referat joan

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Sindroma Stevens-Johnson Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM). Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. 1.2 Sejarah Sindroma Stevens-Johnson Sindroma Stevens-Johnson pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Albert Mason Stevens dan dr. Frank Chambliss Johnson, yang merupakan seorang dokter anak di Amerika Serikat yang mendiagnosa penyakit ini pada dua pasien anak laki-laki berusia tujuh tahun dan delapan tahun yang 1

Upload: audra-firthi-dea-noorafiatty

Post on 21-Oct-2015

32 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi Sindroma Stevens-Johnson

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk

yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama

selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai

nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih

ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM).

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium

serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-

Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-

kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

1.2 Sejarah Sindroma Stevens-Johnson

Sindroma Stevens-Johnson pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, yaitu

dr. Albert Mason Stevens dan dr. Frank Chambliss Johnson, yang merupakan seorang dokter

anak di Amerika Serikat yang mendiagnosa penyakit ini pada dua pasien anak laki-laki

berusia tujuh tahun dan delapan tahun yang menderita penyakit kulit misterius. Sebelumnya

anak tersebut didiagnosa oleh dokter menderita cacar dengan kasus berat.

Stevens dan Johnson mendeskripsikan kondisi anak tersebut sebagai hal yang

”istimewa”. Penyakut anak tersebut menunjukan gejala inflamasi mukosa bukal dan terdapat

konjungtivitis purulen yang berat serta ditambah dengan lesi kulit generalisata yang sekarang

umum disebut sebagai Sindroma Stevens Johnson.

Mereka yakin bahwa diagnosa cacar tersebut salah, dan menduga penyakit kulit

tersebut disebabkan oleh penyakit eritema multiforme. Eritema multiforme pertama kali

ditemukan pada tahun 1866 oleh dokter Austria bernama Ferdinand Von Hebra. Von Hebra

mendirikan Sekolah Dermatologi Vienna (Vienna school of Dermatology) dan menuliskan

buku dermatologi terkenal yaitu Atlas der Hautkrankeiten. Von Hebra mendeskripsikan EM

1

sebagai penyakit ringan yang tiba-tiba menyebabkan terjadinya banyak ”papul merah” yang

rekuren pada beberapa pasien. Beberapa papul merah itu kemudian berkembang menjadi apa

yang disebut Von Hebra sebagai lesi ”target”.

Berdasarkan oleh deskripsi Von Hebra ini, Stevens dan Johnson dapat

mengekslusikan Eritema Multiforme sebagai diagnosis anak tersebut karena beberapa gejala

yang tidak cocok dengan eritema multiforme:

Lesi kulit lebih parah daripada papul seperti pada eritema multiforme

Lebih sedikit gejala subyektif

Terdapat demam tinggi yang terus menerus

“Terminal heavy crusting”

Stevens dan Johnson percaya bahwa yang mereka lihat merupakan tipe penyakit

infeksi yang disebabkan oleh hal yang tidak diketahui. Pada tahun 1950, penemuan ini

dinamakan sebagai Stevens Johnson Syndrome atau EM-mayor oleh Bernard Thomas.

Klasifikasi Sindroma Stevens Johnson sebagai Eritema Multiforme Mayor masih

menjadi kontroversi hingga sekitar awal tahun 1980-an. Kemudian diusulkan bahwa eritema

multiforme dan Sindroma Stevens Johnson diklasifikasikan sebagai penyakit yang berbeda.

Walaupun begitu, Sindroma Stevens Johnson masih merupakan penyakit kulit yang sulit

diobati dan dapat mengancam jiwa penderitanya.

1.3 Epidemiologi

1.3.1 Epidemiologi Sindroma Stevens-Johnson di dunia

Insidens Sindroma Stevens Johnson dan Nekrosis Epidermal Toksik

diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat.

Umumnya terdapat pada dewasa. Strom et al melaporkan bahwa pada insidens

Sindroma Stevens-Johnson sekitar 7.1 kasus per juta populasi per tahun. Namun suatu

penelitian di Jerman melaporkan insidensinya hanya 1,1 kasus per 1 juta orang per

tahun.

Sindroma Stevens-Johnson terdapat di seluruh dunia dan mengenai seluruh ras,

walaupun dilaporkan lebih sering terdapat pada ras kulit putih. Yang menarik bahwa

2

penyakit ini tidak terbatas pada manusia saja, namun pernah juga dilaporkan

ditemukan pada anjing, kucing dan monyet.

Pada suatu penelitian Sindroma Stevens-Johnson dilaporkan mengenai 39.9%

wanita pada 315 pasien yang diteliti. Pada penelitian kohort skala besar dilaporkan

usia rata-rata pasien dengan Sindroma Stevens-Johnson sekitar 25 tahun. Sedangkan

pada penelitian dengan skala yang lebih kecil, dilaporkan rata-rata usianya sekitar 47

tahun, walaupun ada pula dilaporkan penyakit ini pernah diderita anak usia 3 bulan.

