racun bagi muda-mudi -...

75
RACUN BAGI MUDA-MUDI (terjemahan dari novel Baruang ka nu Ngarora karangan D.K. Ardiwinata) Karya: A.Y. HUDAYAT Bandung 2009 NOVEL TERJEMAHAN

Upload: phamthu

Post on 11-Mar-2019

317 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

RACUN BAGI MUDA-MUDI (terjemahan dari novel Baruang ka nu Ngarora karangan D.K. Ardiwinata)

Karya:

A.Y. HUDAYAT

Bandung

2009

NOVEL TERJEMAHAN

Page 2: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

PENGANTAR

Novel Baruang ka nu Ngarora karya D.K. Ardiwinata merupakan karya

monumental dalam khazanah kesusastraan Sunda. Novel tersebut diterbitkan

pertama kalinya pada tahun 1914 oleh Balai Pustaka. Karya ini telah dicetak

ulang dan diterbitkan kembali oleh beberapa penerbit. Namun demikian,

sepengatahuan penyusun, sampai saat ini karya ini belum diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia.

Dengan maksud utama memperkenalkan karya monumental dalam

bentuk novel pertama berbahasa Sunda ke khalayak luas, terutama khalayak

akademik, novel Baruang ka nu Ngarora tersebut penyusun terjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia. Novel terjemahan yang dimaksud diberi judul Racun

bagi Muda-Mudi.

Baik Baruang ka nu Ngarora maupun Racun bagi Muda-Mudi merupakan

objek-objek material yang dapat digunakan para mahasiswa program Studi

Sastra Daerah (Sunda) di lingkungan Fakultas sastra yang sedang menempuh

mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif), Metode

Penelitian Sastra, dan mata kuliah lainnya yang relevan dengan kajian-kajian

budaya. Kehidupan masyarakat Sunda akhir abad ke-18 yang

direpresentasikan di dalam karya ini tentu menjadi bagian penting untuk

banyak telaah dari disiplin ilmu-ilmu humaniora, terutama menyangkut

diskurus sosial yang tidak akan pernah usang menyentuh ranah-ranah

problematika kelas sosialnya.

Semoga karya terjemahan yang penulis susun ini dapat menjadi

bagian yang mampu menumbuhkan minat banyak orang untuk kembali

“mengakrabi” khazanah Sastra Sunda.

Bandung, September 2009

Penyusun,

A.Y. Hudayat

Page 3: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

DESKRIPSI SUMBER NOVEL YANG DITERJEMAHKAN

Judul Novel berbahasa Sunda : Baruang ka nu Ngarora

Karangan : D.K. Ardiwinata

Penerbit : Balai Pustaka

Tahun Terbit : 1950

Cetakan : ketiga

Page 4: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

TERJEMAHAN Judul Novel : Racun bagi Muda-Mudi

Karangan : A.Y. Hudayat

Tahun Penyusunan : 2009

Page 5: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

1

RACUN BAGI MUDA-MUDI I

Malam Senin tanggal 14 bulan hapit 1291, di rumah Tuan Haji Abdul Raup, di Kampung Pasar, tampak begitu hangat suasananya. Tidak seperti biasanya. Sepertinya ada hal yang khusus. Tingkeban dibuka, lampu semuanya dinyalakan, tampak begitu gemerlap cahayanya. Ruang utama rumah dilapisi alketif. Di dapur orang-orang hilir mudik, sepertinya sedang mengurus makanan. Orang yang melewati rumah tersebut banyak yang berhenti, sambil berbicara di dalam hatinya: “Ada apa di rumah Tuan Haji; mengapa ramai?” Malam itu bulan begitu terang, apalagi tanggal 14; tampak seperti siang hari saja. Langit tampak bersih, bertabur bintang-bintang. Tentu akan membuat senang hati bagi yang sedang kasmaran. Di jalan hilir mudik orang-orang yang sedang jalan-jalan menikmati suasana malam; laki-laki dan perempuan; jalan-jalan menyenangkan hati. Sebagian ada yang naik bendi atau dokar yang dibuka kap atapnya. Terdengar suara cambuk, bunyi lonceng kudanya, serta bunyi terompetnya, meminta jalan kalau-kalau ada yang tertubruk atau beradu dengan dokal lainnya. Yang mempertunjukan kesenian pun tampak ramai, seperti: tarawangsa, celempungan, dan badut. Sekitar kira-kita pukul delapan, datanglah rombongan yang beriringan; yang tampak paling depan ada yang membawa lampu, diikuti oleh Ibu Haji Basinah yang memakai kerudung syal. Ia orang tua yang sudah termashur yang biasa dipercaya untuk melamar karena keterampilan berbicara yang mantap, dan rapi dalam bertutur. Di belakang Ibu Haji beriringan wanita yang tampak berdandan perlente, seperti akan berlomba kecantikan. Terdengar bunyi tok-tak selopnya, dan bunyi kainnya, dan menyebar harum minyak wanginya. Sebagian ada yang membawa baki yang ditutupi renda dan kainnya. Di belakang perempuan tersebut beriringan lelaki kurang lebih sepuluh orang. Rombongan tersebut masuk ke rumah Tuan Haji Abdul Raup. Tuan rumah, suami-istri menyambut menuju pintu. Kemudian para tamu diterima masuk. Berjajar rapi kelompok perempaun dan kelompok laki-laki. Baki-baki digeserkan ke depan, ke hadapan tuan Haji dan Nyi Haji. Saat itu datanglah para perempuan dari dalam, menyerahkan wadah kinangan dan tempat meludahnya kepada para tamu perempuan dan wadah rokok kepada para tamu laki-laki. Setelah beristirahat sejenak, dan mereda keringatnya, berkatalah Ibu Haji basinah, “Tuan Haji, maksud saya datang kemari, diutus oleh sang kakak, Tuan Haji Samsudin untuk menyerahkan barang-barang tanda kasih dan hormat, tanda rasa turut senang akan maksud mempertemukan putra kami Ujang Kusen kepada putrimu, Nyi Rapiah. Ini yang satu baki Rp 250,- untuk mas kawin, kalau yang satu baki lagi Rp 150,- untuk membantu hajat. Selain itu, yang empat baki lagi adalah pakaian untuk Nyai Rapiah dan ada juga emas dan intan sebesar biji padi, sekedar syarat, cukup lumayanlah.” Haji Abdul Raup menjawab: “Wah, itu bukan lumayan lagi! Maksud saya semula, jangan berlebihan seperti itu karena buka dengan yang lain. Kita

Page 6: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

2

karena Allah saja. Bukankah kata orang tua, jangan mengadu kekayaan. Ternyata Kang Haji mengajak sebenarnya.” Kata Haji Basinah: “Ih, bukan begitu. Itu hanya karena kami sangat merestui sekali, menandakan senangnya hati kami.” Kata Nyi Haji Abdul Raup: “Terima kasih, Aceuk. Terima kasih, Kang Haji, ada rasa saya untuk anak kami. Semoga saja semuanya mulus. Semua orang tua senang melihatnya, senang pula mendengarnya.” Haji Basinah menjawab: “Benar, Nyai Haji. Aceuk mendoakan semoga rukun, sejahtera, panjang cerita, dijauhkan dari musibah dan didekatkan rejekinya, banyak anak. Kapan waktunya yang sesuai dengan keinginan?” Haji Abdul Raup menjawab, “kesepakatan kita tanggal 17 bulan depan. Satu alasan karena saya belum sedia, dan alasan keduanya adalah itu bulan yang cocok, sudah ditanyakan kepada Kyai Bojong!” Haji Basinah berkata, “Benar, memang baiknya di bulan itu. Mari kita sampaikan saja kepada kakakmu. Perkiraan saya, tidak akan sampai tidak cocok.” Setelah itu, datanglah beberapa orang membawa barang bawaannya masing-masing, sebagian membaca teko dan cangkir. Pelayan tampak gesit, tak tampak kekakuannya. Jamuan ringannya tampak warna-warni serta spesial karena sengaja disediakan untuk itu.” Kata tuan rumah, “Silahkah!” Saat itu tampak para perempuan serempak. Para perempuan saling bersaing duduk cantik. Yang muda-muda mencicipi sambil menunjukkan perasaan ingin dianggap cantik, saling bersaing untuk mencicipi sesedikit mungkin, takut ada yang memperhatikan. Setelah selesai, para tamu berpamitan pulang. Mereka keluar rumah dan pribumi mengantar sampai ke golodog. Begitu tiba di rumah Haji Samsudin, Nyi Haji Basinah bercerita sebagaimana yang dialaminya dan sesuai dengan apa yang Haji Abdul Raup telah sampaikan. Tuan Haji Samsudin tampak begitu bergembira serta bersepakat mengadakan kenduri tanggal 17 Rayagung.

Page 7: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

3

II “Punten!” “Rampes! Siapa ya? Wah, Nyi Dampi! Ada dagangan apa yang aneh-aneh?” “Macam-macam, juragan. Ada kain Solo, Jogja, pekalongan yang bagus. Ada pula buatan Tasikmalaya dan Garut; bermacam-macam modelnya; kemben pun rupa-rupa. “Masuk saja ke rumah. Temui Si Nyai. Mudah-mudahan ada yang disukainya.” Kemudian Nyi Dampi masuk dari pintu dapur sambil menggendong barang dagangannya, diikuti oleh seorang anak yang sama-sama membawa buntelan barang. Mereka masuk ke pelataran tengah, kemudian masuk ke kamar Nyi Rapiah. Sudah beberapa lamanya Nyi Rapiah dilarang ke dapur sekalipun. Ia dipingit di kamar karena akan dinikahkan. Sejak semula, sejak tumbuh remaja, keluar rumah ia tidak diperbolehkan. Begitulah adat kebiasaannya. Begitu Nyi Dampi melihat Nyi Rapiah, ia sampai bengong karena Nyi Rapiah tampak sangat cantik, cahayanya keluar apalagi ia sudah lama tidak bertemu. Dulu ia belum bisa mempercantik diri. Nyi Dampi berkata dalam hatinya: “Pantas saja Aom Usman begitu tergoda ingin kepada Nyi Rapiah yang begitu cantik ini.” Kata Nyi Rapiah, “Duduklah, Embi! Membawa apa?” Nyi Dampi menjawab, “Macam-macam, Lis. Ada kain, ada juga kemben.” “Coba saya lihat. Saya suka samping kebat ini. Berapa harganya?” “Itu tidak kurang lagi, Rp 25,- membelinya pun Rp 22,50,-“ “Wah, koq mahal sekali? Bisa Rp 15,-?” “tidak bisa, Lis. Harga belinya pun masih jauh. Dan ini Embi membawa cincin markis, tampak begitu cantik. Cocok untuk dipakai oleh Eulis. Cobalah pakai di jari manis.” Nyai Rapiah pun mencobanya. Nyi Dampi berkata, “Wah tampak manis, cocok sekali, menyatu. Cincin cantik bertepatan dengan jemari yang manis lentik. Cobalah lihat berliannya yang begitu berkilau, cahayanya warna-warni. Mirah delima yang ditengahnya begitu cantik, cantik seperti terasa manis. Kulit kuning langsat semakin tambah bercahaya oleh batang emas. Nyi Rapiah berkata, “Wah, Embi bisa benar menyerasikannya. Berapa ini harganya?” “Kalau harganya Rp 25,-. Meskipun berliannya kecil-kecil, tapi bagus, tak ada yang retak; mirah delima pun jenis yang bagusnya.” “Ah, terlalu mahal, Embi. Tak punya uangnya. Apalagi, meskipun jelek, kalau hanya cincin saya pun punya. Tapi kain itu, saya beli satu jika boleh Rp 20,-“

Page 8: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

4

“Boleh saja, Lis, saya murahkan. Ya anggap saja memberi sebagian. Kepada yang lain tentu tidak akan diberikan. Kalau cincin itu, jika mau, silahkan saja, jangan dibeli.” “Jangan dibeli bagaimana?” Ngasih?” “Iya, diberikan.” “Ah, Embi ini suka becanda seperti kepada anak kecil saja.” “Ih, bukan begitu. Sebenarnya Embi ini selain akan dagang, sambil melaksanakan perintah Aom Usman kepada Nyai. Katanya ingin berkenalan. Jika Nyai mau berkenalan dengan dia, silahkan cincin itu dipersembahkan untuk Nyai. Sesungguhnya itu adalah kepunyaannya, bukan barang dagangan.” Nyi Rapiah sesaat termenung dan diam tak menjawab. Setelah itu ia pun berkata, “Siapa, Embi Aom Usman itu?” “Ah, Nyai suka berpura-pura. Masa tidak tahu, dia itu putra juragan Demang.” “Ah, saya berani buta. Benar, saya belum berjumpa. Kalau namanya ya saya suka mendengar.” “Kalau dia tahu kepada Nyai.” “Pantas saja karena laki-laki suka keluyuran.” Setelah itu Nyi Dampi merogoh potret Aom Usman dari saku BH-nya. Ia menyerahkan kepada Nyi Rapiah sambil melirik-lirik ke arah belakang, kalau-kalau ada yang memperhatikan. Nyi Rapiah menerimanya sambil tersenyum. Ia mengamatinya sambil kepalanya bergerak-gerak mengikuti gerakan arah potert yang sengaja diubah-ubah. Ia berkata di dalam hatinya, “Emh, apalagi aslinya, potretnya pun begitu tampannya. Cocok menjadi putra menak. Ya inilah lelaki yang membuat perempuan tergila-gila.” Pikiran Nyi Rapiah mulai goyah tergoda oleh yang tampan. Kalaulah tidak takut oleh orang tuanya serta sudah nekat, tentulah ia akan nekat. Kata Nyi Dampi, “Bagaimana, Lis, cocok?” Nyi Dampi tersenyum sambil memberikan potret kepada Nyi Dampi. “Kira-kiranya bagaimana, Lis?” “Emh, Embi bukan bandingan saya.” Nyi Dampi tersenyum sambil menutupi mulutnya serta berkata, “Wah, Eulis, harus bagaimana? Menurut Embi sudah pasangan yang cocok sekali; yang cantik dengan yang tampan.” “Ih, bukan itu, Embi. Tapi Embi juga lebih tahu. Bukankah saya akan bersuami. Bagaimana jadinya para orang tua jika saya berbuat hal yang tidak pantas. Salahnya, mengapa tidak sejak dulu. Abah pun tentu akan mengijinkan, kalau menang benar-benar ada maksud. Tapi yang namanya menak kepada kaum jelata suka meremehkan dan menghina. Sekarang lanjutkan saja. Semoga di akhirat bisa bertemu sukma dengan sukma. Adapun cincin ini, bukan tak berterima kasih, tetapi saya merasa risi, takut diketahui orang tua. Lebih baik kembalikan saja.” Sementara itu, datanglah Nyi Haji Abdul raup ke kamar. Nyi Dampi simbuk menyembunyikan potret. Ia takut kepergok oleh Nyi Haji. Kata Nyi Haji, “Apa yang akan dibeli, Nyai?” Kata Nyi Dampi, “Ini ingin kain seharga Rp 20,-“

Page 9: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

5

“Silahkan, beli saja.” Kain diambil Nyi Rapiah dan dibayar kontan oleh Nyi Haji. Nyi Dampi cepat-cepat berpamitan pulang dan tampak gembira karena menerima hasil berjualan kain yang labanya besar.

Page 10: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

6

III Pada suatu hari, kira-kira pukul lima sore, Aom Usman duduk di teras belakang pada sebuah kursi malas ditemani beberapa orang temannya yang masih muda. Sebagian adalah saudara dekatnya yang dijadikan teman untuk ikut serta dalam segala kegemarannya. Aom Usman itu adalah putra seorang menak besar serta kaya. Sekarang masih membujang tapi sudah menempati rumah sendiri. Aom Usman yang putra menak besar itu sekarang sedang tergila-gila oleh Nyi Rapiah, anak haji Abdul Raup orang pasar. Sementara itu datanglah Nyi Dampi tukang jualan barang yang disuruh menemui Nyi Rapiah. Aom Usman tampak terperanjak. Jantungnya berdetak kencang saat Nyi Dampi datang. Ia ingin segera bertanya. Setelah Nyi Dampi duduk, ia pun bertanya, “Bagaimana, Dampi?’ “Iya. Saya berserah diri, perkara perintah itu, tidak berhasil. Dia tidak mau karena sekarang akan bersuamikan Ujang Kusen, anaknya Haji Samsudin pasar. Malahan cincin ini terbawa lagi.” Sesaat Aom Usman tercenung tak berkata karena kecewa, keinginannya tidak terlaksana. Setelah lama dan Nyi Dampi telah pergi, ia berkata kepada teman-temannya, “Cobalah, sekarang apa yang harus diperbuat. Ternyata begitu laporan Nyi Dampi.” Kata R. Sastra, putra juragan Kanduruan, “Menurut saya, mudah saja. Kita culik saja jika perempuannya mau.” “Sipa orangnya yang berani memasuki rumahnya?’ “Ada. Saya punya kenalan. Namanya Abdullah, orang masih orang pasar juga. Sepertinya dia punya banyak saudara karena bisa keluar masuk rumah orang-orang kaya. Dalam acara-acara kenduri, ia pun tak ketinggalan biasa membantu. Dia mudah sekali dijadikan comblang. Malah ketika saya berpacaran dengan Nyi Sukmi, anak tukang warung yang diperempatan pasar itu, dialah comblangnya. Cepat sekali melebihi Si Tumang yang menangkap rusa hutan di bukit Laja.” Aom Usman tertawa kemudian berkata, “Coba panggilkan Si Abdullah untuk dimintai tolong.” Seorang pengawal disuruh memanggil Si Abdullah. Kemudian ia cepat-cepat pergi. Tak lama kemudian Si Abdullah datang diikuti oleh pengawal. Dari kejauhan Aom Usman sudah memanggilnya. Ia pun menghampiri dan menyembah, kemudian duduk bersila. Kata Aom, “Abdullah, kamu disuruh datang kemari karena saya akan meminta tolong kepada kamu. Saya sangat menginginkan Nyi Rapiah pasar itu. Caranya bagaimana kamu saja. Jika sampai kamu bisa mendapatkannya, tunggu saya balasan saya untuk kamu.” Si Abdullah termenung seperti berpikir begitu dalam. Telunjukknya diacungkan dan ditempelkan ke jidatnya sambil mengerutkan jidat. Tak lama kemudian ia pun berkata, “Ah, gampang. Nanti saja ketika ngunduh mantu,

Page 11: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

7

kita culik saja. Sekarang akan dikawinkan kepada Ujang Kusen. Kalau ke rumahnya Haji Abdul Raup, saya tak bisa masuk karena terlalu beresiko mendapat bentakan. Baru saja muncul, dia sudah berteriak, “Kamu akan apa kemari? Jangan masuk.” Aom Usman berkata sambil tersenyum, “Saya kira kamu sudah terkenal jadi comlang perempuan.” “Benar. Di pasar tak ada lagi yang menjadi comlang selain saya.” “Baiklah. Sekarang pulang saja. Nanti jika sudah dekat waktunya kita berunding lagi.” “Baiklah. Saya siap menjalankan apa yang diperintahkan.” “Ya.” Si Abdullah pun pulang. Adapun Aom Usman malam itu tak pergi ke mana-mana. Ia berdiam diri saja di rumah. Teman-temannya diminta untuk menemaninya hingga malam, seperti biasa saja. Kegiatannya dari pukul tujuh menabuh gamelan hingga waktunya makan malam. Mereka berkumpul untuk makan bersama para menaknya. Adapun sisa makanannya diserahkan kepada para pengawalnya. Setelah selesai makan, mereka pun kembali bercakap-cakap. Semua sama-sama mengeluarkan keahliannya dalam menghibur hari yang sedih. Ada yang mendongeng, ada yang berbicara biasa saja, sebagian ada yang berkelakar, sebagian menunjukkan kepandaiannya dalam gurauan memaki. Yang tidak bisa berbicara, hanya menjadi orang yang ikut tertawa saja. Adapun yang paling pandai melawak adalah Agan Suma putra juragan Rangga. Jika sudah mulai berkelakar, semua tak ada yang diam. Lebih dari lawakan reog dari bapa Eon orang Tasikmalaya. Malam itu hingga pukul satu tak ada hentinya tertawa riang. Setelah Aom Usman sudah mengantuk, barulah semuanya diijinkan pulang.

Page 12: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

8

IV Tanggal 17 Rayangung sudah dekat. Di rumah Haji Abdul Raup siang malam sudah ramai. Berdatangan tamu dan orang-orang yang akan membantu. Bacreuk terhampar di dua tempat. Satu tempat untuk laki-laki. Satu lagi untuk perempuan. Tampak berkilauan wadah kinangan dan tempat ludahnya dari kuningan, berjajar di ruang tengah. Teras pun ditambah dengan sosompang agar menjadi luas dan ditutupi dengan kasang jinem. Di ruang tengah sudah dihiasi oleh bermacam-macam pigura, cermin, dan jam. Tiang tengah dihiasi seperti cara puade. Paturon sudah diberi puade, kelambunya kain tipis putih, dari depannya dipakai kain kesumba, dan tirainya dengan sutra hijau. Bantal putih tampak bersusun, bantal guling di kiri kanannya. Di belakang tampak saung besar yang dipenuhi para pegawai, laki-laki dan perempuan. Tiga hari sebelum nikah pengantin lelaki sudah pindah, diantar oleh wakil orang tuanya, diserahkan kepada calon mertuanya. Haji Andul Raup menerima dengan senang hati. Kemudian ditempatkan dengan baik kamar yang akan ditempatinya. Begitu diperhatikan dengan baik. Besok harinya, tampak rombongan yang akan membantu memasak. Saung semakin penuh. Para pekerja sampai ada yang di luar. Para perempuan yang akan mencincang sudah berkerumun saling bersaing dalam urusan dandanan. Nyi Haji tak henti menerima tamu yang datang dan melayani yang menemuinya. Malam hari sebelum acara pelaksanaan nikah, semakin banyak tamu, terutama laki-laki, tampak penuh di rumah Haji Abdul Raup. Besan kali-laki perempuan pun sudah ada di sana. Berjajar para pemuda, berkumpul para orang tua, sesuka hati. Ada yang bercakap-cakap saling bersahutan, ada pula yang berdiam diri. Yang menjadi pertunjukan saat itu adalah tembang. Adapun di bagian belakang ramai oleh orang yang sibuk mengisi potrang dan idagangan. Dikisahkan keesokan harinya, tanggal 17 Rayagung, pukul tujuh tambur ditabuh untuk mengingatkan undangan dan menghormat kepada setiap tamu yang sudah datang. Saat pukul 9 pengantin lelaki yang sudah didandani muncul dari rumah. Ia dibendo ditotopong gadung, tepinya dihiasi warna emas, rapat seperti blankon pangeran-pangeran Solo. Ujung iket di jidat dilipat, diselipkan intan sebesar kacang. Bajunya memakai tali bandang emas, kain kebatnya didodotkan, dicelana beludru sampai lutut, dibordil dengan benang emas. Ke bawahnya memakai kaos dan sepatu. Keris emas terselip di pinggang, tampak sabuk dua lapis. Epek sutra yang paling luar dibordil emas. Di telinga bergelanjungan susumping di kanan kirinya. Mukanya memakai bedak. Setelah itu, pengantin dinaikkan ke atas kuda daragem yang bagus. Tingginya 8 dim; dipayungi oleh peyung kebesaran. Berangkatlah iring-iringan menuju mesjid akan melaksanakan pernikahan. Yang berada di bagian depan adalah tanji dan diikuti oleh pengantin. Langkahnya menyamping dan tampak miring pula payung kebesarannya yang

Page 13: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

9

tampak berwibawa seperti Pangeran Trenggono ketika akan menuju negara Surabaya. Di belakang pengantin, ada genjring Palembang diikuti oleh iring-iringan yang mengikutinya, yaitu para undangan yang masih muda. Bermacam-macam tingkahnya para pengiring. Ada yang menampilkan ketampanannya, ada yang menampilkan dandanannya, sebagian tampak bersemangat seperti akan maju ke medan perang. Adapun yang paling gagah adalah Ujang Rapi. Ia memakai udeng kacirebonan, bajunya model putih dengan kebawahan kain sutra. Memakai tarumpah bordil buatan Cianjur. Payung bawat hitam yang terbuka sambil menjinjing kain bawahan sebelah, memperlihatkan celana pangsi. Tak sampai pukul sepuluh, pengantin sudah kembali ke rumah. Tampak di rumah sudah penuh oleh orang-orang yang akan menghadapi hidangan. Setiap yang mengantar ke mesjid ditempatkan di kamar yang masih kosong. Adapun pengantin dibiarkan untuk berbenah diri, tidak diperintahkan untuk berkumpul. Setelah kyai berdoa, Haji Abubakar berdiri dekat pintu serta berkata lantang. Katanya, “Perhatian untuk semua yang duduk di sini, semua handai taulan dan sobat-sobat, saya mewakili yang empunya kenduri, bahwa ada nazarnya, jika Si Nyai sampai kepada kepastian jodohnya, ingin mengadakan arak-arakan nanti jam empat. Itu sebagai wujud rasa sayang kepada anak. Oleh karena itu, saya mohon kepada semuanya, semoga sudi ikut dalam iringan-iringan itu. Nanti pukul dua ditunggu sekali. Sekarang, dipersilahkan untuk menyantap hidangan yang alakadarnya.” Maka mereka pun mulai menyantap hidangan. Sebagian potrang dan hidangan kemudian dibuntel oleh saputangan, tidak dimakan. Setelah selesai, para tamu undangan kemudian pulang sambil menjinjing bingkisan. Haji Abdul Raup berdiri di pintu, menyambut yang akan pulang, kemudian bersalaman sambil meminta maaf. Tambur terus dimainkan menghormat kepada tamu undangan yang pulang. Dikisahkan setelah pukul dua, pengantin pria dan wanita sudah didandani. Ujang Kusen badannya dibedaki atal, mukanya pun dibedaki cukup tebal; kemudian dipasangkan kain kebawahan berupa dodot seperti sewaktu akan pergi ke mesjid. Tapi bedanya sekarang adalah ia tak memakai baju yang dikenakan sebelumnya tapi memakai baju teratai saja, lengannya memakai gelang dan dipasang kilat-bahu. Kepalanya tidak dipasangkan bendo tapi mahkota. Juru rias perempuan sibuk menghias Nyi Rapiah. Badannya dibedaki atal, keningnya dihiasi, kemudian dibedaki; sanggulnya dipasangkan kembang goyang dan dikenakan siger. Badannya memakai apok susu, memakai baju tarate dan dipakaikan kain bawahan songket tabur; kaos dan selop sebagaimana biasanya. Anting berlian seharga Rp 1000,- tampak berkilauan di telinganya. Gelang berhiaskan intan di pergelangan kiri dan kanan; kilat bahu emas duket, pending bertaburkan intan. Jemari dipenuhi cincin. Di dadanya bertumpuk kalung tiga macam: kalung emping, susun, dan didinaran.

