referat rosesea 1

22
ROSASEA Daniela Selvam, S.Ked Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNSRI / RSUPMH Palembang 2015 PENDAHULUAN Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah yang menonjol atau cembung yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan telangiektasi disertai episode peradangan yang memunculkan erupsi papul, pustul, dan edema. Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing). Rosasea lebih sering terjadi pada populasi kulit putih, namun dapat terjadi pada populasi Afrika dan Asia. Berdasarkan National Rosacea Society (NRS) diperkirakan terjadi pada 14 juta orang Amerika. Rosasea dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Rosasea sering terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Terapi rosasea dikatakan berhasil jika tanda dan gejala klinis berkurang serta angka kejadian kekambuhan menurun. Diagnosis awal serta kombinasi terapi tabir surya dan topikal yang cepat dan tepat dapat mengurangi risiko terapi oral dan biaya untuk terapi laser dan sinar. Walaupun rosasea telah banyak diketahui secara umum, rosasea tetap menjadi suatu kontroversi terutama pada ahli- 1

Upload: daniela-selvam

Post on 11-Jan-2016

233 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

min

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Rosesea 1

ROSASEA

Daniela Selvam, S.KedBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK UNSRI / RSUPMH Palembang2015

PENDAHULUAN

Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah yang menonjol atau

cembung yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan telangiektasi disertai episode

peradangan yang memunculkan erupsi papul, pustul, dan edema. Selain itu, pada periode

tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi hanya dalam

beberapa menit (flushing).

Rosasea lebih sering terjadi pada populasi kulit putih, namun dapat terjadi pada populasi

Afrika dan Asia. Berdasarkan National Rosacea Society (NRS) diperkirakan terjadi pada 14

juta orang Amerika. Rosasea dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, dimana

perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Rosasea sering

terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan

dewasa muda. Terapi rosasea dikatakan berhasil jika tanda dan gejala klinis berkurang serta

angka kejadian kekambuhan menurun. Diagnosis awal serta kombinasi terapi tabir surya dan

topikal yang cepat dan tepat dapat mengurangi risiko terapi oral dan biaya untuk terapi laser

dan sinar.

Walaupun rosasea telah banyak diketahui secara umum, rosasea tetap menjadi suatu

kontroversi terutama pada ahli-ahli dermatologi, sebagian besar disebabkan karena

patofisiologi yang belum jelas dan variasi gejala klinisnya. Sebagian besar para ahli meyakini

bahwa perubahan vaskular, terutama flushing merupakan suatu gambaran yang khas dan

konstan yang diikuti dengan progresifitas ke arah inflamasi (papul dan pustul) dan adanya

limfederma kronik, penebalan kulit, dan rhinofima merupakan suatu komplikasi lanjut.

Walaupun demikian, banyak kasus yang tidak menunjukkan pola yang jelas tentang hal

tersebut.

Referat ini membahas mengenai rosasea meliputi epidemiologi, etiologi, patogenesis,

gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, terapi, prognosis dan kesimpulan sehingga

diharapkan mendapat pemahaman tentang rosasea secara menyeluruh.

1

Page 2: Referat Rosesea 1

DEFINISI

Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit, berbentuk

seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak

kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan

dahi. Penyakit ini ditandai juga dengan adanya eritema yang berkepanjangan dan

telangiektasis disertai dengan papul atau pustul. Selain itu, pada periode tertentu wajah

tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit

(flushing).

Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di mana tidak

semua ciri-ciri selalu muncul. Suatu usaha dilakukan baru-baru ini untuk menentukan kriteria

diagnosis menyimpulkan bahwa adanya satu atau lebih dari tanda-tanda berikut dengan

distribusi pada bagian sentral wajah dipikirkan sebagai rosasea yaitu flushing (kulit

kemerahan dan terasa panas terbakar), eritema non transient, papul, pustul, dan telangiektasis.

EPIDEMIOLOGI

Rosasea lebih sering terjadi pada ras kulit putih tetapi kemungkinan ras Afrika dan ras

Asia juga dapat menderita rosasea. Insiden terjadinya pada usia 30-50 tahun, dengan insiden

puncak antara 40-50 tahun. Namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa

muda.

Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi pada perempuan

dibanding laki-laki dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan

laki-laki. Tapi rhinofima, salah satu jenis rosasea lebih sering menyerang laki-laki dibanding

perempuan. Data insiden rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat bervariasi ras

Asia dan insiden terendah pada populasi berkulit hitam. Walaupun rosasea bukan merupakan

penyakit yang mengancam jiwa, namun perkembangannya yang meliputi papul, pustul, dan

rinophima mempunyai dampak negatif terhadap kualitas hidup dari penderitanya. Survei yang

dilakukan oleh National Rosasea Society melaporkan bahwa sampai 70% pasien rosasea

menyatakan penyakit tersebut berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan kehidupan sosial

mereka.

ETIOLOGI

Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis mengenai faktor

penyebab, yaitu :

2

Page 3: Referat Rosesea 1

1. Makanan dan minuman

Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan penyebab rosasea. Bahkan

konstipasi, penyakit gastrointestinal dan penyakit kelenjar empedu telah pula dianggap

sebagai faktor penyebabnya.

2. Psikis/emosional

Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan insiden terjadinya

rosasea. Namun diduga ini terjadi akibat stres yang berlebihan sehingga mengganggu fungsi

kerja hormon yang nantinya memicu reaksi inflamasi.

3. Obat-obatan

Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin pada saat kulit

kemerahan menimbulkan dugaan adanya peran berbagai obat, baik sebagai penyebab maupun

yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea.

4. Infeksi

Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan pada etiologi rosasea. Walaupun

demikian, keterlibatan Demodex folliculorum ini masih perlu dibuktikan.

5. Musim/iklim

Peran musim panas atau musim dingin termasuk di dalamnya peran sinar ultraviolet

yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit sebagai penyebab eritema persisten

masih diselidiki.

6. Imunologi

Di lapisan dermoepidermal penderita rosasea ditemukan adanya deposit

imunoglobulin oleh beberapa peneliti sedangkan di kolagen papiler ditemukan antibodi

antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada dugaan faktor imunologi pada rosasea.

7. Lainnya

Defisiensi vitamin dan hormonal diduga sebagai penyebab penyakit ini.

PATOGENESIS

Patogenesis rosasea adalah multifaktorial, tetapi sangat jelas hubungannya dengan

hiperaktivitas vaskular. Eritema pada rosasea ini disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah

superfisial wajah. Diduga terjadi atrofi pars papilare dermis yang menyebabkan visualisasi

kapiler kulit menjadi lebih jelas. Pasien rosasea memberikan riwayat wajah yang mudah

memerah dan mengeluhkan warna kulit yang memerah sedikit demi sedikit. Makanan dan

obat-obatan yang menginduksi vasodilatasi wajah terlihat sejalan dengan perkembangan

3

Page 4: Referat Rosesea 1

rosasea. Pasien dengan rosasea memiliki kulit yang mudah teriritasi. Sebagai contoh, pasien

sering mengeluh mengalami rasa perih dan terbakar jika menggunakan kosmetik dan obat-

obatan topikal. Vasodilatasi pasien rosasea lebih besar dan persisten dibandingkan yang

terlihat pada orang normal. Stimulasi suhu adalah penyebab dari food-induced flushing pada

kebanyakan pasien, misalnya suhu kopi dan teh yang panas dapat menyebabkan wajah

kemerahan. Walaupun rosasea tidak secara umum dianggap sebagai penyakit neurokutaneus,

penting diketahui bahwa flushing atau wajah kemerahan dimediasi oleh suatu fungsi neural

dan dengan demikian rosasea pun memiliki dasar neurologi.

Didapatkan adanya hubungan yang erat antara sistem vaskular dan sistem imun, sama

seperti pemberian anti inflamasi yang pada kenyataan cukup efektif sebagai terapi rosasea.

Hal ini memberi kesan bahwa sel-sel radang seperti neutrofil dan mediator inflamasi lainnya

merupakan faktor utama patofisiologi terjadinya rosasea. Ketidakstabilan pembuluh darah

(vascular instability/vascular lability) terjadi karena faktor hormon, stres emosional,

makanan, paparan sinar matahari, pelepasan substansi vasoaktif dan infestasi Demodex

folliculorum. Hal ini mengakibatkan terjadi pelepasan mediator inflamasi, di antaranya yaitu

sitokin yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi.

