referat edit dengue

Upload: sambo-pembasmi-lemak

Post on 08-Jan-2016

52 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat dengue

TRANSCRIPT

50

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008). Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD di tiap tahunnya (WHO, 2009). Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak. DBD merupakan suatu penyakit endemik di daerah tropis yang memiliki tingkat kematian tinggi terutama pada anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian DBD maupun Demam Dengue (DD) yang tinggi. Berdasarkan publikasi World Health Organization (WHO) dalam Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, demam dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968, angka kejadian DBD di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2007, dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus DBD dengan lebih dari 25.000 kasus terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Indonesia yang berada di wilayah tropis pada daerah ekuator memungkinkan perkembangbiakan Aedes aegypti yang merupakan vektor dari virus dengue. Beberapa laporan menyebutkan Case Fatality Rate (CFR) dari kasus DBD di Indonesia mencapai 1% (WHO, 2009; Karyanti & Hadinegoro, 2009).Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695 kasus, dengan angka kasus baru 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008). Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008).Di Jawa Timur, DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat dan endemis di hampir seluruh kabupaten/kota. Pada tahun 2010, angka kejadian DBD di Jawa Timur mencapai 25.762 kasus dengan angka kematian 230 jiwa; tahun 2011 menurun tajam mencapai 5.374 kasus dengan angka kematian 65 jiwa; dan tahun 2012 kembali meningkat dengan angka kejadian DBD di Jawa Timur mencapai 8.266 kejadian dengan angka kematian mencapai 119 jiwa (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sampai dengan Juni 2013, telah terjadi 11.207 kejadian DBD dengan Angka Kejadian (Incidency Rate = IR) 29,25 dan CFR 0,88% (99 orang). Berdasarkan laporan yang sama, di Surabaya angka kejadiannya adalah 1.504 kasus dengan CFR 0,4% (6 orang) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013). Surabaya merupakan kota dengan IR DBD tertinggi di Jawa Timur. Sebagai pembanding, Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember yang menempati peringkat kedua dan ketiga IR DBD di Jawa Timur menunjukkan angka 2.506.102 dan 2.375.469 kasus pada Januari hingga Juni 2013. Sebanyak 1.817 kasus DBD telah dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur selama tahun 2014. Sebanyak 160 kasus DBD terlapor dari Kota Malang. (KEMENKES, 2015)Oleh karena banyaknya kasus demam berdarah dengue cenderung meningkat maka pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengertian, diagnosis, dan tata laksana demam berdarah dengue agar dapat menjadi referensi pembelajaran bagi tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan Demam Berdarah Dengue (DBD)?1.2.2Bagaimana cara untuk menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat pada anak?

1.3 Tujuan1.3.1 Untuk mengetahui mengenai Demam Berdarah Dengue (DBD) 1.3.2 Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)1.3.3 Untuk mengetahui penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tepat pada anak.

1.4 ManfaatMenjadi landasan pembelajaran tentang Demam Berdarah Dengue (DBD) pada anak bagi tenaga kesehatan khususnya Dokter Muda di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang.

BAB 2DAFTAR PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang umumnya ditemukan di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis serangga khusus spesies Aedes (Hendratno, 2002). Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan (Depkes RI. 1995). Nyamuk Aedes aegypti biasanya menggigit baik di dalam maupun di luar rumah, biasanya pagi dan sore hari ketika anak-anak sedang bermain (Suprapto. 1995). Penyebab penyakit ini adalah virus Dengue, termasuk dalam kelompok Flavivirus dari famili Togaviridae. Virus ini ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk Aedes spesies sub genus Stegomya (Depkes RI. 1990). Cara penularan penyakit DBD yang terjadi secara propagatif (virus penyebabnya berkembang biak dalam badan vektor), berkaitan dengan gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang merupakan vektor utama dan vektor sekunder DBD di Indonesia (Hoedoyo. 1993).