Mortalitas pada Sindroma Stevens-Johnson kurang lebih 10%, pada pasien SSJ

dan NET yang overlapping dapat mencapai 30%, dan hampir 50% pada pasien dengan

NET. Karena itu, untuk mengevaluasi mortalitas pada SSJ dan NET, klinisi harus

mempertimbangkan onset terjadinya reaksi, usia pasien, penyakit yang mendasari

(underlying diseases) serta luas lesi kulit pada pasien.

Obat yang seringkali berhubungan dengan Sindroma Stevens-Johnson di

Amerika Serikat adalah NSAIDs (piroxican, meloxicam, tenoxicam) dan golongan

sulfonamid. Sedangkan di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura,

Taiwan dan Hongkong, obat yang seringkali berhubungan adalah allupurinol.

1.3.2. Epidemiologi Sindroma Stevens-Johnson di Indonesia

Hingga saat ini belum banyak data epidemiologi mengenai Sindroma Stevens-

Johnson di Indonesia.  Insidens Sindrom Stevens Johnson di Indonesia diperkirakan

sekitar 2,6-6,1 kasus per juta populasi setiap tahun.  Sindrom Stevens-Johnson paling

sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, jarang terjadi di bawah usia 3

tahun rata-rata umur penderita adalah 20-40 tahun.  Di Bagian Kulit Universitas

Indonesia setiap tahun terdapat kira-kira 12 pasien, umumnya terjadi pada dewasa. Hal

tersebut berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat.

1.3.3. Epidemiologi Sindrom Stevens-Johnson di RSUD Kardinah Kota Tegal

Sepanjang tahun 2012, di RSUD Kardinah Kota Tegal terdapat 10 kasus baru

Sindroma Stevens-Johnson, dengan perincian sebagai berikut:

3

Tabel 1. Kasus Baru Sindroma Stevens-Johnson di RSUD Kardinah Kota Tegal Tahun 2012

BULANJumlah Kasus Baru menurut Umur Pasien Jenis Kelamin Jumlah

Kasus Baru

< 1 thn

1-4 thn

5-14 thn

15-24 thn

25-44 thn

45-64 thn

>66 thn

♂ ♀

Januari - - - 1 - 1 - 2 - 2Februari - - - - 1 1 - - 2 2Maret - - - - - - - - - 0April - - - 1 1 - - - 2 2Mei - - - 1 1 - - 1 1 2Juni - - - - - - - - - 0Juli - - - - - - - - - 0Agustus - 1 - - - 1 - 1 1 2September - - - - - - - - - 0Oktober - - - - - - - - - 0November - - - - - - - - - 0Desember - - - - - - - - - 0TOTAL 0 1 0 3 3 3 0 4 6 10

4

BAB II

ETIOPATOGENESIS

2.1 Etiologi Sindroma Steven Johnson

Sindroma Stevens-Johnson diduga disebabkan oleh berbagai faktor. Seringkali yang

diduga sebagai penyebabnya adalah obat-obatan. Etiologi Sindroma Stevens Johnson dapat

dikategorikan menjadi 4 golongan berikut:

Infeksi

Drug-induced

Berhubungan dengan keganasan

Idiopatik

Sindroma Stevens-Johnson yang bersifat idiopatik terdapat pada 25-50% kasus.

Obat-obatan dan keganasan adalah yang paling sering dihubungkan sebagai etiologi

Sindroma Stevens-Johnson pada pasien dewasa dan lanjut usia. Sedangkan kasus pediatrik

lebih sering berhubungan dengan infeksi.

a. Infeksi

Ada beberapa penyakit virus yang dilaporkan menyebabkan Sindroma Stevens-Johnson

seperti yang tercantum di bawah ini:

Herpes simplex virus (masih dalam perdebatan)

AIDS

Infeksi virus Coxsackie

Influenza

Hepatitis

Mumps

Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus pernah diidentifikasi sebagai

penyebabnya. Lebih dari setengah pasien dengan Sindroma Stevens-Johnson dilaporkan

baru saja mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)

5

Selain itu dapat pula disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus Beta-Haemolyticus

Group A, Diphteria, Brucellosis, Mycobacteria,dll. Dapat pula disebabkan oleh jamur

dan protozoa misalnya parasit malaria dan trikomoniasis.

b. Induksi Obat (Drugs Induced)

Antibiotik merupakan obat yang paling sering menjadi penyebab Sindroma Stevens-

Johnson, diikuti dengan analgesik, obat batuk dan pilek, OAINS, psikoepileptik, dan

obat anti asam urat. Dari antara golongan antibiotik, penisilin dan golongan sulfa

seringkali menjadi penyebab; ciprofloksasin juga pernah dilaporkan menjadi penyebab

Sindroma Stevens-Johnson.