Page 14: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

10

Setelah rapi, berdirilah Nyi Rapiah, dituntun oleh seorang tua. Para perempuan mengiringinya. Ia pun didudukkan di atas kursi disandingkan dengan Ujang Kusen di ruang tengah. Pakaian pengantin tampak gemerlap membuat orang terpesona melihatnya. Meski sudah dua hari dua malam, Ujang Kusen samasekali belum bertemu dengan kekasihnya. Baru hari itu ia bisa melihat Nyi Rapiah. Itu pun ia tak dapat melihatnya dengan jelas sebab menunduk seperti yang malu. Meskipun tidak terlalu jelas, Ujang Kusen terkesiap melihat kecantikan Nyi Rapiah. Hatinya bergetar karena sangat senangnya mempunyai istri cantik. Nyi Rapiah pun demikian menyukai kepada suaminya sebab Ujang Kusen bukanlah sembarang orang, tegap dan baik hati. Pukul tiga orang-orang sudah berdatangan akan mengikuti arak-arakan. Semua berdandan habis-habisan. Ada yang menaiki delman, bendi, dokar yang dibuka kap penutupnya. Yang tidak terlalu kaya, menaiki dokar sewaan. Tepat pukul empat, berangkatlah rombongan arak-arakan. Yang paling depan tukang tambur dalam dokar, diikuti kereta pengantin yang ditarik dua ekor kuda Sitni, sepasang. Kusir dan pembantunya berdandang mentereng. Pengantin berdampingan di kursi belakang. Di kursi depan ada dua perempuan yang dijadikan pendamping dari hasil memilih pemudi yang paling menarik untuk mengipasi pengantin. Keduanya didandani begitu gemerlap. Di tempat lopor ada lelaki memakai baju hitam, celana lepas hitam, menghadapi pengantin. Dari arah belakang kereta pengantin, berjejer kereta, bendi, dan dokar yang mengiringi pengantin. Karena Tuan Haji Abdul Raup itu orang kaya dan banyak sanak keluarganya dan sahabat-sahabatnya, maka banyak pula yang mengikuti arak-arakan tersebut. hingga setengah enam arak-arakan tak berhenti, mengelilingi kota, mengelilingi daerah. Di tiap perempatan jalan penuh dengan orang-orang yang menyaksikan arak-arakan itu. Maklumlah pesta besar, semua orang tahu. Setelah setengah enam, pengantin pulang kembali. Mereka membenahi diri. Yang mengantar pun pulang ke rumahnya masing-masing. Diceritakan pulul tujuh malam, pengantin kembali didandani seperti tadi dan ditempatkan di kursi di hadapan jamuan, menghadap adep-adep. Di samping adep-adep berdiri tegap bokor kuningan setinggi setengah badan. Di emper wayang golek berada di panggung, gamelan sudah diselaraskan. Anak-anak menonton saling mendahului. Mereka ingin duduk dekat kotak atau didepan dalang, maksudnya ingin sambil memainkan wayang. Pukul delapan gamelan sudah dimainkan mengumpulkan orang-orang yang akan menonton, mengundang dengan semangat orang yang akan datang. Dari pukul delapan sampai pukul sembilan, berdatangan terus pria wanita, tua-muda. Setiap yang datang para perempuan, selain anak kecil dan yang hanya mendampingi, mereka memberikan uang dalam kotak kecil sambil memberi sesuatu pula kepada Nyi Haji Abdul Raup. Adapun uang pemberian mereka, kemudian dimasukkan ke dalam bokor yang setinggi setengah badan itu. Di luar, Tuan Haji sudah memerintahkan dua tiga orang yang bertugas untuk mempersilahkan duduk para tamu laki-laki.

Page 15: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

11

Para tamu duduk rapi menghadap bacreuk; perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki; yang sudah tua dengan yang sudah tua juga; yang muda dengan yang muda. Dilihat dari luar, tampak sebagian besar adalah perempuan, sebab lelaki banyak yang duduk di luar di atas kursi. Betapa lucunya melihat tingkah orang yang berada di dalam. Seperti dalam mimpi saja atau di sawarga loka saja. Patetebah yang begitu bercahaya tersorot lampu berpuluh-puluh tampak terang benderang. Setiap yang hadir, jika perempuan tampak seperti cantik, jika lelaki tampak tampan. Begitu juga jika melihat kumpulan para pemudi, membuat terbengong-bengong. Tampak mereka begitu cantik dan menarik, tampak semakin bercahaya dengan pakaian yang begitu bagusnya dan tersorot cahaya lampu. Seperti bukan dalam kenyataan saja. Jika sudah melihatnya, seperti melihat bidadari dari kahyangan saja. Cahaya intan pada anting, peniti, liontin dan gelang, semua tampak berkilau seperti beribu-ribu bintang ketika langit sedang bersih dan tersorot cahaya bulan; cahaya lampu damar seperti bulannya. Gelang emas tampak berkilauan di tangan yang kuning langsat yang sedang digunakan untuk meraba sanggul atau menggaruk kepala. Seperti kilauan kilat dalam kegelapan. Menggaruk bukannya gatal banyak kutu, itu adalah isyarat melambai kepada orang di luar, meminta ditunggu untuk pulang. Bermacam-macam pakaian, sutra, salahi, encit, dan batis polos. Jika diamati seperti benar-benar kembang setaman yang berwarna-warni serta sedang mekar-mekarnya. Bagaimana tidak menjadi pembangkit syahwat, penarik birahi, jadi objek kesenangan tatapan mata para pemuda. Dilihat sanggul, semakin membuat bimbang. Yang melacur ada yang memakai poni, aya yang disanggul jucung mengikuti model nyonya-nyonya Cina, jabingnya sama-sama tampak melebar, dan diselipi daun raniem atau kembang gulo untuk pemikat para penonton, lelaki bujang, dan pereda amarah suami. Meskipun melihat para perempuan yang begitu menarik, tetapi ketika melihat pengantin, semua kalah karena memang bintangnya pasar. Dapat diibaratkan Nyi Rapiah itu seperti bintang timurnya. Adapun perempuan yang lainnya adalah bintang yang banyaknya, semua tertutupi. Setiap yang melihat tiada bosannya. Pengantinnya begitu menarik baik lelaki maupun perempuan. Semua mengatakan, Nyi Rapiah dan Ujang Kusen begitu cocok, yang cantik dengan yang tampan, apalagi sama-sama kaya. Tentulah jadi bahan pembicaraan, seperti Rama dan Sinta. Pengantin duduk berdampingan di kursi; dikipasi oleh dua perempuan yang menarik serta telah berdandan habis-habisan. Pakaiannya seragam. Tampak begitu lucu menambah sari untuk pengantin. Dari belakang pengantin, paturon sudah dihiasi. Damar menyinari er emas dan kaca. Cahayanya menyebar. Di dalam kamar, kelambunya putih, seprei dan bantalnya putih. Tampak dari luar cahayanya remang-remang tertutupi tirai sutra hijau dan tutup kelambu kesumba, membangkitkan lamunan para pemuda. Pukul sembilan, dalang baru memulai mendalang. Tak terkira serunya karena dalangnya mahir, kekawinnya enak didengar, melawaknya

Page 16: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

12

membangkitkan tawa. Panayagan ramai dengan senggak dan alok. Tukang saron tak henti-hentinya melontarkan sesebred dan pantun, menambah semakin menariknya wayang. Penonton begitu rapat, pria-wanita, tua-muda. Maksudnya bukan hanya menonton wayang saja, tapi ingin melihat pengantinnya. Begitu juga dengan banyak lelaki dan janda yang melacur, selain menonton wayang dan pengantin, juga menonton orang yang menonton. Para pedagang berjualan hingga tepi jalan kanan dan kiri. Lampu damarnya bersaing besar. Tak henti bunyi trang tring pedagang cendol dan cingcau yang melayani pembeli. Tercium harum sate dan maranggi; tercium pula asap bajigur dan bandrek. Anak-anak ramai menawarkan lepit dan rokok;. Mereka saling menyelinap di antara orang banyak. Berjajar pedagang rebus kacang tanah, sangray kacang tanah, ketan ditaburi parutan kelapa dan pedagang lainnya. Setelah pukul dua belas, pengantin dandanannya sudah ditanggalkan. Penonton sudah mulai meninggalkan arena. Tamu undangan sudah banyak yang pulang. Anak-anak tidur tak beraturan dekat kotak. Semakin malam penonton semakin sedikit. Yang tersisa tinggal para orang tua saja yang gemar menyimak kisahnya disesuaikan dengan ilmunya. Suara dalang sudah terdengar parau. Tapi itu menambah perasaan haru bagi orang yang gemar menonton. Panayagan sudah tak tampak ceria, akibatnya banyak penonton yang mengantuk. Tukang gong sering dibentak dalang karena memukulknya bukan pada waktunya. Sebagian penonton perempuan masih ada, tapi sorenya yang tampak menawan, malam itu sudah tampak layu, terserang kantuk, cahaya suram, bedak pun meluntur, apalagi cahaya damar sudah berkurang, hanya tinggal remang-remang saja. Lagu salendro semakin malam semakin membuat perasaan terkenang, apalagi lagu ombak banyu meninabobokan anak yang sedang tidur, mengajak bangun bagi yang sedang hampir tidur, mengiris hati bagi orang yang sedang tergila-gila. Di jalan yang sorenya banyak orang, saat itu tinggal pedagang rokok dan takoah. Itu pun tinggal bekasnya saja. Adapun yang sudah menonton duduk diselimuti samping, mendekati pedagang, tak bisa pulang, tertinggal oleh temannya. Cahaya bulan semakin malam semakin terang. Bintang bertaburan, cahaya kecilnya berkelip-kelip, cahaya besarnya tampak berkilau terang membuat semakin menambah rindu terkenang akan orang yang pulang setelah berkunjung kepada pacar. Ditambah lagi suara ayam yang bersahutan, seperti mengucapkan selamat tinggal. Begitu membuat air mata terjatuh. Meski yang menonton sudah sedikit, tapi wayang tetap dimainkan karena ditonton oleh para orang tua dan yang gemar menonton. Pukul setengah enam barulah gamelan dikebojirokan, membubarkan penonton.

Page 17: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

13

V Pada suatu sore ketika cuaca kebetulan sedang bagus, langit bersih tak ada mendung. Matahari dirasakan sudah tidak panas sebab sudah hampir menuju ufuk barat. Di seluruh hamparan langit yang tampak hanya awan putih dan hitam saja, menaungi langit biru seperti sengaja dipadupadankan. Tampak aneka rupa awan. Ada yang seperti orang yang sedang berdiri mengajak terbang jauh ke awan kepada yang sedang jalan-jalan. Sebagian seperti gunung, seperti pohon yang rindang, sebagain lagi tampak bergelombang seperti ombak lautan. Itu semua membuat menggugah hati para pelaut. Ada pula yang berjumput-jumput seperti pulau di tengah lautan. Di pasar, tepatnya di perempatan jalan, orang berkerumunan; ada yang membeli sesuatu ada pula yang sengaja jajan; sebagian hanya nongkrong saja sambil melihat orang-orang yang sedang jalan-jalan. Para pemuda yang telah berdandan berdatangan. Sebagian ada yang akan diarak. Tak ketinggalan juga para perempuan nongkror dengan orang-orang yang sedang jalan-jalan menikmati suasana. Sebagian memakai gamparan, mengenakan kain bawahan menutupi sebagian bajunya, disanggul dibulukbukeun, menunggu yang telah berjanji bertemu. Sebagian berpenampilan sederhana, kemudian pergi ke pasar alasanannya akan berbelanja, tapi tak memegang uang seperser pun. Suara dokar terdengar melaju di jalan. Bendi orang-orang kaya dan kereta kuda tuan-tuan berjalan-jalan menikmati udara segar karena sore yang cerah oleh lembayung senja. Yang gemar naik kuda, berjalan-jalan menikmati suasana, menunggang kuda yang sengaja jalannya sesekali dimiringkan, menuruni jalan. Dikisahkan pengantin, Ujang Kusen dan Nyi Rapiah saat itu berada di teras depan menyaksikan orang-orang yang jalan-jalan. Lelakinya duduk di tingkeban. Tampak dari luar hanya kepalanya saja, memakai totopong Solo uit diportengkan. Bajunya kampret putih yang telah disetrika dengan sangat rapinya. Adapun Nyi Rapiah berdiri di pintu, memakai baju encit, mengenakan lasem kebawahannya, bersanggul dibalukbukeun tampak manis. Berkilau liontin emas pada leher seperti menyatu dengan kulit yang begitu bercahayanya. Tampak dari jalan begitu bercahayanya. Maklumlah sorot pengantin dan tepat di orang yang cantik. Meski pun jelek, pengantin selalu tampak bercahaya. Mengenai Nyi Rapiah, sudah tentu memperhatikannya. Menceritakannya pun tak akan bosan-bosannya. Begitu cantik membuat terkesiap yang memandang. Badannya mulus dan seimbang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Kulitnya kuning langsat, mukanya oval, jidatnya melengkung sabit, matanya bulan menawan, hidungnya mancung, bibirnya tipis merah dan sedikit keriting. Lengannya tampak berisi. Adapun orangnya tampak pendiam, begitu anggun sebagai wanita. Matahari semakin lama semakin tenggelam. Muncullah lembayung senja yang cahayanya menyebar. Setiap yang terkena sinarnya, tampak seperti

Page 18: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

14

emas. Dedaunan tampak berkilauan. Begitu pula dengan kembang kayu ambon di tepi jalan besar, begitu indahnya, merah menyala, seperti sutra. Tersorot lembayung tampak menarik tiada bandingannya. Tentunya, untuk pengantin, sore itu bagi mereka begitu berkesan. Hingga akhir hayat pun tak akan lupa, saat begitu saling mengasihinya, membangkitkan birahi dan mengundang pesona. Keduanya semakin tertarik, semakin lama berdiam diri di muka teras tersebut. Begitu juga dengan Ujang Kusen karena sambil memandang kecantikan istrinya. Tak lama kemudian datanglah bendi dari arah utara. Kapnya dibuka. Penunggangnya seorang pria dan seorang lopornya. Kuda Sumba jantan hitam legam. Kendalinya merah. Tampak dari kejauhan seperti bulan yang baru muncul. Ternyata pria tersebut adalah Aom Usman yang mengenakan solo doktor, dengan baju tariko ungu, kain bawahannya gerusan peupeus, tampak putih bersih krah di leher dan rantai emas di dadanya. Ketika sampai di dekat Nyi Rapiah, terlihat sedang berdiri di pintu, ia kemudiam berdehem sambil tersenyum. Setelah Nyi Rapiah melihatnya bahwa itu adalah Aom Usman, cepat-cepat ia masuk ke rumah kemudian ke dapur sambil berpura-pura akan menemui ibunya. Ujang Kusen setelah melihat tingkah Aom Usman dan istrinya seperti itu, menjadi begitu marah. Mukanya memerah, badannya bergetar, hatinya bergolak, panas serasa dibakar saja. Kalaulah Aom Usman ada di hadapannya, mungkin sudah tertangkap basah perbuatan Aom Usman yang dengan sengaja berbuat seperti itu di hadapan Ujang Kusen. Mentang-mentang putra menak, tak ada samasekali sopan santunnya. Ujang belum berani marah kepada istrinya karena baru bertemu, keterlaluan! Apalagi ia belum tahu dengaan pasti dosanya. Ia membujuk diri saja. Dalam pikirannya, “Jika Si Piah dan Aom Usman sudah berpacaran, tak terduga sedikit pun. Kapan mereka bertemunya karena kebiasaan pasar, tak ada gadis yang diumbar, apalagi tak ada sama sekali bekasnya. Yang menyukai istri saya tentulah banyak karena jelas cantiknya. Si Piah pun tentu suka kepada Aom Usman karena begitu tampannya. Maklumlah manusia, lelaki perempuan sama-sama mempunyai syahwat. Lelaki melihat yang cantik tentu muncul kesukaannya; perempuan melihat yang tampan tentu suka. Itu tidaklah salah. Yang dilarang adalah dengan sengaja mengamat-amati agar timbul syahwat, apalagi dengan praktiknya melakukan perbuatan jeleknya. Tapi yang membuat sebal dari Aom Usman, dia sengaja berdehem sambil tersenyum. Merasa diri anak menak. Ia tak menjaga perasaan. Tapi biarlah kalau hanya seperti itu. Anggap sidekah saja.” Ia teringat akan nasihat orang tuanya, jika sedang marah harus pindah posisi: jika sedang duduk harus berdiri; jika sedang berdiri harus duduk atau berjalan-jalan. Dan lagi amarah itu sama dengan api, penawarnya harus dengan air, mandi, atau minum. Nasihat itu ia laksanakan. Ia kemudian meminum air mentah. Turun ke halaman, dan nongkrong di jalan besar. Ternyata amarahnya reda.

Page 19: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

15

VI Menurut adat kebiasaan, jika pengantin sudah tujuh malam berada di rumah orang tua perempuan, harus diterima, dipindahkan ke rumah orang tua lelaki. Nyi Rapiah pun demikian. Saat itu sudah lima malam; tersisa dua malam lagi harus pindah. Karenanya, perasaan Tuan Haji Abdul Raup dan istrinya begitu sedih karena anak yang begitu disayangnya; seumur hidup belum merasa berpisah dengan orang tuanya. Malah sebelum mempunyai suami, tidurnya pun sering bersama ayahnya. Bukan karena tidak mempunyai anak lagi, tapi tidak ada anak yang disayang seperti Nyi Piah. Banyak sekali perasaan khawatir Tuan Haji Abdul Raup; ia takut anaknya tidak betah, takut suaminya tak terlalu sayang dibandingkan dengan sayangnya dia kepada anaknya, terutama takut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. apalagi anaknya begitu cantik. Ayahnya khawatir, anaknya tak kuat menahan nafsunya. Itulah yang dikhawatirkannya. Ia merasa takut melebihi takutnya ketika mencabut sembilu; takut melebihi takutnya menginjak lubang perangkap. Tapi apa mau dikata karena lazimnya orang harus berkeluarga. Dan lagi, orang tua tak akan bertunas. Akhirnya pasti akan terpisah. Karenanya, tak ada lagi cara selain harus berpasrah kepada Yang Maha Suci karena Dia yang memiliki. Apapun kehendaknya, tak akan ada yang dapat menghalangi. Tetapi meskipun demikian, Tuan Haji Abdul Raup berpikir, saya jangan berkurang ikhtiar. Anak tersebut harus dinasihati agar mengerti kepada jalan yang benar karena perbuatan menurut kepada pengetahuannya. Kata lebe, amal menuruti ilmu. Tak ada manusia yang sengaja menjalankan satu perbuatan yang dirinya sendiri tidak begitu tahu. Lazimnya jika pikiran manusia dipenuhi oleh ilmu yang baik, perbuatannya pun akan benar. Sebaliknya, manusia yang pengetahuannya hanya kepada jalan yang jelek, perbuatannya pun akan jelek. Itu sebabnya, manusia harus dididik kepada jalan kebaikan, harus bergaul dengan orang yang baik agar bisa mencontoh dan mengikuti tingkah lakunya yang baik. Kemudian Nyi Rapiah dan suaminya dipanggil. Tuan Haji Abdul Raup duduk di atas tikar beludru, bersandar ke dipan. Di atasnya ada cermin besar. Nyi Piah dan Ujang Kusen duduk di hadapan ayahnya. Ibunya pun ada di sana, tak jauh dari mereka. Haji Abdul Raup berkata, “Piah, dengarkan baik-baik, Abah akan memberi nasihat. Sekarang kamu sudah mempunyai suami, sudah ada yang wajib. Orang tua hanyalah tinggal status saja. Sebentar lagi kamu harus pindah, mengikuti suamimu. Begitulah adatnya perempuan harus menurut kepada suami. Jangankan dibawa ke tempat terang, meski dibawa ke lubang yang sangat sempit sekalipun harus ikut. Karenanya, tak ada lagi yang dapat dijadikan untuk menitipkan diri sekujur tubuh selain kepada suami, pengganti orang tua. Jika tidak diindahkan, tidak menurut suami, tentu suami tak akan menyayangi. Sebaliknya jika kamu manut, kasih sayang suami akan melebihi kasih sayang orang tua. Tapi kamu tak akan mengindahkan suami jika kamu tidak terlebih dahulu mengetahui ilmunya. Oleh karena itu, Abah akan menasihati.

Page 20: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

16

Ingatlah, janganlah kamu mempunyai hati yang takabur sebab akan membuat diri menjadi sial. Kata orang tua, “barangsiapa takabur, pasti akan dijatuhkan derajatnya oleh Gusti Allah hingga ke bawah; sebaliknya yang rendah tentu akan dijunjung. Adapun untuk kamu, tertanam jalan takabur dari diri kamu karena alasan pertama, ayah ibu bukanlah orang yang terlalu hina, orang lain menyebutnya kaya, dihargai, dihormati. Alasan kedua, kamu mempunyai wajah cantik. Ketiga, kamu merasa kaya karena anak orang kaya. Keempat, kamu merasa sehat, segar bugar karena masih muda. Kelima, setidak-tidaknya kamu pun mempunyai pengetahuan karena sejak kecil oleh orang tua dididik mengaji, diajari berkerja. Keenam, karena ada amal ibadah mencontoh orang tua, itu akan mendatangkan ketakaburan. Ketujuh, meski kamu bukan orang yang berpangkat, tapi teman-teman sebayamu menghargaimu karena melihat orang tuanya. Tapi kamu harus mengerti, Nyai, ketujuhnya tak ada yang bisa dijadikan andalan sebab tak ada samasekali yang kekal. Keturunan menak, jika tidak terimbangi oleh kekayaan dan kepangkatan, tidak akan ada keagungannya. Malah jika bersuami mendapatkan kaum jelata, turunannya akan menjadi rakyat biasa lagi. Jika kita punya derajat jadi anak menak, atau anak orang yang pantas, jangalah takabur. Malah harus sujud syukur kepada Yang Kuasa sebab itu adalah derajat besar yang tak bisa diikuti oleh yang lain. Dan harus hati-hati agar bisa mencari sandingannya, yaitu harta kekayaan dan pangkat. Wajah cantik paling awet hanya lima belas tahun, apalagi jika banyak anak; tak mencapai waktu itu pun sudah telanjur rusak. Wajah sudah mulai kasar dan kusam, kulit kuning langsat jadi jelek, rambut tebal jadi tipis. Jadi, jika kita selagi muda, sedang cantik, segeralah baktikan kepada suami agar nantinya, saat kita sudah tak berdaya, suami tetap akan sayang. Sebab, selain oleh kebaikan, ia ingat akan kesenangan yang dulu, saat mencinta, tak tersentuh oleh siapapun. Kekayaan pun janganlah dijadikan kebanggaan, tak akan dapat dijadikan andalan karena banyak yang kaya mendadak jadi melarat. Jika Abah sudah meninggal, mungkin kekayaan dibagi-bagi karena kamu punya banyak saudara. Meskipun asalnya besar, jika sudah dibagi-bagi tentu masing-masing akan terbagi sedikit saja. Apalagi kamu perempuan, bagiannya hanya setengahnya dari lelaki; tentulah semakin kecil saja. Harta warisan itu jarang bermanfaat. Harta warisan itu bisa saja awet jika jatuh kepada orang yang tadinya sudah mulai akan menjadi kaya. Adapun jalannya kaya haruslah dimulai dengan jerih payah dulu; harus menyesuaikan diri, sandang pangan harus diatur. Itulah yang jadi syarat dasar untuk menjadi kaya. Jika karta kekayaannya datang sekaligus, jarang sekali yang mampu mengaturnya jika belum ada dasarnya. Begitu juga dengan kemampuan fisik yang segar bugar, jangan sekali-kali dijadikan sombong. Tak akan seberapa tenaga perempuan, tak akan

Page 21: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

17

mampu menanggung beban. Jika bukan dari suami, mungkin kamu akan hidup susah. Kepandaian dan juga amal yang ada pada diri kamu sedikit sekali; dapat dikatakan tiak ada saja jika dibandingkan dengan orang lain. Kalaupun yang benar-benar pandai pun jika tidak diikuti dengan tingkah laku yang baik, biasanya tak akan ada harganya. Selama Abah hidup, kepada kamu mungkin masih banyak yang menghargai. Sebab kata peribahasa: bapa yang membawa harga. Jika Abah sudah tidak ada, belum tentu karena kemulyaan biasanya ada waktunya, seperti kedudukan juga. Adapun yang akan meneruskan harkat kepada kamu adalah suami. Karenanya, kamu harus taat setia. Jika kamu sudah mengerti bahwa yang tujuh perkara itu tak ada yang bisa dijadikan sombong, silahkan segera rendahkan hati. Hati segera taklukan, jangan tinggi hati karena keagungan ingin menandingi tingginya langit, apalagi menghina kepada suami. Selain itu, nasihat Abah, kami harus mengerti bahwa mempunyai suami akan banyak sekali manfaatnya. Pertama, suami adalah pengganti ibu-bapak yang akan mencukupi sandang pangan. Jika kamu menderita, tak ada lagi yang akan memperjuangkannya selain suami. Dia tak akan merasa jijik oleh sesuatu yang kotor, tak akan sayang akan harta benda untuk dipakai mengobati, tak akan menyesal dan putus asa merasakan keletihan setelah merawat kamu dan tak akan menggerutu karena kurang tidur kurang makan setelah merasakan penderitaan kamu, asalkan kamu benar-benar setia kepada suami. Orang lain tak akan ada seperti itu. Sahabat hanya suka jika sedang sehat, teman dalam kegembiraan; jika untuk kesengsaraan, tak akan ada yang peduli selain suami. Meski tidak dijalankan sendiri karena ada yang akan diurus, yang ruginya tentu suami karena tetap sendiri. Lazimnya manusia yang biasa mengalami kesusahan atau celaka, atau aib. Tak akan ada yang peduli selain suami. Hanya suamilah yang bisa senasib sependeritaan. Begitu juga dengan kesenangan, hanya suami yang pasti satu hati. Karenanya orang tua menyebutkan, yang berumah tangga harus rukun, senasib sepenanggungan. Manusia itu lain dengan binatang. Kewajiban suami-istri harus mempelajari ilmu yang akan bermanfaat. Untuk perempuan, ya suamilah yang akan menuntunnya. Jika dia tidak bisa, wajib harus ihtiar, dilimpahkan kepada yang lain. Kata ulama, suami itu adalah ruang bersemayamnya taat kepada Yang Sukma. Jelasnya, segala bakti istri kepada suami akan diganjar. Abah sudah mencermati jalan-jalan yang akan membuat terpecah rumah tangga, terutama masalah: 1. kejelekan, 2. kebodohan, 3. kemalasan. Kejelekan menempati tiga ruang: dalam hati, dalam ucapan dan dalam perbuatan. Perbuatan yang paling jelek bagi istri teradap suaminya tak lain adalah menduakan hati. Karenanya, Abah menasihati agar jangan sekali-kali sampai seperti itu. Abah menitip telinga dan mata. Suami biarkan tenang pikirannya dari jalan itu, begitu juga sampai mengetahui kamu berbuat hina atau

Page 22: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

18

mendengar kabar tentang itu. Jangan sampai terjadi meskipun hanya sebatas dugaan saja. Lazimnya, jika ada kabar tentu biasa akan ada buktinya. Begitu juga dugaan suami banyak yang memang kejadian. Sehingga orang tua mengungkapkan: setersembunyinya yang buang hajat. Jika istri sudah berdosa seperti itu, meski awet jodohnya karena suami masih sayang, tentu akan awet tapi hancur karena seumur hidupnya pikiran suaminya tetap berbekas. Dosa yang lain akan ada maafnya, tapi yang satu ini, meski sampai mati pun, dipasangkan nisan, ditutupi tanah merah, suami tak akan pernah lupa karena begitu besarnya dosa kepada suami. Karenanya suka banyak orang yang sampai tega karena itu. Untuk menghindari petaka itu, tak ada lagi caranya selain jangan suka menonton dan jangan bepergian sendirian tapi harus bersama suami. Selain itu banyak lagi perbuatan jelek yang harus dihindarkan. Terutama yang harus diingat, jangan ada tingkah laku kamu yang bisa membuat susah atau aib kepada suami sebab semua orang harus dapat menghindarkan penderitaan dan aib. Ucapan atau perkataan yang disebut jelek yaitu setiap apa-apa yang dapat membuat sakit hati atau menimbulkan aib. Sudah lazim yang berumah tangga bertengkar. Tapi meski kamu sedang marah harus ingat jangan sampai mengeluarkan perkataan yang menyebabkan sakit hati yang begitu menyakitkan. Kata peribahasa: jangan karena lidah tak bertulang, bicara semaunya saja. Di situlah kamu harus bisa menjaga lidah, menjalankan sopan santun. Kata orang pandai: perkataan itu lebih tajam daripada pedang. Jika badan terluka karena pedang, mudah sembuh kembali. Tapi hati yang terlukan karena perkataan, sulit diobatinya. Kata orang tua: ucapan yang sudah dilontarkan, bagaikan anak panah yang sudah melesat dari busur panahnya, tak mungkin dapat ditangkap lagi. Karenanya, pantun pun sudah memperingatkan: perkataan harus diukur, ucapan harus dipertimbangkan. Ingatlah, kamu jangan menggunjing suami; jika sedang bertamu dijadikan kiriman, jika didatangi tamu, dijadikan hidangan untuk tamu. Sesungguhnya bagi yang mengutamakan keluhuran budi, jangankan menggunjing, memuji pun dihadapan orang lain tidak pernah sebab memuji suami sama saja dengan memuji diri sendiri. Tentu saja atas rahasia suami, jangan berani-berani membukanya. Banyak orang yang celaka karena dibuka rahasianya oleh istrinya. Semua tak akan suka jika dihina. Karenanya, hati-hatilah agar jangan berani-berani melontarkan ucapan yang menghina suami. Kejelekan hati pun banyak sekali. Cepat marah, ahli menghina, sombong, pilih-pilih suami, menyombongkan status menak atau kekayaan, berburuk sangka kepada suami, suka cemburu berat. Itu semua adalah kejelekan yang ada dalam hati. Kikir pun masih termasuk kejelekan hati. Maka haruslah ingat, kepada suami janganlah kikir. Bukankah jangankan harta benda, diri pun suami yang punya. Kata orang tua: dengan suami harus sekepemilikan. Maka ingatlah, Nyai bahwa kejelekan terutama sekali dapat dikatakan racun yang akan mematikan manusia. Untuk kebodohan dan kemalasan masih ada pertimbangan dari suami. Jika sudah jelek maka tak ada yang tersisa sama

