referat meneketehe

57
KATA PENGANTAR Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena atas anugrah-Nya saya dapat menyelesaikan refreat saya yang berjudul “Guillain Barre-Syndrome ” tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf, Rumah Sakit Bhayangkara TK.I Raden Said Soekamto. Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko Nafianto. Sp.S. ,yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing saya dalam pembuatan laporan kasus ini. Saya menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya. Jakarta , September 2015 Penulis 1

Upload: hilyajae-hee

Post on 18-Feb-2016

6 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Meneketehe

TRANSCRIPT

Page 1: Referat MENEKETEHE

KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena atas

anugrah-Nya saya dapat menyelesaikan refreat saya yang berjudul “Guillain Barre-

Syndrome ” tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah

sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu

Penyakit Saraf, Rumah Sakit Bhayangkara TK.I Raden Said Soekamto.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko Nafianto. Sp.S. ,yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing saya dalam pembuatan laporan kasus ini. Saya

menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh karena itu saran dan

kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat

bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Jakarta , September 2015

Penulis

1

Page 2: Referat MENEKETEHE

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................1

DAFTAR ISI..................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................4

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................36

2

Page 3: Referat MENEKETEHE

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan

dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk

selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini

mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar

menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena

dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur.

Insidensi SGB bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB

sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang

berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum

gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas infeksi gastrointestinal.

Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh

gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala

pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3

tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa

tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir

minggu keempat maka termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB.

Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya

3

Page 4: Referat MENEKETEHE

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Sindroma Guillain Barre yang disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post Infections Polyneuritis yang dapat diartikan

sebagai suatu kelainan akut dan difus dari sistim saraf yang mengenai radiks spinalis, saraf

perifer, dan kadang-kadang saraf kranialis setelah suatu infeksi.

Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan

dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk

selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini

mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar

menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena

dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah gangguan sistem imun dari sistem saraf

perifer bersifat akut. Istilah GBS sering dianggap identik dengan akut

polyradiculoneuropathy demielinasi inflamasi (AIDP)

II.2 EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali

menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan

oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi

akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan

khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian

jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan

oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk

menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya

kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat

perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

4

Page 5: Referat MENEKETEHE

SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.Insiden

SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89-1,89 kasus per 100.000 orang

pertahun, meskipun peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia 10tahun setelah

dekade pertama.Rasio pria terhadap wanita dengan sindrom ini adalah 1,78 (interval

kepercayaan 95%, 1,36-2,33). Dua pertiga dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran

pernapasan atas diare akut. Dalam meta-analisis, agen infeksi yang paling sering

diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar30%, sedangkan cytomegalovirus telah

diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus

infeksi Campylobacter jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus sitomegalovirus primer

infection. Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah Epstein-Barr, virus Varicella-

Zoster, dan Mycoplasma pneumoniae.

SGB bukan merupakan penyakit musimandimana resiko terjadinya adalah sama di

seluruh dunia dengan semua iklim, kecuali di Cina, dimana predileksi SGB berhubungan

dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas. SGB dapat terjadi

pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden kejadian di seluruh dunia

berkisar antara 0,6 - 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia. Angka kematian berkisar antara 5 - 10 %. Penyebab kematian tersering

adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada 5% penderita SGB.

Antara 5 - 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian

Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III

(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.

Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita

3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana

terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

5

Page 6: Referat MENEKETEHE

II.3 ETIOLOGI

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya

dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan

mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain :

1. Infeksi

Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan Guillain–Barré Syndrome adalah

infeksi Campylobacterjejuni. Bakteri dar genus Campylobacter diidentifikasi

sebagai yang paling umum menjadi sumber gastroenteritis bakteri di

AmerikaSerikat melebihi Salmonella dan Shigella. Pada penelitian yang dilakukan

di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan serum menunjukkan bukti

adanya infeksi pendahulu Campylobacter jejunipada 26-45% pasien Guillain–Barré

Syndrome 5

2. Vaksinasi

3. Pembedahan

4. Kehamilan atau dalam masa nifas

5. Penyakit sistemik

a. Keganasan

b. Systemic Lupus Erithematous

c. Tiroiditis

d. Penyakit Addison

SGB seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insiden kasus SGB

yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu

sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran nafas atas atau infeksi

gastrointestinal. Telah diketahui bahwa infeksi salmonella typosa dapat menyebabkan

SGB. Kemungkinan timbulnya sindrom guillain barre syndrom pada demam tyfoid perlu

lebih diketahui dan disadari. Khususnya di indonesia dimana demam tyfoid masih

merupakan penyakit menular yang besar.

