anestesi referat 2

Upload: felisitas-nasir

Post on 10-Mar-2016

233 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

6

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangDi akhir setiap prosedur yang memerlukan anestesi, agen-agen anestesi diberhentikan, segala monitor dicabut, dan pasien (seringkali masih teranestesi) dibawa ke Ruang Perawatan Pasca Anestesi (Postanesthesia Care Unit/PACU). Sebagian besar prosedur guideline menyarankan agar setiap pasien pasca anestesia jenis apapun, lebih baik dirawat dan dimonitor terlebih dahulu di PACU. Pasien dirawat di PACU sampai efek-efek mayor anestesi yang ia dapatkan sudah dipastikan hilang. PACU didesain untuk memonitor dan merawat pasien-pasien yang sedang pulih dari efek-efek fisiologis anestesia dan pembedahan, sebelum pasien tersebut dapat kembali ke Ruang Rawat yang sesuai dengan kebutuhannya. Untuk mendukung segala kebutuhan pasien pada masa transisi ini, di PACU harus tersedia fasilitas yang diperlukan untuk meresusitasi pasien (kalau perlu) dan menyamankannya. Periode ini dikarakterisasi dengan beberapa insidensi pasca anestesi berupa komplikasi pernafasan dan sirkulasi yang dapat mengancam nyawa. Sehingga penting sekali tiap pasien diobservasi secara cermat untuk menilai pemulihannya pasca anestesia, serta menangani secara dini segala komplikasi yang terjadi. Atensi dalam PACU harus dikhususkan untuk observasi/monitoring oksigenasi (pulsasi oksimetri), ventilasi (frekuensi pernafasan, patensi jalan nafas, kapnografi), dan sirkulasi (tekanan darah sistemik, laju jantung, elektrokardiogram). Tanda-tanda vital dicatat secara rutin minimal 15 menit sekali. Penanganan dan perawatan pasien pasca anestesi di RR yang inovatif dan berkualitas dapat memiliki banyak keuntungan, seperti mempertahankan keamanan pasien pasca operasi, mengoptimalkan clinical outcomes, dan meminimalkan tagihan yang harus dibayar pasien. Pada referat ini, akan dibahas mengenai komponen-komponen esensial dalam PACU moderen, perawatan umum pasien pada pemulihan pasca anestesia, dan komplikasi respiratorik dan sirkluasi yang paling sering ditemui.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemulihan dari Anestesia Pemulihan dari anestesia umum ataupun regional adalah masa-masa stres fisiologis yang hebat bagi banyak pasien. Sadar kembali dari anestesi umum idealnya berlangsung gradual (bertahap) dan tenang pada lingkungan yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Namun, seringkali pasien mulai bangun ketika masih berada di ruang operasi atau saat transportasi menuju PACU, dan juga umumnya dikarakterisasi dengan obstruksi jalan nafas, menggigil, agitasi, delirium, nyeri, mual muntah, hipotermia, dan ketidakstabilan sistem saraf otonom. Bahkan pada pasien pasca spinal atau epidural anestesia dapat mengalami penurunan tekanan darah selama tranportasi menuju PACU atau saat pemulihan di PACU; Efek simpatolitik dari blok regional akan mencegah terjadinya vasokonstriksi (refleks kompensasi) saat pasien sedang dipindahkan atau saat mereka duduk tegak. Fokus utama dalam PACU harus dikhususkan untuk observasi / monitoring oksigenasi (pulsasi oksimetri), ventilasi (frekuensi pernafasan, patensi jalan nafas, kapnografi), dan sirkulasi (tekanan darah sistemik, laju jantung, elektrokardiogram). Rangkuman untuk saran penilaian dan monitoring dalam PACU terdaftar pada Tabel 1. Tanda-tanda vital dicatat secara rutin minimal 15 menit sekali. Tabel 1.Summary of Recommendations for Assessment and Monitoring in the PACU