Page 23: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

19

sekali kebaikannya. Namun, meskipun demikian, tak bisa diabaikan. Bodoh dan malah harus dihindarkan. Sebab dalam semua perkara lebih baik yang masalah terberat (utama), daripada dengan masalah biasa yang masih dapat dimaklumi (maja dan nista). Yang nista adalah perbuatan yang jelek. Jika perbuatan baik tapi bodoh serta malas disebut martabat maja. Yang utama adalah yang sudah hilang ketiga-tiganya. Jangan dianggap remeh tentang kebodohan. Itu akan mengurangi kadar cinta. Jika istri tidak bisa memasak, suami akan berkurang kesenangannya. Sudah jadi ungkapan: mempunyai istri itu ingin senang bersanding lahir batin, senang hati dan enak jamuan makanannya. Harus tahu bahwa makanan enak adalah pengikat rasa suami. Istri bodoh biasanya tak bisa mengurus rumah, akibatnya suami tak betak di rumah. Istri itu disebut pamajikan, artinya tempat berdiam, sama saja dengan rumah atau gudang, tempat suami menyimpan rejeki dari hasil mencari nafkahnya. Jika istri tidak bisa mengaturnya, suami asyik sengsara, akibatnya hilang rasa betahnya, dan akan habis kecintaanya. Karenanya, ada ungkapan: memilih-milih pasangan, memindah-mindahkan rasa. Istri akan dirasakan oleh suami. Jika tidak ada yang dia rasakan, ya akan menjadi hancur. Istri bodoh tak akan bisa mengurus anak. Itu pun akan berakibat pendek jodoh atau awet rajet. Istri bodoh tak akan bisa menyenangkan hati suami. Jika suami sedang dirundung duka atau kesulitan, gagal tak bisa menghibur. Banyak sekali cacatnya istri yang bodoh. Maka ingatlah, Nyai jangan berdiam diri. Sekurang-kurangnya nasihat orang tua, kamu harus mau berikhtiar, berguru kepada yang lain. Jangan terputus untuk mempelajari ilmu meskipun sampai tua. Kata orang pandai: usia tua tak menjadi hambatan untuk belajar. Demikian pula dengan kemalasan akan menjadi hama besar untuk yang berumah tangga. Istri malah tak mau merawat diri. Dirinya menganggap ada yang membenahi. Suami tak perlu diurus rapi; syukurlah jika ingin; kalaupun tidak, tak peduli. Perbuatan tersebut bukan saja akan mengurangi rasa suka suami, tapi akan membuat cepat tua. Yang malas, meski banyak keterampilannya, rumahnya tak akan pernah beres, perabotan rumah tangganya kotor dan mudah rusak atau mudah hilang karena mengandalkan yang lain. Itu semua membuat susah hati suami. Makanan suami sama sekali tidak diperhatikan, seadanya saja dari warung. Pakaian suami tak diurus. Apalagi jika sudah punya anak, susah sekali melebihi apapun. Biasanya orang malas suka ditambah dengan kebiasaan mudah marah. Jika ada pekerjaan yang penting, bukannya segera dikerjakan, malah marah-marah sebab keinginannya hanya bersantai saja. Jika Abah merinci akibat-akibat dari kemalasan, tak akan sampai dalam waktu sebentar. Pikirkan saja sendiri karena banyak sekali untuk contohnya. Itu saja nasihat dari Abah. Jangan lupa siang malam, harus disimpan di ubun-ubun, harus diikat oleh sukmanya.” Nyi Rapiah selama dinasihati ia menunduk dan mendengarkan dengan seksama sambil menangis. Air matanya berlinang karena tersentuh mendengar perkataan ayahnya; seperti yang akan berpisah jauh saja, seperti akan

Page 24: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

20

menghadapi hari terakhir saja. Begitu pula dengan ibunya yang ikut mengiba karena teringat akan anaknya yang begitu dia sayangi dan kini harus berpisah dibawa oleh suaminya. Jika sudah merasakannya, seperti terputus nyawa saja. Setelah itu, Tuan Haji Abdul Raup kemudian berkata kepada menantunya, “Ujang, Abah menyerahkan Nyi Piah, darahnya setetes, rambutnya sehelai, nafasnya setarikan, agama darigamanya segala jalan kehinaan. Abah sudah tak mempunyai orang tua; hanya tinggal statusnya saja. Tapi Abah menitipkan, harus besar pertimbangan atas kebodohan dan keteledorannya yang tidak disengaja, makhlumlah anak masih muda, belum berpengalaman, belum tahu sopan santun, beretika pun masih jauh karena anak masih dimanja. Jika ada yang tidak berkenan, jangan ragu-ragu untuk menasihatinya.” Ujang Kusen menjawab, “Untuk perkara itu, Abah jangan dipikirkan. Saya tidak akan tanggung-tanggung untuk menyayangi putri Abah. Benar-benar akan dijadikan mestika hati sampai mati saya tak berniat beristri lagi.” Setelah itu kemudian Nyi Piah dan Ujang Kusen bersantai-santai di tingkeban, duduknya bertumpang tindih. Orang tuanya kemudian pergi ke belakang, tahu diri kepada yang sedang menikmati madunya pernikahan.

Page 25: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

21

VII Dikisahkan di rumah Tuan Haji Samsudin, sudah bersiap-siap akan ngunduh mantu. Penataan rumahnya tak berbeda dengan Tuan Haji Abdul Raup. Maklumlah yang kaya dengan yang kaya. Jika dari sana habis seribu, ia pun akan menghabiskan sebesar itu. Tak ingin berbeda sedikit pun karena menantunya adalah yang mereka restui. Ditambah lagi Ujang Kusen itu adalah anak tercinta, akan habis-habisan sebagai bukti sayangnya. Ia sudah mengundang para handai taulan dan sahabat-sahabat yang diminta untuk menyambut pengantin serta sedia untuk mengikuti arak-arakan. Ketika saatnya tiba sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, kira-kira pukul empat sore, kereta, bendi, dan dokar sudah berdatangan ke rumah Tuan Haji Abdul Raup akan mengiringi pengantin. Nyi Rapiah dan Ujang Kusen didandani kembali seperti semula. Setelah semuanya siap, mereka pun mengadakan arak-arakan seperti kebiasaannya mengelilingi kota. Tapi saat itu tidaklah terlalu lama, kemudian pulang. Pulangnya terus ke rumah Tuan Haji Samsudin. Di sana sudah ada begitu banyak tamu undangan, juga tentulah yang sengaja menonton acara pernikahan tersebut. Sebelum masuk ke rumah pengantin, mereka disawer dulu; melaksanakan adat kebiasaan. Seorang dukun bernama Bapak Garsih, bersenandung menyanyikan mantra nyawer sambil menabur-naburkan beras yang bercampur kunyit, lepit, dan uang. Disawerkan kepada pengantin dan kepada para penonton. Tampak ramai; anak-anak berjejal saling berebut uang sampai ada yang menangis. Setelah selesai, pengantin dibawa masuk dan ditempatkan di kursi di depan paturon kamar pengantin dan berhadapan dengan adep-adep. Tamu undangan sudah duduk rapi menghadap hidangan dan pontrang yang memakai bendera kecil dari keretas yang bertuliskan: Selamat Pengantin Nyimas Rapiah dan Ujang Kusen. Sebelum memulai berkumpul, Haji Umar berdiri serta berkata nyaring. Katanya, “Saya mewakili yang empunya kenduri, sebelum menyantap hidangan, saya meminta keikhlasan hati, ijinkan saya membacakan pidato serta ijinkan untuk menjadi saksi bahwa saya akan menyampaikan nasihat sebagai tanda kasih sayang kepada anak.” Semua menjawab serempak, “Ya....!” Setelah itu, Karmini, penembang yang tersohor di pasar maju sambil membawa keretas geguritannya. Ia duduk di hadapan pengantin. Dan ia pun menembang dengan pupuh dangdanggula yang kurang lebih jika dibahasa-Indonesiakan menjadi seperti ini: Minta maaf untuk saudara, serta sahabat yang datang, dan mohon ijin untuk menjadi saksi, bahwa saya ada maksud, kepada anakku ingin menasihati, di hadapan semua, berkah yang diharapkan, ingin membuktikan rasa cinta, kepada anakku yang baru menikah, dari habisnya doa.

Page 26: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

22

Berbaurnya kepada sauadara, kepada adikku dan sobat-sobat, sahabat dekat yang sehati, saat susah dan senang, bagaikan saudara saja, sekarang terikat pernihakan, atas bersatunya putraku, makanya habislah doa, semoga ada berkah bagi keluarga, awet jodohnya. Wahai Ujang, Ama akan menasihati, karena Ibu dan Ama sangatlah khawatir, Ujang takutnya terpikirkan terus, semoga Ujang benar-benar mafhum, bahwa Ujang sudah punya kewajiban, yaitu istri, serta restu orang tua, jadi tentulah beda sekali, dengan saat Ujang hanya mengurus diri sendiri, sebelum ada tanggung jawab. Harus berpikir siang dan malam, untuk mengurus istri, jangan kurang sandang pangan, perabotan rumah hendak dicukupkan, selayaknya hidup berumah tangga, sesungguhnya istri itu, jika tidak tercukupi, biasanya suka gelisah, akibatnya akan hancur rumah tangga, janganlah berkurang ikhtiar. Sudah terpikir jalan berkeluarga, lazimnya rumah tangga yang hancur, tak tahan akan kemelaratan, harus rukun-rukun saja, jika melarat tak akan terlalu rapi, istri akan banyak bertingkah, berakibat kecewa, tapi itu tidaklah salah, lazimnya baik di istri maupun suami, hanya ingin kesenangan. Maka sabda Kanjeng Nabi, jika tak kuat mencukupinya, lebih baik jangan saja, beristri tidaklah perlu, malah oleh kangjeng Nabi, sudah diwajibkan sekali, setiap umat Rasul yang beristri, wajib memberi nafkah perabotan dan mas kawin, agar istri betah. Agar dapat menjalankan kewajiban, kamu harus bisa mencari nafkah, jangan mengandalkan dari orang tua, karena pemberian orang tua, tak akanlah cukup, apalagi kamu, dan masih banyak saudara, yang diurus Ama, jadi oleh Ama tak akan terurus, karena sudah berkurang tenaga. Dan lagi jika sejak kini, Ujang terbiasa diberi oleh orang tua, sudah tentu hingga nanti tua, tak akan terbuka hati, untuk mencari rejeki, karena nyatanya orang tua, tak akan kekal hidup, jika Ama sudah meninggal, tentu Ujang terpaksa mencari rejeki, di situlah jalannya. Sedih sengsara yang mencari rejeki, jika kamu kurang keterampilan, tentulah kamu tak kan mendapatkan apa-apa, miskin seumur hidup, meski ada peninggalan hata warisan, kamu tidaklah akan bisa, menggunakannya dengan benar, sebentar pun sudah habis, karena tidak terbiasa mengurus rejeki, akhir yang tentu sengsara. Makanya harus sejak awal, kamu memikirkan untuk mencari nafkah, mungpung masih ada orang tua, ada yang akan menolong, menuntun dan melindungi, serta yang memberi modal, apa yang diperlukan, jika kamu sudah bisa, tentu nanti jika sudah menerima warisan, kamu bisa menggunakannya.

Page 27: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

23

Keduanya kamu harus mengerti, menjalani kehidupan berkeluarga, sangatlah sulit, yang pandai sudah mengatakan, bahwa memerintah seorang perempuan, yaitu istri, sangatlah sulit, dibandingkan dengan memerintah orang senegara, itulah yang jadi perumpamaan, karena begitu sulitnya. Tapi jika sudah rukun dan rapi, akan rela dengan sendirinya mengabdi, tak akan ada bandingannya, tersenangi hati, makanya haruslah mengerti, jalannya kelancaran, carilah sampai dapat, adapun yang sudah lazimnya, perempuan jangan diabaikan, haruslah sangat dibimbing. Artinya genggam siang malam, jangan sampai ada perilaku istri, yang tidak diketahui suami, perbuatan selingkuh tak berterus terang, haruslah dihindarkan, semuanya harus terbuka, barulah akan mulus, adapun caranya, agar kita pun seperti itu, kepada istri harus terbuka. Jangan ada tingkah sembunyi-sembunyi, kepada istri akan berlaku curang, jika demikian sudahlah tentu, istri pun akan berbuat sama, ada cacandran aki, maka haruslah saling bersungguh-sungguh, yang menipu akan ditipu, makanya haruslah bisa, dengan istri senasib sepenanggungan, di kala susah dan senang. Jika bepergian harus bersama-sama, jika di rumah harus bersama, ke utara bersama ke utara, ke selatan bersama ke selatan, jika begitu akan jauh dari rasa curiga, kita dan istri, tak akan mencemburui, tapi jangan salah paham, itu pun bukan saat ada yang semestinya, bepergian untuk sekedar jalan-jalan. Jika kita sedang mencari nafkah, tentu saja harus berpisah, perempuan berdiam di rumah, nah jika sedang seperti itu, siapa yang harus terus mengikuti, mengawasi perbuatannya, apakah harus dikurung, atau dijaga keamanan, Ujang janganlah salah mengerti, bukan begitu caranya. Kepada istri jangan tak hirau, tapi jangan suka cemburu, atau hanya berprasangka jelek, jika istri diperlakukan seperti itu, kamu tentulah pusing, kita harus percaya, tapi rasa cemburu itu, memang sulit sekali, memegang teguh pertimbangan, harus benar-benar pertimbangannya. Sopan santun, peka kepada sak wasangka, Ujang janganlah membiarkan lepas, pegang dengan teguh, jika mampu akan selamat diri, nah itulah akhir kata dari Ama, ingatlah Agus, janganlah mengabaikan, Ujang haruslah menyayangi diri, tingkah laku janganlah salah. Tapi yang nomor satu, akan membuahkan kesuksesan, harus mampu mengambil hati, istri haruslah patuh, kepada suami haruslah sayang, jika sudah demikian, benar-benar telah berhasil, jauh dari mara bahaya, sebab tekad istri yang tak direstui Gusti Allah, hilang oleh kecintaanya.

Page 28: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

24

Agar istri menyayangi, kita dari memulainya lebih dulu, kepada istri haruslah sayang dari dasar hati, perbuatan dan ucapan haruslah diatur, jangan ada yang berakibat menyakitkan, kepada hati istri, haruslah terus dengan kalbu, jangan cinta hanya ada maunya saja, di depan bermanis-manis, di belakang ingkar. Hanya itu Ama memberi nasihat, segera simpan baik-baik di ubun-ubun, segera ikatkan dalam hati, jika Ujang patuh, untuk melaksanakan nasihat ini, Insya Allah sejahtera, selamat sejahtera, sekarang dipersilahkan, semua handai taulan sanak keluarga dan teman-teman, untuk menyantap makanan yang alakadarnya.

Setelah itu mereka berkumpul. Setelah selesai mereka pun kemudian bubar, pulang menuju rumah masing-masing. Tambur dimainkan untuk menghormati tamu undangan yang pulang.

Dikisahkan malam harinya, seperti pada orang tua perempuan saja, diadakan pertunjukkan wayang. Sanak keluarga semua berkumpul, para sahabat pun berdatangan. Si Abdullah comblang di pasar dan yang sudah matang membuat janji dengan Aom Usman, saat itu ikut membantu, sibuk mengangkut perjamuan, cangkir-cangkir dan poci. Ia masih saudara kepada Haji Samsudin meskipun saudara jauh. Matanya seperti mata elang saja, mengawasi Nyi Rapiah dan mencari jalannya.

Pertunjukan wayang begitu serunya. Para penonton di luar begitu berjejal.

Kira-kira pukul sepuluh, Aom Usman datang ke tempat pertunjukan. Ia memakai penutup muka berwarna putih, memakai celana pendek hitam, kain kebawahannya bermotif gerusan sengaja dikerudungkan agar tidak ada yang mengenalinya. Teman-temannya sudah mendekati arena. Semua menyamar. Ada yang membawa gada, ada yang menyelipkan pedang, dan ada yang menggenggam kalak, sebagian menyelendangkan tongkat besi dan pisau belati, untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada kerusuhan karena sudah berniat jelek akan menculik Nyi Rapiah. Tapi serapinya orang yang menyamar, akhirnya diketahui juga karena lain gerak-geriknya lain pula kesannya.

Para pemuda yang awalnya begitu bertingkah, kepada orang lain hanya akan menyeret dan menyikut orang lain, memancing perkelahian, ketika datang rombongan Aom Usman, mereka tampak ciut, berdiam diri tak ada tingkahnya. Dikisahkan pengantin didandani hanya sampai pukul sebelas kemudian mengganti pakaian. Ujang Kusen kemudian menemui sobat-sobatnya, duduk sambil menonton wayang. Begitu pula dengan Nyi Piah bersatu dengan para perempuan muda, tertawa-tawa melihat Si Cepot melawak, sambil menyindir orang yang berada di dalam. Si Abdullah sudah tampak gelisah, seperti anjing yang terbakar ujung ekornya, keluar masuk tak merasa tenang. Ia ingin segera memanggil Nyi Piah agar keluar. Tapi Nyi Piah asyik saja. Kalau sengaja dihampiri, tentu tidak akan menguntungkan. Saat itu Aom Usman sudah dimasukkan oleh Si Abdullah, disembunyikan ke sisi jamban. Sendirian saja agar tak ada yang tahu. Teman-

Page 29: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

25

temannya menunggu di jalan. Semua sudah berjaga-jaga kalau-kalau ada hal yang membahayakan. Si Abdullah sudah membuka rahasia kepada sahabatnya serta meminta tolong. Kalau Nyi Rapiah turun, Ujang Kusen harus terus diajak mengobrol agar ia asyik berbincang, jangan sampai tahu bahwa Nyi Rapiah keluar. Saat pukul dua belas, kebetulan Nyi Rapiah seperti ingin ke belakang. Ia masuk ke rumah. Segera Si Abdullah menghampiri sambil berbisik-bisik dan berjalan-jalan agar tidak ketahuan siapapun. Nyi Rapiah tidak terlalu jelas mendengar hanya samar-samar saja: di jamban ada Aom Usman. Nyi Rapiah bergetar hatinya, takut memang benar ada Aom Usman di sana. Ia berbicara dalam hatinya, “Bagaimana kalau memang benar ada, kalau tidak ditemui, kasihan; kalau ditemui, takut,” Nyi Piah sangatlah bingung dan ragu-ragu. Ia pun semakin tak tahan ingin ke jamban. Ia segera memanggil teman perempuannya untuk mengantarnya. Kata Si Abdullah, “Nyai, ingin ke jamban? Ayo Akang antar.” Ia segera mengambil lentera, Nyi Rapiah pun turun. Si Abdullah kembali berkata, “Nyai, di pinggir jamban ada Aom Usman.” Nyai Piah tak menjawab. Jamban tersebut tidak jauh, hanya di depan dapur saja. Jadi, Nyi Piah ke jamban tersebut tak diusik, tidak diantar banyak orang. Ketika Nyi Piah di dalam jamban, ia tak henti-hentinya berpikir, “Bagaimana ini, temui atau jangan? Jika ditemui, risi melihat para pekerja yang hilir mudik. Jika tidak, kasihan dan takut tersinggung yang akan berakibat kepada dirinya, apalagi putra bupati. Ah, lebih baik ditemui saja sebentar, biarlah, karena bukan bermaksud apa-apa. Agar jangan sampai tersinggung saja.” Nyi Piah menyelinap ke pinggir jamban sambil bertanya, “Siapa ini?” Jawab Aom Usman, “Wah keterlaluan sampai tak kenal. Tak mungkin jika tak tahu. Saya dari sore berada di sini. Ingin bertemu dengan kamu. Lihatlah kaki saya bentol-bentol digigit nyamuk. Sekarang kamu bertanya seperti itu. Jangan bangga karena sedang menjadi pengantin.” Sambil berkata seperti itu, jantungnya berdebar kencang, kakinya berguncang, perkataannya terputus-putus karena sangat gembiranya, tak menyangka Nyi Piah sampai mau menemuinya. Ditambah dengan begitu pegalnya duduk di samping jamban, sejam terasa setahun. Nyi Rapiah berkata, “Saya tak tahu ada gamparan di sini, mengapa gambaran mau duduk di sini? Jika akan menonton, masuk saja agar terlihat.” “Emh, saya tidak akan memaksakan diri karena orang lagi sial. Malah nanti orang-orang meludahi saya karena menyelonong masuk. Tak diundang tak apapun. Sekurang-kurangnya tentu tidak akan ada yang menyambut. Kamu pun tak akan melihat dengan sedikit pun.” “Wah, gamparan suka merendah! Masa iya sampai tidak ada yang menerima. Sebenarnya, apa maksud gamparan sesungguhnya?” “Jika ditanya maksud, saya malu untuk mengatakannya karena tidak mungkin kamu mau mengabulkannya karena diri saya sedang sial, sedang bintang gelap. Sebenarnya, saya semenjak bertemu dengan kamu, saat berdiri di pintu, saya kebetulan lewat dengan menaiki bendi. Sampai sekarang minum

Page 30: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

26

tak berasa, tidur tak nyenyak. Tak ada lagi yang tercipta siang dan malam, hanya kamu. Terbayang-bayang di mata, dan bersemayam di kalbu. Jika berdiri terasa pusing, jika berjalan terasa melayang, lesu karena sangat tak bertenaga akibat tergila-gila. Jika kamu tidak percaya, rabalah mata saya yang mencekung, dada saya yang kurus kering karena sangat tidak tahannya menanggung kesedihan hati. Akhirnya saya datang kemari. Sudah tidak menghiraukan rasa takut karena sudah hilang rasa malu. Yang diharapkan, semoga saya bisa kembali melihat kamu, biarpun hanya sebentar, mudah-mudahan bisa menjadi obat. Jangan sampai terlalu begini perasaan. Atau ingin meluluskan akhir rasa penasaran, sebelum mati saya ingin melihat kamu sekali lagi karena tidak ada peluang untuk bisa panjang umur. Beginilah rasa, melebihi orang yang sedang demam, lebih dari anak yang cacingan. Sekarang ditakdirkan sampai bisa bertemu malah bisa mengobrol panjang karena kasih sayang kamu. Saya tak henti-hentinya berterima kasih. Perasaan saya tiba-tiba menjadi segar kembali, mudah-mudahan saya bisa panjang umur. Balasan saya untuk kamu, tiada lain selain mendoakan semoga kamu rukun dan awet berkeluarga, banyak anak, dibandingkan dengan saya yang hanyalah seperti ini.” Nyi Rapiah yang mendengar Aom Usman memelas seperti itu, hampir saja air matanya tak tertahan. Jika tidak malu, mungkin saja ia telah dirangkul, dipeluk dan dicium. Nyi Rapiah berkata dengan mengiba, “Emh, Gamparan! Gamparan lebih tahu, perempuan itu kuat bendungannya. Tak mungkin datang kalau tidak ada keinginannya. Kalau memang benar menginginkan saya, mengapa tidak meminta kepada Abah. Tentulah dia akan memberikannya. Meskipun orang tua tidak merestui, saya bisa memaksa jika tahu bahwa Gamparan menginginkan saya.” Meskipun Nyi Rapiah agak pemalu, Aom Usman tetap saja terpesona. Kemudian ia berkata, “Kalaulah saya tahu bahwa di pasar ada mestika. Jika tahu, mana mungkin saya terdahului oleh yang lain.” “Wah, Gamparan ini, bisa-bisanya menyanjung. Saya ini bukan mestika tapi manusia jelek. Ada perkataan: seperti orang Jampang, tak tahu sopan santun, besar sambalnya. Saya orang kampung.” “Sekarang jika kamu suka, bagaimana selanjutnya?” “Tak tahulah, Gamparan.” “Bukan begitu. Kalau memang kamu suka kepada saya, lebih baik sekarang ikut saja. Saya sudah siap mati. Jika kamu tidak dapat saya bawa sekarang, saya lebih baik mati!” “Wah, Gamparan! Kalau begitu Gamparan itu kasar. Seperti bukan keturunan bupati saja. Itu bukannya sayang kepada saya tapi akan membuat aib. Tentu akan sangat menanggung aib. Seumur hidup mungkin saya tak akan diakui sebagai anaknya.” “Iya. Terus bagaimana keinginan kamu itu?” “Gamparan seperti bukan lelaki saja. Mengapa terperdya akal, seperti cecak laut saja? Saya harap bersabar saja. Bukanlah kata orang tua: yang sabar adalah kekasih Allah. Semua harapannya akan dikabulkan.”

Page 31: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

27

Aom Usman merasa malu dinasihati oleh perempuan. Ia berkata di dalam hati, “Benar perkataan Nyi Rapiah. Jika saya culik sekarang, tentu akan menggemparkan. Kadangkala akan membuat diri cacat.” Ia pun berkata kembali kepada Nyi Rapiah, “Baiklah saya akan mengikuti kemauan kamu, tapi jangan berbohong. Kasihanilah saya.” “Masa iya, Gamparan. Saya ini anak haji. Tak pernah terkenal tukang bohong, tak pernah terkenal penipu. Bukan seperti Gamparan yang sudah termashur sebagai perayu wanita. Tapi saya punya keinginan, saya sampai nekad seperti ini, ingin sampai menikah. Pantang kalau hanya sebatas main-main saja.” “Wah, Eulis, tak mungkin saya akan sekedar bermain-main saja. Kasihan sekali kamu.” “Iya. Meski saya diminati Gamparan, jika hanya dijadikan penopang pendek saja, tiang cebol, dijadikan parit bambu tepi jalan, tak mau, Gamparan!” “Sesungguhnya harapan saya, saya tak akan tanggung-tanggung untuk menyayangi kamu. Jika saya mendapatkan kebahagiaan, kamu pun tentu turut merasakan. Dan kami tidak berniat punya istri lagi. Rasakan saja oleh kamu.” Nyi Rapiah tersenyum sambil berdehem. Aom Usman berkata, “Mengapa kamu berdehem seperti itu? Apakah tidak percaya? Saya sekarang akan bersumpah. Jika saya berniat jelek, sekarang sedang menghadap timur, jangan bisa kembali lagi ke barat.” Kata Nyi Rapiah, “Cup! Silahkan saja Gamparan sekarang pulang. Sudah terlalu lama.” “Nanti, sebentar lagi. Saya masih ingin mengobrol. Cobalah sedikit berperasaan. Saya tadi mengatakan, baru sekarang merasakan badan saya segar lagi karena bertemu dengan kamu, tolonglah jangan dulu ditinggalkan. Mudah-mudahan terus sehat badan ini. Dan agak mendekatlah bicaranya kemari. Jangan terlalu jauh. Saya tak mendengar dengan jelas.” Saat tangan Nyi Rapiah akan dipegang, Nyi Piah segera menghindar kemudian pergi. Aom Usman untuk sementara waktu bengong saja. Ia terkesima. Baru ia sadar setelah Nyi Rapiah menginjakkan kakinya ke muka pintu, tampak betisnya kuning langsat tersorot damar. Aom Usman pun pingsan. Lima menit ia tak sadarkan diri, seperti Iman Suangsa sewaktu ditinggalkan mati oleh Rengganis. Setelah sadar, ia merasakan tubuhnya lunglai. Ia memaksakan diri menuju jalan menemui teman-temannya. Ketika ia ditanya, ia tak menjawabnya. Ia mengajak pulang mereka. Nyi Rapiah tidak keluar lagi menuju teras. Ia masuk saja ke kamar. Kebetulan tak satu pun yang mengetahuinya karena orang-orang di dapur, tak sempat mengurus hal seperti itu karena sibuk bekerja dan tak sedikit pun ada berprasangka. Ujang Kusen asyik menonton pertunjukan wayang sambil diajak mengobrol oleh sobat Si Abdullah tersebut. pendeknya, selamat tak ada apaun hingga siang.

