referat epidemiologi penyakit vektor

Upload: hadi-sumitro-jioe-md

Post on 08-Jul-2015

3.747 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau lebih. Dari jumlah tersebut, 992 pulau yang berpenghuni. Perkiraan populasi untuk 2009 adalah 230.632.000 jiwa (Data Statistik, Indonesia, 2008). Populasi ini tersebar di 33 provinsi. Negara ini dibagi menjadi 460 kabupaten. Penduduk provinsi berkisar dari 42 juta sampai dengan 0,7 juta jiwa. Demikian pula, penduduk kabupaten juga berkisar dari 4 juta sampai 22.293 jiwa. Di Indonesia beberapa penyakit vektor, terutama malaria, demam berdarah dan demam berdarah dengue, chikungunya, limfatik filariasis, Japanese B encephalitis, penyakit yang disebabkan oleh rodent-borne virus dan arbovirus menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia dengan kesehatan yang memadai dan berdampak pada ekonomi. Ancaman baru bagi manusia untuk munculnya dan munculnya kembali penyakit vector-borne yang menular merupakan fokus perhatian dunia. Indonesia telah mengalami peningkatan secara bertahap dalam wabah demam berdarah, chikungunya, malaria dan penyakit vector-borne lain. Penyakit-penyakit ini terkait erat dengan kondisi iklim, meskipun pola respon bervariasi antara penyakit. Korelasi yang kuat antara curah hujan dan malaria serta antara suhu dan demam berdarah, yang didokumentasikan dalam beberapa penelitian di kawasan itu, menunjukkan bahwa penyakit ini dan penyakit lainnya mungkin lebih umum di daerah sebagai akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim. Suhu yang lebih tinggi, yang dikombinasikan dengan pola curah hujan yang kondusif dan air permukaan, akan memperpanjang musim penularan di beberapa daerah endemik. Berdasarkan WHO, ada beberapa penyakit vector endemis dan merupakan wabah di Indonesia, di antaranya malaria, limfatik filariasis, dengue, chikungunya, Japanese encephalitis, dan leptospirosis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Epidemiologi Istilah epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari: Epi: atas, pada;

Demos: rakyat; Logos: ilmu. Maka epidemiologi sebenarnya berarti: ilmu mengenai hal-hal yang terjadi pada rakyat. Ruang lingkup epidemiologi yang semula mempelajari penyakit menular lambat laun diperluas, sehingga epidemiologi menjadi ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan frekuensi dan distribusi penyakit pada rakyat(Suriadi, 2000). Definisi epidemiologi lainnya ialah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan dan kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit atau kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan, perilaku, waktu, tempat, orang dan sebagainya (Timmreck, 2005).

2.2

Definisi Arthropoda dan Rodentia Arthropoda adalah suatu kelompok binatang yang punya tubuh bersegmen-segmen,

bilateral simetris dan memiliki rangka luar (eksoskelet) serta mempunyai daur hidup yang dinamakan metamorfosis. Rodentia adalah suatu kelompok binatang menyusui (mammalia) yang mempunyai sepasang gigi incisivus yang besar, berujung tajam pada masing-masing rahang atas dan bawah dan digunakan untuk mengunyah makanannya (mengerat). Rodentia yang terpenting bagi kesehatan adalah tikus. Penyakit yang disebarkan oleh phylum arthropoda dinamakan arthropod-borne disease sedangkan penyakit yang disebarkan oleh kelompok rodentia dinamakan rodentborne disease. Arthropoda dan rodentia yang berperan dalam menyebarkan organisme patogen disebut sebagai vektor.

