rabu, 2 november 2011 mempertahankan penand filepusaka indonesia (bppi), bekerja sama dengan...

1
TEMA: Banjir Thailand Gerogoti Produksi Otomotif Nasional OTOMOTIF KAMIS (03/11/2011) FOKUS 22 RABU, 2 NOVEMBER 2011 F OKUS NU RETNO HEMAWATI S EJUMLAH wisatawan terpana ketika melihat bangunan Lon- don Sumatra atau yang dike- nal dengan Gedung Lonsum di Jalan A Yani Medan, Sumatra Utara. Bangunan itu sudah berdiri sejak 1906. Arsitekturnya yang mengusung gaya transisi telah mencuri perhatian wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Gaya itu terlihat pada bentuk gevel atau fasad depan yang menjadi ciri rumah-rumah di Eropa yang meng- hadap sungai pada masa transisi akhir abad ke-19. Bangunan tersebut merupakan satu dari sekian banyak bangunan tua yang menjadi aset Kota Medan. Namun di sisi lain, modernisasi mengancam keberadaan bangunan-bangunan bersejarah tersebut. Keprihatinan itu juga mengemuka dalam Temu Pusaka 2011 para pe- merhati bangunan cagar budaya yang tergabung dalam Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), bekerja sama dengan Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI), yang diselenggara- kan di Medan, beberapa waktu lalu. Setiap daerah kini dihadapkan pada dilema, mempertahankan identitas daerah atau mengubahnya dengan bangunan modern. Kasus terakhir yang marak menjadi sorotan media massa ialah perlawan- an masyarakat terhadap penggusuran bekas pabrik gula Sari Petojo di Solo beberapa waktu lalu. Bahkan wali kota setempat membela masyarakat dengan melawan investor yang akan menggusur bangunan tua untuk di- jadikan mal. Hasti Tarekat, salah satu anggota Dewan BPPI yang sedang melakukan riset di Belanda, mengungkapkan di ‘Negeri Kincir Angin’ banyak ba- ngunan tua bersejarah yang diambil alih swasta dan pemerintah untuk direvitalisasi. ‘’Bangunan tua itu akhirnya bisa dimanfaatkan kembali. Tentu saja ini mendatangkan pendapatan bahkan bisa membuat nilai bangunan jadi naik,’’ jelasnya. Bahkan bangunan-bangunan tua tersebut menjadi penanda kapan kota tersebut ada. Bahkan di masa sekarang, bangunan tua telah men- jadi aset di dunia pariwisata. Banyak orang kembali ke Kota Medan karena ada nostalgia di masa lalu yang ingin dilihat di masa kini. Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia juga memiliki penanda sejarah, seperti apa kota itu di masa lalu. Sejumlah bangunan tua yang kini masih bisa dilihat antara lain Gedung Bank Indonesia, Gedung PT London Sumatra, dan Tjong A Fie Mansion. Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif BPPI Catrini Pratihari Kubontubuh menambahkan, mem- pertahankan bangunan tua termasuk merehabilitasinya tidaklah mudah. Mempertahankan Penand Derasnya arus modernisasi memak Padahal gedung tua bersejarah merup KOTA Medan beruntung ka- rena memiliki warga seperti Tjong A Fie dan anak cucunya. Tjong tua telah berjasa mem- bangun sebuah istana berlantai dua, di atas tanah seluas 4.018 meter persegi, pada 1895. Kini, rumah bergaya pa- duan Tiongkok, Melayu, dan Eropa itu masih kukuh berdiri. Fon Prawira Tjong, sang cucu, masih mempertahankan ke- beradaan rumah kuno di Jalan Ahmad Yani itu. Rumah itu telah ditetapkan sebagai bangunan cagar bu- daya berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan No 6/1988. Meski begitu, penetapannya tidak lantas membuat peme- rintah kota peduli dengan dana pemeliharaan. “Saya hanya dibantu ala ka- darnya. Padahal, setiap bulan butuh dana sekitar Rp50 juta untuk operasional, pembersih- an, dan pengecatan periodik,” kata Fon Prawira. Di sisi lain, iming-iming untuk menjual rumah terus datang. Namun, sang cucu berkukuh tidak akan menjual rumah warisan kakeknya. Setelah memutar otak, Fon berinisiatif untuk membuat rumah tinggalnya menjadi Tjong A Fie Mansion, sebuah museum kehidupan, seperti Museum Picasso di Barcelona, Spanyol. Ia pun menarik dana partisi- pasi dari pengunjung sebesar Rp35 ribu. Anak-anak dan pelajar mendapat potongan karcis hingga 50%. Cara terse- but membuat Fon mampu mempertahankan rumah tanpa harus menjualnya. Jika dibandingkan dengan situs