referat-dentoalveolar (1)

19
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada pasien trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien emergensi, dan 2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan kecelakaan olahraga.Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2-3 : 1. 2 Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan bentuk dari pada alveolus.3 Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah

Upload: ahmad-zaini-miftah

Post on 19-Jan-2016

159 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

trauma dentoalveolar

TRANSCRIPT

Page 1: referat-dentoalveolar (1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering tejadi pada pasien trauma.

Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar 15 % dari semua pasien emergensi, dan

2% dari kasus tersebut melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya

mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang terjatuh,

ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang terjadi pada

kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang

terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan sepeda, kecelakaan

sepeda motor, dan kecelakaan olahraga.Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan

kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma

adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral,

15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada

kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan

2-3 : 1. 2 Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar meliputi kemungkinan adanya luka

pada bibir dan umumnya terjadi edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan

alveolus kemungkinan terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan

bentuk dari pada alveolus.3 Selain itu pada saat palpasi hati-hati pada saat memeriksa

bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk mengetahui apakah ada benda asing atau gigi

di dalam jaringan tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan perubahan

bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitasi.

.Trauma dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera jaringan keras dan lunak.

Manifestasi trauma pada jaringan keras dapat mengakibatkan fraktur dentoalveolar. Fraktur

dentoalveolar dapat berupa fraktur pada jaringan keras gigi tersebut atau dapat juga pada

tulang pendukungnya. Cedera yang berakibat pada tulang pendukung biasanya disebut

luksasi. Insidensi kasus luksasi lebih banyak terjadi pada anak karena sifat jaringan

pendukung atau tulang yang menopang akar gigi lebih berongga dan rasio antara akar dan

mahkotanya lebih kecil

dibandingkan dengan gigi permanen. Pasien trauma pada anak berbeda dengan orang

dewasa meskipun memiliki luka yang serupa. Pasien anak memiliki kemampuan

Page 2: referat-dentoalveolar (1)

penyembuhan cepat dan komplikasi yang minimal karena vaskularisasi yang baik dari

wajah dan kemampuan pertumbuhan yang merupakan sifat pada anak untuk beradaptasi.

Pemulihan jaringan orofasial yang rusak dapat dimaksimalkan dan hilangnya

fungsi dapat diminimalkan . Cedera pada wajah karena trauma berpengaruh pada

pertumbuhan dan perkembangan pasien anak.

Hal ini membuat tindak lanjut penanganan jangka panjang perlu diperhatikan

(Thaller and McDonald, 2004)

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana etiologi terjadinya trauma dento alveolar

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini yaitu:

1. Agar pembaca dapat mengetahui pengertian dari trauma dento alveolar

2. Agar pembaca dapat mengetahui penyebab trauma dento alveolar

3. Agar pembaca dapat mengetahui gejala trauma dento alveolar

4. Agar pembaca dapat mengetahui bagaimana pengobatan dari trauma dento alveolar

1.4 Manfaat Penulisan

Dengan disusunnya referat in trauma dento alveolar , kita diharapkan sebagai dokter

dapat mengetahui tentang etiologi, patofisiologi, dan juga dapat lebih tepat dalam

mendiagnosa maupun memberikan terapi pada penderita yang trauma dento alveolar

banyak terjadi disekitar kita.

Page 3: referat-dentoalveolar (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian

terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan

bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang

rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-

definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas

jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.

2.2 KLASIFIKASI

2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar

Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa kejadian.

Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat untuk

setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang baik selama perawatan.

Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan informasi yang komprehensif dan

universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak

klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak

dijadikan pedoman dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut

World Health Organization (WHO). Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health

Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan

keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini

klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan fraktur

dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan

tulang pendukung (Welbury, 2005) :

1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1)

a. Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa

hilangnya substansi gigi.

b. Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.

c. Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa

melibatkan pulpa gigi.

d. Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan dentin

dengan pulpa yang terpapar.

Page 4: referat-dentoalveolar (1)

e. Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture): fraktur

email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.

f. Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur email,

dentin,dan sementum dengan pulpa yang terpapar.

g. Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat

disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal (gingiva).

Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005)

2. Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2)

a. Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.

b. Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.

c. Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.

d. Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.

e. Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar.

f. Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Page 5: referat-dentoalveolar (1)

Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

3. Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3)

a. Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya

soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.

b. Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas

pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.

c. Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar

yang dapat melibatkan soket gigi.

d. Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket Alveolar.

Page 6: referat-dentoalveolar (1)

Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005)

2.3 ETIOLOGI

Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma

langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio anterior. Trauma

tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang atas, gigi patah pada

bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar dan molar, dan juga pada kondilus dan

simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma adalah kombinasi dari energi

impaksi, resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan

sudut arah gaya impaksi. (Welburry, 2005). Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan

perbandingan antara 26% dan 82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi

yang diteliti. Olahraga merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman,

etal., 2007).

Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,

serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena trauma

biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron and Widmer,

2008). Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi

anteriorpada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak

dengankondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal. Anak

dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi trauma

dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan and McTigue, 2005). Tabel 2.1

menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila dengan perbedaan overjet.

Menurut frekuensi terjadinya antara lain:

1. kekerasan inter personal

2. sporting injuries (olahraga)

3. jatuh

4. kecelakaan lalu lintas

5. industrial trauma

Dentoalveolar injury dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, mulai dari anak-

anak, remaja, hingga dewasa. Pada masa kanak-kanak dan balita, penyebab utamanya

biasanya adalah jatuh, terutama pada usia setahun pertama. Penyebab lainnya dapat berupa

kekerasan yang dilakukan pada anak. Pada masa remaja, penyebabnya umumnya adalah

Page 7: referat-dentoalveolar (1)

olahraga. Pada usia dewasa, biasanya penyebabnya adalah karena kecelakaan dalam

berkendara, assaults, jatuh, olahraga, dan kecelakaan pabrik

Prevalensi dan Insidensi

1 dari 5 anak dan 1 dari 4 dewasa memiliki bukti dental injuri pada gigi anteriornya.

Bahkan pada beberapa negara, prevalensi trauma dental lebih banyak daripada dental karies.

Laki-laki lebih sering mengalami trauma ini 2x lebih besar dari perempuan. Insidensi

puncak dari dental injuri yaitu pada usia 2-4 dan 8-10 tahun.

2.4 MENIFESTASI KLINIS

Tanda-tanda klinis traumadentoalveolar diantaranya adalah

adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen,

laserasi pada gingiva dan vermilion bibir

adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan

pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi

adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya

adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar

mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang

pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa

terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir

Page 8: referat-dentoalveolar (1)

2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

Cedera pada gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan sebagai

suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil, dibutuhkan suatu

penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang cepat. Riwayat mekanisme dan

kejadian yang lengkap harus didapatkan dan langsung dilakukan pemeriksaan klinis dan

radiografis untuk menjamin diagnosa dan perawatan yang tepat. 1,3 Langkah pertama dalam

proses mendiagnosa yaitu mendapatkan riwayat kecelakaan yang akurat. Riwayat yang

komprehensif harus didapatkan dari pasien, orangtuanya atau orang yang mengetahui

informasi yang berhubungan dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya,

terapi apa yang sudah diberikan sebelumnya.

1. Anamnesis.

Yang dimaksud dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma. Anamnesis

dapat dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau pengantar. Dalam

melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang harus diketahui antara lain sebagai

berikut :

a. Kapan Terjadinya Trauma.

Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting diketahui bukan hanya untuk

menentukan jenis perawatan yang akan dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap

prognosisnya. Seperti pada gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di

replantasi, maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur rahang yang proses

penyembuhannya akan berpengaruh jika perawatannya ditunda.

b. Dimana Tempat Trauma Terjadi.

Hal ini penting karena mungkin saja penderita memerlukan suntikan anti tetanus karena luka

akibat trauma tersebut terjadi di daerah yang kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi

dengan bakteri. Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan kemungkinan

ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka.

c. Bagaimana Trauma Terjadi.

Informasi ini penting untuk mengetahui apakah trauma tersebut mengenai benda keras atau

tumpul atau lunak. Karena trauma pada benda keras dapat mengakibatkan fraktur ahkota

gigi, sedangkan trauma pada benda yang lunak atau tumpul seperti siku biasanya dapat

mengakibatkan fraktur akar gigi dan luksasi.

d. Perawatan yang Sudah Didapat.

e. Riwayat Trauma pada Gigi

Page 9: referat-dentoalveolar (1)

f. Penyakit Sistemik yang Diderita.

g. Keluhan Lain.

h. Gangguan Pengunyahan.

2 . Pemeriksaan Klinis.

3 . Pemeriksaan Fisik,

Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita, meliputi pemeriksaan denyut nadi,

pernafasan, tekanan darah, tingkat kesadaran dan suhu tubuh. Pemeriksaan Ekstra Oral Pada

kasus trauma gigi anterior ini dapat dilakukan dengan cara visual dan palpasi. Palpasi pada

wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang rahang yang menunjukkan adanya

fraktur, gangguan pergerakan rahang, kelainan saraf serta hematoma.

