an islam pada masa bani
TRANSCRIPT
Perkembangan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Pendahuluan
Sejarah peradaban Islam tentang Bani Umayyah yang kami
tulis ini bertujuan untuk lebih bisa memahami secara kritis
tentang peradaban dan kebudayaan Islam Bani Umayyah
khususnya dan umumnya semua peradaban dan kebudayaan
Islam, jadi bukan berarti bahwa masalah-masalah yang
menyangkut kebudayaan dan peradaban Islam lainnya menjadi
tidak penting dalam pembahasan ini.
Kebudayaan adalah bentuk ungkapan dengan semangat
mendalam suatu masyarakat, sedangkan manisfetasi-manisfetasi
kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan
peradaban, kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam
seni, sastra, religi (agama) dan moral maka peradaban terefleksi
dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
Kebudayaan paling tidak memiliki 3 wujud. 1. Wujud ideal,
yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma, dan sebagainya. 2. wujud kelakuan,
yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud
benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Sedangkan kebudayaan dipakai sebagai menyebut suatu
kebudayaan yang mempunyai system teknologi, seni bangunan,
seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju
dan kompleks.
A. Situasi Politik Ummat Islam Sepeninggal ‘Ali ibn
Abi Thalib
Pada saat ‘Ali r.a. menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi
pemberontakan. Diantaranya dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan
(yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus,
Siria) dan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang
telah dipecat ‘Ali r.a. Disini timbul indikasi fitnah atau perang
saudara karena Mu’awiyah menuntut balas bagi Utsman
(keponakannya) dan atas kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali.
Tatkala ‘Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria,
mereka bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat
atas, Shiffin (657).1 Terjadi lah perang yang disebut perang Shiffin.
Perang ini tidak konklusif sehingga terjadi kebuntuan yang
akhirnya mengarah pada tahkim atau arbitrase. Dalam majlis
tahkim ini ada dua mediator atau penengah. Mediator dari pihak
Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur Kuffah), sedangkan
mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun
tahkim pun tetap tidak menyelesaikan masalah.
Menurut Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara ‘Ali – Mu’awiyah,
jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka
berperang bukan untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan
kebencian, tapi sebatas perbedaan dalam ijtihad dan masing-
masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang
benar adalah ‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan
berlandaskan kebatilan, tetap orientasinya dalam kebenaran.
Partai ‘Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij (orang-
orang yang keluar dari barisan ‘Ali sekaligus menentang tahkim)
dan Syi’ah (para pengikut setia ‘Ali). Sementara itu, Mu’awiyah
melakukan strategi dengan menaklukkan Mesir dan mengangkat
‘Amr ibn al-Ash sebagai khalifah di sana.
Jadi, di akhir masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik; Mu’aiyah, Syi’ah, dan Khawarij.2
Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi
lain Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan
dirinya sebagai khalifah di Yerusalem (660). Kemudian ‘Ali wafat
karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota Khawarij
(661).
B. Pengangkatan Hasan ibn ‘Ali sebagai Khalifah
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan kekhalifahan dialihkan kepada
anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya
(Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini
hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang
kuat.3 Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa
bulan saja.
C. Peralihan Kekuasaan dari Hasan ke Mu’awiyah
Di tengah masa kepemimpinan Hasan yang makin lemah
dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan
akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang
diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah:
1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap
seorangpun dari penduduk Irak.
2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan
mereka.
3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya
dan diberikan tiap tahun.
4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu
Husain, dua juta dirham.
5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari
pemberian kepada Bani Abdi Syams.4
Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali
dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah
ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya
sebagai khalifah kepada Mu’awiyah. Akibat perjanjian itu
menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya
Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum
pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at
pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di
bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara
keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661).
Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan
terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan
umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan
keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat
dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan
realita.5
D. Pengangkatan Yazid sebagai Putra Mahkota dan
Implikasinya Terhadap Perubahan Sistem Pemerintahan
dan Kekuasaan
Sistem kekhalifahan mengalami perubahan baru, yaitu sistem
monarki (kerajaan) atau monarchiheredetis (kerajaan turun
menurun). Suksesi kepemimpinan seperti ini terjadi ketika
Mu’awiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan
kepada anaknya, Yazid ibn Mu’awiyah. Maka mulai masuk prinsip
warisan jabatan dalam sistem kekhalifahan.
