polusi. GG telah menjelma seperti hantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi para sarjana dan pelaku dalam ilmu sosial. Tidak sedikit pihak yang telah mencoba untuk melakukan kritik ter- hadap GG dari berbagai sudut pandang dan posisi ideologis. Akan tetapi baru satu yang membuktikan bahwa dirinya BAB I PENDAHULUAN 1 Pendahuluan

Upload: mauliza-septiawan

Post on 10-Dec-2015

180 views

Category:

Documents


26 download

DESCRIPTION

berbagi

TRANSCRIPT

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Sound Governance (SG) adalah konsep yang samasekali baru di Indonesia. Konsep ini menyeruak hadirdi tengah kegandrungan dunia yang teramat sangat

dengan Good Governance (GG) yang seolah telah menjadikebenaran absolut dalam wacana demokrasi danadministrasi publik. Buku ini dengan nekad hadir ke tengahkemapanan keyakinan masyarakat akan sistem nilai yangdisebut GG. Mungkin saja konsep baru ini akan diabaikanbegitu saja, ditentang habis karena dianggap telahmelanggar pakem, atau mendapat dukungan luas dariberbagai kalangan. Tetapi semoga tidak untuk meng-gantikan posisi dogmatis GG.

Sejak lebih dari dua dekade terakhir perkembanganilmu administrasi publik telah sampai pada konsep GG.Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisamelewati batas-batas perbicangan dimensional dansektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapandengan semesta perbicangan ekonomi, politik, sosial,bahkan lingkungan hidup. Sedangkan batas sektoraladalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian,kemiskinan, transportasi, bisnis perusahaan, kelautan,maupun pengendalian polusi. GG telah menjelma sepertihantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusipara sarjana dan pelaku dalam ilmu sosial. Tidak sedikitpihak yang telah mencoba untuk melakukan kritik ter-hadap GG dari berbagai sudut pandang dan posisi ideologis.Akan tetapi baru satu yang membuktikan bahwa dirinya

BAB I

PENDAHULUAN

1

Pendahuluan

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

tidak hanya mendekonstruksi, tetapi juga merekonstruksi.Memberikan solusi konkret ketika menyarankan untukmeninggalkan proyek-proyek Good Governance beralihmenuju Sound Governance.

Berakhirnya era Good GovernanceTak dipungkiri kehadiran GG cukup revolusioner dalam

kancah ilmu sosial. GG juga telah melakukan revisi totalatas term Administrasi Publik atau Pemerintahan yangselama ini telah terlanjur institusionalistik. Governancesudah bukan lagi secara eksklusif menjadi menu yangdisuguhkan pada negara dan sub-sub organisasinya (publicsectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinyaberbagai elemen (dipersempit dalam tiga aktor kunci, yaitunegara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelolasektor-sektor yang menjadi hak publik atau publicpatrimony. GG kemudian bagai kanker ganas menyebarke segala arah. Tidak hanya berkutat pada ilmu adminis-trasi publik, tapi merambah pada berbagai kajian lain se-perti pemberdayaan masyarakat, lingkungan hidup,ekonomi, politik, hukum, dan sosiologi terapan. Produk yangpaling fenomenal dari GG adalah ketika dirinya berhasilmenemukan missing link antara kerja refomasi pemerintahdengan penanggulangan kemiskinan. Argumentasinyaadalah dengan GG maka distribusi anggaran pemerintahdan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makinterbuka lebar (Renzio, 1997).

Kenyataannya memang tidaklah jauh dari harapan.Inovasi-inovasi seperti pilkada langsung, musrenbang,penjaringan aspirasi masyarakat, adalah merupakan hasil(output) dari penerapan GG. Dampak (outcome) yangdiharapkan adalah makin eratnya interaksi antara rakyatdengan negara, utamanya dalam hal distribusi anggaran.Bukti-bukti ini juga dapat kita lihat di belahan dunia lain.Brazil telah sangat terkenal dengan program OrçamentoParticipativo-nya (Partisipasi Anggaran) di Porto Alegre.

Program PARPA di Mozambique yang telah berhasilmeningkatkan alokasi pendidikan dan infrastruktur rakyat20% dalam kurun waktu empat tahun (Samuels, 2008).

Hanya saja prestasi gemilang dari GG tersebut menuaikritik tajam yang berangkat dari identitasnya itu sendiri.Kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik danseragam. Proses penyeragaman atas sesuatu yang disebut“good” itu juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. AliFarazmand (2004) secara tegas menyebutnya sebagaibagian dari praktek penyesuaian struktural (structuraladjustment programs/SAPs). Sebab kenyataannya diberbagai belahan dunia GG adalah program yangdiintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional,seperti WB, IMF, ADB, UNDP, EU dan semacamnya. Indi-kator akan sesuatu yang disebut “good” itu juga dibawajauh dari Amerika Serikat atau Eropa untuk kemudiandipakai dalam mengukur berbagai praktek di negara-negara berkembang, baik di Asia, Afrika maupun AmerikaSelatan/Karibia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untukmendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka. Term‘good’ dalam GG adalah westernized dan diabsolutkansedemikian rupa sehingga terkadang mendekati ‘god’.

Kritik berikutnya terhadap GG adalah kegagalannyadalam memasukkan arus globalisasi dalam piguraanalisisnya. Dalam GG seolah-olah kehidupan hanya ber-kutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu,pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negaratertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataanbahwa aktor yang sangat besar dan berkuasa di atas ketigaelemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktortersebut adalah dunia internasional. WTO, perusahaanmulti nasional, UN, dan lembaga-lembaga donor secaranyata telah hadir dalam setiap relung kehidupan bernegaradan bermasyarakat di negara-negara berkembang,termasuk Indonesia. Kita telah sama-sama menyaksikanbagaimana kehadiran aktor-aktor ini sampai ke pelosok

2 3

Pendahuluan

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

desa-desa. Program-program World Bank misalnya, telahmerasuki alam pikir dan nilai-nilai masyarakat hingga ditingkatan desa, bahkan komunitas yang lebih kecil.

Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta danmasyarakat secara domestik dengan mengabaikan peranaktor internasional adalah pengingkaran atas realitasglobal. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknyavariabel, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalahkearifan lokal sebagai akibat hegemoni terma ‘good’ alaBarat dan dampak dari kekuatan kooptasi internasional.Ruang kosong inilah yang coba diisi oleh sebuah paradigmabaru yang di sebut Sound Governance.

Kritik-kritik di atas sama sekali tidak menunjukkanadanya perbedaan ideologi diantara yang mengkritik danyang dikritik. Belum lagi kalau kita hendak mengambilposisi sejenak ke dalam ideologi sosialisme atau berbagaivarian neo-Marxist. Tentu kita akan menemukan daftarpanjang kritik atas GG sebagai alat bagi artikulasikepentingan kapitalisme dunia. Prinsip-prinsip dari satupiranti kapitalisme lanjut yang disebut neo-liberalismeakan sangat mudah ditemukan dalam GG. Pemerintahanyang berorietasi pasar dan sangat akomodatif dengan ke-kuatan sektor swasta adalah bukti yang paling utama ataskritik tersebut. Dalam buku ini juga akan diulas sangatlengkap tentang kritik terhadap GG yang bersandar padanuansa ideologi neo-Marxist ini.

Di Indonesia, penerapan konsep Good Governance (GG)yang disponsori oleh lembaga donor internasional telahberlangsung lama. Di tengah kekuarangan di sana-sini,harus diakui bahwa transparansi, partispasi masyarakat,akuntablitas dan penegakan hukum di lingkup pemerin-tahan telah membaik dibandingkan sepuluh tahun terakhir.GG juga berhasil melewati garis demarkasi ideologi kananversus kiri. Anggapan bahwa GG adalah alat lembaga neo-liberal untuk melancarkan pembangunan kapitalisme

dunia (Wilson, 2000) telah terpatahkan dengan dicetuskan-nya “Deklarasi Dakar” dalam pertemuan SocialistInternational di Dakar pada Juli 2004 yang juga men-cantumkan GG sebagai agenda besar mereka.

Singkat kata, GG telah menjadi plattform global tentangkemana arah pembangunan dunia harus dicapai. Sebabdengan inklusivitas antara negara, masyarakat sipil danbisnis, GG telah dianggap mampu menerobos pertentanganantara paradigma pertumbuhan versus pemerataan.

Dengan makin inklusifnya hubungan antara pemerintahdengan yang diperintah maka oligopoli dan korupsi akanmenurun dan kesejahteraan rakyat akan meningkat(Putra, 1999). Transparansi Internasional mengatakanbahwa korupsi adalah sebab utama kemiskinan. Buktinya,secara kuantatif kita bisa bandingkan. Indonesia denganIndeks korupsi 2,4 yang memiliki GDP nominal per kapita$1.812 dengan Malaysia yang Indeks korupsinya 5.0memiliki GDP nominal per kapita $6.648. Sehingga, dalamperspektif ekonomi, GG adalah lem yang merekatkan an-tara kekuatan negara dan bisnis dengan rakyat.

Secara konseptual, seharusnya “keberhasilan” penerap-an GG di berbagai dunia itu juga dibarengi dengan“keberdampakannya” atas kuatnya fundamen ekonomirakyat.

Perlunya Arah BaruKenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat

dengan GG tidaklah seindah teori. Makin merekatnyahubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidakserta merta menguatkan fundamen ekonomi rakyat. Pukul-an krisis pangan adalah bukti konkret yang sekarang adadi depan mata.

Bila GG telah berhasil mengurangi kesenjangan ditingkat domestik, lantas bagaimana dengan kesenjanganinternasional? Bila GG telah berhasil mengadilkan distri-busi kekuasaan dan dana di tingkat lokal, apakah hal yang

4 5

Pendahuluan

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

sama juga telah terjadi di tingkatan global? Bila orangmiskin di negara berkembang telah memiliki media untukbernegosiasi dengan orang kaya, apakah negara-negaramiskin telah memiliki media yang sama di arus global?Berbagai prinsip ideal GG apakah juga sudah diimplemen-tasikan dalam tataran internasional?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebutlah yangmengilhami Ali Farazmand (2004) untuk menggagaskonsep Sound Governance (SG) sekaligus membuka arahbaru bagi pembangunan global ke depan. Setelah GGberhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskindi tingkat nasional, maka fase berikutnya adalahmenginklusifkan hubungan negara kaya dengan negaramiskin melalui agenda SG.

Sound GovernanceSepuluh tahun lalu di depan Konferensi PBB, Presiden

Tanzania Julius K. Nyerere, dengan lantang telahmengkritik habis-habisan GG yang dikatakanya sebagaikonsep imperialis dan kolonialis. Sebab GG akan men-gerdilkan struktur negara-negara berkembang, sementarakekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas daribenar salahnya kritik Sang Presiden, tapi gugatannyaterhadap pengaruh struktur global terhadap reformasipemerintahan inilah yang mengilhami Farazmand untuktidak hanya terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasardan civil society) tetapi juga kekuatan internasional.

Hal ini didukung oleh fakta kesenjangan global yangkian melebar. Data dari UNDP tentang perbandingan GDPper kapita konstan negara kaya, menengah dan miskinsejak tahun 1960 sampai 2002 menunjukkan fakta yangsangat menarik. Gap antara negara miskin yang ditinggalisekitar 2,5 milyar jiwa dengan negara menengah (2,7milyar jiwa) relatif stagnan yaitu berkisar $1.500. Secaramengejutkan, gap antara negara kaya (kurang dari 1milyar jiwa) dengan negara menengah di era 1960 berkisar

$7.000 dan terus naik secara fantastis hingga tahun 2002menjadi $25.000 lebih. Kita bisa melihat hasil pembangun-an internasional mulai dari Growth Theory sampai terakhirGG hanya menghasilkan kerapuhan fundamen ekonomidunia dan kesenjangan global yang semakin akut.

Kosep Sound Governance sangat perhatian padapersoalan ini. Sebab diperbaiki sedemokratis dan secanggihapapun pemerintahan lokal, bila struktur global tetap tidakadil maka kesejahteraan rakyat akan sulit tercapai.

Formula dasar Sound Governance adalah 4 aktor dan 5komponen. Empat aktor sudah kita ketahui yaitu mem-bangun inklusifitas relasi politik antara negara, civil society,bisnis dan kekuatan internasional. Kekuatan internasionaldi sini mencakup korporasi global, organisasi danperjanjian internasional. Sedangkan 5 komponen adalahmencakup reformasi struktur, proses, nilai, kebijakan danmanajemen. Kita menyadari bahwa dalam sebuah prosestransformasi kelima hal tersebut merupakan bagianintegral. Ekslusivitas yang terjadi selama ini adalahmasing-masing organisasi/elemen menjalankan kelimakomponen itu secara sendiri-sendiri. LSM memiliki nilaidan kebijakannya sendiri yang diejawantahkan dalamstruktur dan manajemen organisasinya. Dimana prosestersebut sulit untuk dikompromikan dengan negara, swastaapalagi aktor-aktor global dan demikian pula sebaliknya.Dalam hal ini, Sound Governance juga menggagas sebuahkonstruksi ideal bagi hubungan antara 4 aktor yang ada.

Term “Sound” menggantikan “Good” adalah jugadalam rangka penghormatan terhadap kenyataan ke-ragaman (diversity). Sebab ketika istilah “Good” yangdipakai maka di dalamnya akan terjadi pemaksaanstandar nilai. Penulis menyaksikan berbagai proyek dariWorld Bank, ADB dan UNDP tentang GG juga telahmemiliki alat ukur matematis tentang indikator “Good”.Sedangkan dalam konsep “Sound”, term ini bisa diartikanlayak, pantas atau ideal dalam konteksnya. Dalam pepatah

6 7

Pendahuluan

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Jawa disebut empan papan. Sehingga SG pada prinsipnyajuga memberikan ruang bagi tradisi atau inovasi lokaltentang bagaimana negara dan pemerintahan harusditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal.Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat danpenghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan. Akhir-nya, SG sesungguhnya percaya bahwa reformasi tatapemerintahan dan pembangunan adalah kerja budayabukannya teknis, matematis apalagi dogmatis.

Deskripsi di atas adalah sekelumit dari apa yang hendakdisampaikan dalam buku ini untuk mengupas habis konsepSG. Secara umum buku ini akan dibagi dalam tujuh bab.Bab pertama adalah pendahuluan yang mengantarkanpemahaman umum tentang isi buku dan sekelumit gagasaninti dari SG. Bab dua dan bab tiga pada dasarnyamembicarakan soal yang sama yakni konsep dasar GGserta kritik terhadapnya. Hanya saja pada bab dua lebihmenekankan aspek tata ekonomi politik neo-kolonialistikdunia yang melingkupi GG. Sedangkan dalam bab tigalebih pada kenyataan gelombang pasang neo-liberalismeyang didorong oleh GG sebagai sebuah konsep yang seolahilmiah. Bab empat langsung akan membahas konsep dariSG itu sendiri mulai dari pengertian, konsep dasar, hinggaaspek detail dan teknis darinya. Bab lima dan enam adalahberisi tentang dua fokus utama dari SG yaitu pentingnyamemasukkan realitas globalisasi dalam reformasiadministrasi publik dan demokratisasi serta kewajibanadanya penghormatan terhadap budaya lokal dalam sistempemerintahan. Bab tujuh adalah penutup yang berisitentang tantangan dan peluang penerapan SG di masamendatang.

Sebagai sebuah konsep baru, sudah barang tentu SGakan terus berkembang dan mendewasakan dirinyabersamaan dengan dukungan kritik terhadap dirinya.Kekuatan sebuah konsep justru terletak pada kemampuan-nya untuk survive di tengah pujian dan kritik. Pujian yang

bisa-bisa melambungkan dirinya ke angkasa sehingga jauhmeninggalkan bumi serta kritikan yang dapat mem-benamkannya dalam lembah ketakpercayaan diri. Yangpaling menakutkan adalah ketidakpedulian. Untuk itusegala bentuk apresiasi tentu akan sangat penulis hormatidemi makin majunya peradaban manusia tentang bagai-mana mereka seharusnya mengelola hidup dan dunia.

8 9

Pendahuluan

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

BAB II

GOOD GOVERNANCE DALAMBINGKAI NEOKOLONIALISME

Pendaratan kapal-kapal Columbus di benua Amerikapada abad XV sangat menentukan sejarah dunia saatini. Sejak saat itulah kolonialisme dimulai sekaligus

memberi jalan yang sangat lapang bagi masuknya euro-centrism dalam berbagai aspek kehidupan saat ini. Stan-dard kesejahteraan dan keabsahan argumen ilmiah duniasaat ini telah bersandar secara kuat dengan tradisi danindikator-indkator dari barat. Studi-studi tentang tricon-tinental (Asia, Afrika dan Amerika Latin) telah sejak lamaberkembang marak di perguruan-perguruan tinggi baikEropa Barat maupun Amerika Utara. Semuanya lebih di-motivasi oleh kepentingan untuk melanggengkan dominasiketimbang advokasi terhadap kemajuan negara ber-kembang di tiga benua itu sendiri. Mitos tentang EuropeanMiracle pun diciptakan melengkapi keseragaman mimpiyang menjadi idaman seluruh peradaban di dunia (Blaut,1993).

Tak mengherankan bila kemudian banyak yang men-curigai bahwa wacana pluralisme adalah sekedar alatuntuk melenakan masyarakat dunia atas fakta ketidak-adilan. Hubungan antar peradaban tidaklah seadil danseharmonis yang dicita-citakan kaum pluralis dengan katakunci kebersamaan (coexistence). Perbedaan peradabanyang ada bukanlah sekedar berbeda bentuk, tapi juga ber-beda ukuran kekuasaan (power). Peradaban satu lebih kuatdari lainnya. Maka polisentrisme, sebuah wacana -yanglebih melihat berbagai perbedaan dari segi hubungan

kuasa-, jauh lebih realistis ketimbang mimpi-mimpi indahkaum pluralis tentang unity in diversity (Shohat dan Stam,1994). Melihat realitas dunia saat ini dalam kacamatapolisentrisme adalah dengan memposisikan hubunganbarat versus timur dan utara versus selatan dalam posisieksploitatif, dominatif dan hegemonik. Perbedaan antarbudaya bukanlah sekedar berbeda bentuk, melainkan jugaberbeda power.

Dalam posisi inilah kita tidak melihat perbedaan signifi-kan antara kolonialisme dan neo-kolonialisme. Secaraformal memang tidak ada lagi satu negara yang menjajahnegara lain. Secara substansial pola hubungan penjajahdan terjajah tetaplah ada dan terjadi dimana-mana. ParthaChatterjee, dalam konteks budaya, menjelaskan bagaimanakeberadaan sebuah standar baku (modular form) me-lakukan kontrol atas semua ekspresi budaya sub-ordinatdi berbagai tempat sebagai konsep dasar dari neo-kolonialisme. J.M. Blaut menyebutnya dengan standarprogress yang harus diacu semua peradaban bila ingindisebut maju dan beradab (civilize). Hal ini secara tak lang-sung sesungguhnya merupakan proses peniruan ini jugadilanggengkan oleh elit-elit lokal sendiri melalui proses yangdisebut Homi K. Bhaha (1990) sebagai mimicry.

Dalam konteks ilmu pemerintahan akhir-akhir ini jelassekali terlihat praktek mimicry ini melalui para birokratdan intelektual yang selalu berbusa-busa mengobarkankeluhuran konsep Good Governance. Seorang birokratbelum kelihatan berkualitas dan seorang ilmuan belumkelihatan berkelas ketika mereka belum meniru bahasadan cara berpikir barat. Mereka belum terlihat percayadiri bila dalam pidato dan ceramah-ceramahnya belummenyebut kata “good governance” sebagaimana orang-orang dari Bank Dunia, PBB maupun profesor-profesor dariAmerika dan Eropa melakukannya. Inilah proses mimicry.

Di samping penjelasan psiko-kultural di atas, neo-kolonialisme juga bisa dijelaskan dalam konteks sejarah

10 11

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

ekonomi politik internasional. Dalam hal ini, memahamineo-kolonialisme, utamanya yang dikendalikan olehlembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia dan IMF, kitaperlu terlebih dahulu mengkaji tentang Perjanjian BrettonWoods. Perjanjian yang ditandatangani oleh negara-negara yang terlibat pada PD II ini dibuat sebagai jalankeluar atas krisis ekonomi yang terjadi di dunia pascaperang. Isi dari perjanjian ini adalah kewajiban bagi setiapnegara untuk bersama-sama menjaga rata-rata nilai tukarmata uang dunia pada nilai yang baku, yaitu berkisar satupersen dengan mengacu pada nilai emas dan kemampuanIMF dalam menjembatani ketidakseimbangan pembayaran(Wiggin, 2006). Sistem ini sempat collaps di tahun 1971akibat penundaan Amerika Serikat dalam hal mengubahstandar moneter dari dolar ke emas. Sistem ini bersandarpada prinsip kapitalisme dan memaksa semua negarauntuk mengikutinya meskipun kepercayaan sistem ekonomimereka berbeda. Prancis contohnya, awalnya negara inilebih percaya pada pentingnya intervensi dan proteksiekonomi oleh negara. Tetapi karena ia menandatanganiperjanjian ini, mau tidak mau Prancis harus mengubahkebijakan dasar perekonomiannya tersebut (Cohen dalamJones, 2002).

Kontrol negara-negara Eropa Barat dan AmerikaSerikat sangatlah kuat dalam lembaga-lembaga donor dankeuangan internasional ini. Memang secara teknis merekamerupakan bagian dari PBB yang idealnya menjadi organi-sasi yang netral. Tapi ketika kita melihat lebih jauh padatata organisasinya, terlebih Bank Dunia dan IMF, terlihatsekali bahwa kendali penuh ada di tangan Amerika Serikat.Grup Bank Dunia misalnya, secara tegas dikatakan bahwakepemilikannya adalah berdasarkan proporsi jumlahsaham dari negara-negara anggota. Sehingga persisseperti dewan komisaris dalam sebuah perusahaan padaumumnya. Lebih lucu lagi dalam hal pemungutan suara(voting) tidaklah dilakukan one country one vote, melainkan

dimungkinkan adanya suara tambahan yang tergantungpada kontribusi finansial negara yang bersangkutan padaorganisasi tersebut. Hingga data terakhir tahun 2006 ter-catat bahwa Amerika Serikat memegang saham terbesarsebanyak 16,4%, Jepang 7,9%, Jerman 4,5% sementaraPrancis dan Inggris 4,3%. Pemilihan pimpinan lembagaini adalah dengan pengajuan nominasi dari pemerintahAmerika Serikat yang kemudian akan mendapatkan per-setujuan dari dewan gubernur (Lobe, 2003).

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa lembaga-lembagainternasional yang ada, baik itu PBB maupun Bank Duniaadalah alat bagi kekuatan neo-kolonialisme dalam men-gendalikan dunia. Lembaga-lembaga agen neo-kolonialis-me ini juga dengan leluasa melancarkan aksi-aksi hegemonidan kooptasi global selama enam puluh tahun terakhirdengan topik yang berganti-ganti. Setelah memperolehsukses besar di era 1950-an dalam melakukan rekonstruksiekonomi di Eropa melalui Marshall Plan yang diarsitekioleh WW. Rostow dengan program developmentalisme-nya,lembaga-lembaga internasional ini mulai melancarkankooptasinya ke negara-negara berkembang, termasuk Indo-nesia. Hingga akhir dekade 1990-an kata pembangunan-isme telah menjadi kata sakti yang didengungkan keseluruh dunia, persis seperti kata Good Governance saatini.

Alih-alih meraup sukses seperti yang terjadi di Eropa,proyek raksasa ini dengan didukung oleh konsep sosiologistruktural fungsional, Talcott Parson, malah menciptakandiktator-diktator pragmatis di berbagai negara ber-kembang. Pemerintahan diktator dan sentralistik yang adadi banyak negara berkembang sesungguhnya jugamerupakan produk dari lembaga-lembaga neo-kolonial ini.Lalu dengan tampang tak bersalah, saat ini mereka datangmenawar-nawarkan konsep yang seolah demokratis, GoodGovernance.

12 13

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Buku kecil ini mungkin tak akan cukup untuk memuatseluruh daftar panjang kritik-kritik atas lembaga-lembagainternasional agen neo-kolonilaisme ini. Joseph Stiglitzsendiri, sebagai mantan kepala ekonomi Bank Dunia, jugamelontarkan kritik yang sangat pedas. Ia mengatakanbahwa kebijakan reformasi pasar bebas dari lembaga-lembaga keuangan global telah turut berkontribusi dalammerusak tatanan ekonomi negara berkembang. Caufield(1996) juga mengatakan bahwa kemunduran ekonominegara-negara selatan saat ini disebabkan oleh asumsi-asumis yang ada di lembaga-lembaga keuangan ini.Ideologi yang disebutnya sebagai “western recipes” telahmenyingkirkan konsep-konsep ekonomi tradisional yangkemungkinan jauh lebih tepat untuk dipakai negara-negaratertentu. Asumsi yang paling parah menurut Caufieldadalah anggapan bahwa negara-negara berkembang takakan pernah maju tanpa bantuan dari luar. Inilah praktekyang mengabadikan neo-kolonialisme hingga saat ini.

Dalam hal ini kritik dari Arif Dirlik (Mongia, 1996)sangatlah tajam, yaitu:

“The transnationalization of production is the sourceat once of unprecedented global unity andunprecedented fragmentation in history of capitalism.The homogenization of the globe economically, sociallyand culturally is such that Marx’s prediction finallyseems to be on the point of vindication”.

(transnasionalisasi produksi adalah sumber dariterjadinya penyatuan global dan fragmentasi darisejarah kapitalisme. Hogomenisasi dunia baik secaraekonomi, sosial maupun budaya yang terjadi melaluihal itu adalah pembenaran dari prediksi Marx).

Argumen tersebut didukung oleh kenyataan akanbanyaknya intelektual-intelektual di negara berkembangyang ikut-ikutan mendukung asumsi-asumsi global ter-sebut. Mereka sibuk menyalahkan faktor internal negara-

nya sebagai sumber masalah keterpurukan ekonomimereka. Dan mengagung-agungkan pentingnya intervensidari luar (lembaga-lembaga donor internasional) sebagaisatu-satunya solusi.

Kritik-kritik beraliran kiri tersebut di atas adalah validbaik secara faktual maupun ilmiah. Kendati dalam alurparadigma lain, yakni poskolonial, ditemukan cara kritikyang agak berbeda. Dalam tradisi analisis poskolonialkeadaan tidak dilihat dalam posisi hitam-putih sebagai-mana kalangan Marxist melihatnya. Yaitu hubungan antarayang menghegemoni dan yang dihegemoni, yangmengeksploitasi dan dieksploitasi, yang menjajah dan yangdijajah. Hubungan antara [neo] kolonialis dan negara-negara terkoloni sangat kompleks. Dalam studi poskolonial,kedua belah pihak sama-sama terpengaruh oleh prosestransformasi di antara keduanya. Dalam fase inilah konsephybridity berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Meskipundemikian kita tetap bisa melihat bahwa derajat pengaruhmasing-masng pihak berbeda. Mungkin benar bahwanegara-negara kolonialis ter-pengaruh, akan tetapi tentutidak sedahsyat apa yang terjadi pada negara terkoloni(Putra, 2008).

Dalam konteks indoktrinasi GG misalnya, memang benarbahwa praktek-praktek implementasi GG di negara-negaraberkembang berpengaruh terhadap pemahaman dankebijakan GG di negara-negara maju. Akan tetapi dampakdestruktif atas proses tasformasi itu lebih dirasakan olehnegara berkembang ketimbang negara maju.

Sejak awal tahun 1990-an, organisasi-organisasi inter-nasional besar, yang pertama dan terutama diantaranyaialah International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia,memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada negara-negara anggotanya untuk menerapkan “good governance”.Namun, definisi-definisi dari istilah ini, dan sejalan denganhal itu, substansi dari istilah tersebut, sangat beragam darisatu institusi ke institusi lain. Hal ini kemudian meng-

14 15

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

halangi perumusan definisi legal yang tepat mengenaiistilah tersebut terutama karena istilah governance bisabersifat global dan corporate (Herrera, 2004).

Di Indonesia, istilah Good Governance dianggap pen-jelasan dan sekaligus solusi paling canggih dari segenappenyakit-penyakit buruk birokrasi pemerintahan yang takefisien dan tak demokratis. Tiba-tiba saja, ada begitubanyak pakar di dunia intelektual Indonesia yang jagoandalam membincang good governance. Tiba-tiba saja, goodgovernance menjadi “agama baru” bagi kaum intelektualdan birokrat jika tak ingin disebut sebagai pendukungproses pemerintahan yang buruk (atau mereka sebutsebagai bad governance). Bukankah jelas, bahwa merekayang tak mendukung “yang-baik” (good) secara otomatisadalah pendukung “yang-buruk” (bad). Bukankah lawangood itu adalah bad?

Apa yang dilupakan oleh kaum intelektual kita yangterobsesi dengan konsep tersebut ialah bahwa goodgovernance itu adalah sebutan bagi sebuah agregatpraktek-praktek pemerintahan dan kebijakan publiksebagaimana yang dikehendaki oleh lembaga-lembagainternasional, terutama ialah IMF dan Bank Dunia. Jadi,good governance bukanlah suatu konsep linguistik murni,juga bukan suatu konsep filsafat politik murni. Meskiterdapat kata ‘good’ (yang secara harfiah berarti ‘baik’),namun kata tersebut sama sekali bukan lahir dari kontem-plasi filosofis para filosof dunia. Ia dilahirkan dari badan-badan ekonomi internasional yang jelas punya agendatertentu untuk membangun tata kehidupan bangsa-bangsaseluruh dunia. Sikap naif kaum intelektual di negeri kitayang menganggap bahwa kata ‘good’ (baik) dalam konsepGood Governance merupakan sesuatu yang netral ataubahkan bebas dari niat buruk merupakan sesuatu yangamat disayangkan. Mengapa? Karena dengan demikian,mereka melepaskan diri dari tanggung jawab keintelek-tualan mereka untuk senantiasa kritis dan reflektif

terhadap berbagai gagasan yang sekiranya turut ber-pengaruh pada pencapaian tujuan berbangsa danbernegara. Penerimaan secara mentah-mentah atas konseptersebut malah menunjukkan betapa kaum intelektual kitamenjadi apa yang dulu pernah disebut sebagai ‘Pak Turut’,orang yang hanya bisa mengekor suatu gagasan tanpapernah sadar akan mau dibawa ke arah mana dan untuktujuan apa gagasan itu dia emban. Konsekuensi-konsekuensi jangka pendek, jangka menengah maupunjangka panjang dari penerapan gagasan tersebut takpernah dipikirkan karena dianggap bahwa dalamkonsepnya terkandung kata ‘good’ (baik). Seakan dengansendirinya akan menimbulkan konsekuansi yang selalu baikpula. Suatu logika pemikiran yang simplistik dan naif!

Sesungguhnya, konsep ‘good governance’ itu sesuatuyang masih kabur substansinya. Bagaimana sesuatu yangremang-remang bisa disebut sebagai suatu kebaikan? RémyHerrera pernah mengungkapkan betapa kaburnyasubstansi dari konsep tersebut di antara berbagai institusiekonomi dunia. Kode Good Governance IMF memilikikemampuan untuk diterapkan di negara-negara yang men-dapatkan bantuan teknis darinya dan yang berhubungandengan perang anti-korupsi yang dijalankannya. Kode inibertujuan untuk menciptakan keputusan atau kebijakanekonomi yang lebih transparan dalam menciptakanketersediaan informasi yang maksimum akan keuanganpublik, untuk menstandarisasi prosedur-prosedur audit, danyang lebih mutakhir adalah untuk “memerangi pembiayaanterorisme”. Sementara menurut Bank Dunia, governancedari “negara-negara klien” haruslah bisa “mengatasidisfungsi sektor publik (yang merupakan ‘gejala umum’)dengan jalan membantu negara-negara tersebut untukmengadopsi reformasi-reformasi” yang dirancang untukmeningkatkan mekanisme-mekanisme alokasi sumberdaya publik. Selain itu juga untuk membantu “pembangun-an institusional negara, proses-proses perumusan,

16 17

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

pemilihan dan pengimplementasian kebijakan-kebijakan,dan relasi-relasi antara warga negara dan pemerintahmereka”. Jika UNDP mengkaitkan good governancedengan pembangunan sumber daya manusia yangberkelanjutan, Bank Pembangunan Asia menekankan padapartisipasi sektor privat. Sementara itu, Inter-AmericanDevelopment Bank menekankan pada penguatan civilsociety dan OECD lebih menekankan pada akuntabilitas,transparansi, efisiensi dan efektivitas, economic forecastingdan supremasi hukum. Di sisi lain, EBRD menekankan padahak-hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi dsb.

Ketika konsep good governance begitu kabur, maka apayang terjadi kemudian ialah konsep tersebut menjadi cekkosong yang isinya bisa ditentukan oleh siapapun.Kelihatannya hal ini menarik karena ada demokratisasipenentuan isi konsep tersebut. Namun sesungguhnya tidak.Pada akhirnya, kekuasaan institusi-institusi keuanganinternasional-lah yang menjadi penentu paling efektif bagiisi macam apa yang akan diadopsi oleh pemerintah-pemerintah di seluruh dunia, yang tentu saja akan ber-dampak pada nasib warga-warga dari negara-bangsa diseluruh dunia. Justru karena kekaburan itulah, makasetiap institusi keuangan internasional lantas bisa me-nunjukkan kekuasaannya masing-masing terhadap negara-negara anggota yang membutuhkan bantuan darinyadengan menetapkan isi konsep yang harus diimplementasi-kan oleh negara-negara anggota tersebut.

Bagi rezim politik dimana pun, baik di level lokalmaupun nasional, istilah ‘good governance’ memiliki dayatarik yang luar biasa. Di satu sisi, dengan memakai konseptersebut, rezim politik yang ada akan terhindar dari citrasebagai rezim yang buruk, apapun yang dilakukannya. Disisi lain, dengan konsep tersebut pula, rezim politik yangada bisa mendapatkan dukungan dari institusi-institusikeuangan internasional untuk membiayai proses pe-merintahannya. Dengan kata lain, konsep Good Governance

menjadi alat pencitraan yang sungguh simpel dan efektifbagi rezim-rezim politik yang berkuasa untuk menegaskan“kebaikannya”. Apalagi jika terus-menerus dikumandang-kan bahwa Good Governance akan menjanjikanterwujudnya penghapusan kemiskinan, terwujudnyapemerintahan yang bersih dan efisien, terwujudnya par-tisipasi rakyat dan sebagainya dan sebagainya. Jelas janji-janji tersebut sungguh menarik dan menyenangkan untukdidengar. Tapi, tidak mungkinkah janji-janji itu tak lebihsuatu bualan kosong seperti layaknya janji-janjikemakmuran dan “tahap lepas landas” yang ditawarkanoleh gagasan developmentalisme pada tahun 1970-an?

Janji yang dilekatkan dengan konsep Good Governance,seperti apa yang ditegaskan oleh direktur-direkturEksekutif IMF, bahwa ke depan tantangan kuncinya adalahmemacu pertumbuhan ekonomi untuk membantu men-gentaskan kemiskinan dan menurunkan tingkat pen-gangguran. Untuk tujuan ini, mereka memuji pihakpemerintah Indonesia karena telah mengadopsi agendareformasi struktural yang mengesankan. Namun pujian inidiiringi dengan sambil menekankan bahwa penerapansecara sungguh-sungguh agenda tersebut akan menjadikunci untuk meningkatkan kepercayaan investor dan me-majukan pertumbuhan sektor swasta (IMF, 2006)

Mengentaskan kemiskinan dan menurunkan tingkatpengangguran, siapa yang tidak tertarik? Bagaimanacaranya? IMF memberi resep, “lakukan reformasistruktural”. Reformasi struktural yang macam apa?Reformasi struktural yang bisa meningkatkan kepercayaaninvestor dan memajukan pertumbuhan sektor swasta. Jadi,agar problem kemiskinan dan pengangguran teratasi,pemerintah harus melakukan reformasi struktural yangakan melayani rasa kepercayaan investor dan pertumbuhansektor swasta. Karena sektor swasta ini pada intinyadijalankan oleh para investor, maka sesungguhnya yangdilayani hanya satu, yaitu para investor. Asumsinya:

18 19

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

investor datang, rakyat senang. Janjinya, investor datangmaka lapangan kerja berkembang, rakyat punya pekerjaandan berkuranglah angka kemiskinan.

Apakah yang dimaksud dengan ‘reformasi struktural’itu? Barangkali penjelasan yang cukup sederhana dari artiistilah tersebut diberikan oleh David Jay Green, ADBIndonesia Resident Mission, berikut ini:Ladies and Gentlemen, I am pleased to open this seminar on regulatoryimprovements for development of a conducive businessenvironment and good governance. The idea of using regulation to improve economicperformance of the private sector in developing countrieshas a long history. In the United States, formal regulatoryinstitutions were started in the beginning of the 19thcentury. The market system is generally regarded as the properbasis for modern economies. But markets themselves canbe imperfect, incomplete or missing. In these circumstancesthere is often the need for governments and other institutionsto play a role in helping markets to function efficiently.(Nyonya-nyonya dan tuan-tuan, Saya sungguh senang bisa membuka seminar mengenaiperbaikan-perbaikan regulasi bagi pembangunan sebuahlingkungan bisnis dan good governance. Gagasan untuk menggunakan regulasi untukmeningkatkan kinerja ekonomi sektor swasta di negara-negara berkembang sesungguhnya telah memiliki sebuahsejarah panjang. Di Amerika Serikat, institusi-institusipengatur regulasi yang bersifat formal bahkan telah di-mulai pada awal abad ke-19 [huruf miring daripenterjemah].

Sistem pasar secara umum telah dianggap sebagai basisyang tepat bagi perekonomian modern. Namun, pasarsendiri bisa saja tak sempurna, tak lengkap atau lenyap.Dalam lingkungan-lingkungan yang demikian, seringkali

muncul kebutuhan agar pemerintah dan institusi-institusilain memainkan peran untuk membantu pasar agarberfungsi secara efisien.)

David Jay Green mengungkapkan hal tersebut sebagaikata sambutan saat membuka Workshop on ConduciveBusinesss Environment and Good Regulatory Governancedi Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta pada tanggal 3 Maret2003. Dan apakah kriteria dari regulasi yang baik itu? Adabanyak cara untuk meregulasi. Namun ada beberapapendekatan umum untuk mengevaluasi apakah regulasiitu baik atau buruk. Pertama, regulasi itu haruslah“efektif” yaitu harus menjadikan pasar dan kerjaperekonomian menjadi lebih baik. Kedua, regulasi itu haruskonsisten dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance,yaitu penyusunan regulasi harus dilakukan secaratransparan yang ini secara tersirat bisa terbaca arahnya.

Jadi, jika dipahami sebagai keseluruhan, ‘reformasistruktural’ itu haruslah menjadikan pasar berfungsi secaraefisien. Tentu saja, yang dimaksud disini bukanlah pasartradisional atau pasar Senin-Kemis di desa-desa. Pasaryang dimaksud ialah proses dimana aktor-aktor privatdalam ekonomi bisa mencapai tujuan-tujuan ekonomis yaituuntuk akumulasi laba dan kapital yang sebesar-besarnya.Subyek dari pasar ini yang dimaksud tentu bukanlah mbokpenjual sayur, mbok penjual tempe, mbah penjual jamu dansebagainya. Namun yang menjadi pelaku pasar adalahpara investor. Lebih spesifik lagi, investor multinasionalyang sibuk dengan bagaimana memperlancar pencapaiantujuan akumulasi laba dan kapitalnya sendiri. Mengapainvestor multinasional yang sibuk mengejar kepentingan-nya masing-masing ini harus dilayani? Sekali lagi logika“investor datang, rakyat senang” berlaku. Tapi, apakahinvestor asing itu selalu merupakan “Santa Klaus” yangbaik hati dan dermawan?

Tentu saja, investasi merupakan sesuatu yang vital bagipembangunan dan kemakmuran suatu bangsa. Namun

20 21

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

investasi seharusnya tidak selalu diidentikkan denganinvestor asing. Ketergantungan terhadap investor asingmerupakan hal yang sangat berbahaya bagi kemandiriandan kemerdekaan ekonomi-politik bangsa dan negara. Jikalengah, jalur-jalur dan cabang-cabang ekonominya akandikuasai dan dikontrol oleh investor-investor asing. Danketika hal ini terjadi maka denyut nadi kehidupan dan nasibrakyat bangsa tersebut sungguh berada di bawah kontrolinvestor-investor asing. Dalam kesempatan ini, yang ter-penting untuk diperhatikan ialah ketika Good Governancemendorong pemerintah untuk melakukan reformasiregulasi yang melayani kepentingan investor asing.Sehingga yang tercipta sesungguhnya ialah bangunanekonomi-politik yang rapuh karena harus bergantungkepada investor asing (Putra, 2005).

Keterpukauan kebanyakan kaum intelektual danbirokrat atas konsep Good Governance sesungguhnya me-rupakan suatu yang wajar jika kita mengingat bahwaselama ini kaum intelektual maupun kaum birokrat kitamemang kuat dengan tradisi text-book thinking-nya. Tradisiini membentuk kesadaran dogmatik terhadap berbagaigagasan atau ide yang tertuang dalam teks-teks yangmuncul di panggung internasional. Teks-teks dari luardianggap sebagai sesuatu yang sakral dan karena itu harusditerima sebagai suatu kebenaran mutlak. Elaborasi kritisbelumlah menjadi bagian dari dunia intelektualitas danbirokrasi di negeri ini. Arus deras ide dari luar bukannyadiposisikan sebagai suatu bahan yang masih harusditimbang-timbang apakah selaras dengan -dan jikaditerima, diolah lebih lanjut agar selaras dengan- tujuanbangsa dan negara sebagaimana tertuang dalamPembukaan UUD 1945. Namun ide-ide asing tersebut malahdiadopsi mentah-mentah menjadi paradigma fundamentaldalam mempertimbangkan dan menyusun kebijakan. Bisadikatakan, kebanyakan kaum intelektual dan birokrat dinegeri ini hanya menjadi operator dan teknisi atas ide-ide

asing untuk dijalankan di negeri ini. Ide-ide asing punmudah masuk ke dalam negeri ini secara lalu lalang karenakuatnya dogmatisme. Kerancuan antara berpikir ilmiahdengan text-book thinking menjadikan dogmatisme tetapmarak dan lestari dalam tradisi intelektualitas danbirokrasi di negeri ini. Dogmatisme berlangsung tanpa adaimbangan refleksi yang memadai. Karena kerancuanberpikir itu, maka pemikiran yang dihasilkan pun rancu.Tidak jelas ke arah mana negar-bangsa ini akan dibawa.Semuanya hanya sekedar ikut arus ide-ide asing yangsedang tren.

