referat (2)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Resistensi insulin tipe B merupakan suatu kelainan autoimun yang jarang ditemukan dengan ciri
adanya autoantibodi terhadap reseptor insulin. Manifestasi klinis dan temuan yang muncul ada
keterkaitannya dengan antibodi ini sehingga kebanyakan penderita datang dengan hiperglikemia yang
sangat mencolok atau dengan hiperinsulinemia akibat kompensasi tubuh. Namun, terdapat penderita
dengan penyakit yang sama tetapi ditemukan hipoglikemia akibat efek mirip insulin oleh reseptor
autoantibodi tersebut. Penyakit ini sering timbul akibat komplikasi penyakit autoimun lain dan
penyebab tersering adalah systemic lupus erythematosus (SLE), namun dapat juga muncul bersama,
bukan sebagai komplikasi(1). Kejadian resistensi insulin dengan SLE sebagai komplikasi maupun yang
timbul bersama diperkirakan sebanyak 50% hingga 80% penderita(2).
1
BAB II
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
II.1 PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun yang kronis
melibatkan banyak sistem organ. Penyakit ini ditandai oleh produksi autoantibodi non-organ yang
spesifik, termasuk antinuclear (ANA), anti-double – stranded DNA (anti-dsDNA), antibodi anti-
fosfolipid dan marker autoantibodi (anti-Sm). Konsekuensi penyakit ini antara lain adalah gagal
ginjal, vaskulitis, arthritis dan komplikasi neuropsikiatri seperti kejang dan psikosis. Perjalanan klinis
SLE ditandai periode akut dan remisi, sehingga terapi pada penyakit ini membutuhkan penggunaan
meluas kortikosteroid dan imunosupresan yang lain(4,7).
Predominansi penyakit ini lebih kepada wanita yaitu 10 kali lebih banyak dari laki-laki.
Puncak insidens timbulnya penyakit ini adalah pada usia reproduktif. Dikalangan anak-anak dan
wanita pasca menopause, perbandingan wanita:laki-laki adalah 2:1 hingga 3:1. Diduga terdapat
komponen genetik yang berperan. Kejadian dikalangan kembar monozigot adalah setinggi 25%.
SukuAfrican American mempunyai peluang 3 kali lipat untuk mendapat kelainan ini, termasuk usia
yang lebih muda serta angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih. Prevalensi
SLE dan nefritis pada orang Hispanics dan Asia didiga semakin meningkat. Walaupun terdapat
banyak penelitian, kefahaman mengapa angka SLE lebih tinggi dalam suatu suku lebih dari yang
lainnya masih belum dimengerti(4,5,7).
II.2 BAHASAN
SLE merupakan salah satu bentuk kelainan lupus. Tipe lainnya termasuk lupus kutaneus
kronik, lupus akibat intoksikasi obat, lupus kutaneus subakut dan lupus pada neonatus(6). Yang
dibicarakan dalam makalah ini hanya bertumpu pada SLE saja.
II.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab sebenar timbulnya penyakit ini tidak diketahui. Sindrom klinis yang muncul pada
SLE kemungkinan besar akibat dari interaksi beberapa gene yang rentan serta pencetus dari
lingkungan termasuk faktor endogen seperti metabolisme hormon seks, stres, atau diet; dan faktor
eksogen seperti pajanan sinar matahari dan silika, infeksi serta toksin di lingkungan. Abnormalitas
fungsional yang dapat timbul adalah hiperaktivitas dari sel B yang meningkatkan produksi
imunoglobulin, rekognisi antigen diri sendiri (self antigens) dan pembentukan autoantibodi akibat
kegagalan toleransi yang normal. Defek pada sel T ditandai kelebihan sel T helper serta defek pada
imunitas seluler(8).
2
II.4 MANIFESTASI KLINIS(5,6)
II.4.1 Penyakit muskuloskeletal
Keterlibatan muskuloskeletal merupakan salah satu manifestasi terawal dan tersering
pada SLE. Arthralgia dan tendinitis lebih sering ditemukan ketimbang bengkak akibat
sinovitis. Jaccoud’s arthritis merupakan arthropati yang non erosif namun mengakibatkan
deformitas, dapat timbul pada penyakit ini. Miositis ditemukan <15% penderita dengan
derajat ringan sampai berat. Miopati dapat muncul akibat terapi dengan kortikosteroid, atau
lebih jarang lagi, pengobatan dengan obat anti malaria. Osteonekrosis (nekrosis avaskular)
didapatkan pada 5%–10% penderita sering mengenai caput femoris secara bilateral. Implikasi
lainnya termasuk fenomena Raynaud’s, vaskulitis pembuluh darah kecil, emboli lemak dan
antibodi antikardiolipin ditemukan berkorelasi dengan puncak pajanan kortikosteroid dan
durasi pemakaian obat tersebut.
II.4.2 Penyakit kutaneus
80 – 90% penderita didapatkan kelainan sistem mukokutaneus. Paling sering adalah
lupus diskoid, ditemukan pada 15 – 30% penderita SLE. Temuan spesifik SLE adalah LE
kutaneus akut dengan eritema malar atau bula menyeluruh atau juga lesi fotosensitif. Temuan
non spesifik adalah protean dan bervariasi mulai vaskulitis kutaneus florid pada pembuluh
darah kecil hingga panikulitis dan retikularis livedo.
II.4.3 Penyakit kardiopulmoner
Pada tipe ini yang sering ditemukan adalah pleuritis. Sindrom akibat progresivitas
hilangnya volume paru (shrinking lung) akibat disfungsi diafragma sering dapat dideteksi.
