refarat anatomi (2)
TRANSCRIPT
ABSES GINJAL
1. Definisi
Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam suatu rongga yang
terbentuk akibat kerusakan jaringan (Nuswantari, 1998).
Abses ginjal adalah abses yang terdapat pada parenkim ginjal. Abses
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu abses korteks ginjal dan abses
kortiko-medular (Purnomo, 2011).
Abses ginjal terjadi akibat infeksi berat yang mengarah pada adanya
abses pada ginjal. Abses ini bisa pecah keluar memasuki ruang
perinephric, sehingga akan membentuk abses perinephric. Ketika abses
telah memasuki fasia Gerota, maka akan terjadi abses paranephric
(Tanagho et al, 2008).
2. Epidemiologi
Infeksi saluran kemih termasuk abses ginjal dapat menyerang pasien dari
segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya
wanita lebih sering mengalami ISK dari pada pria, hal ini karena uretra
wanita lebih pendek dari pada pria. Namun, pada masa neonatus, ISK
lebih banyak terdapat pada bayi laki-laki (2,7%) yang tidak menjalani
sirkumsisi dari pada bayi perempuan (0,7%). Dengan bertambahnya usia
insiden ISK terbalik, yaitu pada masa sekolah, ISK pada anak perempuan
3% sedangkan anak laki-laki 1,1%. Insiden ISK ini pada usia remaja
anak perempuan meningkat 3,3 sampai 5,8%. Bakteriuria asimptomatik
pada wanita usia 18-40 tahun adalah 5-6% dan angka itu meningkat
menjadi 20% pada wanita usia lanjut (Purnomo, 2011).
3. Etiologi
Abses korteks ginjal atau disebut karbunkel ginjal umumnya disebabkan
oleh penyebaran infeksi kuman Stafilokokus aureus yang menjalar secara
hematogen dari fokus infeksi di luar sistem saluran kemih (antara lain
dari kulit) (Purnomo, 2011).
Abses kortiko-medular disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif
dalam hubungannya dengan beberapa kelainan saluran kemih lain yang
mendasari, seperti batu atau obstruksi (Tanagho et al, 2008).
Abses kortiko-medular merupakan penjalaran secara asending dari
bakteri gram negatif (Purnomo, 2011).
Faktor resiko tinggi terjadinya abses adalah:
Pasien yang menderita diabetes, pasien yang menjalani hemodialisis, atau
penyalahgunaan obat intravena (Tanagho et al, 2008).
Pasien dengan penyakit batu ginjal, obstruksi saluran kemih,
imunosupresi, retensi urin kronis, dan intervensi urologi (Mehrotra et al,
2011).
Pemakaian kateterisasi, penyakit nefropati analgesik, nekrosis papilar, dan
penyakit ginjal polikistik merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi
saluran kemih (Sudoyo et al, 2007).
4. Patogenesis
Sebagian besar mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui cara
asending. Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang
berasal dari flora normal usus dan hidup di dalam introitus vagina,
preputium penis, dan di sekitar anus. Mikroorganisme memasuki saluran
kemih melalui uretra prostat vas deferens testis (pada pria)
buli-buli ureter dan sampai ke ginjal (Purnomo, 2011).
Mukosa kandung kemih dilapisi oleh suatu glycoprotein mucin layer
yang berfungsi sebagai antibakteri. Robeknya lapisan musin ini akan
menyebabkan bakteri dapat melekat dan membentuk koloni dipermukaan
mukosa, kemudian masuk menembus epitel dan mulai mengadakan
peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai
ke ginjal, melalui suatu lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila
ada refluks vesiko ureter (Alatas et al, 2010).
Infeksi akut/kronik pada vesika urinaria akibat infeksi yang berulang
akan mengakibatkan perubahan pada dinding vesika dan dapat
mengakibatkan inkompetensi dari katup vesiko ureter. Akibat rusaknya
katup ini, urin dapat naik kembali ke ureter terutama pada waktu
berkemih (waktu kontraksi kandung kemih), hal ini disebut refluks.
Akibat refluks ini ureter dapat melebar dan urin sampai ke ginjal
sehingga mengakibatkan kerusakan pada pielium (pielonefritis) dan
parenkim ginjal. Bakteri yang sudah berkembang biak dan menginfeksi
parenkim ginjal (dapat menyebabkan terjadinya abses ginjal) akan
mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal (Alatas et al, 2010).