Pemeriksaan Intra Oral, Pemeriksaan ini penting untuk mendapatkan informasi agar

dapat memberikan pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada

pemeriksaan intra oral meliputi antara lain :

a) Perkusi gigi

b) Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar.

c) Pencatatan adanya perubahan warna gigi

d) Pencatatan kerusakan jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit- langit

dan lidah.

e) Pencatatan perubahan letak gigi

f) Tes vitalitas dari gigi

g) Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara palpasi

prosesus alveolaris.

4. Pemeriksaan Radiologis

Kegunaan Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu

menegakkan diagnosa kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat dan benar. Biasanya

pemeriksaan radiologis dilakukan pada saat sebelum memulai perawatan dan pada saat

kontrol sesudah perawatan sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan.

Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya :

a. Untuk melihat arah garis fraktur

b. Adanya fraktur akar

c. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau ekstrusi

d. Adanya kelainan dari jaringan periodontal

e. Tingkat perkembangan akar

f. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar

Page 10: referat-dentoalveolar (1)

g. Adanya fraktur rahang

h. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga mulut, seperti

dasar mulut, bibir dan pipi.

Macam-macam foto rontgen yang digunakan Teknik foto rontgen yang biasa

digunakan dalam melakukan pemeriksaan riologis pada kasus trauma gigi anterior adalah

teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra

oral (foto panoramik, foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis

fraktur tidak terlihat.

2.7 PENATALAKSANAAN

Fraktur dentoalveolar pada merupakan kondisi kedaruratan medis yang harus segera

ditangani agar tidak mengakibatkan prognosis yang buruk ke depannya. Prinsip perawatan

fraktur dentoalveolar pada ini adalah mencegah prognosis yang buruk dan mengurangi rasa

sakit akibat fraktur. Semakin cepat cedera ditangani, maka prognosisnya semakin baik.

Banyak komplikasi pasca trauma dentoalveolar yang terjadi disebabkan penanganan yang

lambat (Fonseca, 2005). Perawatan fraktur dentoalveolar terbagi menjadi 2 tahap, yaitu

perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan perawatan terhadap

bagian dentoalveolar yang terkena trauma (perawatan definitif) (Indrawati, 2011).

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi selama perawatan:

Infeksi

Kerusakan saraf

Gigi yang berpindah tempat

Komplikasi pada daerah gingival dan periodontal

Reaksi terhadap obat

Maloklusi

 2.9 PENCEGAHAN

Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi, terutama dalam perawatan

gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian fraktur

dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai berikut (Cameron and Widmer, 2008):

1. Perawatan orthodonti;

2. Sabuk pengaman;

Page 11: referat-dentoalveolar (1)

3. Pemakaian helm saat bersepeda;

4. Pemakaian mouth protector;

5. Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan

6. Penyuluhan kepada para orang tua

Tindakan pencegahan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi.

2.10 PROGNOSIS

Semakin cepat cedera ditangani, maka prognosisnya semakin baik. Banyak

komplikasi pasca trauma dentoalveolar yang terjadi disebabkan penanganan yang lambat

(Fonseca, 2005). Perawatan trauma dentoalveolar pada ini adalah mencegah prognosis yang

buruk dan mengurangi rasa sakit.

Page 12: referat-dentoalveolar (1)

BAB III

RINGKASAN

Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis atau flegmon

yang progresif. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya

ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis

(sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).Dilaporkan sekitar 90% kasus

angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi

gigi maupun oral hygiene yang kurang.Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari

terinfeksinya molar kedua atau ketiga rahang bawah, dapat pula dari

perikoronitis.Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita melalui isolasi

adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.Manifestasi klinis dari angina

Ludwig meliputi pembengkakan, nyeri dan terdorongnya lidah ke atas; pembengkakan leher

dan jaringan ruang submandibular yang keras seperti papan; malaise; demam; disfagia.

Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri dan adanya

stridor inspirasi mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas.Penatalaksaan angina

Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu: pertama, menjaga patensi jalan napas dengan

intubasi nasal, trakeostomi, krikotiroidotomi atau trakheotomi; kedua, terapi antibiotik IV

secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi; ketiga,

dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental dengan cara insisi atau

drainase abses. Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan

napasuntuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan

radang.

Page 13: referat-dentoalveolar (1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.Journal of

Oral Pathology & Medicine. August 9 1996.

2. Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan

Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.

3. Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Tarumanagara.

4. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret

2008;Vol.21.

5. Hartmann RW. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family Physician.

July 1999;Vol. 60.

6. Winters S. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal of the

American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol. 15(Issue 12).

7. Anonymous. Ludwig's Angina. available at: http://www.mdguidelines.com/ludwigs-

angina.

8. Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed. Pennsylvanya: Elsener

Mosby; 2005.

9. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.