Mengikuti anestesi inhalasi, kecepatan sadarnya pasien pasca anestesi berhubungan secara langsung (proporsional) dengan ventilasi alveolar, tapi berbanding terbalik dengan kelarutan agen tersebut dalam darah. Seiring dengan pertambahan durasi anestesia, kesadaran pasien pasca anestesi tersebut juga semakin bergantung dengan uptake total oleh jaringan, kelarutan agen, konsentrasi rata-rata yang digunakan, dan durasi terpaparnya dengan anestesia. Pemulihan paling cepat terjadi pasca penggunaan desflurane dan N2O, dan paling lama pasca penggunaan halotan dan enfluran. Hipoventilasi akan menunda sadarnya pasien pasca anestesia inhalasi. Pemulihan dari sebagian besar agen anestesi intravena sangat bergantung dengan redistribusi agen tersebut daripada eliminasi waktu paruhnya. Efek-efek kumulatif dari obat-obatan intravena yang diberi akan nyata dalam bentuk tertundanya pemulihan kesadaran pasien; terminasi aksi obat akan makin bergantung pada waktu paruh eliminasi metaboliknya. Oleh karena itu, pada pasien yang lanjut usia atau pasien yang memiliki kelainan ginjal atau hepatik akan memerlukan waktu lebih lama untuk sadar/pulih pasca anestesi. Penggunaan agen-agen anestesi intravena yang short- dan ultra-short-acting seperti propofol dan remifentanil secara signifikan mempercepat pemulihan kesadaran pasien, waktu bangunnya, dan pemulangan pasien. Selain itu, penggunaan sungkup laring (laryngeal mask airways/LMA) juga mempercepat pemulihan kesadaran pasien oleh sebab jumlah obat yang digunakan lebih sedikit. Cepat lambatnya pemulihan kesadaran juga dipengaruhi oleh medikasi preoperatif. Premedikasi dengan obat-obatan yang memiliki durasi kerja panjang (melebihi durasi operasi) juga diperkirakan memperlama pemulihan kesadaran pasien. Durasi singkat dari kerja midazolam membuatnya menjadi agen premedikasi yang tepat untuk prosedur operasi yang relatif singkat. 2.1.1. Penundaan Pemulihan Kesadaran (Delayed Emergence/DE) Penyebab tersering dari DE (saat pasien tidak kunjung sadar 30-60 menit pasca anestesia umum) adalah residu zat anestesia, agen sedatif, dan efek obat analgesia. DE dapat terjadi sebagai dampak dari overdose obat relatif atau absolut, atau potensiasi dari agen-agen anestetik oleh karena konsumsi alkohol/obat-obatan lainnya sebelum operasi berlangsung. Pemberian nalokson (0,04 mg) dan flumazenil (0,2 mg) dapat me-reverse dan menghilangkan efek kerja dari opioid dan benzodiazepin. Physostigmine 12 mg juga dapat me-reverse sebagian dari efek kerja agen-agen lainnya. Stimulator saraf juga dapat digunakan untuk menghilangkan blok neuromuskuler signifikan pada pasien yang menggunakan ventilator mekanis yang tidak memiliki volume alun (tidal volume) spontan yang adekuat. Penyebab DE lainnya yang juga sering terjadi adalah hipotermia, gangguan metabolik yang signifikan, dan stroke perioperatif. Suhu tubuh kurang dari 33C memiliki efek anestetik dan sangat mempotensiasi efek depresan terhadap susunan saraf pusat. Alat penghangat wajib dimiliki dalam PACU karena merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan suhu tubuh. Hipoksemia dan hiperkarbia dapat kita pastikan dengan analisis gas-gas darah. Hiperkalsemia, hipermagnesia, hiponatremia, hipoglikemia, dan hiperglikemia jarang memerlukan pengecekan laboratorium untuk diagnosis. Stroke perioperatif jarang terjadi kecuali pada pembedahan neurologis, jantung, dan serebrovaskuler; untuk menegakkan diagnosis memerlukan konsultasi neurologis dan pencitraan radiologis yang baik. 2.2. Transportasi dari Ruang Operasi Periode ini biasanya dipersulit dengan tidak tersedianya monitor adekuat, akses ke obat-obatan, atau peralatan resusitasi. Pasien sebaiknya tidak diperbolehkan meninggalkan ruang operasi apabila patensi jalan nafas mereka tidak terjaga, tidak terventilasi dan teroksigenasi adekuat, atau memiliki instabilitas hemodinamik. Suplementasi oksigen seharusnya diberi pada pasien selama transportasi untuk mencegah terjadinya hipoksemia. Setiap pasien sebaiknya dipindahkan ke PACU menggunakan tempat tidur yang dapat diposisikan Tredelenburg (kepala-turun) atau posisi kepala-tegak. Posisi Tredelenburg berguna untuk pasien yang hipovolemik, sedangkan posisi kepala-tegak berguna untu pasien yang memiliki disfungsi pulmoner. Pasien yang berisiko tinggi untuk muntah atau mengalami perdarahan jalan nafas atas (mis. pasca operasi tonsilektomi) harus dipindahkan dalam posisi lateral. Posisi ini membantu mencegah obstruksi jalan nafas dan memfasilitasi drainase sekret.