Saat ini kian jelas bahwa bagian kedua dari gambaran kurva bimodal pada mortalitas SLE
diakibatkan oleh percepatan penyakit arterosklerotik. Proses inflamasi yang berterusan
tampaknya merupakan faktor resiko yang tersendiri yang terpisah dari komorbiditas
hipertensi, hiperkolesterolemia, terapi kortikosteroid dan diabetes. Penderita lupus
menunjukkan kadar homosistein serum yang meningkat sebagai faktor resiko komorbiditas
lainnya.
II.4.4 Penyakit ginjal
Keterlibatan ginjal menunjukkan berbagai gambaran histologi. Variasi lupus nefritis
mulai dari proteinuria asimptomatik ringan hingga glomerulonefritis dengan progresifitas
sangat cepat yang terkait dengan gagal ginjal tahap akhir (end stage renal disease – ESRD).
Kelainan ini berprognosis buruk terutama yang onsetnya pada usia muda, laki-laki dan
azotemia persisten. SLE tidak termasuk dalam kontraindikasi untuk dilakukan transplantasi
ginjal oleh karena frekuensi penolakan graft oleh tubuh pasien SLE tidak berbeda dengan
3
orang lain. Rekurensi lupus nefritis pada penderita yang melakukan transplantasi adalah
kurang dari 10%.
II.4.5 Penyakit neuropsikiatri
Manifestasi kelainan ini sering berubah, termasuk penyakit neurologi akut dan
kronik. Semua tahapan sistem saraf pusat dan perifer dapat terlibat. Gejala yang sering
ditemukan adalah sakit kepala, kejang yang dapat fokal maupun difus dan aberasi kelainan
psikotik contohnya kelainan afektif, psikosis dan penyakit otak organik. Namun begitu,
mekanisme sekunder kelainan ini terutama yang disebabkan infeksi, uremia dan obat-obatan
seperti kortikosteroid harus disingkirkan.
II.4.6 Kelainan fertilitas
Fertilitas penderita SLE tanpa komplikasi adalah normal. Pada episode lupus akut,
sering ditemukan frekuensi keguguran trimester kedua yang meningkat (15%), kelahiran
prematur (20%) dan lahir-mati (5%). Aktivitas lupus saat terjadinya konsepsi dapat menjadi
prediksi kehamilan. Sindroma lupus neonatus dapat terkait ruam, pemblokiran komplit dari
jantung atau trombositopeni transien. Pemblokiran jantung (heart block) adalah ireversibel.
Pada si ibu dapat timbul anti-Rho tanpa ada kelainan jaringan ikat. Kontrasepsi yang aman
buat penderita SLE masih diteliti.
II.5 DIAGNOSIS BANDING DAN PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Kriteria bagi klasifikasi penyakit SLE menurut American College of Rheumatology revisi
tahun 1997 dapat dilihat dibawah ini (Tabel 1). Kriteria ini membolehkan perbandingan antara
penderita dalam studi klinis, bukan sebagai kriteria klinis diagnostik. Penderita dapat datang dengan
kurang dari 4 ciri dan dengan jelas menderita SLE tanpa gambaran klinis atau serologi lainnya;
penderita dengan sindroma antifosfolipid antibodi primer dapat datang dengan 4 atau lebih ciri kriteria
SLE tapi tidak menderita SLE.
KRITERIA BATASAN
Ruam Malar Eritema malar (eminensia malar atau lipatan nasolabial), datar atau
menonjol
Ruam Diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran bersisik keratosis dan
sumbatan folikular; lesi yang lebih lama dapat ditemukan gambaran
bersisik atrofi
Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari, didapat dari
anamnesis atau observasi dokter
Ulkus Mulut Ulser mulut/nasofaring yang biasanya tidak nyeri, hasil observasi dokter
4
Artritis non Erosif Melibatkan dua/lebih sendi perifer, dengan ciri nyeri, bengkak atau efusi
Serositis 1. Pleuritis: riwayat nyeri pleuritik atau pleural friction rub dapat
didengar oleh dokter atau bukti efusi pleura
atau
2. Perikarditis: bukti hasil EKG atau pericardial friction rub dapat
didengar oleh dokter atau bukti efusi perikardium
Gangguan Ginjal 1. Proteinuria menetap >0,5 g/hari atau >3+
atau
2. Apapun tipe cetakan seluler
Gangguan Neurologi 1. Kejang tanpa ada penyebab lain
2. Psikosis tanpa ada penyebab lain
Gangguan Hematologi 1. Anemia hemolitik
2. Leukopenia <4000/mm3 pada dua kali/lebih pemeriksaan
3. Limfopenia <1500/mm3 pada dua kali/lebih pemeriksaan
4. Trombositopenia <100,000/mm3 tanpa penyebab obat-obatan
Gangguan Imunologi 1. antiDNA
atau
2. antiSm
atau
3. Positif antibodi antifosfolipoid berdasarkan:
i. Kadar IgG atau IgM antibodi antikardiolipin abnormal
ii. Hasil positif antikoagulan lupus menggunakan metode
standar
iii. Hasil tes sifilis yang positif palsu selama 6 bulan dengan
konfirmasi dari tes imobilisasi Treponema pallidum atau
tes floresensi absorpsi antibodi Treponema pallidum
Antibodi Antinuklear
(ANA)
Titer ANA yang abnormal berdasarkan tes imunofloresensi tanpa
pengaruh obat yang mengakibatkan sindrom lupus akibat obat
Tabel 1: Kriteria Systemic Lupus Erythematosus Revisi Tahun 1997(7)
Antibodi antinuklear adalah tes skrining paling sensitif oleh karena lebih dari 95% penderita
lupus menunjukkan hasil positif saat tes dijalankan menggunakan substrat yang mengandung nuklei
manusia seperti sel HEP-2. Hasil tes ANA yang positif adalah tidak spesifik untuk SLE; hasil ANA
positif dapat muncul pada orang dengan usia lanjut, biasanya ditemukan dengan kadar titer yang
rendah pada 15% orang dengan usia di atas 65 tahun. Adalah penting untuk menyingkirkan penyakit
autoimun lain yang dapat dikelirukan dengan SLE terutama yang memberi hasil tes ANA yang positif
contohnya pada artritis reumatoid; sindroma Sjögren’s atau skleroderma; fenomena Raynaud’s
5
terisolasi; atau penyakit autoimun pada organ yang spesifik termasuk purpura idiopatik
trombositopeni (idiopathic thrombocytopenic purpura – ITP), penyakit tiroid autoimun dan anemia
hemolitik. Keluarga penderita SLE sering ditemukan hasil tes ANA yang positif tanpa gambaran
klinis penyakit tersebut. Banyak kelainan autoimun mempunyai persamaan antara satu sama lain,
sehingga penentuan kriteria diagnosis menjadi sulit. Temuan adanya antibodi terhadap antigen Sm
yang dapat ditemukan dalam 30% penderita, adalah patognomonik terhadap SLE(7,8).
