referat interna miske - deteksi dini dm

41
REFERAT DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS Pembimbing dr. Syaifun Niam, Sp.PD Mahasiswa Miske Marsogi 406107023 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam 1

Upload: intan-soraya

Post on 18-Dec-2014

109 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

REFERAT

DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS

Pembimbing

dr. Syaifun Niam, Sp.PD

Mahasiswa

Miske Marsogi

406107023

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta

1

Page 2: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Periode 8 Oktober 2012-15 Desember 2012

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Miske Marsogi

NIM : 406107023

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Tarumanagara

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam

Periode Kepaniteraan Klinik : 08 Oktober 2012 – 15 Desember 2012

Judul referat : Deteksi Dini Diabetes Mellitus

Diajukan : Desember 2012

Pembimbing : dr. Syaifun Niam, Sp. PD

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL :

Mengetahui,

Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam Pembimbing,

BLU RSUD Kota Semarang,

Dr. Pujo Hendriyanto, Sp. PD Dr. Syaifun Niam, Sp. PD

2

Page 3: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan

rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Deteksi Dini Diabetes

Mellitus” guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Tarumanegara di BLU RSUD Kota Semarang periode 08

Oktober 2012 – 15 Desember 2012. Disamping itu, makalah ini bertujuan untuk menambah

pengetahuan bagi pembaca.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang

telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yaitu:

1. Dr. Susi Herawati, M.Kes selaku direktur RSUD Kota Semarang.

2. Dr. Pujo Hendriyanto, Sp. PD selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.

3. Dr. Syaifun Niam, Sp. PD selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD

Kota Semarang.

4. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota

Semarang.

Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat menjadi lebih baik. Penulis

mohon maaf apabila banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis

sendiri maupun pembaca umumnya.

Semarang, Desember 2012

Penulis

3

Page 4: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................................1

Lembar Pengesahan...............................................................................................................2

Kata Pengantar.......................................................................................................................3

Daftar Isi................................................................................................................................4

BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................................5

BAB II. DIABETES MELLITUS..........................................................................................6

II.1 DEFINISI ................................................................................................................6

II.2 KLASIFIKASI.........................................................................................................6

II.3 EPIDEMIOLOGI.....................................................................................................9

II.4 DIAGNOSA ...........................................................................................................11

II.5 SKRINING..............................................................................................................11

II.6 BIOSINTESIS, SEKRESI, AKSI INSULIN...........................................................12

II.7 PATOGENESIS......................................................................................................15

II.8 DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS..............................................................22

BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................................28

Daftar Pustaka........................................................................................................................29

4

Page 5: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kumpulan kelainan metabolik yang ditandai dengan adanya

fenotipe hiperglikemia. Patogenesis dasar yang menyebabkan DM antara lain adanya penurunan

sekresi insulin, resistensi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. ADA (American Diabetes

Association) dan WHO membuat suatu klasifikasi dimana terdapat 3 kelompok yaitu normal glucose

tolerance, IGT (impaired glucose tolerance) atau prediabetes dan DM. Seiring dengan meningkatnya

insidensi dari IGT dan DM, berbagai usaha untuk melakukan skrining dini dilakukan. Namun hal ini

dirasakan kurang maksimal karena seringkali pasien yang saat ini terdiagnosa DM sebenarnya sudah

mengalami fase IGT hingga 1 dekade sebelumnya, atau bahkan didiagnosa bersama-sama dengan

komplikasinya. Menyadari hal tersebut, dirasakan penting untuk memahami berbagai perubahan

metabolik, dan mengerti marker-marker yang ada untuk mendeteksi dini adanya IGT.

5

Page 6: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

BAB II

DIABETES MELLITUS

II.1 DEFINISI

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok kelainan metabolik yang disertai fenotipe

hiperglikemia. DM disebabkan oleh interaksi kompleks antara genetik dan faktor lingkungan. Secara

umum, faktor-faktor yang menyebabkan hiperglikemia pada DM antara lain: menurunnya sekresi

insulin, menurunnya penggunaan glukosa, dan meningkatnya produksi glukosa. DM menyebabkan

disregulasi metabolik yang mempengaruhi organ-organ tubuh. Di US, DM adalah penyebab utama

dari ESRD (End Stage Renal Disease), amputasi ekstremitas bawah non-traumatik, dan kebutaan pada

orang dewasa. DM juga merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit kardiovaskuler. Seiring

meningkatnya insiden DM, diyakini DM akan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di

masa depan. (1,2)

II.2 KLASIFIKASI

DM diklasifikasikan berdasarkan proses patogenesis. Dua kategori DM adalah DM tipe 1 dan 2. DM

tipe 1 disebabkan karena defisiensi insulin total atau nyaris total, sedangkan DM tipe 2 dipengaruhi

oleh faktor-faktor yang heterogen, namun ditandai dengan adannya penurunan sekresi insulin,

resistensi insulin, dan meningkatnya produksi glukosa. Kedua tipe DM ini diawali dengan fase

homeostasis abnormal glukosa, atau biasa disebut sebagai IFG (Impaired Fasting Glucose), atau IGT

(Impaired Glucose Tolerance). (1)

6

Page 7: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Gambar 1: Spektrum Diabetes Mellitus

Gambar 1 menunjukan spektrum DM, dimana tanda panah menunjukan arah dari progresifitas

penyakit. Tanda panah dengan arah bidirectional seperti pada DM tipe 2, menunjukan bahwa pasien

DM tipe 2 dapat kembali menjadi kategori IGT (Impaired Glucose Tolerance). Pada pasien dengan

DM gestasional dapat kembali menjadi kategori IGT maupun normal setelah melahirkan. Klasifikasi

dan nilai normal diatas diambil dari ADA (American Diabetes Association), 2007. Berdasarkan

WHO, nilai FPG (Fasting Plasma Glucose) yang dipakai adalah 110-125 mg/dL untuk kategori IGT.

Istilah “prediabetes” sama dengan istilah “intermediate hyperglycemia” (WHO) dan “increase risk

for diabetes” (ADA). (1,2,3)

Tabel 1 – Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologi

Etiologic Classification of Diabetes Mellitus

I. Type 1 diabetes (beta cell destruction, usually leading to absolute insulin deficiency)

a. Immune-mediated

b. Idiopathic

II. Type 2 diabetes (may range from predominantly insulin resistance with relative insulin

deficiency to a predominantly insuline secretory defect with insulin resistance)

III. Other spesific types of diabetes

a. Genetic defects of beta cell function characterized by mutations in:

i. Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α (MODY-1)

ii. Glucokinase (MODY-2)

