referat edit 1

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering terjadi pada pasien trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan kecelakaan olahraga.Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2 : 1. 1 Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan 1

Upload: dhellaa-noviana

Post on 25-Nov-2015

72 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

uuoij

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering terjadi pada pasien trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan kecelakaan olahraga.Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2 : 1. 1Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan bentuk dari pada alveolus. Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah ada benda asing atau gigi di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan perubahan bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitasi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolarnya disebabkan trauma.

2.2 ANATOMI

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline dalam regio insisivusGigi adalah salah satu aksesoris dalam mulut yang mempunyai lima peranan yang sangat penting iaitu sebagai fungsi mengunyah,fungsi fonasi, fungsi estatika,fungsi kejiwaan, fungsi identifikasi (forensik). Setiap gigi terdiri daripada tiga bagian yaitu: mahkota gigi ( coronadentis), leher gigi ( cervix ), akar gigi ( radix).Setiap gigi mempunyai jaringan gigi yang terdiri dari:1. Email : Jaringan keras yang mengalami kalsifikasi yang menutupi dentin dari mahkota gigi. Berasal dari jaringan ektodermal Berfungsi menahan daya kunyah/abrasi2. Dentin: Jaringan yang berasal dari mesenchym Merupakan jaringan ikat yang mengalami kalsifikasi dan jaringan yang terbesar dari gigi3. Pulpa: Jaringan yang berasal dari mesenchym Pada rongga pulpa biasanya ditemui saraf,pembuluh darah, pembuluh lymphe dan jaringan ikat (jarang) Fungsi : formatif ( memberi bentuk),nurtisi, sensoris.Pada ujung akar gigi terdapat foramen apikal yaitu lubang yang terdapat di ujung akar gigi yang merupakan jalan masuk persyarafan dan pembuluh darah pada gigi.Sedangkan bagian-bagian jaringan pendukung gigi adalah sebagai berikut:1. GingivaBagian dari mukosa mulut yang mengelilingi leher gigi dan menutupi prosesus alveolaris. Ginggiva dibentuk oleh jaringan ikat (connective tissue ) yang diliputi epitel berlapis pipih.Sulkus gingival adalah celah disekeliling gigi yang dibatai oleh permukaan gigi dan epitel ginggiva .kedalaman normal 2-3 mm.2. Ligamentum periodontal:Struktur jaringan ikat yang mengelilingi akar gigi dan mengikatkan ke tulang alveolar. Mempunyai fungsi yaitu sebagai: sumbernutrisi ( membekalkan nutrisi kepada cementum, tulang dan gingival) dan sensori( dipersarafi oleh serabut saraf sensori yang berfungsi untuk menghantarkan stimulus sentuhan, tekanan, dan nyeri). Fungsi fisikal:- sebagai wadah jaringan lunak untuk melindungi pembuluh darah dan saraf dari injuri oleh tekanan mekanik. Perlekatan antara gigi melalui cementum Memelihara hubungan antara gingival dan gigi Melawan dampak tekanan oklusal Fungsi formatif Berfungsi sebagai periosteum bagi cementum dan tulang Berperan dalam resopsi aposisi sementum dan tulang Sel-sel ligament periodontal mengadakan repair( perbaikan) terhadap injuri akibat tekanan oklusal Fungsi sensoris : Memberikan sensitifitas proprioceptive dan taktil.3. Alveolar Processus: Adalah tulang yang membentuk dan mendukung soket gigi di sekeliling akar gigi4. Cementum: merupakan jaringan ikat terkalsifikasi yang mengelilingi dentin akar , tempat, tempat tertanamnya ligament periodontal.