Lupus akibat intoksikasi obat terkait dengan beberapa jenis obat, paling sering oleh
prokainamid dan hidralazine. Minosiklin, interferon-α dan pemblokir faktor nekrosis tumor α (tumor
necrosis factor-αblocker – TNF-α blocker) terkait dengan formasi ANA dan antibodi anti-dsDNA(7).
Gambar 1: Ruam Malar/Butterfly rash(5)
Gambar 2: Bukti Fotosensitivitas, biasanya pada bagian yang terkena matahari(5)
II.6 PENANGANAN DAN TERAPI
Lupus adalah kelainan klinis yang heterogenik sehingga penderita datang dengan keluhan
mulai kelainan kulit dan sendi hingga keadaan yang dapat fatal lainnya seperti gagal ginjal dan
neurologi. Fokus penanganan tergantung manifestasi klinis masing-masing penderita. Adalah penting
untuk menentukan aktivitas dan keparahan penyakit sama ada dalam keadaan aktif dan remisi
sehingga potensial keterlibatan organ vital bagi memilah terapi yang sesuai. Bukti adanya proses
inflamasi mencetuskan pertimbangan terapi imunosupresif bertolak belakang dengan antikoagulasi
untuk kejadian trombosis dan emboli. Edukasi pasien tentang spektrum penyakit ini serta hasil jangka
panjang adalah penting(5,6).
Penderita harus diedukasi untuk mengelakkan kelebihan pajanan sinar ultraviolet, contohnya
dengan menggunakan pelindung cahaya kadar tinggi (SPF 30+) atau kacamata pelindung. Resiko
infeksi dapat meningkat pada penderita lupus walaupun tanpa menggunakan kortikosteroid; demam
harus ditentukan penyebab selain dari SLE. Lelah sering ditemukan. Menyingkirkan penyebab lain
6
contohnya penyakit tiroid, fibromialgia, insufisiensi adrenal setelah penurunan dosis steroid ataupun
depresi adalah penting. Penderita lupus meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular prematur akibat
inflamasi yang mendasari. Lupus juga terkait dengan insidens osteoporosis yang meningkat tanpa
penggunaan kortikosteroid, sehingga pencegahan dan terapi kelainan tulang menjadi kurang penting(7).
II.6.1 AGEN FARMAKOLOGI
Obat golongan non-steroid anti inflamasi (NSAID) adalah bermanfaat dalam mengawal
simptom sendi seperti arthralgia dan arthritis, pleuritis dan nyeri kepala. Inhibitor COX-2 selektif
belum diuji secara spesifik dalam SLE, namun mungkin sekali dapat menurunkan toksisitas pada
saluran gastrointestinal namun seperti golongan inhibitor siklooksigenase nonselektif lainnya, terdapat
efek samping perburukan terhadap fungsi ginjal, hepar dan sistem saraf pusat yang dapat keliru
dengan perjalanan penyakit SLE(4,6).
Kebanyakan manifestasi penyakit SLE dapat berespon dengan kortikosteroid, bisa oral,
parenteral melalui injeksi intramuskular, intralesi bagi lesi kulit, injeksi artikular bagi artritis atau
melalui jalur intravena. Resiko penggunaan jangka panjang termasuk peningkatan suseptibilitas
terhadap infeksi, katarak, hipertensi, diabetes dan osteoporosis(4).
Obat anti malaria dapat bermanfaat contohnya hidroksiklorokuin terutama pada penderita
dengan keluhan yang dominannya adalah kutaneus, sendi, pleura atau perikardial. Pemeriksaan
oftalmologi yang rutin adalah penting bagi memonitor toksisitas obat ini, namun resiko toksik
terhadap mata adalah jarang jika dosis yang digunakan sesuai rekomendasi. Kelebihan obat ini
termasuk penurunan kadar lemak dan efek anti trombotik(7).
Obat-obat imunosupresif (contohnya azathioprine, siklofosfamid, mecophenolate mofetil dan
siklosporin A) digunakan pada penyakit SLE yang berat dan efek penyelamatan steroid (steroid-
sparing effect) obat ini. Monitor ketat adalah mandatori mengingat potensi toksisitas golongan ini.
