punya mba ria

33
SPEKTRUM PERUBAHAN IMUN SISTEMIK SETELAH ISKEMIA SEREBRAL FOKAL PADA TIKUS : IMUNODEPRESI VERSUS IMUNOMODULASI Arthur Liesz, MS; Sebastian Hagmann, MD; Carolin Zschoe, MS; Johanna Adamek, MS; Wei Zhou,MD; Li Sun, MD; Andreas Hug,MD; Markus Zorn, MSc; Alexander Dalpke,MD; Peter Nawroth, MD and Roland Veltkamp, MD Latar belakang dan Tujuan --- Modifikasi terapetik dari gangguan proses imunologis pasca sroke iskemik adalah salah satu target kunci dari penelitian stroke baru- baru ini. Untuk dapat diterapkan dalam setting klinis, maka penelitian eksperimental tentang pengaruh dari jenis stroke yang berbeda terhadap sistem imun perlu dilakukan terlebih dahulu. Termasuk salah satu diantaranya ialah kecenderungan terjadinya komplikasi infeksi pada pasien pasca stroke iskemik. Oleh karena itu, kami melakukan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh dari 3 model stroke iskemik terhadap imunitas sistemik dan parameter mikrobiologis. Metode Arteri Serebri Media Pada tikus dari galur C57B1/6 (n=235) dioklusi , baik secara permanen dengan membuat koagulasi dibagian distal dari arteri maupun secara transien dengan meletakkan filamen pada lumen arteri selama 30 dan 90 menit. Hitung leukosit dilakukan pada darah dan organ limfatik tikus. Subpopulasi limfosit dan sel-sel apoptosis diidentifikasi dengan metode flow cytometry. Konsentrasi

Upload: widya-emilia

Post on 26-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SPEKTRUM PERUBAHAN IMUN SISTEMIK SETELAH ISKEMIA

SEREBRAL FOKAL PADA TIKUS : IMUNODEPRESI VERSUS

IMUNOMODULASI

Arthur Liesz, MS; Sebastian Hagmann, MD; Carolin Zschoe, MS; Johanna

Adamek, MS; Wei Zhou,MD; Li Sun, MD; Andreas Hug,MD; Markus Zorn,

MSc; Alexander Dalpke,MD; Peter Nawroth, MD and Roland Veltkamp, MD

Latar belakang dan Tujuan --- Modifikasi terapetik dari gangguan proses

imunologis pasca sroke iskemik adalah salah satu target kunci dari penelitian

stroke baru-baru ini. Untuk dapat diterapkan dalam setting klinis, maka penelitian

eksperimental tentang pengaruh dari jenis stroke yang berbeda terhadap sistem

imun perlu dilakukan terlebih dahulu. Termasuk salah satu diantaranya ialah

kecenderungan terjadinya komplikasi infeksi pada pasien pasca stroke iskemik.

Oleh karena itu, kami melakukan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh dari

3 model stroke iskemik terhadap imunitas sistemik dan parameter mikrobiologis.

Metode – Arteri Serebri Media Pada tikus dari galur C57B1/6 (n=235) dioklusi ,

baik secara permanen dengan membuat koagulasi dibagian distal dari arteri

maupun secara transien dengan meletakkan filamen pada lumen arteri selama 30

dan 90 menit. Hitung leukosit dilakukan pada darah dan organ limfatik tikus.

Subpopulasi limfosit dan sel-sel apoptosis diidentifikasi dengan metode flow

cytometry. Konsentrasi sitokin pada darah di tentukan dengan metode ELISA.

Kultur mikrobiologis diambil dari sampel darah dan paru-paru.

Hasil -- Hanya infark yang luas yang diikuti dengan leukopenia setelah 24 jam, 3

hari, dan 7 hari setelah oklusi arteri serebri media serta penurunan hitung limfosit

pada limpa, kelenjar getah bening, dan timus. Sementara pada infark yang lebih

ringan tidak ditemukan perubahan pada hitung jenis darah maupun hitung jenis sel

pada organ limfatik. Limfosit, sel yang apoptotik, serta produksi sitokin darah

meningkat secara lebih signifikan pada infark berat daripada pada infark yang

lebih ringan. Hipotermia serta hilangnya bobot tubuh hanya terjadi pada tikus

dengan infark yang berat, yang pada akhirnya menderita pneumonia dan sepsis.

Tidak seperti ukuran besar kecilnya infark, lokasi terjadinya infark tidak

berpengaruh terhadap parameter fisiologis maupun perubahan imunologik.

Kesimpulan – Kejadian imunomodulasi sistemik post- stroke iskemik dan

komplikasi berupa infeksi terjadi secara berbeda di antara model stroke. Terapi

imunomodulator perlu diteliti lebih lanjut mengingat adanya perbedaan-perbedaan

tersebut. (stroke. 2009;40:2849-2858).

