referat codein

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam opium poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-tussive dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari komponen aktif, termasuk morfin, kodein dan papaverin . Codeine ditemukan dalam konsentrasi 0,3-3,0 persen pada opium dibuat dengan metode lateks dari polong mentah dari Papaver somniferum. Konsentrasi kodein dalam, Papaver bracteatum Poppy Iran, bisa lebih tinggi. Kodein namanya berasal dari kodeia kata Yunani untuk "kepala poppy." Proporsi relatif dari kodein dengan morfin, opium alkaloid yang paling umum pada 4 hingga 23 persen, cenderung menjadi agak lebih tinggi dalam metode jerami poppy mempersiapkan alkaloid opium. Sampai awal abad ke-19, opium mentah yang digunakan dalam persiapan yang beragam dikenal sebagai Laudanum (lihat Thomas de Quincey 's " Confessions dari bahasa Inggris Opium-Eater ", 1821) dan obat penghilang rasa sakit ramuan , angka yang sangat populer di Inggris sejak awal abad ke-18, persiapan asli tampaknya 1

Upload: liuk-irawati

Post on 30-Dec-2015

99 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat codein

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam opium

poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan

dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-

tussive dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari

komponen aktif, termasuk morfin, kodein dan papaverin .

Codeine ditemukan dalam konsentrasi 0,3-3,0 persen pada opium dibuat

dengan metode lateks dari polong mentah dari Papaver somniferum. Konsentrasi

kodein dalam, Papaver bracteatum Poppy Iran, bisa lebih tinggi. Kodein namanya

berasal dari kodeia kata Yunani untuk "kepala poppy." Proporsi relatif dari kodein

dengan morfin, opium alkaloid yang paling umum pada 4 hingga 23 persen,

cenderung menjadi agak lebih tinggi dalam metode jerami poppy mempersiapkan

alkaloid opium.

Sampai awal abad ke-19, opium mentah yang digunakan dalam persiapan

yang beragam dikenal sebagai Laudanum (lihat Thomas de Quincey 's "

Confessions dari bahasa Inggris Opium-Eater ", 1821) dan obat penghilang rasa

sakit ramuan , angka yang sangat populer di Inggris sejak awal abad ke-18,

persiapan asli tampaknya telah diuraikan di Leiden, Belanda sekitar 1715 oleh

seorang kimiawan bernama Lemort, di 1721 ini Pharmocopeia London

menyebutkan sebuah Asthmaticum Elixir, digantikan oleh Elixir Paregoricum

istilah ("soother sakit") pada 1746.

Isolasi progresif beberapa komponen aktif opium yang membuka jalan

menuju peningkatan selektivitas dan keselamatan Pharmacopeia opiat berbasis.

Kodein adalah sejenis obat golongan opiat yang digunakan untuk mengobati nyeri

sedang hingga berat, batuk (antitusif), diare, dan irritable bowel syndrome.

Kodein merupakan prodrug, karena di saluran pencernaan kodein diubah menjadi

bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina-6-glukoronida . Sekitar 5-10% kodein

akan diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang bebas,

1

Page 2: Referat codein

atau terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%), norkodeina

(10%), hidromorfona (1%).  Seperti halnya obat golongan opiat lainnya, kodein

dapat menyebabkan ketergantungan fisik, namun efek ini relatif sedang bila

dibandingkan dengan senyawa golongan opiat lainnya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana pemberian codein sebagai analgetik pada kasus bedah syaraf ?

1.3 TUJUAN

Mengetahui mekanisme kerja dan dosis pemberian codein pada kasus

bedah syaraf

1.4 MANFAAT

1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit bedah syaraf khususnya

mengenai pemberian piracetam pada kasus cedera kepala.

1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti

kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah.

2

Page 3: Referat codein

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CODEIN

Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam opium

poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan

dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-

tussive dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari

komponen aktif, termasuk morfin, kodein dan papaverin .

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium.

Opium yang bersal dari getah Papaverin Somniferum mengandung sekitar 20 jenis

alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid

terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun

juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik

narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena

golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau

menurunnya kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat.

Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate

semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik

menyerupai morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis

opioid. Tetapi semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk

mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan

mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.

Yang termasuk golongan obat opioid adalah :

1. obat yang berasal dari opium-morfin

2. senyawa semisintetik morfin

3. senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat

terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.

3

Page 4: Referat codein

Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang

mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti

stupor. Istilah narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand

yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat

yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan

ketergantunganfisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik

untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.

Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui

kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat

farmakologik menyerupai opioid. Terdapat 3 jenis peptide opioid yakni enkefalin,

endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berpran pada

transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas

diketahui. Tiap jenis berasal dari prekursor polipeptida yang berbeda secara

genetik dan memperlihatkan distribusi anatomis yang khas. Prekursor ini disebut

proenkefalin A, pro-opiomelanokortin (POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B).

Masing-masing prekursor mengadung sejumlah peptida yang aktif secara

biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid yang telah dideteksi dalam darah

dan berbagai jaringan.

Reseptor opioid majemuk (multiple). Ada 3 jenis uatama reseptor opioid

yaitu mu ( µ ), delta ( δ ), kappa ( ҡ ). Ketiga jenis reseptor tersebut pada jenis

reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu1, mu2,

mu3, delta1, delta2, delta3, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat

berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau

antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtype reseptor maka senyawa

yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologi yang beragam.

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong

opioid dibagi menjadi :

1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis

terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor k (contoh : morfin)

2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua

resepor (contoh : nalokson)

4

Page 5: Referat codein

3. Opioid dengan kerja campur :

a.       Agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa

reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain (contoh :

nalorfin, pentazosin)

b.      Agonis parsial (contoh : buprenorfin)

Reseptor µ memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi

nafas miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor ҡ diduga

meperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis

dan depresi nafas yang tidak adekuat agonis µ. Selain itu disusunan saraf pusat

juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε

(epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai

afinitas terhadap enkefalin.terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor

δ memegang peranan dalam menimbulkan depresi penafasan yang ditimbulkan

oleh opioid. Dari penelitian pada tikus reseptor δ dihubungkan dengan

berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan reseptor µ dihubungkan dengan

berkurangnya tidal volume. Reseptor µ ada 2 jenis yaitu reseptor µ1 , yang hanya

didapatkan pada SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan

prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor µ2 dihubungkan dengan

penurunan tidal volume dan bradikardi. Analgesic yang berperan pada tingkat

spinal berinteraksi dengan reseptor δ dan ҡ.

MORFIN DAN ALKALOID OPIUM

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah

dikeringkan. Alkaloid opium secara kimia dibagi dalam dua golongan :

1. Golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein

2. Golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.

2.2 FARMAKODINAMIK

Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan

karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Akan tetapi selain itu

morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan ҡ.

5

Page 6: Referat codein

Susunan Saraf Pusat. Narkosis. Efek morfin terhadap SSP berupa

analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul

sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur.

Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang sedang

menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebeliknya, dosis yang sama pada orang

normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai

mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat

berkonsentrasi, sudah berfikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman

penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas,

muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri

berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai

mual. Dalam lingkugan yang tenang orang yang diberi dosis terapi (15-20 mg)

morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi napas lambat dan miosis.

Analgesia. Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak

disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),

penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu

hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan

reaksi terhadap stimulus nyeri itu, penderita sering mengatakan bahwa nyeri

masih ada tetapi ia tidak menderita lagi.

Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :

1. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri

Mekanisme ini berperan penting jika morfin diberikan sebelum terjadi stimulasi

nyeri. Bila morfin diberikan setelah timbul nyeri, mekanisme lain lebih penting.

2. Morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi

yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh

korteks serebri dari talamus. Setelah pemberian morfin penderita masih

tetap merasakan nyeri, tetapi reaksi terhadap nyeri yaitu kuatir, takut,

reaksi menarik diri (withdrawal) tidak timbul.

3. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rasa nyeri

meningkat.

6

Page 7: Referat codein

Eksitasi. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,

sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat

mengubah efek eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks

(reflex excitatory level) SSP. Beberapa individu, terutama wanita dapat

mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului

depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul. Kemungkinan timbulnya

eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivat morfin dan alkaloid alam lain.

Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi

justru menyebabkan eksitasi, sedang\kan heroin menyebabkan eksitasi sentral.

Morfin dan obat konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak

cocock untuk terapi konvulsi.

Saluran Cerna. Penelitian pada manusia telah membuktikan bahwa

morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.

a. Lambung. Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah.

Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan labung berkurang, tonus

bagian antrum meninggi dan mortilitasnya berkurang sedangkan sfingter

pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum

diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus

duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi

efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos

lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin

b. Usus halus. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas dan

memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin

mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme periodik

usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan

isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan isis

usus menjadi lebih padat.

c. Usus besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi

usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar,

7

Page 8: Referat codein

akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras.

Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga penderita tidak

merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin

pada kolon dapat diantagonis oleh atropin.

2.3 FARMAKOKINETIK

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalu

kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian

ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek

analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang

timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua

alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan

subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian

dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di

hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui

nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin.

Ekskresimorfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan

dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu.

Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.

Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini

dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin

mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein, dan

morfin.

2.4 METABBOLISME

Pengubahan kodein menjadi morfin berlangsung di hati, dan dikatalisis

oleh enzim sitokrom P450 dan CYP2D6, sedangkan enzim CYP3A4 akan

mengubah kodein menjadi norkodeina.

8

Page 9: Referat codein

Codeine dianggap sebagai prodrug , karena dimetabolisme in vivo dengan

senyawa aktif utama morfin dan kodein-6-glukuronat (C6G). Kira-kira 5-10% dari

kodein akan dikonversi ke morfin, dengan sisanya, dikonjugasikan untuk

membentuk kodein-6-glukuronat (~ 70%), atau diubah ke norcodeine (~ 10%) dan

hidromorfon (~ 1%). Hal ini kurang kuat dari morfin dan memiliki yang lebih

rendah ketergantungan -kewajiban dari morfin. Seperti semua opioid, lanjutan

penggunaan codeine menyebabkan ketergantungan fisik dan bisa secara

psikologis kecanduan . Namun, gejala penarikan relatif ringan, dan, sebagai

akibatnya, codeine adalah jauh lebih adiktif daripada opiat lainnya.

Sebuah dosis sekitar 200 mg (oral) dari kodein harus diberikan untuk

memberikan analgesia kurang lebih setara dengan 30 mg (oral) dari morfin.

Namun, kodein adalah, pada umumnya, tidak digunakan dalam dosis tunggal yang

lebih besar dari 60 mg (dan tidak lebih dari 240 mg dalam 24 jam). Ketika

analgesia luar ini diperlukan, opioid kuat seperti xanax atau oksikodon disukai.

Codeine dimetabolisme untuk C6G oleh glucuronosyl transferase difosfat

uridin UGT2B7 , dan, karena hanya sekitar 5% dari codeine dimetabolisme oleh

sitokrom P450 CYP2D6 , bukti saat ini bahwa C6G adalah senyawa aktif utama.

Klaim tentang efek "langit-langit seharusnya "dosis kodein sepertinya untuk

beristirahat pada asumsi bahwa dosis tinggi codeine jenuh CYP2D6, yang

mencegah konversi lebih lanjut dari kodein dengan morfin, yang hanya salah.

Juga tidak ada bukti bahwa inhibisi CYP2D6 berguna dalam mengobati

ketergantungan kodein , meskipun metabolisme codeine untuk morfin (dan

karenanya metabolisme lebih lanjut untuk konjugat glukuronat morfin) memang

memiliki efek pada potensi penyalahgunaan kodein.

Konversi kodein untuk morfin terjadi di hati dan dikatalisis oleh sitokrom

P450 enzim CYP2D6 . CYP3A4 menghasilkan norcodeine dan UGT2B7 kodein,

norcodeine konjugat, dan morfin ke 3 yang sesuai dan 6 glucuronides. Sekitar 6-

10% dari populasi Kaukasia, 2% dari Asia, dan 1% dari orang Arab adalah

"metabolisme miskin", mereka telah CYP2D6 kecil, dan kodein kurang efektif

untuk analgesia pada pasien. Srinivasan, Wielbo dan Tebbett berspekulasi bahwa

kodein-6-glukuronat bertanggung jawab atas persentase yang besar dari analgesia

9

Page 10: Referat codein

dari kodein dan dengan demikian, pasien tersebut harus mengalami analgesia

beberapa. Banyak dari efek samping masih akan berpengalaman dalam

metabolisme miskin . Sebaliknya, 0,5-2% dari populasi adalah "metabolisme

luas"; beberapa salinan gen untuk 2D6 menghasilkan tingkat tinggi CYP2D6 dan

akan memetabolisme obat melalui jalur yang lebih cepat daripada yang lain.

Beberapa obat yang CYP2D6 inhibitor dan mengurangi atau bahkan

sepenuhnya menghalangi konversi kodein dengan morfin. Yang paling terkenal

ini adalah dua dari inhibitor reuptake serotonin selektif , paroxetine (Paxil) dan

fluoxetine (Prozac) serta antihistamin diphenhydramine dan antidepresan,

buproprion (Wellbutrin, juga dikenal sebagai Zyban). Obat lain, seperti rifampisin

dan deksametason , mendorong isozim CYP450 dan dengan demikian

meningkatkan tingkat konversi.