Ide awal pewarisan kekhalifahan ini sebenarnya berasal dari
al-Mughirah ibn Syu’bah (gubernur Kufah). Ia menyarankan agar
Mu’awiyah mengangkat Yazid. Kemudian Mu’awiyah mengikuti
saran al-Mughirah karena beberapa alasan yang menurutnya
kuat, meski harus mengabaikan saran Ziyad (gubernur Bashra).
Mu’awiyah mempunyai beberapa alasan mengenai
pengangkatan Yazid, yaitu: Pertama, Yazid adalah satu-satunya
orang yang bisa diterima orang-orang Siria, karena apabila dari
keluarga lain akan membawa ke dalam keluarga dan marganya
sesuatu yang mengganggu keseimbangan kekuatan-kekuatan
rawan yang telah dikembangkan oleh Mu’awiyah. Latar belakang
pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota dan bukan yang
lainnya adalah untuk menjaga kemashlahatan rakyat dalam
kesatuan dan kebersatuan aspirasi mereka, dengan kesepakatan
Bani Umayyah. Alasannya bahwa Bani Umayyah tidak rela bila
khalifah bukan dari kalangan dalam mereka dalam kapasitas
mereka sebagai elit masyarakat Quraisy dan para penganut Islam
secara keseluruhan, sekaligus kelompok yang paling berkuasa
diantara mereka. Kedua, faktor usia Mu’awiyah yang sudah tua
mendesaknya untuk cepat memilih siapa penggantinya. Ketiga,
Mu’awiyah khawatir akan terjadi fitnah sebagaimana fitnah
petumpahan darah sejak kematian Khalifah Utsman.
Atas dasar itu, Mu’awiyah meminta dikirimkan delegasi-
delegasi dari kota-kota besar. Kemudian delegasi yang datang
dari kota Bashra, Kufah, dan Madinah berkumpul dalam sebuah
konferensi yang pada akhirnya mereka sepakat mendukung
pembai’atan Yazid.
Yang perlu dikritisi disini ialah Mu’awiyah telah membuat
tradisi baru yang mengubah karakter sistem pemerintahan dalam
Islam. Sistem warisan telah menggantikan posisi sistem
permusyawaratan, dan hal itu nampaknya berdampak abadi
dalam sejarah.
E. Perkembangan dan Kemajuan Peradaban yang Dicapai
Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus melambangkan
zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-
lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat
agama dan politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari
kota inilah daulat Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan
Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat,
yaitu sebuah imperium Arab.6
Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara
lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai
Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium
(Konstantinopel). Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh
khalifah Abdul Malik yang berhasil menaklukkan Balkh, Sind,
Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan India. Ekspansi ke barat
dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik dengan
mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat
daya, benua Eropa. Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan
adalah al-Jazair, Maroko, ibukota Spanyol (Kordova), Seville,
Elvira, dan Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan
dilakukan ke Perancis. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam
meliputi Spanyol, Afrika Utara, Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak,
dan sebagian Asia Tengah.
Jasa-jasa dalam pembangunan di berbagai bidang banyak
dilakukan Bani Umayyah. Mu’awiyah mendirikan dinas pos,
menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan
jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri.
Abdul Malik ibn Marwan adalah khaifah yang pertama kali
membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat
al-Qur’an.7 Ia juga melakukan pembenahan administrasi
pemrintahan dan mmberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada masa khalifah Al-
Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang cacat,
membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung
pemerintahan dan masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn
Abdul Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri,
keberhasilannya antara lain ialah menjalin hubungan baik dengan
golongan Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama
lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, pungutan
pajak diperingan, dan kedudukan mawali (non Arab) disejajarkan
dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan keteladanannya,
maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah
kelima setelah Ali ibn Abi Thalib. Di bidang keilmuan atau
pendidikan, cakupan keilmuannya tentang teologi dan
keagamaan, misalnya legalisasi penyusunan al-Qur’an pada masa
Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar. Di bidang kesastraan,
muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah,
Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.