2.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS). Penyakit ini ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, yang terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4 (Kurane. 2007). Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia (Kurane. 2007).Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat (WHO. 2009).Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89% (Supartha. 2008).Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transeksual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik . Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun (Wulandari. 2004).Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat, tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti kapasitas vektor (kandungan sporozoit pada nyamuk), virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Kapasitas vektor dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia, orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak sistem imun (Suharno. 2003).Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu seperti berat badan, tinggi badan, dan lain lain. Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain (Harahap. 2004).Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot & organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat (Gibson. 1990).Munculnya kejadian DBD dikarenakan berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya (Kasjono. 2008).

2.3. Etiologi Demam Berdarah Dengue

Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. Nimmanitya (1975) di Thailand melaporkan bahwa serotipe DEN-2 yang dominan, sedangkan di Indonesia paling banyak adalah DEN-3, walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan didominasi oleh virus DEN-2 (Soegijanto. 2010).Penelitian epidemiologik yang dilakukan oleh Aryati 2005, Fedik 2007 menemukan bahwa virus Den-2 adalah serotipe yang dominan di Surabaya. Studi epidemiologi yang dilakukan (Yamanaka dkk) pada tahun 2009 dan 2010 pada penderita Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) ditemukan virus D1 genotype IV yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Soegijanto. 2010).Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2 mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2% (Soegijanto. 2010).Virus Dengue seperti famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian genom RNA disusun didalam satu unit protein yang dikelilingi dinding ikosahedral yang tertutup oleh selubung lemak. Genome virus Dengue terdiri dari 11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C) Membran (M) Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4, NS4B, dan NS5). Dinding ikosahedral berbentuk seperti bulat, tetapi kalau dilihat secara dekat akan nampak ikosahedron terdiri dari segitiga sama sisi menyatu bersama-sama dalam bentuk bola. Bahan genetik sepenuhnya tertutup di dalam kapsid. Virus dengan struktur ikosahedral yang dilepaskan ke lingkungan ketika sel mati, pecah, sehingga melepaskan virion. Contoh virus dengan struktur ikosahedral yang virus polio.Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di sinusoid hepar (Soegijanto. 2010).

2.4 Patofisiologi Demam Berdarah Dengue

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunpatologis berperan dalam terjadinya DBD dan sindrom renjatan dengue (Hendarwanto, 1996).Respons imun yang diketahui berperan delam patogenesis DBD adalah respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitt TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan terbentuknya terbentuknya C3a dan C5a (Hendarwanto, 1966).Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyababkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-cx, IL-1, PAF (platelet activating factor), lL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma (Suharti C, 2001).Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi sumsum tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD (Virus Dengue), konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP (Adenosine diphosphate), peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 (platelet factor 4) yang merupakan petanda degranulasi trombosit.Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinslk (tissue factor pathway) (Suharti, 2001).2.5 Gambaran Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam bedarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD) (WHO, 2012).

Gambar 2.1 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue berdasarkan Keparahannya (WHO, 2012)

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat. Fase demam berdarah menurut WHO 2012 adalah sebagai berikut :1. Fase Demam Tinggi (Febris)Pada fase demam berdarah yang pertama ini terjadi pada hari ke 1 - 3 dan ditandai dengan demam yang mendadak tinggi disertai sakit kepala, badan terasa ngilu dan nyeri, mual. Seringkali disertai dengan bintik merah di kulit yang tidak hilang saat kulit diregangkan (petekie). Pada beberapa kasus yang terjadi, bahkan ditemukan adanya nyeri tenggorokan, infeksi pada faring dan juga pada konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.2. Fase Kritis Pada fase kedua demam berdarah ini terjadi pada hari ke 4 - 5. Fase ini ditandai dengan demam yang mulai menurun disertai dengan penurunan kadar trombosit dalam darah dan fase ini seringkali mengecohkan karena seolah-olah demamnya turun dan penyakitnya sembuh. Namun inilah yang disebut Fase Kritis Demam Berdarah dan kemungkinan terjadinya DSS (Dengue Shock Sindrome). Pada fase ini dapat terjadi pendarahan hidung, mulut, kulit pucat dan dingin, serta terjadi penurunan kesadaran.3. Fase KonvalesensePada fase ini terjadi pada hari ke 6 - 7. Dalam fase penyembuhan ini keadaan umum dari penderita mulai membaik. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik stabil dan diuresis membaik dan akan kembali normal. Dan pada saat ini akan jauh lebih baik bila penderita diberikan gizi yang baik untuk meningkatkan keadaannya serta juga meningkat kadar daripada trombositnya.

Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit Dengue (WHO, 2012)

Berikut adalah tingkat derajat demam berdarah berdasarkan dan menurut WHO yaitu :1. Demam Berdarah derajat 1. Pada derajat I ini tanda yang dapat kita kenali adalah adanya tanda infeksi virus, dengan manifestasinya yang berupa perdarahan pada kulit yang tampak hanya dengan melalui tes yang disebut dengan tes Uji Torniquet positif.2. Demam Berdarah derajat 2. Pada derajat II ini maka tanda infeksi virus didapatkan dengan manifestasinya yang berupa adanya perdarahan spontan (mimisan, bintik-bintik merah) dan lebih parah kondisinya dari pada fase demam berdarah tahap pertama.3. Demam Berdarah derajat 3. Pada derajat III ini disebut juga dengan nama fase pre syok, dengan tanda DHF grade II namun penderita akan mulai mengalami tanda syok ditandai dengan gejala seperti halnya : penurunan kesadaran, tangan dan kaki terasa dingin, nadi teraba cepat dan lemah, tekanan nadi masih terukur walaupun kecil.4. Demam Berdarah derajat 4. Pada fase IV dari demam berdarah dengue ini seringkali kita menyebutnya dengan fase syok (disebut juga dengue syok syndrome/DSS), penderita syok dalam dengan kesadaran sangat menurun sampai dengan koma, tangan dan kaki dingin serta pucat, nadi teraba sangat lemah sampai tidak teraba, tekanan nadi tidak dapat terukur.

Gambar 2.3 Klasifikasi Infeksi Dengue menurut WHO dan Derajat Keparahan DBD (WHO, 2011)

2.6 Diagnosis Demam Berdarah DengueManifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak, kontinua, kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam disertai dengan gejala lain yang sering ditemukan pada demam dengue seperti muka kemerahan (facial flushing), anoreksia, mialgia dan artralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri epigastrik, mual, muntah, nyeri di daerah, subkostal kanan atau nyeri abdomen difus, kadang disertai sakit tengoorok. Faring dan konjungtiva yang kemerahan (pharyngeal infection and ciliary infection) dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik. Demam dapat mencapai suhu 40o C, dan dapat disertai kejang demam.Manifestasi perdarahan dapat berupa uji torniquet yang positif, petekie spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila, muka, dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna, hematuria lebih jarang ditemukan. Perdarahan berat dapat ditemukan.Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit, namun berlangusng singkat sehingga sering luput dari pengamatan orang tua. Ruam konvalesens seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak fase demam, dengan pembesaran bervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta. Perlu diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian pemeriksa. Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan dengan derajat penyakit, namun hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok dengue).Pada DBD dapat terjaidi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding kandung empedu (gall bladder wall thickening) mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (20% dari data dasar) dan penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum (>0,5 g/dl dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma. Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok dengue yang memperburuk prognosis.Perjalanan penyakit demam berdarah Dengue terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan atau fase konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase mempunyai resiko yang dapat memperberat keadaan sakit. 2.6.1Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik2.6.1.1 Fase DemamPada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.2.6.1.2 Fase KritisFase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadina syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs). Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke 4-6. Muntah terus menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap walaupun sudah terjadi syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal pembesaran plasma, dan pada umumnya didahului oleh leuokopenia (5.000 sel/mm3).Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan hematokrir mendahului perubahan tekanan darah serta volumen nadi, oleh karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai respon stres pada pasien dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis pembesaran plasma dan kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome.2.6.1.3Fase PenyembuhanApabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang intravaskular yang berlangusng secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, geala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhuh tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Penyulit dapat terjadi pada fase demam, fase kritis, dan fase konvalesens seperti tertera pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Penyulit pada fase demam, kritis dan konvalesensFaseGejala Klinis

