putusnya an hukum islam

13
BENTUK-BENTUK PUTUSNYA PERKAWINAN Di dalam hukum Islam, ada beberapa bentuk atau cara putusnya hubungan perkawinan, yaitu: Talak. Menurut bahasa, talak adalah melepaskan atau meninggalkan, misalnya melepaskan sesuatu dari ikatannya. Sedangkan menurut istilah syara (syariat) adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak atau yang searti dengannya. Menurut kompilasi hukum islam,talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana di maksud dalam pasal 129,130,dan 131. Dalam hukum islam, wewenang untuk menjatuhkan talak berada di tangan suami. Hal ini kemungkinan besar karena seorang laki-laki biasanya lebih banyak menggunakan rasio di banding dengan wanita yang umumnya bertindak berdasarkan emosi. Dengan demikian, diharapkan kasus perceraian menjadi lebih kecil kemungkinannya,daripada apabila wewenang talak diberikan kepada istri. Selain itu, ada beberapa alasan lain yang menyebabkan suami memiliki hak menjatuhkan talak kepada isterinya, yaitu: a. Akad nikah berada di tangan suami. Suami menerima ijab dari pihak isteri saat pelaksanaan akad nikah. b. Saat akad nikah, suami wajib membayar mahar kepada isterinya, dan dianjurkan membayar uang mut’ ah setelah suami menjatuhkan talak kepada isterinya. c. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya selama perkawinan berlangsung,dan dalam masa iddah setelah dia mentalaknya. d. Perintah-perintah mentalak dalam al-qur’an dan hadis banyak ditujukan kepada para suami (Q.S.2: 227,229,230,231,232). Pada dasarnya talak itu ada dua macam, yaitu: a. Talak Raj’i, yaitu talak yang suami diizinkan rujuk kembali jika masih dalam masa iddah. Talak Raj’ i ini berupa talak satu atau talak dua dengan tanpa uang iwadh (pengganti) dari pihak isteri. Namun, apabila masa iddah sudah habis dan suami ingin kembali kepada isterinya itu, maka harus dilakukan

Upload: rudiandries

Post on 05-Jul-2015

283 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Putusnya an Hukum Islam

BENTUK-BENTUK PUTUSNYA PERKAWINAN

Di dalam hukum Islam, ada beberapa bentuk atau cara putusnya hubungan perkawinan, yaitu:

Talak.

Menurut bahasa, talak adalah melepaskan atau meninggalkan, misalnya melepaskan sesuatu dari ikatannya. Sedangkan menurut istilah syara (syariat) adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak atau yang searti dengannya. Menurut kompilasi hukum islam,talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana di maksud dalam pasal 129,130,dan 131.

Dalam hukum islam, wewenang untuk menjatuhkan talak berada di tangan suami. Hal ini kemungkinan besar karena seorang laki-laki biasanya lebih banyak menggunakan rasio di banding dengan wanita yang umumnya bertindak berdasarkan emosi. Dengan demikian, diharapkan kasus perceraian menjadi lebih kecil kemungkinannya,daripada apabila wewenang talak diberikan kepada istri.

Selain itu, ada beberapa alasan lain yang menyebabkan suami memiliki hak menjatuhkan talak kepada isterinya, yaitu:

a. Akad nikah berada di tangan suami. Suami menerima ijab dari pihak isteri saat pelaksanaan akad nikah.

b. Saat akad nikah, suami wajib membayar mahar kepada isterinya, dan dianjurkan membayar uang mut’ ah setelah suami menjatuhkan talak kepada isterinya.

c. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya selama perkawinan berlangsung,dan dalam masa iddah setelah dia mentalaknya.

d. Perintah-perintah mentalak dalam al-qur’an dan hadis banyak ditujukan kepada para suami (Q.S.2: 227,229,230,231,232).

Pada dasarnya talak itu ada dua macam, yaitu:

a. Talak Raj’i, yaitu talak yang suami diizinkan rujuk kembali jika masih dalam masa iddah. Talak Raj’ i ini berupa talak satu atau talak dua dengan tanpa uang iwadh (pengganti) dari pihak isteri. Namun, apabila masa iddah sudah habis dan suami ingin kembali kepada isterinya itu, maka harus dilakukan perkawinanbaru, yaitu dengan melaksanakan akad nikah (Q.S.2: 229).

b. TalakBa’in, yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk kembali kepada bekas isterinya ,kecuali dengan persyaratan tertentu.