7

Page 8: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

iii. HNF 1α (MODY-3)

iv. Insulin promoter factor (IPF-1) (MODY-4)

v. HNF-1β (MODY-5)

vi. NeuroD1 (MODY-6)

vii. Mitochondrial DNA

viii. Subunits of ATP-sensitive potassium channel

ix. Proinsulin or insulin

b. Genetic defects in insulin action:

i. Type A insulin resistance

ii. Leprechaunism

iii. Rabson-Medenhall syndrome

iv. Lipodystrophy syndrome

c. Diseases of exocrine pancreas – pancreatitis, pancreatectomy, neoplasia, cystic

fibrosis, hemochromatosis, fibrocalculous pancreatopathy, mutations in carboxyl

ester lipase

d. Endocrinopathies – acromegaly, Cushing’s syndrome, glucagonoma,

pheochromocytoma, hyperthyroidism, somatostatinoma, aldosteronoma

e. Drug or chemical induced – glucocorticoids, vacor (a rodenticide), pentamidine,

nicotinic acid, diazoxide, β-adrenergic agonists, thiazides, hydantoines, asparaginase,

α-interferon, protease inhibitor, antipsychotics (atypical & others), epinephrine

f. Infections – congenital rubella, cytomegalovirus, coxsackie virus

g. Uncommon forms of immune mediated diabetes – “stiff person” syndrome, anti-

insulin receptor antibodies

h. Other genetic syndromes sometimes associated with diabetes – Wolfram’s syndrome,

Down’s syndrome, Klinefelter’s syndrome, Turner’s syndrome, Friedreich’s ataxia,

Huntington’s chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic dystrophy,

porphyria, Prader-Willi syndrome

IV. Gestasional Diabetes Mellitus (GDM)

Klasifikasi yang membagi diabetes menjadi IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) dan

NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) sekarang sudah dianggap membingungkan;

karena banyak pasien DM tipe 2 yang membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah

mereka. Klasifikasi DM berdasarkan umur juga sudah tidak dijadikan panduan. Walaupun pasien DM

tipe 1 kebanyakan terjadi sebelum usia 30 tahun, proses destruksi autoimun terhadap sel beta pankreas

tersebut sebenarnya dapat terjadi pada umur berapapun. Diperkirakan 5-10% pasien yang mengalami

8

Page 9: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

DM diatas 30 tahun adalah DM tipe 1. Walaupun insiden DM tipe 2 meningkat seiring bertambahnya

umur, namun sekarang sudah banyak DM tipe 2 yang terdiagnosis pada usia anak-anak dan dewasa

muda, terutama anak-anak dengan obesitas. (1,2,4)

Etiologi lain dari DM mencakup defek genetik spesifik pada proses sekresi dan kerja insulin, kelainan

metabolik yang mempengaruhi sekresi insulin, abnormalitas mitokondria, dan lainnya. MODY

(Maturity Onset Diabetes of the Young) adalah salah satu subtipe DM yang dikarakteristikan dengan

sifat autosomal dominan yang diturunkan, onset awal hiperglikemia (biasanya < 25 tahun), dan

gangguan pada sekresi insulin. Mutasi pada reseptor insulin merupakan penyebab yang sangat jarang

dan dikaitkan dengan resistensi insulin yang parah. (1)

DM juga dapat disebabkan karena kelainan pankreas yang terjadi ketika hampir seluruh bagian

pankreas hancur. Hormon yang mempunyai sifat antagonis terhadap insulin juga dapat menyebabkan

DM, hal ini yang mendasari terjadinya DM pada pasien-pasien dengan endokrinopati seperti

akromegali, Cushing’s syndrome. Infeksi virus pernah disebutkan dapat menyebabkan destruksi

pankreas namun angka kejadianya sangat amat jarang. Fulminant Diabetes adalah bentuk akut DM

tipe 1 yang pernah dilaporkan terjadi di Jepang, yang dikaitkan dengan infeksi virus pada islet

pankreas. (1)

Intoleransi glukosa yang terjadi pada masa kehamilan disebut sebagai diabetes gestasional. Perubahan

metabolik pada akhir masa kehamilan menyebabkan resistensi insulin yang dapat berakhir sebagai

IGT maupun diabetes. Diabetes gestasional terjadi pada 7% (2-10%) wanita hamil di US. Mayoritas

wanita yang mengalami diabetes gestasional akan kembali normal setelah melahirkan, namun

mempunyai risiko 35-60% untuk mengalami DM 10-20 tahun kedepan. International Diabetes and

Pregnancy Study Groups merekomendasikan untuk memakai istilah “Overt diabetes” dibanding

istilah diabetes gestasional, untuk wanita hamil yang diketahui mengalami diabetes pada kunjungan

perinatalnya. (1)

II.3 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi DM didunia meningkat sangat dramatis; diperkirakan terdapat 30 juta kasus pada tahun

1985, meningkat hingga 285 juta kasus pada tahun 2010. International Diabetes Federation

memperkirakan pada tahun 2030 angka kejadian DM akan mencapai 483 juta. Prevalensi DM

meningkat baik pada DM tipe 1 dan 2, namun prevalensi DM tipe 2 meningkat jauh lebih cepat, hal

ini mungkin disebabkan karena DM tipe 2 dipengaruhi berbagai faktor seperti obesitas, penurunan

tingkat aktivitas seiring dengan modernisasi negara-negara, dan penuaan. Pada tahun 2010 prevalensi

diabetes mencapai 11,6 – 30,9% pada 10 negara dengan proporsi prevalensi terbanyak (Naurua,

United Arab Emigrates, Saudi Mauritius, Bahrain, Reunion, Kuwait, Oman, Tonga, Malaysia). Data

9

Page 10: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

dari CDC (Centers of Disease Control and Prevention) 2010 menyebutkan di US, angka kejadian DM

mencapai 25,8 juta orang (8,3%). Angka kejadian DM meningkat seiring dengan penuaan. 0,2% DM

terdiagnosa pada usia < 20 tahun, 11,3% pada usia > 20 tahun, 26,9% pada usia > 65 tahun.

Prevalensi tidak terlalu berbeda antara pria dan wanita. Pada tahun 2030 diperkirakan angka kejadian

DM terbanyak pada usia 45 – 64 tahun. (1,2)

Gambar 2: Epidemiologi DM

Insiden DM tipe 1 dan 2 dipengaruhi oleh variasi geografik. DM tipe 1 terbanyak pada area

Scandinavia (insiden 57,4/100.000/tahun) diikuti area Pasifik (Jepang & China 0,6 – 2,4

/100.000/tahun), Eropa Utara dan Amerika (8-20/100.000/tahun). Insiden DM dipengaruhi oleh

adanya alel HLA (Human Leukocyte Antigen) risiko tinggi pada orang-orang di geografik dan etnis

tertentu. Prevalensi DM tipe 2 dipengaruhi faktor genetik, perilaku dan lingkungan. Prevalensi DM

juga dapat berbeda untuk setiap etnis pada negara / area yang sama. Di US, CDC memperkirakan

insiden DM pada usia > 20 tahun antara lain 7,1% pada etnis non-hispanic whites, 7,5% asian-

americans, 11,8% hispanics, 12,6% non-hispanic blacks. Di Asia, prevalensi diabetes meningkat

dengan cepat, dan mempunyai fenotipe yang berbeda dengan diabetes pada orang-orang US dan