Page 32: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

28

Dikisahkan Ujang Kusen dan Nyi Piah, kemudian menetap di rumah orang tua lelaki. Selama sebulan, ayahnya tak pernah menyuruh Ujang Kusen untuk bekerja. Ia dibiarkan asyik menikmati madunya pernikahan. Tapi berdasarkan penanggalan bulan Belanda, ia sering disuruh menyebarkan rekening tagihan sewa rumah dan piutang untuk yang lain, dari pagi hingga lepas dzuhur. Tapi Ujang Kusen tak enak sama sekali ketika melihat istrinya. Tiap sore Aom Usman sengaja melewati depan rumah seperti sengaja melewati rumah pacar agar disapa. Dan Nyi Piah biasa duduk menongkrong di dalam tingkeban seperti yang sengaja menunggu yang lewat. Selain itu, banyak lagi mimik muka yang membuat suami tidak percaya. Bukan karena Ujang Kusen pencemburu, tetapi memang sudah seperti itu, perbuatan jelek suka sampai diperasaan suami. Tapi Ujang Kusen memendam hal itu. Maklumlah karena belum parah dan takut berakibat mengusik hati Nyi Piah. Setelah bertemu dengan bulan berikutnya, Ujang Kusen sudah tidak lagi menyebarkan rekening karena pekerjaan bakunya sejak dulu. Pada suatu hati, saat dia pulang selepas menagih sewaan, adik perempuannya yang kecil menyambutkan ke pintu. Ia berbisik kepada Ujang Kusen. Katanya, “Kang, tadi Aceuk tak ada di rumah lama sekali. Begitu datang, datangnya dari samping, saya melihat selendangnya diikatkan ke perutnya ditutupi bajunya. Mungkin agar jangan disangka telah bepergian.” Begitu mendengar perkataan adiknya, Ujang Kusen sangat marah. Mukanya merah, badannya gemetar. Ia kemudian masuk ke kamar. Didapatinya Nyi Rapiah sedang tidur di tempat tidur. Ia berpura-pura tidur. Kepalanya diikat seperti layaknya orang yang sakit kepala. Ujang Kusen bertanya sambil membentak. Katanya, “Pergi ke mana tadi, Piah?” Nyi Rapiah bangun, menjawab sambil suaranya meninggi, “Apa-apaan ini? Membetak-bentak segala seperti sapi kabur saja? Cari gara-gara ya. Kamu baru datang malah bertanya baru pergi dari mana kepada yang diam di rumah. Menyebalkan.” “Kata Si Enah, kamu tadi pergi!” “Mengapa dipercaya anak kecil! Orang dari tadi tidur saja karena sakit kepala. Keluar karena ingin ke jamban. Maklumlah orang sedang tidur, jadi dicari-cari. Nah, itulah orang yang punya dosa, suka membuat gara-gara. Begitu datang ke rumah, memarahi istri.” “Saya pergi itu untuk urusan menagih!” “Wah, biasanya lelaki itu. Pandai mengibul.” Ujang Kusen tak mempan atas perkataannya seperti itu. Ia hanya bisa bingung saja. Kalau tidak dipercaya, mungkin saja benar. Memang dia sendiri sedang penasaran. Jika dipercaya, mungkin saja tidak karena seperti yang sakit dan ucapannya begitu meyakinkan. Dan lagi dalam hatinya Ujang Kusen agak enak sebab Nyi Rapiah sampai ada pikiran tak percaya karena dia bepergian. Dia merasa benar-benar dicintai istrinya. Hingga menjelang malam pun ia masih cemberut. Ia tidak berani mengajak berbicara kepada Nyi Rapiah. Tidurnya pun berpisah. Ia tidur di tikar. Nyi Rapiah pun tak bergeming, pura-pura marah.

Page 33: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

29

Setelah kira-kira pukul empat sore, Nyi Piah bangun. Ia menuju jamban, mandi. Setelah mandi ia mengenakan pakaian yang bersih dan bagus. Ia pun mengenakan bedak. Setelah duduk di tikar, ia menginang, maksudnya akan mengeluarkan cahaya sambil membacakan pekasih si pulet-puket dan aji sabda kahemengan. Ia tujukan kepada Ujang Kusen. Datangnya pekasih tersebut seperti angin puting beliung yang segera menerka Ujang Kusen. Masuklah ke jasmaninya mengikuti tarikan nafasnya dan bersatu dengan darahnya. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh, meresap ke dalam tulang, masuk ke sumsum. Setelah naik ke otak, membuat pusing klingkungan. Begitu turun ke jantung membuat terkesiap pikiran. Sabda kahemengan adalah untuk meredakan amarah. Begitu Ujang Kusen melihat Nyi Rapiah, padamlah amarahnya seketika. Ia mendadak merasa senang. Hanya tinggal sayang bercampur cinta yang ada karena begitu manjurnya pekasih Nyi Piah. Begitulah mengenai dukun-dukun yang ahli dalam urusan pekasih. Tapi bagi pengarang sendiri, bukan begitu. Siapa yang akan kuat menahan, siapa yang tak akan tergoda melihat Nyi Rapiah begitu menggiurkannya. Ujang Kusen bangun, bermanis-manis mengajak berbicara. Nyi Rapiah menggoda dengan mencolek ujung batang hidungnya sendiri.

Page 34: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

30

VIII Dikisahkan Ujang Kusen, hatinya semakin merasa tak enak, tiap datang malam selalu khawatir, tak henti-tentinya takut kecolongan oleh istrinya. Muncullah pemikiran: Lebih baik dihindarkan saja Aom Usman itu karena jika dihadapi, mungkin saja akan berakibat huru-hara. Ayahnya mempunyai penggilingan tebu di satu wilayah, tapi di pekampungan, namanya kampung Sekeawi. Jaraknya dari kota, jika menggunakan jalan darat selama satu hari. Kampung tersebut besar dan ramai. Luas pesawahannya, banyak orang kota yang sengaja berdagang dan membuat perkebunan, menanam tembakau, bawang, umbi jalar, dan palawija lainnya. Kebun tebunya luasnya ratusan bau, yaitu yang biasa dijual ke pabrik Tuan Haji Samsudin. Apalagi dataran di sebelah atas kampung tersebut ada kebun kopi luas sekali. Jadi, di sana tak berkurang untuk kehidupan orang-orangnya. Ujang Kusen sempat berpikir ingin pindah ke sana. Meskipun pabrik gula milik bapaknya telah dipegang oleh kakaknya, tapi bagi dia tak akan mengurangi jalan usahanya. Maksudnya, selain membantu kakaknya, akan berjualan kopi di gunung, akan berdagang barang dan menggarap sawah karena Haji Samsudin itu di sana sawahnya luas. Apalagi dia ingat akan nasihat ayahnya bahwa harus segera mempunyai pekerjaan dan lagi ingin membimbing Nyi Rapiah untuk bekerja. Ia ingat nasihat orang tua, saat dia sekolah, bahwa pekerjaan itu akan menjadi penghalang untuk berbuat jelek. Jika Nyi Rapiah sudah disibukkan oleh pekerjaan, mungkin tak akan ada pikiran untuk hal yang tak karuan. Harapannya seperti itu terus saja dia pikirkan, dipertimbangkan baik-baik. Setelah yakin hatinya, pada satu malam akan ia ceritakan kepada Nyi Rapiah. Tapi awalnya tidak disampaikan secara terus terang. Takut Nyi Rapiah tak setuju. Ia sengaja mengutarakannya secara perlahan dari awal agar Nyi Rapiah mengerti. Nyi Rapiah menjawab tidak panjang. Ia hanya berkata, “Saya menurut saja. Tapi dalam hatinya sangat sedihnya. Merasa berat lebih berat daripada dibebani tujuh buah kasur karena akan berpisah dengan yang mempesona. Mungkin tidak akan melihat lagi yang sedang berjalan-jalan menikmati suasana. Tapi apa boleh buat, karena perempuan itu ibarat ekor, digerakkan oleh suami tentu harus bergerak. Ditambah lagi ia ingat akan nasihat ayahnya, janganlah ke wilayah terang, meski ke lubang sempit sekalipun, istri harus mengikuti. Setelah itu, Ujang Kusen bercerita kepada orang tuanya. Haji Samsudin sangat setuju. Ujang Kusen dan Nyi Rapiah pun dipanggil. Kata Haji Samsudin, “Syukur sekali kalian sudah bermaksud bekerja sendiri. Benar, memang harus seperti itu karena orang tua tidak akan menetas. Mungpung sekarang masih ada orang tua, yang akan memberi modal, mulailah untuk belajar. Tapi untuk memulai, jangan dulu menggunakan modal yang besar, kalau-kalau gagal. Modal kecil saja dulu. Ama akan meberi modal sebesar f 500. silahkan jalankan untuk apapun yang mungkin dapat dikerjakan.” Selain itu, masih banyak nasihat Haji Samsudin untuk hal pekerjaan.

Page 35: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

31

Kabar mengenai maksud Nyi Rapiah yang akan pindah sudah menyebar. Siang malam berdatangan saudaranya yang menemuinya. Ada yang memberi bekal, sebagian hanya menemui saja. Begitu juga, saat sehari sebelum keberangkatannya, rumah Haji Samsudin dipenuhi orang yang melepas rindu dulu, sebagian sampai ada yang menginap. Dikisahkan keesokan harinya sekitar pukul empat, Nyi Piah sudah bangun. Maklumlah dia akan pergi apalagi yang akan pindah biasa tidak akan nyenyak tidurnya, selalu merasa khawatir. Ayam jantan berkokok di tiap kolong. Suaranya bermacam-macam: lingkung lembur, keukeur deukeut, cacag lauk dan putri diuk. Itu semua sangatlah mengiris hati Nyi Rapiah. Kokok ayam diganti suara burung ketilang, saeran, dan burung haur bersahut-sahutan kicauannya, saling mencicit, tandanya pagi akan segera tiba. Ujang Kusen dan Nyi Rapiah bangun dan pergi ke jamban. Di luar sinar matahari belumlah terlalu terang. Setelah mandi, mereka berdandan. Bendi balon ditarik oleh dua ekor kuda yang telah ada di depan rumah. Kompor, pakaian, dan makanan untuk bekal di jalan sudah dinaikkan ke bendi. Tak akan sempat sarapan dulu karena ingin berangkat pagi-pagi agar bisa sampai di tujuan siang hari. Perabotan yang lainnya dari kemarin juga sudah diangkut oleh orang-orang. Setelah pukul enam, semua keluar mengantarkan sampai halaman rumah. Ujang Kusen dan Nyi Piah bersalaman kepada orang tua dan saudara-saudara yang lain. Setelah itu mereka pun naik bendi disertai anak perempuan, pengiringnya. Sebelum pergi, Haji Abdul Raup mengumandangkan adzan dulu. Semua yang ada di sana merasakan hati yang terharu mendengar adzan serta sedih akan berpisah dengan Nyi Rapiah. Apalagi Nyi Haji Abdul Raup, sejak mendapat kabar bahwa Nyi Piah akan pindah, ia sudah gelisah, tak enak makan dan minum karena baru kali ini berpisah jauh dengan anak yang sangat disayanginya. Ia merasakan seperti akan ditinggalkan mati saja. Malam itu hingga pagi harinya lagi, ia tidak tidur samasekali. Kerjaannya hanya menangis sehingga matanya tampak sembab. Begitu juga dengan Nyi Piah. Selama bersalaman kadang ia tak sadar. Apalagi ketika dikumandangkan adzan, ia merasakan bumi ini menjadi terbalik; langit menindihnya. Tak henti-hentinya ia menghapus air matanya. Tetapi untunglah, pagi itu cuaca diselimuti kabut. Seperti alam ikut bersedih ditinggalkan oleh yang cantik. Jadi yang menangis tersebut tidaklah terlalu tampak. Yang dekat pun hanya terlihat samar-samar saja. Setelah adzan dan komat, kusir mencambuk kuda. Maka melajulah kereta tersebut. kuda berlari kencang seperti Dasamuka membawa terbang Dewi Mantili. Kampung pasar sudah terlewati dan kini masuk melewati alun-alun. Nyi Rapiah hatinya terkesiap melihat babancong dan gedung yang diselimuti kabut, seperti yang berselimutkan sarung. Ia seperti merasakan bertemu dengan Aom Usman. Tak lama kereta pun sudah keluar dari kota. Kuda masih berlari kencang. Kabut sudah agak menipis. Mentari sudah cukup tinggi. Jalannya datar dan rata karena baru saja diperbaiki. Kini yang terlewati adalah sawah berselang dengan perkampungan atau perkebunan. Pohon kelapa dan pinang

Page 36: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

32

tampak menjulang tinggi di tepian jalan dan sebagian di pertengahan perkampungan. Pohon enau dan buah-buahan, seperti: durian, rambutan, pisitan, manggis, dan lainnya begitu banyak di kanan kiri jalan. Karena Nyi Rapiah seumur hidup baru merasakan keluar dari daerahnya dan melihat perkampungan di tepian kota, tak terkira kagetnya. Itu menjadikan dirinya terhibur. Setelah kira-kira pukul sepuluh, sampailah di sebuah sungai besar. Dari sana harus menyebrang menggunakan sasak kambang. Kemudian Ujang Kusen dan Nyi Rapiah turun. Kuda dilucuti. Mereka menaiki perahu. Kuda dan keretanya pun sama-sama dinaikkan. Melajulah sasak kambang ke tengah didayung oleh dua orang. Nyi Rapiah sangat takut. Ia gemetar memegang erat kepada suaminya. Maklumlah, seumur hidupnya ia baru melakukannya. Ia pun baru melihat sungai besar. Setelah sampai di seberang sungai, mereka naik ke darat. Ujang Kusen mampir dulu ke pengelola tempat tersebut, maksudnya akan membayar jasa angkutannya. Satu orang seharga satu sen. Kereta dan kudanya 5 sen. Setelah itu ke warung akan istrirahat sambil makan dulu. Semua pun menikmati makanan. Setelah selesai makan dan puas beristirahatnya, mereka pun melanjutkan perjalanan. Kuda larinya kencang lagi karena sudah beristirahat dan sudah diberi pakan. Semakin jauh, semakin jauh, semakin mendekati gunung. Jalan menjadi menanjak dan menurun. Gunung yang tampak dari kota seperti membiru dengan puncak putihnya yang diselimuti awan, ternyata setelah didekati hilang kesan birunya. Hanyalah tampak pepohonan saja. Itu pun membuat Nyi Rapiah terheran-heran. Ia tak henti-hentinya bertanya kepada suaminya. Semua ditanyakan karena ia juga perempuan pintar. Jalan menyusuri gunung, dari arah kanan adalah hutan dan kebun; dari kiri perkampungan yang berkelompok-kelompok berselang dengan kebun atau lapangan dan ada pula sawahnya. Suara burung hutan terdengar ramai mencicit. Saling menderuk suara puyuh dan dederuk; saling mencicit suara burung-burung kecil. Menggema panjang suara burung siituncuing, perkutut dan tekukur. Rupa-rupa burung hutan, seperti: bultok, setgungung, caladi-kundang, walik, keras omas, burung uncal, cangkurawok, kadanca, burung dudut dan lainnya, semua sedang berahi, seperti menyambut kepada yang cantik yang baru saja datang dan rindu akan matahari karena hari baru saja terang, selamat tak bertemu. Dikisahkan Ujang Kusen dan Nyi Rapiah, setelah mentari menuju barat, mereka sampai di Sekeawi. Saudaranya sudah menyediakan rumah kosong. Karenanya, mereka langsung memasuki rumah tersebut. Semua tetangganya, apalagi saudaranya, semua menemui Nyi Rapiah. Ada yang membantu membereskan kamar, ada pula yang menyediakan makanan. Ujang Kusen dan Nyi Rapiah sudah menetap di Sekeawi. Tapi beberapa minggu belumlah memikirkan untuk bekerja. Mereka beristirahat dulu dan ingin mengetahui keadaan lingkungannya. Nyi Rapiah sangat tidak terbiasa dengan lingkungan barunya. Mulanya ia tinggal di daerah yang begitu ramai, sekarang berada di kampung tepi gunung. Awalnya terbiasa melihat gedung-gedung yang bagus dan asri, di situ malah kebanyakan rumah beratap jerami,

Page 37: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

33

saung lisung, ranggon, dan lumbung di halaman tampak kotor. Di teras berceceran tahi ayam dan ranggap ayam yang besar, sangat menjijikan. Tapi rumah saudaranya masih bisa disebut bagus, rumah kayu dengan atap genting yang dicat. Rumah yang ditempatinya pun sangat jelek, tak ada yang akan menjadikannya betah. Apalagi kampung tersebut cukup jauh dari kampung lainnya. Yang tampak dekat hanyalah orang yang berbeda kampung yang kebetulan ada di sekitar rumahnya saja. Yang paling aneh adalah pabrik gula yang tampak lain sekali dibandingkan dengan pabrik-pabrik di kota. Begitu melihat ke dataran tinggi, tampak gunung dan bukit, pepohonannya tampak gelap, tempat babi, rusa dan kijang, malah ada juga macannya. Di mana letaknya yang bisa membuat betah? Jangankan untuk yang sedang kalut pikiran, bagi yang sehat pun masih saja merasa tidak kerasan, menyebabkan sakit keras karena merana. Tersebutlah Ujang Kusen yang sudah mulai bekerja. Uang modal dari ayahnya yang Rp 200,- sudah ia belikan pakaian-pakaian batik ketika di kota. Barang-barang tersebut Nyi Piah yang memegangnya. Yang Rp 200,- lagi dibelikan kebun kopi. Adapun yang Rp 100,- lagi untuk modalnya. Ia berpikir sederhana saja, jika modal tak cukup, ia akan meminta lagi kepada orang tuanya asalkan sudah memang bisa terlihat kemungkinan keuntungannya. Cara tersebut bukanlah jalan yang jelek. Apalagi jika diikuti oleh kesuksesan serta kesungguhan, tentulah akan menjadikannya kaya. Dagangan Nyi Piah laris juga. Barang-barangnya dibeli oleh orang-orang gunung dan orang-orang kewedanaan. Dan lagi saat itu belum musim kopi dan musim panen. Ujang Kusen menggarap sawah. Saat itu sudah musim membajak sawah. Dan di sela-sela itu ia juga sering membantu pekerjaan saudaranya. Kebun kopi saat itu belum ada yang harus diurus. Sampai ke musim petik, menunggu sebulan lagi. Itu harus sengaja berada di tempat, tak bisa dikerjakan dari rumahnya. Ujang Kusen tampak sangat gesit mencari jalan nafkah. Meskipun anak muda dan baru memulai, tampak sudah membuat orang lain kagum melihatnya. Tidak mentang-mentang anak orang kaya, tidak sombong karena orang kota, ia begitu semangat untuk bekerja. Ada yang bisa diandalkan orang tuanya. Dikisahkan bulan depannya kopi sudah masak. Para ahli kopi sudah berdatangan pindah ke kebun kopi, bermaksud akan menetap sementara waktu di sana. Ujang Kusen berunding dengan istrinya. Ia mengajak untuk berada di gunung beberapa waktu sambil berjualan barang dan beras. Ujang Kusen berkata, “Sudah tentu akan laris jualan barang itu karena biasanya orang gunung akan membeli pakaian saat musim panen kopi. Apalagi jika sengaja dijajakan ke tempatnya serta dipiutangkan atau ditambahkan, tentu akan semakin berminat saja. Nyi Rapiah menyetujui kemudian berkemas-kemas untuk menyediakan perbekalannya karena bukan waktu yang sebentar saja, mungkin sampai beberapa bulan. Ujang Kusen pergi ke penggilingan padi. Ia mencari beras untuk dijual.

Page 38: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

34

Setelah siap dan sampai di hari yang telah diperhitungkannya, mereka pun pergi. Nyi Rapiah menunggangi kuda betina didampingi oleh seorang gundal. Ia mengenakan samping bang sarung. Mengenakan baju solentrang gadung diparet oleh kancing emas buah huni. Mengenakan dudukuy pelentung dihiasi kain emas; selendang lokcan dililitkan ke leher; memegang cambuk dan tali kendali. Ia mengikuti cara berpakaian perempuan menak jaman dulu. Tampak sangat menarik karena bisa memadupadankannya. Ujang Kusen pun menunggangi kuda jantan hitam Sandel sambil menyelendangkan senjata. Pembantunya dibawanya dari kota; ikut tapi berjalan kaki saja bersama-sama dengan kuli yang memanggul tempat tidur, perbekalan, dan barang dagangan. Tampak menarik hati tingkahnya orang yang sedang melakukan perjalanan. Yang paling depan adalah Nyi Rapiah diikuti rombongan yang memanggul barang-barang. Ujang Kusen berada di barisan paling belakang yang bertindak sebagai jaga pati, jaga baya. Banyak orang yang mendadak duduk bersimpuh. Disangkanya menak yang akan pergi ke pesanggrahan. Belumlah jauh dari perkampungan, jalan sudah mulai menanjak. Semakin jauh semakin menanjak sehingga Nyi Piah terpaksa harus turun. Jika sudah menemui jalan datar atau yang sedikit mencekung, barulah ia kembali naik kuda lagi. Maklumlah, orang yang tak pernah berjalan kaki jauh, hanya berdiam diri di rumah saja, tiba-tiba sekarang harus menanjak dengan kemiringan yang begitu tinggi, tentulah akan terasa sangat menyiksa. Mukanya memerah; keringatnya bercucuran seperti yang mandi saja. Jika sedang di kota, kalau sempat bepergian jauh, tapi pernah sampai harus jalan kaki. Harus saja naik dokar atau bendi. Kira-kira pukul sepuluh, tiba di kampung pesanggrahan karena di sana ada pesanggrahan untuk beristirahat para pembesar yang sedang mengotrol kebun kopi. Kampung tersebut luas sekali. Sudah pasti yang berasal dari sana, yang berasal dari daerah sekitar yang lebih landainya pun banyak yang pindah ke sana, sengaja berkebun, berladang, menanam kacang tanah, ubi, kentang, padi, dan lain-lain. Tapi yang menjadi pekerjaan utama mereka adalah memetik kopi. Saat musim kopi, begitu ramai sebab banyak orang kota yang sengaja mangkal untuk jual beli kopi; sudah barang tentu dengan pemilik kebunnya. Tetapi rumah-rumahnya begitu jelek. Kebanyakan terbuat dari tiang bambu, atap jerami, dan memakai atap dari bilah bambu. Rumah Ujang Kusen pun tak berbeda dengan rumah-rumah lainnya. Maklumlah hanya dibeli dengan hanya tiga ringgit. Modelnya julang ngapak, biliknya tidak rangkap; tungku perapiannya pun di dalam rumah saja. Dari depannya ada pajagan, untuk mengurus kopi. Setelah sampai ke sana, Nyi Piah terheran-heran melihat rumah yang begitu tidak akan membuatnya betah. Ia merasakan seperti masuk ke saung sawah saja. Ia duduk di pelataran tengah rumah; menselonjorkan kakinya. tak satu kata pun ia keluarkan. Tampaknya ia kesal dan putus harapan. Lagi pula, ia merasakan kakinya yang sakit dan bengkak-bengkak. Lututnya terasa patah karena telah berjalan di permukaan yang menanjak; pantat terasa panas karena lama menunggang kuda. Tapi untunglah, tidak sampai lecet-lecet.

Page 39: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

35

Ujang Kusen mengerti bahwa istrinya merasa tersiksa. Ia membujuk dengan perkataan yang manis. Katanya, “Nyai, cape? Ikhlaskan saja, Lis. Layaknya orang, jika ingin mengunyah harus mau bekerja.” Nyi Rapiah menjawab sambil cemberut, “Di rumah pun saya tidak memakan bekatul.” “Bukan itu maksudnya. Bukankah kata orang tua, jika ingin makmur harus mau sengsara dulu. Sabarlah. Anggap saja sedang belajar. Jika lelah, istrirahatkan saja. Nanti juga akan pulih kembali. Tidurkan saja. Kakimu akan saya obati dengan air abu pembakaran yang hangat.” Ujang Kusen menggelar tikar dan bantal untuk tidur Nyi Rapiah. Ia menyeduh air abu tersebut dan dilumurkan ke kaki istrinya. Ia mengerjakan semuanya sendirian. Lelah tak dirasakannya. Ia ingin membujuk hati Nyi Rapiah. Setelah itu ia membereskan tempat yang akan dijadikan kamarnya. Dinding bambunya diselimuti kain agar tidak masuk angin. Dari arah depan dipasang gordin. Kelambunya diikatkan ke bilik lubang langit-langit saja, tak memakai ranjang. Kasurnya tergeletak hanya dialasi tikar; begitu alakadarnya, jauh dengan ketika ia jadi pengantin. Lama sekali Nyi Rapiah berselonjoran. Makan pun ia tak berselera. Itu bukan karena merasa cape, tapi karena merasa kecewa saja. Ia merasa disengsarakan oleh suaminya; dibawa terlunta-lunta. Ujang Kusen sangat terkejut. Nyi Piah terus sakit. Tapi sekitar pukul satu, Nyi Piah bangun ingin mandi. Ia diantar oleh teman-temannya. Pancuran air berada di dataran yang landai. Airnya tampak bening sekali. Dari bukit tampak seperti dekat, ternyata hanya terkesan dekat saja. Ketika ditemui, cukup jauh juga sampai lutut Nyi Piah terasa lemas saat setelah jalan menurun. Begitu pula saat ia kembali, ia menaiki permukaan yang menanjak; tersengal-sengal. Saat di jalan pun keringat sudah bercucuran lagi karena lelah dan panas. Begitu terasa tidak nyaman. Baru ashar Nyi Piah sudah merasa kedinginan. Ia menggigil. Sangat terkejut karena disangkanya demam, ternyata layaknya di atas gunung semua pun merasakan dingin. Hingga malam kembali, malah sampai keesokan harinya lagi dingin masih terasa. Yang paling terasa dingin adalah menjelang pagi. Tubuh terasa tak bertulang karena terlalu dinginnya. Barulah udara agak hangat setelah pukul sepuluh siang. Saat dingin tersebut kulit Nyi Piah yang awalnya kuning langsat menjadi kusam. Karenanya, ia terkejut. Ia takut modalnya menjadi rusak. Sedang tidak betah ditambah lagi seperti itu, semakin tidak betah saja. Pada hari kedua, ia bersantai di halaman, mengenakan syal yang dikerudungkan. Ia sengaja menghibur hatinya atas perasaan tidak betahnya dan agar tidak terlalu kedinginan. Ia menghampiri orang yang sedang memilih kopi di penjagaan orang lain. Yang biji tunggal disatukan dengan yang biji tunggal; yang berbiji ganda disatukan dengan yang sejenisnya; ketiganya, yang jelek disatukan dengan yang jelek. Setelah itu ia pergi ke pintu gapura yang letaknya di sebelah atas tanjakan. Begitu ia melihat ke arah utara tampak hamparan luas tak berbatas hingga jauh. Gunung di seberang tanah datar tampak jelas

Page 40: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

36

berbaris. Warnanya jelas sekali. Ada yang seperti bercahaya tak merata seperti kain emas yang tersorot lembayung jingga. Puncak-puncaknya tertutup awan putih seperti yang berkerudung karena susah hati, mengkhawatirkan Nyi Piah yang hidup terlunta-lunta. Di arah landai tampak asap pembakaran mengepul. Nyi Piah membayangkan itu seperti orang yang sedang membakar pedupaan; membakar dupa untuk dirinya yang mengembara di puncak gunung agar segera pulang. Ia melihat kembali ke arah landai yang lain, tampak hamparan sawah seperti menyatu, berwarna hijau yang sungguh menarik hati. Apalagi saat itu sedang subur-suburnya dan tinggi; sebagian sudah bermunculan bunganya; di bagian paling bawah, tempat persembunyian tekukur. Di tengahnya tampak berjumput-jumput pemukiman, seperti pulau di tengah lautan. Itu semua menyebabkan terkenang-kenang masa silam bagi orang yang sedang bersusah hati. Agak di sebelah barat, tampak gedung-gedung dan tembok-tembok yang sebagian tidak tampak jelas karena terhalangi pepohonan; seperti orang yang sedang bersembunyi dari Nyi Rapiah. Tampak pohon kelapa dan enau berjejer. Mesjid seperti tampak menjulang melebihi pohon kelapa. Nyi Rapiah begitu tersentuh hatinya. Ia berkata dalam hatinya, “Mungkin itu kota. Sedang apa Ema dan Abah. Mungkin sedang sakit karena saya merasakan begitu gelisahnya dan hati selalu khawatir.” Saat berpikir seperti itu, ia pun meneteskan air mata. Semakin lama semakin teringat kepada keluarganya yang di kota. Semua pengalamannya yang lalu terkenang kembali. Tak henti-henti air matanya berucuran. Jika anak kecil mungkin sudah menangis berguling-guling. Hingga menjelang malam dia masih berdiri di tepi jalan. Ia sudah lupa akan dinginnya saat itu. Suaminya memanggil dia. Ia menyuruhnya masuk karena sudah senja. Nyi Piah pun kembali. Tapi ia tak cepat-cepat menghampiri suaminya. Ia malah menghampiri orang yang sedang memilih kopi. Maksudnya akan menghibur diri agar tidak terlihat menangis oleh suaminya. Tapi meskipun demikian, karena tampak lain, Ujang Kusen akhirnya mengetahuinya juga bahwa istrinya sedang bersedih hati. Begitu sangat membuatnya gelisah. Ketika pikirannya berpusat kepada jalan mencari nafkah, melihat istrinya seperti itu, tiba-tiba dia merasa hatinya kacau. Ia berpikir, “besok akan dialihkan perhatiannya kepada kebun kopi, jangan sampai terlalu banyak pikiran seperti itu.” Setelah hampir malam, Nyi Piah pun masuk ke rumah dan langsung ke kamar; berbaring karena tidak tahan menanggung kesedihan. Setelah agak lama, suaminya menghampiri. Ujang Kusen berkata, “Nyai, jika belum mengantuk, lebih baik bersiap-siap menyediakan bekal untuk besok. Kita akan memetik kopi di kebun.” Nyi Rapiah bangun tapi sambil beranjak seperti agak marah. Ia kemudian memanggil pembantunya dan menyuruh beres-beres. Ujang Kusen tak henti-hentinya berusaha membujuk dengan halusnya. Pikirnya: mudah-mudahan perlahan dia akan betah, melihat suaminya begitu baiknya, Nyi Rapiah pun sedikit mulai lunak. Ia mengerjakan sendiri membuat makanan, apalagi akan seharian penuh di kebun. Apa yang perlu dibawanya besok, ia menyediakannya. Setelah selesai serta setelah agak malam, ia pun tidur.