Kata kunci : Stroke iskemik – respon imun – leukosit – sitokin – infeksi bakteri

Kejadian stroke iskemik dapat mengaktivasi berbagai kaskade inflamasi 1-4 dan

memicu perubahan pada sistem imun sistemik 5-9. Berbagai jenis leukosit

menyerang bagian otak yang iskemik sehingga leukosit tersebut memainkan

fungsi neurotoksik. Selain itu, ekspresi berbagai jenis sitokin inflamasi serebral

yang dipicu oleh keadaan iskemia menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut 6,10,11. Proses ini telah menjadi fokus dari penelitian dalam bidang serebrovaskuler

baru – baru ini, mengingat proses ini merupakan proses yang begitu memegang

peranan penting pada patofisiologi stroke iskemik. Dengan mendalami proses

tersebut, pada proses selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan suatu terapi

protektif bagi stroke iskemik. Dipandang dari segi klinis, sindrom defisiensi imun

yang dipicu oleh stroke iskemik perlu mendapat perhatian khusus. Sindrom

defisiensi imun ini melingkupi sistem imun alami maupun sistem imun didapat

sehingga menjadi predisposisi pasien untuk terjadinya pneumonia maupun sepsis 5,8. Sebaliknya, perubahan imun sistem sistemik yang dipicu oleh stroke ialah

suatu respon adaptasi alami untuk melindungi jaringan serebral, yaitu melalui

pembatasan terjadinya respon sistem imun yang menyebabkan inflamasi dan

kerusakan jaringan serebral lebih lanjut 9. Penelitian baru-baru ini menunjukkan

fungsi sel T regulator (Treg) sebagai counterregulator kunci yang terlibat pada

berbagai reaksi inflamasi yang membuat kerusakan jaringan serebral setelah

terjadinya stroke iskemik. Namun yang perlu dicatat ialah efektivitas efek

protektif dari Treg bervariasi pada berbagai model stroke yang berbeda.

Melihat dari stroke yang secara klinis begitu bermacam-macam serta variabilitas

dan kompleksitas dari interaksi antara otak dan sistem imun pada iskemia

eksperimental, maka perlu dibedakan secara detail karakteristik dari efek yang

ditimbulkan oleh masing – masing model stroke terhadap parameter imunologis

sebelum diberlakukannnya penerapan strategi terapi berupa imunomodulator di

setting klinis. Terutama bahwa ukuran dan lokasi dari infark iskemik bisa saja

merupakan variabel penting sebagai penentu tingkatan efek patofisiologis dari

peristiwa imunomodulasi pasca-stroke iskemik. Bagaimanapun hingga saat ini

kebanyakan studi yang melibatkan iskemia eksperimental mengevaluasi sistem

imun sistemik pasca-stroke menggunakan model stroke dengan meng oklusi arteri

serebri media menggunakan filamen yang dimasukkan ke dalam lumen arteri 6, 13,

14. Hewan percobaan yang diberi perlakuan dengan metode seperti ini

menunjukkan infark subkortikal dan kortikal pada area yang diperdarahi arteri

serebri media, yang diasosiasikan dengan perubahan neurobehavior, komplikasi

infeksi yang berat, dan tingginya angka kematian 8. Sementara apakah terdapat

kesamaan perubahan sistem imun sistemik dan tingginya angka kejadian infeksi

pada kejadian infark yang lebih ringan belum diketahui.

Tujuan dilakukannya penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh dari model

iskemia fokal yang berbeda terhadap sel-sel sistem imun sistemik, sitokin, dan

kejadian infeksi bakteri.

Alat, Bahan, dan Metode

Hewan Percobaan

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti guidelines nasional untuk

penggunaan hewan percobaan, serta protokol yang disetujui oleh institusi serta

komite pemerintah untuk penggunaan serta perawatan hewan coba

(Regierungspraesidium Karlsruhe, Germany). Pada eksperimen ini digunakan

tikus jantan dewasa (C57BL/6, Laboratorium Charles River, usia 10-12 minggu,

n=235).

Model Koagulasi

Infark kortikal berukuran kecil dibuat dengan menggunakan teknik koagulasi

ireversibel arteri serebri media di bagian distal dari arteri lentikulostriata. Tikus

dianestesi menggunakan halotan 1.0% - 2.0% dalam O2/N2O. Mula- mula insisi

dibuat di antara mata kiri dan telinga kiri sepanjang 1 cm. Sebuah burr hole

digunakan untuk membuat lubang melewati tulang temporal. Duramater

disingkirkan, dan arteri serebri media dioklusi secara permanen dengan

menggunakan forseps elektrokoagulasi bipolar (ERBOTOM, Erbe, Germany).

Untuk pengukuran dengan menggunakan lasser doppler, sebuah probe (P403,

Perimed, Sweden) ditempatkan 3 mm lateral dari bregma dan satuan perfusi relatif

bisa didapatkan. Selama prosedur, temperatur dipertahankan 37 C menggunakan

heating pad. Kulit yang terbuka dijahit dan tikus ditempatkan di kandang yang

dilengkapi lampu infra merah hingga tikus pulih dari anestesia. Sebagai kontrol,

dilakukan pula tindakan seperti di atas kecuali koagulasi arteri serebri media.

Model Filamen

OKLUSI ARTERI SEREBRI MEDIA dengan menggunakan filamen dilakukan

sesuai dengan protokol yang telah dipublikasi 13. Tikus di anestesi dengan

menggunakan halotan 1.0% - 2.0% dalam O2/N2O. Sebuah probe laser doppler

ditempatkan menutupi area yang diperdarahi oleh arteri serebri media (3 mm

lateral dan 6 mm posterior dari bregma). Jumlah aliran darah basal di ukur dengan

satuan perfusi relatif dan dijadikan patokan sebagai aliran 100%. Setelah diseksi

leher, sebuah insisi dibuat di arteri karotis eksterna setelah sebelumnya dibuat 2

ligasi diantara tempat insisi. Sebuah silikon yang dilapisi monofilamen nylon 8-0