Metotreksat makin sering digunakan bagi arthritis hebat atau kelainan kulit, dan penderita harus tetap
dimonitor(5,8).
Yang harus diingat dalam manajemen kasus SLE adalah seperti berikut:
SLE merupakan suatu penyakit dengan periode remisi dan eksaserbasi. Penderita dalam
periode remisi sebaiknya tidak diterapi. Pengobatan dengan siklofosfamid sedapat mungkin dielakkan
jika kelainan ini tidak sampai mengancam nyawa mengingat efek sampingnya yang berat termasuk
ablasi gonad, alopesia, perdarahan kandung kemih dan keganasan. Pertukaran plasma atau
plasmapharesis belum dapat dibuktikan kelebihannya dalam kasus SLE berat kecuali dalam efek
respon anekdot pada situasi kegawatan akut contohnya SLE dengan vaskulitis luas. Pada penderita
SLE dengan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), terapi ini dapat menghindari keadaan
fatal(7).
BAB III
7
RESISTENSI INSULIN
III.1 PENDAHULUAN
Resistensi insulin merupakan keadaan dimana konsentrasi insulin yang diproduksi tidak
menghasilkan efek biologi yang diharapkan. Kelainan ini juga menurut sesetengah peneliti,
didefinisikan sebagai keperluan 200 atau lebih unit insulin per hari untuk menjaga keseimbangan gula
darah dan justru mencegah ketosis. Sindrom ini melibatkan spektrum klinis yang besar, termasuk di
dalamnya adalah obesitas, intoleransi glukosa, diabetes dan sindrom metabolik. Kebanyakan penyakit
ini terkait dengan berbagai kelainan endokrin, metabolik dan kondisi genetik, namun dapat juga oleh
kelainan imunologi(9).
Di Amerika diperkirakan 3% populasi umum menderita resistensi insulin, sementara ¼
populasi dewasa seluruh dunia diduga mempunyai penyakit ini. Prevalensi yang dilaporkan pada
populasi kulit putih berkisar antara 3% hingga 6%, suatu kadar yang 2% lebih rendah ketimbang
pelaporan prevalensi di kalangan rakyat Jepang. Resistensi insulin didapatkan pada semua ras, lebih
sering mengenai wanita dan timbul sebelum usia tua. Namun pada resistensi insulin tipe B yang lebih
jarang terjadi berbanding tipe A, lebih banyak didapatkan pada kelompok wanita Afrikan
Amerika(9,10).
Penyakit ini merupakan dasar berkembangnya intoleransi glukosa sehingga berlanjut menjadi
diabetes tipe II dengan komplikasi terseringnya yaitu penyakit arteri koroner. Mortalitas akibat
sindrom koroner akut maupun stroke meningkat dua kali lipat pada orang dengan resistensi insulin
berbanding orang lain. Kemungkinan terjadi DM tipe II juga meningkat lima kali lipat sehingga
biasanya mortalitas pada penderita adalah akibat komplikasi penyakit DM(9).
III.2 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Mekanisme yang terlibat untuk terjadinya resistensi insulin termasuklah kelainan genetik atau
defek pada sel target primer, terbentuknya autoantibodi terhadap insulin dan percepatan degradasi
insulin. Penyebab tersering resistensi insulin adalah obesitas, yang menyebabkan penurunan jumlah
reseptor insulin dan kegagalan post reseptor untuk mengaktivasi tirosin kinase. Resistensi insulin
memainkan peran patogenik penting dalam perkembangan sindrom metabolik yang termasuk
antaranya adalah hiperinsulinemia, DM tipe II atau toleransi glukosa terganggu, obesitas sentral,
hipertensi dan dislipidemia. Etiopatogenesis sindrom metabolik dapat juga timbul akibat inflamasi
dan adipositokin. Peningkatan kadar C-reactive protein (CRP) yang merupakan marker fase akut
inflamasi terkait dengan resistensi insulin dan sindrom metabolik sehingga menimbulkan ide bahwa
terdapatnya proses inflamasi kronis. Omentin, sejenis adipositokin yang disekresi oleh tisu adiposa
subkutan, meningkatkan sensitivitas insulin dalam adiposit. Kadar plasma omentin-1 yang merupakan
bentuk isoformnya dalam sirkulasi adalah berbanding terbalik dengan BMI, kadar leptin dan sindrom
resistensi insulin(9).
8
Sekresi dan sensitivitas insulin saling terkait, dengan maksud resistensi insulin menyebabkan
peningkatan sekresi insulin untuk mengawal keseimbangan homeostasis glukosa dan lipid. Beberapa
mediator diduga berpotensi untuk memberi sinyal kepada sel B di pankreas untuk berespon terhadap
keadaan resistensi insulin termasuk kadar glukosa, asam lemak bebas, saraf otonom, hormon derivat
lemak seperti adinopektin dan hormon peptida-1 usus mirip glukagon (gut hormone glukagonlike
peptide 1/GLP-1). GLP-1 merupakan hormon inkretin yang menstimulasi sekresi insulin, mendukung
mitosis sel B sementara mencegah terjadinya apoptosis sel tersebut, mencegah sekresi glukagon dan
memperlambat pengosongan lambung dengan efek antidiabetik menyeluruh. Kegagalan mengirim
sinyal ke sel B pankreas menyebabkan kadar insulin yang tidak adekuat dan DM tipe II(9).
Terdapat dua tipe resistensi insulin yaitu tipe A dan tipe B. Yang akan dibahas dalam referat
ini adalah resistensi insulin tipe B.
