referat codein
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam opium
poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan
dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-
tussive dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari
komponen aktif, termasuk morfin, kodein dan papaverin .
Codeine ditemukan dalam konsentrasi 0,3-3,0 persen pada opium dibuat
dengan metode lateks dari polong mentah dari Papaver somniferum. Konsentrasi
kodein dalam, Papaver bracteatum Poppy Iran, bisa lebih tinggi. Kodein namanya
berasal dari kodeia kata Yunani untuk "kepala poppy." Proporsi relatif dari kodein
dengan morfin, opium alkaloid yang paling umum pada 4 hingga 23 persen,
cenderung menjadi agak lebih tinggi dalam metode jerami poppy mempersiapkan
alkaloid opium.
Sampai awal abad ke-19, opium mentah yang digunakan dalam persiapan
yang beragam dikenal sebagai Laudanum (lihat Thomas de Quincey 's "
Confessions dari bahasa Inggris Opium-Eater ", 1821) dan obat penghilang rasa
sakit ramuan , angka yang sangat populer di Inggris sejak awal abad ke-18,
persiapan asli tampaknya telah diuraikan di Leiden, Belanda sekitar 1715 oleh
seorang kimiawan bernama Lemort, di 1721 ini Pharmocopeia London
menyebutkan sebuah Asthmaticum Elixir, digantikan oleh Elixir Paregoricum
istilah ("soother sakit") pada 1746.
Isolasi progresif beberapa komponen aktif opium yang membuka jalan
menuju peningkatan selektivitas dan keselamatan Pharmacopeia opiat berbasis.
Kodein adalah sejenis obat golongan opiat yang digunakan untuk mengobati nyeri
sedang hingga berat, batuk (antitusif), diare, dan irritable bowel syndrome.
Kodein merupakan prodrug, karena di saluran pencernaan kodein diubah menjadi
bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina-6-glukoronida . Sekitar 5-10% kodein
akan diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang bebas,
1
atau terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%), norkodeina
(10%), hidromorfona (1%). Seperti halnya obat golongan opiat lainnya, kodein
dapat menyebabkan ketergantungan fisik, namun efek ini relatif sedang bila
dibandingkan dengan senyawa golongan opiat lainnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pemberian codein sebagai analgetik pada kasus bedah syaraf ?
1.3 TUJUAN
Mengetahui mekanisme kerja dan dosis pemberian codein pada kasus
bedah syaraf
1.4 MANFAAT
1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit bedah syaraf khususnya
mengenai pemberian piracetam pada kasus cedera kepala.
1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 CODEIN
Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam opium
poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan
dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-
tussive dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari
komponen aktif, termasuk morfin, kodein dan papaverin .
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium.
Opium yang bersal dari getah Papaverin Somniferum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun
juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik
narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena
golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau
menurunnya kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate
semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik
menyerupai morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis
opioid. Tetapi semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk
mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan
mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Yang termasuk golongan obat opioid adalah :
1. obat yang berasal dari opium-morfin
2. senyawa semisintetik morfin
3. senyawa sintetik yang berefek seperti morfin
Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat
terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.
3
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang
mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti
stupor. Istilah narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand
yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat
yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan
ketergantunganfisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik
untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.
Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui
kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat
farmakologik menyerupai opioid. Terdapat 3 jenis peptide opioid yakni enkefalin,
endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berpran pada
transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas
diketahui. Tiap jenis berasal dari prekursor polipeptida yang berbeda secara
genetik dan memperlihatkan distribusi anatomis yang khas. Prekursor ini disebut
proenkefalin A, pro-opiomelanokortin (POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B).
Masing-masing prekursor mengadung sejumlah peptida yang aktif secara
biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid yang telah dideteksi dalam darah
dan berbagai jaringan.
Reseptor opioid majemuk (multiple). Ada 3 jenis uatama reseptor opioid
yaitu mu ( µ ), delta ( δ ), kappa ( ҡ ). Ketiga jenis reseptor tersebut pada jenis
reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu1, mu2,
mu3, delta1, delta2, delta3, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat
berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau
antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtype reseptor maka senyawa
yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologi yang beragam.