Begitu pula dengan obat-obatan anti konvulsan seperti Fenitoin, Karbamazepin,

Trileptal, Asam Valproat dan Barbiturat juga pernah dilaporkan berhubungan dengan

Sindroma Stevens-Johnson. Pernah pula dilaporkan penggunaan obat anti retroviral

yang berhubungan dengan Sindroma Stevens-Johnson seperti penggunaan Nevirapin

dan Indinavir.

Gambar 1. Obat-obatan yang berhubungan dengan Risiko Nekrolisis Epidermal

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed ; 350

6

Penelitian di Eropa menunjukan bahwa obat “risiko tinggi” dibawah ini berhubungan

dengan lebih dari setengah kasus Sindroma Stevens-Johnson yaitu obat golongan

sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, OAINS oxicam, lamotrigine dan

nevirapine. Risiko tersebut terutama terjadi pada 8 minggu pertama pengobatan.

c. Faktor Genetik

Ada beberapa bukti kuat yang menunjukkan adanya faktor predisposisi genetik terhadap

terjadinya reaksi obat berat seperti yang terlihat pada Sindroma Stevens-Johnson. Ada

beberapa HLA (Human Leukocyte Antigens) yang diduga meningkatkan risikonya,

misalnya HLA-B*1502, HLA-B*5801, HLA-B*44, HLA-A29, HLA-B12.

Alel HLA tersebut berkaitan langsung dengan peningkatan kemungkinan

berkembanganya Sindroma Stevens-Johnson bila terekspos dengan obat-obatan spesifik.

Orang kulit putih dengan HLA-B*44 diduga lebih mudah terjadi Sindroma Stevens-

Johnson, sedangkan HLA- A29, HLA-B12, and HLA-DR7 lebih sering berhubungan

dengan SSJ yang diinduksi oleh obat sulfonamid.

Namun masih belum diketahui secara pasti bagaimana mekanisme gen tersebut

memepengaruhi terjadinya Sindroma Stevens-Johnson.

2.2 Patofisiologi Sindroma Stevens-Johnson

SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang

disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain

dimasukkan dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan setengah dari

total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi.

Suatu reaksi idiosinkrasi atau hipersensitifitas tipe lambat sering kali dihubungkan

sebagai patofisologi dari Sindroma Stevens-Johnson. Beberapa grup populasi diketahui lebih

mudah terserang Sindroma Stevens-Johnson daripada populasi umum. Asetilator lambat

(slow acetylators), pasien imunokompromais (terutama akibat infeksi HIV) dan pasien

tumor otak yang menjalani radioterapi dengan obat antiepilepsi merupakan populasi dengan

risiko paling tinggi.

7

Asetilator lambat (slow acetylators) adalah orang-orang yang heparnya tidak mampu

mendetoksifikasi metabolit obat reaktif secara sempurna. Contohnya pada pasien dengan

ENT akibat induksi obat sulfonamid, dimana mereka memiliki genotipe asetilator lambat

yang menyebabkan peningkatan produksi sulfonamide hidroksilamin melalui jalur P-450.

Metabolit obat ini memiliki efek toksik langsung atau dapat bertindak sebagai hapten yang

akan menyebabkan reaksi antigen.

Presentasi antigen dan produksi Tumor Necrosis Factor (TNF)-alpha oleh dendrosit

jaringan lokal menyebabkan terjadinya peningkatan proliferasi limfosit T dan meningkatkan

sitotoksisitas sel efektor imun lainnya. Limfosit CD8+ yang teraktivasi ini akan merangsang

apoptosis sel epidermis lewat beberapa mekanisme, salah satunya melalui pelepasan

granzyme B dan perforin. Perforin merupakan granul monomer yang dilepaskan dari sel

natural killer dan limfosit T sitotoksik.

Apoptosis keratinosit juga dapat terjadi akibat dari ligasi permukaan reseptor yang

mati dengan molekul tertentu yang dapat mencetuskan aktivasi sistem sehingga

menyebabkan disorganisasi DNA dan kematian sel.

Kematian keratinosit tersebut menyebabkan terpisahnya epidermis dari dermis.

Sehingga ketika terjadi apoptosis, sel yang mati tersebut memicu terjadinya penambahan

lebih banyak kemokin sehingga dapat memperparah proses inflamasi yang berakhir pada

nekrolisis epidermal yang lebih luas.

Proses hipersensitivitas tersebut menyebabkan kerusakan kulit sehingga terjadi :

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan

glukosuria.