2.3. Pemulihan Rutin 2.3.1. Anestesia UmumPatensi jalan nafas, tanda-tanda vital, dan oksigenasi harus selalu diperiksa setelah pasien sampai di PACU. Kemudian, pengukuran tekanan darah, laju nadi, dan laju pernafasan harus diperiksa secara rutin setiap 15 menit sekali. Saturasi oksigen harus dimonitor secara kontinu pada semua pasien yang sedang pulih dari anestesi umum, setidaknya sampai mereka sadar penuh. Fungsi neuromuskuler sebaiknya juga dinilai secara klinis (mis. meminta pasien mengangkat kepala, dsb). Suhu tubuh pasien harus diukur setidaknya satu kali selama dia berada di PACU. Monitoring tambahan termasuk penilaian nyeri (dengan skala numerik atau deskriptif), kejadian muntah atau mual-mual, dan input dan output cairan termasuk aliran urin, drainase (bila terpasang) dan perdarahan. Setelah tanda-tanda vital awal sudah diperiksa, dokter anestesi perlu memberikan laporan singkat kepada perawat PACU mengenai anamnesis preoperatif (termasuk status mental, dan masalah komunikasi keterbatasan bahasa, tuli, buta, atau retardasi mental), keberlangsungan intraoperatif (tipe anestesi, prosedur pembedahan, jumlah kehilangan darah, penggantian cairannya, dan komplikasi apapun yang dialami pasien), masalah pascaoperatif yang diperkirakan pasti atau dapat terjadi, dan instruksi pasca anestesi (perawatan selang kateter epidural, transfusi, ventilasi pascaoperatif, dsb). Setiap pasien yang sedang pulih dari anestesi umum sebaiknya mendapat suplementasi oksigen 30-40% selama menunggu pasien kembali sadar karena hipoksemia sementara (transient hipoksemia) sering terjadi pada pasien yang normal sekalipun. Pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami hipoksemia, seperti pasien yang menderita disfungsi pulmoner atau mereka yang baru menjalani prosedur pembedahan toraks atau gastrointestinal atas, sebaiknya terus dimonitor saturasi oksigennya meskipun sudah sadar dan memerlukan suplementasi oksigen lebih lama dibandingkan pasien lainnya. Pasien umumnya lebih baik berada dalam posisi elevasi kepala untuk mengoptimalkan oksigenasi, tetapi hal ini baru dilakukan setelah pasien sadar dan responsif, karena bila dielevasi sebelum sadar dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Dalam kasus seperti itu, sebaiknya guedel, pipa trakea, atau pipa nasofaring sebaiknya ditinggal sampai pasien sadar penuh. Nafas dalam dan usaha batuk sebaiknya dianjurkan ke pasien secara periodik.

2.3.2. Anestesia Regional Pasien yang tersedasi berat atau tidak stabil secara hemodinamik pasca anestesia regional juga sebaiknya menerima suplementasi oksigen di PACU. Derajat aktivitas motorik dan sensorik pasien harus dinilai secara periodik untuk memastikan habis/hilangnya efek blok regional. Tekanan darah harus dimonitor secara cermat pasca anestesi spinal atau epidural. Kateter urin sebaiknya dipasang pada pasien yang telah mendapat anestesi spinal atau epidural selama leih dari 4 jam.

2.3.3. Kontrol Nyeri Administrasi NSAID (obat antiinflamasi non steroid) secara tunggal maupun dalam kombinasi dengan asetaminofen selama preoperatif dapat menurunkan kebutuhan pasien akan opioid secara signifikan. Penggunaan inhibitor COX-2 selektif (mis. rofecoxib dan parecoxib) menurunkan efek samping pada fungsi trombosit dan komplikasi gastrointestinal. Serupa, infiltrasi luka intraoperatif dan blok saraf (mis. ilioinguinal dan kaudal) untuk beberapa prosedur tertentu juga dapat menurunkan kebutuhan analgesia pascaoperatif. Nyeri ringan hingga sedang dapat diobati dengan obat oral seperti asetaminofen ditambah dengan kodein, hidrokodon, atau oksikodon. Sebagai alternatif, opioid agonis-antagonis (butorfanol, 1-2 mg, atau nalbufin 5-10 mg) atau ketorolactrometamin 30 mg secara intravena.Untuk nyeri pascaoperatif yang sedang hingga berat di PACU, dapat diberikan opioid parenteral atau intraspinal, anestesia regional, atau blok saraf yang spesifik. Saat menggunakan opioid, sebaiknya dosis penggunaannya dititrasi dari dosis intravena yang terkecil. Meskipun terdapat banyak variasi pada masing-masing individu yang mendapat opioid, namun sebagian besar pasien yang mendapatkannya akan sensitif untuk satu jam pertama setelah anestesia umum. Analgesia yang adekuat juga harus diimbangi dengan dengan sedasi yang kuat. Opioid yang berdurasi intermediate hingga panjang, seperti meperidine 10-20 mg (0,25-0,5 mg/kgBB untuk anak-anak), hidromorfon 0.250.5 mg (0.0150.02 mg/kgBB pada anak-anak), atau morfin 24 mg (0.0250.05 mg/kgBB pada anak-anak), adalah yang paling sering digunakan. Efek puncak analgesia biasanya dicapai dalam waktu 4-5 menit. Depresi nafas maksimal, seperti pada penggunaan morfin atau hidromorfon, baru terlihat sekitar 20-30 menit setelah adminitrasi. Adminitstrasi opioid via intramuskuler telah jarang digunakan karena onset yang lama (10-20 menit) dan depresi pernafasan yang lambat (1 jam). Saat kateter epidural telah terpasang, adiministrasi fentanil 50-100gr, sufentanil 2030 gr, atau morfin 35 mg, dapat menyediakan analgesia yang sangat baik untuk orang dewasa; tetapi risiko depresi nafas yang muncul lambat mengharuskan pasien tersebut dimonitor secara ketat selama 12-24 jam pertama. Anestesia interkostal, interscalene, femoral, epidural, atau kaudal juga sering berguna untuk membantu apabila analgesia opioid tunggal tidak memuaskan.