2.3

Arthropod-borne Disease

2.3.1 Klasifikasi Arthropoda Terdapat lebih dari 1 juta spesies arthropoda yang telah diidentifikasi. Arthropoda dibagi dalam 4 kelas yaitu: 1. Kelas Crustacea (berkaki 10): misalnya udang 2. Kelas Myriapoda : misalnya binatang berkaki seribu

3. Kelas Arachinodea (berkaki 8) : misalnya Tungau 4. Kelas Hexapoda(berkaki 6)/Insecta : misalnya nyamuk Kelas Hexapoda/Insecta merupakan arthropoda terbanyak dan merupakan klas yang paling banyak memberikan pengaruh dalam kesehatan dibandingkan klas yang lain. Dari kelas Insecta dibagi menjadi 12 ordo dan ordo yang perlu diperhatikan dalam pengawasan arthropoda adalah: a. Ordo Dipthera : anggota ordo ini mempunyai sepasang sayap, karena itu disebut Diphtera. Anggota terpenting dari ordo ini yaitu nyamuk dan lalat. Nyamuk yang dimaksud adalah anggota ordo Dipthera, famili Culicidae. Famili Culicidae terdiri dari 3 subfamilia, dan hanya 2 diantaranya yang penting untuk kesehatan manusia yaitu Tribus Anophelini yang meliputi genus Anopheles dan Tribus Culicinae yang meliputi genus Aedes dan Culex serta Mansonia. Lalat yang kita maksud adalah anggota ordo Dipthera, famili Muscidae yang beranggotakan genus Musca(lalat rumah). b. Ordo Siphonaptera yaitu pinjal Yang penting disini yaitu Pinjal tikus(Xenopsylla cheopis) sebagai vektor penyakit pes/sampar. c. Ordo Anoplura : terdapat 3 spesies penting yang merupakan anggota ordo Anoplura yaitu Pediculus humanus capitis (kutu kepala), Pediculus humanus corporis (kutu badan) dan Pthirus pubis (pubic louse). Ketiga spesies ini menyebabkan gangguan kulit. Namun yang lebih penting lagi Pediculus humanus corporis dapat menyebarkan Epidemic Typhus dan Louse-borne relapsing fever namun penyakit ini jarang ditemukan di Indonesia. d. Ordo Orthoptera : spesies yang penting untuk kesehatan adalah kecoak (Blattela germanica, Blatella orientalis) yang termasuk dalam famili Blattidae.

2.3.2 Morfologi dan Siklus Hidup Arthropoda secara Umum Morfologi arthropoda yang paling khas yaitu anggota gerak dan tubuhnya yang beruas-ruas dan tertutup oleh eksoskelet. Kulit arthropoda mempunyai chitin yang kuat dan memerlukan ecdysis (pertukaran kulit) berkala. Chitin ini berfungsi untuk menahan air sehingga arthropoda dapat bertahan dalam situasi kering. Sistem saraf arthropoda terdiri atas simpul saraf di punggung, simpul saraf di perut. Sistem pembuluh darahnya termasuk sistem pembuluh darah terbuka dan terdapat dibagian

dorsal rongga tubuh sebagai rongga darah (haemocele). Sistem pernafasannya berupa trachea (tabung udara) dengan lubang-lubang udara (spirakel) pada permukaan tubuh atau alat-alat yang berasal dari organ pernafasan atau dapat melalui kulit, atau berupa insang pada arthropoda yang hidup di air. Sistem genitalia pada arthropoda pada umumnya terpisah antara yang jantan dan yang betina. Pada arthropoda terjadi suatu perubahan bentuk yang disebut metamorfosa, yang dipengaruhi oleh hormon juvenile yang dihasilkan kelenjar corpus allatum pada otaknya. Terdapat 2 macam metamorfosa : 1. Metamorfosa sempurna ( Holometabola ): Pada jenis ini telur akan berubah menjadi larva, kemudian menjadi pupa, lalu menjadi dewasa. 2. Metamorfosa tidak sempurna ( Heterometabola) : Pada jenis ini telur akan berubah menjadi larva, kemudian menjadi nympha dan akhirnya menjadi dewasa (imago). Bentuk morfologi stadium muda dan dewasa hampir sama.