Page 41: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

37

Baru pukul tiga dini hari, tiap rumah orang-orang sudah bangun. Tapi satu pun tak ada yang pergi ke air karena tempatnya jauh dan begitu masih dinginnya. Hanya cuci muka saja dengan menggunakan kele. Para perempuan menyalakan perapian, menanak nasi, dan menjarang air. Sementara menunggu nasi matang, masih gelap orang-orang gunung sudah bersarapan. Sebagian nasinya dijadikan timbel, untuk bekal suaminya bekerja, dibungkus oleh kain pembungkus, disatukan dengan bungkus sambal dan garam. Setelah itu barulah berangkat kerja. Ada yang pergi ke kebun kopi, ada yang ke kota membawa dagangan kayu bakar dan lain-lain. Anak lelakinya, begitu juga. Jika tidak ikut dengan ayahnya, mereka menggembala domba, kambing atau kerbau ke hutan. Begitu juga dengan anak perempuan, tak ada yang berdiam diri; menumbuk kopi atau membantu menjemur kopi di halaman dan lain-lain. Karena begitu ributnya, Nyi Piah dan Ujang Kusen yang biasa kesiangan bangunnya, saat itu terpaksa bangun pagi-pagi sekali. Setelah sama-sama cuci muka mereka berdandan. Untuk sarapan, mereka tidak terbawa untuk melakukannya karena mereka orang kota. Setelah pukul enam, Ujang Kusen dan Nyi Piah berangkat diiringi oleh yang lainnya, laki-laki dan perempuan. Karena begitu dinginnya, Nyi Piah memakai baju sampai tiga rangkap. Ia mengenakan kaos dan selop dan menutup kepalanya dengan syal. Tetapi meski pun demikian, keluar juga sedikit ingus cairnya. Hidungnya seperti cabai. Kebun tersebut jaraknya agak jauh, memakan waktu setengah jam oleh lelaki yang biasa melakukannya dan tak henti-hentinya berjalan meskipun jalan menanjak. Nyi Piah tampak sangat tersiksa. Baru setengah perjalanan, selopnya sudah ia buka karena sakit. Jika tidak memakai selop, sama juga sakit karena tidak biasa berjalan kaki jauh dan tidak memakai selop. Sudah serba tidak nyaman saja. Karena diusahakan terus untuk sampai, ia pun akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Itu pun lama sekali di jalannya, satu jam lebih. Begitu tiba, orang lain sudah lama memetik kopi; oleh orang yang meminta untuk jadi pemetik sudah terdahului. Nyi Piah sangat terkejut melihat kebun kopi. Ternyata sangat luas. Seluruh permukaan puncak bukit dan tepian gunungnya penuh dengan pohon kopi, rapi berjajar saling bersilangan. Di bawahnya bersih tak ditumbuhi rerumputan penggangu. Pohonnya ada yang sebesar paha, ada yang sebesar betis. Tetapi kebun baru yang pepohonannya masih kecil, baru sebesar ibu jari kaki atau sebesar tangan anak kecil, tapi sudah berbuah. Buahnya yang sudah masak merah menyala; yang tua sekali berwarna agak ungu. Nyi Rapiah jika minum kopi sering melihat, tapi jika melihat pohon dan buahnya, baru saat itu. Setiap pemetik kopi, laki-laki perempuan, sama-sama menggendong kolanding atau endong kadut. Adapun cara memetiknya, setiap yang dapat terjangkau, dipetik dari bawah saja. Tapi jika tinggi dan batangnya terlalu jauh menjulur ke luar, baru memakai tangga. Jika kolanding sudah penuh, kemudian dipindahkan ke telebug. Yang memetiknya adalah para kuli saja. Aturannya mertelu; satu bagian untuk yang memetik, dua bagian untuk yang punya kebun.

Page 42: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

38

Daripada kesal berdiam diri, Nyi Rapiah pun ikut memetik sambil mengawasi para kuli kalau-kalau ada yang menyembunyikan hasil petikannya. Seorang nenek-nenek, dalam gembolannya ada kopi yang sudah ngekes. Nyi Piah melihatnya. “Kopi apa itu, Nini?’ “Dari ngekes, Juragan.” “Bagaimana ngekes itu?” “Hasil memungut, dari tahi musang.” “Mengapa tidak disimpan ke dalam telebug?” “Tak pernah, Juragan. Jika hasil memungut, itu untuk yang memungut saja. Lazimnya seperti itu.” “Oh, begitu?” “Iya, Juragan.” Setelah pukul sepuluh, Ujang Kusen dan istrinya makan. Nyi Piah tampak sangat bernafsu menyantap makanan habis cape dan lagi setibanya di gunung, makan itu akan terasa nikmat saja. Tentulah jika makan yang enak-enak, sekalipun makan bakar singkong dan gula juga begitu berselera. Padahal sewaktu di kota, tak pernah menakan yang begitu. Bukan hanya Nyi Piah saja yang makan nikmat itu, Ujang Kusen pun begitu juga. Sampai saat makan waktu itu, sama-sama tertawa karena sama-sama bersaing makan lahap. Ternyata di tempat dingin, biasa suka nikmat makan. Hingga waktu ashar Ujang Kusen memetik kopi. Setelah itu para pemetik pulang. Kopi yang telah dipetik dibagi-bagi sesuai perjanjian dengan para kuli. Tapi kebanyakan para kuli meminta uangnya saja. Kopinya dijual kepada yang punya kebun. Begitulah biasanya. Dengan berusaha keras, malam harinya Nyi Rapiah berkata kepada suaminya, “Kang, saya ini sudah tidak kuat untuk tinggal di sini. Bukannya tidak mengabdi, tapi maklum saja, saya perempuan juga tidak bisa sejak awalnya, harus turun naik gunung, ke pemandian pun pun begitu sulitnya. Bukannya saya tidak mengabdi. Saya sudah tidak kuat. Barangkali kita tempuh dari kampung saja. Saya tinggal di kampung sambil berdagang. Akang pulang pergi kemari. Dan lagi, keinginan saya janganlah terlalu menyengsarakan diri karena Akang anak orang kaya. Bapak saya pun tak melarat. Kita mencari nafkah di kota saja sambil berkumpul dengan orang tua. Kita dagang barang atau apa saja, tak akan berkurang cara untuk memperolehnya. Tinggal jauh dari kota segalanya membuat menjadi tak biasa, segalanya tak bisa dikerjakan karena bukan ahlinya. Begitu juga dengan saya yang perempuan. Meskipun Akang, juga tidak akan seperti di Kota.” Begitu mendengar perkataan Nyi Piah seperti itu, Ujang Kusen hatinya sedih, terasa sumpek melebihi apapun. Sementara waktu ia tidak menjawab. Ia masih berpikir untuk mengatakan sesuatu. Ia bicara dalam hatinya, “Ini cara yang tidak logis. Semua uang sudah di luar. Jika ditinggalkan, tak akan mungkin kembali lagi. Jika ke kebun kopi berangkat dari rumah, selain tersiksa perjalanan, sama saja dengan membuang-buang waktu saja sebab datang kemari sudah siang; pulangnya pun harus masih siang karena takut di jalannya. Ketika ditinggalkan begitu lamanya, yang ditunggu

Page 43: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

39

mungkin berbuat semaunya, maklum manusia. Kata guru: selain diri sendiri, tak ada yang dapat dipercaya sekali. Tapi bagaimana caranya? Jika tidak dituruti, barangkali akan menjadi terpecah atau menjadi sakit karena memikirkan itu. Jadi memancing kemarahan yang lain atau membuat beban saja. Jika dituruti, tentu akan berakibat rugi. Mungkin orang tua akan mengatakan: jika sudah berseberangan dengan istri, segala urusan tak akan beres. Ah, apa mau dikata, daripada menjadi sengsara pikiran, lebih baik dituruti saja. Tapi jika meminta pindah kembali ke kota, apapun alasannya tak akan dituruti sebab sama saja dengan mengorbankan diri atas apa yang telah diperjuangkan; menitip ayam kepada elang; menghanyutkan diri ke sungai. Setelah berpikir seperti itu, Ia menjawab, “Ya, kalau memang sudah tidak kuat, mau apalagi. Dikerjakan dari rumah, Akang menurut saja. Sejak awal, niat Akang turun naik gunung, untuk Nyai seorang. Adapun yang membuat Akang mencari nafkah, ingat kepada nasihat Ama. Katanya, jika sejak muda tidak berikhtiar, di hari tua tentu akan sengsara. Meski mendapat warisan, tak akan bisa memanfaatkannya. Tapi jika Nyai mengajak kembali ke kota, apapun alasannya, tak akan dituruti sebab di sana Akang tak akan berani bisa mencari nafkah. Untuk dagang, sudah terlalu banyak. Keduanya, Akang tak bisa mantap berdagang, walahualam, karena tidak suka. Memang benar Akang ini anak pedagang. Yang bisa dikerjakan hanya bertani.” “Biarlah tidak pindah ke kota lagi juga, asalkan jangan di atas gunung saja.” “Baiklah, tapi akan minta waktu. Jangan sekarang-sekarang. Nanti minggu depan sebab lagi tanggung bekerja. Bersabar saja. Empat hari lagi.” “Ya, tapi saya tak akan ikut lagi memetik kopi, cape.” “Tak apa-apa. Tinggal saja di sini. Besok juga Akang tak akan pergi ke kebun. Akan mengurus kopi dulu. Kita suruh si Tahar saja.” Besoknya Ujang Kusen menjemur kopi. Ia tidak terlebih dahulu mematangkan kopinya karena sudah matang semuanya. Tapi hari itu, menjemurnya tidak bisa sampai terik matahari karena telanjur turun hujan. Hujan turun hingga malam, malah sampai besok paginya. Karena ia akan cepat-cepat pulang lagi, kopi kemudian digarang. Maka dalam satu hari, kopi sudah kering. Besoknya ditumbuk dibuang kulitnya. Setelah itu kemudian dimasak agar habis lapis bijinya. Menjelang sore, kopi sudah bisa terpilih karena belum terlalu banyak. Besoknya kopi nomor satu dan dua dikirim ke gudang. Ia ingin tahu hasil memetik jadi berapa rupiah. Ia akan membandingkan dengan hasil ke depannya sebab nanti akan dipercayakan kepada orang lain. Orang yang dari gudang membawa uang sebesar 25 rupiah. Nyi Rapiah tersenyum melihat uang yang begitu banyaknya seperti mudah menghasilkan uang dari kopi tersebut. kepada uangnya ia suka, tapi yang tak maunya itu harus tingggal di gunung. Kusen mengatur pekerjaannya seperti ini: yang diberi kuasanya adalah Si Tahar, untuk mengurus memetik dan mengolahnya di kampung. Yang memegang kopinya yang sudah dipilih dan yang menjualnya ke gudang adalah

Page 44: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

40

dia sendiri. Selain itu, Ujang Kusen rajin memeriksa yang mengolah kopi dan sesekali akan menengok ke kebun. Adapun menyangkut barang, sejak Nyi Piah masih di sana sudah diambil banyak orang; kebanyakan berhutang dulu. Saat itu ia serahkan kepada saudara misannya, namanya Ujang Ali untuk menjual dan menagih hutangnya. Begitu pula dengan dagangan beras, ia serahkan kepada Ujang Ali saja. Ujang Kusen bertindak sebagai kepalanya. Setelah rapi mengatur pekerjaan, berangkatlah Ujang Kusen dan Nyi Piah kembali ke kampung Sekeawi. Sejak saat itu Ujang Kusen hampir tiap hari pulang pergi ke gunung mengurus pekerjaannya. Kecuali jika sangat sibuknya atau di kampungnya ada keperluan, ia tak berangkat. Begitu juga, jika sedang tanggung bekerja, ia pun biasa menginap di gunung.

Page 45: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

41

IX Dikisahkan pada suatu hari, sekitar pukul satu, Nyi Piah berada di depan teras tampak bersantai seorang diri. Ujang Kusen sedang pergi ke gunung. Adapun pembantunya sedang bekerja di dapur, menyediakan makanan untuk majikannya. Tampak Nyi Rapiah sangat murung. Ia merasakan tidak betah dan ingat kepada orang-orang di kota. Kepada orang tuanya, ia sudah sangat rindu, begitu juga kepada adik perempuannya yang begitu dekat kepadanya. Ia merasakan terbayang-bayang di pelupuk mata. Karena tidak tahannya, maka menangislah ia. Tiba-tiba muncullah Si Abdullah, comblang Aom Usman membawa bal kain encit. Nyi Piah betapa terkejutnya. Hatinya berdebar. Ia merasa terkejut bercampur gembira. Dari kejauhan, Si Abdullah sudah tersenyum saja. Segera Nyi Piah ke dalam rumah, mengambil tikar. Ia menggelarkan tikar itu di teras. Katanya, “Selamat datang, Kang! Dengan siapa datang kemari?” “Sendiri saja. Bagaimana kabarnya, Nyi?’ Nyi Rapiah menjawab sambil tersenyum, “Berkah, Kang. Silakan duduk. Membawa apa, koq kelihatannya banyak yang dibawa?” “Saya membawa encit untuk dijual. Pergi ke mana suamimu?” “Tak ada. Sedang pergi ke gunung.” “Sayang ya. Padahal akang ingin bertemu. Sudah lama tidak bertemu dengan di. Nyai dengan siapa di sini?” “Saya dengan pembantu perempuan dari kota itu.” “Mengerjakan apa suamimu di gunung?” “Sedang memetik kopi.” “Mengapa Nyai tidak ikut serta?” Nyi Piah menjawab sambil tersenyum, “Ah, tidak betah, Kang. Kemarin ikut sebentar.” “Ah, jangan begitu. Sabar saja karena dengan suami.” “Ah, dengan suami juga kalau tidak betah, ya tidak betah saja.’ “Suka menginap suami di sana?” “Tak tentu. Kadang-kadang menginap, kadang-kadang pulang lagi.”

“Kira-kiranya sekarang bagaimana? Akan menginap?” “Tak tahu. Tak bisa dipastikan. Bagaimana banyaknya pekerjaan saja.” “Wah, saya rasa nyaman di sini, Nyai! Akang mah betah.” “Tentu saja betah, Kang. Rumah bagus, gedung, dan bersih. Banyak

yang bisa dilihat untuk menghibur diri.” Si Abdullah tersenyum. Ia mengerti bahwa Nyi Rapiah sangat teringat

akan Aom Usman. Tentulah akan terhubung ke perasaan yang sama karena Aom Usman pun tampak begitu gelisahnya, seperti anak yang dihentikan penyusuannya. Ia semakin berani menunjukkan maksudnya karena jelas maksud kedatangannya adalah memang disuruh. Adapun encit tersebut, itu hanyalah alasan saja, bukan sengaja akan berdagang. Ia pun kemudian berkata, “Bagaimana, Nyai... suka ingat orang kota?”

Page 46: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

42

“Aduh, Kang... tentu saja. Sampai terbawa-bawa mimpi segala. Bagaimana di rumah, Ema, Abah, sehat-sehat? Saya ingat terus Si Nyai. Baru saja, saya sampai hampir menangis.”

“Berekah. Nyai... semua sehat yang di barat, di timur. Tetapi sewaktu Akang kemari, Akang tak sempat menemui mereka dulu karena buru-buru. Maklum saja karena Akang orang tidak punya, akan berjualan encit ini, mencari sedikit laba. Jangan sampai sama sekali tidak bekerja. Malu sama istri.”

“Coba, saya lihat, Kang. Wah bagus! Saya akan beli, Kang. Membawa sedikit saja. Hanya ini saja, Kang?”

“Hanya itu saja. Tapi lumayan saja. Itu pun bukan milik Akang. Saya hanya menjualkannya saja.

“Berapa satu elonya? Kalau banyak, tentu untung, tentu laris karena sekarang sedang musim kopi. Biarlah, ini semua saya beli. Untuk dijual kembali.”

“Silahkan. Yang itu satu geblognya Rp 6,50,-; yang ini Rp 9,00,-.” “Ya. Uangnya nanti saja menunggu adikmu. Jangan tergesa-gesa

begitu. Tidur saja di sini. Mudah-mudahan adik laki-lakimu datang.” “Kalau bermalam di sini, Akang tidak bisa karena membawa kereta

sewaan.” “Biarlah kalau memang tidak menginap, tapi nanti saja, kita makan

dulu. Uangnya saya bayar saja. Tapi jangan tergesa-gesa begitu. Saya masih kangen, seperti bertemu dengan orang kota.”

Si Abdullah tersenyum sambil berkata perlahan, “Bagaimana, Nyai, suka inget orang yang bertemu di jamban?”

Nyi Rapiah tersenyum sambil menunduk. Jawabnya, “Wah, Kang, saya jangan ditanya seperti itu lagi. Semenjak pindah kemari tak pernah lupa sedikit pun. Kalaulah saya bukan perempuan, tentulah sudah bagaimana. Tapi, ya begitulah perempuan, banyak menanggung aib, banyak dinding yang melingkupinya. Tak salah ada pantun. Kaduhung kuring ka Lembang, ka Lembang ka Cibiana. Menyesal saya tertarik, ternyata begini rasanya. Dan setelah begini, tinggal susahnya sendiri. Cau ambon dikorangan, malati kapipir-pipir, beginilah yang bertepuk sebelah tangan, tetapi lelaki malah tak peduli”

“Aduh, Nyai, jangan berprasangka seperti itu. Mana mungkin tidak berlanjut. Sebenarnya Akang datang kemari bukannya sengaja berdagang. Itu hanya sambilan saja. Akang disuruh oleh Aom untuk menyampaikan kepada Nyai bahwa dia sangat ingin bertemu; sebentar saja, katanya. Ia sangat tidak tahan. Sebenarnya akan sudah bosan. Dia datang sambil menangis-nangis di hadapan Akang. Katanya: bagaimana, bagaimana saja.

Sekarang bukan begitu pertimbangan Akang. Lebih baik temui saja agar Nyai tidak menjadi pikiran, begitu juga bagi dia. Minta ijin saja kepada suami untuk satu atau dua malam. Katakan saja bahwa ibu sedang sakit. Atau dengan suami pun tak apa-apa karena manusia tak akan kehilangan cara. Dan lagi, itu putra menak, ketika disakiti oleh kita, berakibat merugikan. Nyi harus sayang sama diri sendiri.”

Page 47: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

43

Nyi Rapaih menjawab, “Itulah, Kang. Sebenarnya saya sudah nekad karena begitu bingungnya. Jika harus bertahan di sini, saya sudah tidak betah. Jika diajak pulang, Kang Kusen tidak mau. Karena keterlaluan seperti ini, saya akan minggat saja. Biarlah kalau harus bercerai dengan Kang Kusen. Mau bagaimana lagi, saya tidak betah.”

“Itu lebih baik. Jika Nyai memaksakan diri untuk tinggal di sini, nanti malah akan membuat Nyai sakit berkepanjangan. Kalaulah diceraikan oleh suami, biarlah karena masih muda. Aom pun tentu akan mau menikahi Nyai. Menurut Akang, lebih baik bersuamikan Aom. Dia itu anak menak. Mudah-mudahan saja nasib baik Nyai sampai bisa menjadi Nyi Wedana atau Nyi Patih. Kalaupun tidak, kepada menak untuk menarik berkahnya saja dan mengabdikan para orang tua agar bisa sedikit agak ke tengah. Setidaknya karena mereka itu keturunan yang mempunyai daerah. Apalagi jika Nyai sampai mempunyai putra, tentu itu ajimat yang luar biasa yang akan membawa cahaya bagi saudara-saudara kita.”

Perkataan Si Abdullah seperti itu semua menyerap ke pikiran Nyi Rapiah. Kemudian dia berkata, “Ah, biarlah sekarang, Kang. Saya ikut. Kita minggat, mungpung Kang Kusen masih lama datangnya. Biarlah bagaimana nanti saja.”

Kata Si Abdullah, “Bagus. Kebetulah Akang membawa kereta. Ayo kita bergegas.”

“Ya. Nanti saya berbenah dulu. Misnah, bawa kemari nasi untuk Akang makan.”

Nyi Piah berdandan, berkemas-kemas, tapi yang dibawa hanya pakaian dan emas intan saja. Ia masukkan ke dalam dua peti. Pembantunya, Si Misnah, ia suruh juga berdandan. Katanya, kamu dandan! Kita ke Kota.” Saat Nyi Piah berkemas, Si Abdullah makan.

Setelah beres, peti kemudian diangkut oleh Si Abdullah. Satu persatu menaiki kereta agar jangan sampai terlihat yang lain. Nyi Piah tak sempat memakai selendang. Kereta disimpan di tempat yang agak jauh dari kampung itu. Dan kebetulan, saat itu kakak Ujang Kusen sedang pergi ke sawah, istrinya tidur, para lelaki yang lain sedang asyik bekerja di pabrik dan di kebun. Adapun para perempuan yang berada di dalam rumah, karena udara panas, ingin beristirahat selepas bekerja. Jadi, minggatnya Nyi Rapiah tersebut tak seorang pun yang mengetahuinya.

Tentulah rencana penculikan yang dilakukan Si Abdullah tersebut begitu suksesnya; semua terlaksana sesuai harapan. Dan tak kepalang gilanya Si Abdullah karena Ujang Kusen itu masih saudaranya. Mengapa sampai diculik istrinya padahal upahnya hanya pakaian bekas dan uang beberapa rupiah. Ia sampai lupa diri seperti itu. Ternyata comblang itu tabiatnya tidak berbeda dengan pencuri; meski harta milik sahabat atau saudara, jika kebetulan suka, ya dicuri saja. Adapun yang tak seberapa dekat hubungannya dan hanya sebatas pandai berbicara saja, asalkan bisa tentu jika bermasalah, bagaimana nanti saja.

Singkatnya cerita, Nyi Piah dan Si Abdullah sudah pergi. Sampainya ke kota sudah senja sekali. Kata Si Abdullah, “Nyai, sekarang jangan terus ke

Page 48: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

44

rumah ayah sebab sudah sore sekali, apalagi bersama-sama dengan Akang, kalau-kalau akan mengejutkan hati dia. Ke rumah besok saja lagi siang hari. Kita cari cara yang bagus dan rapi. Sekarang kita terus saja temui Aom agar dia merasa senang. Dan kepada Nyai jadi bertambah sayang sebab terasa kebaikan Nyai. Nyai benar-benar memperhatikan panggilannya. Dan jika di kemudian hari Ujang Kusen menuntut Nyai, tentu dia yang akan membela. Tapi jika tidak segera ke sana, tentulah dia tidak akan bersikap seperti itu.” Nyi Piah menjawab, “Baiklah. Saya menurut saja.”

Semua pun tentu memahami bahwa Nyi Piah saat itu sudah tidak berkutik lagi karena sangat bingungnya apalagi perempuan yang minggat dari suaminya bukanlah perkara kecil. Itu akan menjadi urusan besar. Bagaimana jika suami lupa sampai menghabisi nyawa atau menganiaya? Sekurang-kurangnya ditambang haruslah. Tak akan ada yang bisa menolong karena hukum pun tak mengijinkan. Dan orang tua pun belum tentu menyetujui karena bukan jalan yang baik. Oleh karena itu, dia harus menyerahkan diri kepada Si Abdullah. Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya Nyi Piah khawatir. Ia merasakan seolah-olah tiba-tiba ada yang menyusul. Benarlah kata orang pintar: perbuatan salah menyebabkan perasaan gentar dan takut, perbuatan benar menyebabkan kemantapan hati.

Si Abdullah membawa Nyi Rapiah ke rumah gulang-gulang, di bagian belakang dalam, kampung sepi dan tersembunyi. Pantas dijadikan kokombongan Aom Usman yang biasa didekati ikan.

Si Abdullah berkata kepada gulang-gulang, “Emang, menitipkan Nyai. Sekarang saya akan menemui Aom.”

“Silakan, Ujang. Biarlah dia dengan Emang.” Gulang-gulang dan istrinya sibuk menggelarkan tikar dan menyalakan

damar. Nyi Rapiah disuruh duduk di tikar sulam di ruang tengah. Ia begitu dihormat oleh mereka. Damar yang disodorkannya ajugnya terbuat dari tembaga, tabung lampunyanya dari tembaga, minyaknya minyak kacang, sumbunya kapas besar sekali; dimaksudkan agar terang tapi ternyata meredup terus. Nyi Piah tersenyum kecil melihat damar tersebut karena dia tidak pernah memakai lagi yang seperti itu tetapi di situ masih digunakan.

Rumah gulang-gulang tersebut cukup besar juga. Lima ruang. Model rumahnya julang ngapak, tetapi tidak memakai teras, tak berjendela, dan tak memakai kamar tidur. Pintunya hanya satu. Jika waktu siang ingin terang, maka dibukakan saja pintu atapnya. Rumahnya menghadap ke utara. Empat tiang utama di bagian dalam sebelah ujung barat dilapisi dinding bambu. Jadi, bagian belakang seperti ruang kamar tidur saja tetapi tidak berpintu. Ruang tersebut dijadikan goah. Di bagian depannya tak dilapisi dinding bambu tetapi bagian utara dipasang dinding bambu satu ruang. Jadi di area depan ada ruang menyudut untuk menyimpan beras. Bagian paling belakang sebelah timur sedikit menyudut untuk kamar penghuni rumah. Adapun kamar yang tadi, seperti kamar pelengkap saja, untuk tamu berhadapan dengan kamar gulang-gulang yaitu di ruangan bagian depan. Ada hawu dipasang parako. Difungsikan sebagai dapur, di atasnya dipasang para seuneu.

Page 49: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

45

Adapun kamar pelengkap dari depannya dipasang gordin madras taloki yang sudah kumal, dengan batang gordinnya dari geron, berhiaskan di atasnya rumbe gedah. Di dalamnya ada lagi gordin polos agar semakin tak tembus pandang. Dinding bambu dari bagian luar hingga dinding tengah dilapisi kain polos merah jambu dan salur. Tetapi di bagian ruang tengahnya dipasang lagi geron dan dihiasi rumbe gedah. Kasurnya terhampar, dialasi tikar polos, tikar lancar. Adapun yang dijadikan sepreinya adalah tikar sulam. Dari arah kepalanya dipasang suraga untuk menahan bantal agar tidak melorot.

Melihat tata ruang seperti itu, Nyi Piah hanya tersenyum saja di dalam hatinya. Ia menilai tata ruang dengan segala isinya tampak begitu kampungan. Maklum saja, perempuan yang suka meledek.