6

Page 7: Referat MENEKETEHE

Tabel 1. Jenis-Jenis Infeksi yang Sering menjadi Penyebab SGB

Infeksi Definite Probable Possible

Virus CMV

EBV

HIV

Varicella – Zooster

Vaccinia/ smallpox

Influenza

Measles

Rubella

Hepatitis

Coxsackie

Echo

Bakteri Campylobacter jejuni

Mycoplasma pneumonia

Typhoid Borrella B

Paratyphoid

Brucellosis

Chlamydia

Legionella

Listeria

II.4 KLASIFIKASI

Pada tahun 1958, Wartenberg mendiskusikan konsep kelainan sensorik yang

equivalen dengan paralisis asendens pada Guillain–Barré Syndrome. Walaupun Asbury

telah menyediakan kriteria diagnosis untuk varian berupa gangguan sensorik dan arefleksia

pada tahun 1981, laporan kasus yang memenuhi kriteria tersebut belum pernah

dipublikasikan. Oleh karena itu, muncullah pertanyaan apakah varian tersebut benar-benar

ada.

Oh, LaGanke dan Claussen pada tahun 2001 mempublikasikan delapan kasus suatu

neuropati sensorik akut dan monofasik yang disertai menurunnya refleks peregangan otot,

peningkatan protein dalam liquor serebrospinal, tampilan demielinisasi pada konduksi

saraf yang memenuhi kriteria untuk varian sensorik dari Guillain–Barré Syndrome.

Dari kriteria diagnosis Guillain–Barré Syndrome yang klasik, kelemahan motorik

yang progresif pada lebih dari satu anggota gerak adalah sesuatu yang harus ada. Akan

tetapi pada kasus yang dilaporkan oleh Oh, LaGlanke dan Claussen tidak satupun yang

memenuhi kriteria tersebut. Asbury mendeskripsikan kriteria untuk varian Guillain–Barré

7

Page 8: Referat MENEKETEHE

Syndrome dengan kehilangan sensorik dan arefleksia sebagai berikut : 1) Onset harus

cepat; 2) distribusinya harus luas dan simetris; 3) Penyembuhan harus komplit atau hampir

komplit; 4) protein pada liquor serebrospinalis harus meningkat dengan jumlah sel yang

sedikit atau tidak ada; dan 5) hasil elektrodiagnostik harus khas untuk proses demielinisasi

pada saraf perifer .

Empat dari delapan kasus yang dilaporkan memenuhi kriteria sebagai varian sensorik

Guillain–Barré Syndrome seperti tersebut di atas, dan empat yang lain memenuhi empat

dari lima kriteria diagnosis di atas. Pada empat pasien yang dilakukan pemeriksaan liquor

serebrospinal yang dikumpulkan pada empat minggu pertama setelah onset terdapat hasil

disosiasi sitoalbumin, yang merupakan gambaran laboratorium yang paling membantu

untuk penegakan diagnosis Guillain–Barré Syndrome. Semua pasien menunjukkan bukti

adanya demielinisasi setidaknya pada dua saraf perifer dengan elektrodiagnostik yang

merupakan gambaran yang juga turut membantu penegakan diagnosis Guillain–Barré

Syndrome. Demielinisasi merupakan gambaran yang paling terlihat pada konduksi saraf

motorik pada 7 pasien dan pada konduksi saraf sensorik pada satu pasien, hal ini

menunjukkan bahwa pemeriksaan konduksi saraf merupakan kunci untuk mendiagnosis

neuropati demielinisasi .

Salah satu varian Guillain–Barré Syndrome yang lain adalah Miller Fisher

Syndrome. Miller Fisher Syndrome memiliki ciri sebagai trias yang terdiri dari

ophtalmoplegia, ataksia dan arefleksia, dimana letak lesi, terutama yang berkaitan dengan

ataksianya masih dalam kontroversi. Sebagai varian dari Guillain–Barré Syndrome, Miller

Fisher Syndrome secara umum diduga merupakan hasil dari neuropati perifer. Beberapa

gambaran MRI dari Miller Fisher Syndrome (MFS) menunjukkan adanya abnormalitas

sistem saraf pusat yang menunjukkan adanya keterlibatan lesi sentral yang bertanggunng

jawab pada beberapa aspek klinis Miller Fisher Syndrome .

Inoue dkk melaporkan salah satu contoh kasus pasien dengan ataksia berat persisten

sebagai gambaran klinis Miller Fisher Syndrome. Satu bulan setelah menderita infeksi

saluran pernapasan atas dengan gejala seperti flu, seorang laki-laki berusia 43 tahun

mengalami disesthesia dan hipestesia pada keempat ekstremitas yang kemudian diikuti

oleh diplopia dan ataksia. Saat dibawa ke rumah sakit, pasien dalam keadaan sadar dan

orientasinya baik. Berbicara tidak ada disartria. Terdapat ptosis sebelah kiri dan

8

Page 9: Referat MENEKETEHE

kelumpuhan saraf abdusens bilateral. Karena ataksia berat pada anggota gerak dan badan,

pasien tidak dapar berdiri dan berjalan walaupun dengan bantuan. Refleks tendon dalam

negatif. Terdapat deteriorasi posisi yang jelas pada keempat ekstremitas dan terdapat

sensasi getaran dengan disesthesia dan hipesthesia sedang. Terdapat juga kelemahan

ringan pada kekuatan otot. Pada pemeriksaan liquor serebrospinal, kandungan proteinnya

adalah 134 mg/dL, hitung sel 6 sel/µL. Data laboratorium, termasuk CPK dalam batas

normal. Antibodi terhadap gangliosida dan pita oligoklonal tidak terdeteksi. Tes

hemaglutinasi serum treponema palidum negatif. MRI menunjukkan tidak ada kelainan

pada otak, termasuk batang otak dan serebelum. Pada MRI spinal, terdapat peningkatan

gadolinium pada kauda equina. Dibuat diagnosis Miller Fisher Syndrome dan pasien

mendapatkan pengobatan Gammaglobulin intravena 40 mg/kg/hari selama lima hari.