2.3.3 Peranan Arthropoda dalam Kesehatan Manusia Patogenitas arthropoda pada manusia dapat terjadi karena: 1. Sifat parasit dari arthropoda - Endoparasit: Larva lalat (myasis) ini masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan dan hidup di dalam tubuh inangnya serta sekaligus menghisap makanan dari tubuh inangnya. - Ektoparasit: arthropoda yang hidup dipermukaan tubuh manusia dan mengambil makanan dari tubuh manusia. Contohnya tuma, nyamuk, pinjal. - Parasit permanen: arthropoda yang hidup sebagai parasit pada satu hospes dan tidak berpindah-pindah. - Parasit tidak permanen: arthropoda yang hidup sebagai parasit yang berpindahpindah dari satu hospes ke hospes lain. 2. Fungsinya sebagai vektor penyakit Vektor yaitu organisme perantara yang dapat menyebarkan organisme patogen pada manusia. Ada 2 cara transmisi organisme patogen melalui arthropoda, yaitu : 1. Cara mekanis : organisme patogen terbawa secara pasif oleh arthropoda, menempel pada bagian tubuh atau mulut yang terkontaminasi pada arthropoda penghisap darah. Dalam hal ini tidak terdapat pertumbuhan atau

perkembangbiakan organisme patogen dalam tubuh arthropoda. Cara ini tidak terlalu efisien dalam menyebarkan organisme patogen dan tidak dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian penyakit yang tiba-tiba. 2. Cara biologis : transmisi dari organisme yang membutuhkan hubungan erat dengan arthropoda. Terjadi perubahan spesifik dari organisme sebelum organisme ini ditransmisikan ke hospes baru. Cara penyebaran ini dikenal sebagai cara yang lebih efisien dan lebih signifikan dalam penyebaran penyakit(2).

Ada pula peneliti yang membagi peranan arthropoda bagi kesehatan manusia menjadi dua, yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung yaitu efek yang langsung ditimbulkan oleh arthropoda sendiri. Terdapat 5 kategori dari efek langsung ini, yaitu : 1. Dermatosis dan dermatitis yang disebabkan oleh aktivitas arthropoda pada manusia. 2. Reaksi anafilaksis : hipersensitivitas yang hebat terhadap protein pada tubuh arthropoda, bahkan dapat menimbulkan kematian. 3. Envenomisasi: masuknya racun dari tubuh arthropoda ke dalam tubuh manusia. 4. Myasis: Myasis selanjutnya dapat menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri ataupun serangga lain. 5. Entomofobia : ketakutan irrasional terhadap serangga, bervariasi beratnya dari yang ringan sampai berupa halusinasi. Entomofobia dapat memicu cara-cara pemberantasan serangga yang tidak pada tempatnya. Sedangkan efek tidak langsung yaitu efek yang ditimbulkan oleh organisme patogen yang dibawa oleh arthropoda dan bukan oleh arthropoda sendiri. Efek tidak langsung ini jauh lebih penting dibandingkan efek langsung terhadap kesehatan manusia. Tidak seluruh vektor diatas akan kita bahas pengawasannya. Menurut Ditjen P2M&PL, penyakit arthropod-borne disease yang penting di Indonesia yaitu Malaria, DBD, Filariasis, demam Chikungunya dan Penyakit Pes. Dibawah ini akan dibahas mengenai epidemiologi masing-masing penyakit dan pengawasan masing-masing vektor.

2.3.4 Arthropod-borne Disease yang Sering di Indonesia 2.3.4.1 Malaria 2.3.4.1.1 Definisi

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Malaria pada manusia dapat disebabkan P. Malariae, P. Vivax, P. Falciparum dan P. Ovale. Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina dari tribus Anopheles. Dari sekitar 400 spesies nyamuk anopheles telah ditemukan 67 spesies yang dapat menularkan malaria dan 24 diantaranya ditemukan di Indonesia. Selain itu gigitan nyamuk malaria dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar dan ibu hamil kepada bayinya.