3. Kegagalan termoregulasi.

4. Kegagalan fungsi imun.

5. Infeksi

8

PATHOPHYSIOLOGYSTEVENS-JOHNSON SYNDROME

PREDISPOSING FACTORSAGE : old ageRACE : white

ETIOLOGYDrug-induced

InfectionMalignancyIdiopathic

PRECIPITATING FACTORSHIV + patients

Taking multiple medicationsSlow acetylators

Failure of the liver to completely detoxify reactive drug metabolites

Drug metabolites cause direct toxic effect to host tissue

Drug metabolites become antigenic

Activation of cell-mediated immunity

Proliferation of cytotoxic T-lymphocytes

Activation of epidermal cell apoptosisAppearance of macules on skin

Macules combine into large flaccid bullae

Death of keratinocytes

Separation of the epidermis from dermisSkin / mucosal

detachment

Dying cells provoke recruitment of more chemokines

Activation of inflammatory response

Malaise

Headache

Fever

Extensive Epidermal Necrolysis

Exposure of oral crust and other muccosal

Exposure of painful blisters and other skin lesion

Conjuctivitis and other eye manifestation

Cough and Sore Throat

9

BAB III

GAMBARAN KLINIS

3.1 Gejala Sindroma Steven Johnson

Biasanya Sindroma Stevens-Johnson dimulai dengan infeksi saluran napas atas yang

tidak spesifik. Gejala prodromal ini biasanya berlangsung 1-14 hari dengan gejala berupa

demam, nyeri tenggorok, menggigil, sakit kepala dan malaise. Muntah dan diare kadang kala

dapat pula menyertai gejala prodromal ini.

Lesi mukokutaneus berkembang secara tiba-tiba dan dapat berlangsung hingga 2-4

minggu. Lesi ini biasanya tidak gatal (non pruritik). Adanya gejala demam dan lesi yang

memburuk dapat menandakan adanya infeksi superimposed, namun demam dilaporkan

terdapat pada 85% kasus.

Lesi pada mukosa mulut dan/atau membrana mukosa lain dapat terjadi sangat parah

sehingga pasien kesulitan untuk makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinarius

dapat mengeluhkan adanya disuria atau kesulitan untuk berkemih. Sepertiga kasus dimulai

dengan gejala non spesifik, sepertiga lainnya disertai lesi membran mukosa dan sepertiga

sisanya disertai dengan eksantema.

Pada pasien dapat pula ditemukan adanya riwayat Sindroma Stevens-Johnson atau

eritema multiforme sebelumnya. Rekurensi tersebut dapat muncul kembali jika agen

penyebabnya tidak tereliminasi secara sempurna atau jika pasien terekspos kembali.

Selain lesi pada kulit, lesi Sindroma Stevens-Johnson dapat mengenai bagian tubuh

lainnya misalnya pada mukosa oral, esofagus, faring, laring, anus, trakea, vagina dan uretra.

Dapat pula menyebabkan gejala pada mata seperti mata merah, berair, nyeri, blefarospasme,

gatal, rasa terbakar, dll.

Selain itu, klinisi harus menggarisbawahi mengenai waktu paparan obat. Sindroma

Stevens-Johnson biasanya secara klinis terjadi dalam 8 minggu (biasanya 4-30 hari) setelah

10

onset paparan obat. Hanya pada beberapa kasus yang sangat jarang ditemukan reaksi obat

yang terjadi langsung dalam beberapa jam.

3.2 Pemeriksaan Fisik Sindroma Stevens-Johnson

3.2.1 Manifestasi Klinis pada Kulit

Distribusi erupsi kulit awalnya bersifat simetris pada wajah, badan bagian

atas dan ekstremitas bagian proksimal. Pada bagian distal ekstremitas biasanya hanya

sedikit yang terkena, namun ruam kulit ini dapat berkembang secara cepat pada

seluruh tubuh dalam beberapa hari bahkan dalam beberapa jam.

Ruam kulit awalnya berupa makula yang berkembang menjadi papul, vesikel,

bula, plak urtikaria atau eritema konfluens. Pada bagian tengah lesi ini biasanya

bersifat vesikular, purpurik, atau nekrotik.

Lesi tipikal biasanya berbentuk target yang bersifat patognomonik untuk lesi

awal Sindroma Stevens-Johnson. Namun, berbeda dengan eritema multiforme, lesi

ini hanya memiliki dua zona warna. Lesi bagian inti dapat bersifat vesikular, purpura

atau nekrotik, sedangkan zona yang mengelilinginya berupa makula eritema.

Sehingga lesi ini seringkali disebut sebagai lesi target. Dapat ditemukan tanda

Nikolsky positif pada zona eritema tersebut.

Gambar 2. Fase eksantema awal dengan tanda Nikolsky positif

11

Lesi ini kemudian menjadi bulla dan lama kelamaan akan ruptur, sehingga

menjadi kulit yang mengelupas dan kulit menjadi terekspos, kemerahan dan oozing

(tampak basah). Kondisi ini memungkinkan kulit menjadi rentan untuk terjadinya

infeksi sekunder.