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong
opioid dibagi menjadi :
1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis
terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor k (contoh : morfin)
2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua
resepor (contoh : nalokson)
4
3. Opioid dengan kerja campur :
a. Agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa
reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain (contoh :
nalorfin, pentazosin)
b. Agonis parsial (contoh : buprenorfin)
Reseptor µ memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi
nafas miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor ҡ diduga
meperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis
dan depresi nafas yang tidak adekuat agonis µ. Selain itu disusunan saraf pusat
juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε
(epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai
afinitas terhadap enkefalin.terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor
δ memegang peranan dalam menimbulkan depresi penafasan yang ditimbulkan
oleh opioid. Dari penelitian pada tikus reseptor δ dihubungkan dengan
berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan reseptor µ dihubungkan dengan
berkurangnya tidal volume. Reseptor µ ada 2 jenis yaitu reseptor µ1 , yang hanya
didapatkan pada SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan
prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor µ2 dihubungkan dengan
penurunan tidal volume dan bradikardi. Analgesic yang berperan pada tingkat
spinal berinteraksi dengan reseptor δ dan ҡ.
MORFIN DAN ALKALOID OPIUM
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid opium secara kimia dibagi dalam dua golongan :
1. Golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein
2. Golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.
2.2 FARMAKODINAMIK
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan
karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Akan tetapi selain itu
morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan ҡ.
5
Susunan Saraf Pusat. Narkosis. Efek morfin terhadap SSP berupa
analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul
sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur.
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang sedang
menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebeliknya, dosis yang sama pada orang
normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai
mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat
berkonsentrasi, sudah berfikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman
penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas,
muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri
berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai
mual. Dalam lingkugan yang tenang orang yang diberi dosis terapi (15-20 mg)
morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi napas lambat dan miosis.
Analgesia. Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak
disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),
penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan
reaksi terhadap stimulus nyeri itu, penderita sering mengatakan bahwa nyeri
masih ada tetapi ia tidak menderita lagi.
Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :
1. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
Mekanisme ini berperan penting jika morfin diberikan sebelum terjadi stimulasi
nyeri. Bila morfin diberikan setelah timbul nyeri, mekanisme lain lebih penting.
2. Morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi
yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh
korteks serebri dari talamus. Setelah pemberian morfin penderita masih
tetap merasakan nyeri, tetapi reaksi terhadap nyeri yaitu kuatir, takut,
reaksi menarik diri (withdrawal) tidak timbul.
3. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rasa nyeri
meningkat.
6
Eksitasi. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat
mengubah efek eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks
(reflex excitatory level) SSP. Beberapa individu, terutama wanita dapat
mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului
depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul. Kemungkinan timbulnya
eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivat morfin dan alkaloid alam lain.
Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi
justru menyebabkan eksitasi, sedang\kan heroin menyebabkan eksitasi sentral.
Morfin dan obat konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak
cocock untuk terapi konvulsi.
Saluran Cerna. Penelitian pada manusia telah membuktikan bahwa
morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.
a. Lambung. Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah.
Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan labung berkurang, tonus
bagian antrum meninggi dan mortilitasnya berkurang sedangkan sfingter
pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus
duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi
efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos
lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin
b. Usus halus. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas dan
memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin
mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme periodik
usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan
isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan isis
usus menjadi lebih padat.
c. Usus besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi
usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar,
7
akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras.
Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga penderita tidak
merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin
pada kolon dapat diantagonis oleh atropin.
2.3 FARMAKOKINETIK
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalu
kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian
ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek
analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang
timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua
alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan
subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian
dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di
hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui
nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin.
Ekskresimorfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan
dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu.
Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini
dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin
mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein, dan
morfin.
2.4 METABBOLISME
Pengubahan kodein menjadi morfin berlangsung di hati, dan dikatalisis
oleh enzim sitokrom P450 dan CYP2D6, sedangkan enzim CYP3A4 akan
mengubah kodein menjadi norkodeina.