Eropa, yaitu onset pada usia lebih muda, dan IMT lebih rendah, penumpukan jaringan adiposa viseral

lebih besar, dan kemampuan sekresi insulin yang lebih rendah. (1,2)

Diabetes penyebab mayoritas kematian, namun beberapa studi membuktikan bahwa diabetes

seringkali tidak dilaporkan sebagai penyebab kematian. Berdasarkan data yang ada, diabetes

merupakan penyebab nomor 7 kematian terbanyak di US, nomor 5 penyebab kematian di seluruh

dunia, dan penyebab 4 juta kematian pada tahun 2010 diseluruh dunia (6,8%) (2011). (2)

10

Page 11: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

II.4 DIAGNOSIS

Toleransi glukosa dibagi menjadi 3 kategori: homeostasis glukosa normal, homeostasis glukosa

terganggu / IGT (impaired glucose tolerance), dan diabetes mellitus. Hal tersebut dapat dinilai dari

hasil pemeriksaan glukosa puasa / FPG (fasting plasma glucose), OGTT (oral glucose tolerance test),

dan HbA1c (hemoglobin A1C). Kriteria ditabel dibawah ini merupakan kriteria tahun 2011, yang

dibuat dan disetujui oleh ADA (American Diabetes Association), European Association for The Study

of Diabetes, International Diabetes Federation. Kriteria ini menekankan bahwa nilai glukosa puasa

dan A1c merupakan yang paling dapat diandalkan dan paling baik untuk mengidentifikasi DM pada

pasien asimptomatik. OGTT merupakan tes yang tidak kalah valid, namun tidak digunakan secara

rutin. Apabila hasil pemeriksaan meragukan, dianjurkan untuk diulang kembali, mengingat diagnosa

DM akan mempengaruhi individu tersebut baik secara finansial dan kesehatan. (1,4)

Tabel 2: Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus (2011)

II.5 SKRINING

Pemeriksaan glukosa darah puasa dan HbA1c direkomendasikan untuk skrining mengingat banyak

individu yang memenuhi kriteria DM namun masih asimptomatik. Skrining diperlukan karena secara

epidemiologik banyak individu yang ketika didiagnosa DM sudah disertai dengan minimal satu

komplikasi DM, dan apabila terapi dapat dilakukan lebih awal, akan mempengaruhi perjalanan

penyakit DM. ADA 2011 memberikan rekomendasi untuk melakukan skrining pada individu dengan: (1)

Usia > 45 tahun dilakukan skrining berkala setiap 3 tahun, atau

Usia < 45 tahun dilakukan skrining jika termasuk overweight (IMT > 25 kg/m2) dan terdapat

minimal satu faktor risiko diabetes (lihat tabel)

11

Page 12: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Tabel 3: Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2

Berbeda dengan DM tipe 2, DM tipe 1 jarang bersifat asimptomatik dalam jangka waktu yang lama.

Sekarang sudah banyak dikembangkan immunologic marker untuk mendeteksi DM tipe 1, namun

belum digunakan secara rutin. (1,2)

II.6 BIOSINTESIS, SEKRESI DAN AKSI INSULIN

Biosintesis Insulin (1,3)

Insulin diproduksi oleh sel β islet pankreas. Awalnya terjadi sintesis single chain 86 amino acid

precursor polypeptide atau preproinsulin. Preproinsulin mengalami proses proteolisis yang

membuang rantai amino di peptida terminalnya dan mengubah preproinsulin menjadi proinsulin.

Struktur proinsulin mirip dengan insulin like growth factor I, II, dan dapat berikatan lemah dengan

reseptor insulin. Pemotongan 31 fragmen residu internal, mengubah proinsulin menjadi C-peptide dan

rantai disulfida yang terdiri dari rantai insulin A (21 asam amino) dan B (30 asam amino). C-peptide

dan molekul insulin disimpan dalam granul sekretorik yang sama pada sel β dan sama-sama

disekresikan.

C-peptide mempunyai waktu paruh / waktu clearance lebih panjang daripada insulin, sehingga dapat

digunakan sebagai marker untuk mengevaluasi produksi insulin endogen. Sel β juga mensekresi IAPP

(islet amyloid polypeptide) atau amyln, bersama-sama dengan insulin. Peran dari IAPP ini belum

diketahui sempurna, namun IAPP adalah komponen fibril amiloid yang ditemukan pada islet pankreas

pada pasien DM tipe 2. Analog dari IAPP pernah dicoba digunakan untuk terapi pasien DM tipe 1 dan

2.

12

Page 13: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Sekresi Insulin (1,3)

Glukosa merupakan faktor utama yang mempengaruhi sekresi insulin oleh sel β pankreas, walaupun

asam amino, benda keton, nutrisi-nutrisi lain, peptida saluran pencernaan, dan neurotransmiter juga

mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70mg/dL) memicu sintesis insulin,

terutama meningkatkan proses translasi protein.

Proses awal dimulai dari glukosa yang dibawa ke masuk ke sel β melalui transporter glukosa (GLUT1

pada manusia, GLUT2 pada hewan pengerat). Glukosa yang sudah masuk ini akan mengalami

fosforilasi oleh enzim glukokinase menjadi glukosa – 6 – fosfat yang lalu akan mengalami proses

glikolisis dan pada akhirnya akan terbentuk ATP. ATP ini akan mempengaruhi ATP-sensitive-K+-

Channel. Channel ini mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai tempat mengikat OHO tertentu (contoh:

sulfonilurea, meglitinid) (reseptor SUR), fungsi kedua sebagai tempat masuknya ion K. Inhibisi dari

channel ini akan mempermudah dan menginduksi depolarisasi, menyebabkan gerbang kalsium

terbuka, dan akhirnya kalsium masuk ke dalam sel. Kalsium yang masuk selanjutnya akan

menginduksi produksi insulin. Pelepasan insulin mempunyai 2 pola, pola pertama adalah pelepasan

dalam jumlah kecil setiap 10 menit, sedangkan pola kedua pelepasan dalam jumlah lebih besar setiap

80-150 menit.

Inkretin dihasilkan oleh sel neuroendokrin di saluran pencernaan setelah terjadi ingesti makanan.

Inkretin akan meningkatkan produksi insulin dan menekan glukagon. GLP-1 (glucagon like peptide

1), adalah bentuk inkretin paling poten, dilepaskan oleh sel L pada usus halus, memicu produksi

insulin ketika kadar glukosa melebihi kadar glukosa puasa. Analog inkretin digunakan untuk

meningkatkan produksi insulin endogen.

13

Page 14: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Gambar 3: Mekanisme Sekresi Insulin

Aksi Insulin (1,3)

Setelah insulin disekresikan ke sistem vena porta, hampir 50% nya mengalami degradasi oleh liver.

Insulin yang tersisa akan berikatan dengan reseptor pada sel target. Insulin yang sudah berikatan

dengan reseptor akan mengaktifkan aktivitas intrinsik tyrosin kinase, menyebabkan autofosforilasi

reseptor dan proses recruitment molekul-molekul sinyal intrinsik lainnya seperti IRS (insulin receptor

substrate).