2.3.4.1.2 Siklus Hidup Plasmodium spp Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia adalah sama, yaitu mengalami stadium-stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia dan kembali ke nyamuk lagi. Siklus hidup tersebut terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk Anopheles spp. betina, dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia yang terdiri dari fase eritrosit (erythrocytic schizogony) dan fase yang berlangsung di dalam parenkim sel hepar (exo- erythrocytic schizogony).

A. Siklus pada manusia Pada saat nyamuk Anopheles spp. betina yang infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada di dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama lebih kurang 30 menit. Setelah itu, sporozoit akan masuk ke dalam sel hepar dan menjadi trophozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,00030,000 merozoit hati (tergantung spesiesnya). Siklus ini disebut sebagai siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dormant yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan samapi bertahun-tahun. Pada suatu saat, bila imunutas tubuh menurun, hipnozoit ini akan kembali aktif dan menimbulkan kekambuhan (relaps). Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung spesisnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi oleh skizon akan pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini dikenal sebagai silkus eritrositer (Suriadi, 2000).

Setelah 2 3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan betina).

B. Siklus pada nyamuk Anopheles spp. betina. Apabila nyamuk Anopheles spp betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina akan melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot kemudian akan berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk, ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia (Suriadi,2000).

Gambar 2.1 Siklus Hidup Plasmodium Spp (http://www.cdc.gov/malaria/distribution_epi/epidemiology.htm)

2.3.4.1.3 Gejala Klinis Penyakit malaria yang ditemukan berdasarkan gejala-gejala klinis dengan gejala utama demam mengigil secara berkala dan sakit kepala kadang-kadang dengan gejala klinis lain sebagai berikut:

Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat. Nafsu makan menurun. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan Plasmodium falciparum. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol adalah mencret (diare) dan pucat karena kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah malaria. Gejala klasik malaria merupakan suatu paroksisme biasanya terdiri atas 3 stadium yang berurutan yaitu : 1. Stadium dingin (cold stage). 2. Stadium demam (Hot stage). 3. Stadium berkeringat (sweating stage). Ketiga gejala klinis tersebut diatas ditemukan pada penderita berasal dari daerah non endemis yang mendapat penularan didaerah endemis atau yang pertama kali menderita penyakit malaria. Di daerah endemis malaria ketiga stadium gejala klinis di atas tidak berurutan dan bahkan tidak semua stadium ditemukan pada penderita sehingga definisi malaria klinis seperti dijelaskan sebelumnya dipakai untuk pedoman penemuan penderita di daerah endemisitas. Khususnya di daerah yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi (intrisik). Masa inkubasi ini bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada species parasit, paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada plasmodium malaria. Masa inkubasi ini tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya dan tingkat imunitas penderita. Cara penularan, apakah secara alamiah atau bukan alamiah, juga mempengaruhi. Penularan bukan alamiah seperti penularan malalui transfusi darah, masa inkubasinya tergantung pada jumlah parasit yang turut masuk bersama darah dan tingkat imunitas penerima arah. Secara umum dapat dikatakan bahwa masa inkubasi bagi Plasmodium falciparum adalah 10 hari setelah transfusi, Plasmodium vivax setelah 16 hari dan Plasmodium malariae setelah 40 hari lebih. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing species parasit adalah sebagai berikut :