Sikap dogmatisme sendiri merupakan sikap yangmelupakan asal-usul maupun dampak historis dari suatugagasan atau ide. Sikap dogmatis lupa bahwa gagasanatau ide tidak muncul dalam atau dari suatu ruang yanghampa, namun senantiasa lahir dari ruang sosial tertentu.Yang ajaib dari sikap dogmatis ini ialah munculnya sikappuas dan bangga dengan kekaburan gagasan atau ide.Kekaburan atau “keabstrakan” gagasan atau ide justrudianggap sebagai bagian dari karakteristik kebenaran ataukecanggihan suatu gagasan. Gagasan atau ide yang benardan canggih itu ialah gagasan atau ide yang kabur, yangjauh dari sederhana. Demikianlah paradigma yang umumdianut di kebanyakan intelektual dan birokrat di negeriini. Tak sulit untuk menemukan bukti dari kekaburan ataukeabstrakan cara berpikir mereka. Kita bisa melihatnyadalam berbagai produk pemikiran yang ada entah ituberupa karya pemikiran, makalah diskusi, atau berupadraft rencana kebijakan. Di situ pasti akan kita temukanberbagai istilah dan konsep yang tak jelas betul apa yangdimaksud dan bagaimana pengejawantahannya secarapraktis.

Niels Mulder pernah mengamati problem ini. Hanya sajadalam hubungannya dengan dunia pendidikan denganmengatakan bahwa GG dipenuhi dengan skema-skemayang kabur dan kata-kata yang sukar. Tidak banyak dari

22 23

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

mereka, termasuk pengajar mereka, yang mempunyaigambaran apa artinya teori dan untuk apa teori tersebutdigunakan. Atau yang lebih mendalam, apa sesungguhnyamakna mendasar sebuah penelitian sosial dilakukan. Bagikebanyakan orang, penelitian hanya dianggap sebagaikerja pengumpulan data atau sesuatu yang harusdilakukan agar lulus dan lolos dalam sebuah tanggung-jawab normatif. Bila sudah sampai tingkat tertinggi ataumapan, orang tidak pernah merasa perlu melakukanpenelitian lagi.

Tuduhan akan produk skema-skema yang kabur dalampenerjemahan sebuah gagasan mungkin merupakanungkapan yang tepat untuk menggambarkan potretkebanyakan kaum intelektual dan birokrat di negeri ini.Wajar jika kemudian karena dipenuhi dengan skema-skema yang kabur itu maka tak jelas pula hendak dibawakemana organisasi besar yang disebut negara ini olehmereka. Ide atau gagasan dihargai karena kualitas ide ataugagasan itu sendiri, bukan karena dampaknya atas realitasrakyat secara luas. Para intelektual dan birokrat telahmenjadi terlalu sibuk berkutat di kantor-kantor danberhadapan dengan tumpukan kertas-kertas kerja, bukansibuk memperhatikan realitas nyata rakyat di desa-desa,di kota-kota, di jalan-jalan, di pasar-pasar tradisional dansebagainya.

Buku ini merupakan usaha penulis untuk menghadirkanperspektif kritis terhadap konsep Good Governance yangsedemikian kabur itu. Di sini yang terpenting sebagai bahansorotan bukanlah kekaburan dari konsep tersebut, namundalam konsekuensi praktis dari konsep tersebut terhadapalam kesadaran maupun proses pemerintahan danpengambilan kebijakan. Konsep Good Governance dalampandangan penulis bukan lagi merupakan sekedar konsepbelaka dimana wilayah analisisnya berkutat hanya diwilayah diskursus belaka. Namun karena merupakan suatuagenda yang menjadi syarat bantuan (aid conditionality)

yang harus diikuti oleh pemerintah negara penerima utangdari Bank Dunia maupun IMF. Sehingga analisis terhadapkonsep Good Governance juga harus mencakup pulaanalisis terhadap bangunan realitas macam apa yanghendak dibangun oleh konsep tersebut. Analisa yangdisajikan dalam buku ini diusahakan sedemikian rupa agarbisa memberikan pengayaan wawasan kepada khalayakpembaca mengenai konsekuensi-konsekuensi kenegaraanmacam apa yang mungkin terbangun jika rezim politikyang berkuasa memilih untuk tunduk pada setiap dansegenap agenda Good Governance yang disodorkan olehBank Dunia maupun IMF.

Melihat sebuah peristiwa kecil dalam proses sejarahyang besar adalah prinsip yang melambari buku ini. Se-cara lebih spesifik, ‘peristiwa kecil’ yang dimaksud ialah‘infiltrasi konsep Good Governance dalam gerak kehidupanberbangsa dan bernegara’. Sedangkan ‘proses sejarah yangbesar’ itu ialah ‘proses sejarahnya bangsa Indonesiamenuju masa depannya’. Kebiasaan untuk melihat sebuahperistiwa kecil dalam proses sejarah yang besar ini bagipenulis merupakan suatu kebiasaan mental-intelektualyang harus dikembangkan dalam dunia intelektual agarkemudian dunia intelektual Indonesia tidak terjerembabke dalam lingkaran teks belaka sehingga hanya akanmenghasilkan kepandaian retorika semata. Duniaintelektual Indonesia seharusnya diwarnai dengan tradisiintelektual yang selalu rajin mengembangkan tool ofanalysis bagi kepentingan-kepentingan bangsa dan negara.Bukan sekedar mengekor atau menjiplak tool of analysisorang lain demi kepentingan orang lain pula. Duniaintelektual Indonesia harus melangkah ke tahapan yanglebih bertanggungjawab. Tahapan dimana dirinya bukanlagi sekedar murid setia dari pemikiran asing -yang tentusaja asing bagi bangsa-negaranya-, namun menjadi duniaoriginalitas dan otentisitas bagi kemajuan kepentinganbangsa dan negaranya. Era ketidakotentikan harus di-

24 25

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

tinggalkan untuk melangkah ke era “beranimengeksplorasi diri sendiri”. Masa “takut-takut dicaptidak ilmiah dan tak berdasar teks” harus ditinggalkanberganti dengan masa “berani menemukan diri sendiri”di tengah rimba raya teks yang carut marut. Beranikahdunia intelektual Indonesia? Ataukah mereka akan terusmenjadi murid-murid manis dari setiap gagasan ataupemikiran asing?

Hal inilah yang menjadi perhatian serius pemikirterkemuka poskolonial, Edward Said, yang mengatakanbahwa sebenarnya dalam proses penulisan sejarah tidakada sejarah yang lebih baik atau sejarah yang lebih buruk.Yang ada adalah artikulasi kuasa yang lebih kuat danartikulasi kuasa yang lebih lemah. Sebab tiap jengkalsejarah yang tercatat adalah hasil dari sebuah kekuatanartikulasi satu kekuasaan tertentu. Ilmuwan-ilmuwanIndia dan Asia Selatan saat ini telah jauh melakukangebrakan ilmiah ini. Kita tentu mengenal tokoh kreditmikro yang sangat fenomenal dari Bangladesh,Muhammad Yunus. Dan yang juga harus diperhatikanadalah pemikir perempuan berdarah India, GayatriChakavorty Spivak. Tokoh poskolonial India ini men-yebutkan bahwa masalah mendasar mengapa masyarakattertidas (subaltern) tak dapat bersuara adalah karenamedia untuk bersuara sudah dikuasai oleh kelas menengahdan elit. Tata bahasa, tata krama, dan tata aturan untukmengungkapkan pendapat telah distandarisasi olehbudaya dan kebiasaan kelompok masyarakat tertentuyang jelas berbeda dengan budaya dan kebiasaan parasubaltern (Spivak, 1988).

Tatanan politik dunia juga tersusun seperti itu. Negara-negara miskin dan berkembang harus tunduk pada tataaturan dan norma global agar dapat bersuara di tingkatglobal. Masalahnya, setting dari tata aturan tersebut telahbias oleh budaya negara-negara kaya dan adikuasa.Sehingga ketika seorang dari negara-negara miskin di Sub

Sahara atau Asia Tenggara ingin berbicara, maka diaharus dapat terlihat seperti standar modular form tersebut,atau paling tidak ia harus melakukan mimicry. Sayangnyaketika itu terjadi, dia sudah tidak lagi dapatmerepresentasikan dirinya seratus persen sebagaimanamasyarakat aslinya yang hendak ia suarakan kepentingan-nya. Hal ini pulalah yang disesalkan oleh seorang tokohkulit hitam paling tersohor, Frantz Fanon. Fanon menyebutkondisi ini seperti orang berkulit hitam yang mengenakantopeng berwajahkan orang berkulit kulit putih agar dapatdisebut ‘beradab’ dan diterima keberadaannya di tengahmasyarakat (Fanon, 1967). Fanon menyebutkan:

“To speak a language is to take on a world, a culture.The Antilles Negro who wants to be white will be thewhiter as he gains greater mastery of the cultural toolthat language is. Rather more than a year ago in Lyon,I remember, in a lecture I had drawn a parallel betweenthe Negro and European poetry, and a Frenchacquaintance told me enthusiastically, ‘At the bottom youare a white man.’ The fact that I had been able toinvestigate so interesting a problem through the whiteman’s language gave me honorary citizenship”

[berbicara menggunakan bahasa tertentu adalah jugamenerima budayanya. Seorang Negro Antilles yangingin menjadi kulit putih akan menjadi demikian sebesaria menguasai budaya dari bahasa yang dipakainya.Setahun lalu di Lyon, dalam sebuah ceramah seorangteman Prancis mengatakan kepadaku dengan antusias,‘jauh di dasar dirimu kamu adalah orang kulit putih.’Sebab kenyataannya saya dapat melihat persoalanmelalui cara orang kulit putih dan menggunakanbahasanya, dari itu pulalah saya dihormati sebagaiseorang warga.]

Pernyataan di atas menunjukkan betapa dominasi danhegemoni global tengah terjadi di berbagai sisi kehidupan

26 27

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

manusia. Indikator keberadaban dan kemajuan telah ter-sentral menjadi sebuah ukuran tunggal. Peradaban duniamenjadi sangat monolitik. Hal inilah sesungguhnya yangmembuat capaian GG di berbagai belahan duniasebenarnya sangat artifisial dan formalistik di atas kertaslaporan belaka. Tapi secara substantif hubungan ideal ne-gara, pasar dan masyarakat sipil tidaklah sungguh-sungguh tercapai secara mendasar. Kenyataan ini sebenar-nya telah diketahui secara luas oleh berbagai kalangan.

Pada titik ini, pertanyaannya adalah mengapa lembaga-lembaga donor internasional begitu getol untuk mendesak-kan program GG ini sehingga mengalokasikan anggaranyang begitu besar dalam jangka waktu yang begitu lama(umumnya antara 10 – 15 tahun)? Faktanya, di negara-negara berkembang kesempatan kerja sangatlah sempit.Bahwa beberapa negara berkembang yang pendidikannyacukup baik malah justru banyak menciptakan pen-gangguran terdidik. Sehingga dengan adanya proyek GGyang datang dengan berbagai macam bentuk, donor dandaerah membuat masyarakat memandangnya sebagaikesempatan kerja. Mereka bekerja untuk proyek GG tetapibukannya memetik manfaat dari outcome dari keberadaanruh GG itu sendiri.

Proyek yang dilahirkan oleh pihak lembaga donor initak lain merupakan kelanjutan dari episode terdahulutentang deveoplentalisme. Setelah teori pertumbuhanRostow yang didukung oleh lembaga-lembaga donor inipada kurun waktu 1970-an sampai awal 1990-an gagaltotal secara mondial. Hal ini terbukti masih saja negara-negara berkembang kondisinya jauh tertinggal baik secaraekonomi maupun politik. Maka babak berikutnya adalahmembawa barang dagangan baru yang bernama GoodGovernance. Fakta menunjukkan bahwa tingkat inflasi diseluruh negara berkembang selalu saja di atas negaramaju sejak hampir 40 tahun. Konteks sejarah sangatpenting untuk memahami sebenarnya dari mana asalmuasal desentralsaisi hadir di negara-negara berkembang.

Kepedulian Ali Farazmand -yang sesungguhya sudahdiinternaslir oleh World Bank (2005)- tentang perlunyamelihat ketidakadilan global sebagai agenda utama dalampembangunan negara berkembang adalah hal penting yangharus dipertimbangkan. Sebab berbicara tentang GGbukanlah untuk GG itu sendiri. Berbicara pembangunanadalah berbicara mengenai keberpihakan terhadapsubaltern, yaitu masyarat yang umumnya miskin. Makamembuat GG sebagai sebuah wilayah kajian yang sterildari kancah kehidupan yang luas sangatlah naif. GGbukanlah sebuah akuarium dengan terumbu karang danikan-ikan yang indah-indah. Akan tetapi dia harus di-tempatkan di dasar laut dimana keindahan dan kengerianbersatu padu dalam sebuah kehidupan nyata.

Berbagai literatur sangat penuh sesak dengan melulumenyalahkan masalah domestik sebagai penyebabkegagalan pembangunan di negara berkembang. Apakahsemua problem tersebut juga steril? Apakah korupsi,kelangkaan anggaran dan lemahnya kapasitas pemerintahlokal adalah masalah bawaan negara berkembang sejaklahir? Kita akan coba melihatnya satu persatu dalamkacamata yang lebih luas, konteks global.

Gelombang kolonalisme yang berlangsung selamaratusan tahun meninggalkan bentuk formal negara dicolonized countries. Konsep birokrasi rasional Weberterkirim secara internasional melalui proses kolonialismetersebut. Hal ini terjadi karena para penjajah memerlukansistem organisasi yang sesuai dengan kebiasaan merekadalam rangka menjalankan sistem pemerintahankolonialnya. Gaya organisasi pemerintahan yang birokratistersebut telah terintenalisir selama ratusan tahun di negara-negara colonized (yang sekarang menjadi negaraberkembang). Meskipun para penjajah telah pergi tapimereka tetap mempraktekkan gaya pemerintahan penjajahtersebut. Kolonalisme juga selalu dilangsungkan dengancara sentralistik. Tidak hanya sentralistik di daerah tertentu

28 29

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

di wilayah itu, tapi juga tersentral di negara penjajahnya(Blaut, 1993, p. 53). Maka perilaku pemerintahan negarabekas jajahan (berkembang) yang sentralisitik danbirokratis sesungguhnya juga merupakan warisan darikolonialisme itu sendiri.

Kelangkaan anggaran yang terjadi di negara bekasjajahan apakah dikarenakan mereka memang terlahiruntuk menjadi miskin? Fakta menunjukkan bahwasesunguhnya sebagian besar negara berkembang yang adasaat ini memiliki wilayah yang luas, penduduk yang besardan sumber daya alam yang melimpah. Tapi kenyataannyanegara-negara tersebut mengalami kelangkaan anggaransehingga mereka harus melakukan hutang luar negeri.Akibatnya negara tidak cukup memiliki dana untukmelakukan pembangunan domestik. Transfer dana daripusat ke daerah pun tidak dapat berlangsung secaramaksimal. Lalu kita harus melihat pada praktek MNC danTNC di negara-negara berkembang. Apa yang merekadapat dan berapa banyak? Apakah sebanding penghasilanperusahaan-perusahaan raksasa dengan kontribusinyapada negara dimana sumber daya alam itu mereka keruk?Sebagai misal. Inggris adalah negara yang tidak memilkisumber minyak bumi. Namun negeri ini memilikiperusahaan minyak yang cukup besar (Knox, 2003, p. 77).Kita juga bisa melihat bagaimana perbandingan antaraanggaran tambang minyak dengan APBN kita. Di siniterlihat masalah finance yang menjadi salah satu persoalanatas kegagalan desentralisasi juga terkait dengan aspekglobal.

Sentralisasi, desentralisasi dan GG merupakan sebuahpemetasan yang diproduseri dan disutradaai oleh subyekyang sama. Fakta menunjukkan bahwa praktis sejakberakhirya PD II, hampir semua negara berkembangberada di bawah asuhan World Bank dan IMF, termasukpada saat negara berkembang berada pada masa pra-desentralisasi. Lembaga-lembaga donor ini ada dan

beroperasi di masa-masa tersebut. Dan merka tetap sajamen-support (untuk tidak mengatakan mendikte) praktekpemerintahan yang terjadi di sana (Panayiotopoulos andCapps, 2001, p. 48). Hal ini menunjukkan bahwa pada masaotoritarian sentralistik pun sebenarnya keberadaanlembaga-lembaga donor sama persis ketika merekamengkampanyekan desentrlisasi dan GG. Mereka sama-sama ada di dalam proses dan ada di balik dua praktekyang sebenarnya jauh bertentangan, yaitu sentralisasi dandesentralsisasi, bad governance dan good governance.Demikian pula korupsi yang menjalar di seluruh jaringanbirokrasi pemerintahan yang diakibatkan hazard debt yangdiberikan lembaga-lembaga donor kepada pemerintahan-pemerintahan diktator sentralistik.

Oleh karenanya yang paling penting saat ini adalahbagaimana untuk menerapkan keadilan global dalamrangka reformasi pemerintahan di negara berkembang.Konsep Ali Farazman “Sound Governance” (2004)merupakan sebuah terobosan yang sangat keras terhadapgaya neo-liberal bertajuk “good governance” yang hanyamempersepsi masalah negara berkembang sebagai melulumasalah domestik. Dengan strategi penataan kembalihubungan internasional yang dilakukan bersamaan denganpembenahan internal, merupakan agenda yang palingtepat untuk perbaikan sistem pemerintahan di negaraberkembang. Sebenarnya World Bank sendiri (2006) sudahmenyadari adanya ketidakadilan struktural internasonalyang hal ini harus diperbaiki bersamaaan denganperbaikan masalah domestik, seperti korupsi, finansial,kapasitas, dan lain-lain. Redistribusi kekuasaanpertumbuhan dan pemerataan jangan menjadi dikotomi.

Hanya saja baik GG maupun World Bank belum cukupmemberikan bekal teknis bagaimana cara mewujudkan itusemua. Keduanya masih bersifat wacana diskursif tentangperlunya hal tersebut tapi tak memberi bimbinganbagaimana mewujudkannya. Untuk mewujudkan keadilan

30 31

Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

BAB III

GOOD GOVERNANCESEBAGAI ANAK IDEOLOGISNEOLIBERALISME

dalam daya tawar internasional negara berkembangberhadapan dengan negara maju bukanlah soal mudah.Dari segi ekonomi konsolidasi negara maju baik melaluiOECD maupun melalui G-8 sangatlah solid. Sukar baginegara berkembang untuk menerobos bisnis skala globalbila jaringan eksklusif negara maju dengan kekuatanmodal yang luar biasa masih saja bertahan.

Belum lagi berbicara tentang kekuatan militer negaramaju yang sudah jauh di atas rata-rata. Hal-hal tersebutmembuat daya tawar negara berkembang menjadi sangatlemah. Penekanan-penakan kebijakan negara berkembangagar berpihak pada kepentingan bisnis negara maju terusberjalan. Sementara perkembangan pembangunan saat inisudah menghadapkan pembangunan sebagai pintu untukmemasuki bisnis global (Montgomery et all, 2003). Bilaini dipraktekkan, maka sama artinya dengan pem-bangunan di negara berkembang untuk memasuki arenapertarungan yang tak sebanding. Wajar bila Motogomerymengatakan bahwa pembangunan di negara berkembangtak mampu menjadi mesin penggerak ekonomi sebabekonomi dunia masih ditentukan oleh segelitir negara kaya.

Buku ini sama sekali tidak mengajak kita pada sikapoksidentalisme yang serba anti barat. Sebab kenyataandunia saat ini sudah sangat kompleks dan tak lagidikotomis. Yang paling penting untuk dilakukan adalah,sebagaimana dikatakan Prakash, reworking sejarah baratdan melakukan provinsionalisasi atas standar barat, bukanmenghabisinya (Prakash, 1996). Artinya, bagaimana me-nempatkan segala standar-standar ideal versi barat, ter-masuk terma ‘good’ dalam GG hanya untuk konteks baratsaja. Dan mempersilahkan tumbuh kembangnya berbagaiindikator lain di daerah lain dalam konteksnya masing-masing. Hal ini menjadi semangat dasar SG yangdidasarkan pada prinsip toleransi dan pengenalan danpengakuan atas adanya keberagaman dalam reformasitata pemerintahan.

Sekilas Tentang Ideologi‘Ideology is most effective when its working are least

visible... And invisibility is achieved when ideologies arebrought to discourse not as explicit elements of the text,but as the background assumptions which on the one handlead the text producer to ‘textualise’ the world in a particularway, and on the other hand lead the interpreter to interpretthe text in a particular way.’ (Fairclough, 1989: 85)

(Ideologi itu paling efektif ketika dia bekerja dengansangat tak terasa... Dan ketidakterasaan ini akan dicapaimanakala ideologi-ideologi dihadirkan ke dalam diskursusbukan sebagai elemen-elemen yang bersifat eksplisit dariteks, namun sebagai asumsi-asumsi latar belakang yangdi satu sisi mengarahkan produsen teks untuk ‘men-tekstualisasikan’ dunia dengan cara tertentu)

* * *Bagi seorang petani, cangkul merupakan benda yang

penting. Sementara bagi seorang tukang jahit, cangkulbukan termasuk benda yang penting jika dibandingkandengan mesin jahit atau segulung benang. Mengapa bendayang sama bisa memiliki makna yang berbeda bagi duaorang tersebut? Karena adanya perbedaan cara pandangdi antara keduanya. Dan perbedaan cara pandang tersebutpada gilirannya ditentukan oleh posisi kedua orang terebutdalam struktur sosio-ekonomi yang ada. Sebagai petani,

32 33

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

seseorang akan melihat dunia secara berbeda denganseorang nelayan. Bukan karena individualitasnya, namunkarena profesi keduanya membutuhkan alat-alat dan carakerja yang berbeda satu sama lain. Posisi yang berbedadalam struktur sosio-ekonomi telah membentuk carapandang yang berbeda diantara keduanya dalam mem-prioritaskan makna benda yang bernama ‘cangkul.’

Cara pandang itu sendiri bukanlah sesuatu yang fixeddan tak bisa diubah. Cara pandang adalah sesuatu yangcair dan senantiasa bisa dibentuk sekaligus membentukcara pandang pihak lain. Pada dasarnya, cara pandangitu merupakan sesuatu yang berwatak sosio-historis.Artinya, cara pandang tertentu merupakan buah atauproduk dari suatu proses sosial yang berlangsung dalamjangka waktu tertentu. Proses sosial yang dimaksud ialahproses komunikasi. Apa yang sesungguhnya berlangsungdalam proses komunikasi bukanlah sekedar penyampaianpesan dari pihak pengirim ke pihak penerima, namun lebihdalam dari itu. Proses komunikasi merupakan prosesdimana konsepsi-konsepsi atau cara-cara pandang duniayang dianut oleh masing-masing pihak yang terlibat dalamproses itu saling bertemu dan berhadap-hadapan satu samalain. Ketika konsepsi atau cara pandang dunia itu relatifmirip, maka yang terjadi ialah penguatan atau pengukuhancara pandang satu sama lain. Sementara ketika konsepsiatau cara pandang dunia itu saling bertentangan sehinggayang terjadi ialah sebuah pertarungan saling mendominasi.

Ketika cara pandang itu mencakup suatu gagasan yangkohesif dan komprehensif mengenai dunia sosial ideal yangdicitakan maka secara sederhana cara pandang tersebutdisebut sebagai ideology. Sebagai suatu cara pandang,ideologi ada dalam ruang kesadaran, bukan dalam ruangteks. Teks menyampaikan ideologi, namun teks bukanideologi itu sendiri. Ideologi ada dan mengeram dalam dirimanusia, bukan dalam aksara. Apa yang dilakukan aksaraatau teks hanya sebagai perantara antara ruang kesadaran

yang satu dengan ruang kesadaran yang lain, antara satucara pandang dengan cara pandang lain. Pemahamanbahwa ideologi ada dan mengeram dalam ruang kesadaranmanusia dan bukan dalam teks, merupakan pemahamanyang penting artinya agar di kemudian hari tidak munculanggapan bahwa seolah-olah ideologi itu hanyalah suatudebat wacana semata. Ideologi merupakan sesuatu yanghidup karena dia ada sebagai cara pandang manusia.Bukan ada dalam dunia teks atau sebagai bagian dari teks.Pemahaman seperti ini tentu saja bertentangan dengananggapan umum yang menganggap bahwa ideologi itu adadalam teks yang kemudian ditanamkan secara begitu sajadalam benak manusia seolah-olah benak manusia itubagaikan tanah yang bisa ditancapi apa saja dengangampangnya. Ideologi pertama-tama dan terutama adatidak di awang-awang dunia teks. Namun ia ada dalamruang kesadaran dan isi ruang kesadaran itu selalu akantercermin dalam corak perilaku dan terartikulasi melaluitindakan dalam bentuk praktek yang dilakukan manusia.Ideologi bukanlah das Ding an sich, suatu benda yang adadalam dirinya sendiri. Ideologi adalah cara manusiamemandang dunia, atau dalam bahasa kerennya, suatuproyeksi atas dunia yang dilakukan manusia dalam alambatinnya.

Ini tak berarti bahwa membicarakan teks dalam hu-bungannya dengan ideologi itu menjadi tidak penting.Justru sebaliknya, membincang teks menjadi penting disini.Hanya saja, harus dipahami posisi teks itu mewujud sebagaiapa. Seperti sudah dikatakan, teks merupakan penyampaiideologi dari satu ruang kesadaran ke ruang kesadaranlain. Efektivitas teks sebagai penyampai sangat ditentukanoleh kecanggihan suatu ruang kesadaran (yaitu manusia)untuk membangun teks yang sedemikian rupa sehinggaakan bisa diminimalisir sekecil mungkin resistensi dariruang kesadaran lain (individu yang lain). Tidak setiap teksitu bisa diterima begitu saja oleh ruang kesadaran lain.

34 35

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Tidak setiap teks bisa mengeram begitu saja dalam ruangkesadaran lain. Kutipan Norman Fairclough di atasbarangkali bisa memberikan wawasan sederhanamengenai bagaimana agar suatu ideologi bisa efektifmengeram di suatu ruang kesadaran lain lewatperantaraan teks atau diskursus. Kemampuan untukmenjadikan suatu teks diskursif bisa menyampaikan ide“secara tanpa terasa” atas cara pandang atau ideologitertentu kepada ruang kesadaran (pikiran manusia) lainmenjadi kunci dari efektivitas penyebarluasan ideologi kekhalayak yang lebih luas. Watak sosial dari teks inilah yangmenjadikan perbincangan tentang teksdalm ruang ideologiitu merupakan hal amat vital karena dalam posisinyasebagai wahana komunikasi, teks mempunyai potensisecara efektif untuk menyebarluaskan ideologi ke berbagairuang kesadaran secara luas.

Bagaimanapun juga, setiap cara pandang itu agar bisadikomunikasikan kepada pihak lain, kepada ruangkesadaran lain, akan dihadirkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan diskursif seperti kalimat atau konsep. Makasetiap kalimat atau konsep sesungguhnya membawa carapandang tertentu atas dunia, baik disadari atau tidak olehpihak pewicaranya. Tak ada kalimat atau konsep yangnetral dari penyampaian cara pandang tertentu, bahkanuntuk kalimat yang nampaknya sederhana. Setiap kalimatatau konsep akan disampaikan dalam suatu konteks dandengan cara tertentu. Sebuah kalimat akan mengubahkonstelasi segenap alam kesadaran yang ada dalam kontekstersebut. Ambil satu contoh, misalkan ungkapan yangmengatakan “Dia adalah anaknya si X”. Kalimat tersebutakan menjadikan orang-orang yang mendengarnya lantaspaham bagaimana memposisikan “dia” karena telah di-ketahui bahwa ternyata “dia” adalah anak anak dari si X.Informasi mengenai “anak si X” memberi petunjuk men-genai bagaimana cara memandang “dia”. Cara pandang

orang-orang terhadap si X berubah akibat adanyainformasi yang terkandung dalam kalimat tersebut.

Hanya saja, memang tidak setiap kalimat atau konsepitu membawa cara pandang yang kohesif dan komprehensif.Kohesivitas dan komprehensivitas cara pandang akantercipta manakala cara pandang itu merupakan suatu carapandang yang lebih saling kait-mengkait membentukgambaran yang lebih luas tentang dunia. Kohesivitasberhubungan dengan bagaimana sesuatu dipandangmemiliki hubungan (apapun jenis dan tingkatan hubungan-nya) dengan hal-hal yang lain. Sedangkan kompre-hensivitas berhubungan dengan banyaknya hal-hal yangdisatukan menjadi satu untaian atau jalinan hubunganyang utuh. Jadi, ideologi tak memandang dunia sebagaikeping-keping yang berserakan. Akan tetapi ia merupakanjalinan satu kisah yang mengarah atau menuju kepadahal-hal yang lain. Nah, setiap ideologi memiliki penjelasanmengenai segala sesuatu yang saling berhubungan dalamjenis dan tingkatan tertentu. Dalam konsep-konsep rasional,watak ideologis dari setiap konsep rasional tersebut niscayaada. Hal ini karena konsep rasional senantiasa men-gandung pengandaian-pengandaian tentang gambarandunia yang utuh dan saling jalin-menjalin diantara bagian-bagiannya. Dimana konsep tersebut merupakan prosespenyederhanaan dalam merepresentasikan proses ataustruktur rangkaian antara bagian-bagian yang ada atasgambaran dunia tersebut.

Sekilas tentang NeoliberalismeRodan, G, Kevin Hewison dan Richard Robinson (2001)

secara gamblang memetakan posisi neoliberalisme ditengah ideologi-ideologi lainnya dan berbagai derivatif yangada di dalamnya.

Teori ekonomi neo-klasik adalah sebuah pendekatan(ideology) yang mengutamakan mekanisme pasar.Asumsinya adalah sifat alamian dari pasar (mencakup

36 37

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

pemburu rente. Kedua, kebijakan publik harus mengarahpada perubahan peran negara sebagai pelaku utamapembangunan menjadi fasilitator, sebab pelaku utamapembangunan adalah pasar. Ketiga, kebijakan publik harusdapat memberikan piranti bagi negara (fasilitator) dalammenjamin keberlangsungan pasar secara efisien. Dari siniterlihat bahwa sebenarnya paham neoliberalisme tidaksepenuhnya “anti-negara.” Pada level tertentu ia masihmembuthkan peran negara, mseki dalam level yang sangatminimal.

Salah satu problem inheren dari liberalisme klasik yanghendak dijawab oleh neo-liberalisme adalah masalah“collective action dillema.” Ketika motivasi memaksimal-kan keuntungan pribadi menjadi fundamen inti darimekanisme alamiah pasar dalam bekerja, maka masalah“collective action” ini muncul. Pertanyaannya adalah siapayang rela mengorbankan tenaga dan waktunya untukmengerjakan hal-hal yang bersifat kebutuhan publik (publicgoods)? Utamanya saat di mana kebutuhan publik itu akanterpenuhi bila hanya cukup satu orang saja yangmengerjakannya, maka semua orang akan merasakanmanfaatnya. Saat situasi seperti ini terjadi, siapakah orangyang mau bersukarela mengambil peran itu? Terlebihketika insentif yang didapatkannya sama saja denganinsentif bagi mereka yang tidak mengerjakannya. Ataubahkan insentif yang didapat lebih sedikit dan mereka-mereka yang ikut menikmati hasilnya.

Contohnya, di kota tertentu ada sebuah aktifitas industriyang menimbulkan polusi yang dapat membahayakankesehatan seluruh warga kota. Semua orang di kota itutahu kalau sistem pembuangan limbah perusahaantersebut harus dievaluasi dan dikritisi. Akan tetapi tidakada yang mengambil inisiatif, sebab mereka salingmenunggu satu sama lain. Bila ada satu orang saja yangmengambil tindakan untuk berbicara pada pimpinanperusahaan dan pejabat setempat maka masalah akan

hukum-hukum internal serta pilihan rasional individu-individu yang ingin memaksimasi keuntungan) membuatpasar menjadi sebuah mekanisme yang paling effisiensecara universal. Kebijakan publik yang baik, dengandemikian, adalah kebijakan yang dapat menjaminbergeraknya pasar secara bebas. Intervensi Negaraterhadap bergeraknya pasar secara bebas itu akanmengurangi efektifitas dari pasar dalam mengalokasikansumber daya. Pada basis inilah World Bank dan IMFmendesakkah strategi deregulasi ekonomi, privatisasi danfiskal ketat (yang kemudian disebut WashingtonConsensus) ke negara-negara berkembang ditahun 1980-an sampai 1990an.

Neo-klasik bermetamorfosis menjadi neoliberalisme saatprinsip-prinsip pasar diperluas penerapannya tidak hanyadalam bidang ekonomi tapi juga arahan umum dalamberbagai sisi dalam kehidupan sosial, termasukpemerintahan.

Dalam konteks ini, sekali lagi, tugas dari Negara adalahmenjamin berlangusngnya pasar bebas. Pasar bebas yangdimaksud seringkali gagal berjalan dengan optimal karenaadanya rent-seekers (pemburu rente), yaitu para aktoryang memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkankeuntungan sendiri dari pasar. Pasar, oleh para pembururente ini, dimanipulasi sehingga aliran sumberdayanyatidak mengarah pada kehendak pasar, melainkanmengarah pada kehendak para pemburu rente itu. Darisini, tapmak bahwa konsep “rent-seeking society” jugamerupakan bagian dari paham neoliberalisme. Negara,menurut para komprador neoliberalisme, dengan ke-kuasaannya, harus dapat mengeliminasi para pembururente dari muka publik.

Kebijakan publik yang baik, oleh karenanya, harusmencakup setidaknya tiga hal. Pertama, kebijakan publikharus dapat meningkatkan kapasitas negara dalammengeliminasi keberadaan dan tumbuhkembangnya

38 39

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

selesai. Dampaknya seluruh kota akan merasakan manfaat(mendapatkan insentif) yang besarannya sama persis satusama lain, bahkan dengan si insiator. Dalam neoliberal,sikap inisiator tadi adalah “irrasional” sebab dia bertindaktidak atas dasar memaksimasi keuntungan. Karena orangsemacam itu adalah “irrasional,” maka kemuculannyatidak bisa diharapkan menjadi solusi atas masalah-masalahsosial ekonomi yang ada.

Neoliberalisme menjawab masalah itu denganpendekatan yang disebut ekonomi institusionalisme baru(new institutionalism economics). Pendekatan ini percayabahwa manusia membangun insitusi (aturan) adalah untukmengurangi biaya transaksi (trasaction cost). Biayatransaksi disini maksudnya adalah landasan untukmelakukan pertukaran, ditengah kelangkaan kepercayaan.Uang, adalah contoh dari insitusi itu. Kita semua sepakatbahwa insitusi yang bernama “uang” adalah bernilai samapada ruang dan waktu tertentu. Sehingga kita relamenukarkan sapi kita yang seberat tigaratus kilogramdengan segepok uang (kertas) yang hanya berbobot kurangdari satu kilo. Atau menukarkan rumah yang beratnyapuluhan ton hanya dengan selembar cheque atau buktitransfer bank elektrik. Insitusi berupa uang dan chequetidak akan bekerja bila tidak ada institusi lain yangmelingkupinya, yaitu kebijakan moneter misalnya.Kebijakan moneter sebuah negara menentukan seberapabesar nilai dari uang seratus ribu, sepuluh juta, satu miliardan seterusnya. Uang dan kebijakan moneter sama-samamerupakan institusi, aturan, dimana semua orang harusberpijak dalam setiap aktifitas ekonomi yang dilakukan.

Dengan mekanisme yang sama, neoliberal percayabahwa masalah “collective action” juga bisa diatasi.Kembali pada contoh limbah pabrik tadi, maka harus adapetugas pemeriksa limbah dan kebijakan pengelolaanlimbah. Sehingga masyarakat kota tidak perlu menunggumunculnya “orang berhati mulia” yang akan datang

menyelesaikan masalah itu. Sudah ada solusi mekanik atassetiap masalah yang muncul.

Di sinilah salah satu perbedaan utama antara liberalis-me klasik dengan neoliberal. Meskipun begitu neo-liberaltidak serta merta dapat disimpulkan mem-bangkitkanperan negara yang telah dikubur dalam-dalam olehliberalisme klasik. Insitutsi publik (uang, kebijakanmoneter, petugas lingkungan, kebijakan pengelolaanlimbah, dll) adalah hasil dari berlangsungnya mekanismepasar. Ini adalah prinsip dasar kedua setelah newinstitutionalism economic, yaitu public choice theory. Parakomprador teori pilihan publik (seperti Krueger, Buchanandan Tullock) berargumentasi bahwa ruang politikmerupakan pasar (marketplace) tempat terjadinyatransaksi para politisi, pejabat dan kelompok kepentinganlainnya. Hasil dari pertukaran (transaksi) para “pelakupasar” inilah yang kemudian menghasilkan kebijakanpublik dan institusi.

Neoliberal, kendati demikian, menyadari bahwa adapotensi laten yang tersimpan dari mekaniskme ini, yakniapa yang disebutnya sebagai the predatory interests ofpolitical leaders. Sebab, harus mereka akui juga bahwadalam mekanisme ruang politik sebagai “pasar” pemimpinpolitik juga merupakan bagian dari “pedagang” di pasarpolitik tersebut. Masalahnya adalah, kekuatan pemimpinpolitik secara relatif lebih besar dibandingkan dengna“pedagang-pedagang” lainnya. Maka besar kemungkinandengan mekanisme pasar yang “liar” maka siapa yangkuat dialah pemenangnya. Dalam pada ini, penguasapolitik akan selalu menjadi yang terkuat, nota bene, selalumenjadi pemenang. Lagi-lagi, neoliberal mengaharapkanperan negara (dalam ini “negara” diartikan sebagaikumpulan peraturan bukan orang-perorang) dalammengeliminasi munculnya “pemimpin-pemimpin predator.”

Di atas semua itu, semua pengjawantahan insitusi dannegara adalah, sekali lagi, untuk membebaskan pasar

40 41

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

menunjukkan performa terbaiknya. Ibarat aliran sungai,pasar selalu akan membawa air pada muara yang tepat.Negara, hukum, insitusi adalah petugas kebersihan sungaiyang tugasnya mebersihkan sungai dari timbunan sampahyang bisa menyumbat aliran itu yang bisa mengakibatkanair meluber tak tentu arah. Mekanisme pasar ibarat gayagrafitasi yang absolute kebenarannya.

Lelah banyak kritik atas neoliberalisme ini, terutamadari kalangan Marxis. Itu sudah sangat kentara. Berikutakan dipaparkan kritik atas neoliberalisme dari pahamnon-Marxis.

Pertanyaannya mendasarnya adalah: benarkah pasaritu stabil? Benarkah mekanisme pasar akan menyediakandistribusi sumberdaya secara optimal?

Dengan krisis finansial saat ini, orang yang fasihberbicara soal “speculative bubble” pastinya akan larisuntuk menjadi narasumber di mana-mana. Tapi ini hanyamenjelaskan keadaan, bukan menjawabnya. Sepertidikatakan oleh Hyman P. Minsky, bahwa sistem ekonomidunia kini (liberalisme) sebenarnya dibangun di atasgelembung-gelembung spekulasi. Gelembung-gelembungrapuh yang menahan Bumi seberat 5 triliun biliun kilogramini.

Gelembung ekonomi yang dimaksud Minsky samapersis dengan mainan gelembung air sabun yang biasadimainkan anak-anak itu. Mereka meniup kawat berbentuklingkaran yang telah dicelupkan dalam air sabun. Lalugelembung itu akan terbang tinggi sampai pada titik ter-tentu ia tak kuasa menahan tekanan udara, lalu meletus.Bukan hanya tekanan udara yang membuat gelembungitu meletus, tetapi juga substansinya yang makin menipis.Kalau sudah begitu anak-anak kembali mencoba membuatgelembung baru, dan seterusnya.

Tak lebih dan tak kurang, begitulah sistem ekonomidunia dibangun. Fenomena ini sangalah sederhana. Ambilcontoh pedagang mainan gelembung tadi. Satu pedagang

berjualan gelembung di muka sekolah dan mendapatkanuntung yang banyak. Hal ini akan menarik pedagang-pedagang lainnya untuk ikut berjualan. Lama-kelamaanpenawaran akan melebihi permintaan, yang berakibatkeuntungan tidak dapat menutup biaya produksi. Pada saatpersaingan bebas yang terjadi, maka semua pedagang akanmengalami kerugian yang sama. Lalu krisis ekonomi disektor bisnis mainan gelembung pun akan terjadi.

Kenyataan ini diamini oleh seluruh ekonom dari berbagaialiran. Hanya saja yang membuat mereka berbeda adalahapa yang terjadi kemudian. Apakah kepala sekolah harusdatang dan mengatur kembali tata cara berbisnis mainangelembung? Apakah orang tua murid harus menambahuang saku, agar anak-anaknya bisa beli lebih banyakmainan gelembung, sehingga para pedagang selamat darikebangkrutan? Ataukah dibiarkan saja, dengan keyakinanbahwa pasar akan stabil dengan sendirinya (self-fulfilingstability).

Model ekonomi liberal serupa ini terjadi di seluruh sektordalam sistem ekonomi global hari ini. Di Amerika Serikatterjadi gelembung spekulasi di sektor perumahan atau“housing bubble”. Sebuah rumah yang dibeli dengan harga$160,000 di tahun 1996 dalam waktu tujuh tahun melonjakharganya menjadi $445,000 atau mengalami kenaikan se-besar 178%. Tentu hal ini sangat menggiurkan. Orang ber-bondong-bondong melakukan hal yang sama, membelirumah sebagai bagian dari bisnis. Bahkan HarianWashington Post di bulan April 2006 pernah memberitakanbahwa ada orang yang membeli dalam menjual rumah padahari yang sama! Akibatnya tabungan di bank pun menurundrastis, sebab semua uang habis berputar di bisnis jual belirumah. Dan, secara ironis, akibatnya harga rumah menjadimakin mahal. Sebab keinginan orang untuk membeli rumah(untuk dijual kembali, bukan untuk ditinggali) meningkattajam. Pada titik kenaikan harga tertentu, harga rumahmenjadi terlalu mahal bagi pembeli, terutama jika

42 43

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

dibandingkan dengan harga sewa. Karena harga yangsecara relatif mahal ini, orang pun makin malas membelirumah, dan berpikir lebih baik menyewa saja. Sehinggapermintaan akan rumah merosot tajam. Inilah titik dimana gelembung itu meletus.