IRS dan molekul-molekul lain akan mengaktifkan sejumlah proses fosforilasi dan defosforilasi yang

berakhir pada efek mitogenik dan metabolik insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari PI-3-kinase

(phosphatidylinositol – 3 – kinase) merangsang translokasi transporter glukosa (contoh: GLUT-4) ke

permukaan membran sel; yang merupakan proses penting agar otot skelet dan sel lemak dapat

mengambil glukosa. Aktivasi dari sinyal reseptor insulin lain juga menginduksi sintesis glikogen,

protein, lipogenesis, dan regulasi gen-gen lain.

Gambar 4: Transduksi Sinyal Insulin Pada Otot Skelet

Homeostasis glukosa yang baik merupakan keseimbangan antara produksi glukosa hati dengan

pengambilan glukosa perifer. Insulin dan hormon lain seperti glukagon mengatur keseimbangan

tersebut. Pada fase puasa, kadar insulin rendah, dan proses untuk meningkatkan glukosa darah terjadi,

seperti peningkatan glukoneogenesis, glikogenolisis, penurunan pengambilan glukosa oleh jaringan

sensitif insulin (otot skelet dan lemak), peningkatan lipolisis dan asam amino. Glukagon, yang

diproduksi oleh sel α pankreas, berperan dengan memicu glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh

liver dan medulla ginjal ketika kadar glukosa rendah. Postprandial, kadar glukosa yang meninggi akan

memicu hormon insulin. Insulin adalah hormon anabolik yang memicu penyimpanan karbohidrat,

14

Page 15: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

lemak, dan sintesis protein. Kebanyakan glukosa postprandial akan dipakai oleh otot skelet. Jaringan

lain seperti otak, memakai glukosa tanpa bantuan insulin.

II.7 PATOGENESIS

DM Tipe 1 (1,2)

DM tipe 1 merupakan hasil interaksi dari faktor genetik, lingkungan, dan immunologik yang berakibat

terjadinya destruksi sel β pankreas dan defisiensi insulin. DM tipe 1 disebabkan oleh destruksi sel β

secara autoimun, dan kebanyakan pasien DM tipe 1 terbukti terdapat proses autoimun tersebut.

Beberapa individu dengan DM tipe 1 tidak ditemukan atau sulit ditemukan marker immunologik dan

genetiknya. Hal ini menyebabkan hipotesis baru, bahwa DM tipe 1 tidak hanya disebabkan oleh

proses autoimun, namun beberapa disebabkan oleh proses idiopatik, dan rentan ketosis, kebanyakan

dialami oleh keturunan Afrika-Amerika atau Asia.

Gambar 5: Bagan Terjadinya DM Tipe 1

Proses terjadinya DM tipe 1 diawali oleh individu-individu yang sejak lahir sudah mempunyai faktor

predisposisi genetik. Individu tersebut ketika lahir masih mempunyai jumlah dan fungsi sel β yang

normal. Proses autoimun dipicu beberapa faktor seperti infeksi, dan faktor lingkungan lainnya. Proses

destruksi autoimun ini kira-kira membutuhkan waktu berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk

menyebabkan gangguan toleransi glukosa hingga akhirnya menjadi diabetes. Waktu untuk terjadinya

diabetes bervariasi setiap individu, dan terjadi ketika pankreas sudah mengalami destruksi 70-80%.

15

Page 16: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Marker imunologik biasanya baru dapat terdeteksi ketika proses destruksi sudah terjadi. 1-2 tahun

pertama setelah onset diabetes, individu tersebut dapat mengalami honeymoon phase dimana glukosa

darah dapat dikontrol dengan hanya sedikit bantuan insulin atau tanpa insulin sama sekali. Pada fase

ini produksi endogen insulin dari sel β yang tersisa meningkat. Namun seiring dengan proses

destruksi yang lebih lanjut pada sel β menghancurkan sel yang tersisa, fase ini akan menghilang dan

individu akan kembali mengalami defisiensi insulin. Beberapa pasien dengan DM tipe 1 jangka

panjang, terkadang masih dapat dideteksi C-peptide nya.

Genetik

Predisposisi untuk terjadinya DM tipe 1 melibatkan banyak gen. Insiden terjadinya DM tipe 1 pada

kembar identik adalah 40-60% yang menunjukan bahwa tidak hanya faktor gen yang berpengaruh

untuk terjadinya DM tipe 1. Gen yang dipercaya berpengaruh paling besar adalah regio HLA pada

kromosom 6. Regio ini mengkode molekul MHC (major histocompatbility complex) II, yang bertugas

untuk mempresentasikan antigen ke sel T helper yang tentunya akan berpengaruh dalam proses imun.

Kemampuan molekul MHC II untuk mempresentasikan antigen ini berkaitan dengan molekul asam

amino pada reseptor tempat pengikatan antigennya. Adanya kelainan pada faktor gen mungkin

berpengaruh pada susunan asam amino tersebut.

Kebanyakan pasien DM tipe 1 mempunyai variasi pada haplotipe HLA DR3 dan atau DR4. Haplotipe

DQA1*0301, DQB1*0302, dan DQB1*0201 paling sering dikaitkan dengan DM tipe 1. Haplotipe

tersebut ada pada 40% anak dengan DM tipe 1, dibandingkan dengan 2% anak normal. Namun

banyak juga anak yang mempunyai haplotipe tersebut tidak mengalami DM tipe 1.

Selain molekul MHC II banyak lokus lain yang dikaitkan dengan terjadinya DM tipe 1, misalnya gen

CTLA-4, interleukin-2 receptor, PTPN22, dan lainnya. Gen yang dipercaya memberikan efek

protektif juga ada, seperti haplotipe DQA1*0102, DQB1*0602, dimana gen-gen ini sangat jarang

(<1%) ditemukan pada individu dengan DM tipe 1.

Walaupun risiko DM tipe 1 meningkat 10x lipat pada individu yang mempunyai keluarga DM tipe 1,

kemungkinan terjadinya penyakit ini sendiri relatif rendah yaitu 3-4% pada individu dengan orangtua

DM tipe 1, 5-15% pada individu dengan saudara DM tipe 1. Sehingga kebanyakan kejadian DM tipe

1 tidak langsung menurun pada first degree relative mereka.