Tidak seperti resistensi insulin tipe A dimana reseptor insulin tidak berfungsi atau tiada akibat
mutasi genetik, resistensi insulin tipe B terjadi apabila antibodi yang diproduksi menghalangi reseptor
insulin. Saat antibodi ditujukan pada reseptor insulin, ia mencegah penyatuan reseptor dengan insulin
sehingga kadar insulin darah meningkat dengan temuan kadar glukosa turut meningkat. Namun
begitu, pada sesetengah penderita dapat timbul simptom hipoglikemia akibat antibodi yang
menyerang reseptor insulin kadang mempunyai efek mirip insulin sehingga sangat sulit sekali
mengawal kadar glukosa darah dengan resistensi insulin tipe ini(10).
III.3 MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini sering ditemukan dengan kondisi autoimun lainnya seperti penyakit tiroid
autoimun ataupun SLE beserta manifestasinya. Paling sering, penderita datang dengan gejala dan
temuan antara lain(9):
Kelelahan, cepat mengantuk terutama setelah makan makanan yang mengandung
lebih dari 20% hingga 30% karbohidrat
Ketidakmampuan untuk fokus sehingga terjadi kelelahan mental
Glukosa darah yang tinggi
Pertambahan gas usus sehingga penderita merasa kembung
Kesulitan menurunkan berat badan dengan obesitas tipe sentral. Saat ini efek
hormonal dari lemak tersebut adalah antara penyebab resistensi insulin.
Peningkatan kadar trigliserida darah
Peningkatan tekanan darah
Depresi
III.4 PENDEKATAN DIAGNOSTIK
9
Kriteria klinis yang telah ditetapkan oleh American Association of Clinical Endocrinologist
(AACE) untuk menegakkan diagnosis resistensi insulin adalah sebagai berikut(9):
BMI ≥25 kg/m2
Kadar trigliserida ≥150mg/dL
Kadar HDL <40 mg/dL pada laki-laki
<50 mg/dL pada perempuan
Tekanan darah ≥130/85 mmHg
Glukosa darah 2jam post prandial >140 mg/dL
Gula darah puasa 110-126 mg/dL
Faktor resiko tambahan Riwayat DM tipe II dalam keluarga
Hipertensi
Penyakit jantung koroner
Sindrom ovari polikistik
Cara hidup kurang aktivitas/sedentary lifestyle
Usia tua
III.5 PENANGANAN DAN TERAPI
Oleh karena resistensi insulin tipe B didasari kelainan antibodi autoimun, kadang para klinisi
memberikan obat yang dapat menekan respon imun atau mengesyorkan menjalani prosedur yang
dikenal sebagai plasmaparesis, yang dapat membuang sebagian dari antibodi tersebut (10). Pendekatan
farmakologi dan non farmakologi lainnya mirip dengan penanganan DM tipe II, yang akan dibahas
pada bab berikutnya.
BAB IV
10
DIABETES MELLITUS
IV.1 PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) dideritai oleh kurang lebih 17 juta orang di Amerika Serikat dan
beratus juta orang seluruh dunia. Resiko seumur hidup menderita kelainan ini ataupun bentuk yang
lebih ringan, fruste,yaitu toleransi glukosa yang terganggu adalah 30% hingga 50% pada orang Barat.
Epidemik penyakit ini kian membengkak dengan kadar insiden lebih dari 6% pertahun, akibat
meningkatnya obesitas dan cara hidup yang kurang aktif. Diabetes merupakan salah penyebab
mortalitas dan morbiditas terbanyak. Didapatkan penyakit vaskular prematur menyebabkan kematian
pada lebih dari 80% penderita diabetes, dengan berkurangnya jangka hayat sebanyak 7 hingga 10
tahun. Biaya bagi menampung pengobatan penyakit ini sangat tinggi, melibatkan 17% keuangan yang
diperuntukkan untuk kesehatan di Amerika Serikat(11,12).
Saat ini revolusi penanganan diabetes banyak dicetuskan. Intervensi cara hidup dan
pengurusan diri perorangan telah terbukti berhasil menangani komplikasi yang disebabkan oleh
penyakit ini. Obat farmakologis kini bukan hanya bertumpu pada pengobatan glikemia, yang turut
dikelola adalah komorbiditas tersering yaitu hipertensi dan dislipidemia (11). Bersama-sama,
pendekatan perubahan cara hidup dan farmakologi dapat memungkinkan kematian awal dan
disabilitas yang ditimbulkan. Oleh karena bahasan referat adalah menyangkut resistensi insulin, bab
ini hanya membahas tentang DM tipe II saja.
IV.2 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
DM tipe II (atau sebelumnya dikenali DM noninsulin dependen) biasa muncul pada kelompok
usia dewasa, meskipun dapat mengenai tiap golongan usia. Kebanyakan penderita mempunyai riwayat
penyakit yang sama dalam ahli keluarga terdekat, adanya obesitas tipe sentral. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada etnik minoriti dimana insiden terjadinya cenderung lebih awal dari kelompok
lainnya. Hasil studi terhadap suku Pima yaitu suku asli Amerika yang tinggal di Arizona, resiko
terjadinya DM tipe II adalah sangat tinggi, dan dapat dimengerti bahwa kelainan ini berpunca dari
hilangnya kapasitas sekresi insulin secara progresif akibat adanya resistensi insulin. Resistensi insulin
didefinisikan sebagai respon inadekuat dari proses metabolik terhadap konsentrasi fisiologis
insulin(12).