ditempatkan hingga ke arteri karotid interna untuk membuat arteri serebri media

teroklusi. Sumbatan arteri serebri media dicatat sebagai penurunan nilai perfusi

relatif yang terukur oleh lasser doppler sebanyak < 20% aliran basal. Filamen

ditempatkan pada posisinya dengan ligasi. Leher ditutup, probe laser doppler

dilepaskan dan tikus dikembalikan ke dalam kandang. Setelah 30 atau 90 menit

dari dimasukkannya filamen, tikus dianestesi kembali dan filamen dikeluarkan

kembali. Setelah dilakukan penutupan luka operasi, tikus dikembalikan ke dalam

kandangnya yang memiliki akses menuju makanan dan air. Selama operasi

dilakukan suhu tubuh tikus dipertahankan 37 C dengan heating pad. Suhu tubuh

normal dari operasi hingga masa pemulihan setelah dilakukan prosedur

dipertahankan dengan lampu inframerah. Sebagai kontrol, dilakukan operasi yang

sama terhadap tikus kontrol. Termasuk anestesi kembali pada 90 menit setelah

operasi yang pertama. Hal yang tidak dilakukan pada tikus kontrol hanya proses

memasukkan filamen ke arteri karotis eksterna. Total waktu anestesi tikus dari

ketiga model stroke adalah sama, yaitu 20 menit.

Taksiran Volume Infark

Volume infark ditentukan dengan melakukan pengamatan dari hasil pemotongan

dengan teknik cryosection dan pencitraan dengan teknik pewarnaan high-contrast

silver 15. Secara ringkas, tikus dianestesi dalam dengan menggunakan

tribromoethanol dan diperfusi secara transcardiac menggunakan cairan saline.

Otak diangkat, kemudian dibekukan segera dan dilakukan pemotongan coronal

dengan cryosection setebal 20 mikrometer. Setelah dilakukan pewarnaan, setiap

potongan di scan pada 600 dpi, dan area infark ditentukan menggunakan program

public domain image analysis (Scion Image). Total volume infark diperoleh

dengan menggabungkan antara jarak perkiraan dan ukuran setiap potongan.

Koreksi dari edema serebral yang terjadi dilakukan dengan membagi dari selisih

volume infark hemisfer ipsilateral dan kontralateral.

Analisis Mikrobiologis

Sampel darah diambil 5 hari setelah oklusi arteri serebri media dengan pungsi

kardiak setelah dilakukan torakotomi. Lobus paru-paru diambil, diiris, dan

dihomogenisasi dalam keadaan steril. 100 mikroliter dari setiap spesimen

dilarutkan dalam PBS dan ditempatkan dalam plat agar darah (Becton Dickinson)

dan plat agar Mac Conkey (Biomerieux). Sampel darah juga di tes apakah ada

perumbuhan bakteri anaerobik. Setelah 24 dan 48 jam masa inkubasi dalam suhu

37 C, pertumbuhan koloni plate agar dianalisis oleh teknisi secara blinded dari

masing-masing kelompok perlakuan.

Penghitungan Leukosit di Darah dan Organ

Sampel darah dikumpulkan, yaitu dari tikus saat sebelum diberi perlakuan, serta

24 jam, 3 hari, dan 7 hari setelah diberi perlakuan oklusi arteri serebri media

dengan melakukan pungsi pada sinus venosus periorbital dalam keadaan

teranestesia dalam. Darah lalu dipindahkan ke botol EDTA standar. Sampel lalu

dianalisis di Fasilitas Laboratorium Core di Rumah Sakit Pendidikan Heidelberg

untuk perhitungan darah lengkap. Limpa, kelenjar getah bening, dan timus

dikumpulkan dan leukosit dihitung dengan Neubauer hemocytometer.

Flow Cytometri

500 mikroliter dari darah vena , yang juga diambil melalui sinus periorbital secara

bersamaan dengan darah untuk hitung darah lengkap , ditempatkan di wadah yang

telah diberi heparin dan leukosit diidolasi dengan gradien Ficoll-Hypaque. Organ

limfatik diambil setelah perfusi transkardiak dengan saline yang telah dicampur

heparin secara steril. Sel diwarnai dengan anti CD3, CD4, CD8, CD25, B220, dan

Foxp3 tikus, serta kontrol yang sesuai dengan protokol dari perusahaan

manufaktur (eBioscience). Sel apoptotik dideteksi dengan alat pendeteksi

komersial Annexin V dengan propidium iodide (BD Pharmingen). Flow cytometry

dilakukan di Beckton Dickinson FACScan dan dianalisis dengan software dari

CellQuest Pro.

ELISA Sitokin

Untuk menentukan konsentrasi dari sitokin pada darah, sampel darah diambil,

kemudian dibekukan dan di sentrifugasi untuk mendapatkan serum, kemudian

segera dibekukan hingga saat di analisis. Peralatan komersial digunakan untuk

menentukan konsentrasi protein dari TNF- α , INF- γ , TGF- β (R and D System)

dan IL-10 (eBioscience)

Analisis Statistik

Data pada (gambar 1, 2, 4, dan 5) di gambarkan sebagai median, rentang kuartil

(Q1, Q3) dan 95% Cis. Tampak perbedaan nyata pada parameter individual

daripada kelompok perlakuan jika batas kepercayaan 95% dari perkiraan tidak

saling tumpang tindih. Nilai pada Gambar 3 dan 6 digambarkan sebagai rerata +

Standar deviasi (SD). Nilai pada gambar tambahan I dan II (dapat diakses di

http://stroke.ahajournals.org) ditampilkan sebagai nilai rerata. Perbandingan dari

nilai rata-rata dianalisis dengan ANOVA dan analisis post hoc Turkey.