bersejarah lain, rumah Tjong A Fie memang lebih beruntung. Di Sumatra Utara, seperti diungkapkan sejarawan Phill Ichwan Azhari, banyak situs yang telantar tanpa pera- watan. Di antaranya ialah Barus, Portibi, Benteng Putri Hijau, Kota Cina, Kota Rentang, Pulau Kampai, Makam Raja Sidabu- tar, Batu Persidangan Siallagan, Bukit Kerang, dan tradisi mega- litik Nias. “Sumatra Utara memiliki warisan sejarah dan budaya yang tidak kalah menarik de- ngan kawasan lain di Indone- sia. Namun, sayangnya potensi tersebut tidak dimanfaatkan secara efektif,” tuturnya, be- berapa waktu lalu. Ia mengingatkan, perlahan tapi pasti, keberadaan situs akan hilang dari wujud nyata- nya. Lama-kelamaan namanya hanya akan ada dalam ingatan kolektif masyarakat. Fakta menunjukkan bebera- pa bangunan bersejarah di Kota Medan dan beberapa kota di Sumatra Utara juga luput dari perhatian dan penyelamatan. Lambat laun heritage itu pasti akan hilang. Akibatnya langsung bisa dira- sakan saat ini. Situs dan bangun- an bersejarah sebagai warisan kebanggaan masyarakat tidak pernah menjadi objek atau destinasi wisata yang menarik. Wisatawan pun enggan da- tang sehingga kesempatan masyarakat untuk menambah pendapatan juga hilang. “Medan punya banyak pe- ninggalan sejarah, tapi tidak mampu menyerap wisatawan, seperti kota lain di Jawa. Ka- laupun ada wisatawan yang datang, mereka itu hanya men- jadikan Medan sebagai kota transit sebelum melanjutkan kunjungan ke Nias, Samosir, Berastagi, Aceh, maupun Su- matra Barat,” tandas pengajar di Universitas Negeri Medan itu. Ia menyayangkan situs seja- rah yang tidak dilestarikan dan tidak dimanfaatkan dengan maksimal sebagai destinasi wisata. “Padahal memasuki abad ke- 21 ini telah terjadi perubahan perspektif wisata dari keindah- an alam kepada wisata sejarah dan budaya. Seharusnya ini dapat dimanfaatkan Sumatra Utara dengan sebaik-baiknya,” tandasnya. (Eno/Ant/N-2) P T London Sumatra Tbk, atau dikenal dengan Lonsum, memang menjadi salah satu pesona di Kota Medan, Sumatra Utara. Bangunan bergaya transisi yang berdiri sejak 1906 itu sangat terawat, bersih, dan anticecak. Herbert Walker ialah arsitek yang mendesain konsep gedung perkantoran berlantai empat untuk perusahaan perkebunan milik Inggris, Harrison and Crosseld Plantation, Ltd. Dahulu gedung itu bernama Juliana Building ketika pemerintah Hindia Belanda berkuasa. Namun, saat Inggris menguasai Indonesia, gedung itu berganti nama sesuai nama penguasa. Sampai sekarang, nama London Sumatra tidak pernah diganti. ‘’Bangunan ini sudah pernah direnovasi terutama bagian interior. Namun, 90% masih asli. Gedung ini berarsitektur Belanda dan bahan bangunan yang dipakai anticecak. Sepanjang saya bekerja di sini, saya tidak pernah melihat seekor cecak melintas di dinding,’’ ujar Usman, manajer perawatan PT London Sumatra. Gedung Lonsum memiliki ketinggian 26 meter dan luas bangunan 2.880 meter persegi. Gedung itu menjadi gedung tertinggi pada masanya. Di dalam gedung terdapat lift kuno yang masih dipertahankan sampai sekarang. Lift itu mirip sangkar besi, yang dijalankan secara manual. Uniknya, yang menjalankan lift kuno itu ialah seorang pekerja yang mewariskan bakatnya secara turun-temurun kepada penerusnya. Orang yang bekerja di lift harus rajin merawat dan memberikan minyak pada engsel-engselnya. Dahulu lift itu hanya dikhususkan untuk direksi dan tamu perkebunan. Perawatan gedung Hanya Sedikit yang Tersisa Gedung London Sumatra yang Anticecak Bangunan tua itu akhirnya bisa dimanfaatkan kembali. Tentu saja ini mendatangkan pendapatan bahkan bisa membuat nilai bangunan jadi naik.” Hasti Tarekat Anggota Dewan BPPI JULIANA BUILDING: Gedung PT London Sumatra Indonesia pada 1906 disebut Juliana Building. Gedung ini terletak di Jalan Ahmad Yani, Medan, Sumatra Utara, pekan lalu. BANGUNAN CAGAR BUDAYA: Bangunan Tjong A Fie Mansion yang didirikan pada 1895 masih berdiri kukuh di Jalan Ahmad Yani, Medan, Sumatra Utara, pekan lalu. Lampu gantung dan ukiran di daun pintu merupakan perpaduan multikultur dunia, yakni art deco, Tiongkok, Melayu, dan Eropa.