Talak Ba’in itu ada dua macam, yaitu:

1. Talak Ba’in Shugro (ba’in kecil), yaitu talak satu atau talak dua yang disertai uang iwadh dari pihak isteri.

Page 2: Putusnya an Hukum Islam

2. Talak Ba’in kubro (ba’in besar), yaitu talak tiga.Dalam talak ini suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah kembali pada isterinya kecuali memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Q.S. 2 : 230, yang intinya adalah: a. Isteri tersebut telah kawin dengan laki-laki lain .b. Telah bercampur dengan suami yang baru.c. Telah diceraikan oleh suaminya yang baru.d. Telah habis masa iddahnya.

Disamping itu, ada pula macam yang lain, yaitu:

a. Talak sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan dalam ai-qur’an dan sunnah rasul SAW.Termasuk dalam talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri.Ahli fikih sepakat bahwa talak sunni ini hukumnya adalah halal.

b. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan al-qu’an dan sunnah rasul SA. Talak Bid’i ini hukumnya adalah haram. Termasuk talak bid’i adalah:1. Talak yang dijatuhkan ketika isteri sedang haid.2. Talak yang dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan suci tapi

telah dicampuri.3. Talak dua sekaligus, talak tiga sekaligus, atau menjatuhkan talak

untuk selama-lamanya.

Dalam kompilasi Hukum Islam, pengaturan mengenai talak ini terdapat dalam pasal 117-122, dan tata cara perceraian karena suami hendak menjatuhkan talak kepada isterinya ditetapkan dalam pasal 129-131.

Ta’liq-Talaq (Taklik-Talak)

Ta’liq berarti menggantungkan, sedang ta’liq-talaq bermakna hal-hal atau syarat-syarat yang diperjanjikan, jika terlanggar oleh suami, maka terbukalah kesempatan mengambil inisiatif untuk talak dari isteri, kalau dia menghendaki seperti itu. Sedangkan menurut kompilasi Hukum Islam, taklik-talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Di indonesia, pembacaan taklik-talak itu dilakukan oleh suami setelah dilangsungkan akad nikah. Saat ini taklik-talak itu diadakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan isteri agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya. Adapun ketentuan dibolehkannya mengadakan taklik-talak tercantum dalam Q.S.4:128, yang berbunyi:

Page 3: Putusnya an Hukum Islam

“ Kalau seorang wanita khawatir akan nusyuz suaminya, maka tidak mengapa mereka mengadakan perdamaian, dan perdamaian (perjanjian) itu adalah baik...”

Demikian pula dinyatakan dalam Q.S.2: 229,

“...Kalau suami isteri itu tidak menjalankan hukum-hukum Allah, maka boleh

Lah suami mengambil bayaran dari isteri untuk menebus dirinya...”

Sehubungan dengan ayat diatas, apabila suami melanggar janjinya itu, dan isteri menyampaikan hal itu ke Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya jatuhlah talak satu kepada isterinya itu.Karena talak itu disertai dengan bayaran (iwadh) dari isteri, maka suami tidak boleh rujuk.Kalau suami ingin kembali kepada isterinya, maka harus menikah lagi.

Syiqaq

Uraian mengenai terjadinya perceraian berdasarkan syiqaq ini telah dijelaskan di muka, yang penting adalah dalam hal pengangkatan hakam menurut Q.S.4: 35,terutama bertugas untuk mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar itu. Namun, jika telah dengan sekuat tenaga dan usaha yang maksimal untuk mendamaikan suami isteri itu tidak barhasil, maka hakam bolehlah mengambil keputusan menceraikan suami isteri tersebut.

Fasakh

Arti fasakh adalah hubungan perkawinan diputusakn atas permintaan salah satu pihak oleh Hakim Agama, karena salah satu pihak menemui cela atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Dasar hukum dari putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh ini adalah hadis Zaid bin Ka’b, dia berkata.Rasulullah menikah dengan seorang perempuan dari Bani Ghifar. Ketika dia masuk kepada Nabi, lalu Nabi melihat di sebelah rusuknya warna putih (sopak), kemudian Nabi menolak (mengembalikan) dia kepada keluarganya.Demikian pula hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang berbunyi :

“rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah dia kawin baru mengetahui bahwa dia tidak sekufu, untuk memilih tetap meneruskan hubungan perkawinannya itu, atau apakah dia ingin difasakhkan. Wanita itu memilih terus (tetap dalam perkawinan dengan suami yang lebih rendah derajatnya itu).