Flushing atau rasa panas pada rosasea lebih sering dimediasi oleh pelepasan substansi

vasoaktif daripada mekanisme refleks saraf, tetapi hal ini belum dapat ditetapkan sebagai

dasar patofisiologi dan kedua mekanisme ini pun dapat berperan penting. Mediator inflamasi

yang dimaksud termasuk serotonin, bradikinin, prostaglandin, substansi P, peptida opiod dan

gastrin. Kadar substansi P dalam darah meningkat pada beberapa pasien tetapi tidak selalu

terjadi. Peptida opiod dikemukakan sebagai mediator dari flushing pada rosasea berdasarkan

aksi supresi dari antagonis opiod, nalokson. Sering pula dianggap bahwa rosasea berhubungan

dengan gejala-gejala pada gastrointestinal, walaupun hanya sedikit bukti nyata yang

mendukung pendapat ini.

Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel pustul yang meradang pada

hidung penderita rosasea. Demodex folliculorum merupakan suatu tungau yang hidup dalam

lumen folikel glandula sebasea pada kepala yang diduga sebagai penyebab rosasea pada usia

pertengahan. Spesies Demodex (tungau yang secara normal hidup pada folikel rambut

manusia) mungkin berperan dalam patogenesis rosasea. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa Demodex folliculorum menyukai daerah kulit yang merupakan predileksi rosasea

seperti hidung dan pipi. Demodex folliculorum ini terlihat lebih banyak pada pasien rosasea

4

Page 5: Referat Rosesea 1

papulopustular dibandingkan dengan individu normal. Selain itu, folikel yang didiami oleh

tungau ini dapat memberikan respon inflamasi lokal.

Banyak peneliti juga mengemukakan bahwa terjadi infiltrasi respon imun sel T-helper

yang mengelilingi antigen Demodex folliculorum pada pasien rosasea. Walaupun demikian,

penelitian lain menunjukkan pula hal yang sebaliknya. Penelitian tersebut menyatakan bahwa

Demodex folliculorum tidak menyebabkan respon inflamasi pada rosasea. Oleh sebab itu,

diperlukan lebih banyak penelitian dan studi untuk menentukan apakah Demodex folliculorum

bersifat patogen.

Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh photoaging/solar aging akibat paparan sinar

matahari juga berperan dalam patogenesis rosasea karena terjadi aktivasi sistem imun yang

dapat mengakibatkan inflamasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paparan sinar

matahari juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan vaskular yang akhirnya menginduksi

pelepasan mediator-mediator inflamasi. Degradasi aktinik pada vaskular dan kolagen

perivaskular serta jaringan elastis secara langsung menurunkan integritas mekanik pembuluh

darah dan meningkatkan hiperesponsif pembuluh darah kecil di wajah.

Angiogenesis yang dicetuskan oleh inflamasi dapat pula dihubungkan dengan

timbulnya telangiektasis. Faktor angiogenik disimpan dalam matriks ekstraselular dilepaskan

oleh protease neutrofil atau dilepaskan dan diaktivasi oleh makrofag. Proses inflamasi

selanjutnya berperan dalam patogenesis eritema dan telangiektasis. Enzim-enzim degradasi,

termasuk protease seperti elastase yang dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi akan

merusak jaringan ikat yang mengelilingi pembuluh darah.

Solar elastosis dapat pula menyebabkan kegagalan sistem limfatik. Ketika volume

eksudat protein berlebih dalam drainase sistem limfatik, cairan ekstraseluler terakumulasi

pada kulit bagian superfisial. Hal ini mengakibatkan terjadinya edema pada kulit dan

peradangan, dimana seringkali didahului dengan hipertrofi jaringan ikat. Neutrofil ini

melepaskan protein yang mendegradasi protein matriks, menyebabkan fibroplasias, suatu

proses awal terjadinya rinofima.

GAMBARAN KLINIS

Predileksi rosasea pada sentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu, kening, dan alis.

Kadang-kadang meluas ke leher bahkan pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya

simetris. Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasia, papul, edema, dan pustul.