Pengolahan data menggunakan software SPSS. Nilai probability <0.05

dipertimbangkan sebagai nilai yang memiliki makna statistik.

Hasil

Tingkat Keparahan Stroke

Gambar 1. Perbedaan tingkat keparahan infark pada 3 model stroke eksperimental, yaitu oklusi arteri serebri media dengan metode koagulasi, oklusi arteri serebri media menggunakan filamen selama 30 menit dan 90 menit. (a) data representatif mengenai potongan dengan pewarnaan silver yang digunakan untuk menentukan luas infark 7 hari setelah prosedur oklusi arteri serebri media. Data ini menunjukkan perbedaan ukuran dan lokasi lesi dari masing-masing model. (b) Kurva Kaplan-Meier menunjukkan angka ketahanan hidup tikus pasca oklusi arteri serebri media dari masing-masing kelompok perlakuan. (c) Suhu rektal dan (d) berat badan yang diukur segera setelah induksi iskemia dan pada hari 1,3,dan 7 setelah oklusi arteri serebri media.

Sesuai dengan yang diharapkan, ukuran dan lokasi dari lesi iskemik masing-

masing model eksperimen berbeda secara nyata. Rata-rata volume infark dari

model yang oklusi arteri serebri media menggunakan metode koagulasi ialah

15.5±2.8 mm3 , dan infark terbatas hanya pada korteks. Dalam model oklusi arteri

serebri media dengan filamen selama 30 menit rata-rata volume infark ialah

14.2±3.1 mm3 dan terbatas pada striatum. Dalam model dengan oklusi arteri

serebri media menggunakan filamen selama 90 menit rata-rata volume infark ialah

104±22 mm3 dan meliputi bagian korteks dan subkorteks (gambar 1a). Angka

mortalitas pada model dengan oklusi arteri serebri media menggunakan filamen

selama 90 menit lebih tinggi secara signifikan (25%) dibandingkan dengan model

oklusi arteri serebri media menggunakan filamen selama 30 menit (kurang dari

5%, lihat Gambar 1b). Temperatur rektal dan berat badan digunakan sebagai

parameter untuk mewakili aktivitas fisik, asupan makanan, dan penyakit infeksi

yang berpotensi menyerang tikus setelah operasi (Gambar 1c,d). Untuk kedua

parameter tersebut, pengurangan dalam jumlah yang lebih besar tampak sejak 24

jam hingga 7 hari pasca oklusi arteri serebri media pada tikus dengan oklusi arteri

serebri media menggunakan filamen 90 menit dibanding tikus dengan infark yang

lebih kecil maupun tikus kontrol. Sebaliknya, parameter tersebut tidak mengalami

perubahan signifikan pada tikus dengan oklusi arteri serebri media menggunakan

filamen 30 menit. Penelitian sebelumnya menunjukkan hipertermia spontan yang

diinduksi oleh stroke pada tikus dengan lesi iskemik pada area hipotalamik 1, 6.

Bagaimanapun, pada tikus di penelitian ini area hipotalamik tidak mengalami

infark.

Infeksi Bakteri Pasca Stroke Iskemik

Gambar 2. Hitung jenis leukosit pada darah dan organ limfatik. Pada model dengan oklusi arteri serebri media menggunakan filamen 90 menit menunjukkan penurunan jumlah dari (a) leukosit pada darah yang terutama bergantung pada penurunan nyata (b) jumlah limfosit (c) Jumlah neutrofil nampak lebih stabil pada oklusi menggunakan filamen 90 menit dan (d) tampak peningkatan jumlah monosit pada tikus kontrol filamen, namun tidak pada oklusi filamen.Sebagai tambahan, jumlah leukosit pada (e) limpa, (f) kelenjar getah bening mesenterika, dan (g) timus (n=5 di tiap kelompok)

Kami lalu menganalisis lebih jauh status mikrobiologis dari tikus 5 hari setelah

operasi oklusi arteri serebri media. Jaringan paru-paru dan darah tikus diproses

untuk dilakukan analisis mikrobiologis mengingat pneumonia dan sepsis ialah 2

infeksi yang sering terjadi pada penelitian sebelumnya. Pada tikus yang dilakukan

oklusi arteri serebri media menggunakan teknik koagulasi dengan infark terbatas

pada korteks (n=6) tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri pada darah

dan 30% menunjukkan sedikit pertumbuhan bakteri dari kultur jaringan paru (E.

Coli , Staphylococcus). Pada tikus dengan oklusi arteri serebri media

menggunakan filamen selama 30 menit (n=9) juga tidak menunjukkan adanya

pertumbuhan bakteri di dalam darah dan 50% diantaranya menunjukkan adanya

pertumbuhan bakteri di jaringan paru-paru dengan jumlah sel maksimum 200

CFU/ml yang terdiri dari bakteri nonpatogen seperti Acidovorax, Micrococcus,

dan Staphylococcus. Sementara pada tikus dengan oklusi arteri serebri media

menggunakan filamen selama 90 menit (n=6) menunjukkan pertumbuhan bakteri

dalam darah dan 100% dari jaringan paru menunjukkan pertumbuhan bakteri yang

cukup besar, yaitu hingga 800 CFU/ml (Streptococcus, Staphylococcus, E. Coli,

dan Enterococcus)