Sekitar pukul tujuh malam, datanglah suruhan Aom, disuruh mengantarkan uang Rp 10,- kepada Nyi Piah untuk berbelanja dan sekalian memberitahukan bahwa dia akan datang pukul sembilan.

Nyi Piah sangat bergembira sebab awalnya dia takut Si Abdullah hanya mengalihkan perhatian saja. Ia menyuruh istri gulang-gulang untuk berbelanja untuk menyediakan makanan. Ia kemudian mandi diantar oleh gulang-gulang lelakinya. Sekembalinya dari pemandian, ia berdandan mengenakan pakaian yang bagus-bagus karena akan kedatangan menak. Ia pun segera menggunakan jampi-jampi pekasih agar Aom tambah sayang. Setelah itu ia makan, berkumpul dengan gulang-gulang dan istrinya.

Gulang-gulang tersebut sudah tua tapi tak punya anak seorang pun. Ia tinggal berdua saja. Wajarlah, mereka kepada siapa pun selalu menunjukkan rasa sayangnya, maksudnya untuk menitipkan diri, dan lagi memang tabiatnya yang ramah seperti itu.

Setelah pukul sembilan, datanglah Aom. Setelah melihat Nyi Piah, sejak dari pintu ia sudah tersenyum. Katanya, “Bagaimana kabarnya, Piah? Sudah lama sekali?” Nyi Piah tak menjawab. Ia menunduk saja sambil bersimpuh seperti agak malu. Aom duduk di samping Nyi Piah. Katanya, “Kapan datang?”

“Tadi jam enam.” “Mengapa kamu pergi begitu lama?” “Bukan pergi tapi memang pindah.” “Tega betul kamu sampai meninggalkan saya untuk pindah.” “Ya tega saja karena bukan saudara.” “Memang kamu yang dipikirkan hanya saudara saja. Untuk cinta

jelaslah tidak. Saya pun merasa bahwa saya bertepuk sebelah tangan. Sejak kepergian kamu sampai sekarang, saya tak lupa semenit pun. Siang dan malam memikirkan kamu. Jika siang sering meninggalkan sejenak pekerjaan. Biasa nongkrong sambil termangu tak karuan. Begitu pula malam hari sering tak tidur sedetik pun hingga besok paginya. Itu hanya untuk melamun, bagaimana rasanya jika saya dapat menikahi kamu, tentunya akan tentram pikiran, dan tentu akan nyenyak hati. Hidup terasa sampai ke ahir tujuan.

Jika sempat bisa tidur, tapi samasekali tidak nyenyak sebab kamu sering terbawa mengigau. Begitu juga terbawa mimpi hampir tiap tidur, mimpi bertemu dengan kamu. Kita berdialog saling menyela, tertawa bercanda, terasa

Page 50: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

46

seperti nyata saja. Betapa saya merasa senang. Tetapi begitu terjaga, ternyata kamu tak ada, maka menangislah saya sambil memeluk guling.

Karena kamu lama tak ada, saya sudah menyangka, jangan-jangan pendek umur karena sakit memikirkan sesuatu. Tetapi untunglah ada Si Abdullah hingga bisa mendatangkan kamu kemari. Sekarang terbebaskan sama sekali perasaan tertekan ini. Saya tak akan berpisah dengan kamu lagi.”

Nyi Piah menjawab, ‘Wah, itu bohong, Gamparan. Saya tak akan percaya. Tak mungkin gamparan mempunyai hati seperti itu. Saya ini tak ada yang patut untuk dipuji. Wajah jelek dan anak rakyat jelata. Gamparan, masih banyak putri menak yang cantik-cantik.

Jika saya yakin, semenjak datang ke gunung tak pernah menemui kesenangan. Yang terbayang hanya kau, Gamparan. Kopi masak tampak seperti tariko wungu; daun kopi seperti tariko rawun yang suka dipakai bepergian. Perasaan saya sungguh tak menentu. Dicoba ditidurkan, tetap saja pusing; dicoba untuk kembali berdiri, tetap saja pusing. Jika sedang berjalan terasa sesekali melayang, seperti daun tertiup angin. Duduk dan berdiri tak ada sedikit pun senangnya. Makan tak berasa; air terasa tuak basi, nasi terasa sisa tebangan kayu yang lapuk. Jika berada di halaman rumah terasa layu, balai besar terasa sepi.”

Aom berkata, “Nah, dulu kamu yang menuduh saya, katanya pandai menyanjung. Sekarang malah terbalik. Saya pun tak mau percaya kepada perkataan kamu.”

“Iya karena gamparan mau berkata apa pun tak ada buktinya. Kalau saya ada buktinya. Lihatlah sekarang, sampai bisa datang kemari. Jika tidak tertarik, tidak mungkin saya senekad ini.”

Aom Usman merasa terdesak, kemudian dia berkata sambil tersenyum, “Syukurlah, Lis kalau memang demikian. Yang saya harap pun demikian.”

“Iya. Sekarang bagaimana keinginan gamparan karena saya sudah senekad ini.”

“Ih, saya tak akan takut sedikit pun. Bukankah dulu saya sudah berkata malah sudah bersumpah. Tinggal menunggu beresnya saja. Kamu harus diselesaikan dulu oleh suami.”

“Nah, Gamparan sudah mulai mau menghindar. Tadi, kata Gamparan “rela sampai pecah dada”, tapi sekarang harus beres dulu.”

“Bukan begitu, Nyai! Lebih baik mana, jalan beres atau jalan kusut? Jika memang sudah tidak dapat dibereskan, meskipun kusut, pasti saya akan melawan. Tapi selama masih bisa diupayakan, saya ingin mencari yang tertib tapi berhasil.”

“Memang benar, sesungguhnya pada diri saya sudah tidak ada lagi yang harus dibereskan karena sejak semula sudah kusut.”

“Ah, biar saja. Bagaimana saya saja. Nanti saya yang bereskan. Kamu jangan memborongkan.”

“Kalau begitu, terima kasih.” Singkat cerita, Nyi Piah berada di saat selama sehari semalam.

Besoknya, setelah ditinggalkan Aom Usman, ia merasa sangat tak nyaman, tak betah dan kesal. Seperti dijual tapi tak laku. Ditambah lagi ia merasa khawatir,

Page 51: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

47

takut ada orang yang menyusul sampai kepada orang tuanya tapi dia sendiri tidak ditemukannya. Apalagi Si Abdullah tidak datang-datang jadi tak ada yang bisa dimintai pertimbangan.

Pukul lima sore barulah Si Abdullah datang. Tak terkira Nyi Piah bergembiranya. Jika pernah merasakan, seperti diangkat dari dalam gua saja. Ia senang sekali hatinya.

Si Abdullah berkata, “Segeralah berkemas, Nyai, nanti jika sudah menjelang malam, kita pulang saja ke rumah ayahmu. Tapi jangan dulu mengatakan pergi dengan Akang. Katakan bahwa Nyai minta diantar oleh tiga orang kuli dari kota yang pulang dari gunung. Karang saja cerita dengan baik. Dan ini lepit jika sudah dekat ke rumah harus dimakan agar ibu bapak tambah sayang.”

Setelah hari mulai gelap, mereka pun berangkat. Ia membawa dua orang kuli untuk membawa peti pakaian. Nyi Piah berjalan sambil mengenakan selendang yang diikatkan ke pinggangnya layaknya orang yang pergi jauh saja.

Begitu sampai di rumah Tuan Haji Rapiah, tak terkira kagetnya dan semua menyambutnya. Terdengar oleh saudara-saudaranya dari dalam rumah, kemudian segera menemui ke dapur sambil berteriak, “Aceuk, Aceuk!” Saudara yang sangat dekat menangis sambil merangkul karena rindu dan senangnya. Tentulah di dapur terdengar menjadi gaduh. Tuan Haji dan Nyi Haji yang sedang berada di tempat shalat, sangat terkejut. Mereka menyangka ada kebakaran. Mereka segera melihatnya. Ketika di luar tampaklah Nyi Piah. Tentulah semakin kaget saja. Nyi Piah disuruh masuk ke rumah. Ibunya bertanya sambil gemetar, “Dengan siapa kamu dari sana?”

“Dengan Si Misnah saja. Dari sana minta diantar oleh dua orang kuli yang pulang dari gunung.”

“Mengapa tidak dengan si Akang?” “Tidak karena saya minggat. Akang sedang di gunung.” “Minggat bagaimana?” “Ah, minggat saja. Saya sudah tidak betah. Biarlah meski akan

ditambang juga.” “Kalau tidak betah, bukannya bilang saja kepada suami. Kamu bikin

orang khawatir saja.” ”Saya sudah memberi tahu. Saya ajak untuk pindah lagi ke kota, dia

tidak menurut.” “Kapan dari sana?’ “Dari sana kemarin. Menginap di warung seberang karena saya hanya

berjalan saja tak naik apapun.” Ketika Nyi Haji perkataan anaknya seperti itu, ia langsung menangis

keras sambil berkata, “Anak saya berumah tangga ternyata menemui kesengsaraan! Sudah, sekarang makan tidak makan, diam saja di rumah.” Melihat ibunya menangis, Nyi Piah merasa terenyuh hatinya. Ia pun kemudian menangis. Begitu juga dengan saudara-saudaranya terbawa suasana dan merasa kasihan kepada Nyi Piah harus sampai menginap di warung dan berjalan kaki sejauh itu. Akhirnya ramailah orang menangis seperti menangisi orang meninggal saja.

Page 52: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

48

Tuan Haji Abdul Raup terdiam karena begitu bingung dan mengkhawatirkan anaknya. Kemudian ia mengundang Haji Samsudin dan istrinya. Tak lama kedua besan tersebut pun datang. Haji Abdul Raup berkata, “Anakmu, Si Rapiah minggat dari sana, berdua saja dengan Si Misnah. Tak disangka anak saya akan menemui kesengsaraan seperti itu. Untung saja tidak dimakan harimau di jalan.”

Jawab Haji Samsudin, “ Apa sebabnya sehingga ia minggat?” “Katanya tidak betah; di mengajak kembali tapi tidak dituruti.” “Wah, itu salahnya sendiri, bukannya disengsarakan oleh suami.” “Iya. Kalau anak tidak betah mau apa lagi? Bagaimana kalau sampai

sakit tentu itu akan menyusahkan semuanya. Seharusnya dengan istri itu harus seia sekata. Kalaulah mencari nafkah di sini, tentu tidak akan kurang untuk mendapatkan jalannya.”

Biarlah Piah, besok kita datangkan Si Kusen. Kita suruh pindah lagi kemari. Ayo kita sekarang pulang kepada Ama. Di sana kamu tunggu suamimu.”

Nyi Rapiah tidak menjawab. Ia terus saja menangis terisak-isak. Nyi Abdul Raup berkata, “ijinkan malam ini saja agar di sini. Saya dan

saudara-saudara kangen.” “Baiklah untuk malam ini, tapi besok harus ke sana. Dengan Nyai saja

antarkan. Akang tidak bertanggung jawab kalau Si Kusen menyalahkan Akang.”

“Baiklah. Besok saya antarkan.” Saat itu Haji Samsudin dan istrinya tidak lama berada di sana. Tak

sempat mencicipi jamuan kecil. Mereka beralasan ada perlu. Mereka pun kemudian pulang.

Besok harinya hingga siang lagi Nyi Rapiah masih tak datang juga ke rumah mertuanya. Mereka menyuruh untuk menjemput Nyi Rapiah. Tapi ibunya tidak mengijinkannya. Malah ia mengeluarkan kata-kata kasar.

Kata Haji Samsudin, “Biar saja kalau tidak diijinkan, terserah!” Dikisahkan di kampung Sekeawi, hari di mana Nyi Rapiah minggat,

Ujang Kusen tidak kembali ke rumahnya sebab sedang tanggung dengan pekerjaannya. Saudara dan rekan-rekannya tak ada yang menyangka Nyi Rapiah tidak ada. Baru diketahuinya setelah lepas maghrib karena di rumah sepi dan gelap. Kakaknya memanggil-manggil, “Piah! Piah! Sudah datangkah Akang kamu?” Tak ada yang menjawab. Ketika turun mendekati rumahnya, tampak di dalamnya gelap. Ia pun mencari, pintu bahkan terkunci. Ia tanyakan kepada teman-temannya, semua tak ada yang tahu. Setelah itu barulah ramai orang-orang mencari ke tiap perkampungan yang dekat, ke warung, ke pemandian, terus saja disusuri, tapi tetap saja tidak ditemukan. Tak seorang pun ada yang memperkirakan bahwa yang dicari minggat ke kota sebab begitu jauhnya, tak mungkin perempuan berani dan tak mungkin kuat berjalan. Tak mungkin pula jika berkendaraan. Janganlah di sana, di penginapan pun tak ada delman atau dokar sewaan. Bendi milik kakak Ujang Kusen masih ada. Mereka semua sangat kebingungan.

Page 53: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

49

Saat itu kakak Ujang Kusen kemudian menyuruh dua orang untuk melapor ke gunung. Mereka berangkat menunggangi kuda, membawa pedang serta membawa obor karena melewati jalan sunyi. Begitu tiba di kampung Pasanggrahan, Ujang Kusen didapati sedang tidur. Ia dibangunkan. Tentulah ia terperanjat karena kagetnya. Apalagi ketika dikatakan Nyi Piah tidak ada, ia tampak lunglai, lututnya bergetar seperti dalam kondisi pusing saja. Ia berkata di dalam hatinya, “Pantas saja sejak siang perasaan saya tak menentu, merasa khawatir, jantung berdebar, hati tergetar dan terkesiap seperti ditusuk-tusuk jarum saja dan saat akan berangkat seperti malas pergi saja. Kalaulah tidak mengingat keperluan tentu tidak akan berangkat. Ternyata ini kejadian sesungguhnya.”

Ia kemudian berkemas. Segera menaiki kuda dan pergi. Tapi pikirannya sudah tak menentu saja. Banyak sekali persangkaan hati Ujang Kusen: jangan-jangan menggantung diri di para, atau terjun ke sumur atau menghanyutkan diri ke sungai karena sangat tidak betahnya, apalagi sering ditinggalkan suami. Ia tidak berpikir ke arah minggatnya Nyi Rapiah ke kota karena jauhnya dan tak ada kendaraan.

Begitu tiba di kampungnya, tampak orang-orang masih khawatir, mencari Nyi Rapiah tapi tetap saja tidak ditemukan. Ujang Kusen ke rumah, tapi pintu dikunci. Ia raba kuncinya tapi tak ada. Ia memaksa mendobrak saja, berhasil. Awalnya tidak dibuka karena mereka tidak ada yang berani; tak ada yang hilang. Ujang Kusen berpikir, “Wah, jelas sekali, tentu dia menggantung diri!” Ia mencari ke kamar, tak ada; ke para tak ada, ke goah, ke dapur, tetap saja tak ada. Ujang Kusen berkata, “Penasaran, saya coba periksa sekali lagi. Kalau ke sumur-sumur sudah dicari?”

Semua menjawab, “Belum!” Maka mereka pun kembali pergi mencari. Sebagian ikut dengan Ujang

Kusen. tiap sumur dituruni, tiap kolam diperiksa, yang bertumpuk berserakan diperiksa, yang telungkup dibukakan, yang telentang ditelungkupkan, kalau-kalau Nyi Rapiah bersembunyi. Tapi tetap saja tak mereka temukan.

Selanjutnya mereka melapor ke kepala desa bahwa kehilangan dua perempuan. Maka semakin ramai saja yang mencari. Lurah dan ponggawanya membantu mencari. Mereka menelusuri tiap warung, ditanyakan ke setiap kampung, sampai ke penginapan, tetap saja tak ada yang menemukan.

Hingga siang kembali, Ujang Kusen dan teman-temannya terus mencari. Tak ada tempat yang terlewat, hingga ke pelosok-pelosok, ke tempat-tempat yang sempit sekalipun, masih tak ditemukan juga.

Ujang tak sempat terpikir untuk memeriksa peti karena ia tak menerka Nyi Rapiah minggat, ditambah lagi pakaian yang jelek-jelek masih bergantungan di tempatnya. Ia malah pergi ke warung. Perkiraannya, “Jangan-jangan didapati sudah kaku di tepi sungai, ada yang membunuh.” Tapi begitu sampai di sana, tak ada jejak yang menunjukkan itu.

Baru mendapat jejak setelah berhenti mencari setelah pukul empat sore karena ada yang memberita tahu orang warung, katanya, “Kemarin saya pulang dari kota, bertemu dengan Nyai sebelah sana jalan penyebrangan ke kota, berada di delman, temannya seorang lelaki, seorang perempuan, dan

Page 54: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

50

keempatnya kusir. Saya tidak bercerita semalam karena tak tahu ada yang sedang mencarinya, sebab saya tidur nyenyak; maklumlah cape setelah berjalan jauh.”

Ujang Kusen sempat berpikir untuk memeriksa pakaian Nyi Rapiah. Ketika diperiksa ternyata petinya tidak ada. Setelah itu barulah ia berpikir bahwa istrinya minggat. Tetapi ia tetap tidak tahu tentang seorang lelaki tersebut, siapa? Apakah Aom Usman? Tentang itu, semuanya tak ada yang tahu. Dan lagi, masa iya datang sendirian sedangkan biasanya suka diiringi yang lain. Ia kemudian bertanya kepada tukang warung, apakah lelakinya perlente atau tidak, tampak seperti menak atau tidak. Jawabnya, “Lelakinya tampak cukup saja, tak tampan tak perlente dan seperti bukan menak.” Ujang Kusen semakin bingung saja.

Ia kemudian memberitahu kakaknya bahwa dirinya akan menyusul ke kota sambil meminjam bendi. Jawab kakaknya, “Jangan disusul sekarang, hina sudah sore. Biarkan saja kalau memang sudah jelas ada di kota, besok pagi-pagi saja.”

Ujang Kusen menuruti apa kata kakaknya, tapi malam itu ia tak tidur sedetik pun, begitu gelisah pikirannya. Kekhawatirannya tergantikan marah. Alasan pertamanya karena dia ditinggalkan minggat; kedua, ia sudah menyangka bahwa istrinya sudah bertemu dengan Aom Usman.

Tampak Ujang Kusen begitu mengkhawatirkan keadaannya. Pikirannya selalu tak tenang dan hati tak tentram seumur-umur, resiko mendapatkan istri yang cantik dan ahli bepergian tanpa pamit, itu tidak lain disebabkan dirinya yang penakut dan terikat akan perempuan.

Keesokan harinya, pagi-pagi ia berangkat ke kota menaiki bendi. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia berpikir, apa yang harus ia perbuat jika sudah bertemu dengan Nyi Piah. Apakah harus diperlakukan kasar atau disikapi secara sabar atas perbuatan yang begitu menghinanya. Jika dimarahi, itu akan membuatnya semakin menjadi. Maka terpikirkan olehnya, lebih baik ia menemui bapaknya saja dulu, akan dijajaki dan akan minta pertimbangan bagaimana baiknya.

Sebelum dzuhur Ujang Kusen sudah sampai di rumah orang tuanya karena kuda dipacu dengan sangat cepatnya. Didapati Tuan Haji Samsudin dan Nyi Haji sedang berada di rumah seperti sedang berunding, membicarakan keadaan dia. Begitu tiba, ibunya berkata, “Nah, ini dia Si Ujang. Cepat kemari!”

Ujang Kusen tampak pucat pasi mukanya karena begitu kagetnya melihat orang tuanya yang tampak seperti sedang bersusah hati.

Haji Samsudin meminta Ujang Kusen untuk menceritakan sebab-sebabnya Nyi Piah Minggat. Ujang Kusen pun menceritakannya dari awal hingga akhir.

Setelah itu Haji Samsudin kembali menceritakan perkataan Nyi Piah dan ibu bapaknya seperti yang telah dituturkan mereka kepadanya; tak satu pun yang terlewat.

Ujang Kusen berkata, “Ya. Sekarang bagaimana caranya?”

Page 55: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

51

Jawab ayahnya, “Ama pertimbangkan, kita jangan tanggung-tanggung. Bersabar saja. Apa saja permintaannya, kamu turuti. Jika mau kembali pindah ke kota, lebih baik pindah saja. Sekarang segera temui dia. Tapi ingat, jangan sampai kamu menunjukkan sikap tak baik. Relakan saja.”

Ujang Kusen tak sempat makan, meskipun orang tuanya menarawinya, ia tidak mau karena sangat bingungnya. Ia pun segera pergi ke rumah Haji Abdul Raup. Didapati kedua mertuanya sedang ada di rumah.

Begitu tahu bahwa suaminya datang, Nyi Piah cepat-cepat masuk kamar, pintu dibanting dan kemudian dikunci. Ia mengunci diri di kamar. Ujang Kusen tak berkata sepatah kata pun. Setelah itu barulah ia duduk.

Mertua perempaun tidak menyambutnya. Ia tampak cemberut saja. Ujang Kusen samasekali tidak mendapat sambutan yang baik.

Haji Abdul Raup berkata, “Kapan Ujang datang?” “Baru saja tiba.” “Bagaimana selamat?” “Ada berkah.” “Abah ini begitu terkejut melihat Si Piah datang hanya ditemani orang

yang sama-sama perempuan, bagaimana kalau ada apa-apa di jalan?” “Iya. Saya pun tidak terkira terkejutnya, makanya saya segera datang

kemari. Tak menyangka istri saya sampai berbuat seperti itu membuat gelisah hati orang tua dan mempermalukan suami.”

Nyi Haji berkata, “Memang begitulah, kesalahan suka dilimpahkan kepada perempuan. Keinginan Ema, seharusnya bukan seperti itu. Dengan istri itu harus saling mendukung. Nyi Piah itu bukan orang yang terbeli. Bukankah dia sudah mengatakan bahwa dirinya tidak betah, mengajak pulang, mengapa tidak dituruti? Tak kan baik orang harus sampai sakit memikirkan itu.”

“Iya, Ema. Itu bukannya saya tidak menuruti keinginannnya, tetapi harus ada waktu saja. Uang sudah berada di luar semua. Jumlah utuhnya saja ada ƒ 500,-. Jika ditinggalkan tentulah akan melayang; tak akan didapati lagi. Kalau saja mengajak pindah itu sudah beres pekerjaan, tak mungkin kalaua saya sampai tidak menuruti.

Sekarang kalau bersikeras mengajak pindah, saya akan menuruti saja. Kalaulah akan pulang lagi ke kota, ya kembali lagi ke kota.

Awalnya alasan saya turun naik gunung, tak lain untuk istri.” Nyi Rapiah menimpali dari dalam kamar, katanya, “ Wah, percuma saja

mau menurutinya sekarang. Lebih baik hubungan kita selesaikan saja.” Ujang Kusen berkata, “Nanti dulu. Apa alasannya sehingga kamu minta

itu? Apa dosa Akang? Bukankah kamu mengajak pindah akan akang turuti.” “Tak ada dosa apa pun. Tetapi saya saja yang sudah tidak suka. Apakah

kalau sudah tidak suka akan dipaksa juga?” “Dipaksa tentu tidak, tetapi caranya harus benar dan dapat dimengerti

alasannya. Jalannya sudah terlacak, perempuan minggat dari rumah, malah sekarang minta diceraikan. Tak akan!”

“Ah, biasa saja mesti tak dicukupi kebutuhan, saya tak akan mengikuti lagi. Saya memang sudah tidak suka.”

“Terserah saja kalau begitu.”

Page 56: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

52

Ujang Kusen segera turun sambil tak berpamitan. Setibanya di rumahnya, ia menceritakan kepada orang tuanya tentang

perkataan Nyi Piah. Kata Haji Samsudin, “Kalau begitu, bagaimana pertimbangan kamu saja, jangan membawa orang tua, nanti akan berdampak tidak baik untuk hubungan orang tua dengan orang tua.”

“Iya, Ama. Pikiran saya sudah buntu. Jika dipikir-pikir, keterlaluan sekali perlakuan Nyi Piah kepada saya. Karena ditinggalkan minggat pun, saya sudah merasa dihinakan sekali, dan sekarang minta diceraikan. Biar saja, saya tak akan menceraikannya, tak akan membujuknya. Bagaimana niatnya saja.”

Ibunya berkata, “Benar, Ujang. Jadi lelaki itu jangan terlalu kalah oleh perempuan. Itu akan berakibat kamu dilancangi. Biar saja, perempuan masih banyak, asalkan ada untuk memberinya, lelaki tentu akan laku lagi. Kamu tidak salah. Jika kamu berusaha membujuknya, nantinya akan besar kepala yang akhirnya akan menghinakan kamu.”

Ujang Kusen berada di kota hanya semalam. Keesokan harinya ia kembali ke Sekeawi. Saat itu ia sudah nekat, jika harus berlanjut dengan istrinya ya berlanjut, jika harus singkat yang dia terima. Itu semua karena ia terdorong hawa nafsunya.

Setibanya, ia langsung mengurus pekerjaanya. Saat itu kopi sedang berbuah lebat, kebetulan tahun yang mulus. Yang memesan barang tambah banyak saja. Tentulah Ujang Kusen begitu sibuknya.

Tetapi sayangnya, lupa akan Nyi Piah itu hanya belasan hari saja. Setelah amarahnya reda, maka hilanglah kejelekan istrinya. Ia selalu ingat saja kepadanya. Terasa olehnya sekarang tampak susah dibandingkan sebelumnya. Dulu, khawatir itu tak selamanya karena kebanyakan dia bersama-sama dengan istrinya ditambah lagi tergantikannya dengan rasa cintanya. Tapi sekarang hanyalah susah hati saja, karena tidak terlihat. Banyak saja prasangka sampai tak enak makan dan minum, apalagi tidur.

Menghawatirkan sekali Ujang Kusen. mukanya pucat pasi, mata cekung, dagu melancip, tulang rusuknya tampak menonjol, tenaganya habis, jalannya sampai sempoyongan, cahayanya tampak redup. Bagaikan bunga ros yang mekar yang telah dipetik empat hari, layu dan tanpa daya tarik.

Karena itu, semua keinginannya pun sirna. Yang tadinya begitu bersemangat bekerja, setelah datang keadaan seperti itu, maka hilanglah. Alasannya, buat apa ia bekerja keras membanting tulang kalau tidak ada orang yang diperjuangkannya.

Benar saja kata orang tua, perempuan itu pembawa berkah dan celaka. Pembawa bahayanya ya seperti itu; berkahnya ya kalau tetap rukun. Benar saja pertimbangan orang tua, kalau akan beristri tak akan terdorong oleh nafsu tak terbawa oleh pengaruh lain yang jelek, dituntaskan dulu tindakan memilih, untuk menghindarkan akibat yang jelek. Tak akan cepat tergiur karena seksi, tak kan tergesa-gesa karena tubuh semampai.

Pekerjaan Ujang Kusen sebagian besar dipercayakan kepada teman-temannya saja karena dia sering berdiam diri dan melamun terpaku begitu lama. Tapi bukannya menjadi penawar, berdiam diri di teras depan malah semakin membukan kenangan; dibayangkan malah semakin kalut. Jika

Page 57: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

53

kebetulan pulang ke kampung, ia suka membawa bunga-bunga yang indah, bunga-bunga dari pohon hutan. Pikirnya, untuk Nyi Piah, berharap sudah ada di rumah. Tapi begitu tiba di rumah, dipastikan tidak ada, bunga tersebut dipeluk dan ditangisi. Kesukaannya hanyalah bersenandung, bernyanyi; jika sedang mandi tak kan cukup satu jam karena diselingi bernyanyi.

Teman-temannya apalagi kakaknya begitu mengkhawatirkannya melihat tingkah laku dan rupa Ujang Kusen. Matanya sudah sangat cekung, ingatannya sudah terganggu. Masih untung dengan kondisi seperti itu karena tidak tiba-tiba menjadi gila karena putus dengan perempuan yang begitu cantiknya dan dirinya yang rapuh.

Kakak Ujang Kusen menyuruh orang untuk ke kota memberitahukan kepada orang tuanya dan menceritakan keadaan adiknya.

Tak terkira Tuan Haji Samsudin terkejutnya, begitu juga dengan Nyi Haji. Tak mengutus siapapun, Haji Samsudin pergi ke Sekeawi. Tampak betul ia sangat mengibakan.

Tuan Haji berkata, “Kusen, kita sekarang pulang saja ke kota. Perkara modal ƒ 500,-- begitu juga dengan uang yang sudah datang kembali, walaupun semua tidak kamu dapatkan kembali, biarlah jangan jadi pikiran karena untuk modal masih banyak. Kebun kopi dan barang, serahkan saja kepada kakakmu untuk mengurusnya.