Pada umumnya yang menurut fasakh di pengadilan adalah isteri.Menurut Mahmud Yunus, alasan-alasan dibolehkannya seorang isteri menuntut fasakh adalah sebagai berikut :

1. Suami sakit gila,2. Suami sakit kusta, 3. Suami sakit sopak (balak),

Page 4: Putusnya an Hukum Islam

4. Suami menderita penyakit yang tidak dapat melakukan hasrat kelamin seperti ‘unnah atau potong kemaluannya,

5. Suami miskin, tidak sanggup memberi makanan, pakaian dan tempat kediaman,

6. Suami hilang, tidak tentu hidup-matinya sesudah menunggu empat tahun lamanya.

Dalam hal seorang isteri diceraikan dengan cara fasakh oleh Pengadilan Agama, tidak dapat dirujuk oleh suaminya. Apabila mereka ingin kembali hidup sebagai suami isteri, maka harus melaksanakan akad nikah baru. Oleh karena itu, kalau mereka bercerai dengan fasakh, dan kemudian menikah lagi, maka suami tetap mempunyai hak talak tiga kali.

Khuluk

Makna khuluk adalah perceraian berdasarkan persetujuan suami isteri yang berbentuk jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan adanya penebusan dengan harta atau uang oleh isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk tersebut. Berdasarkan definisi ini, talak khuluk disebut juga dengan talak tebus. Dasar hukum dibolehkannya talak khuluk ini adalah Q.S.2: 229. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa jika sudah tidak ada lagi persesuaian antara suami isteri, dan isteri menghendaki perceraian, maka isteri dapat minta talak kepada suaminya dengan cara membayar tebusan kepada suaminya. Penebusan atau Pengganti yang diberikan oleh isteri pada suaminya disebut juga dengan iwadh. Iwadh atau pengganti ini merupakan ciri khusus dari khuluk.

Agar khuluk menjadi sah, haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Perceraian dengan khuluk harus dilaksanakan atas persetujuan suami isteri,

2. Besar kecilnya jumblah uang tebusan (iwadh) harus ditentukan berdasarkan persetujuan bersama suami isteri.

Apabila tidak terdapat persetujuan antara suami isteri tentang jumblah uang tebusan, maka Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan tersebut. Namun, penetapan hakim ini terbatas pada penentuan jumblah tebusan, dan bukan pada terjadi atau tidaknya perceraian secara khuluk ini. Dengan demikian dapat dipahami bahwa putusan terjadinya khuluk adalah atas kehendak dan persetujuan suami isteri itu sendiri.

Mubara’ah

Di indonesia tidak ada perbedaan antara pengertian khuluk dengan mubara’ah. Tetapi dari dua sebutan itu yang lebih dikenal adalah istilah khuluk. Sedangkan di India, ada perbedaan pengertian antara khuluk dengan mubara’ah. Perbedaan itu terletak pada asal mula timbulnya perceraian. Khuluk, asal mula timbulnya perceraian adalah dari isteri, sedangkan mubara’ah, asal mula timbulnya perceraian adalah dari kedua belah pihak.Dalam Q.S.2: 229, ditentukan bahwa isteri harus membayar iwadh atau

Page 5: Putusnya an Hukum Islam

uang tebusan atau harta tebusan perceraian atas dasar kesepakatan suami isteri tersebut. Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka Hakim Pengadilan Agamalah yang menentukan jumlah iwadh tersebut. Tata cara pelaksanaan putusnya perkawinan dengan mubara’ah adalah sama dengan khuluk. Artinya, perceraian itu atas persetujuan suami isteri dan dengan pembayaran iwadh.

Ila’

Pengertian ila’ adalah menolak dengan sumpah. Bila ila’ ini dikaitkan dengan pernikahan, artinya adalah sumpah seorang suami untuk tidak mencampuri istrinya. Pada zaman sebelum islam, biasa seorang suami bersumpah tidak menggauli isteri selama setahun atau lebih, dengan tujuan menyusahkan isteri tersebut.Dalam keadaan seperti ini, isteri dibiarkan terkatung-katung , seolah-olah tidak bersuami tetapi juga tidak diceraikan.