Patofisiologi

Sel-sel pankreas seperti sel α (penghasil hormon glukagon), sel δ (penghasil somatostatin), sel PP

(penghasil polypeptida pankreas) secara fungsi dan embriologi mempunyai struktur protein yang

mirip dengan sel β, namun yang menjadi pertanyaan besar adalah pada proses destruksi yang terjadi

16

Page 17: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

pada DM tipe 1, sel-sel pankreas selain sel β tersebut tidak mengalami proses destruksi. Secara

patologik, islet pankreas diinfiltrasi oleh sel limfosit, dimana keadaan ini disebut insulitis. Setelah

semua sel β hancur, proses inflamasi akan menurun, islet pankreas akan atrofi, dan marker

immunologik akan berangsur menghilang. Hasil studi pada manusia dan hewan percobaan

menunjukan beberapa perubahan patologik berikut:

Adanya autoantibodi terhadap islet pankreas dan pelepasan sitokin

Adanya limfosit yang teraktivasi di islet, limfonodus peripankreas, dan sirkulasi sistemik

Limfosit T berproliferasi setelah mengalami paparan terhadap protein islet

Sel β lebih rentan terhadap sitokin yang ada seperti TNF-α, interferon γ, interleukin-1. Kerusakan

juga disebabkan karena NO (nitric oxide), apoptosis, dan sitotoksik sel T CD8. Kerusakan yang paling

besar disebabkan karena sel T CD8 daripada autoantibodi, hal ini diketahui setelah paparan protein

islet, dimana proses autoantibodi tidak langsung terjadi. Upaya untuk menekan proses autoimun pada

saat diagnosa diabetes ditegakan telah dicoba dilakukan dan berhasil sedikit menurunkan kecepatan

destruksi sel β, namun tingkat keamanan dari upaya tersebut belum diketahui.

Molekul-molekul pankreas yang menjadi target dari autoantibodi antara lain: insulin, GAD (glutamic

acid decarboxylase) (enzim untuk neurotransmitter GABA), ICA-512/IA-2 (homolog tyrosin kinase),

ZnT-8 (transporter zinc khusus sel β). Dapat dilihat bahwa kebanyakan autoantigen tidak bersifat

spesifik sel β, dan kembali menjadi pertanyaan kenapa destruksi sel β bisa terjadi secara selektif.

Teori terkini mengatakan bahwa proses destruksi diawali oleh destruksi salah satu molekul yang ada

pada sel β, dimana destruksi tersebut dapat “meluas” ke molekul sel β yang didekatnya dan memicu

autoantigen yang baru. Sel β pada individu DM tipe 1 tidak berbeda dengan orang normal, hal ini

diketahui dengan tes, dimana sel β normal dari kembar identik ditransplantasikan ke saudara

kembarnya yang DM tipe 1, dan tetap mengalami destruksi setelahnya.

Marker Imunologik

Autoantibodi sel islet (ICA – islet cell autoantibodies) yang terdiri dari autoantibodi terhadap GAD,

ICA-512/IA-2, ZnT-8 merupakan autoantibodi yang dapat dideteksi untuk membuktikan adanya

proses autoimun pada pasien DM tipe 1. Pemeriksaan assay untuk deteksi autoantibodi GAD-65

sudah tersedia secara komersial. Autoantibodi ICA ini ada pada >85% pasien DM tipe 1, 5-10% DM

tipe 2, <5% DM gestasional, 3-4% first degree relative dari pasien DM tipe 1. Hasil yang positif

ditambah dengan hasil pemeriksaan glukosa yang menunjukan adanya IGT, dapat memprediksi

kemungkinan > 50% seseorang untuk menderita DM tipe 1 dalam 5 tahun kedepan. Pemeriksaan ICA

ini biasanya tidak dilakukan untuk skrining pencegahan kecuali untuk tujuan penelitian. Hal ini

17

Page 18: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

dikarenakan belum ada terapi yang dianjurkan dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya DM

tipe 1.

Faktor Lingkungan

Berbagai faktor lingkungan telah disebutkan dan dikaitkan sebagai faktor pemicu DM tipe 1, namun

belum satu pun yang dinyatakan pasti sebagai pemicunya. Identifikasi faktor lingkungan sangat sulit

dan hampir tidak bisa dijadikan pencegahan pasti karena pemicu tersebut dapat terjadi beberapa tahun

sebelum onset DM tipe 1. Beberapa kemungkinan faktor pemicu lingkungan antara lain: virus

(coxsackie, rubella, enterovirus), protein susu bovine, komponen nitrosourea.

Pencegahan DM Tipe 1

Banyak intervensi yang sedang diuji dan dicoba untuk mencegah DM tipe 1. Kebanyakan intervensi

mencoba untuk mencegah proses imun yang ada (immunosupresi, selective T cell subset deletion,

induksi toleransi imun terhadap protein islet), atau mencegah kematian sel islet dengan memblok

kerja sitokin, atau meningkatkan resistensi islet terhadap proses imun. Hasil dari percobaan terhadap

hewan cukup menjanjikan, namun belum pernah sukses pada manusia. The Diabetes Prevention Trial

menunjukan bahwa pemberian insulin kepada individu dengan risiko DM tipe 1 tidak akan

memberikan efek protektif. Pasien dengan onset awal DM tipe 1 yang diberi terapi anti CD-3

monoklonal antibodi, vaksin GAD, anti limfosit B monoklonal antibodi telah menunjukan dapat

menurunkan kadar C-peptide. Semua ini masih dalam penyelidikan hingga sekarang.

DM Tipe 2 (1,2,4)

Resistensi insulin dan gangguan produksi insulin merupakan patofisiologi utama dari terjadinya DM

tipe 2. Walaupun kerusakan paling utama belum diketahui, namun banyak peneliti setuju bahwa

resistensi insulin terjadi lebih dahulu, namun diabetes akhirnya terjadi ketika produksi insulin sudah

tidak adekuat. Patofisiologi DM tipe 2 dapat berbeda bergantung etnis individu. Patofisiologi dibawah

ini berdasarkan hasil studi terhadap orang-orang Eropa. Pada kelompok ini, DM yang bersifat resisten

ketosis biasanya kurus, sedangkan yang rentan ketosis biasanya obesitas.

Genetik

DM tipe 2 mempunyai keterkaitan genetik yang kuat. Pada kembar identik angka kejadian DM tipe 2

untuk dialami bersama adalah 70-90%. Pasien yang mempunyai orangtua DM memiliki risiko untuk

mengalami DM tipe 2 juga hingga sebesar 40%. First degree relative telah dibuktikan mengalami

resistensi insulin yang ditandai dengan penurunan pemakaian glukosa pada jaringan sensitif insulin

dengan derajat yang bervariasi. Penyakit ini sangat bersifat poligenik, dan multifaktorial, dipengaruhi

tidak hanya genetik namun juga faktor lingkungan (obesitas, tingkat aktivitas, nutrisi). Gen-gen yang

18

Page 19: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

berpengaruh sangat banyak namun diperkirakan baru < 10% yang dapat diidentifikasi, antara lain: gen

yang mengkode peroxisome proliferators activated receptor γ, inward rectifying potassium channel,

transporter zinc, IRS, dan calpain 10. Mekanisme bagaimana gen-gen ini menjadi faktor predisposisi

DM tipe 2 belum jelas, diperkirakan mempengaruhi produksi insulin. Mengingat area genetik DM tipe

2 masih dalam investigasi, hingga kini belum memungkinkan untuk menggunakan faktor genetik

untuk mendeteksi DM tipe 2.