Kemudian Ujang Kusen pindah kembali ke kota dibawa ayahnya. Saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan banyak yang menemuinya. Semua merasa iba melihat rupa Ujang Kusen yang begitu mengkhawatirkan. Mereka menghiburnya. Kata sebagian saudaranya, “Bersabarlah, wajar saja kalau lelaki mendapatkan sakit hati dari perempuan.” Sebagian lagi berkata, “Sakit hati karena perempuan, obatnya harus dengan perempuan lagi. Sekarang cari lagi saja yang cantik untuk dijadikan istri.”

Ujang Kusen pun bermaksud seperti itu, akan beristri lagi. Tapi harus mencari calon istri ke mana yang wajahnya seperti Nyi Rapiah. Ia berpikir: meski di seantero jagat, mencari perempuan yang serupa dengan Nyi Rapiah, ia rasa tak akan menemukannya, begitu juga di pasar, meski menak pun tak akan ada yang menandinginya.

Tapi pikiran tersebut sebenarnya salah. Di alam dunia tak akan ada yang unggul sekali kesempurnaanya. Meski perempuan yang begitu cantiknya, ada saja yang akan mengalahkannya. Dan Ujang Kusen tak tahu, dikiranya kalau mencintai perempuan tak akan menemui kebosanan, tergila-gila oleh perempuan tak akan ada redanya. Di dunia, semuanya tidak ada yang abadi: mencintai akan ada bosannya, susah akan ada pulihnya, kesukaan akan ada ujungnya, marah akan ada redaya.

Pikiran Ujang Kusen saat itu sedikit terbebaskan pula karena banyak yang menghibur dan mengalihkan perhatiannya. Tetapi ia terkenang kembali begitu melihat kamar yang pernah dipakai saat menjadi pengantin dan saat melihat rumah Nyi Rapiah. Karenanya, ia tak mau tidur di kamar lamanya. Ia membuat kamar baru di bagian belakang beranda rumah belakang. Dan saat bepergian tak pernah melewati rumah Nyi Piah.

Page 58: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

54

Meskipun pikirannya sudah mulai membaik, tapi harapannya masih tetap saja ada; berharap Nyi Piah masih ada peluang baiknya. Ia sering mencari peluang, tapi Nyi Piah tetap saja berkeras hati dan malah sering menyuruh seseorang untuk meminta cerai. Tetapi Ujang Kusen tetap tidak akan menceraikannya.

Semakin lama perpisahannya, semakin banyak orang yang bercerita kepada Ujang Kusen, menceritakan tingkah laku Nyi Rapiah yang suka bertemu dengan Aom Usman atau dengan lelaki lain. Betapa panas hati Ujang Kusen seperti dibakar saja. Ia sering menyelidiki, tetapi tetap saja tak tertangkap basah.

Ujang Kusen berpikir, “Tak ada jalan lain untuk mengobati ini semua, selain harus beristri lagi.” Setelah itu ia menikah dengan perempuan terpilih. Tapi mencari yang seperti Nyi Rapiah tentulah sulit. Tentulah lupanya kepada Nyi Rapiah selama dia sedang masa pengantinan saja. Tak lama kemudian ia pun menjadi bosan, seperti orang yang sangat lapar kemudian makan cemilan apa saja; begitu akan makan makanan utama, terasa tak enak karena kekenyangan. Akhirnya istrinya diceraikan.

Karena berwajah tampan dan orang kaya serta menunjukkan diri karena sedang panas hati oleh istrinya, banyak sekali yang suka kepada Ujang Kusen. sudah tentu dari kalangannya, menak sekalipun banyak yang tertarik. Karena merasa diri banyak yang menyukainya, akhirnya tingkah laku Ujang sangat disayangkan. Tingkah lakunya menjadi suka mengingkari janji, perbuatan baiknya terlepas darinya, awalnya suka berjual-beli, sekarang menjadi orang yang akrab dengan pelacuran, berganti-ganti istri yang dinikahinya, ditambah perempuan sampingan kanan-kiri. Sedikit saja sewot kepada istrinya, aka ia segera menceraikannya. Mantan-mantan istrinya banyak tersebar di tiap kampung. Sekarang ia melacur bukan sebagai penawar pikirannya yang kalut tetapi jadi kegemaran. Benarlah kata orang tua: perbuatan tidak baik jangan dimulai; jika sudah terbiasa, sukar dilepaskan lagi, bukannya terlepas malah semakin lekat, ditarik dihindarkan malah semakin menguasai, jika dipaksa untuk dihentikan bukannya pulih malah berakibat sakit.

Suatu kewajaran jika yang melacur akan diikuti dengan gemar berjudi; awalnya hanya terbawa oleh pacar saja, tapi lama-kelamaan kemudian gemar dengan sendirinya. Begitu juga dengan Ujang Kusen, awalnya lacur menjadi suka juga berjudi. Awalnya sebagai pribadi yang pendiam dan tenang, mau berdagang, sekarang menjadi pribadi yang sangat senang bepergian, menjadi orang yang tidak peduli, kepada harta kekayaan tak sedikitpun merasa ingin menjaganya, lacur dan berjudi menjadi dua hal yang digemarinya.

Semua akan memahami bahwa perbuatan seperti itu tentu membutuhkan modal yang sangat besar. Ujang Kusen pun demikian. Harta kekayaan ayahnya sudah berkurang, dicurinya karena dirinya belumlah ada miliknya dari yang diusahakannya.

Awalnya orang tuanya agak membiarkan dia agar pikirannya kembali pulih. Tapi setelah diketahui begitu merusak, ia sering sekali dinasihati dengan kerasnya. Tak pernah ia dengarkan karena ia memang sedang kalut. Ujang

Page 59: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

55

Kusen sering pergi dan tak kembali ke rumah; dua tiga malam tak pulang ke rumah.

Haji Samsudin pun menyuruh orang untuk mencarinya ke tiap kampung karena kalau tidak dipastikan datang, ibunya tak henti-hentinya menangis karena anak yang begitu disayanginya.

Ujang Kusen begitu membuat orang tuanya susah selamanya. Sudah tentu sejak masih bayi, ibunya bersimbah air kencingnya, tak merasa jijik ketika harus mengurus beraknya, tak kenal lelah karena sayangnya kepada anak, saat tidur nyenyak harus bangun karena anak menangis minta menyusu, saat makan sering tertunda, diselang menceboki anaknya. Apalagi saat anak sakit, ibu kurang tidur, kurang makan, ditambah pikiran yang tak tenang, takut anak berusia pendek. Nah, itu repotnya ibu merawat anak. Tapi hingga dewasa seperti itu, masih saja membuat pusing orang tua; bisa juga disebut tak ada pertimbangannya kepada orang tua, apalagi akan membalas jasa.

Tapi apa mau dikata, Ujang Kusen adalah anak yang memang awalnya menunjukkan tanda-tanda akan menjadi orang baik sekali, tetapi memang sudah begitu saja takdirnya. Tak bisa ditolak, karena sakit hati oleh perempuan, akhirnya ia berperangai seperti itu. Salahnya dia adalah tidak bisa menahan kesabaran; mengobati rasa sakit dengan perbuatan salah; akan menawar celaka dengan hal yang mencelakakan, tentunya tutup lobang gali lobang. Seharusnya ia bersabar dalam menghadapi musibah; harus berpasrah kepada Yang Berkuasa atas dirinya, tentulah nanti akan dibalas oleh kesenangan.

Dikisahkan pada suatu hari, bada dzuhur datanglah Agan Ali ke rumah Haji Samsudin. Ia tampak tinggi besar, kekar dan bermuka garang. Ia disuruh Aom Usman untuk meminta Nyi Rapiah. Agan Ali berkata, “Emang Haji, maksud kedatangan saya kemari tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, karena saya disuruh Aom untuk meminta Nyi Rapiah, akan diperistri karena sudah diketahui oleh anakmu bahwa dia sudah tidak diperhatikan. Adapun dengan orang tuanya, apalagi dengan yang bersangkutan, sudah beres, tak ada kendala. Jika anakmu tak mau menceraikan, maksud Aom akan dibeli talaknya. Apapun yang dipintanya akan dituruti.”

Haji Samsudin, begitu mendengar perkataan Agan Ali seperti itu, mukanya langsung memerah, tubuhnya gemetar. Kalaulah bukan haji serta orang tua, nafsunya mungkin tak akan tertahan, liar bagaikan kuda lepas. Hal yang menyebabkan dia marah besar, selain merasakan sakit hati untuk anaknya, ia pun merasa diremehkan, sampai akan dibeli talaknya segala. Dianggap orang yang tak makan saja. Ia kemudian memanggil anaknya, Ujang Kusen. Setelah tiba, Haji Samsudin pun marah; malah marah kepada Ujang Kusen. ternyata jadi sasaran pelampiasan. Kata Haji Samsudin, “Kusen, ini ada suruhan Aom Usman yang akan meminta Si Rapiah, malah kalau tidak diberikan, talaknya akan dibeli. Kalau memang kamu anak saya, ceraikan sekarang istri kamu dan jangan menjual talak karena kamu bukan anak yang sengsara. Biar saja, perempuan masih banyak. Kamu tentu akan laku. Mencari perempuan cantik; walaupun harus dibeli oleh uang emas setinggi tubuh, saya akan membelinya.”

Page 60: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

56

Mendengar perkataan ayahnya seperti itu, Ujang Kusen sangat marah. Kalaulah berani tentu ia benar-benar akan menempeleng Agan Ali. Ditambah bingung karena ayahnya menyuruhnya menceraikan Nyi Rapiah. Ia kepada istri masih besar rasa sayangnya. Tapi jika tidak dituruti perkataan ayahnya, tentu ia tak akan diurus. Jadi akan celaka oleh masalah lainnya. Kata Ujang Kusen, “Baiklah, Ama. Saya pun bukannya tak akan menyerahkan sejak dulu juga, tetapi menunggu diminta saja. Sekarang akan ada yang memungut, ya akan saya serahkan saja.”

Ujang Kusen pun membuat surat cerai disaksikan ayahnya. Kata Ujang Kusen kepada Agan Ali, “Saya serahkan ini, jangan dibeli karena saya bukan tukang menjual perempuan. Tadinya tidak saya ceraikan itu bukannya keberatan. Saya sudah tidak ada rasa sayang lagi dan saya menunggu saja permintaan untuk diceraikan.

“Bagaimana... sekarang sudah beres. Tidak akan ada masalah lain dari kejadian ini?”

“Tidak akan.” “Syukurlah kalau begitu.” Agan Ali pun pulang sambil membawa surat

cerai. Surat tersebut ia serahkan kepada Haji Abdul Raup. Betapa gembiranya, begitu pula dengan Nyi Rapiah, sampai ia bernazar.

Singkatnya cerita, setelah habis masa idah, kemudian Nyi Rapiah dinikahi Aom Usman dan dibawa ke rumahnya.

Adapun cinta Ujang Kusen kepada Nyi Piah sudah tidak seberapa karena banyaknya hal yang dapat mengurangi kesedihannya dan sudah lama berpisahnya, begitu juga saat itu sudah terganti oleh rasa benci karena sudah minggat. Tetapi yang sangat membuatnya panas adalah karena Nyi Piah mendapatkan suami yang melebihi dirinya. Itu menjadi alasan besar untuk Ujang Kusen atas bertambah dirinya menjadi jahat. Dasar anak muda yang kurang pertimbangannya, tak ada penahan cucurannya, dan banyak peluang untuk menjalankan perbuatan jelek. Dulu kejelekannya sudah seperti itu, sekarang berlipat dua, berlipat tiga. Beristri pun tak pernah awet karena belum mendapatkan yang seperti Nyi Piah juga sudah terbiasa gonta-ganti istri, alasan ketiganya karena banyaknya perempuan, selalu saja tertarik, makanya kepada yang sebelumnya menjadi bosan.

Disayangkan dengan keadaan Ujang Kusen seperti itu. Ingin puas oleh perempuan sampai berbuat seperti itu, mentang-mentang anak muda. Tentulah kalau memang akan dituruti sekehendak hati, meski sampai runtuh gunung pun tak akan ada hentinya. Puasnya hanya karena dipaksa untuk menahan diri, menerima apa yang sudah ada, dan harus mencukupi oleh yang sudah terbukti. Kata orang-orang pandai: tak ada yang paling kaya selain yang menerima apa yang menjadi takdirnya”. Jika nafsu terus diikuti semaunya, tentulah akan terjadi penyesalan. Raga yang akan menanggung kesengsaraannya. Hal itu sama sekali jauh dari jangkauan pemikiran Ujang Kusen. Ia hanya berpikir hal yang jelek saja. Merasa diri lelaki jagat, lelaki langit, tak ada rasa takut.

Ditunda kisah Ujang Kusen yang sedang mengumbar nafsu dan amarahnya. Dikisahkan yang sedang menikmati madunya pernikahan, Aom Usman dan Nyi Rapiah. Ia sangat merasa bahagia karena keinginan yang sejak

Page 61: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

57

dulu dan cinta sejak dulu, sekarang gayung bersambut. Tentulah sangat mesranya. Ke pemandian mereka pergi bersama-sama, ke jalan bersama-sama. Jika di rumah, duduk bertindih-tindihan. Tapi Aom Usman menikahnya kepada Nyi Rapiah tak memberitahu sedikit pun kepada orang tuanya karena tak akan diijinkan. Maklumlah orang tua, tentu harus mendapatkan orang yang sederajat. Menak harus mendapatkan menak lagi. Jadi, meskipun orang tuanya mengetahui, akan diabaikan saja, jangankan diuruskan, tapi malah pura-pura tidak tahu saja.

Kira-kita delapan bulan lamanya Nyi Piah dipersitri Aom Usman, pada suatu saat Aom Usman sakit, pilek panas sudah tiga hari. Ia tak pergi ke kantor. Ibunya mengetahui keadaan anaknya itu. Ia pun menjenguknya. Pergi tak berkendaraan karena rmahnya dekat dengan rumah Aom Usman. Setibanya di sana, ia langsung ke kamar tidur saja. Didapatinya Aom Usman sedang tidur dan Nyi Rapiah duduk di tepi tempat tidur setelah mengobati suaminya. Tak terkira terkejutnya ia begitu melihat juragan Demang perempuan datang. Ia tampak salah tingkah, terkesima melebihi mantri kudang yang berdosa didatangi tuan kontroler saja. Gerak-gerik Nyi Piah dipahami oleh juragan Demang karena istri yang mengerti keadaan, kemudian ditanya, “Kenapa Aom ini, Piah?”

Atas pertanyaan jurangan Demang tersebut, Nyi Piah kini tidak terlalu gemetar, merasa diakui sebagai menantu; seperti orang sakit yang mendapat obat manjur saja, seketika sembuh. Ia kemudian menjawab, suaranya memelas, katanya terputus-putus seperti yang kaget, katanya, “Iya, sakit.” Ia segera mengambil kursi dan didekatkan ke ranjang untuk duduk juragan Demang. Ia duduk di bawah, duduk bersimpuh. Pengiring-pengiringnya yang gadis dan janda, saudara-saudara dan pengawal yang lainnya tampak menyaksikan dari pintu kamar. Mereka sama-sama ingin melihat kecantikan Nyi Rapiah. Mereka sudah lupa malu, seperti menonton gajah beruang saja. Sebagian yang tak tahu diri sambil berbisik-bisik saling mencolek temannya, melihat tingkah laku Nyi Rapiah. Tentu saja Nyi Rapiah menjadi malu. Ia sudah tak tahu apa yang harus diperbuat, muka dan telinganya memerah seperti sengaja digosok karena marahnya. Si cantik dalam keadaan seperti itu menjadi tampak jelek. Ia berkata dalam hatinya, “Mengapa orang kurang ajar sekali sampai saya ditonton seperti menonton wayang orang saja; kalau tidak malu, tentu sudah saya tendang.”

Juragan Demang bertanya kepada Aom Usman, “Sakit apa, Ujang?” Jawab anaknya, “Demam dan flu. Tapi sekarang sudah cukup baik.

Besok juga akan ke kantor.” “Syukurlah! Ibu kira sakit keras. Kalau sakit harus memberi tahu agar

lekas diobati, jangan dibiarkan saja. Karena kalau penyakit sudah bersarang, susah untuk dihilangkannya. Jika badan sering sakit-sakitan, tak akan karuan bekerja. Syukurlah kalau sudah baik.”

Mata juragan Demang tak lepas memandang Nyi Rapiah, begitu diperhatikannya. Tapi ia berpura-pura saja. Dilihat dari ubun-ubun sampai ibu jari kakinya, ia berkata dalam hatinya, “Pantas Si Ujang cinta sama Si Piah karena wajahnya cantik. Tapi orang tuanya tak akan setuju, melihat tingkah

Page 62: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

58

lakunya yang begitu kampungan, tidak pantas untuk dipertunjukkan; yang seperti itu hanya untuk disukai saja buka untuk diperistri.”

Juragan Demang sangat tidak menyetujuinya, apalagi mendengar dan melihat pembantu-pembantunya yang berbisik-bisik seperti tidak setuju, terasa dihembuskan udara panas ke mukanya. Tak lama kemudian ia pun pulang.

Dikisahkan setelah satu bulan dari sakitnya, Aom Usman dipanggil ayahnya untuk ke rumahnya. Aom Usman pun menemuinya. Didapatinya ibu dan ayahnya sedang duduk, tak ada yang sedang menemuinya, hanya berduaan saja, seperti ada yang sedang mereka pikirkan perkara rahasia. Begitu Aom terlihat ibunya, ia pun dipanggil. Katanya, “Kemarilah, Ujang. Duduklah dekat ibu.” Aom Usman pun duduk. Kata ibunya, “Ujang, maksud Mama memanggil kamu, ibu akan menceritakan mengenai istrimu. Ibu melihat kamu beristri Si Piah tampak begitu terlalu senjang. Yang seperti itu bukan untuk diperistri, hanya untuk rasa suka rasa. Adapun yang pantas untuk dipersitri adalah yang harus sesuai, jangankan kepada saudara, menak pun harus kepada menak lagi agar tidak malu untuk memperkenalkan, nyaman untuk memiringkannya, dan nyaman untuk membawanya. Kamu pikirkan saja: istri kamu dalam pesta-pesta harus duduk di kursi, bergaul dengan menak-menak dan nyonya-nyonya tuan-tuan. Jangan sampai menak-menak menghormatnya kepada istrimu seperti bermajikan kepada bawahan. Tentulah kepada Si Piah tak akan ada yang mau menghormatinya karena malu kepada kamu, walaupun menghormatinya tak akan dengan hati yang tulus. Apalagi jika disuruh bergaul dengan nyonya-nyonya, dengan tuan-tuan, tentulah ia tak akan mampu karena bukan kebiasaanya. Jika kamu ada kesempatan untuk menjadi menak yang berpangkat, akan tampak seperti apa jika menunjukkan Si Piah seperti itu.”

Aom Usman menjawab, “Iya, Ibu. Maksud saya pun bukan untuk dijadikan istri Si Rapiah itu. Itu untuk sementara saja sebelum saya memiliki istri yang sebenarnya.”

“Syukurlah kalau kamu sudah berpikiran seperti itu. Tapi keinginan ibu, kamu harus segera beristri yang sungguhan karena Ama yang sudah begitu tuanya. Tak tahu, mungkin besok ditakdirkan oleh Yang Kuasa.”

“Ya saya menurut saja, Bu kalau memang harus segera beristri, saya berterimakasih saja karena sekarang saya sedang masih besar kecintaan saya kepada Si Piah.”

Kata ayahnya, “Nah, kamu suka punya kebiasaan membangkang kepada orang tua. Coba camkan dengan baik: Ama sudah punya calon untuk kamu, putra Wedana Anu, malah sudah terucap kata. Ama dengan Wedana tersebut ya sahabat, ya saudara, ditambah dia itu orang baik. Anaknya akan membuat kita cocok, wajahnya cantik, tingkah lakunya baik, begitu pendiam dan pintar karena sekola Belanda. Pendeknya, tak ada lagi yang perlu disangsikan. Sekarang anak itu sudah besar. Jika ditunda-tunda, tentu akan diambil orang lain. Akan sulit lagi mencari yang sebanding. Ama sudah memperkirakan, dalam masa-masa sekarang, tak ada anak yang seperti itu. Untuk sekedar dijadikan pacar pasti banyak, tapi calon istri itu tak mudah.”

Aom Usman tidak menjawab. Ia menunduk saja sambil membungkuk hormat. Ia sangat malu terhadap ayahnya dan takut. Tapi begitu ingat Nyi

Page 63: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

59

Rapiah, ia begitu berat meninggalkannya. Rasa cintanya masih besar. Perasaan Aom saat itu begitu sesaknya, seperti tertutup bumi dan tertindih gunung. Karena menurut pikirannya: tak akan ada yang cantik seperti Nyi Rapiah, walaupun putra ratu sekalipun.

Riak mimik wajahnya oleh ibunya sudah dipahami. Ia kemudian berkata, “Ujang, ibu pun bukan menyuruh untuk menceraikan Si Piah. Itu tak mengapa, dimadu saja karena lelaki berwenang mempunyai istri hingga empat. Apalagi untuk posisi kamu. Perkiraan ibu, mana mungkin Si Rapiah sampai tidak mau dimadu oleh kamu karena kamu itu ya tampan, ya menak. Tak mudah perempuan mendapatkan calon suami.”

Jawab Aom Usman, “Iya, yang menjadi pikiran saya adalah mending dia mau dimadu, bagaimana kalau tidak. Dan lagi jika jadi menikah dengan dia, di mana akan ditempatnya, bukankah rumah saya sudah ditempati Si Piah.”

“Ah, mengapa jadi masalah hal seperti itu saja. Rumah kamu untuk dia sudah sepantasnya ditempatkannya. Adapun untuk Si Piah kita buat lagi saja yang kecil, yang bagus. Kamu harus pandai saja membujuknya karena kamu itu lelaki. Kalaupun dia tidak mau dimadu, jangan sampai ketahuan saja. Kamu rahasiakan saja, curi-curi kesempatan. Kilir ke Si Piah di siang hari saja atau malam berjaga; lelaki tak akan kalah untuk mencari jalan. Dan lagi menurut ibu, meskipun dia, kalau sudah terikat rasa sayang, mana mungkin tak mau dimadu, setidaknya wanita seperti itu.”

Kata Juragan Laki-laki, “Ah, tentu saja akan mau, karena ayahnya juga banyak istrinya. Dan lagi sesungguhnya bagi perempuan yang berakal, tentu ada manfaatnya. Bukankah dengan menahan kesabaran sudah berlimpah pahalanya. Begitu juga dengan perempuan yang dimadu dan dimadukan pahalanya beberapa kali lipat dari yang tidak dimadu.”

Kata istrinya, “Wah, apalagi dia ahlinya berpoligami.” Kata Aom Usman, “Saya ikut saja apa kata orang tua.” Kata ayahnya, “Syukurlah! Lusa kamu harus pergi ke sana, temui dulu,

apakah dia setuju atau tidak.” “Ya.” Setelah itu Aom Usman pulang. Hatinya begitu berdebar. Kalaulah dia

tidak menurutinya, bagaimana; kalau menuruti, dia sedang begitu besarnya rasa cinta kepada Nyi Piah. Hatinya berkata, “Kasihan sekali kalau dia harus disingkirkan dari rumah, meskipun dibuatkan lagi rumah karena mungkin akan malu sam orang lain, kadangkala minta bercerai. Betapa akan membingungkan saya. Dan lagi perkara berpoligami, mending kalau mulus, bagaimana kalau kusut, akan menyebabkan sakit saja. Tapi apa mau dikata, tak akan bisa menolak akan keinginan orang tua. Bagaimana kenyataannya saja.”

Sesampainya di rumah, Aom Usman tampak murung saja. Nyi Rapiah bertanya, tapi dia tak berterus terang. Nyi Piah sudah tak menentu hatinya. Ia berprasangka adanya gara-gara. Tapi tak menduga sedikitpun bahwa dirinya akan dimadu karena merasa diri cantik dan tahu bahwa Aom Usman begitu mesranya kepada dia.

Besoknya, Aom Usman barulah bercerita bahwa ia akan pergi ke daerah Anu, disuruh ayahnya, ada urusan yang penting.

Page 64: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

60

Lusanya, Aom Usman berangkat diiringi beberapa orang pengawal dan ada seorang dua orang menak yang berusia tua yang akan memandunya.

Sesampainya di sana, Aom sangat disambut dengan baiknya oleh calon mertuanya. Malahan pada satu sore kira-kira pukul empat, Aom Usman dipertemukan dengan calon istrinya yang sudah berdandan. Begitu melihatnya, Aom sudah langsung tergiur karena calonnya begitu cantik. Tentulah kalau perbedaan kulitnya, kalah oleh Nyi Piah. Tapi ini menang di kharismanya, menang di pamornya karena keturunan orang berderajat tinggi. Kalau diibaratkan baju, Nyi Rapiah umpama tariko rawun kotak-kotak, adapun Agan Sariningrat, pacar Aom Usman seperti tariko hitam, cocok dipakai untuk jenis dan model apapun.

Sejak saat itu rasa sayang Aom kepada Nyi Piah sudah turun seperlimanya serta sampailah hatinya berkata seperti ini, “Bagaimana nanti saja Si Piah; kalaulah mau dimadu, syukur; tidak pun tak apa-apa. Saya tak akan tergila-gila lagi karena sudah ada pengganti.”

Lima hari ia berada di sana. Ia pun kembali pulang. Dengan calon istrinya ia sudah mengenal dengan baik, malah ketika akan pulang ada perasaan berat.

Setiba di rumah, ia berpamitan saja kepada ibunya. Dikisahkan juragan Demang suami istri sudah bersiap-siap akan

bermantu. Berita itu sudah tersebar ke mana-mana. Tua-muda sudah sama-sama tahu. Tapi Nyi Piah yang masih belum tahu.

Semuanya sudah memaklumi bahwa sebagian besar orang ahli mendengki, merasa puas melihat yang celaka. Saat sudah banyak yang mengetahuik bahwa Aom akan beristri lagi, sepertinya semua perempuan sudah gatal bibir ingin segera memberitahu Nyi Piah, ingin segera melihat bagaimana akibatnya. Ketika Aom berada di kantor, biasa suka ada perempuan yang bertamu, baik kalangan menengah atau cacah, setiap orang yang dekat dengannya. Saat itu sudah dipastikan hampir tiap hari berdatangan membawa berita; sebagian beritanya dilebih-lebihkan, agar Nyi Piah bertambah panas.

Tapi karena Nyi Piah orangnya tenang serta baik didikannya, ia tampak pandai sekali mengatur sikap, hingga semua kaget. Mereka menyangka Nyi Piah kuat, sabar tawekal tak tergoyahkan. Tak sedikit pun tampak oleh mereka. Budi bahasanya seperti biasa saja, tak menampakkan kesusahan; tak menunjukkan bingung. Tapi tampak dari wajah yang pucat pasi, leher tampak memanjang dan pergelangan tangan tampak tulangnya; itu pun tampak sudah lama. Ia menjawab kepada yang membawa cerita seperti ini, “Emh, kalau belum tahu, saya berdiam di sini tidak merasa punya suami, hanya mengikuti kehendak saja, anggaplah sebagai isi dapur, yang diharapkan mudah-mudahan ada berkahnya menak. Kalaupun sekarang juragan akan beristikan putra menak lagi, itu sudah sepantasnya. Apakah saya harus merah dengan itu? Jika saya marah, penjaga semua pun harus marah karena tak ada bedanya dengan saya. Begitu juga jika saya akan dibuatkan rumah, beribu-ribu syukur. Walaupun akan ditempatkan di dapur di sini pun, saya tak akan menolak.”

Page 65: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

61

Setiap yang bercerita, mendengar jawaban seperti itu tak dapat melanjutkan percakapannya. Akhirnya mereka semua bosan dan tak bercerita lagi.

Tapi sesungguhnya apa yang disampaikan Nyi Rapiah hanyalah di luar saja. Dalam hatinya hanya Allah yang tahu. Begitu juga saat ia mengetahui pertama kalinya, selama tiga hari tiga malam tak makan sedikit pun, tak tidur sedetik pun. Ketika ditanya Aom, ia menjawab singkat saja, “sakit”. Untuk perkata itu ia pura-pura tidak tahu saja, maksudnya ingin bersabar sebab sudah telanjur dan malu oleh Ujang Kusen jika meminta diceraikan. Mungkin akan disebutkan: menyebalkan, tadinya akan berbangga diri berkacak pinggang di ketiak karena mendapatkan putra menak, ternyata hanya sebatas kelimis saja.