Komedo tak ditemukan dan bila ada mungkin kombinasi dengan akne. Adanya eritema dan

telangiektasia adalah persisten pada setiap episode dan merupakan gejala khas rosasea. Papul

5

Page 6: Referat Rosesea 1

kemerahan pada rosasea tidak nyeri, berbeda dengan akne vulgaris, dan hemisferikal. Pustal

hanya ditemukan pada 20% penderita, sedang edema dapat menghilang atau menetap antara

episode rosasea.

Rosasea terdiri atas stadium I-III berdasarkan Plewig-Kligman. Pada tahap awal

(stadium I) rosasea dimulai dengan timbulnya eritema tanpa sebab atau akiba sengatan

matahari. Eritema ini menetap lalu diikuti timbulnya beberapa telangektasia. Pada tahap

kemudian (stadium II) dengan diselingi episodc akut yang menyebabkan timbulnya papul,

pustul dan edema, terjadilah eritema persisten dan banyak telengietasia, papul dan pustul.

Pada tahap lanjut (stadium III) terlihat eritema persisten yang dalam banyak telangektasia,

papul, pustul, nodul, dan edema. Komplikasi rinofima atau peradangan okuler merupakan hal

yang terjadi kemudian.

KLASIFIKASI

NRS Commitee, pada tahun 2002 menetapkan klasifikasi rosasea ke dalam 4 tipe, yaitu

eritematotelangiektasis, papulopustular, phymatous dan okular.

1. Tipe eritematotelangiektasis (ETR)

Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR) ditandai oleh rasa perih pada bagian

sentral wajah dan sering disertai dengan rasa panas dan terbakar. Kulit kemerahan

biasanya terdapat di sekitar mata. Pasien dengan rosasea tipe ini memiliki kulit

bertekstur baik dengan penurunan kualitas kelenjar sebasea. Area eritem pada wajah

terlihat kasar dan berbatas yang merupakan suatu proses yang kronik, seperti dermatitis

ringan. Faktor pencetus yang paling sering menyebabkan rasa panas atau terbakar ini

termasuk stres emosional, minuman panas, alkohol, makanan berbumbu pedas, cuaca

dingin atau panas.

6

Page 7: Referat Rosesea 1

Gambar 1. Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR)

1. Tipe papulopustular (PPR)

Rosasea tipe papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea. Kebanyakan

pasien adalah wanita berusia pertengahan dengan keluhan papul dan pustul pada bagian

sentral wajah (central portion). Telangiektasis yang terjadi agak sulit dibedakan dengan

eritema.

Gambar 2. Rosasea tipe papulopustular (PPR)

2. Rosasea phymatous

Rosasea tipe phymatous merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit dan

permukaan terdapat nodul iregular di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau kedua telinga,

dan kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe rinofima (suatu perubahan pada

hidung) secara histologis yaitu tipe glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea) dan

merupakan tipe yang lebih dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan konektif),

7

Page 8: Referat Rosesea 1

tipe fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh darah), dan

tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis).

Gambar 3. Rosasea tipe phymatous

3. Rosasea okular

Manifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan pada kelopak

mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva interpalpebra dan telangiektasis

konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh mata terasa perih atau terbakar, kering, dan

seperti ada sensasi benda asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir mirip

dengan rosasea phymatous, tetapi memiliki manajemen terapi yang berbeda. Oleh

karena itu, harus ditanyakan pada pasien tentang keluhan dan gejala okular dan

dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan tipe rosasea.

Gambar 4. Rosasea tipe okular

Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium sebagai

berikut :

1. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis

2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil

8

Page 9: Referat Rosesea 1

3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang tebal, papul, pustul,

nodul, jarang ada edema padat/keras pada bagian sentral wajah.

Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe eritematotelangiektasis, stadium

II dengan tipe papulopustular, dan stadium III analog dengan tipe phymatous. Progresi dari

satu stadium ke stadium lain tidak selalu terjadi. Rosasea dapat dimulai dengan stadium II

atau III dan stadium-stadium itu dapat terjadi bersamaan.