DemamDehidrasiDemam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi dan kejang demam

KritisSyok akibat perembesan plasmaPerdarahan masifGangguan organ

KonvalesensHipervolemia (jika terapi cairan intravena diberikan secara berlebihan dan/atau dilanjutkan sampai fase konvalesens)Edema paru akut

2.6.2Pemeriksaan LaboratoriumKriteria laboratorium untuk menegakkan diagnosis DBD adalah sebagai berikut: 1) Trombositopenia (= 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelum sakit atau masa konvalesens.3) Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemiaDua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DBD (IDAI, 2012). Tes serologis, kultur viral dari plasma (50% sensitif pada hari ke 5) (Levin & Weinberg, 2009), pemeriksaan IgM dengan ELISA (Sondheimer, 2008), titer antibodi IgG yang meningkat 4 kali, serta pemeriksaan dengan PCR terhadap virus dengue dapat membantu penegakkan diagnosa pasien DBD. Pada penderita DBD dengan encephalitis, harus diperiksa CSS/CSF untuk membantu diagnosa (American Academy of Pediatrics, 2007)2.6.2.1Deteksi Asam Nukleat VirusGenome virus Dengue yang terdiri dari asam ribonukleat atau RNA dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bias berupa nested-PCR, one step multiplex RT-PCR, real time RT-PCR, dan isothermal amplification method. Pemeriksaan inin hanya tersedia di laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal.2.6.2.2Deteksi Antigen Virus DengueDeteksi antigen virus Dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus Dengue, yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua flaviirus yang penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari. Sensitivitas tinggi pada 1-2 hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya.2.6.2.3Pemeriksaan Serologi IgM dan IgG Anti DengueImmunoglobulin M anti Dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah sembilan puluh hari. Pada infeksi Dengue primer, IgG anti Dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti Dengue, namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti Dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik NS-1 antigen birus Dengue dan IgG serta IgM anti Dengue merupakan petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer dengan infeksi sekunder. Interpretasi hasil pemeriksaan IgM dan IgG dapat dilihat pada Tabel 2.2.Tabel 2.2 Interpretasi hasil pemeriksaan IgM dan IgG

IgMIgGInterpretasi

(+)(-)Infeksi primer

(+)(+)Infeksi sekunder

(-)(+)Pernah terinfeksi

(-)(-)Tidak ada infeksi

2.6.3Diagnosis BandingDiagnosis banding demam berdarah Dengue pada fase demam dan fase kritis dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4.

Tabel 2.3. Kondisi yang Menyerupai Fase Demam

Flu-like SyndromeInfluenza, campak, chikungunya, mononukleosis infeksiosa

Penyakit dengan ruamRubela, campak, demam skarlatina, infeksi meningokokus, chikungunya, reaksi obat (drug fever)

Penyakit diareRotavirus dan infeksi mikroorganisme enterik lain

Penyakit dengan manifestasi neurologisMeningoensefalitis, kejang demam

Tabel 2.4 Kondisi yang menyerupai fase kritis

Penyakit InfeksiGastroenteritis akut, malaria, leptospirosis, tifoid, virus hepatitis, sepsis, syok sepsis

KeganasanLeukemia akut dan keganasan lain

Gambaran klinis lainAkut abdomen, apendisitis akut, kolesistitis akut, asidosis laktat, diabetes ketoasidosis sindrom Kawasaki, trombositopenia dan perdarahan, kelainan trombosit, gagal ginjal, distres pernafasan

2.7Tatalaksana Demam Berdarah Dengue

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan bertujuan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan seperti terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu dilakukan. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum) (WHO, 2009). 1. Demam DenguePasien DD tidak perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit. Beri edukasi pasien untuk :a. Tirah baring, selama masih demamb. AntipiretikUntuk menurunkan suhu menjadi