Upload: dangdan

Post on 08-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEMA:Banjir Thailand

Gerogoti ProduksiOtomotif Nasional

OTOMOTIFKAMIS (03/11/2011)

FOKUS

22 RABU, 2 NOVEMBER 2011 FOKUS NU

RETNO HEMAWATI

SEJUMLAH wisatawan terpana ketika melihat bangunan Lon-don Sumatra atau yang dike-nal dengan Gedung Lonsum

di Jalan A Yani Medan, Sumatra Utara. Bangunan itu sudah berdiri sejak 1906. Arsitekturnya yang mengusung gaya transisi telah mencuri perhatian wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri.

Gaya itu terlihat pada bentuk gevel atau fasad depan yang menjadi ciri rumah-rumah di Eropa yang meng-hadap sungai pada masa transisi akhir abad ke-19.

Bangunan tersebut merupakan satu

dari sekian banyak bangunan tua yang menjadi aset Kota Medan. Namun di sisi lain, modernisasi mengancam keberadaan bangunan-bangunan bersejarah tersebut.

Keprihatinan itu juga mengemuka dalam Temu Pusaka 2011 para pe-merhati bangunan cagar budaya yang tergabung dalam Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), bekerja sama dengan Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI), yang diselenggara-kan di Medan, beberapa waktu lalu.

Setiap daerah kini dihadapkan pada dilema, mempertahankan identitas daerah atau mengubahnya dengan bangunan modern.

Kasus terakhir yang marak menjadi

sorotan media massa ialah perlawan-an masyarakat terhadap penggusuran bekas pabrik gula Sari Petojo di Solo beberapa waktu lalu. Bahkan wali kota setempat membela masyarakat dengan melawan investor yang akan menggusur bangunan tua untuk di-jadikan mal.

Hasti Tarekat, salah satu anggota Dewan BPPI yang sedang melakukan riset di Belanda, mengungkapkan di ‘Negeri Kincir Angin’ banyak ba-ngunan tua bersejarah yang diambil alih swasta dan pemerintah untuk direvitalisasi.