Yang tinggal kemudian adalah jutaan orang yangmemiliki rumah, tapi tak bisa menjualnya sebab tak adaorang yang mau membeli, dan tak punya tabungan.Likuiditas membeku. Sejak tahun 2007 harga rumah diAmerika turun sebesar 30%. Jadi, kalau anda membelirumah seharga 600 juta rupiah di tahun 2004 maka andahanya akan mampu menjualnya seharga 420 juta rupiahdi tahun 2007, atau rugi sebesar 180 juta! Bisa dihitungberapa total kerugian bila dianggap saja ada 20 juta orangAmerika yang melakukan bisnis semacam ini. Belumtermasuk multiplier effects nya.

Sekali lagi, “economic bubble” semacam ini terjadi dimana-mana di seluruh penjuru dunia dan di berbagaisektor. Pemenang Nobel Ekonomi 2008, Paul Krugman,juga pernah bercerita tentang gelembung finansial dinegara dunia ketiga sebagai sebab krisis ekonomi 1997.Lalu “dot-com bubble” yang berakibat rontoknya bisnisinternet di dunia pada tahun 2000.

Kembali pada contoh “housing bubble” di Amerika,sebagian dari kita lalu akan bertanya, dari mana orang-orang itu mendapatkan uang untuk menjalankan bisnisinstan semacam jual beli rumah ini? Tentu jawabnyaadalah dari pinjaman bank (mortgage), dari sistemfinansial. Masyarakat mengajukan kredit pada bank untukmembeli rumah, dengan harapan akan membayarnyasetelah berhasil menjual rumah itu kembali, dan meraupuntung.

Lantas, dari mana bank mendapatkan uang untukmemberi pinjaman pada orang-orang ini, jawabannyasungguh di luar dugaan: dengan meminjam uang ke banklain! Ini disebut dengan proses sekuritisasi. Tentu saja

nama yang sangat aneh dan paradoks; sebab ini adalahsistem yang sama sekali tidak aman. Dengan sistemfinansial semacam ini, kebangkrutan di satu bank bisadengan cepat menular ke bank-lain. Parahnya, sistemfinansial yang rapuh dan salingtergantung ini telah terinter-nasionalisasi dengan pusatnya adalah Amerika Serikat!

Ilmuwan-ilmuwan semacam Paul Krugman, Dean Baker,James K. Galbraith, William Black dll mungkin akanberkata lantang: “kami sudah mengingatkan sejak jauh-jauh hari, tapi mereka (katakanlah kepala bank sentralAmerika/the Fed Alan Greenspan) tak pernah mendengar!”Dari apologi semacam itu maka pertanyaanku adalah“Mengapa selama ini Alan tak mendengarkan kalian?”Tentu saja karena gagasan-gagasan mereka tak enak didengar telinga, karena penuh dengan kekuatiran sertaancaman, dan, pastinya, tak nyaman bagi mengalirnyauang ke kantong.

Alan Greenspan lebih mendengarkan omongan MyronScholes, Robert C. Merton dan John Meriwether parapetinggi perusahaan finansial raksasa bernama Long-TermCapital Management (LTCM). Perusahaan perdagangansaham yang menguasai seluruh sirkulasi dagang di WallStreet ini bertabur doktor-doktor paling genius lulusanHarvard, MIT, Stanford dan London School of Economics(LSE). Bahkan dua diantaranya adalah peraih Nobel dibidang ekonomi. Yang bekerja secara konkret menghasilkanmilyaran US$ di perputaran saham Dow Jones.

Kelompok-kelompok terakhir ini masih kuat posisinyadalam percaturan ekonomi politik internasional. Merekaadalah penyokong ideologi neoliberalisme. Mereka percayadan yakin bahwa pasar adasalh solusi bagi segala hal. Krisisekonomi dan kemiskinan bukanlah akibat kegagalan pasar,melainkan akibat ketidakmampuan negara dalammembersihkan sampah-sampah pasar. Oleh karenanyanegara perlu memiliki piranti yang canggih dalam rangkamembersihkan sampah-sampah pasar itu. Salah satu

44 45

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

piranti pamungkas dalam melakukan itu adalah GoodGovernance! Akhirnya hubungan erat antaraneoliberalisme dan Good Governance ditegaskan dengansangat lugas oleh Rodan (2001):

“…Thus the Bank began a somewhat vague advocacyof ‘good governance’, acknowledging the socialunderpinnings of corrupt or weak institutionalframeworks (World Bank 1991:6-7)… The languageof participation, civil society, social capital, andcommunity organization became prominent as thesocial basis of sustainable markets was emphasised(see World Bank 1998). It was asserted that the stateneeded to work in concert with a range of socialorganizations to cement the social structures, valuesand norms supportive of markets.” (Rodan 2001:19).

“…Bank Dunia (secara setengah-setengah) mulaimendukung diterapkannya ‘good governance’ dalamnegatasi persoalan korupsi dan kelembagaan yanglemah (World Bank 1991:6-7)… kata-kata sepertipartisipasi, masyarakat sipil, modal sosial, danorganisasi warga men-jadi populer sebagai basis sosialdari keberlangsungan pasar (World Bank 1998). Halini menekankan bahwa negara perlu bekerja samadengan lembaga-lembaga lain-nya untukmengokohkan struktur sosial, nilai dan norma daripasar itu sendiri.” (Rodan 2001, p. 19)

Good Governance anak Ideologis NeoliberalismeGood Governance merupakan suatu konsep rasional.

Sebuah konsep yang lahir dari proses rasional manusia(meski tidak berarti bahwa karena lahir dari prosesrasional, lantas bersifat rasional). Dan seperti konseprasional lainnya, konsep Good Governance juga men-gandung dalam dirinya suatu cara pandang dunia yang

kohesif dan komprehensif, sehingga (dan oleh karena itu)ia berwatak ideologis. Karena berwatak ideologis inilah,konsep Good Governance harus dikaji secara kritis.Pertanyaan utamanya ialah: “Cara pandang ideologismacam apakah yang diajarkan oleh konsep GoodGovernance?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita tengokkata-kata Paul Wolfowitz, Presiden Bank Dunia dalam sam-butannya di Jakarta pada tanggal 11 April 2006. Beberapapoin kunci yang ada dalam pidatonya adalah sebagaiberikut:

“Dalam paro-abad terakhir, kami telah mengembang-kan sebuah pemahaman yang lebih baik mengenaiapa-apa saja yang bisa membantu agar pemerintah-an bisa berfungsi secara efektif dan mencapaikemajuan ekonomi.” Asumsi yang ditransfer ialah:Bank Dunia memiliki pengetahuan tentang bagai-mana menciptakan pemerintahan yang efektif dansanggup mencapai kemajuan ekonomi. Bank Duniaadalah sosok yang maha tahu. Selain maha tahu,Bank Dunia punya sifat suka membantu karenapengetahuan itu dikembangkan untuk membantupemerintah-pemerintah yang sedang membangun.Jadi, Bank Dunia adalah lembaga maha tahu danbaik hati.

“Dalam komunitas pembangunan, kami punya sebuahfrase untuk menyebut hal-hal yang bisa membantupemerintah tersebut. Kami menyebutnya goodgovernance.” Asumsi yang ditransfer ialah: Pen-getahuan yang bisa membantu pemerintah agarmenjadi pemerintah yang baik itu disebut sebagaiGood Governance. Good Governance adalah konsepyang baik karena lahir dari institusi yang punya sifatbaik dan maha tahu.“Good governance pada esensinya merupakankombinasi antara institusi-institusi yang transparan

46 47

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

dan akuntabel, mempunyai keterampilan dan kom-petensi yang kuat, dan punya kesediaan mendasaruntuk bertindak benar. Hal-hal itulah yang me-mungkinkan sebuah pemerintahan bisa memberikanlayanan kepada masyarakatnya secara efisien.”Asumsi yang hendak ditransfer: Ketika konsep ataupengetahuan yang baik itu diterapkan oleh pemerin-tah, maka niscaya hasilnya mesti suatu pemerintahanyang baik pula. Inilah janji yang ditawarkan oleh GoodGovernance.

“Sebuah lembaga pengadilan yang independen, persyang bebas, dan civil society yang dinamis merupakankomponen-komponen penting dari Good Governance.Kesemuanya itu akan bisa menjadi penyeimbangkekuasaan pemerintahan. Dan mereka itulah yangmendorong pemerintah untuk akuntabel dalampenyediaan layanan publik yang lebih baik,penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan standarhidup. Beberapa negara bisa saja mencapai per-tumbuhan tanpa harus memiliki kesemua faktortersebut. Sejarah Indonesia tahun 1970-an dan 1980-an sendiri menjadi sebuah ilustrasi mengenai haltersebut. Namun, krisis ekonomi yang melumpuhkandan menimpa Indonesia menunjukkan betapa rapuh-nya pertumbuhan itu ketika institusi-institusi yangmenjaga agar pemerintah itu bisa akuntabel, trans-paran dan bertanggungjawab itu secara sistematisdilemahkan.” Asumsi yang hendak ditransfer:Pertumbuhan yang dicapai tanpa menggunakan resepkonsep Good Governance pastilah menjadi per-tumbuhan yang rapuh. Krisis ekonomi yang dialamiIndonesia menjadi bukti yang nyata dari kesimpulantersebut.

Secara singkat bisa dikatakan bahwa meta-asumsi darikonsep Good Governance ialah: “Pemerintah-pemerintah

yang tak mau mengikuti resep Bank Dunia, pastilah akangagal dan rapuh pertumbuhan ekonominya.” Dan pen-galaman krisis ekonomi Indonesia menjadi bukti yangdijadikan justifikasi terhadap meta-asumsi tersebut. BankDunia (beserta lembaga keuangan dan donor internasionallainnya) adalah juru selamat dunia! Tak ada keselamatandi luar Bank Dunia dan lembaga donor!

Dan ajaran apakah yang dikumandangkan oleh “SangJuru Selamat” itu? “Adopsi Good Governance dan akankalian temukan surga dengannya”. Sungguh menentram-kan hati.

Lantas dijelaskan pula oleh Wolfowitz, apa se-sungguhnya tujuan besar dari Good Governance itu:

What the Asian crisis of some 8 years ago shows, andnowhere more clearly than here in Indonesia, is thatcorruption is often at the very root of why governmentsdo not work. Today one of the biggest threats todevelopment in many countries, including I think here,is corruption. It weakens fundamental systems, itdistorts markets, and it encourages people to applytheir skills and energies in nonproductive ways. Inthe end, governments and citizens will pay a price, aprice in lower incomes, in lower investment, and inmore volatile economic fluctuations. That is a lessonIndonesia learned the hard way. Corruptioncontributed significantly to the economic collapse of1997-1998. It now looms as a major obstacle toachieving the development successes that I believe thiscountry is capable of, and which the Indonesian peopledeserve.

Corruption not only undermines the ability of govern-ments to function properly, it also stifles the growth ofthe private sector. We hear it from investors, domesticand foreign, investors who worry that wherecorruption is rampant, contracts are unenforceable,

48 49

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

competition is skewed, and the costs of doing businessbecomes stifling. When investors see that, they taketheir money somewhere else.

To give you an idea, in Indonesia, a survey of firmssaid that 56 percent of them, a majority, were willingto pay more taxes, in fact, half were willing to pay upto 5 percent of their revenues, if corruption could beeliminated. When businessmen offer to pay moretaxes to solve a problem, you know it is a real problem.

Corruption thrives in countries where private inves-tors face cumbersome procedures and excessiveregulations. When extra licenses are needed to starta business, when extra signatures are required toimport goods, that creates opportunities for abuse ofauthority and for corruption.

One of the most interesting and useful products of theWorld Bank Group is something we started a few yearsago called the Doing Business report which looks atthe investment climate in 155 different countriesaround the world and ranks them in various categoriesaccording to ease of doing business. That kind ofanalysis is already, I think, having a useful impacthere in Indonesia. When the new government learnedin 2004 that it took 151 days to launch a businesshere, three times the average for the world, yourPresident announced that this would be reduced to 30days. Our estimates show that the time to start abusiness has already fallen to below 80 days, and weare hopeful the government will reach its target. Thatwould be a wonderful success story.

But the government faces many challenges ahead. It costs Indonesian entrepreneurs the equivalent ofone year’s income to register a business, and more

than three-and-a-half times their annual income toobtain all the necessary licenses and permits.

But perhaps the most important challenge lies in theenforcement of contracts. On this front, Indonesiaranks amongst the lowest in the world, 145 out of 155. In fact, investors’ lack of trust in the legal system isone of the problems that have brought investmentlevels down to half of those of your fast-growingneighbors.

Jadi, Good Governance akan menciptakan pe-merintahan yang bersih dari korupsi. Tapi mengapakorupsi harus dilawan? Apakah karena korupsi itumenguras uang rakyat? Sama sekali bukan. Dalam konsepGood Governance, korupsi harus dilawan karena korupsimenghalangi preferensi investor asing untuk masuk kenegeri itu sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi punmenjadi rendah. Korupsi harus dilawan karena menyusah-kan investor. Dan jika investor susah, maka negarapun ikutsusah. Korupsi harus dilawan karena dibutuhkan waktu151 hari untuk membuka usaha di negeri ini. Ini berartilebih lama tiga kali lipat dari waktu rata-rata yangdibutuhkan untuk membuka usaha di berbagai negeri selainIndonesia. Korupsi adalah dosa, mengapa? Karenamenghalangi kepentingan ekspansi modal investor asing.Setiap yang menghalangi kepentingan ekspansi modalinvestor asing adalah dosa, dan setiap dosa pasti berbuahkarma. Apakah karmanya? Yaitu rendahnya tingkatpertumbuhan. Di tangan investor asinglah, nasib suatubangsa-negara tergenggam.

Pada akhirnya, ia menyingkapkan siapa sesungguhnyayang sedang dilayaninya, atau lebih tegas lagi siapa yangmenjadi ‘pengutusnya’ yang tak lain adalah investor-investor asing. Ajaran ‘jangan berbuat salah terhadapinvestor asing agar tak bernasib buruk!’ merupakanpetunjuk paling tegas tentang siapa kuasa tertinggi yang

50 51

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

menjadi tujuan “pengabdian” dalam konsep GoodGovernance. Malapetaka ekonomi maupun politik akandatang kepada rezim politik yang tak mau tunduk padakuasa tertinggi itu. Dalam bahasa eufemisme, investor-investor atau pemodal-pemodal raksasa multinasionaltersebut biasa disebut sebagai “pasar”. Pernyataan-pernyataan seperti ‘pasar sedang bergejolak’, ‘sentimenpasar menguat’, dan semacamnya sesungguhnya menunjukpada para pemodal raksasa multinasional. Mungkin didalamnya ada pula investor-investor dalam negeri. Namunjika diukur berdasarkan skala kekuatan ekonominya, makabisa kita katakan posisi investor-investor dalam negeritersebut tidak terlalu signifikan. Dan memang bukaninvestor-investor dalam negeri yang sedang diperjuangkanoleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor intenrasional(International Financial Institutions/IFIs). Jadi, biladisederhanakan, rezim-rezim politik harus mengabdikepada “pasar” jika ingin selamat. Sekali lagi, tak adakeselamatan di luar “pasar”. Tentu saja, “pasar” disiniadalah sebagaimana yang dimaksud oleh Bank Dunia danIFIs beserta bala punggawanya.

Inilah yang lantas disebut sebagai ajaran ‘neo-liberalisme’. Sebuah ajaran -yang bagi rezim-rezim politikyang suka bergantung pada Bank Dunia dan IFIs-statusnya laksana agama penyelamatan. Paul Wolfowitzsendiri menyebutkan kasus krisis ekonomi Indonesiasebagai salah satu bentuk “sanksi” yang akan diterimajika tidak patuh pada ajaran agama ‘neo-liberalisme’. Men-genai pengertian neo-liberalisme sendiri, kita harusmemahaminya lebih sebagai sebuah proyek sosio-historisketimbang sebagai istilah linguistik. Bob Jessopmenjelaskan:

Before developing my critique of the World Report,let me relate it to the global neo-liberal project. Thishas two interrelated sets of features. The first concernthe pursuit of a new accumulation strategy based on

privatization, liberalization, de-regulation, theintroduction of market proxies and benchmarking intothe public sector, tax cuts, and internationalizationbzw. globalization. The second concerns the searchfor new forms of social regulation to create a multi-tiered market society that complements the globalizingmarket economy (Jessop, 2001).

(Sebelum membahas kritik saya terhadap WorldReport, ijinkan saya untuk mengaitkan kritik saya itudengan proyek neo-liberal. Proyek tersebut memilikidua kelompok fitur yang saling berhubungan. Yangpertama berhubungan dengan upaya strategiakumulasi baru yang didasarkan pada privatisasi,liberalisasi, de-regulasi, penerapan standar baku danmetode-metode pasar ke dalam sektor publik,potongan-potongan pajak, dan internasionalisasi aliasglobalisasi. Yang kedua berhubungan dengan usahauntuk menciptakan bentuk-bentuk baru regulasisosial untuk menciptakan sebuah masyarakat pasaryang multi-level yang komplementer terhadap usahaglobalisasi ekonomi pasar.)

Dari uraian Bob Jessop tersebut, kita bisa lihat bahwatujuan besar dari proyek neo-liberalisme ialah penciptaansebuah sistem ekonomi pasar yang berlaku secara global.Untuk itu, proses pemerintahan dan kebijakan publik harusdisesuaikan sedemikian rupa agar selaras denganterciptanya ekonomi pasar yang bersifat global itu. Baikregulasi sosial maupun praktek-praktek pemerintahandalam negeri harus dibentuk agar cocok dengan berbagaikepentingan dan kemajuan proyek globalisasi ekonomipasar. Tantangan terbesar ialah bagaimana agar proyekneo-globalisasi itu bisa tampil -meminjam istilah BobJessop- ‘with a human face’ (dengan wajah manusiawi).Sehingga resistensi dari pemerintah-pemerintah negara-bangsa di seluruh dunia bisa diminimalisir.

52 53

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Konsep Good Governance dalam konteks ini memilikiperan yang sangat strategis untuk menanamkan sebuahcara pandang tertentu dalam diri pemerintah-pemerintahdi seluruh dunia yang sejatinya cocok dengan kepentinganproyek neo-liberal dengan topeng yang sama sekali beda.Penggunaan pilihan kata good sungguh jitu karena dengandemikian, setiap pandangan yang tidak selaras dengankonsep tersebut secara otomatis akan terbayang sebagaibad (lawan kata dari good). Permainan kata ini jelasbukanlah sesuatu yang tak signifikan dalam proyek besarneo-liberalisasi. Permainan kata ini vital maknanya dalamrangka penanaman cara pandang ideologis tertentu yangcocok dengan proyek neo-liberalisasi secara global. Dalamkonteks inilah, konsep Good Governance menjadi ideologibagi kepentingan neo-liberal.

Saat menginterpretasi kata sambutan Paul Wolfowitzdi atas, kita bisa lihat betapa kata good (baik) memainkanperan kunci dalam fungsi konsep good governance sebagaiideologi. Kata itu menciptakan bayangan asumsi bahwalembaga-lembaga donor dunia yang melahirkan konsep itubaik dan punya itikad baik. Bahwa konsep itu mempunyaimaksud dan dampak baik terhadap negara-bangsa. Danbahwa pemerintah yang baik ialah pemerintah yangmengadopsi konsepsi yang baik, yakni Good Governance.Kata good ini sejak awal mencegah berbagai kalanganuntuk mempertanyakan isinya. Apapun isinya, sepanjangberada di bawah payung Good Governance, niscaya danpasti baik. Orang tak pernah mempertanyakan bagaimanakonsep itu bisa mendapatkan nama Good Governance. Apalegitimasi dari penggunaan kata ‘good’ (baik) dan apa arti‘good’ dalam konsep tersebut belum banyak dikaji secarapublik dan luas sebelum ditetapkan menjadi satu istilahbaku dalam konteks kehidupan dunia. Lebih aneh lagi,meski ada begitu banyak tafsiran antar lembagainternasional, mereka bisa sama-sama menggunakan istilah

yang sama, ‘good governance’. Isi belum ditentukan,namun sudah dinyatakan sebagai ‘good’.

Robert McChesney menyatakan: A superior term would be “neoliberalism”; this refers

to the set of national and international policies thatcall for business domination of all social affairs withminimal countervailing force. Neoliberalism is almostalways intertwined with a deep belief in the ability ofmarkets to use new technologies to solve socialproblems far better than any alternative course(McChesney, 2006).

(Istilah yang lebih tepat ialah “neoliberalisme”; isti-lah ini merujuk pada serangkaian kebijakan nasionaldan internasional yang menghendaki dominasi bisnisatas seluruh urusan sosial dengan kekuatantandingan yang minimal. Neoliberalisme nyaris selalujalin-menjalin dengan kepercayaan yang mendalamakan kemampuan pasar untuk bisa memanfaatkanteknologi-teknologi baru untuk memecahkan problem-problem sosial secara jauh lebih baik ketimbangalternatif lain.)

Good Governance berperan sebagai ideologi yang akanmembuka jalan rintisan bagi terbentangnya jalan yanglebih luas bagi masuknya neo-liberalisme ke dalam ruangkesadaran warga negara-bangsa di seluruh dunia.Bagaikan pasukan komando yang bertugas sebagaipasukan perintis untuk membukakan jalan bagi pasukanreguler, konsep Good Governance merupakan suatu unitelit yang akan meruntuhkan basis paling inti daripertahanan kesadaran anti-liberalisme dan anti-neoliberalisme, yaitu konsep mengenai apa yang baik (good)dalam pengelolaan negara-bangsa. Dalam hal ini, konsepGood Governance sungguh menerapkan secara baguskekuatan tersembunyi dari bahasa.

54 55

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Sebagai kesimpulan akhir, dalam fungsinya sebagaiideologi, konsep good governance secara sistematis danintensif bergerak dengan metodologi langkah-langkahsebagai berikut:

1. konsep tersebut mengajarkan bahwa ada faktor-faktoryang menyebabkan kegagalan pembangunan ekonominegara-negara berkembang sehingga karenanyafaktor-faktor tersebut harus dieliminasi;

2. konsep tersebut mengajarkan bahwa Bank Dunia danIFIs telah berhasil menemukan resep mujarab untukmengeliminir faktor-faktor tersebut, yang tak lainialah konsep Good Governance itu sendiri;

3. konsep tersebut mengajarkan bahwa konsep tersebutmerupakan satu-satunya resep manjur bagi pen-yelesaian problem kegagalan pembangunan ekonominegara-negara berkembang;

4. konsep tersebut mengajarkan bahwa faktor-faktorpenyebab kegagalan itu membuat pembangunanekonomi gagal karena menghambat berfungsinyasecara sempurna mekanisme pasar, dan karena itustrategi inti dari resep itu ialah mendorong pemerintahnegara-negara berkembang agar menyelaraskanproses pemerintahan dan kebijakannya sedemikianrupa sehingga kondusif bagi berlangsungnyamekanisme pasar bebas yang sempurna dan tanpahambatan; dan

5. konsep tersebut mengajarkan bahwa pemerintahnegara-negara berkembang yang tak menerapkankonsep good governance akan dianggap sebagaipemerintah yang poor governance atau bad gover-nance, sehingga karena itu bukanlah pemerintahyang baik.

Semua itu diajarkan dengan sedemikian intensif danekstensif sehingga pada akhirnya membentuk semacamatmosfer ruang kesadaran kolektif yang mencengkerambegitu kuat. Siapapun yang mengambil jalur di luar

mainstream akan terstigmatisasi sebagai anti-good-governance dan pro-bad-governance. Ketika konsep itubegitu kuat mencengkeram sedemikian rupa, maka padasaat itulah fungsi ideologis dari konsep Good Governanceberhasil mencapai tujuan ideologisnya. Yaitu menstigma-tisasi cara pandang dunia yang berbeda dan memistifikasicara pandangnya sendiri serta melanggengkan dominasineo-liberalisme.

Ideologi neo-liberalisme saat ini masih menjadi bahandiskusi yang sangat marak di forum-forum ilmiahinternasional. Bagaimana sikap penerimaan developingcountries terhadap ideologi ini (termasuk piranti teknisnyayaitu GG) dan apa dampak jangka panjangnya? RainerTetzlaff pernah menyatakan bahwa diskusi tentang peran-peran negara dan pasar yang berbeda dalam prosespembangunan diangkat ke level yang baru melalui tuntutanakan “good governance’’. Tujuannya bukanlah untukmelenyapkan peran negara sebesar mungkin, namun untukmengubah arah yang lebih besar ke arah tujuan-tujuandan efisiensi. Tuntutan akan “good governance” -yangpertama kali dimunculkan oleh Bank Dunia- sejak itu jugadiadopsi oleh lembaga-lembaga donor lain (Tetzlaff, 2006).

Namun, konsep Good Governance bukanlah sekedarwacana yang hidup dan bergerak di wilayah teks belaka.Konsep Good Governance juga bergerak di wilayah praktisekonomi-politik. Justru karena konsep itu diusung olehBank Dunia dan IFIs, maka konsep itu sama sekali berbedastatusnya jika diusung oleh akademisi-akademisiUniversitas Sorbonne atau Universitas Leiden. Bank Duniadan IFIs, seperti kita tahu, bukanlah lembaga tempatdimana konsep-konsep didiskusikan dan dikaji demikepentingan-kepentingan kepuasan kontemplatif atauteoretis. Mereka adalah lembaga-lembaga penjagastabilitas ekonomi pasar dunia. Keduanya merupakanlembaga-lembaga internasional yang bertanggungjawabterhadap peran untuk merumuskan dan sekaligus

56 57

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

menjalankan strategi untuk menjaga stabilitas ekonomiglobal demi kepentingan pasar bebas. Karena itu, konsep-konsep yang dibawanya juga sama sekali tidak muncul demikepentingan-kepentingan kemajuan teoretis, melainkandemi kemajuan kepentingan ekonomi pasar global.

Jika pada bagian sebelumnya, kita telah membahas GoodGovernance sebagai ideologi yang mengajak kita untukmelihat dunia dengan cara tertentu, maka pada bagianini, kita akan membahas bagaimana Good Governancemembuat kita mengalami pengalaman-pengalaman sosio-historis tertentu. Pengalaman-pengalaman sosio-historismacam apa yang telah, tengah dan akan kita alami, bukansebagai individu namun sebagai warga negara-bangsa, jikaGood Governance sungguh-sungguh diadopsi sebagaimanayang digariskan oleh Bank Dunia dan lembaga donor asing?

Dalam berbagai diskursusnya, Good Governance selalusaja menawarkan janji-janji kehidupan yang lebih baiksebagai bangsa dan negara. Janji-janji berupa negeri yangbersih dari korupsi, pemerintahan yang transparan dandemokratis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dansebagainya. Persoalannya ialah: “Apakah janji-janji itusungguh merupakan janji manis buat rakyat, atau buatinvestor asing?” Untuk mengerti janji-janji itu janji manisbuat siapa, maka kita harus melihat orientasi baru macamapa yang diajarkan konsep Good Governance terhadappraktek-praktek pemerintahan dan kebijakan publik.

Secara mendasar, dua gagasan besar tentang posisi danperan negara (atau pemerintah) yang digariskan oleh GoodGovernance adalah sebagai berikut:

1. Intervensi minimal dari negara/pemerintah atasbanyak aspek kehidupan negara-bangsa, dan lebihmengambil sikap ‘biarkan pasar yang bekerja’, dan

2. Negara/pemerintah harus dikontrol oleh mekanismechecks and balances dimana mekanisme itu padaakhirnya tunduk pada kemauan ‘pasar internasionaldan dalam negeri.’

Gagasan pertama ini tampak jelas dengan terlalubanyaknya penekanan fungsi pemerintah hanya sebagaipelancar bekerjanya mekanisme pasar bebas dan penyedialayanan publik yang efisien. Namun, yang terpenting ialahbahwa Bank Dunia melihat proyeksi tersebut sebagaisebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan; GoodGovernance ‘yang bersinonim dengan manajemen pem-bangunan yang baik’ (World Bank 1992: 1). Manajemensemacam itu tidak saja hanya membutuhkan pembatasanperan pemerintah, namun juga pemerintah yang lebih baik,yaitu pemerintah yang berkonsentrasi mengurangi upaya-upayanya untuk turut campur secara langsung dan lebihmemberdayakan pihak-pihak lain untuk menjadi produktif(World Bank 1989:5). Argumen yang dipetik dari karyapertama Bank Dunia mengenai konsep good governanceini mengulang argumen-argumen klasik neo-liberal bahwabelanja negara merupakan sesuatu yang tak produktif danbahwa pengeluaran negara itu menghalangi terciptanyakemakmuran yang dihasilkan dari aktivitas entrepreneur-entrepreneur individual yang rasional. Peran negaraseharusnya memberi jalan kepada sektor swasta untukmengarahkan aktivitas ekonomi. Dengan kata lain,aktivitas negara haruslah ramah pasar.

Seperti kata Schmitz (1995:69), inti utama dari apayang diminta terhadap negara-negara sedang berkembangbukanlah apakah mereka harus demokratis atau otokratis,namun yang menjadi perhatian adalah apakah merekamemiliki kehendak untuk mengelola dan menciptakan‘kerangka kerja kebijakan yang cocok’ yang dibutuhkanuntuk menciptakan pasar-pasar yang efisien. Juga apakahmereka bersedia mengawal berhasilnya implementasiprogram-program liberalisasi ekonomi seperti yangdimandatkan lembaga-lembaga donor dan kreditorinternasional.

Ringkasnya, pemerintah harus ramah pasar. Definisidari ramah pasar itu tentu bermakna bahwa segala

58 59

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

aktivitas dan kebijakan pemerintah harus memfasilitasiterciptanya ekonomi pasar bebas di negara tersebut.Namun, karena pasar bebas tidak hanya membutuhkanregulasi-regulasi dan praktek-praktek pemerintahan yangkondusif bagi dirinya, akan tetapi juga membutuhkanmasyarakat yang punya daya beli, maka pemerintah yangramah pasar juga harus bisa menciptakan suatumasyarakat yang paling tidak terpenuhi sekian kebutuhandasarnya sehingga punya uang lebih untuk turut sertadalam arus konsumsi pasar. Ini artinya, pemerintah harusmenanggung tugas untuk menyediakan layanan jasa yangpokok bagi masyarakat. Tentu saja, bukan karena alasankesejahteraan masyarakat itu sendiri, namun demikepentingan semakin besarnya arus uang yang berputardalam ekonomi pasar. Untuk tujuan tersebut, Bank Duniabersedia memberikan bantuan utang kepada pemerintahyang mau menjalankan program penyediaan layanan publikdasar. Tak heran jika Wolfowitz menyatakan:

The World Bank Group’s country strategy for Indo-nesia is in many ways leading the World Bank as awhole. It is one that particularly emphasizes gover-nance. In partnership with the Indonesian govern-ment, we are committing $900 million this year tostrengthen governance with the goal of improvingservice delivery in education, health, and otheressential services, and enhancing the investmentclimate.

(Strategi Kelompok Bank Dunia untuk negara Indo-nesia dalam banyak cara telah memberi arah buatBank Dunia secara menyeluruh. Strategi itu terutamamemberikan penekanan pada governance. Dalamkemitraannya dengan pemerintah Indonesia, kamitelah berkomitmen untuk memberikan dana bantuan$900 juta tahun ini dalam rangka memperkuatgovernance dengan tujuan untuk meningkatkan

layanan jasa di bidang pendidikan, kesehatan, danlayanan dasar lainnya, dan meningkatkan ikliminvestasi.)

Hal ini secara sekilas merupakan suatu gagasan yangmulia, namun kita lupa apa status dari dana sebesar $900juta itu. Apakah mungkin Bank Dunia akan demikianmudah memberikan dana hibah gratis? Tentu saja tidak.Pada akhirnya, uang tersebut harus dikembalikan lengkapdengan bunganya. Dan siapakah yang menanggung utangplus bunga tersebut? Tentu saja rakyat. Di sisi lain, justruaneh bahwa kemampuan pemerintah untuk menyediakanlayanan publik yang dasar harus bergantung pada utangterhadap Bank Dunia. Bagaimana pemerintah yangbergantung pada utang asing untuk membiayai pelayananpublik dasar itu bisa disebut sebagai pemerintah yang“good governance”? Bagaimana pemerintah yang terus-menerus berutang -yang pada akhirnya harus dibebankanpada rakyat dalam berbagai bentuknya- bisa disebutsebagai pemerintah yang “baik”?

Jadi, secara individual, warga negara-bangsa mungkinbisa merasakan adanya penyediaan layanan publik yanglebih efisien dan modern. Namun sebagai masyarakatnegara-bangsa, mereka harus membayar lebih mahalpenyediaan layanan publik itu karena layanan publik itudibiayai oleh utang pada lembaga donor yang jelas takmurah dan tak mudah. Mereka harus membayar baiksecara finansial maupun secara non-finansial, sepertihalnya pemberian konsesi-konsesi kepada pihak kreditoruntuk menjalankan program-programnya di negerinya.Pemerintah yang ramah pasar, seperti yang diidamkanGood Governance, barangkali terlihat “dermawan” dalamhal penyediaan layanan publik, namun sesungguhnya“kedermawanan” itu adalah “kedermawanan palsu”karena menggunakan uang utang luar negeri yang padagilirannya harus dilunasi beserta bunganya oleh rakyat.

60 61

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Inilah paradoks dari gagasan pertama konsep GoodGovernance tentang posisi dan peran negara. Pemerintahharus ramah pasar. Agar pemerintah bisa ramah pasar,maka pemerintah harus bergantung pada utang luarnegeri. Jika dibuat bagannya, maka bagan sederhananyabarangkali seperti di bawah ini:

Pada akhirnya, pemerintah negara berkembang besertarakyatnya justru harus berutang pada lembaga kreditorasing bagi terciptanya negeri yang ramah untuk investasibagi investor asing. Janji-janji bahwa investor asing akanmembawa kemakmuran sendiri sepanjang sejarah negeriini juga tak banyak terbukti. Terbukti dengan kehadiranraksasa Freeport tak menjadikan Indonesia sebagai negeripaling makmur sedunia. Padahal Freeport sudah puluhantahun ada di negeri ini untuk mengeksploitasi lahan seluasgunung. Bahkan agar pemerintahnya bisa menyediakanlayanan publik, negara yang sedang berkembang harusbergantung pada utang luar negeri.

Inilah pengalaman sosio-historis yang dialami olehrakyat negara sedang berkembang yang telah, sedang danakan mengadopsi konsep Good Governance. Dia hidup disebuah negeri yang semakin hari semakin terjerat utangdan dalam waktu yang bersamaan, sedikit demi sedikitberbagai cabang-cabang ekonomi dan sumber-sumberalamnya dikuasai oleh investor asing.

Gagasan yang kedua berusaha menciptakan suatupemerintah yang dikontrol oleh lembaga-lembaga di luardirinya yang pada akhirnya, kontrol itu sangat ditentukanoleh kemauan ‘pasar’ atau kekuatan-kekuatan pemodalmultinasional.

Jika kita gabungkan elemen-elemen yang diposisikansebagai “pahlawan kontrol” pemerintah agar pemerintahbisa menjadi “pemerintah yang good governance”, makaelemen-elemen tersebut ialah:

1. Lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia,IMF, ADB dan sebagainya;

2. Sektor swasta, yang meliputi investor-investor danperusahaan-perusahaan swasta; dan

3. Civil society, yang meliputi beragam kelompok civilsociety, namun yang terutama disebut-sebut ialahakademisi, NGO, organisasi kemasyarakatan, danmedia massa.

Tentu saja, agar komponen-komponen tersebut bisaberfungsi efektif dan sempurna, dibutuhkan ruang yangkondusif agar komponen-komponen itu bisa bersuaralantang. Ruang tersebut dinamakan sebagai ‘ruangdemokrasi’. Ruang demokrasi menjadi prasyarat bagiterciptanya kontrol yang sempurna dari komponen-komponen tersebut. Semuanya demi terciptanyapemerintah yang “good governance”.

Persoalannya adalah ‘Siapakah yang menentukan apayang dinilai dari pemerintahan dan bagaimana caramenilainya?” Apakah kinerja Good Governance untukkasus Indonesia misalnya, diukur berdasarkan dengan cita-

62 63

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

cita Proklamasi Kemerdekaan? Apakah UUD 1945 menjadisumber penilaian untuk melaksanakan pengawasanterhadap kerja dan kinerja pemerintah? Apakah semangat‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ me-rupakan semangat yang dipunyai oleh komponen-komponen tersebut dalam aktivitas kontrolnya terhadappemerintah? Jawabnya tentu saja: “Tidak!”

Jadi, siapa yang menentukan nilai yang menjadi tolokukur kontrol atas kerja dan kinerja pemerintahan itu? Tentusaja Bank Dunia dan IFIs. Sebagai lembaga pencetus danpenyebarluas konsep Good Governance, keduanya niscayatak ingin agar konsep tersebut bergeser dari jalur atautrack yang telah mereka tetapkan. Karena itu, wajar jikakeduanya lantas menyusun kategori-kategori tolok ukurpenilaian yang cocok dengan kepentingan-kepentinganmereka. Dan kategori-kategori yang telah mereka susunitulah yang kemudian mereka ajarkan kepada berbagaikomponen tersebut.

Pada akhirnya, setiap dan semua komponen “kontrol”pemerintah itu sesungguhnya akan menyuarakan hal yangsama, melihat dan menilai pemerintahan dengan kacamata yang tak jauh berbeda satu sama lain. Hal ini terjadikarena mereka memang telah dikondisikan untuk melihatdengan tolok ukur yang telah ditetapkan oleh institusi-institusi yang sama, Bank Dunia dan IFIs. Setiap dansemua komponen tersebut diajarkan untuk menilaipemerintah berdasarkan kriteria Good Governance yangdicanangkan dan didesain oleh dua institusi keuanganglobal itu. Dengan kata lain, komponen-komponen tersebuttak lain dari agen-agen Good Governance yang bekerja diwilayah-wilayah yang bersifat komplementer terhadapgerak aktivitas Bank Dunia dan IFIs.

Dari sini, kita bisa melihat fungsi konsep GoodGovernance sebagai medan perjuangan Bank Dunia danIFis sebagai perpanjangan tangan neo-liberalisme untukmengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang ada untuk

mendesak pemerintah agar mengadopsi konsep GoodGovernance. Organ-organ civil society diredusir perannyahanya sebagai agen-agen pemantau implementasi GoodGovernance oleh pemerintah. Apa yang kemudian akandialami oleh rakyat negara-bangsa jika yang terjadidemikian? Organisasi-organisasi yang seharusnya menjadiorganisasi-organisasi rakyat yang berjuang dengankekuatannya sendiri demi kepentingan rakyat malahmenjadi organisasi yang meredusir diri menjadi organisasi-organisasi massa atau underbouw dari suatu gagasan besaryang bernama “good governance”. Pemerintah diposisikanharus selalu mendengar organ-organ civil society yangmenjadi agen Good Governance jika tak ingin mendapatkankonsekuensi finansial maupun non-finansial dari BankDunia, IFIs dan segenap bala neo-liberalnya. Akibatnya,proses penyelenggaraan negara lebih mirip merupakanhasil kompromi antara pemerintah, sektor swasta, danorgan-organ civil society (sebagai agen Good Governance).Proses penyelenggaraan negara bukan lagi merupakandialog dan kontak terus-menerus antara pemerintah danrakyat. Jika disederhanakan, maka bagan realitas yangakan tercipta dari implementasi gagasan kedua di atas ialahsebagai berikut:

Dari bagan di atas, bisa dilihat bahwa arah dan isi darikebijakan publik yang diputuskan pemerintah dan lembaganegara lain (seperti halnya Komisi-Komisi Independen,Bank sentral dan sebagainya), sangat dipengaruhi oleh

64 65

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

pandangan-pandangan tiga subyek yang sesungguhnyamemperjuangkan satu hal yang sama, yaitu GoodGovernance. Secara praktis, pemerintah dan lembaganegara lain ‘dikepung’ oleh agen-agen Good Governancedari segala penjuru. Apa yang terlupakan atau tak adadari gambar bagan di atas? Jawabannya adalah rakyat.Tentu saja agen-agen Good Governance akan berdalihbahwa telah ada NGO-NGO atau LSM-LSM yang berperansebagai representasi atas kepentingan dan suara rakyat.Namun, jika kita telusuri secara empiris ternyata NGO-NGO atau LSM-LSM itu justru pembiayaan kerjanyabergantung pada lembaga-lembaga pendanaan asingsecara rutin. Maka terasa ganjil pula bahwa “organisasirakyat” bergantung pada gaji rutin dari luar negeri. Dalamkesempatan ini, cukup dinyatakan bahwa klaim rakyatdiwakili oleh NGO atau LSM yang pro-good governancemerupakan klaim yang lemah terutama karena adanyasifat NGO atau LSM yang hanya bergerak jika dana asingmengucur.

Dari paparan di atas, lantas bisa dipahami bagaimanakonsep good governance berfungsi sebagai medanperjuangan bagi kepentingan neo-liberalisme. Menjadimedan perjuangan artinya menjadi ruang dimanakepentingan neo-liberalisme bermain-main membentukrealitas ke arah seperti yang dicitakannya. Pada bagian-bagian awal, sempat kita singgung tentang masalahkekaburan arti dan makna dari konsep Good Governance.Kita sempat singgung bagaimana setiap lembaga donordan kreditor internasional punya pemaknaan masing-masing terhadap konsep tersebut. Dengan memandangkonsep Good Governance sebagai medan perjuangan bagikepentingannya, kekaburan itu justru memiliki arti vital.Mengapa bisa demikian?

Hal ini karena ketika suatu konsep begitu kabursehingga otoritas pemaknaan atas konsep itu tentu akanberada di tangan pendeklarasi konsep tersebut. Atau

setidaknya berada di tangan motor penggerak utamakonsep tersebut. Berbeda halnya jika suatu konsep itubegitu jernih dan terang benderang, maka setiap subyekakan bisa menjadi penafsir bagi dirinya sendiri. Dia takperlu bergantung pada pihak lain karena begitu jernih danterang benderangnya suatu konsep. Ketika konsep itu itubegitu general dan abstrak, sehingga tak bisa langsungditangkap ke mana arah dan isi dari konsep tersebut, padasaat itulah konsep itu memberi ruang bagi munculnyaotoritas-otoritas penafsir utama. Otoritas-otoritas inilahyang memegang kuasa bagaimana pihak lain harusmenafsirkan konsep tersebut baik secara teoretis maupunpraksis. Ketika pihak lain memasrahkan arah dan gerakdirinya pada otoritas tersebut, maka sangat mudah bagipemilik otoritas tersebut untuk mendikte pihak laintersebut.