Sementara metaboliser CYP2D6 luas (EM) kebutuhan dosis tinggi obat

dimetabolisme oleh CYP2D6 untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup

untuk efek terapi dan metaboliser miskin (PM) mungkin menderita dari keracunan

obat karena memperlambat klirens obat dan konsentrasi plasma yang berlebihan,

prodrugs seperti kodein memiliki efek sebaliknya. Jadi suatu EM mungkin

memiliki efek samping dari penumpukan cepat metabolit codeine sementara PM

mungkin mendapatkan sedikit atau tanpa rasa sakit. CYP2D6 tidak berfungsi pada

7% orang Amerika putih dan hitam, yang mengakibatkan berkurangnya

metabolisme codeine. Individu lain mungkin memiliki dua atau lebih salinan dari

gen CYP2D6, sehingga metabolisme cepat dari target obat. CYP2D6

memetabolisme dan mengaktifkan kodein menjadi morfin, yang kemudian

mengalami glucuronidation. Mengancam intoksikasi hidup, termasuk mewajibkan

intubasi depresi pernafasan, dapat mengembangkan lebih dari hitungan hari pada

pasien yang memiliki beberapa alel fungsional CYP2D6, menghasilkan ultra-

cepat metabolisme opioid seperti kodein menjadi morfin.

Metabolit aktif dari kodein, terutama morfin, mengerahkan efeknya

dengan mengikat dan mengaktifkan μ- reseptor opioid, dengan mekanisme kerja :

Kodein merangsang reseptor dalam SSP juga menyebabkan depresi pernapasan,

vasodilasi perifer, inhibisi gerak peristaltik usus, stimulasi dari chemoreceptors

10

Page 11: Referat codein

yang menyebabkan muntah, peningkatan nada kandung kemih dan menekan

refleks batuk.

2.5 EFEK SAMPING

Idiosinkrasi dan alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah

terutama pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lainnya adalah

timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang darilium, lebih jarang lagi

konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti

urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.

Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asalkan saja

dosis diperhitungkan berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan

penderita berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan opioid lain

juga harus digunakan dengan hati-hati bila daya cadangan napas (respiratory

reserve) telah bekurang, misalnya pada emfisem, kifoskoliosis, korpulmonale

kronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun penderita dengan keadaan seperti ini

tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah menggunakan

mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. Pada

penderita tersebut kadar plasma tinggi secara kronik dan kepekaan pusat napas

terhadap telah berkurang. Pembebanan lebih lanjut dalam bentuk depresi oleh

morfin dapat membahayakan.

2.6 TOLERANSI, ADIKSI DAN ABUSE

Terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang

merupakan gambar-gambar spesifik obat-obat opioid. Kemungkinan

untukterjadinya ketergantungan fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama

untuk membatasi penggunaannya.

Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut :

1.      Habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga penderita ketagihan

akan morfin.

2.      Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia

tubuh tidak berfugsi lagi tanpa morfin

11

Page 12: Referat codein

3.      adanya toleransi

Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap

efek eksitasi, miosis, dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara

morfi, dihidromorfinon, metopon, kodein, dan heroin. Tolerasi timbul setelah 2-3

minggu. Kemunkinan tibulna leransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara

teratur.

Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah

gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkan morfin,

pecandu tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabel, kemudian tertidur nyenyak.

Setelah waktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada

fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin,

mual, demam, dan napas cepat.

Gejala ini makin hebat disetai timbulnya muntah, kolik, dan diare.

Frekuensi denyut jantug dan tekanan darah meningkat. Penderita merasa panas

dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis dan

berat badan penderita menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskuler

yang bisa berakhir dengan kematian.

Addiction labilty atau daya untuk menimbulkan adiksi berbeda-beda untuk

maing-masing obat. Bahaaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin

menimbulkaneuforia yang kuat yang tidak disertai mualdan konstipasi. Kodein

paling jarang menimbulkan adiksi karena kodein sedikit sekali menimbulkan

euforia. Untuk menimbulkan adiksi terhadap kodein diperlukan dosis besar.

Dengan dosis besar ini gejala yang tidak menyenangkan sudah terjadi sebelum

timbul adiksi.

Telah terbukti bahwa kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid yang

tergolong opioid agonis-antagonis lebih kecil daripada opioid agonis µ. Demikian

pula halnya dengan opioid yang bekerja selektif sebagai agonis pada reseptor k

karena kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euforia. Perbedaan potensi

untuk penyalahgunaan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk terapi.