Setelah pengobatan itu, ophtalmoplegia menghilang, tetapi ataksia berat, defisit posisional,

dan berkurangnya sensasi getaran tetap ada. Pasien ini mengalami cacat serius, terutama

disebabkan oleh ataksia berat. Pemeriksaan dengan Somatosensori Evoked-Potential

menunjukkan tidak adanya respon terhadap rangsangan elektrik. Lima bulan setelah onset

penyakit, MRI ulang pada otak dan korda spinalis menunjukkan lesi pada kolumna spinal

posterior pada tingkat C1 sampai T12 .

Kira-kira 50 tahun yang lalu, Miller Fisher mendeskripsikan sebuah sindrom klinis

yang jarang ditemukan yang berupa ataksia berat yang berkembang dengan cepat,

ophtalmoplegia, dan arefleksia yang saat ini dikenal sebagai Miller Fisher Syndrome

(MFS). Saat ini Miller Fisher Syndrome dikenal sebagai salah satu varian dari SGB, tetapi

patofisiologinya masih diperdebatkan. Prognosis Miller Fisher Syndrome selalu jinak,

tetapi kecacatan dan atau sesuatu yang fatal juga kadang dijumpai. Pasien tersebut di atas

menunjukkan trias Miller Fisher Syndrome yang didahului oleh adanya infeksi. Analisis

liquor serebrospinal menunjukkan peningkatan kandungan protein yang cukup tinggi dan

hitung sel yang rendah .

Jenis Guillain–Barré Syndrome yang dikenal secara umum meliputi Guillain–Barré

Syndrome yang diikuti kehilangan akson yang berat, Guillain–Barré Syndromedengan satu

tipe jaringan terkena dengan berat (baik sensoris ataupun otonom), dan Miller Fisher

Syndrome. Ada juga jenis Guillain–Barré Syndromeyang distribusinya regional saja atau

asimetris. Ada juga yang membagi Guillain–Barré Syndrome berdasarkan perbedaan

9

Page 10: Referat MENEKETEHE

kecepatan terjadinya onset dan waktu untuk mencapai nadir, dimana dapat menyulitkan

diagnosis dan membingungkan keputusan akan pengobatan.

Guillain–Barré Syndrome diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis

paling umum ditemukan pada Guillain–Barré Syndrome, yang juga cocok dengan gejala

asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota

gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus

facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf

perifer dan demielinasi segmental makrofag .

2. Acute Motor Axonal Neuropathy

Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas Guillain–

Barré Syndrome epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65%

dari pasien Guillain–Barré Syndrome merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada

kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan

kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan,

meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan

AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan

melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motoric .

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang

berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien

biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari

AMAN .

4. Miller Fisher Syndrome

Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan

oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin

terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap

ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf

kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia

.

10

Page 11: Referat MENEKETEHE

5. Acute Neuropatic panautonomic

Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.

Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian

tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat,

kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau

bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal

adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala

otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan

dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan .

6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)

Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut

oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan

penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE

meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan peran

penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan SGB

aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum

lanjutan. Secara singkat dijelaskan pada table berikut :

11

Page 12: Referat MENEKETEHE

Subtipe Ciri Khas Elektro-

diagnosis

Patologi

Acute

inflammatory

demyelinating

polineuropathy

(AIDP)

Orang dewasa lebih

banyak terkena AIDP

dibanding anak-anak;

merupakan 90% kasus di

dunia bagian barat;

penyembuhan cepat;

antobodi anti-GM1

(<50%).

Demyelinisasi Serangan pertama pada

permukaan sel Schwann;

kerusakan myelin

menyebar luas, aktifasi

makrofag dan infiltrasi

limfosit; variabel

sekunder dari kerusakan

akson

Acute motor

axonal

neuropathy

(AMAN)

Anak-anak dan dewasa

muda; terjadi prevalensi

tinggi di cina dan

mexico ;mungkin karena

cuaca; cepat sembuh;

antibodi anti-GD1a

Aksonal Serangan pertama pada

nodus Ranvier motorik;

aktifasi makrofag, sedikit

limfosit, sering ditemui

makrofag diperiaksonal;

keparahan kerusakan

aksonal sangat bervariasi

Acute motor

sensory axonal

neuropathy

(AMSAN)