Prinsip ‘kekaburan menciptakan otoritas’ inilah yangjuga berlaku dalam kasus Good Governance. Siapa otoritasutama dalam menafsirkan bagaimana Good Governancedan apa kriteria pemerintah yang Good Governance danmana yang tidak? Jawabnya menjadi dimonopoli olehotoritas utamanya, yakni Bank Dunia dan IFIs. Secaraintensif dan kontinu, kedua institusi tersebut terus-menerusmempercanggih definisi dan instrumen ukur GoodGovernance mereka. Apa tujuannya? Jelas untuk semakinmeneguhkan otoritas mereka. Dan ketika otoritas merekasemakin menguat, maka lebih mudah bagi mereka untukmendikte pemerintah-pemerintah yang butuh bantuanteknis maupun finansial dari mereka.

‘Pengetahuan adalah kekuasaan’. Barangkalipernyataan ini bisa meringkaskan strategi besar dari BankDunia dan IFIs untuk mendikte negara-negara DuniaKetiga. Namun, agar pengetahuan itu dibutuhkan, makaharus diciptakan kebutuhan akan pengetahuan tersebut.Konsep Good Governance menjadi alat yang berguna untuktujuan besar itu. Melalui kuasa pengetahuan, disebar-

66 67

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

luaskan pandangan bahwa kegagalan negara-negaraDunia Ketiga dalam membangun ekonominya ialah karenamereka belum menjalankan konsep yang bernama GoodGovernance. Setelah konsep itu diterima secara luas, lantaspada tahap berikutnya akan muncul pertanyaan:“Bagaimanakah konsep Good Governance itu harusdilaksanakan?”. Ketika ditebarkan sebagai konsep, GoodGovernance sama sekali hanya berkutat di wilayah teorigeneral dan belum mendeskripsikan bagaimana secarateknis pelaksanaannya.

Jadi, Bank Dunia dan IFIs menciptakan suatu ruangkosong atau ruang penuh tanda tanya mengenaibagaimana konsep Good Governance itu. Kemudian ketikapemerintah negara-negara Dunia Ketiga mengalamikebingungan dalam ruang kosong tersebut, Bank Duniadan IFIs dengan cepat dan efektif menguasai ruang kosongdan mengisinya dengan apapun yang dimaui keduanya.Keduanya memposisikan seperti seorang psikolog yangpunya kekuasaan menentukan apa penyakit sang klien danapa obat bagi sang klien. Jika ingin sembuh, sang klientak boleh membantah. Ruang kosong dari kekaburan konsepGood Governance menjadikan daya sugesti IFIs terhadapnegara-negara yang menjadi kliennya begitu kuatmencengkeram.

Memang, bahkan kita pun bisa menafsirkan GoodGovernance sesuai kemauan kita jika kita mau. Hanya sajapersoalannya ialah seberapa hebat daya kita untukmemaksakan agar tafsiran kita tersebut diterima dandiadopsi oleh khalayak luas. Kita bisa saja menafsirkannyasesuka kita, namun ketika dilempar ke publik, seberapabesar publik akan menerima apalagi mengadopsinya?Memangnya siapa kita sehingga bisa memaksakan tafsirankita itu? Pada akhirnya, ‘siapa kita’ sungguh amat me-nentukan?

Dalam konteks inilah, Bank Dunia dan IFIs menjadijauh lebih unggul dan menentukan dari siapapun. Mereka

memiliki apa yang dibutuhkan oleh pemerintah-pemerintahnegara Dunia Ketiga. Mereka memiliki dana yangdibutuhkan oleh negara Dunia Ketiga untuk membangun.Power mereka -sebagaimana telaah polisentrisme pada babterdahulu- timbul karena sumber daya dana yang merekapunyai. Persoalan bagi keduanya hanyalah bagaimanaagar bisa punya kesempatan mendompleng bantuan danatersebut untuk membentuk tata dunia seperti yang merekainginkan, dunia yang neo-liberal. Kekuasaan otoritatifuntuk menginterpretasi isi dari konsep Good Governancemenjadikan kesempatan itu terbentang luas. Dengankekuasaan otoritatif itu, mereka bisa memposisikan dirisebagai shaman yang serba tahu penyakit kliennya danserba tahu apa obatnya. Nah, melakukan restrukturisasidistrubusi kuasa yang lebih adil dalam skala internasionalinilah salah satu hal pokok yang hendak diperjuangkanoleh Sound Governance.

68 69

Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

BAB IV

SOUND GOVERNANCE

Mengapa Harus Sound Governance?Pada bagian-bagian terdahulu telah banyak dipaparkan

tentang berbagai kelemahan konsep Good Governance(GG). Hal yang membuat mengapa menjadi sangat pentingsaat ini untuk merumuskan konsep baru yang dapatmenjawab kegagalan epistemologis GG. Solusi dari masalahini adalah dengan menghentikan arus besar kesalah-kaprahan GG yang meluas dengan menggantinya dengankonsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable,yaitu Sound Governance (SG). Terdapat lima alasan pokokyang medasari kesegeraan dalam pergantian paradigmaini.

Pertama, SG jauh lebih komprehensif dari pada GGterutama dalam melihat aktor-aktor kunci yang harusdipertimbangkan dalam sebuah proses tata pemerintahan.Tidak hanya melihat proses interaksi antara aktor-aktordomestik, yaitu pemerintah, pasar dan masyarakat sipil,akan tetapi SG juga melihat besarnya peran konkret dariaktor-aktor ekonomi politik internasional. Aktor-aktorinternasional di sini mencakup kebijakan luar negeri darinegara-negara maju, organisasi-organisasi multi lateral,korporasi global multinational corporation/transnationalcorporation (MNC/TNC) dan lembaga donor dan keuanganinternasional dan big NGOs. Di Indonesia sendiri telahbanyak bukti dan argumen-argumen ilmiah tentangbesarnya pengaruh aktor-aktor ini dalam dinamika sosial,politik dan ekonomi dalam negeri yang juga berdampak

pada proses tata pemerntahan (Mansour, 2003). Lebih jauhtentang analisis aktor dalam SG ini akan dijelaskan lebihdetail pada bagian lain dari buku ini.

Kedua, SG juga mengedepankan adanya penghormatanatas keragaman konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan,utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisionalyang telah lama terkubur. Selama ini, kita, terutamabangsa Indonesia, telah lama me[di]lupakan oleh kekayaanbudaya kita sendiri. Sistem pemerintahan daerah diIndonesia adalah sejarah yang sangat panjang, bahkanjauh lebih panjang dari usia negara ini sendiri. Akan tetapmodel pemerintahan barat telah ditransplantasi seiringdengan masuknya kolonialisme di Indonesia. Bukan hanyadi Indonesia, di berbagai belahan dunia, penyeragamanatas sistem pemerintahan barat telah banyak menguburhidup-hidup keragaman yang luar biasa atas sistempemerintahan original lokal. Ali Farazmand mencontohkahkebesaran Kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasibudaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalampengelolaan pemerintahan. Di Indonesia, berbagai sistempemerintahan berbasis budaya lokal juga sudah banyakterabaikan (Andi, 2007). Tetapi sejarah dan riset ilmiahseolah hanya mulai dibuka semenjak Max Webermengkonstruksi konsep birokrasi modernnya. Disusulperkembangan ilmu administrasi publik berikutnya,termasuk GG, semuanya adalah cerita tentang pembantaianmassal budaya lokal sistem pemerintahan. Itulah sebabnyaSG menyeruak untuk melihat apakah masih ada peluanguntuk menyelamatkan keragaman budaya pemerintahanitu.

Ketiga, adalah orientasi SG yang lebih kepadakeseimbangan dan fleksibilitas antara proses dan outputdari sebuah proses tata pemerintahan. SG percaya padapepatah ‘banyak jalan menuju Roma’. Artinya untukmewujudkan diri sebagai pemerintahan yang baik tidakharus dengan satu cara. Melainkan bisa dengan berbagai

70 71

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

cara. Hal ini utamanya dipicu oleh tumpang tindih antarahubungan proses dan output yang ada di dalam GG. Sepertitelah disadari bahwa tujuan utama dari pemerintah adalahmenegakkan keadilan, menjamin keamanan publik,pertahanan nasional, kesejahteraan umum dan menjaminhak-hak masyarakat (McDowell, 2008). Nah, dalam rangkamencapai tujuan itu, GG bersikukuh bahwa hanya ada satujalan untuk menuju kesana, yaitu dengan menjalankanprinsip-prinsip GG. Persis seperti perilaku pembangunan-isme di masa Orde Baru, yaitu hanya ada satu jalan sajauntuk maju, yakni pertumbuhan ekonomi. SG lebihmengedepankan pencapaian tujuan ketimbang ribut soalbagaimana cara tujuan itu tercapai. Kendati demikian didalam SG ada prasarat-prasarat dasar universal terkaitdemokrasi, transparansi dan akuntabilitas tetap harusditegakkan. Fleksibilitas yang menjadi titik tekan SGadalah ‘inovasi’, yang merupakan ruh dari implementasiSG dalam praktek pemerintahan sehari-hari (Farazmand,2004).

Keempat, selaras dengan hukum, perjanjian dan normainternasional. Hal ini merupakan konsekuensi dari pe-rubahan besar yang dilakukan SG dalam dunia administrasipublik yang ‘sadar globalisasi’. Memutus begitu sajahubungan antara dinamika di tingkatan lokal dengankonteks global adalah sesuatu yang naif. Jangankan ditingkatan lokal, di tingkat nasional pun masalah ini masihsangat akut. Selama ini yang terjadi adalah hukum-hukumratifikasi atas perjanjian-perjanjian internasional yang adadi sekretariat negara masih hanya merupakan tumpukanperaturan yang tidak pernah diimplementasikan denganbaik. Ambil saja contohnya UU No. 21 Tahun 2003 tentangPengesahan Konvensi ILO Mengenai PengawasanKetenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Di situdiatur banyak hal jaminan internasional atas hak-hakburuh, tapi kenyataannya di Indonesia praktek pe-langgaran hak buruh masih saja marak.

Proses tata pemerintahan seharusnya sinkron dengnarah dan strategi global jangka panjang yang tertuangdalam hukum, perjanjian atau norma internasional. Inimerupakan gerakan sentrifugal dari tata pemerintahan ditingkat lokal, yang juga pada gilirannya akan berkontribusipada perbaikan tata pemerintahan global (globalgovernance). Di samping ada nilai-nilai lokal yang harustetap dijaga dalam konteks SG, dunia harus juga makinterkoneksi secara produktif untuk menciptakankemakmuran bersama. Ketika SG menganjurkan untukmenghormati dan mencoba untuk menerapkan budayalokal dalam praktek perintahan, bukan berarti mengajakmasyarakat untuk menjadi nativist, yaitu sikap yang hanyamemikirkan masyarakat lokal dan budaya lokalnya tanpapeduli, dan cenderung membenci, aspek-aspek yang lebihluas terlebih global. Penghormatan terhadap budaya lokaldalam SG adalah untuk menjaga kekayaan ragam budayatata pemerintahan yang pada gilirannya akanberkontribusi untuk perbaikan satu-sama lain.

Kelima, pada dasarnya SG bukanlah sebuah konsepadministrasi publik pada umumnya baik dari BirokrasiWeber hingga GG yang dipaksakan (imposed) dari Barat.SG adalah sebuah konsep ilmiah yang digali dari Persia.Keberhasilan Kerajaan Persia pada Abad 500 SM dalammengelola wilayah yang begitu luas, terbentang mulai dariAsia, Timur Tengah, Eropa Timur hingga Afrika Utara(Daniel, 2001), adalah berkat diterapkannya prinsip“toleransi” dalam pemerintahannya. Sebab disadari atautidak, dengan wilayah yang begitu luas pada jaman itu,identitas perbedaan budaya masing-masing daerah masihsangat kental. Memang hari ini banyak negara yang lebihluas daripada Kerajaan Persia waktu itu. Namun hari inipula perkembangan ilmu pemerintahan dan perangkatadminstrasi tata pemerintahan hadir lebih kompleks danmaju. Utamanya dengan adanya teknologi informasi danperlintasan antara budaya yang terjadi jauh lebih intensif.

72 73

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Sehingga integrasi relatif lebih mudah tercapai. Padazaman tersebut, sebuah negara besar dengan tingkatkeragaman budaya yang tinggi nyatanya dapat bertahanhingga lebih dari 600 tahun. Ini harus diakui sebagaisebuah prestasi yang luar biasa. Dibutuhkan kejeniusandalam menciptakan sistem pemerintahan yang me-mungkinkan hal itu terjadi. Toleransi adalah kunci rahasiadari keberhasilan itu. Dalam prakteknya saat ini, strategiitu adalah dengan tidak lagi diberlakukan mekanismecetrum-pheriphery dalam tata pemerintahan. Hubunganeksploitatif antara pusat dan daerah harus mulai ditinggal-kan. Ide brilian ini sesungguhnya bukanlah sebagaimanaselama ini diklaim dari Barat. Justru SG membuktikanbahwa konsep-konsep non-Barat sebenarnya banyak yangapplicable, khususnya di bidang pemerintahan.

Sound Governance dipakai tidak hanya untuk menunjukpada sistem pemerintahan yang layak dan efektif secaradomestik dan sempurna secara ekonomis, politis,manajerial, konstitusional dan terlebih etis. Hal inilah yangmenjadikan dasar pembalikan besar-besaran dalamperkembangan ilmu administrasi publik yang ada selamaini. Sebab ambisi keberhasilan administrasi publik yangingin dicapai dalam SG itu jelas tetapi tidak mendikte. SGdengan jelas dan spesifik menyebutkan dimensi-dimensiyang harus dicapai dalam sebuah proses pemerintahan,tetapi tidak mendikte bagaimana masing-masing dimensiharus dicapai.

Mendefinisikan Kembali RealitasInteraksi berbagai elemen adalah realitas yang tak bisa

dipungkiri dari SG (Farazmand, 2004). Seperti telah di-katakan pada bagian pendahuluan, bahwa matrikkehidupan saat ini sangatlah kompleks. Akibatnya angkaprobabilitas menjadi tak terhingga, sementara proses kerjatata pemerintahan tetap harus terarah. Memang telahbanyak perangkat teknis untuk mengatasi dunia yang

penuh dengan ketidakpastian seperti ini, seperti denganmenggunakan Bayesian Theory. Tetapi masalahnya adalahdisamping kapasitas pelaku-pelaku di lapangan belumdapat menggunkan teknik ini dengan trampil, pun tidakmungkin seluruh semesta persoalan di lapangan dapatdiselesaikan dengan teknik–teknik semacam ini. Sehinggapertanyaannya bagaimana tata pemerintahan berurusandengan soal semacam ini? Bagaimana dimensi-dimensiyang ada dalam SG dapat menjadi jawaban atas kerumitanini? Sebagian besar birokrat dan pemimpin politikmengalami frustrasi menghadapi masalah ini. Makamereka cenderung hanya menyelesaikan masalah-masalahpermukaan yang hanya akan berujung publisitas semata.

Hal yang pertama kali harus dilakukan oleh parabirokrat adalah memahami realitas situasi ini. Situasi yangtidak mungkin bisa dijawab dengan cara yang sangatsederhana, yaitu rutinitas prosedural. Memang masalahyang ada adalah persoalan laporan dan akuntabilitasmenjadi lebih rumit. Akan tetapi itu adalah harga yangharus dibayar bila organisasi pemerintahan ingin menjadilebih baik dalam mengemban tugas-tugas kepublikannya.Semangat kepublikan seperti dikatakan Irfan Islamy(1997) tidak lagi hanya sekedar berada pada tingkatanmental atau etika, akan tetapi harus segera menjelmamenjadi paradigma. Yang artinya ia haruslah menjadisebuah sistem solid dalam tiap individual birokrat mulaidari tingkat kesadaran yang lebih tunduk pada pemecahanmasalah ketimbang prosedur juga dalam perilaku teknismereka di lapangan. Memang harapan ini terdengar sangatnaif. Mengingat kondisi kenyataan birokrat di seluruh duniasangat jauh dari hal tersebut. Tetapi sebuah perubahanbudaya dan paradigmatik memang tidak bisa dilakukandalam sekejap mata.

Dengan kenyataan sosial yang sarat dengan interaksiyang dinamis ini maka harus memunculkan tiga hal pokok,yaitu keragaman, kompleksitas dan ketegangan (Faraz-

74 75

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

mand, 2004). Tiga perwujudan inilah yang akan menjadidasar bagi konstruksi konseptual SG itu sendiri. Tentu sajaperkembangan konsep SG saat ini sedang dan terus akanberproses. Tapi setidaknya kita tahu dimana kita dulu, darimana kita berangkat dan kemana kita hendak pergi. Tigarealitas dasar, sebagai kesadaran SG dalam mencandrarealitas sosial, berikut ini adalah tonggak dasar dari manakita berangkat.

Realitas dasar pertama adalah keragaman (diversity).Interaksi dinamis yang ada secara niscaya akan me-munculkan umpan balik (feedbacks) dan check andbalances. Di dalam kehidupan sehari-hari setiap pendapatyang kita ungkapkan, di rumah atau di kantor pasti akanselalu mendapat dua hal tersebut baik secara langsungmaupun tak langsung, dalam skala yang besar maupunkecil. Proses ini menjadi makin tinggi intensitasnya ketikamedia teknologi komunikasi sekarang sudah semakinmerapatkan jarak dan waktu. Dalam bidang pemerintahantentu hal ini menjadi sangat konkret. Setiap pernyataanpejabat publik, kebijakan yang dibuat dan perilaku aparatdi lapangan juga pasti akan menarik datangnya feedbackdan check and balances. Hal ini muncul karena keragaman(diversity) adalah kenyataan hidup (Wilson, 2006). Tidakada masyarakat yang monolitik dan akan setuju seratuspersen dengan apapun yang dikatakan orang lain, bahkandi dalam keluarga sekalipun. Kenyataan bukannyamenjadikan para birokrat putus haparan (hopeless) atasbetapa rumitnya dunia. Sebaliknya, harus dapat dijadikanenergi untuk mendorong tumbuh suburnya inovasi dankreatifitas di dalam tubuh organisasi pemerintahan.

Realitas dasar kedua adalah kompleksitas (complexity).Sebagai dampak dari realitas dasar pertama (diversity),menjadi perlu untuk membuat kelompok-kelompok oposisidan mereka-mereka yang ada di lingkaran pheripherymerangsek ke dalam inti pemerintahan dan kebijakanpublik. Hal ini juga didorong oleh gerakan demokratisasi

yang hari ini juga telah menjadi gelombang besar dalamsejarah peradaban dunia kontemporer. Singkatnya dapatdikatakan bahwa keberagaman dan demokratisasi secarasimultan menciptakan kompleksitas dalam tatapemerintahan kita saat ini. Sekali lagi, realitas iniseringkali diabaikan, baik tingkatan praktek maupunperkembangan konseptual dalam ilmu administrasi publikdan pemerintahan selama ini. SG, sekali lagi, inginmengajak kita untuk melihat sesuatu yang komplekssemacam ini untuk disikapi secara optimis. Kompleksitasini pada gilirannya akan membuat tata pemerintahan(governance) menjadi tetap sibuk (Farazmand, 2004).Karena mereka setiap hari harus bertemu dan berhadapansecara tangkas dengan masalah-masalah yang kompleks.Sibuk bukan mengerjakan sesuatu yang itu-itu saja danbersifat fisik semata, tetapi sibuk yang membuat merekaberpikir, mencari jalan keluar dan solusi terbaik di tengahkompleksitas tersebut.

Realitas dasar ketiga adalah ketegangan (intensity).Kompleksitas menghasilkan berbagai macam derajatketegangan atau intensitas dalam proses tata pemerin-tahan baik secara domestik hingga internasional. Ke-tegangan yang dimaksud bukanlah dalam pengertiannegatif, yaitu yang berkonotasi konflik destruktif.Ketegangan di sini lebih pada makin intesifnya komunikasidiantara elemen-elemen yang ada. Derajat intensitaskomunikasi yang tinggi menyebabkan faktor psikologis dan‘rasa’ juga terlibat di dalamnya. Sebuah interaksi dankomunikasi yang tidak lagi formal, kaku dan ala kadarnyasebagaimana proses interaksi umumnya terjadi di dalambirokrasi. Memang, proses interaksi yang intens bisamenyebabkan konflik. Tetapi harus diingat, peluang kearah konflik sama-sama besarnya dengan peluang makineratnya hubungan antar elemen yang berinteraksi. Untukitulah dibutuhkan juga jiwa yang senang tantangan (riskaverse) demi mencapai sesuatu yang lebih baik. Tetapi juga

76 77

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

harus cepat berbenah ketika menyadari ada kesalahan didalam dirinya. Dalam konteks tata pemerntahan, SGmenyadari bahwa ketegangan ini akan makin meninggiderajatnya dalam era modern. Birokrat harus tangkasdalam menyikapi berbagai kemungkinan yang timbul, danmemetik manfaat terbaik dari tingginya derajat intensitaskomunikasi hari ini. Sekali lagi, adaptasi, kelenturan daninovasi merupakan kemampuan dasar yang harus dimilikioleh para birokrat di semua level.

Ketiga realitas itu menjadi dasar bagi konsep SG itusendiri. Penolakan SG atas adanya wacana tunggal bukansemata wujud ketidaksenangan terhadap hegemoni GG.Melainkan lebih didasarkan pada pembacaan realitassesungguhnya yang terjadi di masyarakat yang serbakompleks. Tuntutan SG akan adanya kemampuan parapejabat publik yang lentur, inovatif dan adaptif bukansemata harapan indah (wishful thinking), melainkansebuah tuntutan zaman yang tak bisa dihindari begitu saja.Keinginan SG untuk lebih menyeimbangkan antara outputdan proses adalah berangkat dari perspektif yang kompleksdan diverse tentang cara bagaimana tujuan-tujuan baikbisa digapai.

Pentingnya EgalitarianismeUntuk mencapai hasil yang maksimal atas tujuan ideal

tersebut, peran dari lembaga-lembaga internasional cukuppenting. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat untukkasus Indonesia sebagian proyek-proyek pemberdayaandan peningkatan kapasitas pemerintahan didanai olehlembaga-lembaga donor ini. Hanya saja yang menjadimasalah selama ini adalah telah terjadi kesalahan caramengelola dan mempersepsi kegiatan-kegiatan tersebut.Hubungan antara lembaga donor dan pemerintah (baikpusat ataupun daerah) masih banyak terjadi ketidak-harmonisan.

Kegiatan peningkatan kapasitas yang ada selama inihanya dipandang sebagai ‘proyek’ semata. Lahan untukmencari uang bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya.Hal ini tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga harusmelihat pada hasil yang harus dicapai. Dana-dana darilembaga asing umumnya masuk dan menandatanganikontrak dengan pemerintah pusat sebelum masuk kedaerah. Di tingkat pusat sudah banyak broker-brokerproyek yang memainkan pengucuran dana ke tingkatdaerah. Sehingga daerahpun akan mempersepsi kegiatanatau program peningkatan kapasitas dari lembaga donorasing itu juga hanya sebatas proyek. Bila hal ini terusberlanjut, ketergantungan akan keberadaan dana-danaasing akan semakin kuat. Dan lembaga donor yang tahukondisi ini akan memanfaatkannya untuk makinmerepresifkan pendekatan dan pola hubungannya dengannegara atau institusi-institusi penerima donor.

Kekuatan internasional semacam itu seharusnyamemberikan dukungan dan peluang daripada memberikantekanan dan hambatan, seperti sanksi, propaganda, sikappermusuhan, konflik perbatasan, perang, ataupun tekananfinansial internasional. Hal inilah yang terjadi padahubungan lembaga pemberi donor dan negara penerimadonor yang bersifat neo-kolonialistik. Di dasar niat sebaikapapun kalau hubungan neo-kolonialistik yang terjadi,maka kemajuan dan perbaikan yang hakiki di negara-negara berkembang tak akan pernah tercapai. Sebabhubungan neo-kolonialistik hanya akan melanggengkankesenjangan antara negara maju dan negara miskin, hanyaakan memperkokoh struktur tidak adil antara centrum-periphery, serta menciptakan tatanan ekonomi politikinternasional yang eksploitatif. Utamanya ketika kemajuan(progress) telah menjadi bagian dari praktek hegemoni danpatokan sistem baku (modular form) yang harus dipatuhi,kapanpun dan dimanapun (Chatterjee, 1993 Blaut, 1993;Shohat dan Stam, 1994).

78 79

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Pola hubungan antara lembaga pemberi donor danpenerima donor yang lebh egaliter dan emansipatorissangat penting untuk segera ditegakkan agar prosesoperasional dari berjalannya peningkatan kapasitas sistempemerintahan lebih smooth. Sebab para aktor yang menjadisasaran untuk ditingkatkan kapasitasnya melakukansegala perbaikan atas dasar kesadaran dan kebutuhanmereka. Bukan sebagai kewajiban dan keharusan yangkerap kali mereka lakukan atas dasar tekanan danketerpaksaan. Sering kita melihat dalam skema proyek-peroyek di daerah yang mengatakan bahwa kalau daerahtertentu tidak berhasil mengimplementasikan modul proyek,maka daerah itu tidak akan mendapatkan proyek lagi.Pernyataan ini bersifat ancaman dan koersif. Ini adalahsebuah hubungan yang neo-kolonialis dan dangkal. Sebabmereka tidak melihat secara mendalam apa sebab-sebabkegagalan suatu daerah dalam implementasi proyektersebur. Jangan-jangan memang ada yang salah dengandesain proyeknya.

Dalam SG pola hubungan inter-personal maupun inter-institusional antara pemberi donor dan penerima donor inisangat penting. Penting untuk mendorong pada terciptanyacapacity building, inovasi, kreatifitas dan responsivitasyang adaptif. Tiap-tiap daerah tentu memiliki keunikansendiri-sendiri, maka perbedaan capaian adalah sesuatuyang wajar terjadi. Semua pihak yang terlibat harusterbuka dan egaliter untuk memahami persoalan danbersama mencari solusinya. Yang terjadi selama ini adalahhubungan antara juragan dan buruh. Para buruh selaludiliputi rasa segan dan takut ketika berhadapan denganjuragan, takut dipecat dan takut tak lagi mendapatkangaji dari sang juragan. Sehingga agar selamat dari amukanjuragan, para buruh berusaha sedapat mungkin membuatjuragan senang dan gembira. Caranya dengan memberikanlaporan-laporan tentang hal-hal yang baik-baik danmenutupi hal-hal yang buruk. Sang juragan juga menikmati

previllege ini. Senang ketika semua orang berusaha untukmembuatnya senang, meskipun dengan laporan-laporanfiktif dan palsu. Dan hanya akan marah-marah ketikakedapatan ada anak buahnya yang kurang berhasil dalampelaksanaan tugas. Persis seperti hubungan penjajah danterjajah. Dan kenyataannya, pola hubungan seperti ini diabad XXI masih cukup lestari di negeri kita tercinta. Tidakhanya antara bupati dengan para birokrat di bawahnya,tapi juga yang lebih memperihatinkan adalah antaralembaga-lembaga donor dengan pemerintah.

Hal inilah yang menjadi titik tolak SG dalam halmelakukan reformasi atas keberadaan dana-dana asingdi negara-negara berkembang. Berbeda dengan kalanganMarxist ekstem yang selalu menolak mentah-mentah segalasesuatu yang datangnya dari World Bank atau IFIs, karenamenganggapnya sebagai agen neo-liberalisme yang selalueksploitatif. Memang betul bahwa lembaga-lebaga tersebutmengemban misi neoliberal (Alavi, 1991), akan tetapidalam konteks kekinian menolak mentah-mentah segalabentuk kehadiran mereka juga bukan pilihan gampang.Di samping itu, sikap penolakan mentah-mentah semacamitu juga tidak sejalan dengan solusi arif poskolonial, yaituprovisionalisme. Sebab di beberapa negara (Eropa Barat,Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Amerika Utara) harusdiakui faktanya bahwa neo-liberalisme berhasil memaju-kan ekonomi mereka. Fakta tersebut sama validnya dengankenyataan bahwa neoliberalisme juga memiskin-kan negaradi Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin.

Pun SG berbeda dengan kelompok ekstrem kanan yangselalu dengan membabi buta mengatakan bahwa neo-liberalisme dan segala keturunannya (termasuk GG),adalah selalu baik dan ideal. Dan oleh karena itu satu-satunya pilihan bagi negara-negara di seluruh dunia untukmenjadi sejahtera maka harus menerapkan neoliberalisme.Dua sikap ekstrem tersebut sama-sama kekanak-kanakan.Provisionalisme penting dalam rangka mencegah kita untuk

80 81

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

bersikap anti-pati terhadap sesuatu hal. Strategi SG dalammenata ulang hubungan lembaga pemberi donor denganpenerima donor bukanlah semata ditunjukkan dalam sikapmanis dan senyum ramah setiap kali bertemu. Tetapi jugaharus nampak pada keramahan ideologis. Artinya, parapetinggi World Bank dan IFIs lainnya berhentilah berskapseperti juragan dan memperlakukan negara-negarapenerima dana sebagai hamba sahaya. Atau para konsultanlembaga asing yang merasa paling pintar dan palingmengerti atas kondisi yang dihadapi negara penerima donor.

Mungkin memang banyak informasi yang diketahui parapetinggi di World Bank yang tidak diketahui masyarakatdan birokrat di Indonesia. Tetapi harus diingat bahwasebaliknya, banyak pula hal yang diketahui pelaku-pelakulokal dan tidak diketahui pejabat-pejabat World Bank.Terlebih dari pada itu, mungkin ada keyakinan ideologisyang kuat yang dimiliki IFIs dan itu berbeda dengankeyakinan ideologis para pelaku di lapangan. Bagaimanaseharusnya kita menyikapi perbedaan-perbedaan ini? Satukata saja; egalitarianisme. Egaliter dalam bersikap danbernegosiasi atas informasi, nilai, kepentingan dan ideologi.

Dimensi-dimensi dalam Sound GovernanceKata dimensi di sini penting untuk mengatakan istilah

‘indikator’. Sebab sebagaimana dalam GG dan konsep-konsep hegemonik lainnya, indikator keberhasilan adalahsebuah prasyarat mutlak bagi sebuah ide agar dapatdikatakan implementatif. Sebab sebuah ide yang implemen-tatif adalah ide yang bisa diimplementasikan, dan dapatdiukur sampai sejauh mana kinerjanya dapat dicapai dilapangan. Tidak ada yang salah dengan pemahaman se-perti itu, utamanya bila kita hendak menelorkan sebuahide yang akan diterapkan di tataran mikro.

Akan tetapi hal ini akan menjadi masalah besar ketikahendak diterapkan pada proses epistemoligis pada konsepmakro, terlebih global. Indikator yang digunakan sebagai

alat ukur keberhasilan serta merta akan berubah menjadiawal kegagalan besar. Sebab indikator akan mengabaikankompleksnya variasi yang ada di lapangan serta mengabai-kan fitrah kehidupan yang tak tunggal. Keindahan tidakharus satu bentuk. Oleh karena SG tidak ingin mengulangkesalahan-kesalahan konseptual yang sama, maka SGlebih mengedepankan dimensi ketimbang indikator.Dengan konsep dimensi, keleluasaan dalam wilayahimplementasi, keragaman serta kreatifitas pelaku-pelakudi lapangan menjadi dapat terekspresikan secara luas,tanpa harus menjadi chaos. Sebab dimensi tetap memilikistandar ideal, meski sangat normatif yang bisa diukurmeski tidak harus dikuantifikasi.

Di dalam SG terdapat sepuluh dimensi yang diharapkandapat menjadi peta dalam pelaksananaan reformasiadministrasi publik. Istilah peta di sini digunakan sebabsepuluh hal yang ada ini bukan merupakan harga matidan keharusan. Ibarat sebuah peta, tentu kita akan dapatmelihat berbagai pilihan alternatif jalan untuk menuju satutempat. Jalan mana yang hendak dipilih tentulah sangattergantung pada pertimbangan dan keadaan masing-masing yang kontekstual. Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. ProsesProses di sini artinya adalah hubungan dan interaksi

antara berbagai elemen yang ada dalam proses tatapemerintahan. Dalam hal ini berarti termasuk pula elemen-elemen yang ada dalam GG (negara, swasta danmasyarakat sipil) dan juga ditambakan satu aktor dalamSG yaitu aktor-aktor internasional. Yang hendaknyadilakukan dalam dimensi ini adalah mencapai dan men-cermati kualitas proses dari interaksi antar elementersebut. Sehingga tidak seperti dalam GG yang indikatorinteraksi antar aktornya hanya penuh dengan lembarkehadiran dan tanda tangan dari para peserta rapat,lengkap dengan kolom asal insitusinya. SG tidak melihat

82 83

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

melulu pada aspek permukaan itu, melainkan prosesseperti apa yang terjadi atas hubungan empat aktor yangada di tiap-tiap daerah, dicari sebabnya dan arahperbaikan sesuai dengan konteks lokal.

Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah SG tidakhanya terfokus pada proses internal, tapi juga eksternaldan struktur dari proses itu sendiri. Proses eksternal yangdimaksudkan di sini adalah berangkat dari kenyataantentang dunia yang saling terkoneksi. Maka ketika kitamelihat proses interaksi empat aktor di satu lokus tertentu,jangan lupa bahwa ada proses di lokus yang lain yangmungkin juga berpengaruh terhadap formasi tersebut.Ibarat menikmati keindahan ikan, SG tidak melihatnya didalam sebuah akuarium, melainkan melihat ikan-ikantersebut langsung dari dasar lautan. Sedangkan yangdimaksud dengan ‘struktur dari proses’ adalah distribusikuasa yang terbangun di dalamnya. Sebab dalam prosesinteraksi yang polisentris, disadari bahwa hubungan antarelemen itu selalu terkait dengan besaran kuasa (Shohatand Stam, 1994). Nah tugas SG adalah untuk mencermatihal itu dan berupaya untuk mengegaliterkannya.

2. StrukturKalau proses adalah tentang bagaimana pemerintahan

bekerja, struktur menunjukkan dan memandu arah padaproses tersebut. Arahan yang diberikan oleh struktur iniberada pada keseluruhan sistem tata pemerintahan, tetapidapat pula berada di masing-masing elemen yang adadalam tata pemerintahan. Sehingga tiap-tiap elemen yangada, dengan struktur yang ada di dalam dirinya, tahu apayang harus diperbuat dan kemana harus melangkah sesuaidengan tujuan kolektif yang telah ditetapkan.

Sehingga, yang dimaksud struktur di sini adalah tubuhkonstitutif dari elemen, aktor, peraturan, regulasi,prosedur, sistem pengambilan keputusan dan otoritas(Farazmand, 2004). Hal ini merupakan aturan atas peran-

an yang harus dimainkan masing-masing hal tersebut.Contohnya harus ada konstitusi yang jelas yang mengaturtentang sejauh mana otoritas yang dimiliki seorang pejabatpublik utamanya dalam proses pengambilan keputusan.Atau struktur yang mengatur tentang regulasi, utamanyamenyangkut kaitan antara satu regulasi dengan regulasilainnya serta alasan-alasan mengapa regulasi tersebutharus berbentuk demikian. Dengan demikian, SG berharapsetiap tata pemerintahan dapat mengidentifikasi strukturdari elemen-elemen yang ada di dalamnya. Hal ini bertujuanagar tata pemerintahan yang ada benar-beanr mengertidan mengenali elemen-elemen yang dimilikinya, tahu caramemanfaatkannya dengan baik dan memperbaiki dengansegera bila terdapat kesalahan.

3. Kesadaran dan NilaiNilai demokrasi harus disandarkan sebagai kebutuhan,

bukan dipaksakan sebagai proyek. Hal inilah yang kerapkali menjadi kesalahan dalam program-program demok-ratisasi di dalam pemerintahan. Banyak birokrat danpolitisi yang tidak menginternalisasi demokrasi denganbaik. Mereka menggunakan kata-kata itu hanya untukkebutuhan kampanye dalam pidato-pidato formal. Tetapiketika diantara mereka sedang berbicara, mereka seringkali tertawa lebar setelah mengucapkan kata-kata‘demokrasi’. Sebab demokrasi bagi mereka bukanlahsesuatu yang konkret, akan tetapi hanyalah wacana. Danmereka beranggapan bahwa pekerjaan sebagai birokratdan politisi bukanlah pekerjaan yang berurusan denganwacana, melainkan sesuatu yang konkret. Wacana adalahmenu bagi dosen dan para aktivis mahasiswa belaka,termasuk wacana tentang pentingnya demokrasi. Hal initerjadi karena selama ini internalisasi nilai tidak dibarengidengan kesadaran akan pentingnya nilai itu. Demokrasiselalu saja dikaitkan tentang hal-hal yang sifatnya jangka

84 85

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

panjang. Belum dapat diturunkan ke dalam sesuatu yangpragmatis.

Internalisasi terhadap demokrasi yang dipaksakan olehlembaga-lebaga donor juga makin terkikis kedigdayaannyaoleh standar ganda dari lembaga-lembaga keuangantersebut. Sebab, di beberapa tempat ternyata lembaga-lebaga internasional ini juga menyokong pemerintahan-pemerintahan yang anti-demokrasi. Banyak kasus rezimyang otoriter tapi disokong dan keberadaannya tergantungpada dukungan internasional hanya karena terjaditransaksi bisnis yang saling menguntungkan di antaramereka. Artinya, segala macam proyek tentang demok-ratisasi yang ada itu tidak hanya bermasalah di tingkatanpenerima tapi juga di tingkatan pemberi. Kesadaran akanpentingnya nilai demokrasi tidak hanya tidak dipahami olehpenerima, tetapi juga tidak dihayati oleh para penganjurproyek demokratisasi itu sendiri.

4. KonstitusiPada prisipnya konsitusi adalah dokumen yang

memberikan blue print dari pemerintahan. Namun demi-kian dalam sistem yang lemah, atau organsasi yang burukdan tidak kuat –jika ini disebut sebagai sistem– konstitusitidak lebih dari dokumen formal. Ini diabaikan danditerobos oleh sebagian besar orang dan waktu sertadigunakan secara selektif untuk melayani kepentingankekuasaan khusus. Ini adalah ‘formalisme’ atau dualitasdalam proses tata pemerintahan di seluruh dunia yangsangat dipengaruhi atau didikte oleh struktur kekuasaanglobalisasi eksternal. Formalisme terjadi ketika aturan danregulasi formal dilengkapi oleh norma dan perilakuinformal dan tidak resmi dalam politik, tata pemerintahan,dan administrasi untuk melayani tujuan khusus, tetapimereka diaplikasikan secara kaku (Farazmand, 1989).Konstitusi di dalam SG tidak diposisikan dalam kontekstersebut. Penyakit formalisme konsitusi seperti itu juga

melanda negara-negara industrialisasi sangat maju dariBarat dan problem tersebut lebih kronis dalam negara-negara berkembang dan negara-negara kurang maju(Riggs, 1966). Sebuah tingkat formalisme tinggi telahmengikis legitimasi sistem. Sebuah konstitusi berfungsisebagai sumber legitimasi paling penting atas sistem tatapemerintahan. Sebuah konstitusi kerja juga memberikankontribusi terhadap kekuatan pemerintahan pada levelnasional.

5. Organisasi dan InstitusiSG adalah sebuah konsep yang sangat mengedapankan

implementasi. Bukan hanya sebuah kumpulan nilai-nilaiideal yang abstrak. Dalam administrasi pemerintahan,organisasi dan institusi adalah alat untuk membuat sebuahtujuan dan cita-cita kolektif menjadi kenyataan. Apapunnamanya, perencanaan strategi jangka panjang, menengahmaupun pendek tidak mungkin bisa tercapai bila perangkatfisik untuk mencapainya tidak memadai. Organisasi daninstitusi adalah peralatan pokok yang harus dimiliki gunamencapai tujuan sebuah pemerintahan. Namun demikian,sekali lagi, SG tidak mematok organisasi dan institusiseperti apa yang bisa dibilang baik atau buruk. Sebab halini sangatlah kontekstual. Panduan yang bisa dipakaiadalah kesesuaian kondisi organisasi dengan tujuan dankonteks lokal. Organisasi adalah wujud konkret dariinstitusi. Institusi berisi tugas-tugas dan alasan kenapaorganisasi tertentu diperlukan. Insitusi adalah jiwa danorganisasi adalah tubuhnya.

Sehingga untuk mencapai kondisi organisasi yang baikbukanlah dengan mendaftar sekian banyak indikator danmencocokkan apakah kondisi organiasi dan institusi yangada sudah cocok dengan indikator tersebut atau belum.Tetapi dengan mengajukan pertanyaan misalnya tentangapa saja organisasi yang ada dalam pemerintahan? Danbagaimana mereka bekerja? Sehingga dalam hal ini tidak

86 87

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

ada penghakiman yang bersifat langsung terhadaporganisasi-organisasi yang ada. Kita harus melihatorganisasi-organisasi yang ada di dalam pemerintahandalam kaca mata yang utuh. Tidak mencari siapa yangsalah atau siapa yang benar dalam menilai kualitasorganisasi. Melainkan yang harus dicari adalah apa yangsalah dan bagaimana cara memperbaikinya. Sekali lagi,mengontrol kondisi setiap jengkal organisasi dan insitutsiyang ada di dalam sebuah sistem pemerintahan adalah halyang sangat penting di dalam SG. Tanpa institusi tidak akanada tata pemerintahan, dan insitusi tanpa organisasi akanrapuh.

6. Manajemen dan PerformaManajemen adalah sebuah proses yang berjalan di

dalam organisasi. Bila instisusi adalah jiwa dari organsasiyang membuat organisasi memiliki karakter, manajemenadalah bagaimana organisasi mengatur hidupnya danmengekspresikan dirinya. Oleh karenanya banyak organi-sasi yang memiliki insitusi yang sama tetapi menajemennyaberbeda. Misalnya, organisasi di satu tempat yangpekerjaannya adalah membuat perencanaan tidak harussama manajemennya dengan organisasi perencanaan ditempat lain. Masalah manajenen yang penting untukdiperhatikan di dalam SG bukanlah terletak pada mana-jemen gaya apa yang dipakai tetapi fokusnya adalahmanajemen yang dipilih itu harus dapat mengantarkanorganisasi pada dampak yang diinginkan. Apa dampakyang diinginkan? Tentu sangat tergantung dari fungsidasar organisasi itu, kontribusi apa yang diharapkan dapatdiberikannya pada masyarakat. Inilah yang disebut denganperforma. Performa merupakan alat ukur utama dalamSG untuk melihat kualitas manajemen dalam sebuah prsespemerintahan.