Gambar 1. anatomi gigi

2.3 ETIOLOGI

Trauma dentoalveolar dapat terjadi pada anak-anak, remaja, maupun dewasa. Pada kelompok anak-anak penyebab utama dari trauma ini adalah jatuh. Pada usia 1-3 tahun ketika anak belajar berjalan dan berlari insidennya meningkat yang diakibatkan oleh aktivitas yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota tubuh menyebabkan anak sering jatuh. Pada anak usia sekolah, taman bermain dan cidera akibat bersepeda merupakan penyebab tersering. Selama masa remaja, cidera olahraga merupakan kasus yang umum. Pada usia dewasa, cidera olahraga, kecelakaan sepeda motor, kecelakaan industri dan pertanian, dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab potensial. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1. 1Olahraga yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket. Frekuensi fraktur dentoalveolar yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan retardasi mental dan serebral palsi. Penyalahgunaan obat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya frakturdental. Gigi insisivus maksiler yang menonjol keluar atau ketidakmampuan menutup gigi pada keadaan istirahat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya fraktur. Benturan atau trauma, baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin dapat pula menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa hanya sekedar retak saja, pecahnya prosesus, sampai lepasnya gigi yang tidak bisa diselamatkan lagi. Trauma langsung kebanyakan mengenai gigi anterior, dan karena arah pukulan mengenai permukaan labial, garis retakannya menyebar ke belakang dan biasanya horizontal atau oblique. Pada fraktur yang lain, tekanan hampir selalu mengenai permukaan oklusal, sehingga frakturnya pada umumnya vertikal. Pukulan terhadap gigi anterior paling sering terjadi pada anak-anak dan apabila dibiarkan maka tubulus dentinnya akan terpapar pada flora normal mulut sehingga dapat menimbulkan infeksi dan inflamasi pulpa sehingga perlu dirawat. Di pihak lain, gigi posterior yang fraktur karena tekanan oklusal yang besar biasanya karena mempunyai tumpatan yang luas. Pada gigi semacam ini, hanya sedikit tubulus dentin yang terbuka yang langsung berhubungan dengan pulpa karena telah terjadinya reaksi terhadap karies dan prosedur penambalannya berupa kalsifikasi tubulus dan penempatan dentin reaksioner di rongga pulpa. Dengan demikian jaringan pulpanya jarang sekali ikut terkena. Trauma terhadap gigi pada umumnya bukan merupakan keadaan yang mengancam nyawa, tetapi cidera maksilofasial lain yang berhubungan dengan trauma dental dapat mengganggu jalan napas. Fraktur biasanya terjadi pada gigi permanen, sedangkan gigi susu biasanya hanya mengalami perubahan letak. Morbiditas yang berhubungan dengan fraktur dental bisa seperti gagalnya pergantian gigi, perubahan warna gigi, abses, hilangnya ruang pada arkus dental, ankylosis, lepasnya gigi secara abnormal, dan resorpsi akar merupakan keadaan yang signifikan. Trauma dental sering berhubungan dengan laserasi intraoral. Ketika ada gigi yang pecah atau hilang dan pada saat yang bersamaan terdapat laserasi intraoral, maka harus diperhatikan bahwa bagian gigi yang hilang dapat tertanam di dalam robekan luka tersebut. Trauma secara langsung biasanya menyebabkan cedera pada incisivus central maksilla karena posisinya yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang protrusif dengan penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada individu dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan buruk menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma incisivus maksilla. Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih sering pada anak-anak dengan gigi incisivus yang protrusif dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki oklusi normal. Trauama tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung biasanya sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak dalam oklusi yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi gigi-geligi, menimbulkan kerusakan gigi-gigi posterior atau jaringan lunak anterior. Cedera dentoalveolar ini paling banyak terjadi pada gigi sulung yang terjadi pada saat anak-anak mulai belajar berjalan hingga usia sekolah, yang berusia antara 2-4 tahun, sedangkan pada gigi permanen antara usia 7-10 tahun Prevalensi dan Insidensi1 dari 5 anak dan 1 dari 4 dewasa memiliki bukti dental injuri pada gigi anteriornya. Bahkan pada beberapa negara, prevalensi trauma dental lebih banyak daripada dental karies. Laki-laki lebih sering mengalami trauma ini 2x lebih besar dari perempuan. Insidensi puncak dari dental injuri yaitu pada usia 2-4 dan 8-10 tahun.

