referat - achalasia oesophagus edit

Upload: elisgrety

Post on 11-Oct-2015

130 views

Category:

Documents


32 download

TRANSCRIPT

Bagian RadiologiFakultas KedokteranReferatUniversitas Halu OleoApril 2014

ACHLASIA ESOFAGUS

Oleh:Elisabeth Grety Rimporok, S.Ked

Pembimbing :dr. Ruslan Duppa, M.Kes, Sp. Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKPADA BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HALU OLEOKENDARI2014HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Achalasia EsofagusNama : Elisabeth Grety RimporokStambuk : K1A1 09 026Bagian: RadiologiFakultas : Kedokteran

Menyetujui :

Pembimbing, Penguji,

dr. Hj. Asirah Aris, Sp.Rad dr. Ruslan Duppa, M.Kes Sp.Rad

Mengetahui,Kepala SMF/Bagian Radiologi

dr. Hj. Asirah Aris, Sp.Rad

DAFTAR ISII. PENDAHULUANII. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGIIII. ETILOGI DAN PATOFISIOLOGIIV. ANATOMI DAN FISILOGIV. DIAGNOSISA. Gambaran KlinikB. Gambaran RadiologiC. Pemeriksaan EsofagoskopiD. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi dan MonometriVI. DIFFERENSIAL DIAGNOSISVII. KOMPLIKASIVIII. PENATALAKANAANIX. PROGNOSISDAFTAR PUSTAKA

ACHALASIA ESOFAGUSElisabeth Grety, Ruslan DuppaI. PENDAHULUANAkalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti gagal untuk mengendur dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. (1,2)II. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGIPrevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.(2)

III. ETILOGI DAN PATOFISIOLOGIDasar penyebab Akalasia adalah tidak efektifnya peristaltis esophagus bagian distal serta gagalnya relaksasi sfingter bawah. Secara histologik, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia.(2,3,4)Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu: (3)1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus. Disamping itu, faktor keturunan juga cukup berpengaruh pada kelainan ini.2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi. IV. ANATOMI DAN FISILOGIEsofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung.(5)Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase yaitu :1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring terangkat.2. Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring.3. Fase oesophageal, fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat.(5)V. DIAGNOSISA. Gambaran KlinikAkalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal.5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.(3,4)6. Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.(6)B. Gambaran Radiologi1. Foto Polos ThoraksPada pemeriksaan Foto foto polos memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam menegakkan diahnosis akhalasia. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan dada akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan udara (air fluid level ) tampak retrocardia yang didapatkan pada pasien stadium lanjut. 2,3,5

Gambar 1. Foto Thoraks dengan gambaran Akalasia esofagus dilatasi dengan tingkat cairan udara (dikutip dari kepustakaan 7)2. Kontras BariumPemeriksaan radiologik dengan kontras menggambarkan adanya penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus pada bagian proksimalnya. Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like appearance6

Gambar 1. Gambar menunjukan teknik dari Timed Barium Esopphagogram (TBE) menunjukan 3 radiograf dalam satu film pada menit ke 1,2,dan 5 setelah pemberian 250 ml Barium (dikutip dari kepustakaan 7) Gambar 2. Barium swallow study tampak tanda klasikbirds beak deformity pada distal oesophagus (dikutip dari kepustakaan 8)Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus , sering berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan gambaran paruh burung (birds beak appearrance). Bagian esofagus yang berdilatasi tampak hipertropi dengan dinding yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda elongasi.6,7,83. CT ScanTidak biasanya digunakan untuk diagnosis. Dilihat sebagai struktur luminal melebar dengan puing-puing dipertahankan dan penyempitan pada tingkat di mana ia memasuki perut.