Oleh karenanya, manajemen harus dinamis dan meng-ikuti teknologi dan ilmu terbaru. Ini pulalah yang membuat

SG tidak mendukung adanya stagnasi dalam sebuah prosespemerintahan. Selama ini birokrasi selalu malas bahkantakut untuk melakukan perubahan. Kita bisa melihatdimana-mana di seluruh kantor pemerintahan di tanah airsebuah alur atau prosedur tertentu yang usianya sangattua masih terpampang di dinding kantor. Beberapa malahada yang masih ditulis dengan ejaan yang belumdisempurnakan. Tidak hanya itu, para pemimpin danbirokrat di lapangan juga hanya mengekor pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini sudah berlangsung. Adakemalasan yang masif untuk mempelajari perkembangan-perkembangan dan ilmu terbaru tentang manajenen untukcoba diterapkan di kantornya. Seperti telah dijelaskansebelumnya. Keterpisahan antara dunia kerja dengan duniawacana begitu terbentang luas. Bekerja dan berpikirmenjadi dua aktifitas yang saling berbenturan. Birokratdan politisi yang dibayangkan hanya berkutat pada sesuatuyang bersifat kerja konkrit dan jarang berpikir. Sementaradi sisi yang berseberangan, aktifis dan intelektual selaludibayangkan dengan kerja-kerja wacana pemikiran yangabstrak dan tidak riil. Manajemen dalam SG adalahditandai dengan tidak adanya lagi dikotomi itu. Sebab,dalam rangka memperbaiki performanya, birokrat harusselalu membaca dan mendiskusikan hal-hal baru dalammana-jemen sebagai bekal dalam melakukan pekerjaanriil.

7. KebijakanKebijakan memberi arah dan kendali pada proses,

struktur dan menejemnen dari sebuah pemerintahan. Darisitu semakin tegas bahwa orientasi dari studi kebijakanpublik itu adalah kepentingan publik. Dimana dengandemikian dapat diartikan pula bahwa studi ini pada tatarankonseptual harus memiliki keberpihakan yang kuatterhadap kepentingan masyarakat, dan berorientasi padapelayanan kepentingan tersebut. Sebab seperti telah sering

88 89

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

diungkap di muka bahwa studi kebijakan publik adalahsebuah formula problem solver. Sementara problem yangsesungguhnya itu ada di tengah-tengah riil kehidupanbermasyarakat. Artinya, problem kebijakan itu tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Dan oleh karena itulah ia jugatumbuh bersama dengan kepentingan publik itu sendiri(Putra, 2001). Yang harus diingat adalah ketika dikatakanbahwa studi kebijakan publik itu berorientasi padakepentingan publik. Itu berarti ia juga berorientasi padaberbagai kepentingan yang beragam di masyarakat. Danlebih jauh dari itu, studi kebijakan publik juga berbasispada proses dialogis dari berbagai kepentingan tersebut.Yang kemudian hasil persepakatan proses dialog demo-kratik itulah yang menjelma menjadi sebuah kebijakanpublik.

Di dalam SG dikenal adanya dua tipe kebijakan.Pertama, kebijakan eksternal kepada individu atauorganisasi. Yaitu kebijakan yang diangkat dari aspirasimasyarakat (langsung maupun perwakilan) untukdijadikan sebagai arah gerak organisasi. Kebijakan padajenis pertama ini terkait dengan keputusan politikdemokratis dari sebuah sistem tata pemerintahan. Yangdiangkat dari aspirasi masyarakat politik di luar organisasiuntuk diformulasi menjadi kebijakan yang akan mengaturorganisasi pemerintahan. Kedua, adalah kebijakan internal.Yaitu kebijakan tentang aturan, regulasi dan proseduruntuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga ketikakebijakan pertama (politik) telah ditetapkan, makaberikutnya adalah membuat kebijakan-kebijakan di dalamorganiasi pemerintahan yang dibuat untuk, dari dan olehorganisasi itu sendiri. Dari sini jelas terlihat bahwapentingnya partispasi dan demokrasi adalah untukmenjamin kualitas kebijakan di level pertama. Tidak hanyaitu, dengan transparansi, masyarakat juga dapatmelakukan evaluasi tak langsung terhadap kebijakan dilevel kedua. SG menghendaki hubungan antara kedua level

kebijakan ini menjadi seimbang. Sehingga demokrasi danimplementasi pembangunan di titik ini dapat menemukantitik pragmatisnya. Demokrasi bukan lagi sebatas wacanailmiah yang tidak membumi dalam pelaksanaan konkretsebuah tata pemerintahan.

8. SektorDalam sebuah pemerintahan, sektor sangatlah penting.

Karena ujung tombak dari pelaksanaan pelayanan publikada pada masing-masing sektor ini. SG sangat meng-harapkan agar ada keahlian (expertise) yang sangat tinggidalam sebuah penempatan personalia. Pentingnyaexpertise itu salah satunya adalah guna menjaga kualitassektor-sektor dalam sebuah sistem pemerintahan. Sektorsifatnya juga sangat kontekstual. Kebutuhan sektoral darisatu pemerintahan dengan pemerintahan lain tentunyaberbeda-beda. Tidak hanya masalah tempat yangmenyebabkan perbedaan sektor ini. Akan tetapi masalahwaktu juga bisa menjadi sebab. Karena, dalam waktutertentu, bisa jadi sebuah sektor diperlukan keberadaannya,namun di waktu lain tidak dibutuhkan. Maka, dinamikaorganisasi pemerintahan juga akan sangat tinggi di semestapembicaraan sektor ini.

Sektor-sektor yang umumnya kita kenali di dalamorganisasi pemerintahan adalah seperti sektor indusri,agrikultur, pedesaan, budaya, pendidikan, kesehatan,transportasi, dan lain-lain. Membutuhkan pengetahuan dankemampuan yang mumpuni dari para birokrat yang adadi dalamnya dalam pengelolaan ini. Akan tetapi SG jugatidak mensyaratkan agar organisasi pemerintahan itumenjadi super body yang bisa menangani segala hal.Expertise bisa juga diwujudkan dengan cara kerja samaantar lembaga. Dalam hal ini keterkaitan yang cair antaraorganisasi-organisasi pemerintahan di semua sektordengan lembaga atau perseorangan yang memiliki keahli-an di sektor tertentu sangatlah dianjurkan. Dan tata aturan

90 91

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

birokrasi harus sedapat mungkin menfasilitasi terjadinyahal tersebut, bukan malah menghambat dan mempersulit.

9. Faktor InternationalSebagaimana telah berulang kali disampaikan, selama

ini peranan Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga-lebagainternasional lainnya memainkan peran yang pentingdalam mendefinisikan parameter dari kualitas governacedi berbegai negara. Sekarang, dalam zaman peningkatanglobalisasi dan interdependensi global, negara, pemerintahdan warga negara semakin ditarik –secara sukarela atauterpaksa– untuk menumbuhkan sekumpulan rezim yangmenunjukkan intoleransi terhadap perilaku governancetertentu yang sebelumnya dan secara tradisional dianggapnormal dan internal bagi kedaulatan pemerintah (misalnyarezim Apartheid di Afrika Selatan, atau genocide di Afrika).Juga tuntutan implementasi bermacam-macam aturan,regulasi, dan protokol yang disetujui dan didasarkan padalevel global dan kolektif. Di sisi lain, pada saat yangbersamaan juga berkembang trend glocalism sebagaiantitesis dari gagasan globalisasi berikut anomali-anomali-nya. Interaksi diantara kedua arus besar ini membuatkompleksitas global governance juga semakin rumit. Inijugalah yang menjadi agenda penting dalam SG, yangtidak hanya melakukan perbaikan pada local and nationalgovernance melainkan jauh lebih penting juga melakukanreformasi di tingkatan global governance.

Sikap lembaga donor yang mendikte justru membuattata pemerintahan di negara-negara berkembang menjadilemah. Sebab reformasi yang diselenggarakan itu bersifatcangkokan, bukan tumbuh secara alami dan memiliki akaryang kuat menghujam dalam bumi. Urgensi reformasi tatapemerintahan global menjadi semakin mendesak atasadanya situasi semacam ini. Kita bisa menghitung berapabanyak uang dan sumber daya yang selama ini dikeluarkandalam hal penyelengaraan proyek-proyek dari lembaga

donor ini. Dan itu semua masih terus berlangsung hinggakini. Di tengah ketidakefektifan pelaksaannya, kita dengandemikian juga dapat menghitung berapa banyak uang yangtelah dihamburkan secara mubazir setiap harinya. SGmenginginkan reforamsi tata pemerintahan globaldilakukan secara segera utamanya adalah agar pemanfaat-an dana-dana dari institusi-insitusi pendonor internasionalitu tidak terbuang percuma. Lebih dari itu, tidak pula semuaitu dilakukan hanya untuk memperkokoh noe-kolonialismetanpa sedikitpun ada niat untuk memperbaiki kondisipemerintahan yang ada di negara berkembang.

10. EtikaMeski seringkali dipandang sinis, etika dalam

administrasi publik tetaplah merupakan hal yang penting.Kelemahan perbicangan etika dalam administrasi publikselama ini terletak pada konsepnya yang terlalu filosofisdan tidak membumi. SG dengan demikian ingin agar etikadalam adimistrasi publik menjadi sesuatu yang benar-benar hadir dalam realitas. Hal ini juga disadari bahwastadar etik masing-masing tempat berbeda-beda dan tentuberada dalam konteksnya masing-masing. Prosespembelajaran yang bersifat komparatif sangatlah penting.Misalnya tentang penghormatan atas hak cipta, mengapadi satu tempat dijunjung tinggi dengan sangat sakralsementara di tempat lain tidak begitu dipedulikan.Mengapa di satu tempat asertifisme dianggap hal yangbiasa dan normal sementara di tempat lain dianggap egoisdan mementingkan diri sendiri. Artinya, tidak ada yangmutlak dalam etika. Penerimaan dan internalisasi etikaadalah masalah pembelajaran. Pandangan konstruktivismemempercayai bahwa semua hal yang ada di muka inimerupakan proses pembelajaran (Wendt, 1999). Tidak adasatupun hal yang ada memiliki sifat absolut dan takmungkin diubah. Hanya saja proses perubahan danpengubahan itu harus dilakukan secara perlahan danmengedepankan kesadaran ketimbang paksaan.

92 93

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Demikian pula dalam koteks etika, internalisasi nilaimasih sangat mungkin dilakukan asalkan ada strategi yangkuat dan handal. Kekuatan dan kehadalan strategi dalaminternaslisasi nilai-nilai etik di dalam administrasi publiktidak ditentukan dari seberapa koersifnya dia, melainkanseberapa mampunya dia menjelmakan nilai etik menjadikesadaran. Sistem dan struktur juga dapat dibangun untukmenciptakan akuntabilias dan tansparansi sebagai bagiandari upaya internalisasi etika. Etika yang implementatifjuga dapat mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaandan korupsi, juga mencegah orientasi kerja birokrasi yanghanya murni ekonomis dan administratif semata. Birokrasibekerja untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, bukanuntuk membuat birokasi menjadi berpikiran sempitsebagaimana layaknya kalangan bisnis. Efektivitas danefisiensi dalam birokrasi itu hanyalah alat, bukan tujuan.Etika yang harus diemban adalah tetap kepentingan publikyang berada di atas segalanya. Jadi efektivitas dan efisiensiadalah untuk pelayanan publik, bukannya untuk efektivitasdan efisiensi itu sendiri.

Paradigma Baru Administrasi PublikEmpat Level Sasaran Reformasi

Dua kebaruan yang mencolok dalam SG adalahlokusnya yang sensitif terhadap fakta kontemporerglobalisasi dan pentingnya inovasi dalam proses tatapemerintahan di lapangan.

Level dari tata pemerintahan (governance) dalam SGmencakup empat tingkatan, yaitu lokal, nasional, regionaldan internasional. Keempatnya tidak hanya didekati secaramendalam satu persatu, melainkan juga dilihatketerkaitannya satu sama lain. Hal inilah yang membeda-kan dengan sangat mencolok antara GG dan SG. Sebabberbagai ide dan konsep yang ada dalam GG hanya ber-kutat pada dua level saja, yaitu reformasi tata pemrintahandi tingkat lokal dan nasional. Bahkan seringkali GG terlalu

terfokus memperhatikan hanya pada level lokal saja.Perhatian yang lebih dari SG terhadap keempat level tatapemerintahan itu berangkat dari kesadaran bahwakeberadaan keempat level tersebut adalah nyata.

Tetapi mengapa seolah ilmu adminisrasi publikmengabaikan level regional dan level internasional sebagailokus kajiannya. Sejak kapan administrasi publik terkotakhanya mengurusi urusan domestik sebuah negara tertentu,dan tak boleh menyentuh sama sekali aspek tatapemrintahan di atasnya? Lantas bila administrasi publiktidak membicarakan proses tata pemerintahan di atasinstitusi negara, siapa yang akan memikirkan hal tersebut?Oleh karenanya, SG sudah sepatutnya menjadi paradigmabaru dalam adinistrasi publik karena dia telah menerobosbatas-batas mitologi ketabuan khazanah ilmu administrasipublik yang ada selama ini. Yaitu mitos yang menganggapbahwa persoalan hubungan antar negara bukanlah wilayahkajian administrasi publik. Proses manajerial, politik, danadministrasi di atas organisasi negara bukanlah wilayahadministrasi publik. Administrasi publik hanya dan harusmengurusi soal-soal domestik satu negara tertentu saja.Itu semua adalah pandangan tradisional dari administrasipublik yang sudah harus mulai ditinggalkan. Termasuk GGyang ternyata juga masih terjebak dalam identifikasitradisional tersebut.

Ketika berbicara pada tingkatan lokal maka yanmenjadi fokus adalah bagaimana keterlibatan masyarakatdalam proses pembangunan dan kebijakan publik yang adadi daerah. Pada dasarnya partisipasi masyarakat padapelaksanaan otonomi daerah harus dipahami sebagaiwujud representativeness dari suatu produk kebijakan.Pendapat umum mengakui bahwa pemerintahan yangsentralistik semakin kurang populer karena ketidak-mampuanya untuk memahami secara tepat nilai-nilaidaerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, wargamasyarakat akan lebih akan dan tentram dengan badan

94 95

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

pemerintah lokal yang lebih dekat dengan rakyat, baiksecara fisik maupun psikologis. Selain dari pada itu,memberikan keleluasaan otonomi kepada daerah, diakui-nya pula, tidak akan menimbulkan “disintegrasi” dan tidakakan menurunkan derajat kewibawaan pemerintahnasional. Malah sebaliknya kondisi ini akan menimbulkanrespek daerah terhadap pemerintah pusat (Smith, 1986).Karena itu, ada sebuah slogan yang sering dilancarkan :“…. as much autonomy as possible, as much central poweras necessary” (Buckelman dalam Koswara, 1999).

Refomasi tata pemerintahan di tingkat nasional dalamkonteks SG berarti bagaimana formulasi gabungan antarapartispasi masyarakat dengan keselarasan internasional,norms and rules dapat terejawantahkan dalam kebijakanskala nasional. Di Indonesia kita telah memiliki prosesperencanaan pembangunan yang cukup sistematis daritingkat lokal hingga tingkat nasional (UU no 25/2004).Sayangnya pada tingkatan musyarawah pembangunannasional tidak cukup disertakan apa peran dan pengaruhpelaksanaan pembangunan di Indonesia dengan capaianinternasional. Sehingga dilihat dari kacamata global corakperencanaan pembangunan di Indonesia masih sangat ego-sektoral. Kita bisa membandingkan dengan perencanaanpembangunan di negara lain yang telah memiliki cukupperan yang signifikan dalam memberi kontribusi padapembangunan dunia. Memang alasan klise yang selalumuncul adalah bahwa kita negara miskin sehingga takmungkin memiliki cukup dana untuk membantu negaralain. Tetapi harus disadari bahwa bentuk kontribusi kitasaat ini bukan melulu bantuan finansial, melainkan bisaberupa partisipasi kita dalam bentuk kepedulian danempati atas berbagai upaya untuk perbaikan kondisiglobal, baik ekonomi, politik, sosial maupun lingkunganhidup. Hal ini juga penting dalam memperkuat posisi tawarbangsa ini di mata internasional yaitu dengan mengguna-kan apa yag disebut soft power (Nye, 1990). Sehingga apa

yang terwujud dalam perencanaan pembangunan tingkatnasional kita ternyata juga memiliki kepedulian terhadapkondisi global, bukan perencanaan pembangunan yang ego-sentris.

Di tingkat regional adalah kerjasama antar negara yangsaling menguntungkan. Kita telah memiliki ASEAN danAPEC khususnya untuk kerja sama ekonomi di tingkatanregional. Dan harus pula disadari bahwa ada misi-misiideologis ekonomi politik di balik organisasi-organisasi itu.Tetapi, sebagaimana pandangan konstruktivisme, bahwasegala sesuatunya tidak ada yang baku. Yang dibutuhkanadalah kecerdikan kita dalam memanfaatkan peluang yangada dari lembaga-lembaga kerjasama regional yangtersedia itu.

Sedangkan internasional adalah bagaimana agarnegara-negara yang selama ini lemah dan dilemahkandapat muncul. Di lain pihak, negara-negara yang selamaini mendominasi dapat “dilemahkan”. Hubungan antarnegara dalam percaturan global kurang lebih sama dengankonsep Machiavelli tentang hubungan oposisi biner antaranegara dan rakyat. Kita bisa melihat dengan mudahkenyataan ini dalam kepemilikan senjata nuklir misalnya.Negara-negara besar dan mendominiasi tatanan politikdunia dapat dengan leluasa memiliki perangkat senjatanuklir sedangkan bila ada negara lain yang hendakmemiliki hal yang sama, mereka anggap sebagai sebuahancaman. Kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negarabesar ini kemudian membuat posisi politik mereka dipercaturan internasional menjadi sangat kuat. Di dalamstruktur organisasi PBB kita juga bisa melihat praktek yangserupa. Proses pemilihan dan penetapan direktur-direkturstrategis serta proses pengambilan kebijakan di dalam PBBjuga masih didominasi oleh kekuatan negara-negara besarEropa dan Amerika Serikat. Belum lagi kalau kita melihatpangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat yangtersebar di seluruh penjuru dunia, membuat kekuatan

96 97

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

negara adi kuasa ini menjadi sangat dominan di kancahinternasional. Sehingga yang dimaksud upaya ‘pelemahan’atas negara-negara kuat adalah dalam konteks men-yeimbangkan dan mengegaliterkan hubungan antarnegara di kancah internasional. Egalitarianisme adalahkata kuci dalam SG, tidak hanya dalam konteks reformasitata pemerintahan domestik tapi juga tata pemerintahanglobal.

Inovasi Sebagai Inti Sound GovernanceHal kedua yang sangat menonjol atas kebaruan dari

SG adalah pengutamaan adanya inovasi dalam kebijakandan adminstrasi publik. Dalam konsepsi pemerintahanmutakhir, inovasi dan kreativitas adalah hal yang sangatpenting yang harus dimiliki oleh setiap pemerintahan.Sebab, pemerintahan hari ini tidak lagi berhadapandengan masalah dan realitas yang itu-itu saja. Apel pagi,rapat-rapat rutin, urusan surat-menyurat dan implemen-tasi prosedur sudah bukan merupakan tugas inti darisebuah pemerintahan. Pada saatnya sistem mekanis akanmengerjakan hal-hal membosankan itu. Pemerintahanmodern berhadapan dengan banyak situasi yang kompleksdan kurang terduga sebagai akibat dari realitas yangmakin terkoneksi secara ekstrem. Globalisasi bahkanmembuat matrik kehidupan menjadi lebih rumit darisebelumnya (Farazmand, 2004).

“Don’t rock the boat” adalah pepatah yang terlanjurmendarah daging dalam tubuh birokrasi kita. Keadaanyang sudah ada telah membuat semua orang senang danaman, maka janganlah sekali-kali mencoba untukmenggoyangkan perahu yang sudah tenang mengapungdi tengah danau. Tapi ketenangan dan kenyamanan itumembuat perahu diam di tempat, tidak bergerak kemana-pun. Kepentingan para birokrat untuk memperoleh rasa‘aman’ itulah merupakan tantangan terbesar dalammenumbuhkan inovasi dalam tubuh pemerintahan. Sistem

dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar dalamproses birokrasi pemerintahan telah menciptakan resistensiyang sangat kuat bagi datangnya inovasi. Konfigurasipolitik juga turut andil dalam proses pengerdilan inovasi.Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana dominasitokoh-tokoh konservatif dalam kepemimpinan di tanah air.Kader-kader muda yang diharapkan dapat membawainovasi tak bisa leluasa muncul ke dalam kancah politiktanpa menggantungkan karirnya pada tokoh-tokoh tua.Kebanyakan tokoh tua juga berperilaku mendikte pilihandan langkah-langkah politik kaum muda. Kita bisa melihatbetapa partai-partai politik besar hari ini sangat tergantungpada figur tokoh tua dan konservatif yang sangathegemonik.

Sistem mapan birokrasi dan konfigurasi politik diIndonesia telah membuat banyak inisiatif inovasi meng-alami proses penuaan dini dan layu sebelum berkembang.Secara psikis, perilaku politik para inovator ketikamemasuki sistem menjadi tak dinamis dan cenderungmengekor pada tuntunan para patron. Ini seakan sudahmenjadi pemandangan sehari-hari. Pemimpin-pemimpinmuda itu kemudian tercerabut dari akarnya. Keharusanuntuk mengikuti ‘pakem’ ketika memasuki sebuah sistemharus mulai dipersepsi sebagai mitos, atau setidaknyatantangan. Solusi yang ditawarkan oleh kosep SoundGovernance adalah perubahan struktur pemerintahanyang berbasis pada fungsi (kompartementalistik) menujuberbasis pada klien. Dalam hal ini istilah TUPOKSI (TugasPokok dan Fungsi) adalah hambatan terbesar dalamreformasi tata pemerintahan. Menemukan solusi brilian atasmasalah pokok yang dihadapi masyarakat dan mencarijalan yang lebih baik atas hal yang sedang berjalan, adalahtugas pokok yang diemban semua birokrat.

Inovasi tidak mesti harus bersifat revolusioner danfragmentatif. Dalam level tertentu bisa saja inovasi adalahrevisi atas sistem yang sedang berjalan serta masih dalam

98 99

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

koridor struktur perencanaan jangka panjang. Yangterpenting dalam inovasi tata pemerintahan adalah selaluadanya hal-hal baru (besar atau kecil) di dalam praktekbirokrasi keseharian. Inilah saat dimana SG mengharapkanagar inovasi menjadi ‘rutinitas’ baru di dalam birokrasi.

Inovasi yang dimaksudkan dalam SG berada padaberbagai aspek. Di bidang teknologi dilakukan dalam halmenemukan teknik dan berbagai metoda baru dalammelancarkan berbagai proses perencanaan maupunpengantaran pelayanan publik. Di bidang pembangunan/pengelolaan sumber daya, inovasi diperlukan dalam halmenemukan cara yang tidak hanya efektif dan efisienmelainkan juga membawa manfaat sebesar-besarnya bagimasyarakat. Inovasi dalam sistem komunikasi adalahterkait dengan makin terbukanya ruang publik sehinggamemudahkan sarana dan prasaran komunikasi yangegaliter antara aktor-aktor dalam tata pemerintahan.Inovasi juga harus marak dalam kegiatan-kegiatanoperasional seperti di dalam pengelolaan organisasi danmanajemen, pelatihan, serta penelitian dan pengembang-an. Tak hanya di bidang teknologi, di bidang ideologi inovasijuga sangat diperlukan. Utamanya dalam membongkarberbagai paradigma lama tentang birokrasi yang rutin danmonoton yang masih kuat terbenam menuju padapemahaman birokrasi yang lebih dinamis.

Inovasi merupakan keniscayaan dari dunia global yangterus berubah secara cepat. Sebab dengan adanyaperubahan globalisasi ini banyak asumsi-asumsi yangharus segera dikoreksi sewaktu-waktu. Tidak mungkin,misalnya, dalam menyusun APBD kita hanya bergerakpada asumsi yang monoton dan hanya merubah angkasedikit dari anggaran-anggaran terdahulu. Sikap sepertiitu sungguh jauh dari cita-cita birokrasi SG yang dinamis.Maka tanpa inovasi dan adaptasi, pemerintahan akancepat rusak (soundless). Akan tetapi, memang inovasiharus didukung oleh kapasitas organisasi yang memadai

dan kemampuan organisasi itu untuk mengimplementasi-kannya. Oleh karenanya, dalam dimensi SG jugadicantumkan tentang pentingnya aspek organisasi daninstitusi di dalam reformasi tata pemerintahan modern.

Inovasi dalam SG juga harus disertai dengankemampuan birokrasi yang tangguh dalam antisipasi danluwes dalam melakukan adaptasi. Hal ini dikarenakanwatak inovatif juga mencakup kemahiran dalam melakukanprediksi. Dalam pengertian mahir dan ahli dalam memilihberbagai variabel yang berpengaruh terhadap kondisi saatini dan masa depan. Kemampuan itu akan membawa padasikap antisipatif atas segala perubahan. Sehingga birokasitidak mudah shock dalam menghadapi kondisi-kondisi yangpenuh dengan kondisi serba mungkin yang ada di depanmata. Di samping itu, bila memang ternyata yang terjadiadalah sesuatu yang benar-benar di luar perhitungan,birokrasi juga harus mampu dengan luwes beradaptasidengan lingkungan baru. Situasi politik dan ekonomi dapatberubah setiap waktu. Maka birokrasi harus dapat segeraberadaptasi tanpa harus terfragmentasi. Istilah ‘gantimenteri ganti kebijakan’ bukanlah sikap luwes yangdimaksudkan di sini. Fleksibilitas artinya adalah dalamtataran teknis dan strategis, bukan fleksibel dalam tujuandan komitmen. Hal ini juga yang ditegaskan olehGolembiewski bahwa birokrasi harus digerakkan olehkomitmen bukannya kepatuhan. Watak birokrasi yanghanya mengekor pimpinan politik baru adalah watakbirokrasi yang pengecut dan hanya mengandalkankepatuhan tetapi tidak memiliki komitmen. Komitmen padatujuan dasar pemerintahan, yaitu melayani kepentinganrakyat. Bukannya melayani kepentingan atasan.

100 101

Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

BAB V

AKTOR DALAM SOUNDGOVERNANCE

Bab ini dimaksudkan tidak hanya untuk melakukaninventarisasi atas aktor-aktor yang harus terlibatdalam proses sound governance tetapi juga meng-

evaluasi peran aktor-aktor dalam pelaksanaan GG selamaini. Termasuk di dalamnya tentang sebab-sebab mengapaperan ideal masing-masing aktor yang ada dalam GG itutidak tercapai. Serta bagaimana SG dapat hadir danmencoba untuk mencegah agar kesalahan-kesalahan itutidak terulang kembali di kemudian hari. Tentu saja dariempat aktor yang ada di dalam SG (yaitu negara,masyarakat sipil, swasta dan pelaku intenrasional) tigadiantaranya adalah juga aktor yang ada dalam GG. Kendatibegitu, SG tidak serta merta hanya memindahkan ketigaaktor dalam GG ke dalam SG, melainkan juga merubahcara pandang GG selama ini terhadap peran dan posisinegara, masyarakat sipil, dan swasta dalam penyeleng-garaan tata pemerintahan.

Negara: Pusat KonspirasiKomponen pertama yang dikatakan sebagai sebuah

entitas oleh konsep good governance adalah State/Negara.Tentu banyak teori-teori klasik yang akan sangat baikdalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsepnegara sesungguhnya, berikut berbagai model yangberkembang di dalamnya. Namun, kita tentu sudah samatahu bahwa negara saat ini adalah capaian fundamental

politik dalam kehidupan sosial tertinggi secara formal didunia saat ini. Ya, sebab warga negara internasional masihsangat eksklusif dan lembaga politik internasional belumsetangguh negara dalam melakukan regulasi sosial hinggake tataran yang paling teknis dan pribadi (Hoffman, 2000).

Di tengah berbagai variasi model negara yang dikenaldalam teori negara, tentu yang paling populer hingga saatini adalah Trias Politika (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif)yang entah disikapi sebagai pembagian atau pemisahannampaknya itu tak lagi penting saat ini. Bahkan sekarangnegara-negara monarkhi juga telah banyak yangmengadopsi konsep ini dan mereformasi diri merekamenjadi negara monarkhi konstitusional, bahkan monarkhidemokratik (memang agak sulit dimengerti). Yang pastisaat berbicara tentang negara maka kita tentu tak bisalepas untuk mencandra tiga institusi sosial tersebut.

Saat ini tak sedikit kalangan yang mencoba untukmemisahkan entitas negara dengan rakyat. Sehinggalembaga trias politika adalah institusi yang tak memilikiderajat representasi, maka tak jarang harus dibenturkandengan rakyat. Dalam hal ini kita seringkali mendengarkalimat yang mengatakan: “...konflik antara negaradengan rakyat...”. Kalimat itu sangatlah akrab di telingakita, hingga pada suatu saat kita terkejut atas permaklum-an kita bahwa negara tidak lagi memiliki representativitas(Putra, 1999). Dia hadir bukan lagi penjelmaan rakyat,melainkan negara datang sebagai leviathan yang siapmengamuk dan memporak-porandakan semua yang adadi depannya.

Negara leviathan tak mengenal di masyarakat penganutparadigma apa ia hidup. Apakah itu tradisi anglo saxonataupun continental, dua-duanya dapat menjadi habitatyang cocok untuk berkembang sehatnya monster ini. Hanyasaja memang keduanya akan menghasilkan ras yangberbeda, tetapi tetap saja species yang sama. Mungkin bilapikiran Lord Acton diteruskan, bisa jadi implikasinya

102 103

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

adalah bahwa apabila semua sumber daya yang adadiserahkan pengelolaannya pada negara, maka secaraterus menerus organisasi-organisasi trias politika menjaditerus gemuk dan mengobjektifikasi rakyat. Korupsi yangsesungguhnya adalah proses objektifikasi rakyat itu, yangmana pada saat ini mereka akan menjadi sangat rukunseolah mendapat common enemy. Akan tetapi ketika rakyattelah berhasil mereka taklukkan, maka mereka akankembali bertikai. Begitulah sifat dasar dari leviathan.

Hubungan antara tiga lembaga trias politika ini tidakpernah benar-benar ideal di lapangan. Pilihannya cumadua; pertikaian atau persekongkolan. Yang paling seringmuncul ke permukaan adalah hubungan antara eksekutifdan legislatif. Karena memang dalam sistem hukum yangberlaku di Indonesia dan berbagai negara demokrasi padaumumnya di dunia, yang dimaksud dengan policy makersitu adalah eksekutif dan legislatif. Eksekutif yangseharusnya hanya menjadi pelaksana saja, entah kenapasaat ini mereka naik pangkat menjadi perumus kebijakan.Yang lebih lucu lagi tak sedikit regulasi yang mengaturbahwa eksekutif punya wewenang yang lebih besarketimbang legislatif. Pada posisi normatif ini saja sudahnampak bahwa hubungan keduanya sangatlah tidakharmonis. Penuh dengan potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi bahan peledak berkekuatanhigh explosive.

Dua lembaga ini sama-sama arogan. Keduanya merasabahwa konstitusi mengatur bahwa dirinyalah yang lebihberkuasa ketimbang yang lain. Dan apabila ada beberapapasal dalam undang-undang yang melemahkan posisilegislatif maka langsung kecurigaan muncul bahwa ituadalah ulah dari eksekutif untuk mengkerdilkan mereka.Demikian pula sebaliknya, eksekutif dalam menjalankanpekerjaannya merasa selalu terancam dengan keberadaanlegislatif yang bisa saja sewaktu-waktu melakukanimpeachment dengan alasan yang paling tidak rasional

sekalipun. Distribusi kekuasaan antara eksekutif danlegislatif telah menjadi sebuah garis kontinu yang salingtarik satu sama lain. Siapa yang lebih kuat pada waktudan tempat tertentu maka ialah yang akan mendapatkekuasaan lebih besar.

Hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembagalegislatif di berbagai negara, khususnya di Indonesia, seringberujung dalam bentuk persekongkolan dan ataupermusuhan. Di sini eksekutif dan legislatif disebut-sebutsebagai policy maker dan masyarakat tidak begituberperan atau bahkan memang sama sekali tidakdilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan publik.Padahal Indonesia merupakan negara yang demokratisdimana seharusnya masyarakat berperan kuat sertamempunyai hak untuk menyampaikan aspirasinya melaluilembaga legislatif dalam proses pembuatan kebijakanpublik. Tapi pada kenyataannya lembaga legislatif kurangbegitu mendengarkan aspirasi masyarakat. Lalu siapa yangakan mendengarkan serta menyampaikan aspirasimasyarakat jika lembaga ini tidak begitu melaksanakantugas serta fungsinya sebagai wakil rakyat? Pada bagianini akan dibahas permasalahan mengenai persekongkolandan permusuhan antara lembaga eksekutif dan lembagalegislatif yang ada di Indonesia. Pertanyaan kritisnyaadalah: mengapa di negara Indonesia hanya lembagaeksekutif dan lembaga legislatif yang berperan sebagaipolicy makers? Lalu bagaimana dengan peran mas-yarakat? Bagaimana hubungan antara governance theorydengan kenyataan yang ada di negara Indonesia? Dan,apakah benar bahwa terdapat hubungan yang tidakharmonis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif?

Secara normatif, di Indonesia terdapat lembaga tertinggidan lembaga tinggi negara. Lembaga tertinggi negaraadalah MPR sedangkan lembaga tinggi negara terdiri dariDPR selaku lembaga legislatif, presiden sebagai lembagaeksekutif dan MA yang mempunyai peran sebagai lembaga

104 105

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

yudikatif. Secara prosedural, sebenarnya pembuatkebijakan di Indonesia dilakukan oleh lembaga-lembagatersebut, namun pada kenyataannya hanya kedua lembagasaja yang berfungsi yaitu lembaga eksekutif dan lembagalegislatif. Negara kita memang negara yang demokratis,dimana masyarakat mempunyai hak untuk menyatakandan menyalurkan aspirasinya melalui lembaga legislatif.Namun pada kenyataannya saat ini lembaga legislatif tidakpernah mendengarkan atau bahkan mempedulikan suararakyat. Padahal sebenarnya keberadaan lembaga legislatifini adalah sebagai wakil rakyat. Jika lembaga legislatifsudah tidak mampu menyalurkan aspirasi rakyat, makamengapa lembaga ini tidak dibubarkan? Jawaban yangmutlak adalah bahwa lembaga legislatif tidak mungkindibubarkan karena lembaga ini masih dianggap pentingdan dibutuhkan dalam mekanisme pemerintahan yangberkaitan dengan lembaga eksekutif. Yaitu bahwa setiapkeputusan-keputusan yang diambil oleh lembaga eksekutifharus melalui dan mendapatkan persetujuan dari lembagalegislatif. Sehingga pada akhirnya masyarakat hanyaberperan sebagai pelaksana kebijakan saja dan tidak ikutdalam proses pembuatan kebijakan.

Dalam menjalankan tugasnya, badan eksekutif ditunjangoleh tenaga kerja yang trampil dan ahli serta persediaanbermacam-macam fasilitas dan alat-alat pada masing-masing kementerian. Sebaliknya, keahlian serta fasilitasyang tersedia bagi badan legislatif jauh lebih terbatas. Olehkarena itu badan legislatif berada pada posisi yang lemahdibanding dengan badan eksekutif. Dalam negarademokratis, legislatif tetap memegang peran yang pentinguntuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluardari garis-garis yang ditentukan oleh badan legislatif.Keberadaan lembaga legislatif tetap merupakan peng-halang atas kecenderungan yang terdapat pada hampirsetiap badan eksekutif untuk memperluas ruang lingkupwewenangnya.

Dalam sistem parlementer, badan eksekutifnya dipimpinoleh seorang perdana menteri yang dibantu pula olehmenteri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.Kemudian badan legislatif saling bergantung satu samalain. Kabinet, bagian dari badan eksekutif yang“bertanggung jawab” diharapkan mampu mencerminkankekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yangmendukungnya. Jatuh bangunnya kabinet tergantungkepada dukungan dalam badan legislatif. Sedangkandalam sistem presidensial, badan eksekutifnya dipimpinoleh seorang presiden yang dibantu oleh para menteri yangbertanggung jawab kepada presiden. Kelangsungan hidupbadan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif.Badan eksekutif mempunyai masa jabatan yang ditentukan.

Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatifmengakibatkan badan eksekutif lebih kuat dalam meng-hadapi badan legislatif. Lagipula menteri-menteri dalamkabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaanpresiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutanpartai politik. Perkembangan teknologi dan prosesmodernisasi yang sudah berjalan jauh dan semakinterbukanya hubungan politik dan ekonomi antar negaratelah mendorong badan eksekutif untuk memiliki ruanggerak yang lebih leluasa. Ini berarti tugas-tugas badaneksekutif tidak lagi terbatas hanya melaksanakankebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badanlegislatif. Akan tetapi badan eksekutif dewasa ini dianggapbertanggung jawab untuk meningkatkan taraf kehidupanrakyatnya.

Pemerintahan yang baik adalah suatu bentukpemerintahan dimana pemerintah mampu mengelola inputberupa masukan, dukungan, serta tuntutan dari rakyatyang mencakup sebuah keinginan nyata yang terjabarkantapi tidak terpenuhi dan bahkan tidak dikenali. Tuntutantersebut dilakukan untuk merumuskan masalah sehinggamenghasilkan otoritatif yang sah, yaitu lahirnya kebijakan

106 107

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

dan input yang dikelola yang kemudian dilanjutkan dalamproses konversi. Setelah melalui proses tersebut, input itudikeluarkan dalam bentuk output berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang otoritatif danmengikat pada para anggota sistem, termasuk masyarakatkarena output tersebut mampu mempengaruhi peristiwa-peristiwa dalam masyarakat. Misalnya output berupaPeraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres),Instruksi Presiden (Inspres), Keputusan Menteri (KepMen) dan lain sebagainya.

Eksekutif dan legislatif adalah dua lembaga yang dalamkonsep trias politika ditakdirkan bekerja sama. Kebijakaneksekutif haruslah mendapat restu dari para legislator yangmewakili jutaan rakyat sebagai pendukungnya. Demikianjuga sebaliknya, rancangan hukum yang merupakaninisiatif dewan tetap harus melibatkan eksekutif sebagaipihak pelaksana. Inilah kemitraan kesejajaran dalambirokrasi. Sayangnya, konsep kemitraan ini berkembangmenjadi perselingkuhan kepentingan akibat longgarnyarambu-rambu hukum. Celah yang relatif kecil tetap bisadikelola dua lembaga ini untuk kepentingan mengatas-namakan rakyat. Bahkan, dalam pengelolaan keuangansering kali terjadi barter kepentingan agar sama-samauntung. Mengapa ini mesti terjadi dan bagaimana penyiap-an perangkat hukum sebagai solusinya?

Perselingkuhan kepentingan yang sering dikonotasikandengan penganggaran keuangan negara untuk kepentinganpribadi, bisa menjadi legal karena lemahnya hukum. Initerjadi ketika legislatif diberikan hak pengelolaankeuangan secara otonomi. Akibatnya, ancaman pidana punmembayangi perilaku semacam ini. Kasus ini tercermindalam bidikan kejaksaan atas kasus dugaan korupsi danaAPBD sampai milyaran rupiah.

Dalam konteks ini, undang-undang pengelolaankeuangan kedua negara dirancang otonom. Para wakilrakyat akan memiliki hak yang lebih jelas dalam pengelola-

an keuangan. Dewan selama ini terkesan ‘disusui’ eksekutifkarena nafkahnya ada di tangan eksekutif. Tak jarangkondisi ini memunculkan nilai tawar, mengingat para wakilrakyat juga punya hak mengkritisi pemerintah. Pen-gelolaan keuangan negara yang otonom akan menjadisalah satu solusi menekan terjadinya kolusi kepentingan.Ia tak sependapat jika kolusi legislatif-eksekutif meng-gurita akibat tak adanya lembaga independen yang men-gawasi hubungan kerja mereka.

Dalam negara demokratis, legislatif tetap memegangperan yang penting untuk menjaga agar jangan sampaibadan eksekutif keluar dari garis-garis yang ditentukanoleh badan legislatif, dan tetap merupakan penghalangatas kecenderungan yang terdapat pada hampir setiapbadan eksekutif untuk memperluas ruang lingkupwewenangnya. Kebebasan badan eksekutif terhadap badanlegislatif mengakibatkan bahwa badan eksekutif lebih kuatdalam menghadapi badan legislatif.

Implikasi negatif yang dikhawatirkan akan munculadalah adanya otonomi keuangan yang seringkali akhirnyaberbuah sangkaan korupsi. Aturan hukum dengan pasal-pasal karet sangat rawan dalam pengelolaan keuangan.Aturan hukum otonomi pengelolaan keuangan harusdirancang simpel agar tak bisa ditafsirkan ganda. Yangselama ini terjadi adalah kebijakan yang aroma politiknyaamat kental. Pemindahan pengalokasian keuangan dewankepada pos eksekutif dinilai sebagai upaya memutushubungan wakil rakyat dengan massa yang diwakilinya.Aturan hukum yang dirancang untuk penyelamatankekuasaan dan kepentingan partai penguasa harusdihindari. Jika ini terjadi, kebijakan yang mengatas-namakan hukum administrasi pengelolaan negara, tetapsaja tak sehat bagi kehidupan berbangsa. Kelompok-kelompok pro-kekuasaan menilai tudingan kongkalikongeksekutif-legislatif merupakan bentuk-bentuk salahkaprah. Kesan ini bisa muncul karena kalangan kritis

108 109

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

melihatnya dari satu sisi. Bagi mereka, pengelolaanpemerintahan mutlak didasari hubungan selaras antaraeksekutif-legislaif dan yudikatif. Selama ini, hanya legislatifdan eksekutif saja yang disoroti miring.

Lembaga-lembaga yudikatif kondisinya tak lebih baik.Isu akan keberadaan mafia peradilan bagai gelombangangin el nino yang tak kasat mata tapi dapat meng-hancurkan ribuan hektar lahan para petani. Keadilan danhukum menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh paramafia ini. Bak sebuah pasar sapi, keberadaan mafiamenelusup kesana kemari dengan sangat gesit, tangkasdan rapi, jauh lebih canggih ketimbang para penjual,pembeli apalagi sapinya itu sendiri.