2.7 INTERAKSI OBAT

12

Page 13: Referat codein

Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh

fenotiazin, penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. Beberapa

fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat

analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan

diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.

Beberapa derivat fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat

yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang

diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek

analgetik dan euforia morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu

didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.

2.7 INDIKASI

Terhadap nyeri. Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan unuk

meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan

analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.

Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :

1. Infark miokard

2.   Neoplasma

3. Kolik renal atau kolik empedu

4. Oklusio akut pembuluh darah perifer,pulmonal, atau koroner

5. Perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan

6. Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pasca bedah

Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada

penderita yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat preanestetik

hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik

digunakan penobarbital atau diazepam.

ANTAGONIS OPIOID

13

Page 14: Referat codein

Obat-obat yang tegolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan

banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonia opioid atau bila opioid

endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau syok. Nalokson

merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson

yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama

dari nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor µ, ҡ

dan δ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor u jauh lebih tinggi. Dalam dosis besar

keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti

secara klinis.

Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping memperlihatkan

efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin, analgesik, dan depresi

napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini merupakan

antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, tetapi juga memperlihatkan efek agonis pada

reseptor-reseptor lain.

FARMAKODINAMIK

Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa

nalokson:

1.      Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya

tinggi

2.      Mengantagonis efek analgetik plasebo

3.      Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum

akupuntur.

Semua efek ini diduga berdasarakan antagonisme nalokson terhadap ipioid

endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Efek subyektif yang ditimbulkan

nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang yang bersangkutan dan

keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia

sama kuat pada penderita dengan nyeri pascabedah. Efek tersebut diduga

disebabkan oleh kerja agonis paka reseptor K. Sehingga menimbulkan reaksi tidak

menyenangkan misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh sampai timbulnya day

14

Page 15: Referat codein

dreams yang mengganggu atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering

halusinasi visual.

Nalorfin dan Levarolvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga

karena kerjanya pada reseptor K. Berbeda dengan morfin depresi napas ini tidak

bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan

memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi

napas akibat dosis besar.

EFEK DENGAN PENGARUH OPIOID

Semua efek agonis opioid pada reseptor ʋ diantagonis oleh nalokson dosis

kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam

1-2 menit setelah pemberian nalokson pada penderita dengan depresi napas akibat

agonis opioid, efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga seera

dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson menyebabkan kebaikan efek dari efek

psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antaonis. Antagonisme nalokson ini

berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dari dosisnya.

Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertgai dengan

terjadinya fenomen overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas

melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga

berhubungan dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang

timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.

Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap

morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat

berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian iba-tiba pemberian

morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan dan berakhir setelah

2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis

dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan

ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.

FARMAKOKINETIK

15

Page 16: Referat codein

Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya terlihat setelah

penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir

seuruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan

parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati terutama dengan glukuronidasi. Waktu

paruhnya kira-kira 1 jam debgan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif setelah

pemberian per oral, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam,

waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya,

6-naltreksol, merupakan antagonis opioid ysng lemah dan dan masa kerjanya

panjang.

Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada penderita adiksi opioid

pemberian 100 mg secara oral dapat menghambat efek euforia yang ditimbulkan

oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Codein merupakan derivate dari opioid yang merupakan goongan alkaloid,

yang mempunyai 3 reseptor yaitu mu (µ), delta (δ), kappa (ҡ).

Metabolit aktif dari kodein, terutama morfin, mengerahkan efeknya

dengan mengikat dan mengaktifkan μ- reseptor opioid, dengan mekanisme

kerja : Kodein merangsang reseptor dalam SSP juga menyebabkan depresi

pernapasan, vasodilasi perifer, inhibisi gerak peristaltik usus, stimulasi

dari chemoreceptors yang menyebabkan muntah, peningkatan nada

kandung kemih dan menekan refleks batuk.

16

Page 17: Referat codein

DAFTAR PUSTAKA

AGS Panel on Persistent Pain in Older Persons. The management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc 2002;50 (6Suppl):S205-S224.

Kee Joyce L. Dan Hayes Evelyne R.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC

Japardi, Iskandar., dr. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara. 2002.

Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill, 1996

Trescot AM, Boswell MV, Atluri SL, et al. Opioid guidelines in the management of chronic noncancer pain. Pain Phys 2006;9(1): 1-39.

17

Page 18: Referat codein

Morley-Forster PK, Clark AJ, Speechley M, et al. Attitudes toward opioid use for chronic pain: a Canadian physician survey. Pain Res Manag 2003;8:189-194.

18