Gambar 3. Pemeriksaan Computed tomography scan dengan kontras menunjukan akalasia Esofagus (dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 4. Pemeriksaan Computed tomography scan dengan kontras menunjukan akalasia Esofagus (dikutip dari kepustakaan 9)

4. FluoroskopiPada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus esofagus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang mengandung radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa kontraksi. Di samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat gangguan pengosongan esofagus.8,9 C.EsofagoskopiEsofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah.Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan esofagoskopi ditemukan gambaran mukosa normal, kadang-kadang didapatkan hiperemia ringan difus di bagian distal esofagus. Juga didapatkan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan kelainan karena striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia selain untuk diagnosis juga dapat membantu terapi,sebagai alat pemasangan kawat penunjuk arah sebelum tindakan dilatasi pneumatik.3

C. Patologi AnatomiGambaran histopatologik akalasia ditandai dengan degenerasi ganglia pleksus Auerbach yang mengatur motilitas esofagus. Selain itu, terjadi dilatasi dan hipertrofi esofagus.Bila hasil dalam pemeriksaan radiologi masih membingungkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan manometri.(4,11)Kriteria Manometrik :a. Keadaan normal : Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan Gelombang tunggal 5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30 detikb. Pada akalasia : Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg Relaksasi SEB tidak sempurna Aperistaltik korpus esofagus Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)

IV. DIFFERENSIAL DIAGNOSISDiagnosis banding akalasia primer adalah : (3)a. Penyakit Chagas juga dapat memberikan gambaran akalasia, akan tetapi biasanya disertai megakolon, megaureter, dan penyakit miokardial.b. Skleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia, akan tetapi gangguannya hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan SEB.c. Akalasia sekunder seperti adenokarsinoma gaster yang meluas ke esofagus.V. KOMPLIKASIBeberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada esofagus adalah sebagai berikut:11) Obstruksi saluran pethapasan2) Bronkhitis3) Pneumonia aspirasi4) Abses paru5) Divertikulum6) Perforasi esofagus7) Small cell carcinoma8) Sudden death

VI. PENATALAKSANAANSifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi Heller) (12)a. Terapi Non Bedah1. Terapi MedikasiPemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah. Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia yang mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau pembedahan.2. Injeksi Botulinum ToksinSuatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.1,24. Pneumatic DilatationPneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi Heller.b. Terapi BedahSuatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks.

Gambar 6. Postoperative barium meal dari pasien dengan akalasia setelah Heller myotomy dan prosedur anti-reflux Belsey-Mark IV (dikutip dari kepustakaan 13)Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi, operas kedua, atau pengangkatan esofagus (mis: esofagektomi).(10,13)

VII. PROGNOSISPrognosis Achalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin sedikit gangguan motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller) memberikan hasil yang sangat baik.(14)

DAFTAR PUSTAKA1. Siegel, G. Leighton. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies, Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta. EGC. Hal. 4-4622. Sjamsuhidajat. 1997. Wim de Jong Buku Ajar Itmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal. 9-6763. Bakry F. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 322-324. (vol 1).4. Soepardi, A. Efiaty, Iskandar, Nurbaiti. 2001. Akalasia. Dalam: Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Hal: 2-2405. Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 357-358,363-365. (vol 1)6. Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 4067. Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign in diagnostic imaging. 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1984. p. 522,525-526. (Abdomen; vol 1).8. Paul and Juhls. The Abdomen and Gastrointestinal Tract. Essential of Rontgen Interpretation. 4th ed. Cambridge : Harper & Row Publishers ; 1981. p.529-530.9. Sawyer MAJ. Achalasia. [Online]. 2006 Jun 22 [cited 2007 September 29]; Available from: URL: http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm\10. Teplick,J.George, Marvin E. Haskin. Disease of the Digestive System. Rontgenologic Diagnosis vol 2. 3rd ed.Phyladelphia; WB Saunders Company ; 1976. p.889 891.11. Levine, M.Achalasia and diffuse esophageal spasm: Spectrum of findings and complementary roles of barium studies and manometry. [updated: May 2006]; [cited: 6 4 Dec 2013]. Available from URL: http://www.appliedradiology.com/uploadedfiles/Issues/2006/05/Articles/AR_05-06_Levine.pdf12. Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 40613. Hirano,Ikuo. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm. [Online]cited 2007 September 29; Available from : http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html#f114. Marks, Jay W., Lee, Dennis. Achalasia. http://www.medicinenet.com. 2010. Accessed on: August 22th, 201015. Goyal, Raj K. 1994. Diseases of The Esophagus. In: Jeffers, J. D., Boynton, S. D. Harrisons Principles of Internal Medicine, 13th edition. McGraw-Hill, Inc. New York. Pg. 1358