Beberapa fenotipe klinis terkait dengan resistensi insulin, yang sering dibahas bersama
sebagai sindroma metabolik atau dismetabolik. Sindroma ini termasuklah obesitas tipe sentral,
dislipidemia, hipertensi, hiperkoagulabilitas, disfungsi endotel dan percepatan terjadinya
aterosklerosis. Dislipidemia ditentukan oleh adanya trigliserida yang meningkat, HDL yang rendah
dan LDL yang lebih kecil namun padat yang cenderung lebih aterogenik berbanding LDL dalam
jumlah sama pada populasi normal. Namun patofosiologi terjadinya kelainan ini terkait temuan
11
sindrom metabolik belum diketahui pasti. Yang pasti adalah sebagian besar morbiditas kardiovaskular
akibat DM ada kaitannya dengan sindrom ini beserta ciri-cirinya(11,13).
Patofisiologi komplikasi mikrovaskular juga masih belum sepenuhnya dimengerti. Telah
ditemukan adanya predisposisi genetik untuk terjadinya retinopati, nefropati dan neuropati.
Mekanisme putatif timbulnya komplikasi ini termasuklah akumulasi sorbitol intraseluler, kelebihan
aktivitas protein kinase C dan adanya produk akhir glikosilasi yang tidak normal. Munculnya produk
akhir tidak normal ini karena glikosilasi non enzimatik golongan amino protein dan reorganisasi
molekular seterusnya. Kejadian ini bisa dimanfaatkan dalam kasus glikosilasi hemoglobin, dimana
dapat ditemukan indeks rata-rata kadar glukosa dalam darah pada 3 bulan sebelumnya. Ini karena bila
proses glikosilasi terjadi dalam protein struktural dengan waktu paruh hidup yang panjang, protein
yang terglikosilasi ini akan bereaksi sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi(13).
IV.3 MANIFESTASI KLINIS
Pada DM tipe II lebih sering asimptomatik hingga bertahun-tahun. Ditemukan juga penderita
dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang klasik. Seringnya adalah simptom ringan
yang berterusan sekian lama seperti kelelahan, infeksi kulit yang sering kambuh dan kencing malam
yang intermiten. Misalnya penderita hiperglikemia tidak pernah berobat, keadaan seperti ketoasidosis
diabetik maupun hiperosmolar dapat timbul(14).
Retinopati diabetik biasanya asimptomatik dan meskipun timbul sebagai manifestasi lambat,
penderita kadang merasakan perubahan lapang pandang akibat lepasnya retina ataupun penglihatan
yang kabur akibat intraokular hemoragik atau edema makula. Nefropati diabetik juga biasanya
asimptomatik sehingga fase akhir dimana pasien cepat lelah, timbul edema, gejala kelebihan cairan
atau dengan krisis hipertensi. Terdapat beberapa manifestasi neuropati diabetik akibat keterlibatan
saraf motorik dan sensorik perifer, saraf kranial serta sistem saraf otonom. Yang paling sering adalah
neuropati perifer, dimana penderita sering kesemutan sehingga diestesia contohnya perasaan terbakar
maupun gatal-gatal. Secara umumnya, simptom ini muncul dari bagian distal kemudian berlanjut
hingga ke proksimal sehingga dapat terjadi disfungsi motorik. Mononeuropati yaitu keadaan dimana
fungsi satu saraf saja yang terkena dapat mengenai saraf motorik, sensorik maupun kranial. Sindrom
entrapment seperti sindrom carpal tunnel sering ditemukan. Neuropati otonom dapat menimbulkan
disabilitas dimana penderita dapat datang dengan keluhan penglihatan saat malam yang menurun,
berkeringat banyak di wajah saat makan, kembung selepas makan, mual, muntah, diare, konstipasi,
ortostasis, kulit kering, retensi urin dan disfungsi seksual. Yang sering ditemukan pada kelainan
makrovaskular adalah sindroma koroner akut, stroke, serangan iskemi transien dan klaudikasi. Seperti
individu non diabetes lainnya, kelainan vaskular yang fatal biasanya tidak menimbulkan keluhan jika
belum sampai ke fase yang lanjut(12,13,14).
12
IV.4 DIAGNOSIS BANDING
Biasanya DM muncul sebagai kelainan primer, namun kadang dapat timbul sekunder.
Contohnya akibat dari kelainan pankreas sebagai penyebab DM sekunder. Kelainan pankreas yang
sering misalnya pankreatitis kronis, fibrosis kistik dan kanker pankreas. Sebelumnya diduga kelainan
di pankreas menyebabkan destruksi masal sel beta tapi telah dibuktikan bahwa patofisiologi terjadinya
DM pada penderita penyakit pankreas adalah jauh lebih rumit dari itu, dengan kemungkinan adanya
keterlibatan faktor humoral yang belum diketahui. Penyebab DM sekunder lainnya adalah sindrom
iatrogenik dan sindrom lain terkait kelebihan produksi glukokortikoid, hormon pertumbuhan,
glukagon dan katekolamin(11).
Retinopati diabetik adalah patognomonik buat DM namun dengan gejala yang mirip
retinopati akibat akromegali. Nefropati diabetik melibatkan ekskresi protein, yang awalnya mirip
sindrom nefrotik. Pada penderita proteinuria dengan gejala retinopati, hampir dapat dipastikan bahwa
kelainan di ginjal adalah terkait dengan penyakit DM nya. Sekiranya tidak terdapat retinopati dan
proteinuria yang signifikan, insufisiensi ginjal mungkin terjadi akibat kelainan ginjal lainnya, paling
sering disebabkan penyakit ginjal hipertensi. Terdapat banyak diagnosis banding bagi neuropati
perifer maupun otonom. Harus disingkirkan penyebab yang reversibel contohnya defisiensi vitamin
B12, sifilis tersier, hipotiroidisme, intoksikasi logam berat dan lainnnya melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang yang teliti(14).