5. Manifestasi klinis
Nyeri pinggang
Demam
Menggigil
Anoreksia
Malas
Lemah (Purnomo, 2011).
6. Pemeriksaan fisik dan lab
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital, adanya peningkatan suhu tubuh (Purnomo,
2011).
Pada saat palpasi, teraba adanya massa di pinggang (pada abses peri
atau pararenal) (Sjamsuhidajat et al, 2004).
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya piuria dan hematuria,
kultur urin menunjukkan kuman penyebab infeksi.
Pada pemeriksaan darah terdapat leukositosis dan laju endap darah
yang meningkat (Purnomo, 2011).
Nilai normal dari leukosit adalah:
Dewasa : 4.500-10.000 µl
Neonatus : 9.000-30.000 µl
Usia 2 tahun : 6.000-17.000 µl
Usia 10 tahun : 4.500-13.500 µl (Kee, 2007).
Nilai normal dari laju endap darah adalah:
Pria : 0-9 mm/jam
Wanita : 0-15 mm/jam
Neonatus : 0-2 mm/jam
Umur 4-14 tahun : 0-10 mm/jam (Kee, 2007).
Pemeriksaan foto polos abdomen kemungkinan didapatkan
kekaburan pada daerah pinggang, bayangan psoas menjadi kabur,
terdapat bayangan gas pada jaringan lunak, skoliosis, atau bayangan
opak dari suatu batu di saluran kemih. Pemeriksaan USG
menunjukkan adanya cairan abses. Pemeriksaan CT scan dapat
menunjukkan adanya cairan nanah di dalam intrarenal, perirenal,
maupun pararenal (Purnomo, 2011).
7. Manajemen dan prognosis
Manajemen
Pada prinsipnya jika di jumpai suatu abses harus dilakukan drainase,
sedangkan sumber infeksi diberantas dengan pemberian antibiotika
yang adekuat. Drainase abses dapat dilakukan melalui operasi
terbuka. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk mencari
penyebab terjadinya abses guna menghilangkan sumbernya
(Purnomo, 2011).
Prognosis
Prognosis biasanya baik, jika segera diobati dengan adekuat setelah
diagnosis ditegakkan (Behrman et al, 2000).
Bila sumber infeksi terletak di dalam ginjal, biasanya ginjal tidak
dapat diselamatkan lagi sehingga harus dilakukan nefrektomi
(Sjamsuhidajat et al, 2004).
8. Komplikasi
Pada infeksi kronis dapat terjadi gagal ginjal dan hipertensi.
Jika bakteri menginfeksi secara hematogen dapat mengakibatkan
terjadinya sepsis (Mansjoer et al, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, PP., Pardede, SO., 2010, Buku Ajar Nefrologi
Anak Edisi 2, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Behrman, RE., Kliegman, RM., Arvin, AM., 2000, Nelson: Ilmu Kesehatan Anak
Vol. 3 Edisi 15, EGC, Jakarta.
Kee, JL., 2007, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi 6, EGC,
Jakarta.
Mansjoer, A., Wardhani, WI., Setiowulan, W., 2009, Kapita Selekta Kedokteran
Edisi Ketiga Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
Mehrotra, A., Khanna, P., Kumar, S., Abraham, G., 2011, Renal Abscess After
The Fontan Procedure: A Case Report, Journal of Medical Case Reports 2011,
vol. 5, no. 50, pp. 1-5, viewed on 29 April 2012, from <http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pmc/articles/PMC3048475/pdf/1752-1947-5-50.pdf?tool=pmcentrez>.
Nuswantari, D (ed)., 1998, Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25, EGC,
Jakarta.
Purnomo, BP., 2000, Dasar – Dasar Urologi Edisi Ketiga, Sagung Seto, Jakarta.
Sjamsuhidajat, R., de Jong W., 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, EGC,
Jakarta.
Sudoyo, AW., Setiyohadi, B., Alwi, I., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta.
Tanagho, EA., McAninch, JW., 2008, Smith’s: General Urology 17th Edition, Mc
Graw Hill, New York.