Setelah islam datang, keadaan itu diperbaiki melalui wahyu Allah yang memerintahkan seandainya suami tidak menjalin kembali hubungan perkawinannya dalam waktu empat bulan, maka isterinya itu harus diceraikan. Ketentuan ini tercantum dalam Q.S.2 :226,227, sebagai berikut:

“Kepada orang-orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak akan mencampuri) istrinya diberi kesempatan selama empat bulan, kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya ), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Dan kalau mereka berketetapan untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Apabila batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum menentukan sikap, yaitu meneruskan hubungan sebagai suami isteri, atau menjatuhkan talak kepada isterinya, maka menurut hanafi, suami yang diam saja dengan berlalunya waktu empat bulan itu dianggap telah jatuh talaq ba’in shugro. Sedangkan syafi’i dan maliki berpendapat bahwa talak karena ila’ termasuk dalam golongan talak Raj’i. Selain itu, talak yang dijatuhkan tersebut harus diikrarkan dengan tegas oleh suami. Apabila suami masih diam saja, maka hakim Pengadilan Agama yang menyatakan jatuhnya talak tersebut.

Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan pernikahan dengan isterinya, hendaknya dia menebus sumpahnya dengan kafarat (denda). Dalam Hukum Islam, kafarat sumpah ila’ adalah sama dengan kafarat umum yang terlanggar, yang diatur dalam Q.S.5: 89. Denda sumpah umum itu berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:

a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut kebiasaan dalam keluarga, atau

b. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atauc. Memerdekakan seorang budak, atau kalau tidak sanggup juga, maka d. Berpuasa tiga hari.

Page 6: Putusnya an Hukum Islam

Pembayaran kafarat ini tetap harus dilaksanakan, meskipun suami telah menjatuhkan talak dan merujuknya kembali pada masa iddah, atau dalam perkawinan baru setelah masa iddah habis.

Zihar

Zihar merupakan prosedur talak yang hampir sama dengan ila’. Zihar ini pada masa jahiliah merupakan kebiasaan orang arab yang kalau marah mengucapkan kata-kata yang berisi penyamaan isteri kepada ibunya dengan maksud tidak baik. Jadi makna zihar adalah sumpah seorang suami bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Oleh karena itu, zihar ini dimaksudkan bahwa suami tidak ingin lagi bercampur dengan isterinya, sebagaimana haramnya dia bercampur dengan ibunya. Hal ini diatur dalam Q.S. 58: 2, yang menyatakan bahwa:

“Orang-orangyang menzihar terhadap isterinya, padahal isteri mereka bukan ibunya. Sesungguhnya ibu mereka adalah yang melahirkan mereka. Sesungguhnya mereka mengucapkan perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.

Dari bunyi ayat ini, ada pandapat bahwa akibat dari sumpah itu adalah terputusnya ikatan perkawinan antara suami isteri itu. Bila akan menyambung kembali hubungan keduanya, maka suami wajib membayar kafarat lebih dahulu. Namun, menurut Prof. Peunoh Daly, akibat hukuman dari zihar ini adalah suami haram mencampuri isterinya sampai dia membayar kafarat, bahkan jumhur ulama memandang haram juga pendahuluan dari perbuatan mencampuri itu. Salah satu pendapat Imam Syafi’i, yang diharamkan hanya mencampuri saja. Selanjutnya, suami harus membayar kafarat apabila ingin kembali kepada isterinya. Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kembali’ itu. Pendapat qatadah dan abu hanifah, bahwa maksud ‘kembali’ adalah suami bermaksud mencampuri isterinya yang telah diziharnya itu.Sedangkan Imam Malik dan Ahmad, berpendapat bahwa maksud ‘kembali’adalah adanya niat suami untuk mencampuri isterinya, tidak dicampuri. Tegasnya, adalah bila suami bermaksud kembali pada isterinya, harus terlebih dahulu membayar kafarat. Bila kafarat belum dibayar, maka suami haram mencampuri isterinya. Namun, apabila dicampurinya juga, kewajiban membayar kafarat tidak gugur dan tetap satu kafarat (tanpa kafarat tambahan). Ibnu Qayyim al-jauziah mengatakan, bahwa zihar di masa jahiliyah dianggap talak, tapi kemudian dibatalkan oleh islam. Jadi tidak boleh kembali kepada hukum yang telah mansukh. Sebabnya adalah, ketika Aus bin Shamit yang pernah menceraikan isterinya dengan zihar, dia dihukum zihar, bukan talak. Nampaknya kedua pendapat terakhir ini tepat, sebab zihar memang tidak sama dengan talak. Talak dengan zihar telah dihapuskan oleh Allah, dan ketentuan Allah lebih pantas untuk dilaksanakan.