Plasmodium falciparum 12 hari. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13 -17 hari. Plasmodium malariae 28 -30 hari. Beberapa strain dari Plasmodium vivax mempunyai masa inkubasi yang jauh lebih panjang yakni sampai 9 bulan. Strain ini terutama dijumpai didaerah Utara dan Rusia nama yang diusulkan untuk strain ini adalah Plasmodium vivax hibernans. Gejala Klasik dari malaria meliputi : 1. Stadium Dingin Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan penderita biasanya menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia nadi cepat tetapi lemah. Bibir dan jari jemarinya pucat kebiru-biruan, kulit kering dan pucat. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam. 2. Stadium Demam Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala menjadi-jadi dan muntah kerap terjadi, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya penderita merasa sangat hasil dan suhu badan dapat meningkat sampai 41C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya sison darah yang telah matang dan masuknya merozoit darah kedalam aliran darah. Pada plasmodium vivax dan P. ovale sison-sison dari setiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada plasmodium malariaa, fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P. vivax/P. ovale, hanya interval demamnya tidak jelas. Serangan demam di ikuti oleh periode laten yang lamanya tergantung pada proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian timbul pada penderita. 3. Stadium Berkeringat Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali sampai-sampai tempat tidurnya basah. Suhu badan meningkat dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun dari tidur merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain, stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Gejala-gejala yang disebutkan diatas tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung pada species parasit dan umur dari penderita, gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh

Plasmodium falciparum. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk trofosoit dan sison). Untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan ginjal sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak berfungsinya ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis malaria ini. Kadangkadang gejalanya mirip kholera atau dysentri. Black water fever yang merupakan gejala berat adalah munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air seni menjadi merah tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah-muntah yang warnanya sama dengan warna empedu, black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi P. falcifarum yang berulang -ulang dan infeksi yang cukup berat (Hiswani, 2004).

2.3.4.1.4 Diagnosis Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesis yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria, riwayat pengobatan kuratif maupun preventif. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah tepi untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan pada saat penderita demam akan meningkatkan ditemukannya parasit. Adapun pemeriksaan darah yang dapat dilakukan melalui: a. Preparat Tetes Darah Tebal Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak untuk menemukan parasit malaria dibandingkan preparat darah tipis. b. Preparat Tetes Darah Tipis Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium jika dengan preparat darah tebal sulit ditemukan.

2.3.4.1.5 Pengobatan Secara global WHO telah menetapkan dipakainya obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit. Juga efektif juga terhadap semua spesies P. falciparum, P. vivax maupun lainnya.

Golongan Artemisinin Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bahasa Cina sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk dalam kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti : artemisin, artemeter, asam artelinik, dan dihidroartemisin. Beberapa obat golongan Artemisin ialah: 1. Artesuna (Hari ke-I: 2 mg/KgBB, 2x sehari, hari ke-II-V: dosis tunggal) 2. Artemeter (4 mg/kg dibagi 2 dosis hari ke-I, 2 mg/kg/hari untuk 6 hari) 3. Artemisinin (20 mg/kgBB dibagi 2 dosis pada hari ke-I, 10 mg/kg untuk 6 hari).

Pengobatan ACT (Artemisin base Combination Therapy) Pengobatan artemisin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya rekrudesensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisninin dengan mengkombinasikan dengan obat antimalaria yang lain, dan hal ini disebut ACT (Artemisin base Combination Therapy). Kombinasi ini berupa kombinasi dosis tetap (fixed dose) dan kombinasi dosis tidak tetap (non-fixed dose). Dari kombinasi yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi dan artesunat + amodiakuin dengan nama dagang Artesdiaquine atau Artesumoon. Dosis orang dewasa yaitu artesunate (50mg/tablet) 200mg pada hari I-III (4 tablet). Untuk Amodiaquine (200 mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan 1 tablet hari ke-III. Sedangkan ACT kombinasi tidak tetap, misalnya: Artesunate + mefloquine Artesunate + amodiaquine Artesunate + kloroquine Artesunate + pyronaridine Artecom + primaquine

Obat Non-ACT Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Di beberapa daerah menggunakan obat standar seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan. Obat non-ACT antara lain: a. Kloroquin difosfat/Sulfat

Dosis 25mg basa/kgBB untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kgBB hari I dan hari II, 5 mg /kgBB pada hari III. b. Kina Sulfat 1 tablet 220 mg, dosis 3 x 10 mg/kg BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P. Falciparum maupun P. Vivax. c. Primakuin 1 tablet 15 mg, dipakai untuk pengobatan pelengkap atau radikal terhadap P. Falciparum dan P. Vivax. Pada P. Falciparum dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet, sedangkan untuk P. Vivax dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari yaitu membunuh gamet dan hipnozoit. d. Sulfadoksin-Pirimetamin 1 tablet mengandung 500 mg sulfadoksin dan 25 pirimetamin, dosis orang dewasa ialah 3 tablet dosis tunggal (Harijanto, 2007).