Lebih banyak pada

dewasa; tidak serring

terjadi; penyembuhan

lambat, dan biasanya

tidak lengkap;

berhubungan erat dengan

AMAN

Aksonal Sama dengan AMAN,

tapi juga mengganggu

nervus sensoris dan akar

nervus sensori; kerusakan

aksonal biasanya berat

Miller Fisher

syndrome

(MFS)

Dewasa dan ank-anak;

tidak sering terjadi;

oftalmoplegia, ataxia, dan

arefleksia; antibodi

antiGQ1b(90%)

Demyelinisasi Hanya sedikit kasus yang

diperiksa; mirip AIDP

Tabel 2. Klasifikasi Guillain–Barré Syndrome

12

Page 13: Referat MENEKETEHE

II.5 PATOFISIOLOGI

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome masih belum

diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang

terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa

imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada

sindroma ini adalah :14

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated

immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh

darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh

respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa

sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler, sel

limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit

berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan

sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran .

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan

pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)

antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen

tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut

akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif

karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta

TNFα .

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang

saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme

13

Page 14: Referat MENEKETEHE

(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem

saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut

kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk

menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan

memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan

destruksi dari myelin .

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;

berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung

yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik.

Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan

meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan .

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak

diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah

yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,

sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat .

Gambar 1. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre

Pada Guillain–Barré Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai

reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun

14

Page 15: Referat MENEKETEHE

virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya

dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini

akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya

membentuk materi lemak penghasil myelin. Akibatnya, produksi myelin akan berkurang,

sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh .

Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara

bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat,

terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan

menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas

sehari-hari,termasuk berjalan .

Gambar 2. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis

Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan

antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan

mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum

diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari

antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang

15

Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke dlm serabut saraf, myelin & axon belum rusak.

Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi segmental demyelinisasi, axon belum rusak.

kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi kromatolisis sentral inti sel saraf atropi & denervasi.

Kerusakan axon >> proximal, kerusakan irreversible regenerasi sel saraf (-)

Page 16: Referat MENEKETEHE

mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang

menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari

gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi

pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting

antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama .

Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisiasi imunitas humoral maka sel-T

merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag

di daerah kerusakan dan  menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan

penghantaran impuls saraf .

Gambar 3. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan sel saraf tepi

Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan

yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi

sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi

abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai

demyelinasi primer .16

Page 17: Referat MENEKETEHE

Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi

sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini

putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga

timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini

terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena

regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang

sembuh lebih cepat .

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada

penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-

saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf

kranialis dapat juga ikut terlibat .

Gambar 4. Derajat kerusakan sel saraf dan manifestasi klinik17

Page 18: Referat MENEKETEHE

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting

disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone

marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan

limfoid dan peredaran .

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan

pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)

antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen

tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut

akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif

karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta

TNFα .

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel

endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah otak, untuk mengaktifkan sel

limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat

merusak protein mielin disamping menghasilkan TNF dan komplemen .

Peran imunitas seluler

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping

peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam

cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan

peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus

dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan

(fagositosis) antigen/ terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan

memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).

Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T

tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2),

gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang

dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf,

untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan

mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF

dan komplemen .

18

Page 19: Referat MENEKETEHE

II.6 MANIFESTASI KLINIS

Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami

infeksi beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain–Barré Syndrome.

Infeksi yang paling sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré Syndrome adalah

gastroenteritis dan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu

sebelum gejala neurologi muncul. Sekitar 20% dari pasien Guillain–Barré Syndrome

pernah mengalami bentuk gastroenteritis sebelum diagnosis Guillain–Barré Syndrome .

Orang dengan Guillain–Barré Syndrome mengalami onset bertahap simetris dari

parestesia dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang bervariasi. Hal ini

juga dapat mencakup tangan dan kaki naik dari distal ke proksimal yang menyebabkan

kelemahan motorik dan akhirnya menjadi paralisis .

Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu hadir

pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak variasi seperti

hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya .

Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut:

a. Kelemahan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor

neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian

besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar

secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga

bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan

saraf kranialis. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai

atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh,

bulbar, dan otot pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan

sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama

beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh

hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal

lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat

dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia

dengan kegagalan ventilasi .

19

Page 20: Referat MENEKETEHE

b. Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan Guillain–Barré

Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot

muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa

ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan

N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena

akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat

menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus .

 Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan

palsy Bell), diplopias, dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.

Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang

terkena. Varian Miller-Fisher dari Guillain–Barré Syndrome adalah unik karena subtipe ini

dimulai dengan defisit saraf kranial .

c. Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori

cenderung minimal dan variabel.Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau

perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia

umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya

tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih

jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral.

Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus

kaki dan sarung tangan. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat

hadir.Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa

nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik .

d. Nyeri

Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome,

89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré Syndrome pada beberapa

waktu selama perjalanannya.Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu,

punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini

sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut .

20

Page 21: Referat MENEKETEHE

Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan

penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau

sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas

atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri

lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan Guillain–Barré Syndrome adalah

sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi

imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) .

e. Perubahan otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré Syndrome.