Patofisiologi

DM tipe 2 dikarakteristikan dengan terganggunya sekresi insulin, resistensi insulin, peningkatan

produksi glukosa oleh hepar, dan metabolisme lemak terganggu. Obesitas, terutama obesitas sentral

atau viseral (dilihat dari hip to waist ratio) sangat sering dijumpai pada DM tipe 2 (80%). Pada fase

awal DM tipe 2, toleransi glukosa masih normal walaupun resistensi insulin sudah mulai muncul, hal

ini karena produksi insulin juga meningkat untuk mengkompensasinya. Seiring dengan peningkatan

resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik meningkat, akhirnya insulin tidak dapat

memenuhi kebutuhannya dan terjadilah IGT, dimana terjadi peningkatan glukosa postprandial.

Peningkatan resistensi lebih lanjut, produksi insulin yang tidak adekuat (terlebih lagi individu tidak

dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia terus menerus), peningkatan produksi glukosa oleh

hepar; semua ini akhirnya menyebabkan diabetes, ditandai dengan hiperglikemia puasa. Kegagalan

dari sel β terus memburuk.

Gambar 6: Patofisiologi DM Tipe 2

Kelainan Metabolik

Gangguan Metabolik Lemak dan Otot

19

Page 20: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Resistensi insulin, menurunnya kemampuan insulin untuk bekerja efektif pada jaringan target (otot,

lemak, hati), merupakan fitur penting pada DM tipe 2, dan merupakan hasil dari faktor genetik dan

obesitas. Resistensi insulin akan menurunkan kemampuan jaringan target untuk memakai glukosa,

dan meningkatkan produksi glukosa hepar, keduanya akan menyebabkan hiperglikemia. Peningkatan

produksi glukosa hepar akan menyebabkan gangguan glukosa puasa, sedangkan penurunan

pemakaian glukosa oleh jaringan target menyebabkan gangguan glukosa postprandial. Metabolisme

glukosa pada jaringan yang tidak bergantung insulin tidak terganggu.

Mekanisme molekuler dibalik resistensi insulin belum diketahui sempurna. Jumlah reseptor insulin

dan aktivitas tyrosin kinase di otot menurun, namun perubahan ini sebenarnya adalah efek sekunder

dari hiperinsulinemia, bukan primer. Diperkirakan letak abnormalitas bersifat post-reseptor, yaitu di

proses fosforilasi-defosforilasi oleh insulin. Contoh: defek pada sistem sinyal PI-3 kinase akan

menurunkan translokasi GLUT4 ke membran. Akumulasi lemak pada myosit akan mengganggu

fungsi mitokondria untuk fosforilasi oksidasi dan menurunkan produksi ATP yang dipicu oleh insulin.

Akumulasi lemak ini juga akan memicu produksi ROS (reactive oxygen species). Tidak semua

transduksi sinyal insulin terganggu, contohnya sinyal yang mengurus bagian pertumbuhan sel, efek

mitogenik dan diferensiasi. Akibatnya hiperinsulinemia menyebabkan fungsi-fungsi tersebut

meningkat dan faktor risiko terjadinya atherosklerosis akibat DM.

Terganggunya Sekresi Insulin

Sekresi dan resistensi insulin saling berhubungan. Pada DM tipe 2 awalnya produksi insulin

meningkat sebagai kompensasi resistensi insulin. Fase awal terganggunya sekresi insulin ditandai

dengan penurunan sekresi insulin terutama yang dipicu oleh glukosa, namun sekresi insulin yang

dipicu komponen lain seperti arginin tidak terganggu. Diperkirakan terjadipula gangguan dalam

proses biosintesis proinsulin, dimana ditemukan peningkatan produksi proinsulin pada DM tipe 2.

Seiring dengan progresifitas, sekresi insulin menjadi inadekuat.

Alasan pasti mengapa terjadi penurunan kapasitas produksi tersebut tidak diketahui. Diprediksi

adanya gen predisposisi yang mengatur sekresi tersebut pada individu DM tipe 2 yang menyertai

resistensi insulin dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan sel β. Sel β menurun hingga 50% pada

pasien DM tipe 2 kronis. Amylin dikeluarkan bersama-sama dengan insulin oleh sel β dan

membentuk timbunan fibril amiloid di islet individu dengan DM tipe 2 kronis. Keadaan metabolik

pada pasien DM itu sendiri juga dapat mempengaruhi produksi insulin. Hiperglikemia kronis dapat

merusak islet, peningkatan asam lemak juga bersifat lipotoksik. Penurunan kadar glukosa dan lemak

dapat mengurangi kerusakan tersebut.

Peningkatan Produksi Glukosa Hepar

20

Page 21: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Pada DM tipe 2, ketika resistensi insulin sudah tidak bisa dikompensasi efektif dengan

hiperinsulinemia, akan terjadi peningkatan produksi glukosa oleh hepar. Hal ini akan menyebabkan

hiperglikemia puasa. Resistensi insulin pada jaringan adiposa akan meningkatkan lipolisis dan kadar

asam lemak. Hal ini menyebabkan peningkatan VLDL, LDL, trigliserida, LFT (liver function test),

dan menurunnya HDL.

Sindrom Resistensi Insulin

Sindrom metabolik, atau sindrom resistensi insulin, atau sindrom x adalah istilah untuk serangkaian

gangguan metabolik yang mencakup resistensi insulin, hipertensi, dislipidemia (HDL menurun,

trigliserid meningkat), obesitas sentral atau viseral, DM tipe 2 atau IGT, meningkatnya risiko penyakit

kardiovaskuler.

Terdapat beberapa penyebab jarang yang dapat menyebabkan resistensi insulin. Akanthosis nigricans

dan hiperandrogenism (hirsutisme, akne, oligomenorrea) merupakan tanda yang sering ditemukan.

Terdapat 2 klasifikasi sindrom resistensi insulin pada dewasa:

Kelompok A: biasanya pada wanita muda, dikarakteristikan dengan hiperinsulinemia berat,

tanda hiperandrogenism, dan obesitas

Kelompok B: biasanya pada wanita paruh baya, dikarakteristikan dengan hiperinsulinemia

berat, tanda hiperandrogenism, dan penyakit autoimun

Kelompok A disebabkan karena gangguan pada sinyal insulin yang masih ditelusuri, sedangkan pada

kelompok B disebabkan karena autoantibodi. Autoantibodi dapat menghancurkan reseptor insulin atau

memblok ikatan reseptor insulin.

PCOS (polycystic ovary syndrome) adalah kelainan yang ditemukan pada wanita pre menopause,

ditandai dengan anovulasi kronis dan hiperandrogenism. Resistensi insulin banyak ditemukan pada

PCOS dan meningkatkan risiko DM tipe 2.