2.3.4.2 Demam Berdarah Dengue 2.3.4.2.1 Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty yang ditandai dengan demam mendadak selama 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam (echimosis), atau ruam (purpura), kadang-kadang disertai mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock).

2.3.4.2.2 Etiologi Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus Dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis Dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus Dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan

bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak berhasil diisolasi (48,6%), disusul berturut-turut DEN-2 (28,6%), DEN-1 (20%), DEN-4 (2,9%).

2.3.4.2.3 Diagnosis Infeksi virus Dengue dapat asimtomatis atau dapat menimbulkan demam undifferentiated, demam Dengue (DD) atau demam berdarah Dengue (DBD) dengan rembesan plasma yang dapat menimbulkan syok (DSS) (Gambar 1). Infeksi virus Dengue

Asimptomatik

Simtomatik

Demam tidak spesifik

Demam Dengue

Pendarahan (-)

Pendarahan (+)

Syok(-)

Syok(+)

DD

DBD

Gambar 1. Manifestasi infeksi virus Dengue

Demam Dengue (DD) Setelah masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-14 hari), gejala prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah. Tanda khas dari DD adalah peningkatan suhu mendadak, kadang-kadang disertai menggigil, nyeri kepala, dan flushed face (muka kemerahan). Dalam 24 jam terasa nyeri pada belakang mata terutama pada pergerakan mata atau bila bola mata ditekan, fotofobia, dan nyeri otot serta sendi. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah anoreksia, konstipasi, nyeri perut/kolik, nyeri tenggorokan, dan depresi (biasanya terdapat pada pasien demam). Gejala tersebut biasanya menetap untuk beberapa hari. Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-400C, bersifat bifasik (saddle back fever), menetap antara 5-7 hari. Pada awal fase demam terdapat ruam yang

tampak di muka leher, dada. Pada akhir fase demam (hari ketiga atau keempat) ruam berbentuk makulopapular atau bentuk skarlatina. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul petekie dapat dijumpai area kulit normal berupa bercak keputihan, kadangkadang dirasa gatal. Perdarahan kulit pada DD terbanyak adalah uji torniket positif dengan atau tanpa petekie. Derajat penyakit sangat bervariasi berbeda untuk tiap individu dan pada daerah epidemi. Perjalanan penyakit biasanya pendek 5 hari, tetapi dapat memanjang terutama pada dewasa sampai beberapa minggu. Pada dewasa sering kali disertai lemah, depresi dan bradikardia. Perdarahan seperti mimisan, perdarahan gusi, hematuria, dan menorrhagia, sering terjadi pada saat epidemi DD. Walaupun jarang, kadang-kadang terjadi perdarahan hebat walaupun jarang menyebabkan kematian. DD yang disertai dengan manifestasi perdarahan harus dibedakan dengan DBD. Secara laboratoris pada fase,akut (awal demam) akan dijumpai jumlah leukosit normal, kemudian menjadi leukopenia selama fase demam. Jumlah trombosit pada umumnya normal, demikian pula semua faktor pembekuan, tetapi pada saat endemi, dapat dijumpai trombositopenia. Serum biokimia pada umumnya normal, namun enzim hati dapat meningkat. Manifestasi klinis DD menyerupai berbagai penyakit, misalnya infeksi virus chikungunya, demam tifoid, leptospirosis, dan malaria. Diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan serologis atau isolasi virus.