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis

dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Perubahan otonom dapat

mencakup sebagai berikut; Takikardia, bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal,

hipotensi ortostatik, anhidrosis dan /atau diaphoresis (.

Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas

usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan

kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari

satu atau dua minggu .

f. Pernapasan

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila

tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma

dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .

Empat puluh persen pasien Guillain–Barré Syndrome cenderung memiliki

kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah

sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan bicara cadel.

Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga

sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka .

21

Page 22: Referat MENEKETEHE

g. Papil Edema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.

Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan

penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .

Manifestasi klinik yang paling sering terjadiadalah kelemahan dan nyeri pada

anggota tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri digambarkan seperti “kuda

charlie” yaitu nyeri yang timbul hanya dengan perubahan kecil yang seharusnya tidak

menyebabkan nyeri, biasanya disebut juga dengan hipersensitif atau hiperalgesia .

Walaupun Guillain–Barré Syndrome adalah neuropati perifer, tetapi dapat juga

terdapat keterlibatan nervus kranialis. Kebanyakan yang terjadi adalah kelumpuhan wajah.

Pasien-pasien sindrom Guillain-Barre dengan perjalanan penyakit yang didahului infesi

Campylobacter jejuni menunjukkan tanda dan gejala keracunan makanan yang klasik,

yang paling umum adalah mual, muntah, nyeri abdomen, dan diare .

Penelitian telah dilakukan untuk membandingkan adanya Campylobacter jejuni di sel

mononuklear darah perifer pasien yang didiagnosis dengan gastroenteritis akibat

Campylobacter jejuni dan di pasien kontrol sehat yang tidak terpapar bakteri. Data dari

penelitian ini menunjukkan bahwa DNA Campylobacter didapatkan dan stabil dalam

darah pasie kira-kira selama satu hingga dua tahun .

Infeksi pendahulu kedua terbanyak yang dilaporkan adalah cytomegalovirus (CMV).

Pasien yang didahului diagnosis CMV akan memiliki bentuk Guillain–Barré Syndrome

yang berbeda dibandingkan pasien yang didahului infeksi C.jejuni. PasienGuillain–Barré

Syndrome dengan riwayat infeksi CMV akan cenderung mengalami kelemahan nervus

fasialis bilateral, memiliki komplikasi di sistem pernafasan yang berat (misalnya sampai

memerlukan ventilasi mekanis), dan kehilangan fungsi sensoris yang berat.

Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan

bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri

dari 3 fase, yaitu :

1. Fase progresif.

22

Page 23: Referat MENEKETEHE

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala

menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif

dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat

serangan pada penderita. Kasus Guillain–Barré Syndrome yang ringan mencapai nadir

klinis pada waktu yang sama dengan Guillain–Barré Syndrome yang lebih berat. Terapi

secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi

resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta

gejala .

2. Fase  plateau.

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik

perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan

tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam

memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.

Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,

keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.

Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta

fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta

kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.

Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase

penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau

selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan .

3. Fase penyembuhan

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan

penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan

myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi

pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan

mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita

untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang

berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat

muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun

pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah

23

Page 24: Referat MENEKETEHE

penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi

pada fase infeksi .

II.7 DIAGNOSIS

Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis. Kriteria

diagnosis yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and

Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu :

1. Kelumpuhan progresif dari lengan dan tungkai. Mungkin diawali oleh kelumpuhan di

ekstremitas bawah saja, gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam

4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu dan 90%

dalam 4 minggu.

2. Arefleksia (penurunan refleks tendon).

3. Ditemui hal-hal yang memperkuat prognosis:

a. Progresi dari gejala dalam 4 minggu atau kurang

b. Gejala relatif simetris

c. Ada gejala sensoris yang ringan

d. Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial ±50% terjadi paresis nervus VII dan

sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan

otot-otot menelan

e. Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi, hipertensi dan gejala vasomotor

f. Nyeri biasanya sering terjadi

g. Terdapat protein dengan konsentrasi tinggi, serta kelainan pada CSF yang khas. Ciri-

ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosis:

- Protein cairan serebrospinal: meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada lumbal pungsi serial

- Jumlah sel cairan serebrospinal <10MN/m3

- Varian: tidak ada peningkatan protein cairan serebrospinal setelah 1 minggu gejala,

jumlah sel cairan serebrospinal 11-50 MN/m3

h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok

pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

Hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan akan diagnosis adalah sebagai berikut ;

a. Disfungsi paru berat dengan kelemahan tungkai yang terbatas pada awal penyakit

24

Page 25: Referat MENEKETEHE

b. Tanda sensoris yang berat dengan kelemahan pada awal penyakit

c. Disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus

d. Demam

e. Progresi lambat dengan kelemahan terbatas tanpa keterlibatan sistem respirasi

f. Kelemahan asimetri yang menetap

g. Disfungsi kandung kemih dan usus yang menetap

h. Peningkatan jumlah sel mononuklear dalam CSF (> 50 x 106/L)

i. Adanya sel polimorfonuklear di CSF.