Pencegahan

DPP (Diabetes Prevention Program) menunjukan bahwa perubahan pola hidup (olahraga 5x/minggu

@ 30 menit) pada individu IGT dapat mencegah atau memperlambat terjadinya DM hingga 58%

dibandingkan dengan plasebo. Obat-obatan contoh metformin dapat memperlambat terjadinya DM

hingga 31% namun tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin dan masih kontroversial. ADA masih

mempertimbangkan penggunaan metformin untuk individu IGT dengan kemungkinan progresifitas

sangat tinggi untuk menjadi diabetes (umur < 60 tahun, BMI >= 35, riwayat keluarga (+), trigliserida

tinggi, HDL rendah, hipertensi, A1c >6%). Individu yang mempunyai riwayat keluarga DM, atau

21

Page 22: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

sudah dalam fase IGT dianjurkan untuk menjaga IMT normal dan menjalankan aktivitas olahraga

teratur, serta dipantau berkala.

II. 8 DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS

Beberapa penelitian berusaha menghubungkan berbagai marker untuk dapat memprediksi terjadinya

diabetes mellitus lebih awal.

Adiponectin dan Diabetes Mellitus (5)

Adiponectin adalah suatu zat insulin sensitizer yang berasal dari jaringan adiposa. Adiponectin

berperan dalam mengatur homeostasis glukosa, serta mempunyai efek anti inflamasi dan anti

atherogenic. Berdasarkan data epidemiologi, kadar adiponectin yang rendah, dikaitkan dengan

peningkatan insidensi DM tipe 2, sindrom metabolik, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, dan kanker.

Resistensi insulin adalah salah satu kunci patofisiologi pada terbentuknya diabetes. Mengingat bahwa

adiponectin sangat berkaitan dengan sensitivitas insulin, peran adiponectin kemudian dicoba diteliti

untuk melihat hubungannya dalam terbentuknya diabetes. Ditemukan bahwa kadar adiponectin yang

rendah ada pasien diabetes, 1 dekade sebelum mereka terdiagnosis diabetes.

Whitehall Study II (2012) melakukan studi kohort terhadap 2629 pasien (335 menderita diabetes, 2474

non diabetes) dan menyimpulkan beberapa hal:

Kadar adiponectin berbanding terbalik dengan IMT dan kadar glukosa postprandial

Kadar adiponectin pada wanita lebih tinggi dari pria (paralel terhadap kontrol)

Kadar adiponectin pada pasien prediabetes dan saat diagnosis diabetes lebih rendah dibanding

kontrol, dengan penurunan kadar adiponectin lebih besar pada wanita

Kadar adiponectin berbanding lurus dengan sensitivitas insulin, dan tidak berhubungan

dengan sekresi insulin

Kadar adiponectin tidak terpengaruh usia

Studi ini menekankan pada kesimpulan bahwa kadar adiponectin menunjukan penurunan lebih cepat

dan lebih besar pada pasien pre diabetes dan pada wanita.

22

Page 23: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

C-reactive protein Dengan DM Tipe II dan Penyakit Kardiovaskuler (6)

Hasil studi-studi epidemiologi menunjukan bahwa kadar c-reactive protein (CRP) yang berada dalam

kadar normal tertinggi atau meningkat dapat memprediksi terjadinya DM tipe II dan penyakit

kardiovaskuler. Hipotesis pun bermunculan, bahwa inflamasi derajat rendah dapat menjadi awal

pencetus terjadinya DM tipe II dan penyakit kardiovaskuler. Namun studi yang meneliti hubungan

CRP dengan DM masih terbilang tidak banyak. Mendelian randomization study yang menggunakan

dan meneliti vasiasi genetik menyebutkan bahwa tingginya kadar CRP merupakan suatu bentuk

respons tubuh sebelum terjadinya DM dan penyakit kardiovaskuler, walaupun patofisiologinya belum

dijelaskan secara sempurna.

Whitehall Study II melakukan studi terhadap 10308 partisipan secara kohort yang berkala (sejak tahun

1985) dievaluasi perkembangan diabetes dan risiko-risikonya untuk mengidap penyakit

kardiovaskuler. CRP diukur dengan BN Prospec nephelometer. Diabetes disini didefinisikan sebagai

nilai glukosa puasa >= 7mmol/L atau TTGO dengan 75 g glukosa anhydrous >= 11,1 mmol/L. Pada

akhir studi, didapatkan sebanyak 558 kasus diabetes. Studi ini menyimpulkan beberapa hal:

Kadar baseline CRP lebih tinggi / meningkat pada pasien DM tipe II atau pada pasien yang

meninggal akibat penyakit kardiovaskuler

23

Page 24: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Pasien-pasien yang menderita DM, pada periode sebelum mengidap DM, didapatkan

peningkatan CRP berkala, dibandingkan dengan kelompok kontrol

Membuktikan bahwa peningkatan CRP yang ditemukan pada pasien DM bukan karena

peningkatan mendadak akibat DM, namun peningkatan berkala pada pasien yang mengalami

proses mengarah ke DM

Kadar CRP dipengaruhi oleh tekanan darah, profil lipid, dan gaya hidup

Hubungan CRP dengan patogenesis DM belum dapat dibuktikan pasti, ada kemungkinan

bahwa CRP yang meningkat berkaitan dengan salah satu faktor risiko DM. Hipotesis lain

mengatakan mungkin CRP yang meningkat merupakan tanda “respons antidiabetik tubuh”

sudah kelelahan / tidak dapat mengkompensasi lebih lanjut.

Incretin dan DM Tipe II (7,8)

24

Page 25: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Meningkatnya kadar inkretin dikaitkan dengan adanya hiperinsulinemia pada pasien impaired glucose

tolerance (IGT), sebaliknya, pada pasien DM tipe II dikaitkan dengan kegagalan tubuh untuk

mensekresi GIP dan insulin dalam jumlah yang adekuat.

Pada pasien DM tipe II sel beta pankreas gagal untuk memproduksi insulin sesuai kebutuhan yang

diakibatkan adanya resistensi insulin. Sebelum kegagalan ini terjadi, sel beta berusaha untuk

melakukan kompensasi terhadap resistensi insulin selama bertahun-tahun, dengan cara meningkatkan

kapasitas produksi insulin, menyebabkan suatu keadaan hiperinsulinemia. Seiring dengan

memburuknya perjalanan penyakit, sel beta tidak bisa terus menerus mempertahankan

hiperinsulinemia ini yang menyebabkan munculnya manifestasi klinis DM.

Aksis enteroinsular, adalah suatu hubungan interaksi neurohumoral antara sel endokrin pankreas

dengan sel endokrin di usus. Aksis enteroinsular ini merupakan sistem endokrin terbesar di manusia.

Sistem ini menyebabkan suatu interaksi, dimana ketika makanan masuk kedalam tubuh (usus), sel

endokrin usus melepaskan incretin, bereaksi terhadap sel beta pankreas, untuk menghasilkan insulin.

(glucose dependent insulin secretion) kebanyakan insulin (60%) dihasilkan dari mekanisme ini.