Gambar 3. Perkembangan lesi kulit; Erupsi Awal (A) yang berkembang menjadi Erupsi

Lanjut (B) yang disertai adanya bula dan kemudian menjadi nekrolisis epidermal (C)

1.2.2 Manifestasi klinis pada membrana mukosa (selaput lendir)

Lesi pada membrana mukosa (biasanya selalu melibatkan sedikitnya dua

tempat) mengenai kurang lebih 90% kasus dan dapat mendahului maupun mengikuti

erupsi kulit. Biasanya dimulai dengan eritema yang diikuti dengan erosi yang terasa

nyeri pada mukosa mulut, mata dan genital. Rongga mulut meruapakan lesi yang

hampir selalu ditemukan pada setiap kasus dan menyebabkan erosi hemoragik yang

terasa nyeri dan dilapisi oleh pseudomembran berwarna putih keabuan dan krusta

pada bibir. Lesi pada mukosa ini dapat berupa eritema, edema, blister, ulserasi dan

nekrosis, seperti yang tampak pada gambar di bawah ini:

12

Gambar 4. Erosi hemoragik pada bibir dan mukosa mulut pasien dengan Sindroma

Stevens-Johnson

Walaupun beberapa ahli menyatakan adanya kemungkinan Sindroma

Stevens-Johnson tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi

mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Kasus tanpa lesi kulit ini

dinamakan sebagai tipe “atipikal” atau “inkomplit”

1.2.3 Manifestasi klinis pada mata

Sekitar 85% pasien memiliki lesi pada konjungtiva, yang biasanya berupa

hiperemis, erosi, kemosis, fotofobia dan lakrimasi. Selain itu dapat pula ditemukan

pengelupasan bulu mata. Pada kasus yang berat, dapat disertai dengan ulserasi

kornea, uveitis anterior, dan konjungtivitis purulen. Sinekia antara kelopak mata dan

konjungtiva (simblefaron) juga dapat ditemukan.

Gambar 5. Manifestasi klinis Sindroma Stevens-Johnson pada mata

13

BAB IV

PEMERIKSAAN PENUNJANG

4.1 Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik (selain biopsi) yang dapat menegakan

diagnosis pasti Sindroma Stevens-Johnson.

Pada pasien Sindroma Stevens-Johnson, biasanya terdapat peningkatan level serum berikut:

Tumor necrosis factor (TNF)-alpha

Soluble interleukin 2-receptor

Interleukin 6

C-reactive protein

Namun tidak ada satupun pemeriksaan serologik di atas yang digunakan secara rutin untuk

mendiagnosa dan menatalaksana Sindroma Stevens-Johnson.

Pada pemeriksaan darah lengkap dapat didapatkan jumlah leukosit yang normal

atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinan

adanya infeksi bakteri berat (superimposed). Pemeriksaan elektrolit dan pemeriksaan kimia

darah lainnya dapat dibutuhkan untuk menatalaksana sesuai dengan kondisi pasien.

Kultur kulit dan darah dapat dilakukan mengingat insidensi bakteriemia berat dan

sepsis yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Perlu pula

dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan pemeriksaan urin lengkap.

Biopsi kulit menunjukan bula terletak subepidermal. Walaupun begitu, biopsi kulit

bukanlah prosedur yang emergensi dilakukan. Dapat terlihat adanya nekrosis sel epidermal

pada biopsi, serta adanya area perivaskular yang diinfiltrasi oleh limfosit.

1.2 Pemeriksaan Radiologi

Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis.

Akan tetapi foto rontgen rutin biasanya tidak diindikasikan.

1.3 Pemeriksaan Histopatologi

14

Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologi rutin dan pemeriksaan imunofluorensi

harus dilakukan pada setiap kasus Sindroma Stevens-Johnson bila memungkinkan,

walaupun secara klinis diagnosanya sudah jelas, mengingat kemungkinan besar adanya

aksi hukum di kemudian hari dan pemeriksaan itu merupakan satu-satunya cara untuk

menyingkirkan diagnosa banding.

Pada stadium awal, gambaran epidermis menunjukkan gambaran apoptosis

keratinosit pada lapisan suprabasalis yang mana akan berubah dengan cepat menjadi

nekrolisis epidermal pada seluruh lapisan, serta terdapat sub-epidermal detachment.

Sebagian besar lapisan dermis pars papilaris ditemukan adanya limfosit dan makrofag yang

menunjukan adanya reaksi imunologis yang dimediasi oleh sel.

Gambaran histopatologik bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai

nekrolisis epidermal yang menyuluruh. Kelainannya berupa :

1) Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial.

2) Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler.

3) Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.

4) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.

5) Spongiosis dan edema intrasel epidermis.

Gambar 6. Gambaran Histopatologik pada kulit pasien Sindroma Stevens-Johnson

BAB V

15

DIAGNOSA SINDROMA STEVEN JOHNSON

Diagnosa Sindroma Stevens-Johnson sesuai dengan adanya trias kelainan kulit,

mukosa,dan mata, serta hubungannya dengan faktor penyebabnya. Secara klinis terdapat lesi

berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, mata, serta dapat disertai dengan

demam. Selain itu dapat didukung dengan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan

darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat

lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat

dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dapat pula terjadi

peningkatan eosinofil. Biopsi kulit dapat direncanakan bila lesi klasik tak ada.

Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus yang atipik.