2.4 KLASIFIKASI TRAUMA DENTOALVEOLAR

Klasifikasi pada fraktur dentoalveolar diperlukan untuk menentukan rencana perawatan yang akan dilakukan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar dapat dibuat berdasarkan pada bagian anatomi yang terlibat, penyebab, perawatan alternatif atau kombinasi dari semua hal tersebut. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur dentoalveolar. Akan tetapi ada dua jenis klasifikasi trauma dentoalveolar yang sering digunakan yaitu klasifikasi dari Ellis dan Devey, dan Andreasen. Klasifikasi andreasen merupakan klasifikasi yang paling sering digunakan dan merupakan klasifikasi yang dipakai oleh WHO. Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, 1jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Klasifikasinya yaitu:

Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa 11) Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa hilangnya substansi gigi. 2) Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja. 3) Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi. 4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan dentin dengan pulpa yang terpapar. 5) Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa. 6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar. 7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal (gingiva).

Gambar 2. Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005)

Cedera pada jaringan periodontal 11) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi. 2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi. 3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket. 4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar. 5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar. 6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya

Gambar 3 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

Cedera pada tulang pendukung 11) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi. 2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket. 3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang dapat melibatkan soket gigi. 4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket Alveolar.

Gambar 4 Cedera pada Tulang Pendukung

2.4Klasifikasi Ellis3a. Klas I : Uncomplicated Crown Fractures yang Hanya Melibatkan Enamelb. Klas II : Uncomplicated Crown Fractures yang Melibatkan Enamel dan Dentinc. Klas III : Complicated Fractures Pada Mahkota dan Melibatkan Pulpa d. Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkotagambar 5 klasifikasi ellis

2.5 MENIFESTASI KLINIS Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi .Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.42.6 DIAGNOSIS Cedera pada gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan sebagai suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil, dibutuhkan suatu penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang cepat. Pemeriksaan Primary Survey (ABCDE) Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Primary survey adalah penilaian terhadap keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis luka, tanda- tanda vital dan mekanisme cedera. Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan saat itu juga. Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC pasien telah dipastikan membaik. Pada secondary survey ini, dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam primary survey. Prosedur khusus seperti pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium juga dapat dikerjakan pada kesempatan ini. Pemeriksaan pada secondary survey meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik ekstra oral seperti kepala dan oromaksilofasial juga pemeriksaan intra oral yang meliputi status lokalis gigi dan jaringan pendukung sekitarnyaRiwayat yang komprehensif harus didapatkan dari pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui informasi yang berhubungan dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya, terapi apa yang sudah diberikan sebelumnya. Anamnesis. Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma. Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau pengantar. Dalam melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang harus diketahui antara lain sebagai berikut : a. Kapan Terjadinya Trauma. Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting diketahui bukan hanya untuk menentukan jenis perawatan yang akan dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap prognosisnya. Seperti pada gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di replantasi, maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang proses penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya ditunda. b. Dimana Tempat Trauma Terjadi. Hal ini penting karena mungkin saja penderita memerlukan suntikan anti tetanus karena luka akibat trauma tersebut terjadi di daerah yang kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi dengan bakteri. Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan kemungkinan ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka. c. Bagaimana Trauma Terjadi. Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut mengenai benda keras atau tumpul atau lunak. Karena trauma pada benda keras dapat mengakibatkan fraktur mahkota gigi, sedangkan trauma pada benda yang lunak atau tumpul seperti siku biasanya dapat mengakibatkan fraktur akar gigi dan luksasi. d. Perawatan yang Sudah Didapat. e. Riwayat Trauma pada Gigi f. Penyakit Sistemik yang Diderita. g. gejala apa saja yang dikeluhkan sejak terjadi trauma (pusing, pandangan kabur, muntah , gangguan pendengaran, pengecapan, gangguan keseimbangan, gigi goyang, perdarahan dll)h. medical history Riwayat alergi obat-obatan Kelainan lain misalnya gangguan pembekuan darah, DM, hipertensi Obat-obatan yang dipakai Status imunisasi tetanusApabila terjadinya trauma ditempat yang kotor atau kemungkinan banyak bakteri dan mengakibatkan keadaan klinis kemerahan, pembengkakan pada ginggiva, maka pasien perlu diberikan ATS (Anti Tetanus Serum).

Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi pemeriksaan denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran dan suhu tubuh. Pemeriksaan Ekstra Oral Pada kasus trauma dapat dilakukan dengan cara visual dan palpasi. Palpasi pada wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang yang menunjukkan adanya fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan saraf serta hematoma. Pemeriksaan Intra Oral, Pemeriksaan ini penting untuk mendapatkan informasi agar dapat memberikan pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada pemeriksaan intra oral meliputi antara lain : (1) Perkusi gigi (2) Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar. (3) Pencatatan adanya perubahan warna gigi (4) Pencatatan kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit- langit dan lidah. (5) Pencatatan perubahan letak gigi (6) Tes vitalitas dari gigi (7) Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara palpasi prosesus alveolaris. Pemeriksaan Radiologis Kegunaan Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosa kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya pemeriksaan radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai perawatan dan pada saat kontrol sesudah perawatan sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan. Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya : 1. Untuk melihat arah garis fraktur 2. Adanya fraktur akar 3. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau ekstrusi 4. Adanya kelainan dari jaringan periodontal 5. Tingkat perkembangan akar 6. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar 7. Adanya fraktur rahang 8. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi. Macam-macam foto rontgen yang digunakan Teknik foto rontgen yang biasa digunakan dalam melakukan pemeriksaan radiologis pada kasus trauma gigi anterior adalah teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra oral (foto panoramik, foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak terlihat. Gambar 6. Foto panoramic, fraktur alveolar crest pada maksila dan fraktur 1/3 apikal akar gigi pada mandibula

2.7 PENATALAKSANAAN

Setelah ananmnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis telah lengkap, maka diagnosis yang tepat juga dapat ditegakkan sehingga langkah perawatan terhadap kelainan akibat trauma pada gigi anterior dapat dilakukan dengan segera. Trauma pada gigi merupakan salah satu kasus darurat yang memerlukan penanggulangan yang cepat dan tepat, karena keadaan ini mempengaruhi prognosis yang akan datang. Maka pada prinsipnya perawatan trauma gigi anterior ini adalah perawatan untuk mencegah prognosis yang lebih buruk dan mengurangi rasa sakit akibat trauma. Perawatan trauma gigi anterior dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap gigi anterior yang mengalami trauma (perawatan definitif). Perawatan Segera Setelah Terjadinya Trauma (Perawatan Darurat) 1Perawatan darurat merupakan perawatan yang penting dan harus dilakukan dengan segera karena menyangkut prognosa dari penderita. Perawatan darurat pada kasus trauma gigi anterior meliputi : a. Membersihkan luka akibat trauma dengan menggunakan cairan antiseptik b. Merawat luka akibat trauma, dengan melakukan penjahitan dan penutupan luka dengan kain kasa. c. Menghentikan perdarahan d. Menghilangkan rasa sakit e. Pencegahan terhadap infeksi