8
Codeine dianggap sebagai prodrug , karena dimetabolisme in vivo dengan
senyawa aktif utama morfin dan kodein-6-glukuronat (C6G). Kira-kira 5-10% dari
kodein akan dikonversi ke morfin, dengan sisanya, dikonjugasikan untuk
membentuk kodein-6-glukuronat (~ 70%), atau diubah ke norcodeine (~ 10%) dan
hidromorfon (~ 1%). Hal ini kurang kuat dari morfin dan memiliki yang lebih
rendah ketergantungan -kewajiban dari morfin. Seperti semua opioid, lanjutan
penggunaan codeine menyebabkan ketergantungan fisik dan bisa secara
psikologis kecanduan . Namun, gejala penarikan relatif ringan, dan, sebagai
akibatnya, codeine adalah jauh lebih adiktif daripada opiat lainnya.
Sebuah dosis sekitar 200 mg (oral) dari kodein harus diberikan untuk
memberikan analgesia kurang lebih setara dengan 30 mg (oral) dari morfin.
Namun, kodein adalah, pada umumnya, tidak digunakan dalam dosis tunggal yang
lebih besar dari 60 mg (dan tidak lebih dari 240 mg dalam 24 jam). Ketika
analgesia luar ini diperlukan, opioid kuat seperti xanax atau oksikodon disukai.
Codeine dimetabolisme untuk C6G oleh glucuronosyl transferase difosfat
uridin UGT2B7 , dan, karena hanya sekitar 5% dari codeine dimetabolisme oleh
sitokrom P450 CYP2D6 , bukti saat ini bahwa C6G adalah senyawa aktif utama.
Klaim tentang efek "langit-langit seharusnya "dosis kodein sepertinya untuk
beristirahat pada asumsi bahwa dosis tinggi codeine jenuh CYP2D6, yang
mencegah konversi lebih lanjut dari kodein dengan morfin, yang hanya salah.
Juga tidak ada bukti bahwa inhibisi CYP2D6 berguna dalam mengobati
ketergantungan kodein , meskipun metabolisme codeine untuk morfin (dan
karenanya metabolisme lebih lanjut untuk konjugat glukuronat morfin) memang
memiliki efek pada potensi penyalahgunaan kodein.
Konversi kodein untuk morfin terjadi di hati dan dikatalisis oleh sitokrom
P450 enzim CYP2D6 . CYP3A4 menghasilkan norcodeine dan UGT2B7 kodein,
norcodeine konjugat, dan morfin ke 3 yang sesuai dan 6 glucuronides. Sekitar 6-
10% dari populasi Kaukasia, 2% dari Asia, dan 1% dari orang Arab adalah
"metabolisme miskin", mereka telah CYP2D6 kecil, dan kodein kurang efektif
untuk analgesia pada pasien. Srinivasan, Wielbo dan Tebbett berspekulasi bahwa
kodein-6-glukuronat bertanggung jawab atas persentase yang besar dari analgesia
9
dari kodein dan dengan demikian, pasien tersebut harus mengalami analgesia
beberapa. Banyak dari efek samping masih akan berpengalaman dalam
metabolisme miskin . Sebaliknya, 0,5-2% dari populasi adalah "metabolisme
luas"; beberapa salinan gen untuk 2D6 menghasilkan tingkat tinggi CYP2D6 dan
akan memetabolisme obat melalui jalur yang lebih cepat daripada yang lain.
Beberapa obat yang CYP2D6 inhibitor dan mengurangi atau bahkan
sepenuhnya menghalangi konversi kodein dengan morfin. Yang paling terkenal
ini adalah dua dari inhibitor reuptake serotonin selektif , paroxetine (Paxil) dan
fluoxetine (Prozac) serta antihistamin diphenhydramine dan antidepresan,
buproprion (Wellbutrin, juga dikenal sebagai Zyban). Obat lain, seperti rifampisin
dan deksametason , mendorong isozim CYP450 dan dengan demikian
meningkatkan tingkat konversi.