DIAGNOSIS

Tidak ada uji diagnostik yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis rosesa. Penegakan

diagnosis dilakukan dengan melihat gejala primer dan sekunder dari rosasea. Biopsi kulit

dapat dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosis banding.

a. Gambaran primer

Diagnosis rosasea ditegakkan bila pada wajah bagian sentral ditemui satu atau lebih

tanda-tanda di bawah ini:

Kemerahan kulit (eritema transien)

Eritema nontransien

Papul dan pustul. Papul merah berbentuk kubah dengan atau tanpa disertai pustul,

dapat pula disertai dengan nodul.

Telangiektasis.

b. Gambaran sekunder

Tanda dan gejala di bawah sering muncul dengan satu atau lebih gambaran primer, tapi

beberapa pasien dapat mengalaminya secara terpisah.

Rasa terbakar dan pedih

Plak

Kulit kering.

Edema.

Manifestasi okular.

Lokasi perifer.

Perubahan fimatous.

DIAGNOSIS BANDING

9

Page 10: Referat Rosesea 1

Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea yaitu

papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.

1. Papul atau pustul pada wajah

a. Akne vulgaris

Akne vulgaris dapat terjadi pada remaja dengan kulit seborhoe, klinis komedo, papul,

pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada, dan punggung bagian

atas. Tidak ada telangiektasis. Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat komedo,

ditemukan dilatasi vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas pada

2/3 wajah.

Gambar 5. Akne vulgaris

b. Dermatitis perioral

Dermatitis perioral terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan

dagu, lesi polimorfik tanpa telangiektasis dan keluhan gatal. Berbeda dengan rosasea,

pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis dan flushing. Dermatitis perioral

biasanya disebabkan oleh penggunaan steroid topikal.

Gambar 6. Dermatitis perioral

2. Flushing atau eritema pada wajah

10

Page 11: Referat Rosesea 1

a. Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi yang

membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama berminyak dan agak

gatal. Tempat predileksi di area seboroik yaitu : retroaurikular, alis mata, dan sulkus

nasolabialis.

Gambar 7. Dermatitis seboroik

b. Acute Cutaneous Lupus Eritematous (ACLE)

Meskipun ACLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis terlihat

eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan berbentuk kupu-kupu.

Lesi pada ACLE tidak mengenai sulkus nasolabialis, biasanya lebih fotosensitif.

Gambar 8. Lupus eritematosus sistemik

c. Dermatomiositis

11

Page 12: Referat Rosesea 1

Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang menyerang kulit

dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai oleh adanya edema dan inflamasi

periorbita, eritema pada wajah, leher, dan bagian atas tubuh.

Gambar 9. Dermatomiositis

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rosasea meliputi tatalaksana umum, obat topikal, obat sistemik dan

tambahan. Tatalaksana umum dapat berupa menyarankan kepada pasien untuk menghindari

faktor pencetus dan iritan, seperti sabun yang kuat dan pembersih kosmetik berbasis alkohol,

menggunakan tabir surya sebagai pelindung terhadap sinar ultraviolet A dan ultraviolet B.

Bila pasien mengalami intoleransi/sensitif terhadap bahan-bahan kosmetik dapat digunakan

light liquid foundation. Selain itu, penggunaan green tinted make up pada lesi sebelum

aplikasi alas bedak dapat dilakukan untuk memudarkan area merah. Pada pasien yang

sensitive digunakan pembersih wajah bebas sabun dan mengandung sodium sulfacetamide

atau sulfur untuk mengurangi rasa terbakar dan perih akibat penggunaan obat topikal (azelaic

acid) serta pelembab wajah yang lembut satu sampai dua kali sehari sebelum penggunaan

produk kosmetik lain.

Obat topikal

Antibiotik topikal efektif pada pasien dengan rosasea. Tetrasiklin, eritromisin dan

klindamisin dengan konsentrasi 0,5-2% sering diberikan. Metronidazol adalah derivate

synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari peneitian klinis, metronidazol 0,75% gel topikal

atau krim 1% dapat menyembuhkan lesi hingga 68%–91%. Bentuk gel adalah sediaan yang

paling efektif untuk papul dan pustul rosasea.