2.3.4. AgitasiSebelum pasien sadar dan responsif penuh, nyeri sering termanifestasi dalam bentuk kegelisahan pascaoperatif. Gangguan sistemik serius (seperti hipoksemia, asidosis, atau hipotensi), distensi kandung kemih, atau komplikasi pembedahan (seperti perdarahan intrabdominal yang tersamar) harus selalu dipertimbangkan. Agitasi yang menghebohkan kadang perlu untuk dipasang pengekangan agar tidak melukai dirinya sendiri (biasanya pada anak-anak, tetapi bisa juga dengan memanggil orang tua/wali anak untuk membantu menenangkan anak tersebut). Beberapa faktor lain yang ikut menyebabkan agitasi adalah kecemasan dan ketakutan pasien preoperatif dan efek samping obat-obatan (mis. dosis besar agen antikolinergik sentral, fenotiasin, atau ketamin). Physostigmin, 12 mg intravena (0.05 mg/kgBB untuk pasien anak), sangat efektif untuk mengatasi delirium akibat atropine dan scopolamine. Apabila gangguan sistemik dan nyeri lainnya dapat dieksklusi, namun agitasi masih persisten, maka dapat diberi sedasi secara intravena intermiten seperti midazolam dengan dosis 0.51 mg (0.05 mg/kgBB pada pasien anak).

2.3.5. Mual dan Muntah Mual muntah pascaoperatif (Postoperative nausea and vomiting/PONV) adalah masalah yang sering terjadi pada pasien pasca anestesia, sekitar 20-30% dari semua pasien. Penyebab PONV biasanya multifaktorial, melibatkan 3 faktor, yaitu agen-agen anestesia yang dipakai, tipe/jenis prosedur anestesi, dan faktor pasien sendiri. Penting untuk disadari bahwa pasien sering terasa mual pada mula onset terjadinya hipotensi, khususnya mengikuti anestesia spinal atau epidural.Tabel 2 menjabarkan faktor-faktor risiko yang sering dijumpai untuk terjadinya PONV. Insidensi tertinggi PONV terjadi pada wanita; dan studi menyatakan bahwa kejadiannya meningkat ketika sedang mengalami menstruasi. Peningkatan tonus vagal yang termaifestasi sebagai bradikardia sering terjadi sebelum atau berbarengan dengan muntah. Anestesia dengan menggunakan propofol menurunkan angka kejadian PONV, begitu juga dengan pasien yang merokok secara aktif. 5-hydroxytryptamine (serotonin) reseptor 3 (5-HT3) antagonis selektif seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kgBB pada anak), granisetron 0.010.04 mg/kgBB, and dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kgBB pada anak) merupakan agen yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya PONV, juga mengatasinya. Selain itu, metoclopramide, 0.15 mg/kgBB secara intravena, juga bisa menjadi alternatif yang cukup baik, mesikpun kurang efektif dibandingkan dengan 5-HT3 antagonist. 5-HT3 antagonist tidak disertai dengan manifestasi ekstrapiramidal akut (distonia) dan reaksi disforik yang dapat dijumpai pada penggunaan metoclopramide atau dengan aniemetik fenotiasin. Dexamethasone, 410 mg (0.10 mg/kgBB pada anak), saat dikombinasi dengan antiemetik lainnya, bisa mengatasi mual muntah pascaoperatif yang refrakter. Selain itu, efeknya dapat bertahan hingga 24 jam, sehingga efektif digunakan sebagai obat mual muntah untuk pasien yang rawat jalan (one day care). Profilaksis non-farmakologis terhadap PONV yaitu, memastikan hidrasi pasien adekuat (20ml/kgBB) setelah berpuasa. Tabel 2.Faktor Risiko terjadinya Postoperative Nausea and Vomiting