Perawatan Gigi pada Cedera Dentoalveolar (Perawatan Definitif).1Perawatan gigi anterior yang mengalami trauma pada prinsipnya adalah mengembalikan gigi yang mengalami trauma keposisi semula (reposisi) dan mempertahankannya hingga proses penyembuhan (fiksasi dan imobilisasi). Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan perawatan definitif pada kasus trauma gigi anterior, yaitu : keadaan umum pasien, umur pasien, trauma terjadi pada gigi sulung atau gigi tetap, lokasi dan luas daerah yang terkena trauma, keadaan dari tulang pendukung, keadaan jaringan periodontal serta gigi-geligi yang ada, Vitalitas gigi yang terkena trauma, apakah disertai dengan fraktur tulang alveolar. Pada dasarnya perawatan definitif trauma gigi anterior meliputi : a. Perawatan jaringan keras gigi, misalnya penambalan dengan resin komposit pada mahkota gigi yang terkena trauma, pembuatan mahkota jaket, dll. b. Perawatan jaringan pulpa, misalnya pada perawatan endodontik seperti pulp capping, pulpotomi, dll. c. Perawatan pada gigi yang goyang dan berubah letak, yaitu dengan melakukan reposisi dan fiksasi. Yang dimaksud dengan fiksasi adalah suatu tindakan pemasangan alat yang digunakan untuk menstabilkan satu gigi atau lebih dengan mengikat atau menggabungkan gigi goyah atau berubah letak kegigi sebelahnya yang masih kokoh melalui kawat, band atau splin dari logam cor, plastik atau acrylik. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan fiksasi yang baik ,yaitu : 1. Dapat dengan mudah dipasang didalam mulut tanpa melalui prosedur laboratorium yang lama. 2. Bersifat pasif pada tempatnya, tanpa menyebabkan tekanan pada gigi. 3. Tindak berkontak dengan gusi dan tidak mengiritasi gusi. 4. Tidak terdapat sangkutan pada saat oklusi yang normal. 5. Dapat dengan mudah dibersihkan dan dipakai pada oral higiene yang baik. 6. Pada saat dipakai tidak menyebabkan trauma pada gigi atau gusi. 7. Dapat memberikan jalan bagi perawatan endodontik. 8. Dapat dengan mudah dikeluarkan. 9. Memperhatikan nilai estetik yang baik. 10. Harganya murah dan bahan-bahannya mudah diperoleh dipasaran.

Ada beberapa macam teknik fiksasi yang digunakan pada kasus trauma gigi anterior ini yaitu : 1. Interdental wiring fixation, yaitu fiksasi dengan pengikatan kawat interdental. Misalnya dengan metode Essig, Ernts, Eyelet (Ivy).

Gambar 7. A.essig wire; B.interdental wiring

2. Arch bar wiring, yaitu pengikatan kawat dengan arch bar. Misalnya dengan metode Erich arch bar, Sauers arch bar, hauptmeyes arch bar, Circumferential arch bar. 3. Resin komposit splin dengan menggunakan etsa asam.

4. Penggunaan alat Orthodontik bracket, misalnya pada gigi yang ekstrusi dan avulsi. 5. Metal cast splint, yaitu splin dengan menggunakan logam cor. 6. Sectional acrylic splint, yaitu splin dengan menggunakan bahan dari akrilik. 7. Titanium trauma Splint

Berikut ini akan diuraikan berbagai macam perawatan definitif trauma gigi anterior menurut beberapa pakar bedah mulut yaitu sebagai berikut :

Fraktur MahkotaPada fraktur mahkota yang mengenai email, dentin serta pulpa tanpa disertai kegoyangan gigi biasanya dilakukan penambalan pada gigi yang terkena fraktur dengan resin komposit sistem etsa dengan atau tanpa didahului perawatan endodontik. Tetapi bila disertai dengan kegoyangan gigi dilakukan juga reposisi gigi dan fiksasi gigi tersebut.