Sedangkan Kriteria diagnostik Guillain–Barré Syndrome menurut Gilroy & Meyer

(sitasi Fachir Hasyim) pada tahun 1979 sebagai berikut ;

1. Paralisis flaksid yang simetris dan difus bilateral.

2. Gejala sensorik subyektif, dengan tanda-tanda sensorik obyektif yang kurang nyata

disbanding paralisis motoric.

3. Penyembuhan sempurna terjadi dalam waktu enam bulan hampir pada semua

penderita.

4. Kenaikan kadar protein yang nyata dalam CSS mulai minggu ke dua dengan atau tanpa

pleositosis relative ringan.

5. Tanpa atau hanya sedikit demam pada saat mulai munculnya paralisis.

6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis dengan atau tanpa kenaikan LED.

Diagnosis Guillain–Barré Syndrome umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis

dan beberapa temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan

serebrospinal (CSS) .

25

Page 26: Referat MENEKETEHE

 Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre

Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis

Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih

Arefleksia

Temuan klinis yang mendukung diagnosis :

Gejala atau tanda sensorik ringan

Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies)  atau saraf kranial lainnya

Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti

Disfungsi otonom

Tidak adanya demam saat onset

Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu

Adanya tanda yang relatif simetris

Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:

Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl

Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau

terbloknya hantaran saraf

A. Pemeriksaan neurologis

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus

dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah

dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang

meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis

seperti refleks Babinsky tidak ditemukan .

26

Page 27: Referat MENEKETEHE

B. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam

cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini

disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai

pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah

sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak

ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa

meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh

SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf dan

EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi diagnosis,

identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis. Ada sejumlah

laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa menunjukkan sedikit

perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan yang parah, mengarah ke

kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara gejala klinis dan studi konduksi

saraf.

3. Pemeriksaan Darah Tepi

Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,

limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat

terjaadi limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah (LED) dapat meningkat

sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala .

4. Test hipersensitivitas

Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan

immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.

Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya

hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena virus hepatitis

itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV .

27

Page 28: Referat MENEKETEHE

5. Elektrokardiografi (EKG)

Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi. Gelombang T

akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai,

namun tidak sering .

6. Tes fungsi respirasi

Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan adanya

insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending) .

7. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf

tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama

berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul

pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa

limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan

pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan

secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi

telah hancur .

Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi

sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan

ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang

menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus

membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson .

II.8 DIAGNOSIS BANDING

Gejala klinis Guillain–Barré Syndrome biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai

dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus

dibedakan dengan keadaan lain. Penyakit lain yang mungkin dapat menyebabkan

kelemahan yang cepat dan progresif harus disingkirkan dan dibedakan. Penyakit-penyakit

tersebut diantaranya adalah .

1. Gangguan elektrolit

o hypophosphatemia

28

Page 29: Referat MENEKETEHE

o hyperkalemia

2. Porphyria,

3. Polymyositis atau necrotising myopathies,

4. Myasthenia gravis,

5. Poliomyelitis dan

6. Lyme borreoliosis.

7. Mielitis akuta

8. Poliomyelitis anterior akuta

9. Porphyria intermitten akuta

10. Polineuropati post difteri

Guillain–Barré Syndrome harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala

kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut :

1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat

ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita Guillain–Barré Syndrome

tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah

beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.

2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari Guillain–Barré Syndrome dimana pada

Guillain–Barré Syndrome, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas

gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks

patologis Babinski

3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot

pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.

4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang

terinfeksi.19 Gejala dimulai dengan diplopiadisertai dengan pupil yang non-reaktif pada

fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien Guillain–Barré

Syndrome.

5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi

pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.

6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun

pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam

aminolevulinik delta.

29

Page 30: Referat MENEKETEHE

7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan

riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada Guillain–Barré

Syndrome.

8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi

dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks

tendon akan menghilang.

9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal,

yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.

10. Mielopati servikalis. Pada Guillain–Barré Syndrome, terdapat keterlibatan otot

wajah dan pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki

jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada

anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

II.10 PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama

secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati

komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada

stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda

vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk

memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.

Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :

a. Sistem Otonom

Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan

observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa

yang terjadi dapat mengenai otot-otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan

tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktif juga harus

disiapkan. Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa

diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat-obatan

berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak

memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit,

mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.

30

Page 31: Referat MENEKETEHE

Idealnya, semua pasien harus harus dirawat di unit perawatan kritis, di mana

sumber daya yang memadai tersedia untuk memungkinkan pemantauan jantung dan

pernapasan terus menerus. Bahkan tanpa adanya klinis distress pernapasan, ventilasi

mekanis mungkin diperlukan pada pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua

kriteria minor. Kriteria utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial karbon dioksida arteri, >

6,4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial oksigen arteri sementara pasien

menghirup udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]), dan kapasitas vital kurang dari 15 ml per

kilogram berat badan, dan kriteria minor batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan

atelektasis. Penilaian awal kemampuan menelan pasien pada risiko aspirasi, mengharuskan

pemasangannasogastric tube. Disfungsi otonom serius dan berpotensi fatal, seperti aritmia

dan hipertensi ekstrim atau hipotensi, terjadi pada 20% pasien SGB, bradikardia berat

mungkin didahului oleh beda tekanan nadi yang lebar (melebihi 85 mm Hg).

b. Fisioterapi

Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.

Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah

penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan

kekuatan otot.

c. Plasma exchange therapy (PE)

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil

yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang

lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk

melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang

dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat

sampai lima kali exchange.

d. Imunoglobulin IV

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi

autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga

dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau

31

Page 32: Referat MENEKETEHE

bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2

minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE

dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan

dengan hanya memberikan PE atau IVIg.

e. Pengelolaan Tambahan : Gejala Nyeri pada fase akut dan kronis

Nyeri adalah gejala yang umum dan parah pada pasien dengan SGB. Adanya nyeri

penting, terutama pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi karena intubasi. Nyeri

biasa gejala yang muncul sebelum onset kelemahan mungkin membingungkan dan

menunda dalam mendiagnosis SGB. Nyeri dijumpai hingga 89% dari pasien dengan SGB.

Perbedaan gejala rasa sakit yang terkait dengan SGB dapat dibedakan selama fase

penyakit: parestesia atau dysaesthesia, nyeri punggung atau radikular, meningisme, nyeri

otot, nyeri sendi, dan pain visceral. Nyeri pada SGB bisa sangat parah, dan pengobatan

sering tidak berhasil. Kortikosteroid, opioid, gabapentin, dan carbamazepine disarankan

untuk menjadi efektif, meskipun laporannya terbatas. Kemungkinan asal nyeri adalah

multifaktorial. Nyeri pada fase akut SGB mungkin dari nosiseptif karena inflamasi. Saraf

berdiameter kecil di kulit, bertanggung jawab atas nosisepsi, yang terkena dampak pada

SGB. Pengurangan jumlah saraf intraepidermal ditemukan pada biopsi kulit dari pasien

dengan SGB.

II.11 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke

dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam,

paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.3Pada negara-

negara maju, 5% dari pasien dengan sindrom Guillain-Barre meninggal akibat komplikasi

medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung yang tidak dapat dijelaskan, mungkin

terkait dengan dysautonomia/ disfungsi otonom. Disfungsi otonom adalah komplikasi

umum pada dua pertiga pasien SGB. Distribusi saraf otonom yang luas mungkin

menyebabkan berbagai tanda dan gejala akibat kegagalan atau overaktivitas simpatis dan

parasimpatis. Gejalanya termasuk aritmia jantung, fluktuasi tekanan darah, respon tidak

normal hemodinamik terhadap obat, kelainan keringat, kelainan pupil, dan disfungsi

kandung kemih dan defekasi. Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan,

32

Page 33: Referat MENEKETEHE

namun, komplikasi kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10% dari pasien SGB

dapat meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya kemungkinan mati mendadak.

Oleh karena itu, pengenalan disfungsi otonom penting untuk memprediksi pasien akan

mengalami gagal otonom yang serius, oleh karena itu perlu pemantauan terus menerus.

Bradiaritmia berpotensi serius, mulai dari bradikardia menyebabkan kecacatan. Seringnya

disfungsi otonom terjadi dengan SGB. Pada beberapa kasus, penerapan alat pacu jantung

transkutan atau atropin harus diberikan. Secara umum, terapi vasoaktif dan morfin

sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan

kurang berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan menilai densitas saraf pada biopsi

kulit pasien dengan SGB.

Kelelahan setelah SGB merupakan problem penting yang dilaporkan pada 60% dan

80% pasien. Dalam sebuah studi pasien dengan polineuropati, termasuk SGB, 80% dari

pasien mengeluh kelelahan. Gejala kelelahan ini independen dari keparahan kelemahan

selama fase awal SGB dan mungkin menetap bertahun-tahun. Amantadine tidak efektif

untuk menghilangkan kepenatan setelah SGB.Program pelatihan intensif, tiga kali

seminggu dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, dan menurunkan skor kelelahan secara

signifikan. Program fisioterapi juga dinilai baik dalam meningkatkan keluaran fungsional,

dan kualitas hidup. Dari sudut pandang yang lebih holistik, perubahan kelelahan, mobilitas

dan fungsi dirasakan tampaknya tidak dipengaruhi oleh perubahan fisik. Kombinasi faktor

fisik dan psikologis tampaknya untuk menentukan terjadinya kelelahan setelah SGB.

II.12 PROGNOSIS

Prognosis dari Guillain–Barré Syndrome sendiri sulit untuk diprediksi pada pasien

individual karena variasi subsantasial dari gejala sisanya. Usia tua, sering dilaporkan

dengan prognosis yang buruk. Keparahan Guillain–Barré Syndrome ditentukan pada fase

awal penyakit.