‘’Bangunan tua itu akhirnya bisa dimanfaatkan kembali. Tentu saja ini mendatangkan pendapatan bahkan

bisa membuat nilai bangunan jadi naik,’’ jelasnya.

Bahkan bangunan-bangunan tua tersebut menjadi penanda kapan kota tersebut ada. Bahkan di masa sekarang, bangunan tua telah men-jadi aset di dunia pariwisata. Banyak orang kembali ke Kota Medan karena ada nostalgia di masa lalu yang ingin dilihat di masa kini.

Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia juga memiliki penanda sejarah, seperti apa kota itu di masa lalu. Sejumlah bangunan tua yang kini masih bisa dilihat antara lain Gedung Bank Indonesia, Gedung PT London Sumatra, dan Tjong A Fie Mansion.

Dalam kesempatan itu, Direktur

Eksekutif BPPI Catrini Pratihari Kubontubuh menambahkan, mem-pertahankan bangunan tua termasuk merehabilitasinya tidaklah mudah.

Mempertahankan PenandDerasnya arus modernisasi memak

Padahal gedung tua bersejarah merup

KOTA Medan beruntung ka-rena memiliki warga seperti Tjong A Fie dan anak cucunya. Tjong tua telah berjasa mem-bangun sebuah istana berlantai dua, di atas tanah seluas 4.018 meter persegi, pada 1895.

Kini, rumah bergaya pa-duan Tiongkok, Melayu, dan Eropa itu masih kukuh berdiri. Fon Prawira Tjong, sang cucu, masih mempertahankan ke-beradaan rumah kuno di Jalan Ahmad Yani itu.

Rumah itu telah ditetapkan sebagai bangunan cagar bu-daya berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan No 6/1988. Meski begitu, penetapannya tidak lantas membuat peme-rintah kota peduli dengan dana pemeliharaan.

“Saya hanya dibantu ala ka-darnya. Padahal, setiap bulan butuh dana sekitar Rp50 juta untuk operasional, pembersih-an, dan pengecatan periodik,” kata Fon Prawira.

Di sisi lain, iming-iming untuk menjual rumah terus datang. Namun, sang cucu berkukuh tidak akan menjual rumah warisan kakeknya.

Setelah memutar otak, Fon berinisiatif untuk membuat rumah tinggalnya menjadi Tjong A Fie Mansion, sebuah museum kehidupan, seperti Museum Picasso di Barcelona, Spanyol.

Ia pun menarik dana partisi-pasi dari pengunjung sebesar Rp35 ribu. Anak-anak dan pelajar mendapat potongan karcis hingga 50%. Cara terse-but membuat Fon mampu mempertahankan rumah tanpa harus menjualnya.

Jika dibandingkan dengan situs bersejarah lain, rumah Tjong A Fie memang lebih beruntung. Di Sumatra Utara, seperti diungkapkan sejarawan Phill Ichwan Azhari, banyak situs yang telantar tanpa pera-watan.

Di antaranya ialah Barus, Portibi, Benteng Putri Hijau, Kota Cina, Kota Rentang, Pulau Kampai, Makam Raja Sidabu-tar, Batu Persidangan Siallagan, Bukit Kerang, dan tradisi mega-litik Nias.

“Sumatra Utara memiliki warisan sejarah dan budaya yang tidak kalah menarik de-ngan kawasan lain di Indone-sia. Namun, sayangnya potensi tersebut tidak dimanfaatkan secara efektif,” tuturnya, be-berapa waktu lalu.

Ia mengingatkan, perlahan tapi pasti, keberadaan situs akan hilang dari wujud nyata-nya. Lama-kelamaan namanya hanya akan ada dalam ingatan kolektif masyarakat.

Fakta menunjukkan bebera-pa bangunan bersejarah di Kota Medan dan beberapa kota di

Sumatra Utara juga luput dari perhatian dan penyelamatan. Lambat laun heritage itu pasti akan hilang.