Sel Darah dan Leukosit pada Organ Limfatik

Pada tikus yang tidak dioperasi, hitung jenis leukosit menunjukkan hasil yang

sesuai dengan jumlah normal hitung jenis leukosit tikus galur C57BL/6 yang telah

dipublikasi 17. Hitung jenis leukosit, terutama limfosit, mengalami penurunan

jumlah yang lebih signifikan pada tikus dengan oklusi arteri serebri media

menggunakan filamen selama 90 menit dibandingkan dengan tikus yang

menjalani prosedur lainnya (Gambar 21 dan 2b). Jumlah absolut dari neutrofil

polimorfonuklear mengalami peningkatan pada tikus dengan oklusi arteri serebri

media menggunakan filamen 30 menit dan peningkatan lebih tinggi lagi pada

tikus dengan oklusi arteri serebri media menggunakan teknik koagulasi

dibandingkan dengan tikus dengan oklusi arteri serebri media menggunakan

filamen 90 menit pada hari ke 3 dan ke 7 pasca stroke iskemik (Gambar 2c).

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada hitung monosit di antara ketiga

model oklusi arteri serebri media (Gambar 2d).

Pada penelitian sebelumnya, yang menggunakan model oklusi arteri serebri media

menggunakan filamen 90 menit, terdapat penurunan jumlah splenosit dan timosit

pada 22 jam dan 4 hari setelah dilakukan oklusi arteri serebri media 7. Pada

penelitian ini kami mendapatkan bahwa terjadi penurunan hingga ke jumlah sel

darah putih pada organ limfatik yang cukup signifikan pada organ limfatik di hari

ke-3 dan hari ke 7 setelah dilakukan oklusi arteri serebri media menggunakan

filamen 90 menit (Gambar 2e sampai 2g). Pada oklusi arteri serebri media

menggunakan filamen 30 menit tidak terdapat perbedaan hitung leukosit yang

signifikan dibandingkan dengan tikus kontrol.

Stroke Iskemia Memicu Apoptosis di Organ Limfatik

Gambar 3. Apoptosis limfosit yang dipicu oleh iskemia setelah perlakuan oklusi arteri serebri media. (a) Hasil plot FACS dari pewarnaan limfosit limpa menggunakan Annexin V dan Propium iodida. Limfosit diisolasi dari limpa tikus yang tidak diberi perlakuan (WT) dan pada model stroke iskemik dalam 24 jam setelah diberi perlakuan. (b) Tingkat apoptosis limfosit nampak lebih tinggi pada model oklusi menggunakan filamen dibanding dengan model oklusi dengan metode koagulasi maupun kontrol. (c) Limfosit dari kelenjar getah bening tidak mengalami perubahan bermakna pada kontrol maupun ketiga model stroke iskemik (d) Rasio sel limfosit timus yang berapoptosis meningkat hingga 3 kali pada kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok yang tidak diberi perlakuan.

Kami menganalisis persentase dari limfosit yang apoptosis di limpa, kelenjar

getah bening, dan timus pada 24 jam setelah dilakukan operasi. Sel apoptosis ini

diidentifikasi dengan menggunakan teknik flow cytometry. Identifikasi sel

apoptotik dini maupun sel apoptotik yang telah lanjut/sel nekrotik menggunakan

Annexin V (gambar 3a). Di antara seluruh organ limfatik, aktivitas apoptotik

imfosit limpalah yang paling menunjukkan keselarasan dengan ukuran lesi

iskemik di otak (Gambar 3a,b); Rasio sel yang berapoptosis pada model stroke

menggunakan filamen 30 dan 90 menit meningkat hingga empat kali lipat

dibandingkan tikus kontrol (p<0.01, n=5 di masing-masing kelompok). Model

oklusi arteri serebri media dengan teknik koagulasi tidak menunjukkan angka

kematian sel dengan apoptosis yang bermakna. Sebagai tambahan, model oklusi

arteri serebri media menggunakan filamen 90 menit menunjukkan jumlah sel

nekrotik yang lebih banyak dibandingkan kedua model lainnya. Prosedur operasi

yang dilakukan kemungkinan menginduksi apoptosis sel limfosit timus, tanpa

memperhatikan teknik operasi yang digunakan. Hal ini diamati dari perbedaan

aktivitas apoptosis antara model yang menjalani prosedur dan tikus yang tidak

menjalani prosedur operatif (gambar 3d). Sementara tidak ditemukan perbedaan

pada ketiga model oklusi arteri serebri media.

Subpopulasi Limfosit Menunjukkan Reaksi yang Berbeda pada Iskemia

Moderat

Gambar 4. Subpopulasi limfosit pada darah dan organ limfatik. Darah, nodus limfatikus, dan limpa dianalisis dengan teknik flow cytometry untuk menghitung sel T helper (CD3 CD4), sel T sitotoksik (CD3 CD8), sel B (B220) dan sel T regulator (CD4 CD25 Foxp3). Hasil ditampilkan dalam bentuk median, interkuartil, dan 95% CI dari jumlah sel absolut per mikro liter dari masing-masing sampel (n=5)

Gambar 5. Subpopulasi limfosit timus. Timus dianalisis dengan menggunakan flow cytrometry untuk mengukur jumlah limfosit T matur (CD3 CD$ dan CD3 CD8), sel T imatur (CD4 CD8) dan T regulator (CD4 CD25 Foxp3). Nilai ditampilkan sebagai median, jarak interkuartil dan 95% CI dari jumlah sel absolut (n=5 dari masing-masing kelompok)