Bentuk kafarat zihar adalah melakukan salah satu perbuatan menurut urutan berikut (Q.S. 58: 3,4):

a. Memerdekakan seorang budak, atau

Page 7: Putusnya an Hukum Islam

b. Puasa dua bulan berturut-turut, atauc. Memberi makan enam puluh orang miskin.

Mengenai bilangan tersebut diatas, yaitu dua bulan atau enam puluh orang, atau seorang budak, itu merupakan bilangan yang Qath’i (pasti). Artinya tidak boleh kurang dari jumblah itu. Namun apabila dia mampu mengerjakan dengan lebih banyak dari jumblah tersebut, maka hal itu dinilai sebagai perbuatan sunnat, dan mendapat pahala dari Allah SWT.Jika suami tidak menyatakan kembali kepada isterinya yang sudah di ziharnya itu, maka isteri tersebut menyampaikan kepada hakim Pengadilan Agama. Hakim memeriksa atas kebenaran laporan itu, kalau benar, maka hakim memerintahkan suami agar kembali kepada isterinya. Kalau suami tidak mau tunduk kepada perintah hakim tersebut, maka hakim memutuskan jatuh talak kepada isteri, demi menghindari kemudharatan yang menimpa isteri yang disebabkan oleh sikap suami.

Li’an

Li’an berasal dari kata la’ana, artinya mengutuk, karena orang yang mengucapkan li’an pada sumpahnya yang kelima bersedia menerima kutukan dari Allah SWT, seandainya sumpahnya dusta.Jadi, Li’an adalah sumpah suami atau isteri yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Allah, apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Oleh karena itu, proses pelaksanaan Li’an itu adalah seperti diatur dalam Q.S. 24: 6-9. Menurut Ibnul Qayyim al-jauziah, sebenarnya Li’an mengandung dua arti yaitu sumpah dan syahadah. Kesaksian itu dikuatkan dengan sumpah yang berulang-ulang, dan sumpah yang keras dengan lafaz kesaksian yang juga berulang-ulang. Sebabnya adalah adanya tuntutan oleh keadaan untuk menetapkan suatu masalah. Sumpah dalam Li’an ini mengandung sepuluh unsur penguat yaitu:

a. Menyebutkan lafaz syahadah (kesaksian) b. Menyebutkan sumpah dengan salah satu asma Allah (dalam asma’ul

husna).c. Mempergunakan kata-kata penguat dengan lafaz “anna” yang bermakna

sungguh dan dengan lam tauhid. d. Sumpah itu diucapkan empat kali.e. Berdoa untuk dirinya pada sumpah yang kelima agar dia dikutuk oleh

Allah apabila berdusta. f. Adanya pernyataan pada sumpah yang kelima, bahwa siksa Allah akan

menimpa diri isterinya, dan bahwa siksa Allah di dunia lebih ringan daripada siksa di akhirat.

g. Li’an dilakukan karena akan adanya hukuman yaitu hukuman had, dan li’an itu dilakukan untuk melepaskan diri dari hukuman tersebut.

h. Li’an itu mungkin akan mengakibatkan turunnya azab bagi suami atau isteri, baik di dunia maupun di akhirat.

i. Li’an mengakibatkan perpisahan suami isteri dan rusaknya rumah tangga dengan perceraian.

Page 8: Putusnya an Hukum Islam

j. Perceraian itu berat akibatnya, yaitu keduanya haram bersatu kembali untuk selama-lamanya.

Fahisyah

Menurut Prof. Hazairin, fahisyah bermakna semua perbuatan buruk dari pihak suami atau isteri yang mencemarkan nama keluarga. Dengan demikian, fahisyah dapat diartikan berbuat zina, pemabuk, penjudi, pemadat, dan sebagainya, yang sulit disembuhkan. Selanjutnya uraian lengkap mengenai fahisyah ini dapat dibaca pada sub bagian sebelumnya.