Pasien dapat diklasifikasikan menjadi tiga grup berdasarkan luas area epidermis

yang mengelupas atau dapat dikelupas (tanda Nikolsky positif), yaitu:

1. Sindroma Stevens-Johnson; bila kurang dari 10% luas permukaan tubuh (BSA)

2. SJS/TEN overlap bila antara 10-30% luas permukaan tubuh

3. TEN (Toxic Epidermal Necrolysis) bila lebih dari 30% luas permukaan tubuh

Klasifikasi tersebut dipublikasikan oleh Basturi-Garin et al. pada tahun 1993

berdasarkan tipe lesi serta adanya bula dan erosi yang berhubungan dengan luas permukaan

tubuh (Body Surface Area /BSA).

Menentukan luasnya lesi cukup sulit, terutama bila lesinya berupa bercak-bercak.

Namun terdapat cara mudah yang dapat membantu untuk menentukan luasnya lesi dengan

menganggap telapak tangan pasien luasnya sama dengan 1% luas permukaan tubuh pasien.

16

Gambar 7. Pembagian Epidermal Necrolysis berdasarkan luasnya detached epidermis

17

BAB VI

DIAGNOSA BANDING SINDROMA STEVEN JOHNSON

Diagnosis banding Sindroma Stevens-Johnson dapat bervariasi terutama pada penyakit

yang memiliki manifestasi klinis yang mirip dan terdapat pengelupasan kulit pula. Pada stadium

awal penyakit ini, erupsi makulopapular yang disebabkan oleh obat atau virus harus

dipertimbangkan. Mereka juga dapat memiliki gejala lesi oral dan konjungtivitis, namun tidak

bersifat hemoragik dan erosif seperti pada Sindroma Stevens-Johnson.

Penyakit ini juga perlu dibedakan dengan Eritema Multiforme Majus (EMM). Lesi

target yang menimbul (raised) baik yang tipikal maupun atipikal merupakan lesi karakteristik

untuk EMM. Lesi ini kebanyakan muncul pada ekstremitas, namun kadangkala dapat pula

terdapat pada wajah dan tubuh, terutama pada anak-anak (Gambar 8).

Gambar 8. Gambaran lesi kulit pada Eritema Multiforme Majus

Sebaliknya, lesi target yang tersebar luas, seringkali berupa makula konfluens atau lesi

target atipikal datar yang dominan di tubuh merupakan gambaran lesi yang khas pada Sindroma

Stevens-Johnson. (Gambar 9)

Gambar 9. Gambaran lesi kulit pada Sindroma Stevens-Johnson

18

Gambar 10. Perbedaan Eritema Multiforme, Sindroma Stevens-Johnson dan Epidermal

Nekrolisis Toksik

19

Tabel 2. Perbedaan Eritema Multiforme dan Epidermal Necrolysis (SSJ/ENT)

20

BAB VII

PENATALAKSANAAN SINDROMA STEVEN JOHNSON

Sindroma Stevens-Johnson merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan

membutuhkan tatalaksana optimal, yaitu: deteksi dini, penghentian obat-obatan penyebab,

dan perawatan suportif di rumah sakit yang sesuai.

Perawatan pasien Sindroma Stevens-Johnson biasanya perlu dilakukan di ruangan

intensif atau pusat luka bakar. Secara prinsip, terapi simptomatis pada pasien dengan

Sindroma Stevens-Johnson sama dengan tatalaksana pada pasien dengan luka bakar luas.

A. Perawatan Suportif

Paramedis harus menyadari adanya kehilangan cairan yang banyak pada pasien

dengan Sindroma Stevens-Johnson dan perlu ditatalaksana seperti pasien luka bakar.

Kebanyakan pasien datang pada stadium awal dan menunjukan adanya gangguan

hemodinamik. Hal yang paling penting adalah dalam mendeteksi penyakit ini sedini

mungkin dan memulai penatalaksanaan sesegera mungkin.

Penghentian obat-obatan yang diduga menjadi penyebab merupakan hal yang

penting pula. Waktu penghentian obat berhubungan langsung dengan hasil terapi yang

diharapkan. Penyakit lain yang mendasari serta infeksi sekunder harus diidentifikasi dan

diobati.

Hal-hal yang harus mendapat perhatian ekstra dalam pengobatan pasien Sindroma

Stevens-Johnson adalah stabilisasi jalan napas dan hemodinamik, status cairan, perawatan

luka, dan mengontrol nyeri. Di IGD harus segera dilakukan terapi cairan yang adekuat

serta koreksi elektrolit. Secara garis besar terapi Sindroma Stevens-Johnson terbagi

menjadi terapi suportif dan terapi simptomatis, serta terdapat terapi spesifik seperti

pengginaan kortikosteroid, imunoglobulin, siklosporin dan plasmaferesis.

Lesi kulit diobati seperti luka bakar. Area kulit yang terkelupas harus ditutupi

dengan kompres NaCl 0.9% atau dengan cairan Burow.