Selain itu, jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai
berubah sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud
mengikuti gaya pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia
tetap memakai istilah khalifah, namun memberi interprestasi
baru. Ia menyebut dirinya “khalifah Allah” dalam pengertian
“penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut beberapa ahli
sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani
Umayyah adalah Otokrasi.8 Walaupun telah berbentuk kerajaan,
Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus
membuat kemajuan-kemajuan.
F. Gerakan Separatis, Perlawanan dan Pemberontakan
Berbagai kemajuan memang telah dicapai oleh bani Umayyah,
namun konflik internal tetap terjadi. Hal ini terbukti dengan
banyaknya gerakan pemberontakan yang muncul dan pada
akhirnya menimbulkan perang saudara.
Diantara gerakan-gerakan perlawanan tersebut antara lain:
Syi’ah
Gerakan ini merupakan gerakan yang paling kuat, paling
berani dan solidaritas kaumnya sangat tinggi, hingga dapat
menjatukan kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan
kaum ini didasarkan atas kebencian mereka teradap Bani
Umayyah dan rasa cinta mereka terhadap keluarga ‘Ali.
Gerakan ini erat kaitannya dengan pemikiran. Salah satu
contoh yaitu dukungan kepada Hussain ibn Ali agar menolak
bai’at terhadap Yazid. Karena Hussain tetap
mempertahankan keteguhannya, ia bersama pasukannya
dibunuh di Karbela.
Perlawanan Abdullah ibn Zubair
Ia adalah seorang yang berambisi ingin menjadi pemimpin.
Pertama kali perlawanannya pada saat perang Jamal. Ia
adalah seseorang yang memiliki tipu daya. Ia juga tidak
mempunyai falsafah, revousinya tidak berdasar kepada
prinsip-prinsip yang benar dan bukan pula militer. Hampir
dalam setiap pemberontakan, ia turut ambil bagian,tetapi
hanya sebagai provokator.
Khawarij
Gerakan ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang
keluar dari barisan ‘Ali atau tidak mendukung ‘Ali. Meskipun
benci terhadap ‘Ali, kaum ini lebih benci lagi terhadap Bani
Umayyah. Nama lain dari golongan ini adalah Muakkimah.
Pemberontakannya terjadi di Kufah dan di Madinah. Mazhab
kaum ini sangat sedikit menggunakan falsafah dan
pemikiran-pemikirannya kurang mendalam.
Mu’tazilah
Gerakan ini bersifat keagamaan, tidak mengumpulkan
pasukan dan tidak pernah menghunuskan pedang. Gerakan
ini sangat berkaitan dengan mazhab Khawarij. Dalam
gerakan ini, muncul lagi pendapat golongan, seperti
Murji’ah, Jabariyah dan Mu’tazilah itu sendiri.
Karena konflik internal dalam negeri yang tidak bisa diselesaikan,
akhirnya dinasti ini tumbang (750), dan digantikan dengan Daulat
Bani Abbasyiyah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani
Umayya melemah dan membawanya pada keancuran, yaitu:
1. Sistem pergantian kalifah melalui garis keturunan
merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang
menekankan aspek senioritas. Cara pengaturan yang tidak
jelas serta terjadi persaingan tidak sehat di dalam keluarga
kerajaan.
2. Latar belakang Bani Umayyah tidak lepas dari konflik politik
pada masa ‘Ali, jadi banyak perlawanan dari golongan
oposisi.
3. Terjadi pertentangan antar etnis, antar suku dan status
golongan mawali.
4. Sikap hidup mewah di istana yang dilakukan anak-anak
khalifah.
5. Muncul kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-
Abbas ibn Abd al-Muthalib.9
Penutup
Masa-masa keemasan (golden age) yang terjadi pada zaman
Muhammad saw. dan Khulafa ar-Rasyidin telah berakhir dan
digantikan dengan masa Kerajaan (Mulkan/ Kingdom/ Monarchi/
Otokrasi) oleh Bani Umayyah. Sebagaimana perputaran roda
kehidupan, begitulah yang terjadi dalam sejarah Islam, kadang
berada pada posisi puncak kejayaan dan kadang berada pada
posisi paling bawah.
Banyak yang mengecam pemerintaan Bani Umayyah, namun kita
jangan sampai lupa terhadap jasa-jasa dinasti ini yang telah turut
membangun sebuah peradaban. Di tangan Bani Umayyah, Islam
mengalami banyak kemajuan dengan tersebarnya hingga ke
banyak wilayah. Walaupun berubah sistem tapi syiar islam begitu
luas.