Kami membandingkan jumlah absolut dari sel Thelper (CD3, CD4), sel T

sitotoksik (CD3, CD8), sel B (B220), sel T regulator (CD4, CD25, Foxp3) dan

persentase dari sel T regulator pada populasi CD4 dalam darah, limpa, dak

kelenjar getah bening (Gambar 4). Sel T dan sel B berkurang secara nyata pada

model oklusi arteri serebri media menggunakan filamen 90 menit pada hari ke tiga

dan hari ke tujuh setelah dilakukan prosedur. Hal ini selaras dengan depresi

jumlah leukosit keseluruhan yang telah diobservasi pada hitung jumlah leukosit

sebelumnya (lihat gambar 2). Sementara itu pada kedua model lainnya

menunjukkan perubahan respon imun seluler yang lebih beragam (Gambar 4).

Pada infark yang lebih kecil, data tunggal menunjukan perbedaan yang signifikan

antar masing-masing jumlah CD4 T helper dan CD8 T sitotoksik. Jumlah sel B

yang beredar dalam darah tetap konstan, namun mengalami penurunan jumlah di

organ limfatik.

Sel T regulator adalah pemegang kunci penting pada mekanisme imunomodulasi

pasca stroke iskemik 12. Pada model oklusi arteri serebri media dengan teknik

koagulasi jumlah sel T regulator tetap stabil, tidak seperti jumlah CD4 dan CD8

yang menurun (gambar 4 baris ke 4). Pada model oklusi arteri serebri media

menggunakan filamen 30 menit juga menunjukkan hal yang sama, yaitu jumlah T

regulator dalam darah yang bersirkulasi tetap sama. Yang menarik ialah, jumlah

sel T regulator mengalami penurunan pada model oklusi arteri serebri media

menggunakan filamen 90 menit, namun mengalami kenaikan kembali pada hari ke

tujuh setelah dilakukan prosedur sementara sel jenis lain tidak mengalami hal

yang sama. Jumlah persentase T regulator yang mewakili penanda CD4 dalam

darah mengalami kenaikan pada ketiga model ( Gambar 4, baris terakhir).

Pada timus, jumlah sel limfosit imatur (CD4 CD8) dibandingkan dengan jumlah

sel limfosit matur yaitu CD3 CD4, CD3 CD8, dan Tregulator CD4 CD5 Foxp3.

Yang menarik, sel CD3 CD4 mengalami penurunan jumlah pada masing-masing

model oklusi arteri serebri media menggunakan filamen 30 dan 90 menit,

sementara sel CD3 CD8 tidak terkena pengaruh apapun di tiap model. Sebaliknya,

sel timosit imatur berkurang dari timus di hari ke tujuh pada ketiga model,

dibandingkan dengan tikus kontrol dan tikus yang tidak mendapat perlakuan.

Bahkan pada model dengan oklusi arteri serebri media menggunakan filamen 90

menit populasi sel berkurang hingga hanya menyisakan sekitar 0.1% dari jumlah

sel normal.

Perubahan Imunologis Pada Sisi Iskemik bersifat Independen

Efek dari oklusi arteri serebri media dan efek dari prosedur operatif diamati dari

model oklusi arteri serebri media dengan teknik koagulasi dan model oklusi arteri

serebri media menggunakan filamen 90 menit. Pada kedua model tersebut, tidak

didapatkan perbedaan yang signifikan pada suhu tubuh harian dan penurunan

berat badan antara tikus yang mengalami iskemia pada hemisfer kanan maupun

tikus yang mengalami iskemia pada hemisfer kiri. Jumlah hitung sel di limpa,

kelenjar getah bening, dan timus pada hari ke 3 juga tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan pada kedua model. Lebih detail, tidak ditemukan pula

perbedaan hitung sel CD4 CD*, Treg, dan sel B pada kedua model tersebut.

Peningkatan Kadar Sitokin Serum Setelah Terjadinya Stroke

Gambar 6. Konsentrasi sitokin serum yang diukur pada 24 jam, 3 hari, dan 7 hari setelah masing-masing model dilakukan prosedur operasi. Model oklusi menggunakan filamen 90 menit (F90) menunjukkan peningkatan TNF α yang signifikan (a) dan IFN γ (b) begitu juga dengan sitokin antiinflamasi, IL-10 (c) dan TGF β (d) dibandingkan dengan model oklusi menggunakan filamen 30 menit (F30) maupun oklusi dengan koagulasi (C). (n=7) *p<0.05, **p<0.01

Kami menganalisis konsentrasi sitokin pada serum untuk menentukan gambaran

fungsi limfosit dan aktivasi respon inflamasi sistemik pada masing-masing model

iskemia serebral dibandingkan dengan kontrol (Gambar 6). Suatu sitokin pro-

inflamasi TNF α dan IFN γ, serta sitokin antiinflamasi yaitu IL 10 dan TGF β

telah terbukti memegang peranan penting dalam proses iskemia serebral 2, 6,12,

18. Kadar IFN γ (gambar 6a) meningkat secara signifikan hanya pada 24 jam

pertama pada model oklusi arteri serebri media menggunakan filamen 90 menit.