Murtad

Murtad berarti keluar dari agama islam. Apabila salah seorang dari suami atau isteri keluar dari agama islam, maka putuslah hubungan perkawinan mereka. Dasar hukum dari putusnya hubungan perkawinan yang disebabkan oleh oleh murtad ini adalah merujuk pada Q.S. 2: 221, yaitu tentang larangan perkawinan karena berlainan agama. Oleh karena itu, apabila salah seorang suami atau isteri berpindah agama, maka hal ini dapat dijadikan penyebab atau alasan perceraian. Menurut Ibnu Taimiah, para imam empat mazhab berpendapat bahwa apabila suami murtad dan tidak kembali kepada islam hingga habis masa iddah isterinya, maka terhadap perempuan itu telah jatuh talak ba’in.

Mafqud

Mafqud artinya seorang suami yang meninggalkan tempat kediaman bersama, tanpa alasan yang sah dan tanpa diketahui keadaannya apakah masih hidup ataukah sudah wafat. Apabila seorang isteri merasa kehilangan suami, maka dia harus melaporkan kepada hakim atas peristiwa itu. Dan hakim memberi waktu selama empat tahun kepada isteri itu untuk menunggu, sambil mencari kepastian berita tentang suami yang dilaporkan hilang tersebut. Demikianlah menurut pendapat Maliki, Hambali,dan Syafa’i. Apabila tidak diketahui juga keadaan suaminya, maka isteri boleh meminta fasakh perkawinannya kepada hakim.

BENTUK PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN MENURUT UUP

Menurut UUP, ketentuan-ketentuan tentang putusnya perkawinan terdapat dalam pasal 38 sampai dengan pasal 40. Macam-macam putusnya perkawinan adalah karena:

a. Kematian salah satu pihak,suami atau isteri. b. Perceraianc. Atas keputusan pengadilan (pasal 38).

Jadi, dengan meninggalnya salah seorang diantaranya suami isteri, maka dengan sendirinya putuslah ikatan perkawinan. Dan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah tidak berhasil mendamaikan suami isteri itu. Selain itu, perceraian dilakukan apabila ada cukup alasan,

Page 9: Putusnya an Hukum Islam

bahwa keduanya tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri (pasal 39). Sedangkan apabila salah satu pihak menghendaki perceraian, harus mengajukan gugatan ke pengadilan.

Adapun tata cara perceraian di depan pengadilan, diatur dalam pasal 14-pasal 34 PP No. 9 Tahun1975. Untuk mengajukan perceraian harus cukup alasan yang dapat dijadikan dasar, yaitu seperti tercantum dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UUP dan atau pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975.

PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

Kompilasi Hukum Islam menetapkan pada pasal 113 bahwa perkawinan dapat putus karena kematian , perceraian, dan atas putusan pengadilan (sama dengan pasal 38 UUP). Selain itu,perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, baik berupa talak yang diajukan oleh suami, maupun gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri (pasal 114 dan 115 KHI). Untuk mengajukan perceraian itu, harus cukup alasan-alasan yaitu seperti yang diatur dalam pasal 116 KHI. Pada dasarnya alasan-alasan dalam KHI ini adalah sama dengan alasan-alasan perceraian seperti diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UUP dan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, namun ada tambahan yaitu: suami melanggar taklik talak, dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Mengenai tata cara perceraian, diatur secara terperinci pada pasal 129 sampai dengan pasal 148 KHI. Perceraian di depan sidang pengadilan ini dianggap telah terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (pasal 146 ayat (2) KHI). Atau sejak suami mengikrarkan talak, setelah keputusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap, di depan sidang Pengadilan Agama, dan dihadiri oleh isteri atau kuasanya (pasal 131 ayat (3) KHI).Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada asasnya meskipun perceraian dalam perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun tujuan perkawinan menurut islam adalah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan rahma serta kekal. Namun demikian tidak selalu tujuan ini dapat dicapai, ada juga perkawinan yang kandas di tengah jalan dan berakhir dengan perceraian.

Pada dasarnya Islam sangat mempersempit pintu perceraian.Ini terbukti dari bunyi hadist Nabi riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah “ Hal yang paling mudah mendatangkan murka Allah adalah talak”. Akibat dari perceraian ini maka bagi wanita dikenakan iddah. Lamanya waktu iddah ini bervariasi, tergantung dari keadaan si janda sewaktu perkawinan putus dan juga sebab terjadinya perceraian.

Page 10: Putusnya an Hukum Islam