2.3.6. Menggigil dan Hipotermia Pasien yang menggigil dalam PACU sering terjadi sebagai akibat dari hipotermia intraoperatif atau karena efek agen anestesia yang digunakan. Menggigil juga sering dijumpai pada masa postpartum awal. Penyebab terpenting hipotermia adalah redistribusi panas/kalor dari pusat inti tubuh kepada bagian periferal tubuh. Suhu ruangan operasi yang dingin, luka terbuka saat operasi yang terpapar suhu dingin dalam jangka waktu lama, dan penggunaan cairan intravena dalam jumlah besar yang biasanya tidak dihangatkan, serta penggunaan gas-gas anestesi yang tidak dilembabkan juga bisa menyebabkan terjadinya hipotermia pada pasien. Hampir semua agen anestesi, khususnya agen anestesi inhalasi / volatil, meurunkan respon normal tubuh untuk vasokonstriksi saat menghadapi hipotermia. Meskipun agen anestesi menurunkan ambang rangsang terjadinya menggigil, pasien biasanya menggigil ketika atau setelah pasien bangun/sadar pasca anestesia umum. Menggigil merupakan usaha tubuh manusia untuk meningkatkan produksi panas dna meningkatkan suhu tubuh. Insidensi hipotermia berhubungan dengan durasi pembedahan serta penggunaan agen volatil dalam konsentrasi yang tinggi. Pasien yang menggigil hebat akibat hipotermia dapat mengalami hipertermia dan asidosis metabolik yang signifikan, dimana keduanya akan menghilang apabila pasien berhenti menggigil. Baik spinal maupun epidural anestesia juga menurunkan ambang rangsang menggigil dan respon vasokonstriksi terhadap hipotermia. Penyebab lain daripada menggigil harus dieksklusikan, seperti sepsis, alergi obat, atau reaksi transfusi. Hipotermia sebaiknya diatasi dengan memberikan peralatan penghangat, seperti forced-air warming device, atau lampu penghangat, selimut yang tebal dan menghangatkan, untuk menaikan suhu tubuh pasien. Menggigil hebat dapat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen yang besar, produksi CO2, dan cardiac output. Efek-efek fisiologis ini sering tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan komorbid gangguan fungsi jantung dan paru. Hipotermia sering disertai dengan peningkatan insidensi iskemia miokardium, aritmia, peningkatan kebutuhan transfusi, dan durasi agen pelumpuh otot yang lebih lama. Pemberian meperidin dosis kecil, 1050mg, dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan menggigil pada pasien.

2.4. Kriteria Pelepasan Pasien dari PACU (Discharge Criteria)Setiap pasien yang hendak dilepas dari PACU harus dievaluasi kembali oleh dokter ahli anestesi. Kriteria untuk melepaskan pasien dari PACU bervariasi, tergantung keputusan yang dirapatkan oleh departemen anestesi rumah sakit tersebut. Kriteria tersebut dapat beragam menurut ruang tujuan pasien, apakah itu unit perawatan intensif, ruang rawat biasa, atau langsung pulang ke rumahnya. Sebelum dilepas, pasien harus diobservasi untuk tanda-tanda depresi nafas selama 20-30 menit setelah pemberian narkotik parenteral terakhir. Kriteria pelepasan pasien PACU lainnya, antara lain :1. Pasien sadar penuh, dengan orientasi adekuat2. Pasien mampun menjaga dan memproteksi jalan nafasnya3. Tanda-tanda vital stabil selam minimal 15-30 menit4. Pasien mampu untuk memanggil bantuan 5. Tidak mengalami komplikasi pembedahan (mis. perdarahan, dsb.) Mengontrol nyeri, mual muntah, dan suhu pasien pascaoperatif juga merupakan sasaran yang sebaiknya dicapai oleh setiap pasien sebelum keluar dari PACU. Sistem skoring kini banyak digunakan, terutama Postanesthetic Aldrete Recovery Score (Tabel 3.). Sebagian besar sistem skoring kini menilai SpO2 (atau warna), tingkat kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktifitas motorik pasien. Sebagian besar pasien memenuhi kriteria pelepasan dari PACU dalam 60 menit pertama selama di PACU. Tetapi, pasien yang akan ditransfer menuju unit perawatan intensif terkadang tidak perlu menunggu seluruh kriteria terpenuhi.

Tabel 3.Postanesthetic Aldrete Recovery Score

Sebagai tambahan, pasien pasca anestesia regional juga harus menunjukkan tanda-tanda resolusi dari blokade sistem sensorik maupun motorik. Kegagalan resolusi dalam 6 jam pasca adminitrasi anestesi spinal dapat disebabkan oleh hematoma medula spinalis atau epidural, dimana kelainan ini haruslah disingkirkan dengan pencitraan radiologis.