Dua contoh inkretin utama antara lain: GIP (glucose dependent insulinotropic polypeptide), dan GLP-

1 (glucagon like peptide 1). Gen proGIP diekspresikan oleh sel K di usus (terutama duodenum &

jejunum proximal), sedangkan gen proglukagon diekspresikan oleh sel alfa pankreas, sel L usus

(terutama jejunum distal, ileum terminal, kolon asenden), dan sistem persarafan. Peptida inkretin ini,

ketika masuk ke sirkulasi, akan cepat dideaktivasi oleh DPP IV (dipeptidyl peptidase IV) dengan

mekanisme proteolitik pada ujung NH2 asam amino. Inkretin-inkretin tersebut memberikan efek

insulinotropik dengan mengikat reseptor guanosine 5 triphosphate binding protein coupled yang ada

pada sel beta.

Pada DM tipe 2, perubahan yang terjadi terhadap inkretin antara lain:

25

Page 26: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

Efek inkretin menurun diduga akibat penurunan jumlah GLP-1, penurunan potensi GIP, atau

penurunan respons sel beta akibat resistensi insulin

Theorodakis, et al (ADA) melakukan suatu studi untuk menyelidiki apakah terdapat hubungan antara

inkretin dengan keadaan hiperinsulinemia pada pasien prediabetes, sebelum DM terjadi, serta

menyelidiki kemungkinan adanya disregulasi sekresi inkretin yang dikaitkan dengan adanya IGT

ataupun resistensi insulin sebelum onset DM tipe II. Kesimpulan hasil studi tersebut antara lain:

Pasien DM tipe 2 tidak menunjukan keadaan hiperinsulinemia dan respons sel beta terhadap

glukosa menurun, bersamaan dengan menurunnya kadar GIP dan menurunnya efek inkretin

DM tipe 2 adalah hasil dari sel K dan sel B yang sudah hiporesponsif terhadap glukosa

Pada pasien IGT kadar GIP meningkat, disertai peningkatan respons GIP terhadap glukosa

Peningkatan GIP jangka panjang pada IGT menyebabkan sel K mengalami hiposensitifitas

terhadap glukosa oral yang akhirnya mengganggu sekresi GIP

Pada pasien IGT, sekresi insulin terhadap rangsangan GIP endogen lebih rendah, menunjukan

bahwa pada pasien IGT terdapat hipersekresi GIP yang tidak efektif dikarenakan sudah terjadi

proses resistensi sel beta terhadap GIP

Mengingat fungsi dari inkretin, disregulasi inkretin ini dapat berkontribusi akan terjadinya

hiperglikemia yang sering ditemukan pada pasien IGT dan DM.

Sebuah hipotesis mengatakan bahwa resistensi insulin yang berkepanjangan dapat

menyebabkan defek pada glucose sensing genes tidak hanya pada sel beta, namun juga sel K

yang pada akhirnya mengganggu sekresi insulin dan inkretin terhadap glukosa

GIP diperkirakan mengalami malfungsi pada DM. Hal ini dibuktikan dari uji farmakologik,

dimana hiperglikemia dapat diperbaiki dengan memberikan GLP-1 eksogen, namun tidak

dengan infus GIP.

26

Page 27: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

27

Page 28: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

BAB III

KESIMPULAN

Hingga kini beberapa upaya untuk melakukan deteksi dini terhadap diabetes mellitus (DM)

memfokuskan terhadap perubahan-perubahan metabolik yang ada didalam tubuh sebagai respons

terhadap adanya hiperglikemia. Berbagai komponen metabolik tubuh yang hingga kini diteliti dan

dianggap sebagai tanda utama yang muncul pada pasien sebelum onset diabetes mellitus antara lain

inkretin, c reactive protein, dan adiponectin. Walaupun belum satu pun dari marker tersebut diperiksa

secara rutin untuk mengetahui adanya fase prediabetes, namun hal tersebut merupakan suatu

kemajuan dalam langkah mendeteksi dini fase prediabetes sebelum terjadinya diabetes mellitus.

Adiponectin, adalah suatu zat insulin sensitizer dari jaringan adiposa yang ditemukan ada pada kadar

rendah pada fase prediabetes dan diabetes mellitus. C-reactive protein, suatu marker inflamasi

ditemukan kadarnya meningkat secara perlahan, pada pasien yang mengalami perubahan kearah

diabetes mellitus. Peningkatan kadar CRP dipercaya berkaitan langsung dengan salah satu faktor

risiko terjadinya diabetes mellitus atau disebabkan oleh diabetes itu sendiri. Studi lain mengatakan

peningkatan CRP ini sudah bisa dideteksi hingga 10 tahun sebelum onset diabetes mellitus itu sendiri.

Inkretin adalah suatu zat endogen tubuh yang normalnya berperan dalam produksi insulin sebagai

respons terhadap glukosa oral. Pada pasien DM efek inkretin didapatkan menurun, sedangkan pada

fase pre diabetes ditemukan kadar inkretin meningkat, sebagai respons awal yang mendadakan adanya

resistensi insulin. Hal ini dapat menjadi penanda utama progresifitas pasien prediabetes menjadi

diabetes mellitus.

28

Page 29: Referat Interna Miske - Deteksi Dini DM

DAFTAR PUSTAKA

1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18th ed.

US: Mc-Graw Hill, 2012

2. Mcphee SJ, Papadakis MA. Current Diagnosis and Treatment. 50th ed. US: Mc-Graw Hill,

2011

3. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology. 8th ed. US: Mc-

Graw Hill, 2007

4. Kahn CR, Weir GC, King GL, et al. Joslin’s Diabetes Mellitus. 14th ed. US: Lippincot

William & Willkin, 2006

5. Tabak AG, Carstenten M, Witte DR, et al. Adiponectin trajectories before type 2 diabetes

diagnosis: whithall II stydy. Diabetes Journal. 2012 Aug 28; 35(12): 2540-7

6. Tabak AG, Kivimaki M, Brunner EJ, et al. Changes in c-reactive protein levels before type 2

diabetes and cardiovascular death: the whitehall II study. European Society of Endocrinology.

European Journal of Endocrinology. 2010 July 1; 167(6): 89-95

7. Kulkarni N. Identifying biomarkers of subclinical diabetes. Diabetes Journal. 2012 Aug 16;

61(8): 1925-6

8. Theodorakis MJ, Carlson O, Muller DC, et al. Elevated plasma glucose-dependent

insulinotropic polypeptide associates with hyperinsulinemia in impaired glucose tolerance.

American Diabetes Association. Diabetes Journal. 2004 July 28; 27(7): 1692-98

9. Yousefzadeh G, Shokoohi M, Yeganeh M, et al. Role of gamma glutamyl transferase (GGT)

in diagnosis of impaired glucose tolerance and metabolic syndrome. Diabetes Journal. 2012

Oct 6; 6(4): 190-4

10. Freeman JS. Role of incretin pathyway in pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Cleveland

Journal of Medicine. 2009 Dec 3; 76(5): 512-9

11. Ross SA, Ekoe JM. Incretin agents in type 2 diabetes. College of Family Physicians of

Canada Journal. 2010 July 15; 56(7): 639-48

29