Kadar TNA α (gambar 6b) pada model oklusi arteri serebri media menggunakan

filamen 90 menit masih mengalami peningkatan yang lebih signifikan pada hari

ke tiga dan hari ke tujuh dibandingkan kedua model lainnya. Yang menarik,

terdapat perbedaan perubahan konsentrasi sitokin antiinflamasi yang nyata antar

ketiga model. Terlihat peningkatan kadar konsentransi IL-10 yang signifikan pada

masing-masing model oklusi arteri serebri media yang menggunakan filamen baik

30 maupun 90 menit (gambar 6c). Selain itu, ekspresi TGF β juga meningkat

secara signifikan di setiap satuan waktu yang diamati, terutama pada model

oklusi arteri serebri media menggunakan filamen 90 menit (gambar 6d).

Diskusi

Hasil temuan utama pada studi ini ialah temuan bahwa hanya infark yang

ekstensif yang menyebabkan depresi leukosit secara signifikan serta komplikasi

infeksi. Peningkatan kadar sitokin sistemik yang dilepaskan juga lebih terlihat

secara nyata pada stroke iskemik dengan lesi yang besar. Setelah terjadinya

iskemia pada area kortikal maupun subkortikal, terjadi perubahan pada

subpopulasi leukosit sehingga pada akhirnya menyebabkan peningkatan kadar sel

limfosit T regulator di peredaran darah. Secara keseluruhan, perubahan sistem

imun pasca stroke iskemik lebih dipengaruhi oleh ukuran lesi infark daripada oleh

lokasi infark itu sendiri.

Beberapa studi yang membuat oklusi arteri serebri media menggunakan filamen

dalam jangka waktu tertentu memberikan wawasan baru mengenai perubahan

sistem imun sistemik pada keadaan stroke iskemik 6,8,9,14. Sesuai dengan yang kami

amati pada penelitian ini, keseluruhan komponen sistem imun sistemik baik

respon imun alami maupun respon imun didapat mengalami perubahan dalam

keadaan iskemia serebral. Karena kebanyakan stroke iskemik pada manusia hanya

terjadi pada area yang diperdarahi oleh arteri serebri media, bukannya keseluruhan

bagian otak, maka dalam rangka penelitian untuk mengembangkan potensi terapi

baru, misalnya terapi dengan intervensi neuroimunologis, hendaknya digunakan

model eksperimen yang mendekati keadaan stroke pada manusia, yaitu model

dengan kerusakan jaringan otak moderat. Hal tersebut juga mengingat konsep

bahwa efek protektif dari keadaan imunomodulasi hanya efektif pada keadaan

stroke iskemia dengan lesi moderat dan tidak efektif pada lesi yang luas. Selain

itu, gambaran perubahan sistem imun sistemik yang terjadi pada keadaan stroke

iskemik perlu diamati secara mendetail.

Dari sisi kepentingan klinis, perubahan sistem imun sistemik menyebabkan

terjadinya supresi kemampuan host untuk mempertahankan diri melawan invasi

bakteri. Seperti yang terlihat pada penelitian ini, infeksi sistemik dan infeksi

pulmoner berkembang terutama pada stroke iskemik dengan lesi infark yang luas.

Baik pada penelian ini maupun penelitian-penelitian yang telah lebih dulu

dilakukan menunjukkan bahwa limfopenia yang terpicu oleh iskemia serebral

serta disfungsi imunitas seluler yang terjadi menyebabkan host lebih mudah

terjangkit infeksi. Bagaimanapun, keadaan umum yang memburuk akibat

terjadinya kerusakan jaringan serebral yang luas, seperti hipotermia dan

penurunan berat badan yang bermakna, ikut mengambil peran dalam

meningkatnya resiko komplikasi infeksi pada keadaan stroke iskemik, terutama

dengan area infark yang luas.

Walaupun oklusi arteri serebri media menggunakan filamen menyebabkan

limfositopenia, dari data yang kami dapatkan mediator pro dan antiinflamasi

justru mengalami peningkatan setelah terjadinya infark serebral yang luas. Hal ini

sesuai dengan temuan pada penelitian sebelumnya, bahwa terjadi aktivasi sistem

imun sistemik yang mencolok setelah oklusi arteri serebri media menggunakan

filamen selama 90 menit 6. Gabungan efek patofisiologis dari kedua fenomena

yang saling bertolak belakang ini , yaitu menurunnya fungsi imun seluler dan

limfositopenia versus peningkatan masif konsentrasi sitokin dalam darah, masih

menimbulkan pertanyaan untuk diteliti lebih lanjut. Yang menarik ialah, lesi

kortikal maupun subkortikal dengan ukuran yang kecil cenderung membuat

perubahan sistem imun sistemik secara spesifik dan bukannya perubahan limfosit

secara umum. Sebagai contoh, sel T efektor lebih peka terhadap stressor iskemik

serebral dibandingkan dengan sel T regulator yang lebih resisten. Namun

bagaimana bisa terjadi perubahan jumlah subpopulasi limfosit sehingga terjadi

perubahan dari fungsi sistem imun keseluruhan masih belum jelas. Mengingat T

regulator endogen berperan penting sebagai agen neuroprotektif pada keadaan

iskemia serebral 12, maka dapat dikatakan bahwa pergeseran jumlah limfosit T

merupakan mekanisme adaptasi dari sistem imun pada keadaan stroke iskemik.

Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa lokasi infark, sisi hemisfer

terjadinya infark, maupun sifat iskemia berupa iskemia permanen dan transien

memberi efek yang berbeda dalam perubahan sistem imun. Namun dalam

penelitian ini, ukuran infark adalah penentu utama dalam perubahan sistem imun

sistemik, dan bukannya lokasi infark maupun jenis iskemia yang terjadi.