Demam Berdarah Dengue Perubahan patofisiologi pada infeksi Dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologi tersebut adalah kelainan hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia (sedang sampai berat) dan hemakonsentrasi marupakan kejadian yang selalu dijumpai. Demam berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur, walaupun sampai saat ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat kecenderungan kenaikan proporsi kelompok dewasa DBD.

Kriteria Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).

1. Kriteria Klinis a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari. b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: Uji torniket positif Petekie, ekimosis, purpura Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi Hematemesis dan atau melena.

c. Pembesaran hati d. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

2. Kriteria Laboratoris a. Trombositopenia (100.000/l atau kurang) b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.

Dua kriteria pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung diagnosis DBD.

Klasifikasi DBD (WHO, 1997) Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji torniket. Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi

munurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah. Derajat IV Syok berat (prolound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur

Terdapat 4 gejala utama DBD, yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Gejala klinis DBD diawali dengan demam mendadak, disertai dengan muka kemerahan (flusted face) dan gejala klinis lain yang tidak khas, menyerupai gejala demam Dengue, seperti anoreksia, muntah, nyeri kepala, dan nyeri pada otot dan sendi. Pada beberapa pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada pemeriksaan ditemukan faring hiperemis. Gejala lain yaitu perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkungan iga kanan, kadang-kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut. Keempat gejala utama DBD adalah sebagai berikut: 1. Demam Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak mempan dengan obat anti piretik. Kadangkadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 400C dan dapat terjadi kejang demam mulai cenderung menurun dan pasien tampak seakan sembuh, hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Biasanya pada hari ketiga dari demam. Hari ke-3,4,5 adalah fase kritis yang harus dicermati pada hari ke-6 dapat terjadi syok. Kemungkinan terjadi perdarahan dan kadar trombosit sangat rendah (10 buah, pembendungan dapat dihentikan). d. Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan atau daerah lipatan siku (fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah, tanda perdarahan (petekie) e. Hasil uji torniket dianggap positif (+) bila ditemukan 10 bintik perdarahan (petekie), pada luas diameter 2,8 cm2.

3. Hepatomegali (pembesaran hati) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,

bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan. Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada daerah tepi hati, berhubungan dengan adanya perdarahan. Nyeri perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada anak kecil. Pada sebagian kecil kasus dapat dijumpai ikterus.

4. Syok Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral (ujung) ekstremitas teraba dingin, disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pasien biasanya akan sembuh spontan setelah pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari sakit ke 3-7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi; kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. Pada saat akan terjadi syok, beberapa pasien tampak sangat lemah, dan sangat gelisah. Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut. Syok ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang). Jadi untuk menilai tekanan nadi perhatikan tekanan sistolik dan diastolik, misalnya 100/90 mmHg (berarti tekanan nadi 10 mmHg) atau hipotensi (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang), kulit dingin dan lembab. Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapatkan perhatian serius, oleh karena bila tidak diatasi sebaik-baiknya dan secepatnya dapat menyebabkan kematian. Pasien dapat dengan cepat masuk ke dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat itu tekanan darah dan nadi tidak dapat terukur lagi. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat penggantian cairan yang memadai. Apabila syok tidak dapat segera diatasi dengan baik, akan terjadi komplikasi yaitu asidosis metabolik, perdarahan saluran cerna hebat atau perdarahan lain, hal ini pertanda prognosis buruk. Sebagian besar pasien masih tetap sadar walaupun telah memasuki fase terminal. Pasien dengan perdarahan intraserebral dapat disertai kejang dan koma. Ensefalopati dapat terjadi berhubungan dengan gangguan metabolik dan elektrolit.

Pemeriksaan Laboratorium

Jumlah Leukosit Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat. Peningkatan jumlah sel limfosit apikal atau limfosit plasma biru (LPB) >4% di daerah tepi dapat dijumpai hari sakit ketiga sampa hari ketujuh.

Jumlah Trombosit Penurunan jumlah trombosit menjadi