Bani Umayyah memang tidak bisa disalahkan begitu saja, karena
pastinya para penguasa ini mempunyai ijtihad tersendiri untuk
merubah sistem musyawarah menjadi warisan khalifah disamping
kondisi dan tekanan yang terjadi di masa itu.
1 Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 311.
2 DR. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 40.
3 Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.
4 ‘Aqidatus Syi’ah, hlm. 86.
5 DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.139-140.
6 John L. Esposito, Islam dan politik, (Jakarta: Bulan Bintang,1990)
7 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 258.
8 Aden Wijdan SZ. Dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Jakarta: Safiria Insania Press, 2007)
Perkembangan Islam periode Bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,
mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan
dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan
menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh
orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan
mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasyiah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat
disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah
yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim
dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika
Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisua dan Libya. Namun
kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah
mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah.
Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa
bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim
kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun
1031. Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Bagdad
(sekarang ibu kota Irak) sejak tahun 750. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan
menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan
melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini meredup setelah naiknya
bangsa tentara-tentara Turki yang mereka bentuk. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258
disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan
Bagdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan
Bagdad.
Bani Abbasiyyah merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652) yang
juga merupakan paman dari Nabi Muhammad s.a.w., oleh karena itu mereka termasuk ke
dalam Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang merupakan salah satu kabilah dalam
Quraisy, bukan termasuk yang seketurunan dengan Nabi.
Muhammad bin Ali, cicit Saidina Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan
kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsia pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan
ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah menang
melawan pasukan Bani Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-
tentara budak yang disebut Mamaluk pada abad 9. Dibuat oleh Al-Ma’mun tentara-tentara
budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari
Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang
digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamaluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah.
karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini
hanya menjadi simbol dan bahkan tantara Mamaluk ini berhasil berkuasa dan mendirikan
kesultanan di Mesir, dengan menyatakan diri berada di bawah kekuasaan (simbolik)
kekhalifahan.
Ilmu Pengetahuan
Pada masa kekhalifahan ini dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang
ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-
karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak diantara mereka bukan Islam dan bukan
Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan
mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada
masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani
yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan
ilmu geografi, matematik, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini
kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Zaman ini juga menyaksikan lahir ilmuwan Islam terkenal seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, al-
Farabi dan sebagainya.
Penyebab runtuhnya IPTEK masa kejayaan Islam
keruntuhan khilafah dan kemunduran umat Islam itu banyak disebabkan oleh persoalan
internal umat Islam sendiri, seperti kecenderungan penguasa korup yang lebih
mementingkan uang dan kekuasaan, serta perpecahan di kalangan umat Islam.
Berbicara masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, jika dibandingkan dengan masyarakat
Barat, umat Islam jauh tertinggal. Umat Islam senantiasa berteman akrab dengan
kebodohan, bahkan sumber daya alam yang melimpah ruah di negara-negara berpenduduk
muslim mayoritas tidak bisa membuat rakyatnya makmur. Penyebabnya, ketidakmampuan
mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Jika kita membandingkan realitas umat Islam
saat ini dengan realitas umat Islam di masa Khilafah Abbasiyah, terlihat perbedaan yang
mencolok…
Di zaman Abbasiyah umat Islam mampu menjadi sumber ilmu pengetahuan yang dipegang
Barat saat ini. Sedangkan umat Islam saat ini hanya menjadi konsumen dari ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan masyarakat Barat. Melihat keterpurukan
umat saat ini dan kemajuan umat Islam masa lampau muncul ide membangun kembali
“runtuhnya� peradaban Islam yang dikemas dalam bentuk jihad membangun
peradaban. Apa yang dimaksud dengan jihad membangun peradaban? Untuk mengupas
masalah ini Center for Moderate Muslim (CMM) bekerjasama dengan Radio Republik
Indonesia (RRI) menggelar dialog interaktif dengan narasumber M. Hilaly Basya, Direktur
Eksekutif Center for Moderate Muslim (CMM) pada tanggal 19 Juni 2006. Berikut
petikannya:
Topik kita kali ini adalah “jihad membangun peradaban�. Mungkin kita sudah pahami
makna jihad karena sering kita dengar dan perbincangkan. Bisakah Anda jelaskan yang
dimaksud dengan peradaban? Kalau kita sudah paham tentang pengertian jihad, maka kita
harus pahami juga makna peradaban yang menjadi topik perbincangan kita kali ini. Makna
peradaban bisa kita pahami dari gambaran peradaban-peradaban yang sudah ada dalam
sejarah. Misalnya peradaban Islam dan Barat. Peradaban biasanya selalu dikaitkan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, jihad membangun peradaban berarti upaya
bersungguh-sungguh membangun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya
makna peradaban lebih luas lagi dari apa yang tadi saya katakan. Seperti persoalan
kemanusiaan, kebudayaan, moralitas, dan seterusnya.