Masalah korupsi saat ini menjadi sebuah barang empukuntuk melakukan pemerasan di sana-sini. Pasal-pasal karetdan peraturan yang tak jelas dan tumpang tindih seolahsesuatu yang sengaja diciptakan untuk menjerat berbagaipejabat dengan tuduhan korupsi. Lembaga kejaksaansekarang menjadi berubah total dari kucing anggora yangmanis menjadi singa hutan yang begitu garang lengkapdengan taring dan cakarnya yang siap mengoyak eksistensipara pejabat publik, pejabat politik dan pebisnis. Yang jadimasalah adalah apakah singa ini benar-benar bersih dalammenegakkan supremasi hukum yang alamiah, ataukahdikepalanya telah ditancapi oleh chip yang bisamengendalikan kapan dia harus garang dan kapan diaharus jinak. Tergantung Sang Pawang yang men-gendalikannya dengan sistem navigasi jarak jauh?

Tak sedikit fakta di lapangan yang secara jelasmenunjukkan bahwa pemberantasan korupsi adalahstrategi tebang pilih. Institusi-institusi hukum sepertimendapat proyek besar yang disebut TIPIKOR (TindakPidana Korupsi). Maka pialang-pialang hukum punbertebaran dimana-mana ada yang menyaru sebagaiaktifis NGO ada yang secara sungguh-sungguh dan’profesional’ memang berprofesi sebagai pialang hukum.

Mereka biasa mendatangi para pejabat yang kebetulankurang rapi dalam melakukan korupsi dan akhirnyadiperas. Institusi hukum tak jarang juga turut andil dalamkonspirasi ini. Hanya saja, karena sebagai pakar-pakarhukum, rumor ini sulit sekali terbukti karena tersimpandengan sangat rapi. Supremasi hukum sulit untuk diberiekspektasi tinggi dikarenakan lembaga yudikatifnya yangjuga masih belum cukup terpercaya.

Sebagai pihak yang bersentuhan langsung denganpengalokasian keuangan rakyat, legislatif-eksekutif sangatrentan disalahkan. Ketika yudikatif melihat atau menafsir-kan bahasa hukum berbeda dengan pandangan legislatif-eksekutif, maka tudingan korupsi akan muncul. Padahal,kebijakan itu dalam konteks otonomi keuangan legislatif-eksekutif didasari undang-undang. Banyak kalanganberharap agar payung hukum yang menjadi dasar legislatifmelaksanakan hak dan kewajibannya bahasanya simpeldan memiliki rentang angka yang jelas. Dalam kasusterakhir, ia mengatakan tak adanya rentang angka-angkapengalokasian hak Dewan, membuat pembahasan APBDmolor. Kewenangan eksekutif dalam menyortir hasil kerjalegislatif haruslah dipertegas baik dari batas waktu danitem yang layak dikaji.

Sayangnya, konsep kemitraan ini berkembang menjadiperselingkuhan kepentingan yang mengatasnamakanrakyat. Bahkan, dalam pengelolaan keuangan sering kaliterjadi barter kepentingan agar sama-sama untung.Perselingkuhan kepentingan yang sering dikonotasikandengan penganggaran keuangan negara untuk kepentinganpribadi, bisa menjadi legal karena lemahnya hukum. Ke-wenangan eksekutif dalam menyortir hasil kerja legislatifharuslah dipertegas baik dari batas waktu dan item yanglayak dikaji. Ini penting agar kesan bahwa legislatif-eksekutif berselingkuh untuk kepentingan pribadi bisaditekan. Inilah konstelasi masalah yang seharusnya di-hadapi oleh para aparatus yudikatif di Indonesia, bukannyamalah memperburuk keadaan.

110 111

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Trias politika di Indonesia yang telah menginjak usiapuluhan tahun masih menunjukkan fakta bahwa insitusinegara, di level internalnya masih banyak sekali masalah.Dan fenomena tersebut kiranya tidak hanya terjadi di ne-gara yang usia trias politikanya puluhan tahun sepertiIndonesia saja. Di negara yang usia trias politika telahmenginjak usia satu abad pun masih menghadapi masalahyang sama. Ini yang menjadi dasar argumentasi bahwakita tak bisa hanya menyalahkan pada tataran implemen-tasi saja. Kecurigaan harus sudah mulai ditempatkan padawilayah konseptual. Konsep negara masih harus terus dicarititik puncak idealitasnya.

Di tengah masih kaburnya masalah yang ada ini, GGsecara terburu-buru langsung saja menempatkannya dalamsebuah komponen yang harus bersinergi. Padahal per-tarungan di dalam berbagai elemen dalam negara masihterus terjadi. Institusi politik terus saja mengecam danmengintimidasi eksekutif untuk melakukan banyak hal atasnama rakyat. Eksekutif menjadi arogan karena menguasaiberbagai sumber daya dan infrastruktur. Yudikatif menjaditak pernah lepas dari berbagai konspirasi dan mafiaperadilan. Sungguh, ia masih belum siap untuk secaraterbuka dan progresif memberi kontribusi bagi yang lain.

SG berupaya untuk mencari titik kesalahan funda-mental atas konsep negara sembari melakukan capacitybuilding yang berbasis nilai terhadap institusi negara. Halini menjadi sesuatu yang lebih mendesak untuk dilakukansaat ini. Ketika good governance telah memisahkan entitasnegara dengan rakyat (civil society), maka hal ini justruakan mempersulit upaya untuk mempelajari konsep negaraitu sendiri. Sesungguhnya Cicero, de Toqueville dan banyakpakar lain ketika menempatkan konsep civil societybukanlah bermaksud untuk memisahkannya dari entitasnegara (Kaldor, 2003). Konsep civil society hadir sebagaitanda dari sekelompok manusia yang bebas dari tugasformalisme negara, kendati secara hukum mereka masih

menjadi bagian dari keabsahan keberadaan negara itusendiri.

Civil Society: Lahan Bisnis BaruKesalahan konseptual yang paling akut dari konsep GG

ketika ia menanggapi konsep civil society sebagai entitasyang terpisah dari negara. Padahal dari epistimologikemunculan konsep ini sungguh bukan merupakan upayauntuk menarik masyarakat ‘keluar’ dari negaranya danberdiri diametral dengan negara. Civil society secarainstitusional bisa diartikan sebagai pengelompokan darianggota-anggota masyarakat sebagai warga negara yangmandiri serta dapat dengan bebas dan egaliter bertindakaktif dalam wacana dan praksis mengenai hal yangberkaitan dengan masalah kemasyarakatan padaumumnya. Termasuk di dalamnya adalah jaringan-jaringandan pengelompokan-pengelompokan sosial yang mencakupmulai dari rumah tangga, organisasi-organisasi sukarela,sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin padaawalnya dibentuk oleh negara tetapi melayani kepentinganmasyarakat. Mereka hadir sebagai perantara bagi negaradi satu pihak dan individu atau masyarakat di lain pihak.Namun demikian, civil society harus dibedakan dengansuku, klan atau jaringan-jaringan klientelisme, karenavariabel utama di dalamnya adalah sifat otonomi, publikdan civic (Alagappa, 2004). Hal ini menyiratkan keharusanadanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatanyang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan di muka umum.

Sehingga skema hubungan antara negara denganmasyarakat sipil seharusnya masih dalam sebuah bingkaiyang utuh. Penguasa yang sedang menempati strukturnegara adalah persoalan tersendiri, dan negara sebagaisebuah jaringan komunal yang legal adalah masalah lain.Atas nama negara, bisa saja para penguasa yang ada

112 113

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

melakukan aksi penghisapan dengan mengeluarkanberbagai regulasi yang itu sangat meminggirkanmasyarakat sipil. Tapi bila substansi negara itu sudahmenjadi sebuah organisme yang hidup maka regulasi dankebijakan semacam itu pasti akan tertolak dengansendirinya. Ini bisa diibaratkan dengan tubuh manusia.Ketika ada zat-zat asing yang tak sesuai denganmetabolisme tubuh, maka pasti self defend mecanism tubuhakan menolaknya. Dan apabila antibodi yang ada dalamtubuh tak mampu mengeluarkan toksin tersebut makatubuh manusia itu akan mengalami sakit.

Deskripsi di atas adalah gambaran yang terjadi akannasib negara di berbagai belahan dunia saat ini. Banyakpenguasa-penguasa negara yang meracuni tubuhnegaranya sendiri dengan kebijakan yang menghisaprakyat dan meniadakan demokrasi. Indonesia merupakansatu contoh terbaik untuk membuktikan teori tersebut.

Menghadapi kondisi ini, maka ide tentang tumbuhnyanegara sebagai monster leviathan harus dihadapi dengancara mengembalikan kesejatian negara itu. Tapi GG justrumembiarkan mutasi negara itu tetap terjadi. Kemudian iamengeluarkan beberapa anggota tubuh dari makhluk yangbernama negara itu untuk menjadi lawan tandingnya. Inibisa jadi merupakan sebuah proses evolusi dari organismenegara. Negara telah berubah bentuk karena adanyaperlakuan alam yang berubah. Hanya saja yang menjadimasalah adalah proses evolusi ini bukan sebuah perubahangradual yang progresif. Karenanya, alam harus di-recovery. Alam harus dikembalikan keasliannya. Dengandemikian, negara harus kembali pada keasliannya. Yakninegara sebagai ikatan kolektif atas berbagai elemen yangada di dalamnya untuk kemudian bersepakat merumuskandan mencapai cita-cita kemajuan bersama.

Klaim bahwa civil society yang dikeluarkan dari ikatannegara dan menjadikannya sebagai lawan tandingmembuat seolah tidak ada masalah sedikitpun darinya.

Pepatah klasik vox populi vox dei telah mengalamihiperbola yang luar biasa. NGO’s, GRO’s dan rakyat padaumumnya seolah pasti benar dan tak ada masalah bawaandi dalam diri mereka yang bisa jadi pelibatannya justrumembuat masalah menjadi semakin akut. Konspirasi elitNGO dan tokoh masyarakat tertentu dengan berbagaipenguasa dan pengusaha hitam malah akan membuatrunyam keadaan. Kelompok masyarakat sipil yang kritisterhadap kebijakan penguasa namun tidak didasari olehkeberpihakannya pada rakyat adalah sebuah kenyataanyang tak dapat dipungkiri. Ada banyak kepentingan yangmembalut kelompok-kelompok semacam ini yang terkadangtak murni. Apakah itu akibat desakan donatur asing ataujustru digerakkan oleh kelas-kelas elit yang kecewa akibatdistrubusi kekuasaan yang tak sesuai dengan ekspek-tasinya (Farazamnd, 2004).

Bahkan yang terjadi di lapangan kita melihat bahwaternyata tidak sedikit elemen rakyat yang juga aktif dalammelakukan tindakan korupsi. Dulu pada masa orde barukita sering mendengar cemooh yang ditujukan pada parapejabat pemerintah, bahwa mereka adalah tukang korupsi.Lalu muncul ide-ide agar rakyat diberi kepercayaan untukmengelola pembangunan, maka dipastikan korupsi tidakakan terjadi. Tapi benarkah demikian? Kasus KUT (kreditusaha tani) misalnya. Proyek ini menjadi sangat terkenaldi Indonesia. Tapi bukan karena suksesnya program inidalam penyejahteraan petani, melainkan karena banyaksekali kebocoran di sana. Banyak sekali kasus yang sudahmasuk ke pengadilan atas penyelewengan dana KUT ini.Tak sedikit dari mereka yang saat ini juga sudah masukhotel prodeo. Dan pelakunya bukan pejabat negaramelainkan masyarakat sendiri. Atau berbagai programbantuan dana langsung ke masyarakat (BLM) dariberbagai proyek pemerintah yang juga banyak ditilap olehmasyarakat sendiri.

114 115

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Elemen civil society lainnya yang sering didengung-dengungkan sebagai benteng terakhir moralitas publikadalah LSM atau Ornop. Lembaga swadaya masyarakatatau disebut pula Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) inididefinisikan sebagai lembaga-lembaga yang berada diluar sektor pemerintah maupun bisnis swasta, yangbergerak dalam berbagai kegiatan pembangunan ataupembelaan kepentingan umum, dan menekankanpencarian pola-pola alternatif serta pemberdayaanmasyarakat. Adapun jenis kegiatan LSM hadir beragammulai dari advokasi publik, pekerja sosial, pemberdayaandan penyadaran, bantuan kemanusiaan, lingkungan hidup,hak konsumen hingga soal penggusuran rumah. Selamaini memang LSM diidentikkan dengan pihak yang ber-seberangan dengan pemerintah.

Dalam paradigma GG, NGO’s dikonseptualisasi sebagaisalah satu pilar utama elemen masyarakat sipil (civilsociety). Isu yang paling keras dalam membincang NGOadalah dari mana asal muasal sumber dana organisasitersebut. Ini menjadi pembahasan penting sebab masalahyang melingkupi perihal pendanaan NGO ini sangat dekatdengan pepatah kaum marxist modes of production. Suaradan isu yang diangkat oleh NGO 99% sangat ditentukansiapa yang mem-back up dapur finansialnya.

Konsep paling ideal pendanaan NGO adalah ketikaorganisasi tersebut memiliki sumber pendanaannya sendiri.Hal ini sering dikenal dengan istilah fund rising. Tapi kalaudilihat secara cermat sesungguhnya sangat sedikit NGO didunia ini yang mampu memiliki sumber pendanaan internalyang tangguh. Umumnya NGO masih menggantungkanenergi pendanaannya dari sumber luar. Bahkan di negara-negara maju sekalipun sebagian besar NGO didanai olehsumber dari luar. Mekanismenya adalah dana-dana sosialdari perusahaan-perusahaan besar (Corporate SocialResponsibility) diserahkan pada negara, lalu negaramendistribusikan dana tersebut ke berbagai lembaga sosial

untuk dirupakan dalam berbagai program NGO. Atau adajuga perusahaan yang langsung menyerahkan danatersebut pada berbagai NGO yang ada, baik skala nasionalmaupun internasional. Dana-dana inilah yang kemudiantersebar ke berbagai lembaga donor (funding agencies) diseluruh dunia. Dan akhirnya sebagian dana tersebutsampai ke berbagai NGO di Indonesia.

Ada juga sumber pendanaan NGO yang langsung daridana negara yang dialokasikan untuk mendukung kegiatanNGO. Ini biasanya dapat terlihat jelas dalam perencanaankeuangan negara baik tingkat nasional maupun daerah(di Indonesia bisa melalui APBN atau APBD). Kalau sepertiini maka sumber dana menjadi tidak jelas, artinya tidakhanya dari berbagai korporasi melainkan bisa juga daripajak ataupun sumber keuangan negara lainnya.

Informasi mengenai sumber dana memberikan beberapamasukan yang menarik. Kebanyakan organisasi ter-gantung pada gabungan dari sumber dana yang berbeda-beda; pada umumnya sumber-sumber dana tersebutmerupakan kombinasi antara swadana (iuran keanggota-an, sumbangan swasta), pendapatan yang berasal dariaktivitas-aktivitas yang dilakukan (biaya konsultasi,pendapatan dari koperasi), dan lembaga-lembaga pemberidana baik dalam negeri maupun internasional. Perluasansumber dana swadaya adalah bukti kreativitas dankomitmen organisasi-organisasi tersebut dan jugamerupakan tanda penghargaan dari komunitas lokal atasdukungan yang diberikan oleh mereka. Kenyataan bahwakurang dari seperempat organisasi yang terdaftarmenerima dana internasional barangkali dapat mengurangikesan bahwa peace building “dikendalikan oleh donatur.”Dalam konteks ini maka pertanyaan besarnya adalahbagaimana dengan konsep independensi NGO dalammenyuarakan kepentingan rakyat? Apakah keberpihakanfundamental mereka kepada kaum tertindas mendapatlegitimasi yang cukup kuat ketika penghidupannya justrutergantung pada kekuatan-keuatan mainstresam?

116 117

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Independensi sebuah gerakan sosial hanya dibatasidengan istilah non-partisan belaka. Konsep non-partisanitu sendiri juga dipersempit lagi dengan tidak adaketerikatan formal antara NGO dengan partai politik. Idereligius tentang value free tentu tak akan cocok bila dipakaiuntuk memotret fenomena gerakan sosial termasuk jugaaktifitas ornop. Independensi ornop tidak ditentukan adatidak kepentingan di balik tindak tanduknya, melainkandari pertanyaan apakah ada kepentingan partai politik disitu. Padahal bisa jadi kekuatan-kekuatan di luar partaiakan lebih politis ketimbang kepentingan partai politik itusendiri.

Sejarah perkembangan ornop di Indonesia pun tak lepasdari ambigu. Pada saat Orde Baru tumbang dan beralihmenjadi Orde Reformasi maka keberadaan LSM bagaikancendawan di musim hujan. Memang tidak sedikit LSM yanglantang menyuarakan dan mengatasnamakan kepentinganrakyat. Apalagi bila ada kebijakan pemerintah yangdilahirkan ternyata dinilai merugikan kepentingan rakyat,mereka pun ramai berteriak. Tetapi apakah keberadaanmereka memang semata-mata untuk menyuarakankepentingan dan memperjuangkan nasib rakyat? Nyatanyamemang tidak semua LSM yang berdiri tersebut benar-benar murni karena kepentingan rakyat. Berdirinya merekasebagian disebabkan pula oleh persyaratan-persyaratanyang diterapkan oleh lembaga keuangan internasional.Ambil contoh Bank Dunia, yang mensyaratkan perlunyapemerintah bekerja sama dengan LSM dalam proyek yangakan mereka kucurkan. Maka tak heran bila akhirnyamuncul LSM ‘jadi-jadian’ dan juga LSM yang dinamakanplat merah. Dengan kata lain, munculnya LSM disebabkandua hal. Pertama, karena kebutuhan riil masyarakat.Kedua, karena adanya kucuran dana dari lembaga donor(funding). Bila pada akhirnya pihak donor mengucurkandananya kepada para LSM tersebut, baik secara langsungataupun tidak, apakah memang tidak terdapat agenda

tersembunyi dari pihak donor tersebut ataupun dari negarayang diwakilinya? Yang jelas, pihak lembaga donor yangmengucurkan bantuannya tidak akan sembarangan dalammenyetujui proposal program yang ditawarkan oleh pihakLSM. Mereka akan memilah dan memilih program yangmemang dirasakan ‘pas’ bagi mereka. Hingga padaakhirnya akan muncul sebuah indikasi ketergantungan dariLSM tersebut terhadap pihak pemberi dana.

Dari kondisi tersebut yang lebih menggelikan lagi diIndonesia mengenal 3 kategori LSM, yaitu plat merah, platkuning dan plat hitam. LSM plat merah adalah LSM“bentukan” dari pemerintah dimana seringkali hanyadijadikan alat “penutup” kedok agenda GG yang melibat-kan 3 pilar utama dalam menjalankan pemerintahan yaitucivil, privat dan society. Dalam pandangan pemerintahsendiri, dibentuknya LSM Plat Merah yang notabene berisiistri-istri pejabat ini adalah agar jika mereka memilikiproyek yang harus melibatkan LSM maka LSM-LSM platmerah inilah yang kemudian dirangkul agar seakan-akanpemerintah telah menjalankan GG dengan baik. Padahalalangkah piciknya jika semua tahu bahwa LSM tersebuttidak lebih memang telah dipersiapkan dan dikondisikanseperti itu. Jadi mereka menyetujui apa yang menjadi katapemerintah bukan karena mereka tahu bawa program-program tersebut menguntunkan masyarakat tetapi lebihkepada wujud “kesetiaan” kepada sang tuannya. LSM platmerah ini juga disinyalir membela kepentingan pejabat-pejabat pemerintah yang biasanya dilakukan untukmengejar posisi tertentu, seperti bupati, gubernur atau lebihke atas lagi. LSM seperti ini menyalahgunakan perannyadan mereka menjadi backing pemerintah. Artinya, jadisetiap kegiatan yang dijalankan adalah untuk kepentinganpemerintah. Adapun sumber dana dari LSM plat merahini sudah pasti dan sudah tentu dari pemerintah terlepasapakah itu dana memang sudah dianggarkan untuk ituataukan dana-dana lain yang ada di pemerintahan yangmungkin semestinya tidak dialokasikan untuk itu.

118 119

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

LSM plat kuning bukan hasil bentukan dari pemerintahtetapi LSM ini terbentuk semata-mata untuk mencari ke-untungan. Sehingga orientasinya lebih kepada keuntungandan laba dari organisasi tersebut dan bukannya malahmenjadi media pengontrol bagi kinerja pemerintah. LSMplat kuning ini bisa ditumpangi siapa saja dengan maksudapapun asalkan “cocok harga”. Karena terbentuknya LSMini lebih berorientasi pada uang, maka setiap proyek yangmasuk akan mereka terima walaupun bukan pada bidangtugasnya. Adapun sumber dana LSM plat kuning iniseringkali berasal dari donor terlepas apakah itu donorasing maupun dari dana swadaya masyarakat dan jugaanggotanya sendiri. Dan karena orientasinya pada ke-untungan maka mereka pasti berusaha mencari input yangsetinggi-tingginya bahkan mengkhianati rakyat akandilakukan asalkan mendapatkan uang.

Sedangkan LSM plat hitam adalah yang disebut-sebutsebagai satu-satunya LSM yang murni menjalankan fungsisebagaimana mestinya yaitu sebagai media pengontrolkinerja pemerintah dan juga mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa tidak akuntabel dantidak membawa manfaat bagi masyarakat umum. LSM inimerupakan LSM yang independen. LSM ini juga me-rupakan satu-satunya LSM yang konsisten pada satubidang tugasnya. Karena LSM ini disinyalir sebagai satu-satunya LSM yang benar-benar murni terbentuk untukmengkritisi kinerja pemerintah maka mereka pasti ber-usaha mendapatkan dana untuk menjalankan organisasi-nya. Adapun sumber dana ini tidak mungkin jika berasaldari pemerintah karena seperti kita tahu pemerintah telahmemiliki tugas untuk menghidupi LSM bentukan mereka.Oleh karena itu dana ini sebagian besar didapat dari donorasing. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah karenaketergantungannya pada donor asing sehingga tidak jarangmereka dianggap menjadi corong asing dan sedikitmelenceng dari komitmen awalnya. Jumlah LSM plat hitamini di Indonesia sangatlah sedikit.

Jika kenyataanya seperti ini masihkan agenda GG yangdikehendaki akan mampu dilaksanakan dengan benarkarena pada akhirnya keterlibatan ketiga sektor tersebutjuga merupakan akal-akalan dari pemerintah. Dimanaletak transparansinya jika NGOs yang profit oreintedtersebut dengan sukarela dan sudah pasti selalumengiyakan dan menjalankan apa kata tuannya sertamenyetujui semua kebijakan yang mungkin justrumembawa kemunduran bagi bangsa ini. Alangkah lebihbijaksana jika kita mencoba melihat NGO yang ada di luarnegeri dimana mereka benar-benar mampu menjadi alatpengontrol pemerintah karena mereka murni terbentukuntuk itu tanpa tendensi apapun daripada haruskebingungan mencari dana dari luar atau harusmenjalankan apa kata tuannya.

Di sinilah pentingnya capacity building yang diprogram-kan secara eksplisit dalam SG. SG beranggapan bahwaidealnya NGO adalah yang dapat mendanai semuakegiatannya dan aktifitasnya secara mandiri. Tidaktergantung dari pihak luar, baik pemerintah maupun donorasing. Tetapi SG juga tidak anti terhadap berbagai programsokongan dana yang diberikan pada LSM asalkan niatnyaadalah dalam kerangka peningkatan kapasitas. Akan lebihbagus bila semua bentuk bantuan dana kepada NGO atauGRO berupa program yang langsung mengarah padacapacity building. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinanpula bila suntikan-suntkan dana itu bersifat programsektoral, tetapi target utamanya tetap peningkatankapasitas. Sehingga SG berharap semua bantuan danapada masyarakat sipil itu sifatnya adalah penyiapankemandirian mereka dalam jangka panjang.

120 121

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Sektor Swasta: Dieksplotasi dan/atauMengeksploitasi

GG mengasumsikan bahwa antara pemerintah,masyarakat dan pelaku bisnis hanyalah tiga entitas yangberbeda sektor saja. Kenyataan yang ada di lapanganmenunjukkan bahwa secara psikologis sektor bisnis agakjauh berbeda dengan masyarakat sipil dan pemerintah.Kita bisa saksikan perbedaan ekstrem ini pada berbagairapat atau pertemuan yang diselenggarakan untuk mem-pertemukan mereka. Sangat mudah untuk menghadirkanunsur masyarakat dan pemerintah, tetapi tidak untukunsur dunia usaha.

Kenyataan di lapangan, dunia usaha adalah unsur yangpaling sulit diajak bekerja sama dan bermusyawarah untukmembahas berbagai persoalan publik. Di berbagai tempatdi seluruh Indonesia, partispasi dunia usaha dalampertemuan-pertemuan sosial semacam ini adalah yangpaling rendah dan memprihatinkan. Mereka, unsur duniausaha, hanya akan datang pada acara-acara yang terkaitdengan bisnis dan sejauh itu menguntungkan saja, misalnyapada acara-acara tender. Kalangan bisnis sangat jauh dariatmosfer perbicangan masyarakat dan pemerintahkhususnya dalam membicarakan pembangunan baik ditingkat daerah maupun pusat. Kalau toh ada satu duaperwakilan dari dunia usaha yang datang, umumnyaadalah dari sektor yang sangat kecil. Adapun pelaku-pelakubisnis yang besar umumnya mereka lebih senang bermainlobby dengan pejabat-pejabat tinggi untuk mendapatkantender ketimbang duduk bersama rakyat, bermusyawarahuntuk membicarakan arah pembangunan dan perbaikankondisi sosial ekonomi secara makro.

Parahnya partisipasi private sector dalam prosespembangunan partisipatif ini sekaligus membuktikanbahwa klaim keberhasilan GG selama ini hanya di ataskertas semata. Bukti bahwa pihak pemerintah, swasta dan

masyarakat sipil telah bahu-membahu berkerja men-yejahterakan rakyat hanyalah ada di dokumen-dokumenlaporan kegiatan semata. Secara substantif, sektor swastatetap saja hanya memperhatikan keuntungan bisnisnyasemata. Itu masih lebih baik. Di beberapa tempat sektorswasta justru melakukan banyak hal yang kontraproduktifdengan proses demorkatisasi pembangunan itu sendiri.Mereka melakukan lobby pada elite birokrasi dan elit politikuntuk menggolkan proyek mereka, atau memenangkanmereka dalam proses tender.

Oleh karena itulah SG lebih terfokus pada penegasanparadigmatik peran dan tanggungjawab private sectordalam pembangunan. Hal ini jauh lebih penting ketimbangmemikirkan bagaimana pola hubungannya dengan aktor-aktor lain yang ada di masyarakat seperti yang dilakukanGG. Bila hanya terfokus pada penciptaan hubungan denganaktor-aktor yang ada maka yang jadi masalah adalahadanya pola hubungan yang justru saling memanipulasiatau mengkooptasi. Bila pola hubungan yang seperti iniyang terjadi maka benar apa yang berulang dikatakanShohat dan Stam (1994) bahwa ketidaadilan polahubungan antar kuasalah yang akan terjadi. Masyarakatsipil yang secara komparatif memiliki kuasa lebih kecildibanding pemerintah dan swasta akan menjadi korban.Maka SG dalam melihat sektor swasta terlebih dahulupenting untuk menegaskan tugas dan tanggungjawabnya.Dan itu harus tertuang dengan jelas dalam regulasi.

Kontribusi pihak swasta dalam proses pembangunan inisebenarnya berada dalam pembahasan yang sangat sulit.Hanya saja studi-studi administrasi publik selama ini tidakcukup banyak membicarakannya. Bila kita membuatregulasi yang terlalu ketat akan dipersalahkan. Sebaliknya,bila terlalu longgarpun akan salah. Ada persoalan besartentang batasan penentuan derajat dan proporsi yang tepatdalam hal keterlibatan sektor bisnis dalam pembangunan.Sejauh ini GG sama sekali belum memberikan arah yang

122 123

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

jelas dari komplikasi ini. Adapun dua kutub dilematis itubersandar pada dua paradigma dasar, pertama paragdimapajak dan yang kedua adalah tanggungjawab sosialperusahaan.

Pertama, beberapa kalangan menganggap bahwa satu-satunya wujud tanggung jawab perusahaan dalampembangunan adalah pajak. Ketika pemerintah telahmembuat regulasi perpajakan yang di dalamnya jugamengatur bagaimana dan seberapa besar pajak yang harusdibayarkan, maka sebesar itu pulalah tanggung jawabperusahaan yang harus ditunaikan. Perusahaan tidak perlulagi ditambahi beban-beban lainnya yang hanya akanmengganggu pekerjaan utama mereka menghasilkanproduk dan profit sebanyak-banyaknya.

Lebih dari itu, kehadiran dunia bisnis sangat pentingdalam pertumbuhan ekonomi makro sebuah bangsa. Olehkarenanya penciptaan suasana bisnis yang nyaman danaman bagi investor adalah hal yang sangat penting untukmenggerakkan ekonomi sebuah bangsa. Bila tak ada sektorbisnis yang bergerak di sebuah daerah atau negaratertentu, maka bisa dipastikan lokasi tersebut akan segeraterkena krisis perekonomian yang cukup akut. MengingatIndonesia tidak menganut sosialisme secara ekstrem, makatugas-tugas melakukan proses produksi ini tidak bisadiserahkan seratus persen pada negara. Pemberian banyakbeban tambahan pada sektor bisnis tidak lain hanya akanmembuat iklim usaha di daerah tersebut akan menjadiburuk. Hal ini akan berujung pada banyaknya kerugiandan krisis sosial ekonomi yang akan diderita olehmasyarakat dan derah itu sendiri.

Paradigma ini beranggapan bahwa, jangankan untukmembebani perusahaan-perusahaan dengan beban dantanggung jawab tambahan, memberikan pajak yang terlalubesar pun akan berkontribusi secara negatif terhadaptumbuh kembangnya iklim usaha di sebuah daerah.Sehingga penentuan jumlah dan besaran pajak kepada

perusahaan itu berbanding terbalik dengan iklim usahadan investasi. Semakin kecil beban pajak yang diberikansemakin senang pelaku bisnis untuk melakukan bisnisnyadi daerah atau negara itu. Sebaliknya, semakin tinggi pajakyang dikenakan, semakin enggan mereka melakukanaktifitas bisnis di sana. Hal ini makin diperkuat dengankenyataan tentang leluasanya aliran modal berpindah darisatu tempat ke tempat lain. Sehingga hari ini daerah Amemiliki banyak investor, bisa saja keesokan harinyaditinggalkan oleh seluruh investor yang dimilikinya itugara-gara daerah tetangganya memberikan banyaktawaran regulasi pajak yang menggiurkan bagi investor(jauh lebih rendah), dan membuat para investor itumemindahkan seluruh aktifitas bisnis dan modalnya kedaerah tersebut.

Pandangan yang ada di paradigma ini tentu saja hanyamengharapkan kepatuhan para pemilik perusahaan untukmembayar pajak sebagai kontribusi tertinggi mereka dalampembangunan. Di Indonesia hal ini menjadi masalah klasikdan akut sejak bertahun-tahun. Berdasarkan informasi dariDirjen Pajak, kasus penggelapan pajak yang sedangdiselidiki per awal tahun 2008 sebanyak 50 kasus dugaanpenggelapan pajak. Total perkiraan kerugian negara akibatpenggelapan itu sekitar Rp 325 miliar. Jumlah kerugiannegara digabungkan dengan dugaan penggelapan pajakAsian Agri mencapai Rp 1,625 triliun. Data dari DirjenPajak juga menunjukkan bahwa jumlah kasus yang adadari tahun ketahun terus meningkat.

Hal tersebut sekaligus sebagai tantangan bagipandangan yang menganggap bahwa pajak adalah satu-satunya dan sekaligus bentuk kontribusi tertinggi darisektor swasta pada pembangunan. Ketika kita hanyamendasarkan pada pajak, dan kenyataan kecurangan danpenggelapan pajak yang dilakukan oleh para pebisnismasih begitu parah, lalu sampai kapan rakyat akan me-nunggu kontribusi yang nyata dari pihak swasta yang telah

124 125

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

menjalankan binisnya dan mengeruk banyak keuntungandari daerahnya? Penegakan hukum dan pendisiplinan, baikbagi aparatur pajak maupun pembayar pajak masihmerupakan pekerjaan rumah yang sangat panjang. Se-mentara pembangunan dan kesejahteraan rakyat adalahpersoalan yang harus segera diselesaikan dalam jangkapendek. Hal ini pulalah yang sebenarnya mengantarkanpada paradigma kedua yang lebih menekankan pentingnyatanggungjawab sosial perusahaan.

Paradigma berikutnya berpandangan bahwa perusaha-an harus memiliki peran dan tanggungjawab lebih dalampembangunan dan kemasyarakatan serta tidak hanyasebatas membayar pajak. Asumsi yang dipakai adalahbahwa perusahaan dan para pebisnis tersebut telah meng-gunakan berbagai sumber daya yang ada di daerahtertentu. Sehingga sudah sewajarnya masyarakat dandaerah yang ditempati tersebut juga mendapatkankeutungan dari keberadaan lembaga-lembaga bisnis itu.Di samping itu, dalam struktur sosial ekonomi yang lebihluas, kesenjangan ekonomi yang ada di masyarakat saatini sangatlah tinggi. Dan keberadaan berbagai sektor bisnisyang ada di Indonesia saat ini tidak banyak membantudalam memperkecil kesenjangan ekonomi yang ada. Lebihburuk lagi, kesenjangan yang ada malah cenderung makinparah dengan adanya berbagai sektor bisnis tersebut. DiIndonesia sekaligus terdapat orang terkaya se AsiaTenggara, dan hampir dapat pastikan mungkin juga akandidapatkan orang termiskin.

Keberadaan para pelaku bisnis kaya yang hidup ditengah masyarakat Indonesia –yang pada umumnya hidupdi bawah garis kemiskinan- membuat banyak kalanganberharap agar sektor bisnis ini dapat memberikankontribusi yang signifikan bagi pembangunan. Kontribusiyang dimaksudkan di sini tidak hanya melulu terkaitdengan bantuan dana yang bersifat charity, melainkanlebih merupakan keterlibatan secara aktif dan strategis

untuk ikut memikirkan dan menemukan solusi bagimasalah kemiskinan. Sektor swasta yang selama iniberoperasi di berbagai daerah di Indionesia dianggap telahbanyak membuat para pemilik modal atau kelas menengahatas dari perusahaan-perusahaan tersebut menjadi kaya,tetapi tidak berdampak apapun bagi masyarakat banyak.Tidak terbuktinya teori trickle down effect telah semakinmemperkuat anggapan bahwa perusahaan memang harusmemberikan dan menunjukkan peran nyata dalampembangunan dan berbagai urusan sosial kemasyarakatanlainnya. Kerja murni untuk produksi dan mengakumulasikapital tidak lagi menjadi satu-satunya alasan keberadaansektor bisnis tumbuh dalam ruang kehidupan.

Belum lagi ketika melihat kenyataan bahwa pada sektorsosial terdekat pun ternyata dunia usaha di Indonesia belumbisa dipercaya sepenuhnya mampu menyejahterakanmereka, yakni kaum buruh. Ada janji bahwa tumbuhnyasektor industri sektor industri di sebuah daerah atau negaraakan membuat kesempatan kerja di lokasi itu mengalamipeningkatan sehingga terwujud kesejahteraan rakyatdalam jangka panjang. Kenyataan yang bisa dilihat sampaihari ini adalah fakta bahwa kaum buruh masih tertindas.Dalam dunia ekonomi politik fenomena ini dikenal denganistilah race to the bottom (Singh, 2004). Race to the bottomadalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskanfenomena industri yang berusaha menekan biaya-biayasosial dan lingkungan demi menekan biaya produksi yangdikeluarkan oleh pemodal. Sebagai akibat umum daripraktek race to the bottom ini maka upah dan kesejahteraanburuh harus ditekan. Demikian pula berbagai pengeluaranlain terkait dengan pembuangan limbah. Sehingga takjarang peningkatan jumlah perusahaan yang beroperasidi sebuah tempat berbanding lurus dengan makin besarnyatingkat pencemaran lingkungan hidup (tanah, air maupunudara) di daerah tersebut.

126 127

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Berbagai cerita tentang wajah buruk dunia usaha diIndonesia, mulai penggelapan pajak, penindasan buruh danpencemaran lingkungan makin mempertegas bahwa tidakcukup tanggung jawab sosial, politik dan ekonomi merekahanya tertunaikan melalui pajak. Harus ada berbagaibeban tambahan yang bersifat taktis maupun strategisyang diberikan kepada mereka sebagai wujud kontribusikonkretnya dalam pembangunan.

Paradigma kedua ini pun masih menyisakan persoalanyang tidak sederhana. Semakin perusahaan ditekandengan berbagai beban tambahan maka para investor akanberpikir bahwa di daerah tersebut memiliki high costeconomy. Dan sesungguhnya hal inilah yang selama initerjadi di Indonesia. Sebagaimana layaknya praktekpreman pasar yang sudah menarik “uang keamanan” bagipara pedagang, di dalam skala yang lebih luas praktekala ‘preman pasar’ ini juga melanda dunia investasi kita.Ketika sebuah investasi direncanakan hendak datang kesebuah daerah, maka para aktor-aktor penting di daerahtersebut telah berbondong-bondong mendatangi kantorperusahaan tersebut untuk meminta jatah ataupun “uangkemananan”. Mulai dari pejabat eksekutif maupunlegislatif yang membawa daya tawar regulasi untukmendapat jatah dari si investor, para aparat keamanan,hingga LSM jadi-jadian yang mengancam akan melaku-kan demo besar-besaran jika si pengusaha tidak memberimereka sejumlah konpensasi yang diminta.

Hal-hal seperti tersebut di atas makin memperumitkonsep peran sektor swasta dalam pembangunan. Dansekali lagi kerumitan ini masih menjadi pertanyaan besaryang belum terjawab dalam wacana tata pemerintahan,khususnya di Indonesia.

Lubang besar itu pun belum terjawab dalam konsepsiGG. Dalam GG ada anggapam ideal bahwa perusahaanmemiliki peran langsung dan terlibat dalam proses-prosessosial dan demokrasi baik pada level perencanaan maupun

dalam pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Bagaimanamereka bisa terlibat bila posisi mereka saat ini beradadalam dua titik ekstem, yaitu mengeksploitasi masyarakatdaerah atau dieksploitasi oleh mereka. Maka, SGmempersepsi peran swasta dalam proses tata pemerintah-an tidak lagi pada ukuran seberapa banyak dia terlibatdalam rapat-rapat atau seberapa banyak dana yang diaberikan pada pemerintah (dalam bentuk pajak). Sebab halterakhir tersebut sangat terkait dengan berbagai upayasupremasi hukum yang juga harus dilakukan secarasimultan. SG memandang peran penting dari sektor swastaadalah bagaimana kehadirannya di tengah-tengahmasyarakat dapat berdampak secara signifikan bagikesejahteraan secara umum dan memperkecil gappendapatan yang terjadi di masyarakat. Dalam konteksinilah maka konsep-konsep seperti public-privatepartnerships (PPP) ataupun berbagai konsep dan teoritentang community devolpment mengambil peran sebagaipilihan-pilihan taktis. Bukan sebagai tujuan dan keharusansebagaimana umumnya para pendukung GG anjurkan.

Aktor InternasionalYang membuat SG sama sekali baru dalam khazanah

administrasi publik adalah perhatiannya yang kuat padapengaruh aspek internasional dalam proses tatapemerintahan. Ambil salah satu contoh pada satu kekuatanbesar yang beroperasi di peta politik dunia, WTO (WorldTrade Organization). Ia merupakan sebuah organisasi yangberanggotakan berbagai negara di dunia yang (dipaksauntuk) sepakat dalam mencapai cita-cita “perdaganganbebas internasional”. WTO sendiri tidak serta merta munculmenjadi kekuatan dominan yang akhirnya akan berpegaruhpada berbagai kebijakan domestik negara-negaraanggotanya termasuk Indonesia. Ia di-back up oleh WorldBank sebagai penata financial. Sementara Multi-NationalCorporation (MNC) berperan sebagai penguasa perdagang-

128 129

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

an dan PBB sebagai penata politik global. Sedangkansponsor utama dari lembaga-lembaga dominan itu adalahnegara-negara maju dunia yang tergabung dalam G-8 (AS,Kanada, Jepang, Rusia, Inggris, Prancis, Italia, danJerman). SG melihat bahwa praktek transforasi pasarbebas yang dilakukan secara sistematis ini sangatberpengaruh terhadap kualitas tata pemerintahan diseluruh dunia. Hanya saja, sangat mengherankan mengapaGG sama sekali tidak melibatkan faktor maha penting inidalam semesta pembicaraannya. Berikutnya kita akan lihatbagaimana modus operandi mereka di sektor ekonomi danpolitik.

Perusahaan-perusahaan transnasional, menuru t laporan Investsai Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatanbangsa-bangsa (PBB), ada 37.000 perusahaan trans-nasional yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luarnegeri. Sembilan puluh persen dari perusahaan-perusahaan transnasional tersebut berkantor pusat dinegara-negara maju. Dengan menggabungkan data dariberbagai sumber, seorang akademisi Inggris Paul Hirst danGraham Thompson, dalam Globalization in Question (Hirst,1996) mencatat penjualan dan aset perusahaan-perusahaan transnasional yang maha besar jumlahnya ituterkosentrasi di negara atau regional “rumah” mereka,“di samping semua spekulasi mengenai globalisasi”. Bagiperusahaan-perusahaan transnasional di sektor manu-faktur dengan kantor pusat mereka yang ada di AmerikaSerikat pada tahun 1987, 70% dari penjualan mereka dan67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat sendiri. Ditahun 1993, 67% dari penjualan dan 73% aset merekaberada di Amerika. Sebagian besar dari sisa penjualan danaset mereka pada tahun 1987 dan 1993 ada di Eropa danKanada. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional yangberpusat di Eropa Barat, terjadi penyebaran penjualan danaset mereka secara lebih luas. Akan tetapi antara 70-90%diantaranya ada di negara “induk” (negara asal per-

usahaan) dan di negara-negara Eropa Barat lainnya. Untukperusahaan-perusahaan transnasional yang bergerakdalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75%dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang,begitu juga 97% aset mereka. Antara tahun 1987-1993,terjadi perkembangan konsentrasi aset-aset paraperusahaan transnasional di negara “induk/asal” masing-masing, ketimbang trend ke arah “globalisasi”.

Dari statistik di atas kita dapat melihat bahwa, jauhdari apa yang disebut sebagai penyebaran aset danpenjualan mereka, sekalipun menyeberangi bola bumi,justru perusahaan-perusahaan transnasional telahmemusatkan baik produksi dan penjualan komoditi merekadi negara-negara “induk”. Dan mereka telah meng-internasionalisasikan operasi-operasi mereka ini yangdikonsentrasikan di negara-negara kapitalis maju lainnya.Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tidakmerata (uneven) dalam hal investasi langsung (ForeignDirect Investment atau investasi langsung) dan per-dagangan dalam skala global. 100 perusahaantransnasional terbesar di dunia memiliki sepertiga darimodal ini.