Sementara metaboliser CYP2D6 luas (EM) kebutuhan dosis tinggi obat
dimetabolisme oleh CYP2D6 untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup
untuk efek terapi dan metaboliser miskin (PM) mungkin menderita dari keracunan
obat karena memperlambat klirens obat dan konsentrasi plasma yang berlebihan,
prodrugs seperti kodein memiliki efek sebaliknya. Jadi suatu EM mungkin
memiliki efek samping dari penumpukan cepat metabolit codeine sementara PM
mungkin mendapatkan sedikit atau tanpa rasa sakit. CYP2D6 tidak berfungsi pada
7% orang Amerika putih dan hitam, yang mengakibatkan berkurangnya
metabolisme codeine. Individu lain mungkin memiliki dua atau lebih salinan dari
gen CYP2D6, sehingga metabolisme cepat dari target obat. CYP2D6
memetabolisme dan mengaktifkan kodein menjadi morfin, yang kemudian
mengalami glucuronidation. Mengancam intoksikasi hidup, termasuk mewajibkan
intubasi depresi pernafasan, dapat mengembangkan lebih dari hitungan hari pada
pasien yang memiliki beberapa alel fungsional CYP2D6, menghasilkan ultra-
cepat metabolisme opioid seperti kodein menjadi morfin.
Metabolit aktif dari kodein, terutama morfin, mengerahkan efeknya
dengan mengikat dan mengaktifkan μ- reseptor opioid, dengan mekanisme kerja :
Kodein merangsang reseptor dalam SSP juga menyebabkan depresi pernapasan,
vasodilasi perifer, inhibisi gerak peristaltik usus, stimulasi dari chemoreceptors
10
yang menyebabkan muntah, peningkatan nada kandung kemih dan menekan
refleks batuk.
2.5 EFEK SAMPING
Idiosinkrasi dan alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah
terutama pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lainnya adalah
timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang darilium, lebih jarang lagi
konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti
urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asalkan saja
dosis diperhitungkan berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan
penderita berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan opioid lain
juga harus digunakan dengan hati-hati bila daya cadangan napas (respiratory
reserve) telah bekurang, misalnya pada emfisem, kifoskoliosis, korpulmonale
kronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun penderita dengan keadaan seperti ini
tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah menggunakan
mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. Pada
penderita tersebut kadar plasma tinggi secara kronik dan kepekaan pusat napas
terhadap telah berkurang. Pembebanan lebih lanjut dalam bentuk depresi oleh
morfin dapat membahayakan.
2.6 TOLERANSI, ADIKSI DAN ABUSE
Terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang
merupakan gambar-gambar spesifik obat-obat opioid. Kemungkinan
untukterjadinya ketergantungan fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama
untuk membatasi penggunaannya.
Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut :
1. Habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga penderita ketagihan
akan morfin.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia
tubuh tidak berfugsi lagi tanpa morfin
11
3. adanya toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap
efek eksitasi, miosis, dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara
morfi, dihidromorfinon, metopon, kodein, dan heroin. Tolerasi timbul setelah 2-3
minggu. Kemunkinan tibulna leransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara
teratur.
Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah
gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkan morfin,
pecandu tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabel, kemudian tertidur nyenyak.
Setelah waktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada
fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin,
mual, demam, dan napas cepat.
Gejala ini makin hebat disetai timbulnya muntah, kolik, dan diare.
Frekuensi denyut jantug dan tekanan darah meningkat. Penderita merasa panas
dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis dan
berat badan penderita menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskuler
yang bisa berakhir dengan kematian.
Addiction labilty atau daya untuk menimbulkan adiksi berbeda-beda untuk
maing-masing obat. Bahaaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin
menimbulkaneuforia yang kuat yang tidak disertai mualdan konstipasi. Kodein
paling jarang menimbulkan adiksi karena kodein sedikit sekali menimbulkan
euforia. Untuk menimbulkan adiksi terhadap kodein diperlukan dosis besar.
Dengan dosis besar ini gejala yang tidak menyenangkan sudah terjadi sebelum
timbul adiksi.
Telah terbukti bahwa kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid yang
tergolong opioid agonis-antagonis lebih kecil daripada opioid agonis µ. Demikian
pula halnya dengan opioid yang bekerja selektif sebagai agonis pada reseptor k
karena kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euforia. Perbedaan potensi
untuk penyalahgunaan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk terapi.
2.7 INTERAKSI OBAT
12
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh
fenotiazin, penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. Beberapa
fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat
analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan
diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.