21

Setelah hari kedua dirawat biasanya intake oral cairan melalui NGT dapat mulai

dilakukan sehingga cairan intravena dapat diturunkan secara perlahan-lahan hingga 2

minggu. Pemberian nutrisi parenteral sangat penting diberikan segera untuk

menggantikan kehilangan protein dan untuk membantu penyembuhan lesi kulit. Dapat

pula diberikan terapi insulin intravena karena adanya glikoregulasi yang terganggu.

Pasien perlu dirawat diruangan bersuhu 30-32oC untuk mengurangi kehilangan

kalori melalui kulit. Bila perlu dapat diberikan penghangat atau lampu inframerah untuk

membantu mengurangi kehilangan panas.

Dapat pula diberikan antasida untuk mengurangi insidens terjadinya perdarahan

lambung. Selain itu perlu dilakukan perawatan pulmoner berupa aerosol, aspirasi bronkial

dan terapi fisik untuk meningkatkan status respirasi.

a. Mengontrol Infeksi

Pasien dengan Sindroma Stevens-Johnson sangat memiliki risiko tinggi

untuk terjadinya infeksi. Klinisi yang merawat harus merawat dengan perlakuan

secara steril untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Kultur darah,

penggantian kateter, selang gastrik dan infus harus dilakukan secara teratur.

Karena ada hubungan antara Sindroma Stevens-Johnson dengan

sulfonamid, hindari penggunaan silver sulfadiazine yang seringkali digunakan

pada pasien luka bakar. Karena itu, gunakan antiseptik topikal lain misalnya

0,5% silver nitrat atau 0,05% klorheksidin untuk membersihkan bagian yang

terkena.

Pemberian antibiotik profilaksis sistemik tidak direkomendasikan

mengingat kemungkinan dapat menjadi agen penyebab. Antibiotik dapat

diindikasikan bila terdapat infeksi pada traktus urinarius atau lesi kulit yang

dapat menyebabkan terjadinya bakteremia.

Diagnosis sepsis sulit untuk dilakukan. Gejala awalnya biasanya adanya

peningkatan jumlah bakteri dalam kultur kulit, demam tinggi tiba-tiba serta

22

kondisi pasien yang makin memburuk. Bila hal ini terjadi, pemberian antibiotik

dapat dilakukan segera.

Pilihan antibiotik yang diberikan biasanya tergantung bakteri yang

terdapat pada kulit. Karena terganggunya farmakokinetik seperti pada pasien

luka bakar, pemberi dosis tinggi dapat diperlukan untuk mencapai level

terapeutik. Perlu dimonitor kadar dalam serumnya untuk menyesuaikan dengan

dosis.

b. Perawatan Kulit

Selain perawatan luka yang sudah dijelaskan sebelumnya, debridemant

luas pada epidermis yang non viabel yang diikuti dengan penutupan segera

dengan agen biologik direkomendasikan untuk dilakukan. Agen biologik yang

dapat digunakan untuk menutup luka misalnya:

Porcine cutaneous xenografts

Cryopreserved cutaneous allografts

Amnion-based skin substitutes

Collagen-based skin substitutes

Pilihan lain adalah dengan membiarkan epidermis yang belum terkelupas

tetap pada tempatnya dan diberikan penutupan dengan agen biologik pada kulit

yang terkelupas. Allotransplantasi kulit dapat mengurangi nyeri, mengurangi

kehilangan cairan, memperbaiki kontrol panas dan mengahambat infeksi bakteri.

Terapi hiperbarik juga dapat membantu pemulihan luka.

Perlu tidaknya dilakukan debridemant pada epidermis yang nekrosis

masih menjadi perdebatan para ahli. Beberapa ahli tidak menyarankan dilakukan

debridemant luas dan agresif karena nekrosis biasanya bersifat superfisial. Selain

itu epidermis tersebut malah dapat memacu proliferasi stem cells karena adanya

sitokin inflamasi.

23

c. Pengobatan Mata

Mata harus diperiksa setiap hari oleh dokter spesialis mata. Pemberian

tetes mata artifisial, tetes mata antibiotik dan vitamin A biasanya diberikan

setiap 2 jam pada fase akut dan pelepasan sinekia secara mekanik perlu

dilakukan bila ada indikasi. Mulut juga perlu dicuci beberapa kali sehari dengan

cairan antiseptik atau antifungal.

d. Pengobatan Mukosa Mulut

Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine

gargle untuk berkumur. Sedangkan untuk di bibir yang biasanya kelainannya

berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%,

sehingga memudahkan pasien untuk dapat makan dan minum.

e. Konsultasi

Kerjasama dan konsultasi antar dokter spesialis sangat penting dalam

penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pasien. Dokter spesialis kulit

merupakan pihak yang dapat menegakan diagnosis, baik dengan biopsi kulit

maupun tidak. Pada kasus yang sangat berat perlu melibatkan dokter spesialis

bedah plastik. Dokter spesialis penyakit dalam dan dokter spesialis mata juga

perlu dilibatkan dalam penanganan pasien.