Dalam konteks dominasi politik, kita akan melihatbagaimana negara-negara G-8 memaksa untuk mem-pengaruhi peta politik dan kebijakan domestik di berbagainegara berkembang. Pertama, ketika kedelapan pemimpinmembicarakan rencana AS untuk menyediakan 700 jutadolar guna menarik negara-negara lain untuk mengirimpasukannya ke Irak dan perang melawan terorisme. Kedua,akan menempatkan dana pembangunan Afrika sebagaiprioritas. Ketiga, Kerjasama Baru bagi PembangunanAfrika (NEPAD). Para pemimpin G-8 menggerojok bantuanmiliaran dolar kepada NEPAD dalam upaya membantumemberantas korupsi, melindungi demokrasi, danmelakukan reformasi terhadap ekonomi para anggotakelompok tersebut. Dalam KTT G-8 di Genoa, dimana

130 131

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

kesenjangan digital ramai diperbincangkan, Italiamenghimbau negara-negara lain untuk mengatasinyadengan membentuk DOT (Digital Opportunity Task). Sejauhini, sekitar 12 juta euro telah dialokasikan untuk mendanaiproyek-proyek pembangunan TI di negara-negaraberkembang. Akibatnya, arus informasi tak terbendung,dekadensi moral pasti datang mengiringi.

Harus diakui bahwa dominasi yang terjadimenyebabkan ketergantungan negara berkembangterhadap negara maju yang diakhiri dengan terposisikan-nya negara berkembang sebagai negara kapitalispinggiran. Untuk mengetahui pokok-pokok pikiran dariteori ketergantungan, Frank (1996) mengungkapkan duahal pokok. Pertama, negara yang ekonominya maju berartitidak underdeveloped meskipun mungkin pernahmengalami kondisi underdeveloped. Bersamaan dengantumbuhnya ekonomi kapitalis, negara maju kemudianmenyandarkan diri pada kekayaan sumber daya alam darinegara Dunia Ketiga. Kedua, menumpuknya modalmerupakan kekuatan pendorong (driving force) di balikproses ini. Sebagai dampaknya adalah distributor besar,pemilik industri manufaktur, dan bankir mencarikeuntungan sebesar-besarnya di negara Dunia Ketiga.

Aspek tersebut di atas akan membawa dampak padaperilaku pedagang, produsen dan bankir untukmengakumulasikan modalnya di negara Dunia Ketiga agarmendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini akanmenghasilkan surplus yang banyak dinikmati negara-negara maju. Dan, pemindahan surplus ke negara-negaramaju dimaksudkan untuk mempertahankan supaya sistemekonomi negara Dunia Ketiga (periphery) tetap ber-orientasi keluar dengan mengekspor bahan mentahnya danmengimpor barang-barang siap pakai. Maka industri dinegara Dunia Ketiga akan tetap tergantung pada kekuatansentral (centruum forces), utamnaya ketergantungan dibidang teknologi dan modal.

Selanjutnya, dinamika internal sistem ekonomi jugadikembangkan dalam Dunia Ketiga, yaitu denganmemperkuat sistem ketergantungan. Upah diupayakanserendah mungkin, pasar domestik (internal market)dibatasi dengan cara pembelanjaan income di negara majuoleh kalangan elite di negara Dunia Ketiga. Polarisasikekayaan menuju negara maju tidak dapat dihindarkan.Pasar di negara Dunia Ketiga tidak lebih dari sekedarperwujudan tuntutan elite setempat. Hal ini diperparahdengan kelompok kapitalis negara Dunia Ketiga yangmemiliki kecukupan modal justru mengadakan hubungandengan kaum borjuis di negara maju. Sehingga me-mungkinkan berkembangnya negara-negara dengan sistemkolonial ekonomis atau yang dikenal dengan keter-gantungan centruum-periphery.

Sistem kapitalis dunia merupakan hasil dari suatu sistemyang ingin mempertahankan dominasinya atas negaraDunia Ketiga. Oleh sebab itu, otonomi penuh bagi negaraDunia Ketiga tidak akan terwujud. Sehingga Cardoso (1979)mengatakan bahwa ketergantungan ini terjadi sebagaiakibat adanya kondisi struktural yang tidak men-guntungkan bagi negara Dunia Ketiga. Baik di tingkatinternasional maupun nasional. Aksioma yang dikembang-kan adalah bahwa pembangunan negara Dunia Ketiga akanberkembang secara pesat bila mereka menjalin aliansi yangkuat dengan negara Dunia Pertama. Dengan kondisi inirelasi ketergantungan ekonomi politik centruum-peripherytidak akan pernah dapat teratasi.

Dalam konteks inilah secara langsung proses tatapemerintahan, terutama di negara-negara berkembangterpengaruh. Kapitalisme periphery menjadikanoriginalitas reformasi pemerintahan negara berkembangtidak terjadi. Proyek-proyek GG yang di impose ke negaraberkembang dari lembaga-lebaga donor asing makinmemperkuat pola hubungan dependensi antara centruumand periphery tersebut. Dalam lalu lintas perbincangan

132 133

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

seputar kapitalisme periphery ini, kita akan melakukanelaborasi dari beberapa tawaran konsep dari Andre GunderFrank tentang konsepnya underdevelopment (Budiman,1999: 29). Teori underdevelopment dari Frank mengatakanbahwa keterbelakangan negara-negara Dunia Ketigaadalah berangkat dari akibat-akibat struktural. Artinya,seiring dengan makin maju pesatnya perkembanganekonomi negara Dunia Pertama maka pada saat yang samanegara Dunia Ketiga makin teralienasi. Analisis Frank inimakin dipertajam oleh Immanuel Wallernstein denganidenya yang sangat terkenal, world system theory. Teori inimengatakan bahwa di dunia ini pada dasarnya hanyaterdapat satu sistem besar yang mengatasi sistem-sistemlainnya. Sistem besar yang dimaksud di atas adalah pasarinternasional. Sistem besar tersebut secara bertingkatmelakukan eksploitasi pada berbagai level di bawahnya.Negara mengeksploitasi produsen domestik. Lalu, kelasyang dieksploitasi oleh produsen mengeksploitas kelas lainyang bukan produsen. Demikianlah terjadi secara menerushingga terbentuk kelas-kelas yang keberadaannya barudalam susunan sosial dan merupakan model baru dalamperkembangan produksi (Giddens, 1986: 63). Hamza Alavimenggagas pendapatnya dalam dua arus besar. Pertama,penjabaran proses feodalisme tradisional menujufeodalisme kapitalis. Kedua, subsumption under capitalmasyarakat prakapitalis golongan pekerja upahan. (Alavi1991: 138).

Di tengah arus globaliasi sekarang hal di atas tidakmakin memudar. Sebaliknya, hubungan tak adil secaraglobal itu malah makin mengental. Memang dalamparadigma konstrukvisme tidak diakui sepenuhnya bahwapola hubungan saat ini adalah hitam putih, penjajah danterjajah. Akan tetapi hubungan yang ada lebih bersifatsaling pengaruh mempengaruhi secara kompleks. Tetapidalam hal ini SG lebih menaruh sandaran pemahamannyapada konsep policentrism yang percaya bahwa sekompleks

apapun hubungan yang terjadi, tetap ada relasi kuasa yangbisa dilihat dan diukur. Satu pihak lebih berkuasaketimbang lainnya. Yang demikian itu adalah juga faktayang tak bisa dipungkiri.

Policentrisme dalam ekonomi politik terejawantah padarepresivitas aktor-aktor internasional yang pada giliranyajuga menular pada aktor-aktor nasional terhadapwarganya. Sugiono (1999) pernah memberikan ilustrasiyang sangat tajam tentang otoriteriansme danpembangunan di negara berkembang. Yakni ketika semuapejabat negara ter fokus pada segala daya upayapeningkatan persentase pertumbuhan ekonomi, GNP, dannilai investasi. Untuk menuju ke sana maka, pilihan satu-satunya jatuh pada industrialisasi skala besar. Untukmenggenjot industrialisasi skala besar sangat dibutuhkanmodal yang besar. Sedangkan kelemahan utama negaraberkembang termasuk Indonesia adalah minimnya modal.Sehingga satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkanbig push dari MNC/TNC serta berbagai lembaga kapitalisinternasional lainnya yang jelas memiliki kecukupan modal.

Untuk melancarkan misi pemasukan perusahaanmereka sebebas-bebasnya dan sebanyak-banyaknya keberbagai belahan dunia, the death triangle ini menyerangberbagai sudut. Tidak hanya dari sudut perekonomian saja,namun juga menyentuh hingga sudut politik dan kebijakannasional. Pada titik inilah kita mengenal istilah structuraladjusment programme (SAPs), yaitu sebuah kebijakanpenyesuian di berbagai sektor yang harus dilakukan negaraberkembang untuk dapat mengakses modal MNC/TNC.SAPs adalah paket kebijakan standar yang ditentukan olehlembaga keuangan internasional bagi setiap negara dikawasan selatan. Elemen-elemen paket standar danpengaruh negatif yang potensial bagi masyarakat miskinmencakup:

Pengurangan belanja pemerintah, yang artinyamemangkas belanja pelayanan sosial;

134 135

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Pencabutan subsidi, termasuk subsidi yang men-guntungkan masyarakat miskin;

Pembatasan ketersediaan kredit, termasuk kredituntuk para petani;

Swastanisasi perusahaan-perusahaan negara ya-ng dapat memacu pemusatan aset;

Liberalisasi perdagangan, yang dapat menghan-curkan kapasitas produktif domestik dan lapang-an pekerjaan;

Reorientasi ekonomi ke arah pasar ekspor yangdapat menyediakan insentif bagi “penambangan”sumber daya alam;

Perlucutan hambatan-hambatan, yaitu “perlaku-an nasional” untuk investasi asing, yang tidakmenguntungkan sektor swasta domestik; dan

Deregulasi pasar tenaga kerja, yang dapat me-nekan upah minimum.

Ambil contoh implikasi SAP ini di sektor perburuhan.Visi kebijakan sektor perburuhan yang lebih menekankanpada kepentingan investor ini bagi pemerintah adalahpilihan yang paling rasional bagi mereka. Sebab, memangbagi MNC/TNC, biaya untuk memindah perusahaan itusangat murah. Kasus penutupan (lock out) Sony Corporationmisalnya, tidak dapat dipungkiri berakar dari adanyademo buruh beberapa tahun sebelumnya. Dan biayapemindahan dari Indonesia ke Vietnam ternyata tidak lebihdari 20% dari keuntungan pertahun yang telah merekaraih. Dari sini terlihat memang bargain pemerintah denganMNC/TNC sangatlah lemah. Terlebih ketika kita ditekanoleh SAP dari IMF dan perjanjian free trade zones dariWTO.

Lemahnya bargain negara ketika berhadapan denganMNC/TNC pada akhirnya harus mengorbankan buruh. Itumenunjukkan diplomasi internasional yang dilakukandiplomat-diplomat kita sangat lemah di samping fundamen

ekonomi kita yang juga memang rapuh. Terlepas darikedua faktor tersebut, hal pokok yang menyebabkankondisi itu karena Indonesia masih merupakan kapitalisperiphery, yang tengah gagap melalui masa transisi darifeodalisme seperti halnya yang terjadi di India pada awal1980-an (sebagaimana diulas oleh Alavi). Di sektor lain,baik pertanian, pendidikan, subsidi BBM, dan sebagainyamengalami kondisi yang sama dan modus operandi yangsama pula. Intinya adalah negara tidak memiliki otonomidalam menentukan arah kebijakannya. Negara telahdikendalikan oleh kekuatan interasional melalui sebuahperaturan yang dinamakan SAP’s. Sehingga ketika banyakpermasalahan dan kekacauan tata pemerintahan akibathal-hal itu, apakah kita tetap hanya bisa mengandalkananalisis pada aktor-aktor lokal, yakni pemerintah, swastadan masyaakat sipil?

Hal di atas adalah bukti nyata bagaimana aktor-aktorlokal yang dicantumkan dalam GG tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan aktor internasional (dalamcontoh di atas adalah MNC). Sehingga keinginan SG untukmenambahkan aktor internasional ke dalam diskusireformasi tata pemerintahan sangatlah beralasan. Sebabsecara rasional dan empirikal, hal ini sebenarnya sudahterjadi sejak lama, dan sudah disadari oleh para pakar danpelaku di lapangan sejak lama pula. Tetapi mengapa dalamwacana administrasi publik, termasuk GG, dia seolahdihilangkan dalam berbagai diskusi reformasi pemerintah-an. Secara naif ilmu administrasi publik dan pemerintahanjuga seolah melokalisir bahwa lokus agenda reformasihanya ada dalam wilayah domestik sebuah negara.Kenyataan dunia yang makin meng-global dan makinterkoneksi tentu membuat lokus administrasi publik yanglokalistik semacam itu menjadi sangat tidak relevan. Tidakrelevan dari segi konseptual, juga tak relevan lagi dengankenyataan yang sesungguhnya terjadi.

136 137

Aktor dalam Sound Governance

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Sebagaimana telah disampaikan pada bagian-bagianterdahulu bahwa terdapat dua hal yang menonjoldari kebaruan konsep SG, yaitu kesadaran atas pen-

garuh faktor internsional dan pentingnya pengakuan atasbudaya lokal dalam tata pemerintahan. Tentu tidak hanyadua hal tersebut faktor yang membuat SG menjadi pantasuntuk menggeser dominasi paradigma GG yang ada selamalebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Hal-hal semacaminovasi, perubahan tentang cara melihat konfigurasi aktor-aktor dalam tata pemerintahan serta berbagai dimensiyang ada, sebagaimana telah di jelaskan pada bab-babsebelumnya, juga sangat penting dalam memahami konsepbaru yang disebut SG ini. Akan tetapi dalam buku kecilini, yang lebih bersifat sebagai pengantar untuk memahamiSG, nampaknya dua faktor ini yang akan menjadi fokuspaling utama.

Globalisasi dalam Tata PemerintahanHubungan antara globalisasi dan administrasi publik

ibarat urat leher manusia. Ia sebenarnya sangat dekat dansangat penting dalam kehidupan manusia, tapi tak satupunmanusia di dunia ini yang dapat melihat urat lehernyasecara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Semuaorang setiap hari telah menyaksikan bagaimana kejadian-kejadian dan kebijakan-kebijakan yang dibuat baik di

BAB VI

GLOBALISASI DANBUDAYA LOKAL DALAMTATA PEMERINTAHAN

Eropa maupun di Amerika Serikat telah berpengaruhsangat besar bagi kebijakan sosial, ekonomi, maupunpolitik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.Berbagai teori juga telah banyak yang membenarkankenyataan ini. Akan tetapi ilmu pemerintahan danadministrasi publik yang berkembang di Indonesia seolahmenganggapnya tak ada.

Berbagai kurikulum di perguruan tinggi utamanyadalam pemerintahan dan sejenisnya telah ada diskusi-diskusi tentang pentingnya faktor internasional ini.Perbicangan globalisasi juga bukanlah menu baru di sana.Termasuk kritik-kritik atas globalisasi sudah menjadimakanan sehari-hari para mahasiswa. Tetapi ketikaberbicara tentang refomasi administrasi publik, faktorglobal ini sirna. Umumnya semua hanya berkutat padamasalah manajerial, politik lokal ataupun proses internalkebijakan publik. Termasuk paradigma GG yang nampak-nya juga masih berkutat pada persoalan yang sama.

Memang tidak ada yang salah secara mutlak terhadapide-ide seperti perlunya, kerja sama antara pemerintah,swasta dengan masyarakat sipil. Ataupun tentangpentingnya penerapan transparansi, akuntabilitas,partisipasi, dan penegakan hukum. Masalah muncul ketikapenyelenggaraan hal-hal tersebut dilakukan bersamaandengan proses penyeragaman (uniformization). Ada relasisubjek–objek dalam hal ini. Yaitu pihak yang merasasuperior dan sekaligus merasa dirinyalah yang mampumelakukan perbaikan, berhadapan pihak yang inferioryang harus diperbaiki (Blaut, 1993). GG adalah alam pikirlembaga-lembaga donor (sebagai pihak pertama) tentangarah kemana pemerintahan harus diperbaiki, dimanapemerintah negara berkembang harus menerimanya.Pihak subjek (para donor) berperilaku bak seorang profesoryang sedang melakukan uji coba di dalam laboratorium,yang dengan demikian, bukan bagian dari percobaan itusendiri. Memasukkan formula GG ke semua tabung-tabung

138 139

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

percobaan, dan sekali lagi dirinya berada di luar masalahpercobaan itu.

Kenyataan yang jarang disadari justru pengaruh siprofesor terhadap formasi kimiawi yang ada di dalamtabung-tabung itu. Keberadaan lembaga-lembaga donorini sudah lama sekali ada di Indonesia. Mereka jugaberkontribusi pada formasi ekonomi politik yang terjadisaat ini pada Indonesia yang dinilainya bad governancedan korup. Ada elemen sang profesor di dalam tabung-tabung percobaannya yang tidak dimasukkan dalamhitungan. Inilah masalah utama dari GG, yang memandangseolah masalah pemerintahan yang ada di Indonensiaadalah murni masalah relasi antara pemerintah setempat,pelaku bisnis setempat dan masyarakat sipil setempat.

Persoalan ini dengan begitu tidak bisa dikatakan bahwamasalah GG tidak terletak pada konsepnya melainkan caraimplementasinya. Sebab strategi implementasi yangcenderung dipaksakan dan menyeragamkan itu dilakukandi dalam konsep GG dengan tidak memasukkan lembaga-lembaga penyeragam (donor) itu sebagai bagian darimasalah pemerintahan (governance).

Kesalahan konseptual ini makin diperparah ketika GGsama sekali tidak menyentuh realitas globalisasi kenyataanterkini yang makin tak terbantahkan. Contoh kecil adalahmasalah terorisme misalnya. Apakah pengaruh 9/11 di NewYork City dengan APBD? Jawabnya sangat berpengaruh.Karena isu terorisme itu, pemerintah Indonesia harusmembuktikan dirinya bahwa dia layak menjadi mitraterdepan AS dalam perang melawan terorisme di AsiaTenggara. Dampaknya pemerintah AS pada tahun 2006menggerojok dana sebesar Rp 50 miliar sebagai danapenanggulangan terorisme (Surya Online, 16/06/07).Kemudian dana itu masuk dalam sistem anggaran kita,hingga ke daerah-daerah dan struktur APBD pun harusmemasukkan mata anggaran “anti-teroris” di dalamnya.Kita bisa melihat bagaimana seandainya tidak ada insiden

9/11, apakah akan ada dana Rp 50 milyar masuk keIndonesia? Apakah akan ada mata anggaran anti terorisdi APBD? Banyak sekali contoh-contoh lainnya, apalagi disektor bisnis. Pengaruh kebijakan pemerintah China dalammasalah upah terhadap lock out perusahaan multi-nasionaldi Indonesia dan membanjirnya pengangguran. Naiknyademand minyak dari Amerika Serikat juga berpengaruhterhadap naiknya harga sembako di Indonesia.Hubungannya adalah dengan naiknya permintaan minyakdi AS maka harga minyak dunia akan naik. KarenaIndonesia adalah pengimpor minyak jadi, maka harga BBMpun naik. Kenaikan harga BBM akan disusul oleh hargasembako yang juga melambung.

Contoh-contoh di atas adalah realitas globalisasi yangterjadi secara tak langsung. Hubungan antara lembaga-lembaga donor, kerjasama bilateral atau multi lateral danperjanjian-perjanjian internasional yang berimbas padaratifikasi konstitusi adalah kenyataan relasi globalistikyang terjadi dan berimplikasi secara langsung.

Hal ini sebenarnya juga bukan merupakan kenyataanyang baru. Misalnya, dalam bidang politik internasionalsudah menjadi pembicaraan umum tentang pengaruh CIAdalam politik dalam negeri sebuah negara. Sebut saja Chile.Penggulingan pemerintahan sosialis Salvador AllendeGossens pada tahun 1973 yang pada akhirnyamenenggelamkan Chile pada masa kediktatoran AugustoPinochet selama 16 tahun tak lepas dari dukungan CIA.Kudeta yang mentransisikan pemerintahan sosialis kepragmatis militeristik ini sama persis dengan yang terjadidi Indonesia para tahun 1965. Tak mengherankan biladalam beberapa dokumen CIA disebutkan bahwa strategikudeta Pinochet disebut dengan “Operasi Jakarta”(Grandin, 2002). Jauh sebelum itu, pada tahun 1920-an,Alexander Nahum Sack sudah mengintrodusir adanyapraktek odious debt, yaitu utang luar negeri yang di-pergunakan untuk pelanggengan kekuasaan atau

140 141

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

pemupukan kekayaan pribadi para diktator, secara global.Atau ketika ditarik jauh lagi ke belakang pada erakolonialisme, bagaimana hubungan negara-negaracentrum Eropa Barat (colonizers) dengan negara peripheriatau jajahan (colonized) yang telah terjadi sejak Abad XVI.

Deskripsi di atas adalah gambaran singkat atas realitasdunia yang saling tergantung satu sama lain. Belum lagiketika saat ini teknologi informasipun jauh sudah melewatibatas-batas negara. Era digital yang berpengaruh padacepatnya lalu lintas aliran modal dari satu perusahaan keperusahaan lain, dari satu negara ke negara lain yang bisaterjadi hanya dalam hitungan detik.

Masalah-asalah konkret yang terabaikan oleh GGtersebut di atas akan dimasukkan dalam kalkulasi SoundGovernance. Program-program restrukturisasi danrefomasi yang dilakukan lembaga-lembaga internasionalsudah saatnya mengarah pada stabilisasi dan mengadilkanhubungan internasional baik antar negara, negara denganinstitusi maupun negara dengan masyarakat.

Lebih jauh lagi, banyak argumentasi telah membuktikanbahwa ternyata GG sendiri adalah perwujudan dariindoktrinasi aspek global itu sendiri. Kembali padai meta-fora urat nadi tadi. Bahwa bagaimana mungkin GGmenyadari dan melihat adanya masalah di urat nadinya?Dan ketika masalah ini masuk ke berbagai negara, ter-masuk Indonesia, maka semua orang akan terkena endemikyang sama. Entah latah atau histeris, konsep ini telahmembungkam mulut, mata dan telinga kita sehingga kitayakin bahwa seakan tak ada cacat darinya.

Ia telah menjadi sebuah mainstream global. Sehinggasudah saatnya untuk kita melakukan kritik dan dekon-struksi jika tidak ingin mainstream itu menjadi diktatoryang menindas seluruh alam pikir kita kapanpun dan di-manapun. Ini bukan sebuah keharusan yang berangkatdari kesadaran “pokoknya harus”. Melainkan memangsesungguhnya bila dibaca dengan lebih sabar dan diamati

secara perlahan banyak sekali kesalahan genetik darikonsep ini. Maka keharusan untuk melakukan kritik atasGG adalah keharusan yang sifatnya wajib. Hal ini senadadengan konsep Giddens (2000) tentang juggernaut. Sepertiketika kita mendapati seorang sopir bis yang ternyatakurang waras atau mabuk, maka kita wajib memintanyaberhenti untuk turun, atau jika ia tak mau maka kita punwajib untuk memaksanya turun demi keselamatan parapenumpang. Dengan good governance sesungguhnya kitaibarat penumpang yang sedang dikendalikan oleh sopir bisyang tengah mabuk, kendati dia memilki performa kuatdan meyakinkan. Ataukah kita tengah terpesona denganpenampilan perlentenya, sehingga seolah tak peduli bahwadia sedang membawa kita pada batas kematian?

SG mencoba untuk menjaga jarak dari lingkaran intikekuasaan globalisasi. SG berusaha untuk keluar daritubuh kuasa globalisasi, sehingga ia bisa melihat denganmudah ada masalah apa dengan urat nadi globalisasi.Mengevaluasinya, mengamatinya dan mencarikan solusiuntuk menyembuhkan penyakit-penyakit eksploitatif yangada dalam globalisasi itu sendiri. Hal inilah yang tak mam-pu dilakukan GG dan justru malah terkesan melanggeng-kan struktur kuasa tak adil yang ada dalam globalisasi itusendiri.

Hal lain yang membuat argumentasi bahwa GG adalahalat untuk melanggengkan ketimpangan yang ada dalamglobalisasi adalah terkait dengan pemisahan tiga elemendasar negara, yaitu pemerintah, pelaku pasar masyarakatsipil (Sjahrir, 1999). Dengan dalih merangkul ketiga elemendasar itu, cara GG mendefiniskan mereka justrumenimbulkan kesan bahwa tiga hal tersebut adalahterpisah satu sama lain. Maka, mendekonstruksi GG adalahargumentasi yang harus dihadirkan. Sebab GG telahmengingkari dasar-dasar hakiki sebuah negara. Ia telahmelepaskan elemen-elemen penting dalam negara menjadipuing-puing rapuh yang tak memiliki ikatan historis ke

142 143

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

belakang. Political and social involvement dalam sebuahproses produksi yang dilakukan negara apakah mesti harusdilakukan dengan mencerai-beraikannya terlebih dulu dankemudian melarutkannya ke dalam sistem global yangpenuh dengan ketidakpastian?

Tentu ketika entitas negara dicerai-berai seperti itumaka akan muncul apa yang disebut dengan internalnetworking. Yakni jejaring yang terbangun antara berbagaielemen dalam dunia bisnis, jejaring antar NGO dan jejaringantar state. Jejaring itu dibangun atas dasar kesamaanidea masing-masing. Otoritas negara sebagai kristalisasiberbagai kekuatan dalam negeri menjadi hilang.Digantikan oleh kekuatan jejaring itu. Maka tak heran jikaberbagai NGO yang ada akan lebih berkomitmen padajaringan domestik dan internasionalnya ketimbangberkomitmen dengan berbagai elemen politik dan birokrasidi negaranya sendiri. Demikian pula yang terjadi dengandunia bisnis dan negara. Negara akan lebih menjagahubungan baik dengan berbagai negara (Kaldor, 2003),ketimbang bermesra-mesra dengan NGO’s dan CSO’s (CivilSociety Organizations) milik anak bangsanya sendiri.Entah terbangun atas sejarah yang seperti apa, tiba-tibadiakui bahwa ada hubungan yang sangat buruk diantara3 (tiga) elemen tersebut. Sehingga GG dibutuhkan untukmerukunkannya. Ataukah ketidakrukunan itu adalahsebuah hyperreality yang sengaja dibentuk dalam leveltertinggi kesadaran manusia untuk sebuah invasi memethicsehingga ide good governance menjadi memilikiakseptabilitas yang universal?

Pengaruh globalisasi yang terbesar dalam tatapemerintahan adalah arus demokratisasi. Perbedaan term‘demokrasi’ dan ‘demokratisasi’ adalah terletak pada aspekideologisasinya. Demokrasi adalah sebuah konsep idealyang bersifat generik. Sedangkan demokratisasi lebih me-rupakan penyebaran secara luas sebuah bentuk keyakinandan definisi tentang demokrasi. Sehingga demokratisasi

yang dilakukan secara global saat ini lebih merupakansebuah kerja politik dan ideologis. Prinsip-prinsipdemokrasi juga telah dicuri oleh GG. Ia mengklaimberbagai pola yang dikenal sebagai bagian operasional daridemokrasi sebagai miliknya. Kendati itupun sesungguhnyahanya sebatas pada aras demokrasi liberal saja (Luebbert,1991). Seperti kita tahu, bahwa ada dua arus besar dalamwacana demokrasi, yaitu Demokrasi Liberal dan DemokrasiSosialis. Demokrasi liberal dicirikan dengan adanyakebebasan penuh pada individu. Sedangkan Demokrasisosialis/komunis dicirikan dengan dominasi kekuasaan ataupemerintah untuk mengatur urusan-urusan warganya.Negara menempatkan diri sebagai gerakan yangmengusahakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dalamgood governance gagasan demokrasi sosialisme akandianggap sebagai sebuah masalah.

Maka tak heran jika spirit dari good governance adalahmeminimalkan peran negara (minimizing state) danmengedepankan pasar (market oriented). Ini sekaligusmenunjukkan betapa teori ini tidaklah mampumenempatkan dirinya secara konseptual untuk berpihakkepada rakyat, terlebih di negara berkembang. Kita semuasama-sama tahu bahwa pasar hari ini dikuasai oleh negara-negara maju. Kapital dan teknologi pengendali ekonomidunia tidaklah berlaku secara equal. Negara berkembangselalu saja menjadi objek dari trend ekonomi global yangdiciptakan oleh negara maju khususnya negara-negara G-8. Oleh karena itu keberpihakan kepada pasar berartimemberi ruang yang makin luas pada diasporakepentingan-kepentingan negara kapitalis untuk terus sajamenjajah dan mengeksploitasi ekonomi negara berkembangtermasuk Indonesia.

Oleh karenanya, dalam konteks ini, SG berpendapatbahwa kebutuhan saat ini adalah negara yang kuat (strongstate) bukannya negara yang lemah. Kuat dalampengertian andal (sound), bukan kuat dalam pengertian

144 145

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

represif atau otriter. Kuat (andal) dalam menghadapi krisis,andal dalam mengelola anggaran juga kuat dalammembasmi korupsi. Ide pelemahan negara yang terkandungdalam GG jelas Machiavelist, dimana dikatakan untukmemperkuat rakyat, maka negara haruslah lemah. Hal inipun masih ditambahi kesalahannya dengan “kalau inginmemperkuat pasar maka negara harus dilemahkan”. Iniadalah dasar filosofi dari teori GG yang jarang diketahuioleh khalayak. Sehingga semua orang menganggap bahwaGG baik-baik saja.

Dalam ketimpangan ekonomi global seperti ini, SGmenganggap yang menjadi pilihan dari negara berkembangadalah melakukan konsolidasi internal, yang secarabersamaan juga melakukan restrukturisasi sistem global.Negara-negara berkembang harus memperkuat dirinyadengan mengedepankan soft power (Ilgen, 2006). Yaitupendekatan-pendekatan persuasif di internal mereka untukmemupuk secara lebih aktif nasionalisme mereka.Sehingga orientasi pasar harus diletakkan pada posisipaling belakang. Kesejahteraan rakyat (social welfare)hendaknya lebih dikedepankan ketimbang membuka luasintervensi pasar dalam memainkan ekonomi nasional.Logika pasar adalah logika provit taking yang seringkalibertolak belakang dengan ide dasar negara dalampenciptaan social welfare itu sendiri.

Reinventing Kearifan dalam Kultur PemerintahanLokal

Hal yang memprihatinkan dalam khazanah ilmu pe-merintahan dan administrasi publik di Indonesia adalahsangat sedikitnya studi-studi tentang sejarah danpengalaman tata pemerintahan tradisonal warisan leluhurdi Indonesia. Padahal, sebagai bangsa yang kaya sejarah,bangsa ini dulu memiliki ratusan pemerintahan yang ter-sebar di seluruh penjuru pelosok negeri. Sejarah pemerin-tahan Indonesia jauh lebih tua di bandingkan pengalaman

sejarah pemerintahan yang dimiliki Amerika Serikat.Tetapi itu semua telah terkubur, tidak hanya oleh pengaruh-pengaruh dari luar tapi juga telah dikubur oleh anak-anakbangsa sendiri. Para pofesor dan petinggi negeri ini emohuntuk melihat dan bercermin pada kekayaan sejarahbudaya bangsa sendiri. Seperti disebutkan Homi K.Bhabha, para ahli di bidang pemerintahan lebih senangberbicara dan berpikir ke barat-baratan agar lebih terlihatmengagumkan, padahal itu semua hanya membuat merekatak lebih dari seorang penjiplak.

Praktis, ilmu administrasi publik di seluruh dunia,termasuk Indonesia saat ini telah berlangsung dengansangat homogen dan menjemukan. Sejak zaman BirokrasiWeber yang telah mendapatkan banyak kritik. Perlakuanterhadap berbagai teori adminstrasi publik sejak dahuluhingga saat ini sebenanrya tidak ada yang berubah.Mungkin pernah mencuat pikiran Fredrickson di tahun 80-an yang cukup radikal menolak segala bentuk pemikiranWeberian dalam birokrasi, hingga terakhir konsep GG.Atau berbagai perkembangan paradigma administrasipublik (Henry, 1975) yang telah menjadi doktrin wajib didalam ruang-ruang perkualiahan mahasiswa semesterawal. Dimana kesemua itu penuh dengan omong kosongyang membuat administrasi publik seolah-olah berubahdan berkembang namun dalam kenyataan tidak adaperubahan sama sekali.

Apa yang membuat ia tidak berubah sama sekali?Jawabannya adalah kontrol dan homogenisasi atas nilaiBarat dalam setiap paradigma yang muncul. SG hadirjustru akan membongkar kejumudan itu. Bisa dibilangsebenarnya SG adalah paradigma kedua dalam administraspublik. Sebab paradigma pertama adalah AdminitrasiPublik Eurocentrisme (mulai dari Weber sampai GG)yangsaat ini harus segera di akhiri. Karena era kedua, yaituSG, hadir untuk menghormati keragaman budaya dalampraktek administrasi publik di pelbagai belahan dunia.

146 147

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

SG menjadi penting dalam konteks ini karena melihatproses perkembangan administrasi publik tidak bisadiseragamkan secara global. Negara berkembang memilikimasalah dan dimensi sendiri dalam administrasi publiknya.Demikian pula negara maju. Maka SG menyarankanadanya pendekatan dan paradgima teoritik yang berbeda-beda untuk mendekati satu negara dengan negara lain. Disinilah letak pentingnya budaya lokal dalam reformasipemerintahan. Sebab kegagalan-kegagalan yang adaselama ini dalam penerapan pemerintahan adalah karenabanyak teori-teori dan konsep-konsep yang tidak mengakarsecara budaya. Sehingga penerapan konsep-kosepadministrasi pemerintahan itu hanya di permukaan saja.Belum pernah ada kemauan dan kesempatan untukmenggali teori atau strategi pembangunan adminisraspublik yang digali secara bottom up, berangkat dari budayamasyarakat untuk mencari strategi yang tepat. Bukannyamengimpor segala teori dan strategi mentah-mentah dariluar. Hal ini juga bukan berarti mendorong pada semangatnativisme, yang selalu berpandangan bahwa semua yangdari luar selalu jelek dan semua yang dari dalam selalubaik. Akan tetapi, yang jadi masalah adalah ketidak-seimbangan dalam mengakomodasi aspek budaya sendiridengan injeksi nilai dari barat. Inilah persoalan intinya.Yang terjadi selama ini bukanlah akulturasi ataupunasimilasi, melainkan lebh pada penaklukan budaya. Prosespenaklukan budaya oleh Barat itulah yang dilawan dalamSG bukan ide Barat-nya per se.

Masalahnya, yang terjadi selama ini, termasuk terakhirdilakukan oleh GG, kesadaran ini tidak muncul. Masyarakatdunia lebih memandang bahwa masalah tata pemerintahanadalah persoalan teknis yang steril cultural boundaries.

Sebenarnya indoktrinasi global, terlebih yang dilakukannegara-negara barat bukanlah barang baru. J.M. Blaut(1993) misalnya, telah menjelaskan dengan gamblangbagaimana konsep “progress” sebenarnya sangat

monolitik. Progress atau “kemajuan” adalah bentuk impianatas masa depan dan konstruksi peradaban yang idealmenurut kaca mata Barat. Apalagi ketika pemetaanperadaban dunia hanya menjadi merupakan dua sisi biner,yaitu baik-buruk, maju-terbelakang dan Western-The Rest.Tentu saja, The Rest yang dimaksud di sini adalah tri-kontinental yang meliputi Asia, Afrika dan Amerika Selatan(Shohat dan Stam, 1994). Eurocentrism sudah menjadipola dasar pembangunan peradaban sejak berpuluh tahunlalu yang sangat dogmatis. Semua orang merayakaneurocentrism ini, bahkan tak jarang orang non-Baratberpikir dan berperilaku lebih barat dari pada orang baratitu sendiri. Atau oleh Homi K. Bhabha disebut denganmimicry.

Sejak era 1960-an indoktrinasi eurocentrism yangdihelat di tri-kontinental adalah pembangunanisme, atauGrowth Theory. Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikatmembuat program rekonstruksi ekonomi negara-negaraEropa Barat yang disebut Marshall Plan. WW Rostowadalah salah satu arsitek dari program ini. Hinggaditerapkan kurang dari 5 tahun, strategi ini menuai suksesbesar. Perekonomian Prancis, Italia, Swis dan beberapanegara Eropa lainnya pulih dalam waktu singkat.Kemudian melalui IBRD (sekarang World Bank)diperluaslah program ini hingga memasuki tri-kontinental.IBRD bercokol di sana hingga lebih dari dua dekade namungagal di banyak tempat kecuali di Jepang, Korea Selatandan akhir-akhir ini di Taiwan.

Memasuki era 1980-1990an reformasi dan demokrati-sasi terjadi di banyak negara berkembang, terutama diAsia dan Amerika Selatan. Doktrin teori Growth yangternyata begitu akrab dengan otoritariansme tak lagi lakudipasaran. Sementara lembaga-lembaga internasionalseperti WB, IMF, UNDP, dan semacamnya harus segeramelakukan perubahan strategi demi menjaga legitimasikeberadaannya. Di ruang seperti inilah kemudian di

148 149

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Indonesia saat itu muncul sebuah pendekatan yang di sebutGood Governance. Ini adalah doktrin baru. Yang prosesinternalisasinya di Indonesia dapat dilihat dalam lima lokusyaitu Akademis, Konstitusi, Program/Proyek, Pemerintahandan Sosial Budaya.

Di bidang akademis wacana ini telah menjadi menu wajibdalam setiap perkuliahan, utamanya dalam ilmu-ilmuadministrasi atau pemerintahan. Tulisan ilmiah, modulkuliah, hingga ceramah-ceramah ilmiah belumlah absahbila tak ada kata sakti (buzzword) GG di dalamnya.Berbagai macam topik yang diperbincangkan dalamruang-ruang akademis itu telah menjadikan GG sebagaibacaan wajib yang tidak hanya digunakan sebagai objekkonseptual tetapi menjadi pisau analisis utama. Bila cobadilihat satu persatu kurikulum program Administrasi Publikatau Kebijakan Publik (utamanya program Pasca Sarjana)di kampus-kampus kita. Kurikulum yang ada masihmelihat betapa GG merupakan menu wajib. Di beberapaperguruan tinggi terkemuka di Indonesia bahkan masihmencantumkan Reinventing Government (yang lebihterbelakang) dalam kurikulum akademik. Belum lagi kalaukita melihat pada institusi-institusi pendidikan yang di-provide secara langsung oleh lembaga negara sepertiBadan Kepegawaian Negara, Lembaga AdministrasiNegara atau Lembaga Pertahanan Nasional. Meskibeberapa masih terlihat tertatih-tatih dalam memahamiGG, tetapi ambisi akademisnya terlihat kuat ke arah sana.

Tak kalah serunya, di ranah konstitusional, kita jugamelihat betapa GG bertebaran dalam hampir semuakonsideran konstituti kita. Kita tentu tidak hanya berbicaratentang produk konsitusi yang berupa ratifikasi konvensibilateral maupun multi-lateral yang sudah barang tentumengandung banyak doktrin GG di dalamnya. Tetapiproduk perundangan yang diproduksi murni oleh lembagaeksekutif dan legislatif kita pun tak luput dari doktrin GGini. lihat saja UU no 32 tahun 2004 yang tentang

Pemerintahan Daerah dalam Pasal 27, misalnya. Dalamundang-undang tersebut secara eksplisit dikatakan bahwatugas utama kepala daerah adalah menjamin pelaksanaanGG (tata pemerintahan yang baik). Berbagai perangkatperaturan tentang pemberantasan korupsi, hingga UU no.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pun tak luputdari cengkraman GG dalam konsiderasi utamanya. Secaralebih serius lagi, BAPPENAS juga telah membentukSekretariat Pengembangan Public Good Governance yangsecara periodik mengevaluasi sampai sejauh manainternalisasi doktrin GG telah masuk ke kepala-kepalaperangkat pemerintahan di seluruh tanah air.

Program proyek yang ada di Indonesia baik tingkatpusat maupun daerah, baik diselenggarakan olehpemerintah maupun LSM, semua juga tak luput daridoktrin GG. Ambil contoh proyek paling masif di Indonesiadari World Bank saat ini yaitu Program NasionalPemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dalam strategi dasarpemberdayaannya (community empowerment approach),PNPM mencantumkan GG sebagai prasyarat mutlak.USAID, tentu saja, melalui Local Governance SupportProgram (LGSP) telah memaksakan penerapan indikator-indikator “good” sebagai alat ukur kualitas pen-yelenggaraan pemerintahan di seluruh daerah. Lembagakemitraan atau partnership sebagai salah satu NGOterbesar di Indonesia saat ini secara terang-teranganmengatakan dirinya sebagai institusi yang berupayamenyelenggarakan GG di Indonesia. Tak diragukan lagilembaga-lembaga yang ada di balik “partnership” adalahlembaga donor negara-negara Eropa Barat dan AmerikaUtara. Sub-sub proyek dari lembaga ini juga bertebarandi seluruh antero negeri, dengan melibatkan LSM-LSMlokal di berbagai daerah.

Pemerintah tak mau kalah juga terus berusahamencitrakan dirinya sebagai pelopor gerakan GG. Dalampertemuan Asia Afrika tahun 2005 lalu, Presiden SBY

150 151

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

dalam pidato sambutannya dengan lantang menyatakandukungannya terhadap GG. Sangat jauh berbeda denganapa yang dikatakan Julius K. Nyerere Presiden Tanzaniayang berani mengkritik habis GG dalam pidatonya dihadapan Konfrensi PBB tahun 1998. Secara latah, kitajuga akan dengan mudah menyaksikan kepala-kepaladaerah dan para anggota dewan juga akan menyebut-nyebut GG dalam pidato-pidato sambutan mereka.

Singkat kata, internalisasi GG telah terjadi begitu masifdi Indonesia, hingga menyentuh palung budaya terdalam.Sebagian mungkin akan berkata bahwa kalau hal tersebutmemang baik apa salahnya diikuti. Yang menjadi perhatiandalam bagian ini bukan untuk menilai baik atau buruknyasebuah konsep. Akan tetapi tentang bagaimana prosesindoktrinasi dari sebuah konsep dari luar yang di-internalisir ke dalam.