Lambat laun Aom Usman berterus terang kepada Nyi Rapiah karena merasa sudah saatnya. Katanya, “Piah, permintaan saya kamu jangan berharap banyak, jangan juga berkecil hati, sekarang sudah sampai kepada suratan, saya disuruh Mama untuk berisitri kepada anak Wedana Anu. Walaupun saya menolak, tapi terus dipaksa. Oleh karenanya, saya tak bisa berbuat apa-apa. Kamu tentu mengerti, saya tentu tidak mungkin akan membantah atas keinginan orang tua yang begitu memaksa saya. Alasan keduanya, besar harapan saya, yaitu ingin sampai mencapai pangkat tinggi. Jika dia marah kepada saya, sampai tak mengakui lagi anaknya tentu akan menjadi durhaka; maksud tak akan tercapai.

Oleh karenanya, tak ada lagi yang saya minta hanyalah kesabaran kamu. Jika kamu besar rasa cinta, besar perhatian kepada saya, tentulah kamu rela akan kehendak orang tua. Sesungguhnya kecintaan dan rasa sayang saya kepada kamu hanya Allah yang tahu; besarnya gunung Tangkubanparahu, masih besar kecintaan saya; meski pun sampai ke liang kubur, tak akan habis cinta saya. Kamu tak akan tergantikan oleh anak menak; tak akan tersisih oleh yang cantik, meskipun oleh bidadari dari sorga sekalipun. Saya sudah merasa terpikat erat, tak akan bisa lepas lagi.”

Nyi Piah tak menjawab. Ia menangis saja bersujud ke pangkuan Aom Usman sampai kain sampingnya basah. Aom pun berkata mengiba, tak tahan melihat Nyi Piah seperti itu.

Setelah itu Nyi Rapiah berkata sambil terisak-isak, “Emh, Gamparan, menyadari diri sebagai perempuan, selamanya berserah diri; kebiasaan hanya dipungut dan dibuang. Saya tak akan melampaui apa yang gamparan harapkan, mau diapakan pun, hanya gamparan yang punya. Tetapi Gamparan keterlaluan, hingga saya meninggalkan suami, lupa kepada orang tua, tak lain hanya memikirkan perkataan gamparan dahulu. Semula saya tidak memaksakan diri; menerima takdir sebagai rakyat jelata, bukan untuk dipasangkan di piring set, hanya pantas diwadahi oleh batok. Itulah yang membuat saya sakit hati. Saya merasa dibodohi, dianggap anak tolol. Gamparan yang menak, ternyata begitu terhadap cacah.”

“Nah, itulah kamu. Tak menyimak perkataan orang lain. Saya berkata apa tadi? Ini semua keinginan saya?”

Nyi Piah berpikir bahwa Aom tak sedikit pun bersalah karena sudah menjadi kewajiban anak untuk menuruti perkataan orang tua. Jadi, ia

Page 66: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

62

mengingat itu sebagai takdir saja bahwa dirinya harus dimadu; sudah tidak mungkin memungkirinya. Setelah itu ia agak mereda amarahnya. Menangisnya pun berhenti.

Aom Usman berkata, “Bagaimana, kamu pasrah?” “Ah, bagi saya yang seperti ini, pasrat atau pun tidak sudah begini

kejadiannya. Saya menuruti saja apa kehendak Gamparan. Kalaulah masih dilumayankan, walau sampai akhir hayat, saya tak akan berpaling.”

“Syukurlah kalau begitu. Tapi saya ada lagi permintaan. Keinginan Mama, rumah ini harus ditempati oleh dia sebab tak ada lagi yang pantas selain dia. Jika tidak ditempatkan di sini, tentu Mama akan merasa malu oleh besan dan tuan-tuan. Kamu dibuatkan lagi oleh Mama di bagian dalam belakang. Malah sekarang pun sudah selesai. Kamu mau?”

Karena awalnya pun Nyi Piah sudah mendapat kabar bahwa dia sedang dibuatkan rumah, jadi ia tak terlalu kaget mendengar perkataan Aom seperti itu. Katanya, “Ih, apa yang saya katakan tadi, tak akan melampaui apa yang Gamparan katakan. Jangankan diberi rumah, ditempatkan di kolong atau tempat pembuangan sampah pun, saya tak akan bereaksi apa-apa, asalkan dengan Gamparan saja.”

Aom Usman sangat senang mendengar perkataan Nyi Rapiah. Ia kemudian merangkulnya dan menciumnya.

Cepatnya cerita, tak lama kemudian semenjak Aom berterus terang kepada Nyi Piah, kemudian Nyi Piah dipindahkan ke rumah kecil di bagian belakang kabupaten. Meskipun kecil tapi tampak tegap; berisi perabotan, begitu diperhatikan karena takut minggat atau berlaku tidak baik. Tetapi meski pun demikian, karena dunia, hati Nyi Piah terbakar juga akhirnya karena manusia asalkan turun harkat, begitu juga kalau sama sekali dirampas, mudah sekali menjadi tak menerima nasib, berputus asa, tak pernah ingat bahwa manusia tak berubah dan tak berdaya, bagaikan layang-layang putus talinya, melayang-layang, jatuh di mana tersangkutnya, menuruti saja hembusan angin; meskipun berikhtiar, tak ada kekuatannya.

Rumah Aom Usman yang pernah ditempati Nyi Piah sudah diperbaiki, dibereskan untuk menyambut Agan Sariningrat. Perlengkapan rumahnya bagus dan serba baru.

Ketika sampai pada waktu yang telah ditentukan, juragan Demang berangkat ke tempat calon besan, mengantar Aom Usman yang akan dinikahkan, diiringi saudara-saudara, apalagi akan berpesta luar biasa.

Tak dikisahkan pestanya, kalau-kalau terlalu panjang ceritanya. Dikisahkan sudah selesai saja. Tamu-tamu sudah pulang, ayah Aom Usman pun dan pengiringnya sudah pulang, tetapi pengantin ditahan hingga dua minggu.

Setelah genap dua minggu, pengantin diantarkan oleh ayah ibu dan saudara-saudara pulang ke tempat asal pengantin lelaki. Setelah tiba, maka diadakan pula pesta meriah sehari semalam. Bukan kepalang ramainya, sampai mengundang tuan-tuan.

Dikisahkan pengantin setelah usai pesta, mereka menetap di rumah, disebut bumi Kanoman. Kesenangan Aom Usman bersanding dengan Agan

Page 67: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

63

Sariningrat melebihi kesenangannya dibandingkan dengan Nyi Rapiah. Apalagi ini perawan dan sederajat, tak ada kesenjangannya, ditambah lagi oleh orang tuanya begitu diperhatikan kebutuhannya.

Nyi Piah mendapatkan kilir hanya pada siang hari saja, itu pun harus dengan sembunyi sembunyi; takut Agan mengetahuinya bahwa dirinya dimadu. Oleh karena itu, meskipun Nyi Rapiah dibujuk-bujuk oleh Aom Usman, ia tak tahan kalau sampai harus seperti itu. Sering sekali ia marah sampai mengeluarkan kata-kata kasar, malah kasang-kadang sampai meminta diceraikan. Tapi Aom tak menghiraukannya. Wajar saja perempuan kalau telalu marah suka meminta diceraikan, tapi tak sampai ke hati karena kalaulah dijatuhi talak, suka ingin kembali lagi.

Begitu pun Nyi Piah, sama sekali tak ingin diceraikan. Ia sudah merasakannya bahwa dirinya tak akan tahan menjalani dengan cara seperti ini. Akhirnya, kemarahannya tertahan, tinggallah badannya saja yang menjadi kurus kering.

Tetapi lama kelamaan, maklumlah karena segalanya tak ada yang abadi, sakit hatinya Nyi Piah agak reda, badannya pulih kembali.

Begitu pula dengan Agan sariningrat, lama kelamaan akhirnya tahu juga bahwa dirinya dimadu. Akhirnya Nyi Rapiah diijinkan untuk dikilir dalam seminggu selama sehari semalam. Karena perempuan berbudi, tahu akan hak perempuan bahwa berwenang untuk dimadu, apalagi dia sebagai istri muda, jadi akan teramat salah kalau tidak mengijinkan kilir.

Sekarang kita tunda kisah Nyi Rapiah yang sedang tertimpa sial. Kita kembali ke kisah Ujang Kusen.

Kisah Ujang Kusen, melacur kepada perempuan dan berjudi, semakin mengila saja, harta ayahnya sudah banyak sekali yang dihancurkan denga cara jahatnya, menjual padi, kuda, sapi, kerbau tanpa seijin orang tua. Sudah pasti dalam hal mencuri uang dan barang. Emas dan intan dari rumahnya sudah tak terhitung lagi. Nasihat ayahnya tak lagi mempan. Mencoba bersabar malah keasyikan; dipelakukan kasar malah semakin menjadi-jadi. Akhirnya ayahnya sampai melontarkan perkataan, ia tidak mau mengakui anaknya lagi. Kemudian ia diusirnya dan tidak diperbolehkan menginjak kaki lagi ke rumahnya. Kepada para pedagang dan kepada yang dikuasakan memegang kekayaan Haji Samsudin, diumumkan untuk menolak kedatangan Ujang Kusen, apalagi sambil memberinya sesuatu. Siapapun yang berani melanggarnya, pelanggarnya akan dilaporkan kepada petinggi.

Karena itu, Ujang Kusen sudah seperti daun yang terhanyut di sungai saja. Tak tentu tersangkutnya di mana. Pakaiannya kumal dan badannya kering kerontang. Makannya tak tentu karena tak ada yang mengurusnya. Saat sampai pada kondisi seperti itu, ternyata perempuan pun tak mau lagi.

Kebetulan pada suatu hari ia mendapat kabar bahwa Haji Samsudin dan anak-istrinya pergi ke sawah nyalin dan bercengkrama. Ujang Kusen pergi ke rumahnya. Sesampainya di sana, betullah di rumahnya tampak sepi; yang menunggu rumah hanya kakak perempuannya yang janda- tak ikut karena sedang sakit- dan teman-temannya laki-laki dan perempuan. Saat melihat Ujang Kusen dengan kondisi tubuhnya seperti itu, kakaknya merasa iba karena

Page 68: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

64

terikat saudara meskipun tampak begitu mengkhawatirkan, ia kemudia memberinya makan minum.

Setelah itu Ujang Kusen berkata kepada kakaknya, “Aceuk, saya tak akan tanggung-tanggung untuk jahat. Ayah sudah tidak mengakui anaknya; badan saya jadi rusak seperti ini. Saya sekarang akan mencuri uang dari peti besi. Tak akan saya ambil banyak-banyak, tetapi hanya untuk modal saja; saya akan belajar dagang, tetapi akan di tempat perantauan.”

Saudaranya sangat terkejut. Tubuhnya gemetar dan berkata dengan memelas, “ Jangan begitu, Ujang. Kamu sudah banyak sekali merusak kekayaan orang tua. Cobalah untuk kasihan kepada orang tua dan saudara-saudara karena Aceuk pun harus mendapat bagian, apalagi Aceuk ini seorang janda, tak ada yang akan memberi kalau bukan dari orang tua. Kalau kamu habiskan, mana bagian untuk Aceuk dan saudara-saudara?”

“Ah, Ceuk, masih banyak harta ayah. Saya tak mungkin memakan lagi, sekali ini saja untuk modal.”

Tetap saja Ujang Kusen tak bisa dicegah. Ia kemudian masuk membawa perabotan linggis dan lainnya.

Peti dibongkar; ternyata berhasil. Ia segera mengambil uang kertas ƒ 5000,- sambil berkata kepada saudaranya, “Nih, ceuk, uang masih banyak. Saya akan mengambil sebanyak ini saja. Tak akan mengambil lagi.” Ujang Kusen pun pergi lagi.

Tingkahnya kakaknya menjadi tak karuan; naik turun sambil gemetar dan menangis; sampai terkencing-kencing. Akan memberi tahu siapa karena tiba-tiba tak ada seorang pun lelaki tua; suami saudaranya sedang pergi.

Dikisahkan setelah pukul setengah enam sore, Tuan Haji Samsudin datang dari sawahnya, didapati para pekerja dan tetangganya berkerumun. Menantunya yang bernama Haji Tayib yang rumahnya berdekatan, saat itu ada di sana. Orang tersebut sedang sibuk bertanya kepada anak Haji Samsudin yang disuruh menunggui rumah itu; banyak bercerita seperti sedang menceritakan cerita besar saja.

Saat anaknya melihat Haji Samsudin datang, ia segera menemuinya ke luar, segera merangkul sambil menangis. Ayahnya bertanya alasannya tapi dia tak menjawabnya.

Setelah itu Haji Tayib menjelaskan dari awal sampai akhir serta dia memberi alasan bahwa dia baru datang dari pasar.

Awalnya Haji Samsudin akan memarahi anaknya. Tetapi setelah ia pikirkan kembali bahwa tak ada kesalahannya karena memang perempuan yang tak mungkin melawan laki-laki. Begitu tak terkira marahnya Haji Samsudin. Ia berkata dalam hatinya, “Ini anak tidak bisa dibiarkan. Sekarang sudah saatnya harus dilaporkan kepada polisi agar mendapatkan hukuman.”

Tuan Haji paham bahwa mencuri harta ayahnya tak akan mendapat hukuman. Karenanya, dia harus mencari akal lain.

Ia menuju teras depan sambil mengajak menantunya, Haji Tayib. Mereka duduk berdua.

Kata Haji Samsudin, “Si Kusen jangan dibiarkan. Lama kelamaan akan menghabiskan milik saudara-saudaranya, kadang sampai membunuh bapaknya.

Page 69: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

65

Karenanya, Ama berpikir, lebih baik dilaporkan saja ke polisi agar mendapat hukuman; semoga jadi jera. Tapi kalau didakwakan oleh Ama, tentu yang berwenang tak akan menghukumnya karena anak mencuri dari bakanya oleh menak tak akan diapa-apakan, seperti yang sudah-sudah.

Sekarang pertimbangan Ama, uang tersebut lebih baik diaku milik ki Haji saja, dititipkan kepada Ama. Jalankan saja perkara itu. Ama tak akan ikut campur.”

Haji Tayib menjawab, “Ya. Saya menurut saja.” Lepas maghrib kemudian Haji Tayib melapor kepada camat. Tak lama

kemudian camat dan polisi-polisi lainnya ke rumah Haji Samsudin akan memeriksa kronologisnya dan saksi-saksi. Setelah selesai kemudian camat menyuruh polisi-polisi mencari Kusen. malam itu terus saja dicari tapi tetap saja tidak ditemukan. Barulah ditemukan menjelang subuh dari arah luar gerbang pekampungan. Ia sudah menaiki delman sewa seperti akan melarikan diri ke daerah lain. Saat itu Kusen pun ditangkap; tangannya dibelenggu rantai, kemudian digiring oleh polisi beberapa orang; ada yang membawa pedang, ada yang membawa gada dan ada yang membawa besi pemukul seperti menangkap yang mengamuk saja. Barang bawaannya dipegang oleh polisi, sebuah koper berisi pakaian.

Uang baru berkurang R 150,- sepertinya digunakan untuk membeli pakaian dan sebagian diperkirakan digunakan untuk berjudi. Koper dan isinya dibawa oleh juragan Camat. Dan Kusen dimasukkan ke penjara.

Sewilayah pasar hampir semua mengetahui bahwa Kusen sudah dibui. Tak terkira mereka merasa kasihan kepada Ujang Kusen, apalagi saudara-saudaranya. Sebagian ada yang protes, katanya, “Mengapa Tuan Haji Samsudin sampai tega kepada anaknya?”

Begitu juga dengan ibu Ujang Kusen, saat mendapatkan kabar bahwa anaknya ditangkap, maka menangislah dan tak sadarkan diri. Kemudian meraung-raung sambil memarahi suaminya, katanya, “Sekarang anak saya tewas! Aduh, bagaimana ini. Mungkin Si Kusen dibuang. Aduh saya tak tahan punya anak dibuang. Bagaimana makannya anak saya? Mengapa Tuan Haji begitu tega kepada anak, seperti orang maksiat saja, lebih sayang kepada harta daripada kepada anak. Mengapa tidak merasakan perasaan saya, dia saya kandung sembilan bulan, dilahirkan dengan begitu sakitnya, sekarang harus berpisah karena mengambil uang. Kasihan sekali anakku sampai harus dibui.”

Haji Samsudin karena saat itu sangat marahnya, tampak seperti tak ada ampun. Ia seperti berpuas hati dengan keadaan itu.

Dikisahkan Ujang Kusen, semenjak ditangkap, tak terkira terkejut dan susahnya. Mukanya pucat, badannya lunglai, lemas seperti kapuk saja sepanjang jalan banyak sekali orang yang sengaja menunggu ingin melihat karena itu kejadian tak biasa; anak orang kaya mencuri uang dari ayahnya sampai harus dihukum. Aib Ujang Kusen sudah tak terperikan lagi. Ujang bintangnya pasar, saat itu sampai seperti itu. Apalagi jika berpapasan dengan kenalannya, ia sudah tak berani menoleh. Ia menunduk saja sambil berlinang air mata. Saat itu dia baru merasakan pembalasan perbuatan tak baiknya, menyesal sekali. Ia berpikir, jika saat itu sampai selamat, ia akan jera, akan

Page 70: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

66

menuangkan air dan menaburkan abu. Tapi tentu pikirannya tersebut tak ada gunanya, nila jatuh ke air, bagaimana mengambilnya kembali.

Begitu dimasukkan ke bui, hampir tak sadarkan diri; hampir saja gila. Baru ingat setelah ia berada di kamar.

Ya Allah, dia begitu mengkhawatirkan. Ujang Kusen duduk memeluk lutut di lantai ubin. Kamarnya tampak sempit. Hanya cukup untuk satu orang saja dan tak ada apa-apa, selain selembar tikar dan bantal kulit satu, keras bagai batu saja. Hingga malam sampai kembali pagi, ia tak sedikit pun tidur begitu juga makan. Diberi nasi sisa-sisa pun tak ia sentuh. Pikirannya kalut dan bingung.

Setelah semalam Ujang Kusen berada di bui, keesokan harinya, sekitar pukul 9 ia dibawa ke kantor jaksa, dirantai, disatukan rantainya dengan pesakitan yang lain yang akan diperiksa.

Di kantor sudah ada Haji Tayib, suami saudaranya itu. Pertama Haji Tayib yang diperiksa. Setelah itu Ujang Kusen. Ujang Kusen memang orang tak baik, tapi hanya main perempuan dan

berjudi. Untuk mencuri tak pernah. Oleh karenanya, dia memberi keterangan tanpa ditutup-tutupi, tak berkelit. Tapi dia sangat terkejut saat diberitahukan oleh juragan Jaksa bahwa uang yang dicuri tersebut bukan uang milik ayahnya, tetapi uang Haji Tayib. Malah saat itu ia dengan Haji Tayib dipertemukan. Meskipun Ujang Kusen tahu bahwa itu hanya sandiwara saja untuk memberatkan kesalahannya, karena Haji tayib tak mempunyai uang ƒ 5000, dan kalaupun ia memilikinya tak mungkin ia titipkan. Tapi Ujang Kusen tak bisa berbuat apa-apa, berdiam saja karena tak terbiasa berdialog berdua-duaan.

Saat itu dia tak sempat mendapat giliran karena banyaknya perkara. Kemudian ia dikembalikan ke bui.

Besoknya Ujang Kusen dibawa lagi dari bui akan mendapat giliran untuk diperiksa oleh Tuan Asisten. Setelah selesai pemeriksaannya, kata Tuan Asisten, Kusen harus ditahan dibui, diperiksa oleh Radsambang.

Ujang Kusen ditahan selama tiga bulan. Baru kemudian datang Radsambang dari Batawi. Ujang Kusen pun kemudian diperiksa. Karena tidak berkelit, putusan Radsambang, ia dihukum buang tiga tahun. Ia kemudian dikembalikan ke bui, menunggu dari Batawi. Tak lama kemudian vonis dijatuhkan. Pada hari Senin tanggal 13 April 1878, Ujang Kusen dibawa ke babancong pasar dan teman-temannya yang mendapat hukuman buang akan diumumkan hukumannya kepada masyarakat. Begitulah aturannya jaman itu. Sepanjang jalan berkerumun orang-orang yang akan menonton Ujang Kusen. Upas-upas dan polisi-polisi yang lainnya, yang mengantarkan ke babancong, begitu lengkap pakaiannya dan senjatanya; kalau-jalau ada yang mengamuk, baik pesakitannya atau saudara-saudaranya.

Saat tiba di sana, sudah banyak orang yang akan menonton dan menak-menak berada di babancong. Vonis Ujang Kusen dibaca oleh Tuan Asisten bahwa ia dihukum buang tiga tahun di Surabaya, kemudian disampaikan kepada yang bersangkutan dan kepada khalayak agar diketahui. Setelah itu, Ujang Kusen dipasangkan kalung rantai besi. Buangan-buangan lainnya pun demikian. Setelah selesai mereka ditempatkan ke bui kembali.

Page 71: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

67

Besoknya tanggal 14 April, Ujang Kusen dan buangan lainnya diberangkatkan dari bui diantarkan oleh upas yang biasa bertugas mengantarkan buangan, jalannya ke Batawi.

Dikisahkan orang tua Ujang Kusen dan saudara-saudaranya banyak yang menangis, seperti menangisi jenazah saja. Tapi tak satu pun yang menemuinya karena mereka merasa kasihan. Saudara-saudara jauhnya berdatangan menemui orang tuanya, menandakan ikut prihatin. Kalau menemui yang bersangkutan, tak ada yang berani.

Kepedihan hati Ujang Kusen sudah terbayangkan oleh semua dan anak yang begitu disayangnya saat itu harus berpisah selama tiga tahun dan begitu jauhnya. Mending kalau ada umur, tapi kalau pendek umur tentu tak akan bertemu lagi.

Tuan Haji Samsudin saat itu pun sudah tidak kuat karena marahnya sudah reda. Yang tinggal hanyalah penyesalan. Seperti dalam peribahasa, menggunting dalam lipatan kain. Tapi karena tua dan lelaki saja, ia tak sampai menangis. Dalam hatinya sudah tak terperikan sedihnya. Kerjanya tafakur di surau, memohonkan Ujang Kusen agar panjang umur serta selamat di tempat buangan; berharap dapat kembali lagi.

Itulah akhir manusia yang menuruti hawa nafsu, berakibat sengsara diri dan menyusahkan orang tua.

***

Ada Sambungannya

Page 72: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

GLOSARIUM

adep-adep : kue pengantin ajug : alat lampu tempel alok : suara pengiring yang menuntun jalan cerita

atau lagu apok susu : bagian perlengkapan pakaian yang terbuat

dari beluduru dan digunakan untuk menutup kain permukaan bagian atas di bagian dada

atal : tanah halus berwarna kuning terang awet rajet : berumah tangga lama tapi sangat sering tidak

rukunnya babancong : podium beratap di tengah alun-alun bacreuk : pajangan makanan yang dibuat sebagai

penghias di acara kenduri badut : pertunjukan lelucon dengan menggunakan

angklung, dogdog dan diikuti dengan tariannya

bandang : tali anyaman dari benang emas atau perak sebagai perlengkapan pakaian dinas

bau (ukuran) : ukuran luas sawah: 7096½ m2 (500 tumbak) buntelan : pembungkus dari kain dan sejenisnya;

biasanya berisi baju, dan benada-benda dari bahan kain yang bisa dilipat

cacandran : ramalan nenek moyang yang menggambarkan keadaan negara di masa mendatang

damar : lampu tradisional celempungan : alat musik terbuat dari ruas bambu daragem : merah kehitam-hitaman didodotkeun : kain samping yang lebih panjang dan

ujungnya dilipat dikebojirokeun : lagu gamelan untuk menghormat tamu yang

datang, dll ditotopong gadung : penutup kepala corak bulat-bulat dudukuy :

jenis penutup kepala berbentuk kerucut pendek

elo : ukuran 0,688 m

Page 73: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

emas duket : emat murni 24 karat encit : bahan untuk pakaian wanita endong kadut : kantung kulit atau kain yang diselendangkan

dan berbentuk cembung gamparan gedah

: :

sebutan untuk orang kedua yang dihormat; lebih hormat daripada juragan alas kaki trasidional cermin atau kaca yang transparan

gerusan peupeus goah

: :

motif kain batik yang berurat dengan retakan-retakan khasnya tempat menyimpan makanan, dll yang tidak jauh dari tungku api

golodog : tangga untuk turun-naik di rumah panggung guguritan : lirik lagu, biasanya mematuhi aturan pupuh gulang-gulang hawu

: :

penjaga atau penjaga raja, bupati, petinggi lainnya pada masa dahulu tungku perapian di dapur tradisional

jabing : rambut perempuan yang menutup sebagia telinga

julang ngapak : model hiasan pelengkap (iket) yang bentuknya melebar ke samping

kalak nama sejenis senjata berupa dipasang di jari tangan berbentuk cincin untuk menonjok

kalung emping, susun, didinaran

: kalung bulat lempeng tipis, bersusun, dan bulatan sebesar uang receh

kampret wulung : pakaian lelaki dari kain tipis untuk pakaian sehari-hari berwarna gelap

kasang jinem : latar penutup, biasanya dari kain batik kilat bahu : hiasan di pangkal lengan dalam tokoh

pewayangan, dll kolanding lancar

: :

keranjang gendong untuk wadah daun teh tikar satu lapis

lepit : lipatan daun sirih loklak : nama perhiasan dari bahan dasar kulit kerang

untuk cincin, gelang, dll. lopor : pembantu kusir kereta maja pertengahan markis : sebutan untuk gelar ningrat menak : ningrat mertelu : sepertiga ngekes : memungut biji kopi matang bekas dimakan

musang yang jatuh di bawah pohonnya nista : perbuatan yang merugikan orang lain nyalin : memetik padi memakai etem pajangan : benda yang dipajang untuk menghiasi tempat

tertentu

Page 74: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

pamajikan : istri panayagan : penabuh gamelan pantun para parako paraseuneu

: : : :

puisi naratif yang didendangkan, diiringi kecapi, berkisah tentang kerajaan pajajaran langit-langit rumah pondasi (pembatas) tungku perapian langit-langit di atas tungku perapian

patetebah : emberesan tempat tidur yang akan segera digunakan

paturon : perlengkapan tidur pontrang : simpul atau ikat penghias puade : kain yang baik kualitasnya untuk penghias

kamar tidur pulet puket (asihan) : nama sejenis pekasih punten : kata permisi ketika bertamu, dll rampes ranggap

: :

jawaban atas kata permisi dari tamu, dll kurung ayam yang terbuat dari bambu

sabda kahemengan (asihan) : pekasih untuk menundukkan hati seseorang salur :

: motif garis-garis pada kain/pakaian

samping (kaen) : kain (biasanya batik), digunakan untuk menutupi setengah badan ke bawah

senggak : suara pengiring penabuh gamelan agar tambah ramai suasananya

saung : sejenis gardu, tempat berteduh sesebred : pantun jenaka siger : mahkota penghias kepala solo doktor : pakaian dengan model resmi yang biasa

dikenakan di lingkungan pemerintah hindia Belanda atau Eropa dan digunakan juga oleh sebagian mahasiswa kedokteran pada masa Hindia Belanda

songket tabur : kain songket dengan hisasan benang menyebar di seluruh permukaannya

sosompang suan suraga

: : :

bangunan yang atapnya dirapatkan ke tepian rumah orang lain anak adik nama sejenis tandu untuk membawa persembahan, dll.

takoah tampang (bako)

: :

sejenis tahu terbakau berkualitas baik dan biasa dijadikan benih

tarawangsa : kesenian tradisional dengan menggunakan sejenis rebab sebagai alat musik utamanya

tariko :

kain untuk pakaian wanita , warna mengkilap seperti beludru

Page 75: RACUN BAGI MUDA-MUDI - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/06/racun_bagi_muda... · mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif),

tariko rawun : kain tariko berwana kelabu muda tarum : sejenis tanaman dengan daunnya yang kecil-

kecil; air daunnya untuk bahan pencelup kain tarumpah : sejenis alas kaki tradisional, di punggung

kakinya, ikstsn kulitnys disilangkan telebug : bakul besar tempat menyimpan padi, dll tingkeban : penutup warung yang dapat dilipat ke atas totopong : penutup kepala udeng : sejenis iket (penutup kepala dari bahan kain)