Fraktur Mahkota Akar a. Jika fragmen mahkota masih berada ditempat dan tidak goyang, maka perawatan yang dilakukan sama dengan perawatan pada fraktur mahkota. b. Jika garis fraktur jauh kearah apikal dan gigi masih dapat direstorasi, maka dilakukan perawatan endodontik. c. Jika disertai dengan fraktur tulang alveolar, maka sebaiknya dilakukan ekstraksi gigi tersebut. Fraktur Akara. Jika garis fraktur sepertiga apikal prognosisnya sangat baik dan biasanya tidak diperlukan perawatan yang khusus. b. Jika garis fraktur berada sepertiga tengah akar, prognosisnya sangat baik terhadap pemulihan pertahanan jaringan pulpa dan penyembuhan dari fraktur akar tersebut. Dan dalam hal ini diperlukan tindakan reposisi dan fiksasi selama 2-3 bulan, karena pada periode ini biasanya telah terjadi proses kalsifikasi dari jaringan dan gigi kembali vital. c. Jika terjadi fraktur akar vertikal dilakukan tindakan ekstraksi gigi. Gigi Sensitif (Concussion) Perawatan yang khusus pada gigi sensitif ini biasanya tidak ada, hanya diperlukan pemeriksaan yang rutin dan berlanjut untuk mengevaluasi kesehatan dari jaringan periodontal dan pulpa gigi tersebut dan jika perlu mengurangi kontak incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima gigi. Subluksasi GigiGigi yang mengalami subluksasi sensitif terhada perkusi dan goyang. Perawatan yang diperlukan biasanya perawatan simptomatik yaitu dengan memberikan makanan yang lunak dan jika perlu menghilangkan kontak oklusal/incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang diterima dari gigi. Dan apabila kegoyangan gigi sudah sangat ekstrim, dilakukan fiksasi pada gigi lawannya. Perawatan Pada Gigi Yang Berubah Letak 1. Intrusi Gigi Pada apeks yang belum terbentuk sempurna, biasanya dibiarkan saja karena diharapkan pada saat pertumbuhan, gigi akan kembali pada posisi semula. Apabila akar sudah terbentuk sempurna, dilakukan reposisi dan immobilisasi selama 2-3 bulan, dan penggunaan alat orthodonti juga dapat membantu gigi yang mengalami instrusi dapat kembali keposisi semula. 2. Ekstrusi Gigi dan Luksasi Gigi ke lateral Pada gigi yang mengalami ekstrusi dan perubahan letak kearah lateral dilakukan perawatan reposisi gigi dengan tekanan jari, kemudian immobilisasi gigi selama 2-3 minggu. 3. Avulsi Gigi Pada gigi yang mengalami avulsi, dilakukan replantasi gigi dan stabilisasi gigi. Keberhasilan replantasi gigi pada gigi yang mengalami avulsi ini tergantung pada lamanya gigi berada diluar soket. Semakin cepat gigi tersebut direplantasi, maka prognosisnya semakin baik. Andreasen dan Hjorting-Hansen 1 mengemukakan bahwa 90% dari gigi yang direplantasi kurang dari 30 menit setelah terjadi avulsi gigi, tidak terdapat resorpsi akar pada gigi tersebut. Dan resorpsi akar terlihat pada 95% gigi yang direplantasi setelah lebih dari 2 jam mengalami avulsi. Sebelum melakukan replantasi, gigi tersebut direndam dahulu dalam larutan garam fisiologis hangat seperti cairan saline untuk mencegah kekeringan dari serat-serat periodontal. Kemudian gigi tersebut dikeringkan dan setelah saku gusi dibersihkan dari gumpalan darah replantasi dapat segera dilakukan. Setelah gigi direplantasi, gigi tersebut distabilisasi dengan splint sistem etsa asam atau splint akrilik selama 7-10 hari (pada gigi yang apeksnya sudah terbentuk sempurna) dan 3-4 minggu pada gigi yang apeknya belum terbentuk sempurna. Periode stabilisasi pada kasus cedera dentoalveolar dapat dilihat pada tabelMenurut Andreasen, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan replantasi gigi yang mengalami avulsi,1 yaitu sebagai berikut : a. Gigi tersebut tidak mempunyai kelainan periodontal. b. Saku alveolar dapat menyediakan tempat bagi gigi yang direplantasi. c. Tidak ada pertimbangan untuk melakukan perawatan orthodontik, seperti gigi yang berjejal. d. Berapa lama gigi tersebut berada diluar saku alveolar. Gigi yang berada diluar saku gusi kurang dari 30 menit, merupakan indikasi replantasi yang baik, sedangkan jika gigi berada diluar saku alveolar lebih dari 2 jam kemungkinan besar akan terjadi komplikasi yaitu resorpsi dari akar gigi dan gigi menjadi non vital, kecuali sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih dahulu. e. Tingkat perkembangan akar. Fraktur Tulang Alveolar Fraktur tulang alveolar biasanya disertai dengan fraktur dari beberapa gigi sehingga dengan fraktur tulang alveolar ini juga dapat terjadi fraktur mahkota, fraktur akar dan trauma pada jaringan lunaknya.Maka perawatan yang dilakukan adalah mengembalikan bagian yang terkena fraktur keposisi semula dan kemudian dilakukan stabilisasi selama 4 minggu sampai terjadi proses penyembuhan tulang serta penjahitan gusi yang mengalami laserasi.Pada pasien yang mengalami fraktur tulang alveolar yang parah dilakukan tindakan alveolektomi disertai ekstraksi gigi yang mengalami trauma. Gambar 10. Foto panoramic, fraktur dentoalveolar pada maksila (panah). Displacement segmen alveolar dan mengakibatkan maloklusi.