Tabel 4.Postanesthesia Discharge Scoring System (PADS)

2.5. Tatalaksana Komplikasi 2.5.1. Komplikasi Respiratorik Komplikasi respirasi adalah masalah seirus yang paling sering dijumpai dalam PACU. Sebagian besar kasus berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi dan hipoksemia. 2.5.1.1. Obstruksi Jalan Nafas Obstruksi jalan nafas pada pasien yang belum sadar paling sering disebabkan oleh jatuhnya lidah ke dinding posterior faring. Penyebab lainnya adalah spasme laring; edema pada glottis; pengumpulan sekret, muntahan pasien, atau darah di jalan nafas; atau tekanan eksternal pada trakea. Obstruksi jalan nafas parsial biasanya ditandai dengan bunyi nafas yang nyaring. Sedangkan obstruksi jalan nafas total ditandai dengan hilangnya aliran udara, dan gerakan paradoksal dinding toraks. Normalnya, abdomen dan toraks akan mengembang bersamaan selama inspirasi; akan tetapi, saat terjadi obstruksi jalan nafas, toraks akan mengempis selagi abdomen mengembang selama inspirasi (gerakan paradoksal dinding toraks). Untuk menarik lidah dari dinding posterior faring, dapat dilakukan jaw-thrust dan manuver head-tilt untuk membuka jalan nafas pasien. Insersi guedel atau nasal airway tube juga sering menyelesaikan masalah. Apabila manuver dan tatalaksana diatas gagal untuk melegakan jalan nafas, maka spasme laring harus dipertimbangkan. Spasme laring biasanya ditandai dengan suara nafas yang berkokok dan bernada tinggi, tetapi juga bisa tidak berbunyi sama sekali, dimana biasanya glottis menutup sempurna. Spasme laring biasa dijumpai bila terdapat trauma pada jalan nafas, instrumentasi berulang, atau stimulasi akibat sekret atau darah di jalan nafas. Manuver jaw-thrust, saat dikombinasi dengan pemberian ventilasi tekanan positif melaui sungkup muka, biasanya dapat mengatasi spasme laring. Insersi guedel atau nasal airway tube juga membantu dalam memastikan patensi jalan nafas. Sekret atau darah yang mengumpul di hipofaring sebaiknya di-suction untuk menghindari rekurensi. Spasme laring yang refrakter harus diatasi secara agresif dengan pemberian suksinilkolin dosis rendah (1020 mg) dan ventilasi tekanan positif yang sementara dengan oksigen 100% untuk mencegah hipoksemia atau edema paru bertekanan negatif. Intubasi endotrakeal kadang diperlukan untuk mengembalikan jalan nafas dan memediasi ventilasi yang adekuat; cricotirotomi atau transtracheal jet ventilation diindikasikan apabila pasien gagal untuk diintubasi. Edema glottis pasca instrumentasi adalah penyebab penting dari obstruksi jalan nafas pada anak-anak. Kortikosteroid intravena (dexamethasone, 0.5 mg/kgBB) atau epinefrin aerosol (0.5 mL dari larutan 2.25% dengan 3 mL NaCl fisiologis) dapat berguna pada kasus-kasus serupa.