Saat ini di dalam ranah ilmu sosial tengah marakdigandrungi sebuah teori yang disebut dengan GoodGovernance (GG) atau sering diterjemahkan dengan TataPemerintahan Yang Baik. Berbagai pihak baik darikalangan praktisi maupun akademisi di berbagai sektorterasa jengah jika tidak menyandarkan pikiran dantindakannya pada teori ini. Salah satu pakar administrasipublik terkemuka dunia, Geroge H. Fredrickson, pernahmenulis sebuah artikel pada tahun 2003 yang berjudul“Governance, Governance Everywhere”. Dalam artikelnyaini Fredrickson mengatakan bahwa saat ini seluruh sektoryang ada di dunia ini, baik publik maupun privat, tengahberlomba-lomba untuk mengatakan bahwa dirinyalah yanglebih baik dalam menerapkan prinsip-prinsip governance.Dan teori ini telah menjadi standar ukuran baik buruknyasebuah praktek pengelolaan organisasi modern. Tak pelak,lembaga-lembaga internasional seperti PBB, World Bank,USAID, dan sebagainya, mensyaratkan penerapan GGdalam setiap program yang mereka danai di semua negara.Seperti kanker, GG kemudian menjalar dengan cepat ke

seluruh pembuluh darah kehidupan dan budayapemerintahan kita dan memakan setiap sel-sel tubuhoriginalitas budaya pemerintahan bangsa ini.

Indonesia tak terhindar dari gerusan arus budaya globalini. Salah seorang tokoh ilmu sosial yang sangat terkemukadi negeri ini, Sutandyo Wignyosubroto, pada sebuahkesempatan tahun 2006 lalu juga pernah menyampaikanbahwa perkembangan teori demokrasi terkini adalah GG.Belum lagi ketika kita melihat pakar-pakar ilmu sosiallainnya yang juga seolah tak pernah surut dalammendukung teori ini. Di tataran praktek jauh lebih kolosal.Mulai dari presiden, bupati, walikota, anggota dewan,aktifis LSM bahkan sampai jurnalis secara kompakmengkampanyekan betapa idealnya teori ini. Takmengherankan karena memang ada banyak bantuan danadari donor internasional bagi siapa saja yang maumemasarkan teori ini di Indonesia. Kenyataan yang palingfenomenal adalah Surat Keputusan Kepala Bappenas no.354/m.ppm/11/23 tentang Pembentukan Tim Nasional Pem-bangunan Tata Pemerintahan Yang Baik. Ini menunjukkanbahwa Pemerintah RI benar-benar telah menerima teoriini sebagaimana layaknya bagian yang tak terpisahkandari keberadaan berbagai elemen otentik lainnya di negeriini.

Kesuskesan konsep ini dalam hal merobohkan semuapandangan yang berbeda sangatlah luar biasa. Hinggasaat ini kita sukar sekali melihat adanya perbedaanparadigmatik dalam ilmu-ilmu sosial yang sempat ramaidi Abad XIX hingga XX. Dapat dipastikan seluruh belahandunia sekarang tak berani berbeda pendapat ketika konsepgood governance dikatakan sebagai solusi berbagaipersoalan kehidupan di dunia ini. Mulai dari pengaturanpemerintahan di level nasional hingga pedesaan, konsepgovernance menjadi solusi. Bahkan sekolah, BUMN,perbankan, dunia bisnis, ketua RT, warung hingga penjualnasi goreng sekarang telah menyepakati bahwa mereka

152 153

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

harus menerapkan governance theory dalam praktekkeseharian mereka.

Entah latah atau histeris, konsep ini telah membungkammulut, mata dan telinga kita sehingga kita yakin bahwaseakan tak ada cacat darinya. Secara kultural, GG telahmembuat bangsa ini sebagai bangsa mutant. Ini hebat,bahkan saat di berbagai portal gelap orang saling hujatantar agama, tapi ketika membincang governance tak adasecuilpun perbedaan. Semuanya satu pandangan, satusuara, saking seragamnya sampai-sampai melebihikeseragaman suara anggota DPR pada zaman Orde Baru.Keseragaman yang jumud membuat tak berlebihan ketikadengan nada sinis harus dikatakan bahwa good governancetelah menjadi sebuah agama baru yang melewati batas-batas budaya. Agama yang tanpa kritik dan tanpa cela.Semua tindakan yang melakukan klaim bahwa ia berdasarpadanya maka tindakan itu pasti benar. Semua pendapatyang di depannya mengutip kata itu, maka pendapat itupasti benar. Semuanya yang ada di depan, di tengah, dibelakang bahkan di balik good governance maka semuanyapastilah benar.

Padahal sesungguhnya spirit dari good governanceadalah meminimalkan peran negara (minimizing state) danmengedepankan pasar (market oriented). Ini sekaligusmenunjukkan betapa teori ini tidaklah mampu menempat-kan dirinya, secara konseptual, berada pada pihak rakyatterlebih di negara berkembang. Kita semua sama-samatahu bahwa pasar hari ini dikuasai oleh negara-negaramaju. Kapital dan teknologi pengendali ekonomi duniatidaklah berlaku secara equal. Negara berkembang selalusaja menjadi objek dari trend ekonomi global yangdiciptakan oleh negara maju khususnya negara-negara G-8. Oleh karena itu keberpihakan kepada pasar berartimemberi ruang yang makin luas pada diasporakepentingan-kepentingan negara kapitalis untuk terus sajamenjajah dan mengeksploitasi ekonomi negara berkembangtermasuk Indonesia.

Seperti pernah diprediksikan oleh Alvin dan HeidiToeffler (1970) trend global hari ini bahwa perusahaanmultinasional mempunyai kecenderungan untuk memecahusahanya menjadi kecil-kecil. Dimana dengan demikianberarti perusahaan-perusahanaan multi-nasional/PMN(multi-national corporations) akan memiliki banyak tangan-tangan produksi dan pemasarannya di seluruh sudutbelahan dunia. Dengan tangan-tangan guritanya ituperusahaan-perusahaan ini akan makin mudah untuk men-jangkau pasar dan menumpuk keuntungannya. Berangkatdari kecenderungan itu maka perbincangan seperti GG iniselalu dilekati dengan kekhawatiran bahwa sebuah bangsaakan semakin dieksploitasi oleh kapitalisme global. Pikiransemacam ini muncul karena dalam konsep GG, daerahberhak mencari dan mengelola sumber dana dari luarnegeri atas inisiatifnya sendiri. Dalam hal ini tentunya jugakerja sama bisnis dengan lembaga-lembaga perdaganganinternasional. Kebebasan kerjasama antar daerah daninternasional ini apabila dilihat sekilas memang sangatmembuka ruang bagi terkembangnya eksploitasi global.Proses eksplotasi yang difasilitasi oleh penaklukan budayaadalah cermin dari ekonomi politik dunia. Sistem tatapemerintahan yang monolitik juga tak lepas dari praktektersebut.

Sebuah studi yang sangat menarik dari Andi AhmadYani (2007) tentang Perilaku Politik Orang Bugis dalamDinamika Politik Lokal sangat menarik untuk dikemukakandalam konteks ini. Secara sangat detail dijelaskan dalamessai tersebut bahwa tidak hanya sejarah tatapemerintahan Bugis tetapi juga berbagai nilai yang ter-kandung di dalamnya. Lebih menarik lagi ketika Yanimembongkar maksud filosofis dari sebuah sistem relasisosial yang terbangun dalam proses governance di Bugissebelum masa kolonialisme. Meskipun masih terkesanmelakukan verifikasi atas kebenaran teori-teori baratseperti Hobbes, Locke dan Rousseau dalam pebentukan

154 155

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

masyarakat dan negara di pemerintahan Bugis kuno, tetapibentuk penghormatan atas kearifan budaya lokal cukupnampak dalam tulisan itu.

Contoh paling nyata adalah figur kepemimpinankharismatik yang sangat dihormati dan diluhurkan olehrakyat. Pempimpin yang melindungi dan mengayomi,sementara rakyat bekerja dan berakivitas dalamkeseharian mereka dengan tentram. Pemimpin yang tidakdidapat dari proses yang kompetitif, seperti konsep-konsepkepemimpinan yang jamak dikenal hari ini. Konseppemimpin yang bukan penguasa. Legitimasi kepemimpinanyang didapat dari reciprocity atas apa yang diberikanpemimpin pada rakyatnya dan apa yang didapat pemimpindari rakyatnya, bukan hubungan dominatf dan eksploitatifantar kelas. Konsep kepemimpinan seperti ini untuk saatsekarang tak lagi dianggap masuk akal. Sejak kapan polahubungan kepemimpinan seperti ini tidak masuk akal?Sangat jelas, sejak pola pikir monolitik yang berdasar gametheory menjalar di seluruh dunia, melalui kolonialisme,termasuk sampai jauh ke pedalaman masyarakat Bugis.

Colombus dan kapal-kapalnya telah memulai sejarahbaru dalam homogenisasi sejarah dunia. Hal ini pulalahyang secara langsung berpengaruh pada penguatanparadigma pertama dalam administrasi publik (BirokrasiWeber sampai GG) yang bertahan hingga lebih dari seratustahun. Istilah hubungan patron-client misalnya, sekarangkata itu telah dikenal khalayak luas degan konotasi yangsangat buruk. Sekali lagi, Yani, dengan sangat gemilangmenjelaskan bagaimana konsep origin dari patron-clientsebelum kolonialisme, kemudian terjadinya pemelintirandi masa kolonial, dan kemunculan kembali hubunganpatron client ala kolonial di masa sekarang. Dan orang-orang ramai menghakimi patron-client kolinialisme jilid IIini tanpa mau menoleh nilai filosofi dasar dari versi aslinya.Masyarakat menjadi bingung menentukan yang salah,apakah hubungan patron-client itu ataukah kolonial-ismenya.

Hal di atas adalah hanyalah contoh kecil semata. SGmemiliki perhatian yang sangat serius atas aspek budayalokal dalam pembentukan sisten tata pemerintahan diseluruh dunia. Oleh karenanya sejak awal SG tidak mauada standardisasi yang baku dan kaku untuk mengukurkualitas tata pemerintahan. Sebab hal itu hanya akanmemungkiri kenyataan betapa beragamnya budaya didunia ini. Dan tata pemerintaan adalah sebuah instrumenyang mengatur manusia, masyarakat dan peradaban. Olehkarenanya tidak mungkin hanya ada satu patokan yangdipakai dalam penyelenggraannya. Cara penyeragamanseperti itu hanya akan menghasilkan pemborosan, karenaprogam tak akan pernah mengakar pada budaya dan carahidup masyarakat. Kualitas tata peerintahan kemudianhanya akan berakhir menjadi dokumen laporan bulananatau tahunan yang akan menumpuk di sudut gudang yanggelap.

156 157

Globalisasi dan Budaya Lokal

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Berakhirnya era GG bukanlah disebabkan karenakekalahannya dalam menghadapi konseptandingannya. Saat dimana GG harus ditinggalkan

sebagai sebuah paradigma besar bukanlah saat sepertiruntuhnya tembok Berlin atau masuknya China ke dalamWTO. Kegagalan GG bukanlah hasil dari sebuah pe-perangan dikotomik, tidak pula sama dengan kekalahanide sosialisme atas kapitalsime. Berakhirnya GG adalahdisebabkan kontradiksi internalnya yang tidak berhasilmenjawab persoalan riil yang ada di depan mata. Bahkanproses bunuh diri ini terjadi akibat kegagalannya me-mahami realitas dunia dimana ia tinggal. Pun ketika SGhadir bukanlah sebagai pemenang dari sebuah per-tarungan. SG hanya datang mengisi ruang kosong yangmenganga baik semasa era kejayaan GG, maupun saat anti-klimaks kekuasaannya.

Dominasi GG sebagai sebuah paradigma tunggal yangdiagung-agungkan orang di seluruh penjuru dunia memangtelah melewati tengah hari, meski hari belumlah senja.Hegemoninya masih kita rasakan di banyak tempat hinggasaat ini. Tidak hanya di ruang-ruang kuliah maupun jurnal-jurnal ilmiah, di media massa dan bahkan kantor-kantorpemerintahan dan swasta pun masih dijangkiti wabah GGini. Seperti agama baru, ia telah menembus batasrasionalitas masyarakat pengikutnya sehingga tak adaruang tanpa dosa bagi mereka untuk mempertanyakan

keabsahannya. Ibarat mantra sihir GG telah menghipnotisakal sehat orang-orang pandai di negara-negaraberkembang, termasuk Indonesia, sehingga tak mampumengelak untuk melakukan apapun perintah dari si tukangsihir. Tidak dengan menggunakan sapu lidi dan tingkatajaib tentunya, tapi internalisasi ini dilakukan dengansangat rapi dan kolosal melalui lembaga-lembaga donorinternasional, institusi politik global dan perusahaan multi-nasional. Keberhasilan proses hegemoni ini selaludirayakan dengan kata penutup wajib elite politik AmerikaSerikat, yaitu menyebarluaskan ‘demokrasi’ ke seluruhpenjuru dunia.

Perdebatan tentang perbedaan ‘demokrasi’ dan‘demokratisasi’ di dalam diskursus politik sudah cukupjelas. Term demokrasi sebagai sebuah ide memang baikdan harus ditegakkan dalam berbagai aspek kehidupan dimuka bumi ini. Akan tetapi ketika ‘demokrasi’ telahdidefinisikan secara sepihak dan pihak yang mendefinisikanitu memaksakan definisinya untuk juga diamini oleh pihaklain, itu lain soal. Dalam konteks tersebut demokrasi justrumenemukan paradoksnya. Hal ini akan lebih terasa ketikakita bertemu dengan kata ‘demokratisasi’. Sebab dalamdemokratisasi ada upaya secara sengaja, terencana,terorganisir dan sistemik untuk mewujudkan demokrasi.Sejauh ide yang hendak diwujudkan itu tidak monolitik dantidak ada unsur pemaksaan di dalamnya, demokratisasiboleh-boleh saja. Tetapi ketika sudah ada paksaan, baikdari segi definisi maupun teknis pelaksanaan, pada saatitu demokratisasi juga telah membunuh makna dasardemokrasi itu sendiri.

Dalam kenyataannya GG adalah bagian dari paradokdemokratisasi seperti telah disebutkan di atas. Sebab dalamGG telah disebutkan secara eksplisit tentang definesdemokrasi seperti apa yang harus dipakai. Bahkan jugatentang petunjuk yang sangat teknis tentang bagaimana‘demokrasi’ itu harus dicapai. Pemaksaan konsep GG yang

BAB VII

PENUTUP

158 159

Penutup

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

dilakukan oleh lembaga-lembaga donor internasionaladalah bentuk otoritarianisme dari sebuah gerakandemokratisasi. Sangat menyedihkan.

Hal yang paling membuat GG menjadi tidak berhatidalam menghadapi kritikan adalah diabaikannya realitasbesar globalisasi dalam skema teoritisasinya. Globalisasiadalah sebuah ide sekaligus realitas. Dikatakan realitassebab fenomena ini bukan hanya baru muncul akhir-akhirini setelah adanya revolusi informasi ataupun maraknyabisnis transnasional terutama dibidang finance. Akantetapi jauh sejak ratusan tahun lalu akar-akar globalisasijuga telah ada yang kemudian mencapai puncaknya padaabad XIV saat dimulainya babak imperialisme di dunia.Sebagai sebuah realitas ada tidaknya globalisasi juga bisadibilang sama saja, sebab dalam titik diskursus tertentubatas antara ‘yang lokal’ dan ‘yang global’ juga semakinkabur. Budaya baru hanyalah merupakan bentukkombinasi baru antara budaya-budaya kuno. Sebagaisebuah ide, globalisasi tentu memiliki akar epistemologisnyasendiri. Seseorang telah menciptakan kata itu danmelekatkannya pada sebuah fenomena yang dianggapnyanyata. Dalam pada ini globalisasi menjadi tidak lagi bebasnilai. Seseorang mungkin hanya menjalankan bisnisnyauntuk mencari untung, sebagaimana layaknya pedagang.Dan dia mulai menjual barang dagangannya ke Singapuradan Malaysia. Dari situ maka produk yang dijualnya masukke pasar dunia, maka saat itu dia telah menjadi salah satuaktor dalam globalisasi. Tetapi barangkali tidak bagi yangbersangkutan, dia hanya mencari uang, menjual barang.Pada titik inilah globalisasi menjadi barang yang jugadiperdebatkan, apakah ia realitas objektif atau gagasan?Kenyataanya kita sudah melihat dengan jelas bagaimanaperusahaan multi-nasional bekerja di seluruh dunia,dengan mudah me-lock out pabriknya di Indonesia karenabanyaknya demo buruh dan memindahnya ke China, hanyadalam hitungan minggu. Atau masuknya ide-ide yang

disusun di sebuah ruang di Manhattan masuk sampai kepelosok desa di Indonesia melalui proyek-proyek PBB,Bank Dunia, ADB dan sebagainya? Dan bagaimanaserangan teroris di Madrid dan London membuatpemerintah menerima kucuran dana di dalam APBD nyauntuk membuat program anti-teroris dari Uni Eropa? Itusemua adalah tanda-tanda yang paling tangible atasglobalisasi yang secara aneh tidak disadari oleh GG.

Dari semua resep yang ditawarkan GG dalammelakukan pembangunan sebuah negara dan pemerin-tahan aspek global ini selalu absen. Dari segi konseptualGG sama sekali mengabaikan bagaimana tata ekonomipolitik dunia, secara langsung maupun tidak langsung,berpengaruh terhadap perwujudan praktek tata pe-merintahan di dalam negeri. Dari segi praksis dapatterlihat bagaimana GG hanya melihat tiga aktor saja; pasar,negara dan masyarakat sipil sebagai pihak yang harusterlibat dalam tata pemerintahan. Sementara dalamkenyataannya aktor-aktor global sangat berperan dalammembentuk kenyataan sehari-hari. Sebenarnya hal initidaklah terlalu mengherankan, sebab GG adalah anakkandung dari neo-liberalisme yang bernenek moyangkanfungsionalisme, padangan yang bersiteguh bahwa sebabutama problem negara-negara berkembang hanya faktorinternalnya belaka. SG hadir sekali lagi tidak dalam rangkamenyerang dan mengalahkan GG. Secara prinsip ia hanyamengisi ruang kosong yang tidak tersentuh oleh GG, sepertifaktor globalisasi ini. SG menempatkan pentingnyarestrukturisasi global sebagai bagian dari upaya perbaikantata pemerintahan dan menempatkan aktor internasionalsejajar dengan tiga aktor lainnya yang juga harus dudukbersama secara egaliter memacahkan persoalan-persoalanrill sosial yang ada di depan mata.

Seiring dengan adanya realitas buruk globalisasi dandemokratisasi yang mengantarkan dunia menjadi ter-uniformisasi, satu lagi kelemahan dasar GG terkuak. Yaitu

160 161

Penutup

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

tidak ramahnya GG terhadap keberadaan kearifan budayalokal. Di Indonesia sendiri sejarah pemerintahan bukanlahseumur jagung, bahkan lebih tua dari pohon asam yangmungkin telah tertanam jauh sebelum proklamasi 1945.Kebesaran kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Singosari, Kutaidan sebagainya seolah telah menjadi sebatas dongengpengantar tidur. Secara keji pakar dan praktisi pemerintah-an kita pada jaman itu telah diubah menjadi cerita-ceritasinetron sampah. Kaum terdidik lebih hormat pada sistempemerinthana Eropa dan Amerika Utara dan tak pernahbelajar tentang sistem pemerintahan bangsanya sendiri.Sejarah kejayaan nusantara telah digelapkan menjadisebatas budaya primitif patron-client yang kuno dan tidakdemokratis belaka. Dalam ilmu administrasi publik sendiri,sejak Konsep Birokrasi Weber hingga GG, praktis tidakmelahirkan kajian yang baru dan kritis. Semuanyamonoton dan memberangus keberadaan budaya lokal lalumencangkokkan sistem impor ke dalam tubuh bangsa ini.Kondisi itu mirip seperti keberadaan formalisasi enamagama resmi yang semuanya dicangkokkan ke bangsa ini,sehingga menegasikan keberadaan agama-agama lokalyang sejatinya sejak ratusan tahun sudah ada sebelum“agama-agama resmi” hadir ke bumi pertiwi. SG justruhadir dalam rangka menghapus penyeragaman itu danmempersilahkan budaya-budaya lokal untuk tumbuh danmengekspresikan dirinya secara lebih leluasa. Tentu inibukan mengarahkan pada sikap nativisme. Hanya saja,ruang dan kesempatan budaya lokal dalam pemerintahanuntuk secara adil berkontestasi dengan wacana modernyang sekarang ada. Toh sistem tata pemerintahan adalahsesuatu yang hidup bersama masyarakat, sehingga sudahseharusnya ia berangkat dari akar budaya yang telah lamahidup di masyarakat.

Ada dua neo yang sangat kontekstual dalam mem-bincang persoalan dunia hari ini, yaitu neo-kolonialismedan neo-liberalisme. Dua-duanya sekaligus juga menjelas-

kan apa yang telah dan sedang dilakukan oleh GGkhususnya pada Negara-negara berkembang.

Neo-kolonialisme terlihat pada dua hal. Pertama, aspekpsiko-kultural dimana masyarakat dunia berkembang saatini terlalu mengiblatkan dirinya kepada semua produkbudaya dan peradaban yang berasal dari barat. Proses inisering disebut dengan mimicry, yang diterjemahkan bukansekedar proses meniru atau menyerupakan diri, tetapimenghadirkan eksisitensi kolonial ke dalam sendi ke-hidupan bangsa terkoloni secara mendasar. Secaraperlahan proses ini melanggengkan imperisalisme sebabproses kolonialisme akan berlangsung dengan sendirinya,bahkan dilakukan secara suka rela oleh bangsa sasarandominasi itu sendiri. Frantz Fanon secara vulgarmengatakan bahwa keberadaannya dan kaumnya barumendapat pengakuan dan penghargaan yang layak sebagaimanusia seutuhnya bila telah menerima semua cara hidup,berpikir dan berperilaku ala barat (white). Dalam konteksGG, hal ini terlihat dari para pakar ilmu sosial khususnyaadministrasi publik dan para birokrat yang berbusa-busameyakinkan orang bahwa mereka sungguh-sungguhmembela apapun yang dimau oleh imperialis-imperialispenyokong GG.

Kedua, secara ekonomi politik, neo-kolonialisme terlihatdari praktek internalisasi koersif yang dilakukan lembaga-lembaga donor besar dunia semacam World Bank, UN,USAID dan sebagainya agar Negara-negara berkembangmau menerima ide ini, sampai ke aspek-aspek teknisnya.Perilaku semacam ini sama sekali tidak ada bedanyadengan apa yang mereka lakukan jauh sebelum GG hadirke muka bumi, yaitu melalui sebuah strategi yangdinamakan SAPs (structural adjustment programs). Dansaat ini dalam bentuk yang berbeda ternyata GG sudahmenjadi bagian dari SAPs yang telah banyak bukti hal itumenyengsarakan dan mengeksploitasi ekonomi Negaraberkembang di tahun 1980an sampai 1990an.

162 163

Penutup

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Neo-liberalisme sangat jelas adalah fundamen ideologidari GG itu sendiri. Upaya untuk mengerdilkan institusinegara dan membuka seluas-luasnya pintu pasar bebasadalah tujuan utama dari GG. Hal ini dapat dilihat dariberbagai pernyataan dari petinggi-petinggi World Bankmaupun IMF di berbagai pidato-pidato resmi mereka. Takheran bila isu ini juga sering diangkat oleh pakar maupunpolitisi yang kritis terhadap gerakan ganas neo-liberalismeyang saat ini tengah berlangsung. Ideologi adalah sebuahcara pandang manusia atas dunianya, dan pandangan yangbersifat ideologis adalah pandangan picik yang men-ganggap bahwa semua orang harus sama dan sebangundengan world view-nya. Dalam konteks GG, kata “good”adalah ideologis. Sebab untuk menjadi ‘baik’ semua orangharus melakukan sesuatu yang sama dan seragam. Yaknistandar yang ditetapkan oleh para agen neo-liberalisme dikantor-kantor pusat IFIs. Pejabat-pejabat IFIs selalumengatakan betapa pentingnya negara-negara ber-kembang mengikuti resep-resep reformasi ekonomi danpemerinthana dari mereka agar segera terlepas darikemiskinan. Dan GG adalah merupakan resep utama yangpasti selalu disyaratkan. Sejak zaman developmentalismpraktek pemaksaan resep ini selalu dilakukan oleh IFIs.Apa hasilnya? Sampai sekarang gap antara negara majudan negara berkembang kenyataannya masih sangatlahjauh. Tidak berubah meski dalam kurun waktu empat puluhtahun terakhir. Yang ada justru sebaliknya, negara kayamakin besar kekayaannya, tentu saja dengan meng-aksploitasi berbagai macam sumber daya dari negaraberkembang. Neo-liberalisme yang mengagungkan pasarbebas tidak lebih hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan multi-nasional. Dan GG pun hanyalah alat daripencapaian tujuan ideologis neo-liberalisme tersebut. Yanglebih memprihatinkan adalah untuk menerima proses eks-ploitasi itu, negara-negara berkembang harus pula me-nerima masuknya proyek-proyek GG ke dalam negaranya.

Tidak gratis, semua proyek-proyek GG itu adalah berupahutang!

Di samping memasukkan faktor global dan budaya lokaldalam hitungan, ada beberapa hal pokok yang membuatSG layak dikatakan sebagai arah baru paradigmapembangunan menggantikan GG. Salah satu hal terpentingadalah inovasi. Ketimbang membuat daftar panjang yangberisi indikator-indikator kelayakan untuk disebut ‘good’yang bersifat hegemonic, SG lebih mengedapankan adanyadimensi-dimensi. Dimensi yang dimaksud di sini bukanuntuk menjadi petunjuk teknis yang harus diikuti semuabangsa di dunia, melainkan ini hanya gambaran kondisiideal yang bersifat sangat umum dan generik. Dengandemikian ruang bagi munculnya inovasi, utamanya dalampraktek pemerintahan dan kebijakan public, sangatterbentang luas. Dimensi-dimensi yang dijelaskan pada babIV sangat berbeda sifatnya dengan 10 prinsip yang adadalam GG. Sebab dalam dimensi-dimensi yang ada dalamSG ini hanya memuat garis besar, sedangkan bagaimanacara mencapainya tidak ada cara dan strategi tunggal.Semuanya mengandalkan inovasi. Keseimbangan antaraorientasi output dan proses inilah yang menjadi ciri dasarSG sebagai sebuah metode. Berbeda dengan GG yang overconfidence mengatakan bahwa bila semua negaramelakukan 10 prinsipnya dengan baik maka secaraotomatis output kesejahteraan akan tercapai. SGmengedepankan output kesejahteraan rakyat sebagaitujuan utama pemerintahan. Akan tetapi inovasi tetapitidak dilepas begitu saja. Tetap ada dasar-dasar nilai luhuryang sifatnya universal yang harus selalu dijunjung tinggi,seperti hak dasar kemanusiaan misalnya. Inilah yangmembedakan inovasi dengan ‘seenaknya sendiri’. Inovasimemiliki tujuan yang jelas dan stanbdar universal luhuryang selalu dipatuhi. Sebab bila SG kembali membuatprinsip-prinsip dan indikator teknis yang harus dicapai,maka SG tak akan berbeda dengan GG, terjebak dalamperilaku dogmatisme.

164 165

Penutup

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Hal lain yang memberikan kebaruan dalam SG adalahsemangatnya yang berusaha menjauh dari eurocentrism.Upaya menjauhkan diri SG dari Eurocentrism ini bukanberarti memberikan ruang bagi maraknya oksidentalismeyang bersifat anti-barat atau ‘pokoknya bukan barat’. Tetapilebih menempatkan ide barat dalam konteks provinsional-isme, yaitu sebuah upaya yang menempatkan ide dangagasan barat baik dan kontekstual untuk wilayah danperadabannya, yang tidak perlu disebarluaskan secaraglobal. Demikian juga dengan ide dan gagasan dari Timuryang merupakan gagasan untuk bangsa dan masyarakatTimur. Bila ternyata suatu saat ada persinggungan danproses “dialog” di antara mereka, maka hal itu seharusnyaterjadi secara alamiah dan melalui proses transformasiyang seimbang dan egaliter. Ketidakadilan yang dilakukanorientalisme selama ini bukan berarti harus dilawan dengankekejaman yang sama berupa oksidentalisme. Sebab padatitik tertentu kedua kutub tersebut justru tiada beda satusama lain.

Ketidakadilan global yang selama ini ada membuatproses trasformasi ide berjalan timpang, hubungannyamenjadi seperti juragan dan kacung (buruh). Lembaga-lembaga donor internasional (IFIs) bertingkah pongahseperti juragan, sementara pemerintah negara-negaraberkembang nampak seperti kacung yang disuruh-suruh.Dengan provisionalisme bukan berarti akan dilakukan balasdendam, si kacung menindas si juragan, tapi menghilang-kan hubungan dominatif itu. Ini agenda besar yang hendakdibangun oleh SG. Cara SG membangun agenda besar ituadalah dengan menempatkan empat level dasar yang harusdilakukan dalam reformasi tata pemerintahan dan harusdilakukan secara simultan. Empat level tersebut adalah;lokal, nasional, regional dan internasional. Bagaimana poladan strategi untuk menciptakan reformasi yang egaliterdan sekaligus sistemik di empat level tersebut telahdijelaskan dalam bab IV.

Kategorisasi aktor adalah hal yang paling fenomenaldalam SG. Tidak hanya berkutat pada tiga aktor dasaryang ada dalam GG, satu aktor tambahan yang justrusangat penting telah ditambahkan dalam konsep SG, yaituaktor internasional. Aktor internasional ini mencakuplembaga-lembaga donor internasional, lembaga multi-lateral, perusahaan multi nasional dan aktor-aktor yangsecara langsung berpengaruh terhadap tatanan politik danekonomi global. Mereka adalah aktor utama yangmenyebabkan wajah dunia menjadi seperti apa yang kitalihat sekarang. Melalui investasi dan invasi yang merekalakukan, perubahan dunia baik secara fisik maupun non-fisik telah terjadi. Sehingga sangat aneh ketika selama inihanya disimplifikasi dalam tiga aktor; negara, pelaku bisnisdan masyarakat sipil saja. Hanya mereka yang harusberbicara, berembug dan beripikir bagaimana men-yelesaikan persoalan-persoalan riil. Tetapi ‘biang kerok’nyajustru tidak pernah diajak berbicara. Bukankah merekayang paling bertanggungjawab atas semuanya dansekaligus memiliki kapasitas yang sangat memadai untukmelaksanakan jalan keluar yang telah ditetapkan? Dalamkonteks aktor ini, buku ini juga mengkritik realitas tigaaktor yang selama ini diandalkan GG dapat mengatasipermasalahan sosial. Negara yang sampai sejauh ini hanyamenjadi pusat konspirasi politisi dan pengusahan untukmenumpuk harta dan kekuasaan dimana pada waktu yangbersamaan juga harus menjadi pelayan bagi perusahaanmulti-nasional. Masyarakat sipil, dalam hal ini NGO yangternyata juga banyak yang kebingungan menentukan jatidiri dan keberpihakannya di tengah gerojokan dana-danadari luar negeri yang membuat dirinya juga tak beda jauhdengan Negara, yakni menjadi “komprador”. Sementarapengusaha, selama ini juga masih asyik masyuk denganurusan dapurnya sendiri, yakni mencari untung sebanyak-banyaknya. Semntara GG selama ini menutup mata atasrealitas kegilaan aktor-aktor tersebut. GG hanya me-

166 167

Penutup

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

mandang bahwa seolah negara, bisnis dan masyarakat sipilhanya butuh dipertemukan dan diajak duduk semeja danmasalah akan selesai. GG tidak sadar bahwa di dalam diripara aktor itu sendiri tengah dilanda penyakit dalam yangtelah lama membusuk.

Tidak sedikit kalangan praktisi yang mengeluhkandinamika perkembangan ilmu-ilmu sosial. Mereka merasabelum tuntas dalam mengerjakan satu konsep, tiba-tibasudah muncul konsep lainnya. Belum selesai pekerjaanuntuk mengimplementasikan satu ide sudah keburu munculide tandingannya. Tidak hanya di dunia profesional,kegelisahan ini juga ditemukan di kalangan akademisi.Beberapa dosen juga sempat mengeluhkan tentangdinamika konsep-konsep ilmu sosial khususnya adminis-trasi publik. Karena belum selesai menuntaskan satu silabusperkuliahan, sudah muncul konsep baru. Beberapa justrumengeluhkan bahwa dinamika konseptual ini akanmembuat mahasiswa menjadi bingung. Karena padaminggu kemarin baru saja diajarkan, tiba-tiba minggu inikonsep itu telah diruntuhkan dengan konsep baru.Pandangan-pandangan seperti itu tentu saja sangat di-sayangkan. Perkembangan ilmu adalah hal yang wajar.Ilmuwan eksakta malah lebih dewasa menyikapi jatuhbangunnya sebuah teori. Mereka percaya bahwa ke-munculan teori-toeri baru adalah tanda bahwa dunia tidaktidur. Manusia terus bergerak dan berpikir. Terus berusahamencari jalan terbaik bagaimana caranya untuk “hidup”.

Samuels, K, 2008, Cities and Governance in Mozambique,paper in Public Affairs Seminar in LBJ SchoolUniversity of Texas at Austin

Renzio, P., Good Governance and Poverty Some ReflectionsBased on UNDP’S Experience in Mozambique. UNDP:NY

Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age ofGlobalization, in Ali Farazmand, ed., SoundGovernance: Policy and Administrative Innovations(Westport, CT: Praeger, 2004)

Wilson R. H., Understanding Local Governance: AnInternational Perspective, Revista de Administracaode Empresas, Vol 40, no. 2, April/June, 2000, pp. 51-63.

World Bank, Equity and Development, World DevelopmentReport: 2006 (Oxford University Press, 2005),Overview, pp. 1-17.

Blaut, J. M., 1993, The Colonizer’s Model of the World:Geographical Diffusionism and Eurocentric History,Guilford Press, NY/London

Shohat. E, Stam. R., Unthinking Eurocentrism:Multiculturalism and Media, New York: Routledge,1994

DAFTAR PUSTAKA

168 169

Daftar Pustaka

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Bhabha, H., Nation and Narration, Routledge, 1990.

Jones, R.J. (ed.), Bretton Woods System, RoutledgeEncyclopedia of International Political Economy(Routledge,2002)

Lobe, J., US Blocks Stronger African Voice at World Bank– NGO, Inter Press Service, June 26, 2003 http://www.globalpolicy.org/socecon/bwi-wto/wbank/2003/0626blocks.htm

Chatterjee, P., The Nation and Its Fragments, PrincetonUniversity Press, 1993

Caufield, C., Masters of Illusion: The World Bank and thePoverty of Nations. New York: Henry Holt and Co.,1997

Mongia, Contemporary Postcolonial Theory, London: Arnold,1996 Moore, D., ‘The World Bank’, University ofKwaZulu-Natal Press, 2007

Herrera, R., Good Governance against Good Government?,Tuesday 2 March 2004 http://www.alternatives.ca/article1144.html

IMF Survey Vol. 35 No. 17 - 11 September 2006

Spivak’s, G. C., Can the Subaltern Speak?, in Cary Nelsonand Lawrence Grossberg’s Marxism and theInterpretation of Culture, 1988

Fanon, F., 1986, Black Skin, White Mask, Pluto Press.London

Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age ofGlobalization, in Ali Farazmand, ed., Sound

Governance: Policy and Administrative Innovations(Westport, CT: Praeger, 2004)Farazmand, 1989. Thestate Bureaucracy and Revolution in Modern Iran:Agrarian Reform and Regima Politics. New York:Praeger

Knox P. and Agnew J., The Geography of the WorldEconomy, 4th edition (London: Arnold, 2003),Chapters 1 and 2.

Panayiotopoulos P., and Capps G., eds., World Development:An Introduction (London: Pluto Press, 2001). pp. 35-97

Prakash, G., Who’s Afraid of Postcoloniality?, Social Text49, Vol. 14, No. 4, Winter 1996, Duke University Press

Jessop, B., Good Governance and the Urban Question: OnManaging the Contradictions of Neo-Liberalism,Comment on Urban21 Published in German inMieterEcho June (2000) (placed on www:12th May,2001)

McChesney, R. W., David Horowitz and the Attack onIndependent Thought. Published on Tuesday,February 28, 2006 by CommonDreams.org

Kaldor, M., The Idea of Global Civil Society, InternationalAffairs 79,3 (2003), pp. 583-593.

Tetzlaff, R., International Organizations (World Bank, IMF,EU) as catalyst of democratic values, rule of law andhuman rights – successes and limits, A discussionpaper for the panel: “Survey of Civic Education andHuman Rights Curricular Materials Disseminated by

170 171

Daftar Pustaka

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

major International Organizations” In Denver/Colorado September, 2006-09-13

Fairclough, N. 1989. Language and Power, London:Longman

Alavi, Hamza, 1991, The Structure of Peripheral Capitalism,Sage Publication Ltd: London

Cardoso, F. H., 1979, Dependency and Development in LatinAmerica, UCLA Press, Los Angeles, Berkeley.

Budiman, Arief, 1991, Teori Pembangunan Negara Keitga,Gramedia: Jakarta

Giddens, Anthony, 1986, Kapitalisme Dalam Teori SosialModern: Suatu Analisis Terhadap Karya Tulis Marx,Durkheim Dan Weber, Ui Press, Jakarta

Sugiono, M., 1999, Kritik Antonio Gramsci TerhadapPembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar:Yogyakarta.

Fakih, Mansour. 2003.Bebas Dari Neoliberalisme,InsistPers, Yogyakarta

Yani, A. A., Prilaku Politik Orang Bugis Dalam DinamikaPolitik Lokal, Tulisan Pengantar Diskusi dalam AcaraPeluncuran Buku “Manusia Bugis” yang Ditulis OlehChristian Pelras

The Five Functions Of Government

McDowell, S. K., The Preamble To The U.S. ConstitutionLists The Five Functions Of Government, All BasedOn Biblical Principles Http://Forerunner.Com/Mandate/X0043_Five_Functions_Of_Go.Html

Daniel, Elton, The History Of Iran, Greenwood Press, 2001

Islamy, M. Ir fan, 1997, Prinsip-Prinsip PerumusanKebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta

Wilson, Edward Osborne, The Diversity Of Life (QuestionsOf Science),Textbook Reviews, Ny

Fred W. Riggs, Comparative Government, PublicAdministration—Developing Countries, DevelopingCountries—Politics And Government, Duke University,Durham, Nc

Putra, 1999. Devolusi: Rekonsiliasi Ketegangan PolitikNegara-Rakyat, PB PMII Kopri dan Pustaka Pelajar

______, 2001, Paradigma Kritis dalam Kebijakan Publik,Universitas Sunan Giri dan Pustaka Pelajar

______, 2005, Kebijakan Tidak Untuk Publik, Resist Book,Yogyakarta

______, 2008, World Bank Hybridization, Working paperpresented at Postcolonial Theory and Criticism classUniversity of Texas at Austin

Wendt, Alexander, Social Theory Of International Politics,Cambridge: Cambridge University Press, 1999, P.1

Koswara, E., 1999, Upaya Reformasi Undang-UndangTentang Otonomi Daerah: Telaah Tentang Prinsip-Prinsip yang Termuat Dalam RUU TentangPemerintahan Daerah, http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi6/6kolom_2.Html

172 173

Daftar Pustaka

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

Surya Online, 16 Juni 2007

Giddens, Anthony, Jalan Ketiga, Jakarta, Gramedia, 2000

Sjahrir: Good Governance Di Indonesia MasihUtopia:Tinjauan Kritis Good Governance, JurnalTransparansi, No. 14 November 1999

Hoffmann, S., The Uses and Limits of International Law,in Robert J. Art and Robert Jervis, eds., InternationalPolitics: Enduring Concepts and Contemporary Issues,5th Edition, New York, Longman, 2000.

Luebert, G. M., 1991, Liberalism, Fascism, Or SocialDemocracy. Oxford University Press Ilgen, T. L., 2006,Hard Power, Soft Power And The Future OfTransatlantic Relations. Ashgate Publishing, Ltd.

Henry, N., Paradigms Of Public Administration PublicAdministration Review, Vol. 35, No. 4 (Jul. - Aug.,1975), Pp. 378-386 Published By: BlackwellPublishing On Behalf Of The American Society ForPublic Administration

Alagappa, M., (ed.), Civil Society and Political Change inAsia: Expanding and Contracting Democratic Space.(CA: Stanford University Press, 2004), pp. 25-40

Singh, Ajit, 2004, Labour Standards And The “Race To TheBottom”: Rethinking Globalisation And WorkersRights From Developmental And SolidaristicPerspectives, ESRC Centre for Business Research,University of Cambridge Working Paper No. 279

Hirst, P., Globalization in Question. The InternationalEconomy and the Possibilities of GovernanceTransactions of the Institute of British Geographers,

New Series, Vol. 21, No. 4 (1996), pp. 716-718Published by: Blackwell Publishing on behalf of TheRoyal Geographical Society (with the Institute ofBritish Geographers)

174 175

Daftar Pustaka

SG SG

SOUND GOVERNANCEBerakhirnya Era Good Governance

BIOGRAFI PENULIS

FADILLAH PUTRA, lahir di Rengat, Riau, 27 Juni 1974,adalah aktifis dalam sebuah lembaga nirlaba progresifyakni Averroes Community. Pelaku aktif wisata kuliner danmengajar di Fakultas Ilmu Administrasi UniversitasBrawijaya Malang. Gemar pada studi-studi kebijakan danadministrasi publik, pembangunan internasional,manajemen krisis dan studi poskolonial. Buku yang telahditerbitkan antara lain; Devolusi (1999), KapitalismeBirokrasi (2000), Paradigma Kritis Kebijakan Publik(2001), Hukum dan Kebijakan Publik (2002), Partai Politikdan Kebijakan Publik (2003), Masa Depan Otonomi Daerah(2004), Kebijakan Tidak Untuk Publik (2005), danbeberapa karya lainnya. Meraih beasiswa Ford Foundationuntuk melakukan studi lanjut di Lyndon B. Johnson SchoolUniversity of Texas at Austin, Texas, USA. Telahmempresentasikan makalah berjudul “Border Conflicts:Are we getting closer together or further apart” di Societyfor Public Policy and Planning University of Texas at Austin,17 April 2008 dan menjadi partisipan di The 21st WinterCourse di Andalo, Italy, dari January 6 through 13, 2008tentang “Fighting Terrorism, Protecting Human Rights”yang disponsori oleh Pugwash International.

176 105

Biografi Penulis