Beberapa derivat fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat
yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang
diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek
analgetik dan euforia morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu
didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.
2.7 INDIKASI
Terhadap nyeri. Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan unuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :
1. Infark miokard
2. Neoplasma
3. Kolik renal atau kolik empedu
4. Oklusio akut pembuluh darah perifer,pulmonal, atau koroner
5. Perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan
6. Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pasca bedah
Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada
penderita yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat preanestetik
hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik
digunakan penobarbital atau diazepam.
ANTAGONIS OPIOID
13
Obat-obat yang tegolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan
banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonia opioid atau bila opioid
endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau syok. Nalokson
merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson
yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama
dari nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor µ, ҡ
dan δ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor u jauh lebih tinggi. Dalam dosis besar
keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti
secara klinis.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping memperlihatkan
efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin, analgesik, dan depresi
napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini merupakan
antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, tetapi juga memperlihatkan efek agonis pada
reseptor-reseptor lain.
FARMAKODINAMIK
Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa
nalokson:
1. Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya
tinggi
2. Mengantagonis efek analgetik plasebo
3. Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum
akupuntur.
Semua efek ini diduga berdasarakan antagonisme nalokson terhadap ipioid
endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Efek subyektif yang ditimbulkan
nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang yang bersangkutan dan
keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia
sama kuat pada penderita dengan nyeri pascabedah. Efek tersebut diduga
disebabkan oleh kerja agonis paka reseptor K. Sehingga menimbulkan reaksi tidak
menyenangkan misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh sampai timbulnya day
14
dreams yang mengganggu atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering
halusinasi visual.
Nalorfin dan Levarolvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga
karena kerjanya pada reseptor K. Berbeda dengan morfin depresi napas ini tidak
bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan
memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi
napas akibat dosis besar.
EFEK DENGAN PENGARUH OPIOID
Semua efek agonis opioid pada reseptor ʋ diantagonis oleh nalokson dosis
kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam
1-2 menit setelah pemberian nalokson pada penderita dengan depresi napas akibat
agonis opioid, efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga seera
dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson menyebabkan kebaikan efek dari efek
psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antaonis. Antagonisme nalokson ini
berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dari dosisnya.
Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertgai dengan
terjadinya fenomen overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas
melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga
berhubungan dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang
timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap
morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat
berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian iba-tiba pemberian
morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan dan berakhir setelah
2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis
dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan
ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.
FARMAKOKINETIK
15
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya terlihat setelah
penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir
seuruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan
parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati terutama dengan glukuronidasi. Waktu
paruhnya kira-kira 1 jam debgan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif setelah
pemberian per oral, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam,
waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya,
6-naltreksol, merupakan antagonis opioid ysng lemah dan dan masa kerjanya
panjang.
Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada penderita adiksi opioid
pemberian 100 mg secara oral dapat menghambat efek euforia yang ditimbulkan
oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Codein merupakan derivate dari opioid yang merupakan goongan alkaloid,
yang mempunyai 3 reseptor yaitu mu (µ), delta (δ), kappa (ҡ).
Metabolit aktif dari kodein, terutama morfin, mengerahkan efeknya
dengan mengikat dan mengaktifkan μ- reseptor opioid, dengan mekanisme
kerja : Kodein merangsang reseptor dalam SSP juga menyebabkan depresi
pernapasan, vasodilasi perifer, inhibisi gerak peristaltik usus, stimulasi
dari chemoreceptors yang menyebabkan muntah, peningkatan nada
kandung kemih dan menekan refleks batuk.
16
DAFTAR PUSTAKA
AGS Panel on Persistent Pain in Older Persons. The management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc 2002;50 (6Suppl):S205-S224.
Kee Joyce L. Dan Hayes Evelyne R.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC
Japardi, Iskandar., dr. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara. 2002.
Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill, 1996
Trescot AM, Boswell MV, Atluri SL, et al. Opioid guidelines in the management of chronic noncancer pain. Pain Phys 2006;9(1): 1-39.
17
Morley-Forster PK, Clark AJ, Speechley M, et al. Attitudes toward opioid use for chronic pain: a Canadian physician survey. Pain Res Manag 2003;8:189-194.
18