Akibatnya langsung bisa dira-sakan saat ini. Situs dan bangun-an bersejarah sebagai warisan kebanggaan masyarakat tidak pernah menjadi objek atau destinasi wisata yang menarik. Wisatawan pun enggan da-tang sehingga kesempatan masyarakat untuk menambah pendapatan juga hilang.

“Medan punya banyak pe-ninggalan sejarah, tapi tidak mampu menyerap wisatawan, seperti kota lain di Jawa. Ka-laupun ada wisatawan yang datang, mereka itu hanya men-jadikan Medan sebagai kota transit sebelum melanjutkan kunjungan ke Nias, Samosir, Berastagi, Aceh, maupun Su-matra Barat,” tandas pengajar di Universitas Negeri Medan itu.

Ia menyayangkan situs seja-rah yang tidak dilestarikan dan tidak dimanfaatkan dengan maksimal sebagai destinasi wisata.

“Padahal memasuki abad ke-21 ini telah terjadi perubahan perspektif wisata dari keindah-an alam kepada wisata sejarah dan budaya. Seharusnya ini dapat dimanfaatkan Sumatra Utara dengan sebaik-baiknya,” tandasnya. (Eno/Ant/N-2)

PT London Sumatra Tbk, atau dikenal dengan Lonsum, memang

menjadi salah satu pesona di Kota Medan, Sumatra Utara. Bangunan bergaya transisi yang berdiri sejak 1906 itu sangat terawat, bersih, dan anticecak.

Herbert Walker ialah arsitek yang mendesain konsep gedung perkantoran berlantai empat untuk perusahaan perkebunan milik Inggris, Harrison and Crossfi eld Plantation, Ltd.

Dahulu gedung itu bernama Juliana Building ketika peme rintah Hindia Belanda berkuasa. Namun, saat Inggris

menguasai Indonesia, gedung itu berganti nama sesuai nama penguasa. Sampai sekarang, nama London Sumatra tidak pernah diganti.

‘’Bangunan ini sudah pernah direnovasi terutama bagian interior. Namun, 90% masih asli. Gedung ini berarsitektur Belanda dan bahan bangunan yang dipakai anticecak. Sepan jang saya bekerja di sini, saya tidak pernah melihat seekor cecak melintas di dinding,’’ ujar Usman, manajer perawatan PT London Sumatra.

Gedung Lonsum memiliki ketinggian 26 meter dan luas bangunan 2.880 meter persegi.

Gedung itu menjadi gedung tertinggi pada masanya.

Di dalam gedung terdapat lift kuno yang masih dipertahankan sampai sekarang. Lift itu mirip sangkar besi, yang dijalankan secara manual. Uniknya, yang menjalankan lift kuno itu ialah seorang pekerja yang mewariskan bakatnya secara turun-temurun kepada penerusnya.

Orang yang bekerja di lift harus rajin merawat dan memberikan minyak pada engsel-engselnya. Dahulu lift itu hanya dikhususkan untuk direksi dan tamu perkebunan.

Perawatan gedung

Hanya Sedikit yang Tersisa

Gedung London Sumatra yang Anticecak

Bangunan tua itu akhirnya bisa

dimanfaatkan kembali. Tentu saja ini mendatangkan pendapatan bahkan bisa membuat nilai bangunan jadi naik.”

Hasti TarekatAnggota Dewan BPPI

JULIANA BUILDING: Gedung PT London Sumatra Indonesia pada 1906 disebut Juliana Building. Gedung ini terletak di Jalan Ahmad Yani, Medan, Sumatra Utara, pekan lalu.

BANGUNAN CAGAR BUDAYA: Bangunan Tjong A Fie Mansion yang didirikan pada 1895 masih berdiri kukuh di Jalan Ahmad Yani, Medan, Sumatra Utara, pekan lalu. Lampu gantung dan ukiran di daun pintu merupakan perpaduan multikultur dunia, yakni art deco, Tiongkok, Melayu, dan Eropa.