2.5.1.2. HipoventilasiHipoventilasi, yang secara umum didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, sering terjadi pasca anestesia umum. Hipoventilasi yang signifikan biasanya tampak secara klinis apabila PaCO2-nya > 60 mmHg atau pH darah arterial < 7,25. Gejala klinis yang bisa dijumpai adalah somnolen yang eksesig dan lama, obstruksi jalan nafas, laju pernafasan lambat, takipnea dengan pernafasan dangkal, atau usaha nafas berat. Asidosis respiratorik yang ringan-sedang menyebabkan takikardia dan hipertensi atau iritabilitas jantung (via stimulasi simpatis), tetapi asidosis yang berat mengakibatkan depresi sirkulasi. Apabila hipoventilasi siginifikan dicurigai, pengukuran / analsis gas darah arterial harus dilakukan untuk menilai derajat keparahannya dan menuntun tatalaksana lanjutnya. Hipoventilasi dalam PACU seringkali disebabkan oleh residual dari efek depresi nafas dari agen-agen anestesi. Pasien yang mengalami depresi nafas karena opioid biasanya memiliki laju pernafasan yang lambat, dengan volume alun yang besar. Peningkatan produksi CO2 akibat menggigil, hipertermia, atau sepsis dapat meningkatkan PaCO2 walau terjadi pada pasien yang normal sekalipun.Tatalaksana untuk hipoventilasi idealnya mengatasi penyebab dasarnya, akan tetapi hipoventilasi yang signifikan selalu memerlukan ventilasi terkontrol sampai faktor-faktor penyebab dapat ditemukan dan disingkirkan. Kesadaran pasien yang tumpul, depresi sirkulasi, dan asidosis berat (pH darah arteri < 7.15) merupakan indikasi untuk dilakukannya intubasi endotrakeal. Pemberian nalokson untuk mengatasi depresi nafas akibat opioid bisa memiliki dua efek yang bertentangan; peningkatan cepat dari ventilasi alveolar juga biasanya disertai dengan nyeri tiba-tiba dan pengaktifan sistem saraf simpatis, hal tersebut dapat mempresipitasi krisis hipertensi, edema paru, dan iskemi atau infark miokardium. Apabila nalokson dipilih untuk meningkatkan respirasi, titrasi dosis (0,04 mg untuk orang dewasa) dapat menghindari komplikasi yang sudah disebutkan diatas. 2.5.1.3. HipoksemiaHipoksemia ringan hingga sedang (PaO2 5060 mmHg) pada pasien yang muda dan sehat biasanya mudah ditoleransi oleh tubuh, akan tetapi dengan durasi dan derajat keparahan stimulasi simpatis yang meningkat, asidosis progresif dan depresi sirkulasi dapat terjadi. Secara klinis, hipoksemia dapat digambarkan dengan kegelisahan, takikardia, atau iritabilitas jantung (ventrikuler atau atrial). Kesadaran pasien yang berkabut, bradikardia, hipotensi, dan cardiac arrest merupakan tanda-tanda lanjut / akhir. Penggunaan rutin daripada pulsasi oksimetri di PACU dapat mendeteksi hipoksemia secara dini. Analisis gas darah sebaiknya dilakukan juga untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menuntun terapi. Hipoksemia yang terjadi di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan shunting intrapulmoner dari kanan-ke-kiri, atau keduanya. Penurunan cardiac output atau peningkatan konsumsi oksigen (seperti pada menggigil) juga dapat mendukung terjadinya hipoksemia. Peningkatan shunting intrapulmoner oleh karena penurunan kapasitas residu fungsional (functional residual capacity/FRC) merupakan penyebab tersering hipoksemia pada pasien pasca anestesia umum. Pengurangan terbesar pada FRC terjadi pada pembedahan abdominal dan torakal. Hilangnya volume paru umumnya disebabkan oleh microateletaksis. Posisi setengah tegak dapat membantu mempertahankan FRC. Shunting intrapulmoner dari kanan-ke-kiri yang bermakna (S/T > 15%) biasanya disertai dengan kelainan di gambaran radiologisnya, seperti ateletaksis pulmoner, infiltrat parenkimal, atau pneumotoraks yang besar. Penyebabnya dapat beragam, yaitu karena hipoventilasi intraoperatif berkepanjangan dengan volume alun yang rendah, intubasi endobronkial yang tidak disengaja, kolaps lobus paru karena obstruksi bronkial oleh sekret, darah, aspirasi pulmoner, atau edema pulmoner. Edema pulmoner pascaoperatif sering termanifestasi sebagai wheezing dalam 60 menit pertama setelah pembedahan, disertai crackles, edema jalan nafas yang terisi cairan, dan infiltrat pada gambaran radiologis; hal ini dapat diakibatkan oleh gagalnya ventrikuler kiri (kardiogenik), sindrom distress pernafasan akut (acute respiratory distress syndrome/ARDS), atau kelegaan mendadak dari obstruksi jalan nafas yang berkepanjangan. Kemungkinan terjadinya pneumotoraks harus selalu dipertimbangkan pasca pemasangan kateter vena sentral, blok intercostal, fraktur iga, diseksi daerah leher bawah, trakeostomi, nefrektomi, atau prosedur retroperitoneal dan intrabdominal (termasuk laparoskopi), terutama bila memanipulasi diafragma pasien. Tatalaksana dengan oksigen (dengan atau tanpa ventilasi tekanan positif) merupakan inti dari tatalaksana hipoksemia. Administrasi rutin oksigen 3060% biasanya sudah cukup untuk mencegah hipoksemia, meskipun pasien juga mengalami hipoventilasi sedang dan hiperkapnia. Pasien yang komorbid dengan ganggian pulmoner atau kardio harus diberi oksigen dengan konsentrasi yang ditingkatkan; terapi oksigen harus dituntun dengan pemeriksaan analisis gas darah dan monitoring SpO2. Pasien dengan hipoksemia berat harus diberikan oksigen 100% melalui sungkup muka yang non-rebreathing atau dengan pipa endotrakeal sampai penyebabnya dapat ditegakkan dan terapi dijalankan; terkadang ventilasi mekanik yang membantu atau mengontrol pernafasan pasien dapat digunakan. Terapi tambahan seharusnya diarahkan sesuai dengan penyebabnya. Spasme bronkus harus diatasi dengan bronkodilator inhalasi dan aminofilin intravena. Diuretik sebaiknya diberi pada pasien dengan tanda-tanda overload cairan. Hipoksemia persisten (meskipun sudah diberi oksigen 50%) biasanya merupakan indikasi untuk diberi ventilasi tekanan postif (positive end-expiratory pressure/PEEP) atau CPAP. Bronchoskopi sering berguna untuk mengembangkan ateletaksis lobus yang disebabkan oleh obstruksi benda asing, sekret lengket, dsb.

2.5.2. Komplikasi Sirkulasi Komplikasi sirkulasi yang paling umum dijumpai dalam PACU adalah hipotensi, hipertensi, dan aritmia. Namun, kemungkinan bahwa kelainan sirkulasi tersebut terjadi secara sekunder oleh karena penyakit dasarnya juga harus selalu dipertimbangkan pada setiap kasus.