Menurut pembelajaran RCT, telah diinvestigasi bahwa efek IVI atau PE pada pasien

yang tidak dapat berjalan dapat disimpulkan bahwa 20% pasien tetap tidak dapat berjalan

tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pemeriksaan neurofisiologis dilaporkan membantu dalam

menilai resiko gagal nafas, yang mana paling tinggi pada pasien dengan pengurangan

33

Page 34: Referat MENEKETEHE

kapasitas vital pada lebih dari 20% dan tanda-tanda dimielinasi sebagai pertanda oleh

pengurangan aksi potensial gabungan saraf peroneal proksimal atau distal.

Gangguan konduksi saraf peroneal dan usia yang diatas 40 tahun merupakan

predictor tunggal dari ketidakmampuan selama 6 bulan. Baru-baru ini, dikembangkan

sebuah system scoring klinis yang sederhana (EGOS) yang dengan mudah digunakan pada

pasien tingkat akut. Inijuga secara akurat dapat memprediksi kesempatan untuk berjalan

sendiri (tanpa bantuan) setelah 6 bulan dan dapat dikalkulasikan selama 2 minggu pertama

dari onset penyakit berdasarkan usia, adanya diare yang mendahului dan skor cacat

Guillain–Barré Syndrome. Berdasarkan EGOS sendiri, Kesempatan untuk sembuh pada

pasien individual bervariasi dari 1% sampai 83%. Akurasi dari skala ini dikonfirmaikan

dalam sebuah pembelajaran kohort pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. EGOS

dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada pasien itu sendiri tentang

prognosisnya, dan juga dapat digunakan dalam percobaan pengobatan terbaru yang lebih

spesifik pada pasien dengan prognosis buruk dari Guillain–Barré Syndrome.

34

Page 35: Referat MENEKETEHE

BAB III

KESIMPULAN

1. SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid simetris

yang bersifat ascenden yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun

dimana targetnya adalah saraf perifer, saraf otonom, hingga nervus kranialis.

2. Hingga saat ini penyebab SGB masih belum diketahui secara pasti, namun sebagian

besar berkaitan dengan adanya proses infeksi yang terjadi sebelum gejala SGB

muncul.

3. Manifestasinya dapat berupa nyeri, kelemahan motorik, kelemahan sensorik hingga

gangguan otonom hingga dapat menyebabkan gagal nafas.

4. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,

mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Hingga saat ini para

peneliti masih mencari alternatif terapi yang paling tepat dan pilihan terapi yang

paling efektif saat ini adalah dari Plasma Exchange (PE) dan Intravenous inffusion of

human Immunoglobulin (IVIg).

35

Page 36: Referat MENEKETEHE

DAFTAR PUSTAKA

1. Muid Masdar, 2013 , manifestasi klinis dan laboratoris penderita sindroa guillain

barre di ruang perawatan anak RSU dr. Saiful Anwar Malang. SMF ilmu kesehatan anak

RSU dr. Saiful Anwar. Malang

2. Inawati. 2010 . Sindrom guillain barre . http:

elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/vol%20edisi%20khusus%20desember%202010/

SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf diakses pada tanggal 25 september 2015.

Departemen patologi anatomi Universitas Wijaya Kusuma . Surabaya

3. M. Burns, Ted . 2008 . Gullain-Barre Syndrome . availabe from :

htttp://orpha.net/data/patho/Pro/em/GuillainBarre-FrenPro834v01.pdf diakses tanggal 25

september 2015 .

4. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from: URL:

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf. [diakses tanggal 15

Juni 2015].

5. Evidence Center. 2011 . Available from:

http://bestprice.bmj.com/best-practice/monograph/basics/epidemiology.htmldiakses

tanggal14 september 2015

6. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Jakarta : Dian Rakyat,

2000.

7. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA :McGraw

Hill, 2005.

8. Oh SJ, LaGanke C, Claussen GC. Sensory Guillain-Barre Syndrome. Neurology

2001;56;82-86.

9. Inoue N, Ichimura H, Goto S, Hashimoto Y, Ushio Y. MR Imaging Finding of

Spinal Posterior Column Involvement in a Case of Miller Fisher Syndrome. AJNR Am j

Neuroradiol April 2004 25:645-648

10. Mantay KC, E Armeau, T Parish. Recognizing Guillain-Barré Syndrome in the

primary care setting. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice 2007;

5(1): 1-8.

36

Page 37: Referat MENEKETEHE

11. Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological

Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National

Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003

12. Fauci AS, DL Kasper, DL longo, et al. Harrison’s principles of internal medicine

17th Ed. New York: McGraw-Hill, 2008

13. Burns TM. Guillain-Barre’ syndrome. Thieme Medical Journal 2008; 28(2): 152-

167.

14. Ropper H A, Brown H R. Adam’s and Victor, Principles of Neurological 8th

edition. United States of America; 2005. p.1117-27.

15. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in

clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann;

1996.p.1911-16.

16. Van Doorn PA, L Ruts, B Jacobs. Clinical features, pathogenesis and treatment of

Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939-950.

37