Letak Fraktur pada Daerah Edentulous. Bentuk cedera pada daerah tidak bergigi ini tidak terlalu berarti. Jika mukosa mengalami perlukaan maka sebelum tindakan operatif harus diberikan antibiotik terlebih dahulu baru kemudian dilakukan debridemen, tulang alveolar yang lepas dan berukuran kecil dan tidak dapat dipertahankan dibuang dan dilakukan alveolektomi. Kemudian mukosa gingiva atau rongga mulut diperbaiki dengan cara melakukan penjahitan. Cedera jenis ini jika mengenai daerah edentulous maksilla dapat menyebabkan terjadinya fistula oro-nasal pada daerah premaksilla atau fistula oro- antral di daerah premolar dan molar. Finger pressure dapat digunakan untuk menekan fragmen alveolar yang fraktur ke dalam posisinya yang tepat dan jika pasien menggunakan gigi tiruan dapat digunakan sebagai alat bantu memfiksasi. 5

Masalah jangka panjang yang dapat terjadi jika prosesus alveolaris yang lepas berukuran besar akan mengakibatkan kesulitan saat pembuatan gigi tiruan. Komplikasi ini memerlukan perawatan pendahuluan sebelum pembuatan protesa yaitu augmentasi ridge, pendalaman sulcus atau teknik implant. Letak Fraktur pada Procesus Alveolaris Bergigi. Adanya segmen tulang alveolar yang fraktur dan terdapat gigi permanen pada fragmennya maka diperlukan tindakan reduksi dan imobilisasi, kecuali gigi pada fragmen tulang alveolaris memerlukan pencabutan segera. Perawatann ini dilakukan dengan anestesi lokal dibantu dengan sedasi, seperti diazepam oral atau intra venous. Prognosis fragmen fraktur dapat ditingkatkan dengan tindakan imobilisasi, kemudian gigi ditempatkan secara akurat pada posisinya dan juga membebaskan trauma oklusal dari gigi lawannya. Splinting harus dipertahankan selama 6 minggu, jika terdapat gigi pada garis fraktur maka harus dipertimbangkan perawatan lainnya seperti perawatan endodontik diperlukan jika pulpa mengalami nekrosis. Kadang-kadang pada fraktur dentoalveolar gigi pada fragmen fraktur tidak mendapat dukungan tulang alveolar terutama pada penderita usia tua, maka perlu dirujuk kepada ahli periodontologi dengan melakukan perawatan splinting metoda Von Weissenfluh. Fraktur dentoalveolar pada usia sangat muda dapat membaik tanpa memerlukan imobilisasi dan cukup dirawat dengan pemberian diet lunak. Tetapi bagaimanapun jika fragmen alveolar yang fraktur cukup besar maka tetap diindikasikan untuk pemasangan splint. 5