12

Page 13: Referat Rosesea 1

Imidazol topikal juga dapat digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya adalah

sebagai anti inflamasi, imunosupresan dan bactericidal. Efek toksin imidazol sangat rendah

dan dapat digunakan pada kulit pasien yang sensitif. Adapalene Neftoic acid derivate terbaru

dengan poten retinoid acid reseptor agonis dan anti inflamasi. Adapalene terbukti aman

sebagai penatalaksanaan topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalen gel 0,1%

berefek kuat pada papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis.

Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang mengurangi

iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal kortikosteroid bisa digunakan

kecuali untuk rosasea fulminant.

Obat sistemik

Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromisin oral biasanya efektif

namun tetrasiklin yang paling efektif. Tetrasiklin-HCL, oksitetrasiklin, doksisiklin dan

minosiklin biasanya efektif dalam mengontrol papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi

eritem. Antibiotik tersebut dapat dimulai dengan dosis 1–1,5 g tetracyclin-HCL dan

oksitetrasiklin per hari, serta 50 g minosiklin dan doksisiklin diberikan dua kali sehari.

Tetrasiklin oral efektif pada rosasea okular.

Isotretinoin juga efektif meskipun mempunyai efek samping yang lebih banyak. Obat

ini digunakan pada rosasea yang resisten dan tidak berespon terhadap antibiotik seperti

rosasea lupoid, rosasea stage III, rosasea gram negatif, rosasea konglobat, rosasea fulminan.

Dosis isotretinoin 0,5–1 mg/kg/hari. Efek samping obat pada mata paling sering terjadi.

Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan hanya pada rosasea fulminan berupa prednisolon

1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.

Terapi Tambahan

Terapi secara topikal dan oral terkadang tidak berhasil mengurangi eritema pada rosasea

tipe tertentu. Perawatan dengan intense-pulsed ligth dan long-pulsed dye lasers memberikan

hasil efektif dalam mengurangi eritema dan telangiektasis pada rosasea. Namun, terapi

tersebut mahal dan tidak dapat menghilangkan eritema atau telangiektasis secara permanen.

PROGNOSIS

Rosasea umumnya persisten berangsur bertambah berat melalui episode akut. Namun adapula yang remisi secara spontan.

KESIMPULAN

13

Page 14: Referat Rosesea 1

Rosasea adalah suatu penyakit peradangan kronik pada kulit yang umumnya terjadi

pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih

cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Klinis terdapat eritema, papul,

pustul, telangiektasis dan hipertrofi kelenjar sebasea dan atau manifestasi okular yang

persisten selama berbulan-bulan atau lebih. Perbandingan antara wanita dan laki-laki 3:1,

sering terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja,

dan dewasa muda. Rosasea terdiri atas subtipe eritemato telangiektasis, papul, pustul,

phymatous, dan okular. Diagnosis pada rosasea dilakukan dengan melihat gejala primer dan

sekunder dari rosasea itu sendiri. Pengobatan dengan menghindari faktor pencetus rosasea,

pemberian obat topikal, obat sistemik, dan terapi tambahan lain berupa terapi dengan

menggunakan laser pada kondisi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pelle MT. Rosacea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,

Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:

McGraw-Hill Companies Inc; 2012. P 918-925.

2. Wolf K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.

6th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2009. P 8-10.

3. Jones JB. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses, Flushing and Flushing

Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C, editors. Rook’s Text Book of

Dermatology. 7th ed. Blackwell Publishing Company; 2004. P 2199-2217.

4. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea, Rinofima. In:

Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. P 260-262.

14

Page 15: Referat Rosesea 1

5. James MD, Berger TG, Gilston DM, editors. Connective Tissue Disease. Andrew’s

Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Philadelphia: Saunders Company;

2011. P 241-244.

6. Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. Standard grading

system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert Committee on the

Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad Dermatol. 2004;50:907.

7. Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP. Rosacea. Acne and Acneiform Dermatoses. In:

Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, Salasche SJ, Schaffer JV, Schwarz T, et al., editors.

Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1985. P 561-569.

8. Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis, and subtype

classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41.

9. Q James, Rosso D, et al. Comprehensive Medical Management of Rosacea. An Interim

Study Report and Literature Review. J Clin Aesthetic Derm. 2008;1(1):20-25.

15