B. Terapi spesifik

Karena berhubungan erat dengan proses imunologik dan mekanisme sitotoksik,

penggunaan imunosupresif dosis besar dan/atau terapi anti inflamasi perlu diberikan untuk

mencegah progresifisitas penyakit.

24

a. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa

penelitian menunjukan terapi ini dapat menghambat perluasan penyakit bila

diberikan pada fase awal penyakit. Penelitian lain menunjukan bahwa steroid

tidak menghambat progresifisitas penyakit dan diasosiasikan dengan

peningkatan mortalitas, efek samping dan sepsis.

Jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh cukup

diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya

buruk dan lesi menyeluruh harus diobati dengan segera. Dapat diberikan

deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.

Setelah masa kritis telah teratasi, dosisnya dapat diturunkan secara cepat, setiap

hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan

tablet kortikosteroid, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg

sehari; sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut

dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.

b. Imunoglobulin Intravena

Penggunaan imunoglobulin intravena didasarkan dari adanya kematian

sel yang dimediasi oleh Fas. Agen ini digunakan untuk meningkatkan kondisi

klinis pasien serta memperbaiki aspek imunologis pasien dengan menurunkan

produksi autoantibodi dan menghilangkan kompleks imun yang terlibat.

Namun terapi ini masih kontroversial dan jarang dilakukan secara rutin dan

penggunaanya harus dengan pengawasan ketat karena bersifat nefrotoksik.

c. Siklosporin A

Siklosporin merupakan agen imunosupresif yang berhubungan dengen

efek biologik yang berguna untuk terapi SSJ dengan mengaktifkan T helper 2,

menghambat mekanisme CD8+ sitotoksik dan bersifat anti apoptosis. Namun

masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat mengkonfirmasi

keuntungan dan adanya efek samping yang dapat terjadi.

25

d. Plasmaferesis atau hemodialisis

Penggunaan hemodialisis atau plasmaferesis didasarkan untuk

membuang obat-obatan yang kemungkinan menjadi pencetus, baik metabolit

obat tersebut, maupun mediator inflamasinya seperti sitokin-sitokin. Namun

masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat mengkonfirmasi

keuntungan dan adanya efek samping yang dapat terjadi.

26

BAB VIII

KOMPLIKASI

Selama fase akut, komplikasi yang paling sering terjadi adalah sepsis.

Kehilangan epitel pada pasien juga meningkatkan kemungkinanan adanya infeksi

bakteri maupun jamur yang merupakan penyebab utama kematian pada pasien. Dapat

pula terjadi dehidrasi yang dapat berakhir dengan kematian.

Kegagalan sistem multi organ dan komplikasi pulmoner dapat ditemukan pada

15-30% kasus. Komplikasi oftalmologis juga dapat ditemukan pada 20-75% pasien.

Komplikasi pada mata umumnya disebabkan karena terganggunya fungsi epitel

konjungtiva yang menyebabkan mata kering dan lakrimasi. Hal ini dapat menyebabkan

terjadinya inflamasi kronis, fibrosis, entropion, trikiasis dan simblefaron.

Pada kulit, hipopigmentasi dan/atau hiperpigmentasi seringkali ditemukan,

namun jarang berhubungan dengan bekas luka yang hipertrofi atau atrofi. Perubahan

pada kuku, baik pigmentasi, distrofi dan anonikia permanen dapat terjadi hingga

mencapai 50% kasus.

Komplikasi pada vulva atau vagina dapat pula terjadi. Biasanya disertai dengan

dispareunia, kekeringan vagina, gatal, dan nyeri. Dapat pula ditemukan striktur pada

esofagus, usus, bronkus, uretra dan anus, namun sangat jarang terjadi.

27

BAB IX

PROGNOSIS

Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi

sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele. Adanya sekuele serius

seperti gagal napas, gagal ginjal dan kebutaan menentukan prognosis pada sistem yang

terkena. Sampai dengan 15% dari seluruh pasien SSJ meninggal akibat keadaan umum

yang buruk. Bakteremia dan sepsis memainkan peranan penting sebagai penyebab utama

peningkatan mortalitas.

Untuk menilai prognosis pasien Sindroma Stevens-Johnson digunakan Skor

SCORTEN yang menilai banyak variabel dan menggunakannya untuk menentukan faktor

resiko kematian pada SSJ dan NET. Variabel tersebut adalah:

Tabel 3. SCORTEN untuk menilai prognosis pasien Sindroma Stevens-Johnson

28

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158.

Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition.

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

p:163-165.

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of

Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:

www.jipmer.edu

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita

Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.

Jakarta. 2004. hal 141-142.

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in

pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.

Parrilo, S. : Steven Johnson Syndrome In Emergency Medicine. Philadelphia University.

2010. Access on : May 15, 2011. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview.

29