2.5.2.1. HipotensiHipotensi biasanya terjadi karena penurunan venous return ke jantung, disfungsi ventrikel kiri, atau lebih jarangnya, vasodilatasi arterial yang eksesif. Hingga saat ini, hipovolemia merupakan pernyebab paling sering hipotensi pada PACU. Hipovolemia absolut dapat diakibatkan oleh penggantian cairan intraoperatif yang tidak adekuat, masuknya cairan ke ruang interstisial, atau perdarahan pascaoperatif. Hipovolemia relatif bertanggungjawab untuk hipotensi terkait anestesia spinal atau epidural, venodilator, dan blokade adrenergik; dimana peningkatan kapasitas vena akan menurunkan venous return meskipun volume intravaskuler sebelumnya normal. Hipotensi terkait dengan sepsis dan reaksi alergi biasanya diakibatkan oleh hipovolemia dan vasodilatasi. Sedangkan hipotensi pasca tension pneumothorax atau cardiac tamponade adalah akibat dari kelainan pengisian jantung. Untuk hipotensi ringan yang biasanya diakibatkan oleh efek residual agen anestesi, tidak memerlukan tatalaksana. Hipotensi signifikan didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah 20-30% dibawah garis dasar pasien, dan menandakan perubahan yang serius dan perlu ditindaklanjuti. Tatalaksana bergantung pada kemampuan untuk menilai volume intravaskuler. Peningkatan tekanan darah setelah pemberian bolus cairan (250500 mL kristaloid atau 100250 mL koloid) umunya menkonfirmasi hipovolemia. Pada hipotensi berat, vasopressor atau inotropik positif (dopamin atau epinefrin) dapat diperlukan untuk meningkatkan tekanan darah arterial sampai defisit volume intravaskuler terkoreksi. Tanda-tanda disfungsi jantung harus selalu dicari pada pasien yang lanjut usia dan pasien yang sebelumnya memang terdapat kelainan jantung.

2.5.2.2. HipertensiHipertensi pascaoperatif umum dijumpai dalam PACU dan biasanya terjadi dalam 30 menit pertama pasien di PACU. Stimulasi dari nyeri sayatan, intubasi endotrakeal, atau distensi kandung kemih biasanya bertanggung jawab untuk peningkatan tekanan darah pasien. Pasien dengan riwayat hipertensi sistemik sebelumnya lebih sering mengalami hipertensi dalam PACU. Overload cairan atau hipertensi intrakranial juga dapat muncul sebagai hipertensi pascaoperatif.Pada hipertensi yang ringan, terapi jarang dibutuhkan, meskipun penyebab reversibelnya tetap harus diidentifikasi. Hipertensi yang bermakna dapat mempresipitasi perdarahan pascaoperatif, iskemia miokardial, gagal jantung, atau perdarahan intrakranial. Umumnya, pasien dengan hipertensi yang signifikan (peningkatan tekanan darah 20-30% diatas garis dasar pasien) harus selalu diobati. Peningkatan ringan sedang dapat diatasi dengan pemberian adrenergik blocker secara intravena, yaitu labetalol, esmolol, atau propranolol; calcium channel blocker seperti nicardipine; atau pasta nitroglycerin. Nifedipine sublingual dan hydralazine juga efektif namun menyebabkan refleks takikardia dan pernah disertai dengan infark dan iskemia miokardium. Hipertensi yang signifikasn pada pasien yang memiliki kelainan jantung perlu dipasang monitoring tekanan darah intraarterial dan sebaiknya ditatalaksana dengan nitroprusside, nitrogliserin, nicardipin, atau fenoldopam secara intravena. Sasaran terakhir daripada terapi adalah pencapaian tekanan darah normal pasien.

2.5.2.3. AritmiaHipokesmia, hiperkarbia, asidosis, efek residual dari agen anestesia, peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, gangguan metabolik, dan kelainan jantung paru sebelumnya, dapat mempredisposisikan pasien untuk mengalami aritmia selama di PACU. Bradikardia sering menggambarkan efek residual dari inhibitor kolinesterase (neostigmine), opioid sintetik yang poten (sufentanil), atau - blocker adrenergik (propranolol). Takikardia dapat menggambarkan efek dari agen antikolinergik (atropine), obat vagolitik (pancuronium or meperidine), -agonis (albuterol), reflex tachycardia (hidralazin), sebagai tambahan daripada penyebab lainnya yang juga tidak kalah banyak, yaitu nyeri, demam, hipovolemia, dan anemia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan EJr., Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. 2006. USA: McGraw-Hill. 2. Miller RD, et al. Millers Anesthesia, 7th Edition. 2009. USA: Elsevier.3. Barash PG, et al. Clinical Anesthesia, 5th Edition. 2006. USA: Lippincott Williams and Wilkins.