IV.5 PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Diperkirakan sepertiga kasus DM di Amerika Serikat belum terdiagnosa. Beberapa studi
berkesimpulan 20% hingga 50% penderita DM telahpun ada komplikasi saat diagnosis ditegakkan,
dengan perkiraan penyakit tersebut telah mula dideritai 7 hingga 12 tahun sebelumnya. Rekomendasi
terkini adalah skrining kadar gula darah puasa mulai usia 45 tahun dengan pengulangan setiap 3
tahun. Pada kelompok dengan satu atau lebih faktor resiko, skrining seharusnya dimulai lebih awal
dengan interval yang lebih pendek. Faktor resiko yang dimaksud adalah adanya riwayat DM dalam
ahli keluarga terdekat; obesitas dengan BMI lebih dari 27 atau berat 120% lebih dari berat badan
ideal; termasuk kelompok suku dengan resiko tinggi mendapat DM terutama penduduk asli Amerika,
Amerika Latin, Amerika Afrika dan orang Asia; penderita hipertensi; penderita dislipidemia (kadar
trigliserida tinggi dan HDL (high density lipoprotein) rendah); melahirkan anak dengan berat lebih
dari 9 paun; riwayat toleransi glukosa terganggu terutama saat gestasi atau glukosa puasa ≥100
mg/dL. Nilai normal glukosa darah puasa adalah <100 mg/dL. Individu dengan glukosa darah puasa
≥126 mg/dL (7.0mM), diagnosis awalnya adalah DM, namun harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
ulangan keesokan harinya. Individu dengan nilai glukosa darah puasa intermediate yaitu 100 hingga
125 mg/dL adalah prediabetes, dengan resiko terjadinya diabetes kemudian hari disertai penyakit
kardiovaskular jika pencegahan tidak dilakukan segera(12,13,14). Ringkasan adalah seperti tabel 2:
13
Bukan DM Belum pasti DM DM
GDS (mg/dL) Plasma vena <100 100-199 ≥200
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
GDP (mg/dL) Plasma vena <100 100-125 ≥126
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
Tabel 2: Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM(10)
Bagan 1: Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan(10)
Studi terkini menganjurkan onset DM dapat dicegah atau diperlambat pada kelompok resiko
tinggi dengan cara diet dan olahraga yang targetnya adalah penurunan 7% berat badan disertai
aktivitas olahraga 30 menit tiap kali selama 5 hari seminggu, dapat ditambah medikamentosa seperti
metformin, acarbose dan orlistat sesuai indikasi(14).
IV.6 PENANGANAN DAN TERAPI
Kontrol glikemia merupakan isu terpenting dalam penanganan penyakit ini. Bagi kebanyakan
penderita, kadar glukosa sebelum makan yang diharapkan adalah diantara 90 hingga 130 mg/dL,
glukosa darah 2 jam postprandial <180 mg/dL dan kadar HbA1c dibawah 7% dapat mengurangkan
resiko percepatan terjadinya komplikasi. Penanganan yang kurang ketat adalah ditujukan pada
penderita dengan jangka hayat yang diperkirakan terbatas (kurang dari 6 tahun). Tidak banyak
penelitian klinis yang dilakukan untuk menunjang sekiranya terdapat manfaat pengaturan glukosa
darah pada kelompok penderita dengan komplikasi lanjut dan orang tua usia lebih 65 tahun. Kejadian
hipoglikemia yang sering merupakan indikasi perlunya modifikasi regimen terapi, termasuk mengacu
14
pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Strategi penanganan yang dapat mengurangi percepatan
komplikasi termasuk mengajarkan penderita untuk mengukur kadar glukosa darahnya sendiri,
modifikasi cara hidup dan manajemen pengurusan diri yang disiplin(11,14).
Data penelitian klinis belum adekuat untuk bisa membuat pernyataan tentang pendekatan
yang paling optimal buat penanganan DM tipe II. Pendekatan umum yang sangat logikal adalah
perubahan cara hidup terutama diet dan olahraga penderita. Kendala besar dalam hal ini adalah sulit
sekali mengatur kadar karbohidrat yang dikonsumsi sehari-hari serta pola olahraga yang cocok buat
masing-masing penderita. Yang diharapkan adalah glukosa darah sebelum makan kurang dari 100
mg/dL. Pada penderita dengan kadar glukosa yang lebih tinggi, haruslah dimulai pengobatan
farmakologis dengan satu jenis obat. Menurut banyak penelitian, metformin adalah yang paling
berkesan sebagai monoterapi dalam menurunkan kadar glukosa darah, walaupun ada efek samping
obat ini yang harus diperhatikan. Jika regimen pengobatan monoterapi tidak berhasil menurunkan
glukosa darah, obat anti diabetes lainnya dapat ditambahkan. Terdapat beberapa bukti penelitian
bahwa dengan memonitor dan memberikan regimen pengobatan yang spesifik untuk menurunkan
kadar glukosa darah selepas makan dapat dikaitkan dengan kontrol penyakit yang lebih menyeluruh
sehingga mungkin dapat mengurangi resiko hipoglikemia maupun hiperglikemia. Kebanyakan
penderita berespon baik dengan kombinasi obat yang meningkatkan sensitivitas insulin (metformin
dan glitazone) dengan obat yang meningkatkan kadar insulin (sulfonylurea dan insulin) termasuk
kombinasi obat yang secara primer menurunkan kadar gula darah sebelum makan dan puasa
(metformin, glitazone, sulfonylurea dan insulin kerja panjang) dengan obat yang menurunkan kadar
glukosa setelah makan (inhibitor alfa glukosidase, repaglinide dan insulin kerja cepat)(13,14).