. 2.8 KOMPLIKASI Komplikasi Trauma Dentoalveolar Komplikasi yang terjadi pada trauma dentoalveolar dapat dibagi 2 yaitu: 1. Komplikasi yang timbul selama perawatan, yang paling umum terjadi adalah Perdarahan, dapat terjadi perdarahan massif akibat robekan jaringan lunak dan pembuluh darah yang disebabkan oleh segmen fraktur. Sumbatan jalan nafas, adanya bekuan darah dan gigi yang terlepas dapat menyebabkan gangguan jalan nafas. Infeksi atau osteomyelitis, kerusakan saraf, imobilisasi maupun displacement gigi, kerusakan ginggival dan periodontal. 2. Komplikasi lanjut, jika terjadi fraktur, tulang alveolar merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union, hal ini akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur alveolardan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.

2.9 PENCEGAHAN Hal terbaik yang dilakukan pada fraktur dentoalveolar adalah melakukan tindakan pencegahan. Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi, terutama dalam perawatan gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian fraktur dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai berikut :1. Perawatan orthodonti; 2. Sabuk pengaman Hal ini dapat mengurangi resiko cedera saat terjadi kecelakaan lalu lintas. 3. Pemakaian helm saat bersepeda; 4. Pemakaian mouth protector; Cedera saat berolahraga dapat dicegah dengan mouth protector. Contoh olahraga yang biasanya membutuhkan alat ini adalah olahraga dinamis, seperti sepakbola, hoki, baseball, softball, dan lain sebagainya5. Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan 6. Edukasi

2.10 PROGNOSIS Trauma pada gigi merupakan salah satu kasus darurat yang memerlukan penanggulangan yang cepat dan tepat, karena keadaan ini mempengaruhi prognosis yang akan datang. Maka pada prinsipnya perawatan trauma gigi anterior ini adalah perawatan untuk mencegah prognosis yang lebih buruk dan mengurangi rasa sakit akibat trauma.4Prognosis Dipengaruhi : Adanyaujungakaryang terbuka Jaringangusiyangintakdankerusakanjaringanperiodontal Kerusakan jaringan tulang pendukung Fraktur akar

BAB IIIKESIMPULAN

Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh trauma secara langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya akibat oklusi yang menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi mandibula ke gigi-geligi maksilla. Cedera dentoalveolar seringkali melibatkan regio anterior maksila Penyebab tersering cedera dentoalveolar adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, perkelahian dan domestic abuse.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologis. Perawatan tergantung pada kasus dan seringkali melibatkan bidang kedokteran gigi lainnya. Tujuan perawatan cedera dentoalveolar adalah memperoleh kembali bentuk dan fungsi normal dari organ pengunyahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Powers, MP, 1991, Diagnosis and management of Dentoalveolar Injuries, In, Fonseca RJ, Oral and Maxillofacial Trauma, Volume 1, WB Saunders Company, Philladelphia. 2. Kaban, LB, 1990, Pediatric Oral and Maxillofacial Surgery, WB Saunders Company, Philladelphia. 3. Ellis, E III, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries, In, Peterson, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Third ed., Mosby Year Book Inc. St. Louis. 4. Schwenzer, N, and Steinhilber, 1982, Appliances for Immobilization, In, Kruger, E and Schilli, Oral and Maxillofacial Traumatology, Vol. 1, Quintessence Publishing Co. 5. Sowray, FH, 1994, Localized Injuries of the Teeth and Alveolar Process, In. Williams, J, Rowe and Williams Maxillofacial Injuries, Second Ed. Churchill Livingstone

11