Apakah peradaban didefinisikan hanya dikaitkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi?
Dalam batas-batas tertentu peradaban selalu dikaitkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Menurut Anda, ilmu pengetahuan dan teknologi akan memengaruhi aspek-
aspek lain dari peradaban? Benar sekali.
Apa signifikansi jihad membangun peradaban ini? Peradaban Barat yang maju saat ini
memberikan kontribusi besar bagi kehidupan manusia secara umum. Artinya, seluruh
kehidupan manusia tertolong, katakanlah mendapatkan kemudahan akibat peradaban Barat
yang maju. Pentingnya membangun peradaban dalam rangka memudahkan kehidupan
manusia itu sendiri. Misalnya dalam transportasi. Transportasi saat ini lebih mudah dan
lebih cepat dibandingkan dengan zaman dulu.
Adakah agenda atau langkah-langkah penting yang harus dilakukan dalam rangka
membangun peradaban? Sebelum membahas masalah ini, kita perlu mendapat gambaran
bagaimana umat Islam dahulu membangun peradaban dan bagaimana pula masyarakat
sekarang membangun peradaban. Setelah membahas masalah ini, saya kira kita akan
mempunyai gambaran bagaimana seharusnya kita membangun atau membuat langkah-
langkah dalam rangka membangun peradaban. Kita melihat bahwa saat ini peradaban Islam
tertinggal dari peradaban Barat. Apa sebenarnya yang menyebabkan hal ini? Tradisi
pengembangan ilmu pengetahuan di Barat dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Kalau dihitung dari sekarang, sekitar 300 atau 400 tahun yang lalu Barat mengembangkan
teknologi secara tekun. Dari sini kita pahami bahwa kemajuan Barat yang merupakan proses
panjang dari ketekunan dan keuletan masyarakat Barat mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kalau dibandingkan dengan masyarakat atau bangsa-bangsa Islam, kita
melihat bahwa tradisi pengembangan ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada saat Islam
baru tumbuh. Sayangnya tradisi pengembangan ilmu pengetahuan ini terputus di tengah-
tengah dan barangkali sekarang baru beranjak untuk bangkit kembali.
Jadi, karena tradisi pengembangan ilmu pengetahuan terputus, maka umat Islam saat ini
tertinggal? Benar sekali. Banyak faktor yang menyebabkan keterputusan tradisi
pengembangan ilmu pengetahuan di tubuh umat Islam, seperti perpecahan internal dan
adanya orientasi yang berbeda di kalangan pemimpin Islam. Akibat keterputusan ini, kita
tertinggal dari masyarakat Barat dan kita membutuhkan sekitar 100 tahun untuk berpikir
kembali membangun ilmu pengetahuan di tubuh umat Islam. Apakah ide “jihad
membangun peradaban� ini merupakan terobosan baru atau merupakan penyegaran dari
ide yang telah ada sebelumnya? Saya kira jihad membangun peradaban ini merupakan
penyegaran. Artinya, konsep ini sebenarnya sudah ada dalam ajaran Islam, tetapi karena
umat Islam dipengaruhi oleh budaya dan lingkungannya, maka konsep membangun
peradaban ini menjadi layu di tengah perjalanan umat Islam dan karena itu perlu kita
segarkan kembali.
Ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi bisa kita analogikan
dengan kebodohan. Sedangkan kebodohan erat kaitannya dengan kemiskinan, dan dua
variable ini, kemiskinan dan kebodohan, saling memengaruhi. Bagaimana Anda melihat
kaitan kemiskinan dan kebodohan? Kebodohan atau ketertinggalan umat Islam dalam ilmu
pengetahuan sangat berpengaruh terhadap kemampuan umat Islam sendiri mengembangkan
ekonominya. Bisa kita lihat dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat
Islam. Indonesia pertumbuhan ekonominya sangat jauh sekali dari kemakmuran karena
ketidakmampuan ilmu pengetahuan. Sedangkan masyarakat yang menguasai ilmu
pengetahuan rata-rata lebih makmur daripada mereka yang tidak menguasai ilmu
pengetahuan. Semua ini terkait dengan kemampuan untuk melakukan terobosan, inovasi
dalam pengembangan ekonomi sekaligus persaingan ekonomi.
Kita mengetahui keterkaitan antara kebodohan dengan kemiskinan bahwa keduanya saling
memengaruhi. Apakah masyarakat Barat saat mengembangkan ilmu pengetahuan ekonomi
mereka telah kuat? Kita harus berangkat dari asumsi bahwa kemiskinan disebabkan
kebodohan. Karena itu kalau orang mau bangkit dari kemiskinan ia harus pintar terlebih
dahulu. Dalam ukuran-ukuran tertentu, masyarakat Barat saat mengembangkan ilmu
pengetahuan sebetulnya ekonomi mereka tidak begitu makmur. Walaupun kita tahu
masyarakat Barat sudah lama ekspansi perdagangan lewat kolonialisme di Timur Tengah
dan di Asia Tenggara. Seiring dengan pengembangan ilmu pengetahuan terjadi peningkatan
perdagangan sehingga peningkatan ilmu pengetahuan diiringi dengan peningkatan
perekonomian masyarakat Barat. Kalau kita kembali ke masyarakat Islam, saya kira negara-
negara Islam sebenarnya kaya. Negara-negara Islam di Timur Tengah kaya akan
sumberdaya alam, begitu juga dengan Indonesia. Sebenarnya, kita kaya atau tidak
sumberdaya alam, kita harus mengembangkan ilmu pengetahuan, apalagi kaya sumberdaya
alam. Seharusnya kita mengembangkan ilmu pengetahuan. Buktinya, meskipun kita kaya
sumberdaya alam, tapi toh kita tidak bisa mengolahnya. Semua itu menunjukkan bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting.
Kemunduran Peradaban Islam
Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab
kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan
menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran
suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban
adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat
sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak
pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara
umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan
dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya. Untuk
menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan
al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan
Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
1. Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada
adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu
kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-
sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini
menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan
luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir,
Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di
Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian
pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq.
Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan
target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat
dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
2. Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam
adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun
1220-1300an. “Perang Salib�, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya
merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh
tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.� Sedangkan
tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan
Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut
Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka
kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
3. Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun
1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam
upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam.
Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-
negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah
memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir
abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam
dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa
telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan
Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan
Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas
yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah
peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban
Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap
sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah
negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881
masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya
kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara
Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-
negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara
Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol.
Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai
kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik
divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-
negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.
. PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA TURKI USMANI Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran pertama.1 Berawal dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.2 Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun).3 Dalam rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana
diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode berikutnya4, kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai bergeser menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani untuk melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan salah satu hukum yang disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di samping piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan hukum
Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba menguraikan, dengan pokok pembahasan; Sekilas tentang Turki Usmani, Sebelum Tanzimat, Era Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
B. SEKILAS TENTANG TURKI USMANI
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz5 yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II. Artogol dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.6
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan
dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M).
Dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.7
C. SEBELUM TANZIMAT Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.8 Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua
bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banayak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.9 Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab
Hanafi.10 Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.11
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-
kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
D. MASA TANZIMAT (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.12 Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya
sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M)
yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M).14 Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani). Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i
(Peradilan Agama ).16 Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat dilatarbelakangi oleh: 1. Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2. Muncul para tokoh tanzimat yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut. Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan
2. sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2. Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
3. Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual. Agaknya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-
i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M.20 Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu: 1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak
diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita.
Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan, serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian.
Atas dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah24 dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama. Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1856M26 Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak
mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani, sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa. Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada
syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293
H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan.28 Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.