Oleh karena lebih dari 80% mortalitas penderita adalah akibat penyebab penyakit
kardiovaskular, penanganan agresif terhadap menghilangkan faktor resiko terjadinya komplikasi ini
tak kalah pentingnya dengan penanganan DM itu sendiri. Rekomendasi terkini adalah penderita DM
harus mengkonsumsi aspirin, menurunkan tekanan darah kepada 130/80 mmHg dengan obat anti
hipertensi yang secara umumnya termasuk ACE-inhibitor, menurunkan kadar LDL <100 mg/dL,
menurunkan kadar trigliserida <150 mg/dL dan meningkatkan kadar HDL >40 mg/dL (>50mg/dL
pada perempuan)(14).
15
Bagan 2: Algoritme Pengobatan DM Tipe 2 tanpa disertai Dekompensasi(10)
16
BAB V
KESIMPULAN
Resistansi insulin tipe B sering ditemukan pada wanita, dengan penyebab IgG poliklonal yang
menyerang reseptor insulin. Formasi antibodi ini sering disertai penyakit autoimun lainnya, terutama
SLE. Antibodi yang dihasilkan memblokir penyatuan insulin dengan reseptornya pada permukaan sel
sehingga menghalang kerja insulin. Namun, antibodi ini kadang dapat memiliki efek seperti insulin,
sehingga keadaan hipoglikemia dapat terjadi spontan, terutama saat puasa.
Penderita dengan resistensi insulin tipe B telah berhasil sebelumnya dengan terapi
imunomodulator seperti siklofosfamid dan plasmaparesis. Namun efek positif dari terapi ini sering
temporer dan dengan waktu, dapat terjadi kekambuhan sehingga perlunya pengobatan yang
berterusan. Banyak penelitian yang menganjurkan terapi profilaksis menggunakan siklosporin A yang
dikombinasikan dengan azathioprin untuk menekan proliferasi kedua sel T dan sel B. Produksi
autoantibodi oleh sel B sering dependen terhadap sel T, dan terapi profilaksis ini diharapkan dapat
secara berterusan menekan sintesis antibodi reseptor insulin. Terdapat penelitian yang berhasil
membuat kesimpulan bahwa efek jangka panjang dengan terapi profilaksis ini masih berlanjut setelah
lebih dari empat tahun. Terapi ini juga menunjukkan stabilitas dalam penekanan aktivitas penyakit
SLE dan juga produksi antibodi reseptor insulin. Oleh karena itu modulasi ini mungkin sekali efek
dari penekanan limfosit secara umum.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kawashiri SY, Kawakami A, et al. Type B Insulin Resistance Complicated with Systemic
Lupus Erythematosus. The Japanese Society of Internal Medicine. 2009; 49(5): 487-90.
Available at: http://www.jstage.jst.go.jp/article/internalmedicine/49/5/487/_pdf. Accessed
January 26, 2011.
2. Page KA, Dejardin S, et al. A Patient with Type B Insulin Resistance Syndrome: Discussion
of Diagnosis. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/566746_3. Accessed
January 26, 2011.
3. Gehi A, Webb A, Nolte M, Davis JJ. Treatment of Systemic Lupus Erythematosus –
Associated Type B Insulin Resistance Syndrome with Cyclophosphamide and
MycophenolateMofetil. American College of Rheumatology. 2003; 48 (4): 1067-70. Available
at: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/art.10879/pdf. Accessed January 23, 2011.
4. American College of Rheumatology Web site. Available at: http://www.rheumatology.org.
Accessed January 25, 2011.
5. Bartels CM, Muller D. Rheumatology: Systemic Lupus Erythematosus. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview. Accessed January 28, 2011.
6. Arthritis Foundation Web site. Available at: http://www.arthritis.org. Accessed January 26,
2011.
7. Cooper GS, Dooley MA, Treadwell EL et al. Hormonal and reproductive risk factors for
development of systemic lupus erythematosus: results of a population-based, case-control
study. Arthritis Rheum. 2002; 46: 1830 – 39.
8. Dooley MA. Systemic Lupus Erythematosus. In: Runge MS, Greganti MA, eds. Netter’s
Internal Medicine. Icon System Learning, New Jersey. 2005: 887-93.
9. Olatunbosun ST, Jack SD et al. Metabolic Disorders: Insulin Resistance. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/122501-overview. Accessed January 27, 2011.
10. Leong K. Insulin Resistance Syndrome: Type A and Type B. Available at:
http://www.brighthub.com/health/diabetes/articles/93660.aspx. Accessed January 27, 2011.
11. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006.
12. American Diabetes Association: clinical practice recommendations. Diabetes Core. 2003; 26
(suppl 1).
13. Weyer C, Bogardus C, Mott DM, Pratley RE. The natural history of insulin secretory
dysfunction and insulin resistance in the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. J Clin
Invest. 1999; 104: 787-94.
14. Buse JB. Diabetes Mellitus and its Complications. In: Runge MS, Greganti MA, eds. Netter’s
Internal Medicine. Icon System Learning, New Jersey. 2005: 184-92.
18