Melihat adanya perbedaan besar antara efek yang ditimbulkan oleh lesi iskemik

kecil dan lesi iskemik yang lebih luas terhadap sistem imun sistemik, hasil yang

kami dapatkan menggarisbawahi bahwa data imunologis yang didapatkan dari

model dengan infark luas tidak dapat digunakan pada model penelitian dengan

infark yang lebih kecil. Lebih lanjut, model dengan oklusi arteri serebri media

dalam periode waktu tertentu dapat menjadi model yang sesuai untuk

menganalisis kejadian imunosupresi yang dipicu oleh iskemia serebral, namun

kurang sesuai untuk mengamati jalur pengaktivan sistem imun (immunologic

pathways) maupun interaksi dari sistem imun spesifik. Dengan demikian, temuan

pada penelitian ini dapat dipertimbangkan relevan untuk pemahaman mengenai

perubahan sistem imun sistemik pada keadaan pasca stroke iskemik.

Ucapan Terima Kasih

Penyusun berterima kasih kepada Dieter Stefan atas bantuan teknis yang sangat

baik sekali dalam pelaksanaan flow cytometry.

Sumber Pendanaan

Penelitian ini didanai dari MWK Baden-Wurttemberg dan Else Kroner-Fresenius

Stiftung (untuk R.V) . R.V. juga di dukung oleh Else Kroner Memorial Research

Scholarship.

Penutup

None

Referensi

1. Dirnagl U. Inflammation in stroke: the good, the bad, and the unknown.Ernst Schering Res Found Workshop. 2004; 87–99.

2. Wang Q, Tang XN, Yenari MA. The inflammatory response in stroke. J Neuroimmunol. 2007; 184: 53–68.

 3. Danton GH, Dietrich WD. Inflammatory mechanisms after ischemia and

stroke. J Neuropathol Exp Neurol. 2003; 62: 127–136. 

4. Nilupul Perera M, Ma HK, Arakawa S, Howells DW, Markus R, Rowe CC, Donnan GA. Inflammation following stroke. J Clin Neurosci. 2006; 13: 1–8.

5. Dirnagl U, Klehmet J, Braun JS, Harms H, Meisel C, Ziemssen T, Prass K, Meisel A. Stroke-induced immunodepression: experimental evidence and clinical relevance. Stroke. 2007; 38: 770–773.

 6. Offner H, Subramanian S, Parker SM, Afentoulis ME, Vandenbark AA,

Hurn PD. Experimental stroke induces massive, rapid activation of the peripheral immune system. J Cereb Blood Flow Metab. 2006; 26: 654–665.

 7. Offner H, Subramanian S, Parker SM, Wang C, Afentoulis ME, Lewis A,

Vandenbark AA, Hurn PD. Splenic atrophy in experimental stroke is accompanied by increased regulatory t cells and circulating macrophages. J Immunol. 2006; 176: 6523–6531.

 8. Prass K, Meisel C, Hoflich C, Braun J, Halle E, Wolf T, Ruscher K,

Victorov IV, Priller J, Dirnagl U, Volk HD, Meisel A. Stroke-induced immunodeficiency promotes spontaneous bacterial infections and is mediated by sympathetic activation reversal by poststroke t helper cell type 1-like immunostimulation.J Exp Med. 2003; 198: 725–736.

 9. Meisel C, Schwab JM, Prass K, Meisel A, Dirnagl U. Central nervous

system injury-induced immune deficiency syndrome. Nat Rev Neurosci. 2005; 6:775–786.

 10. Schroeter M, Jander S. T-cell cytokines in injury-induced neural damage

and repair. Neuromolecular Med. 2005; 7: 183–195. 

11. del Zoppo G, Ginis I, Hallenbeck JM, Iadecola C, Wang X, Feuerstein GZ. Inflammation and stroke: putative role for cytokines, adhesion molecules and inos in brain response to ischemia. Brain Pathol. 2000; 10: 95–112.

 12. Liesz A, Suri-Payer E, Veltkamp C, Dörr H, Sommer C, Rivest S, Giese T,

Veltkamp R. Regulatory T cells are key cerebroprotective immunomodulators in acute experimental stroke. Nat Med. 2009; 15: 192–199.

 13. Longa EZ, Weinstein PR, Carlson S, Cummins R. Reversible middle

cerebral artery occlusion without craniectomy in rats. Stroke. 1989; 20: 84–91.

14. Hurn PD, Subramanian S, Parker SM, Afentoulis ME, Kaler LJ, Vandenbark AA, Offner H. T- and b-cell-deficient mice with experimental stroke have reduced lesion size and inflammation. J Cereb Blood Flow Metab. 2007; 27:1798–1805.

 15. Vogel J, Mobius C, Kuschinsky W. Early delineation of ischemic tissue in

rat brain cryosections by high-contrast staining. Stroke. 1999; 30: 1134–1141.

16. Li F, Omae T, Fisher M. Spontaneous hyperthermia and its mechanism in the intraluminal suture middle cerebral artery occlusion model of rats. Stroke.1999; 30: 2464–2470; discussion 2470–2461.

17. Nemzek JA, Bolgos GL, Williams BA, Remick DG. Differences in normal values for murine white blood cell counts and other hematological parameters based on sampling site. Inflamm Res. 2001; 50: 523–527.

18. Ferrarese C, Mascarucci P, Zoia C, Cavarretta R, Frigo M, Begni B, Sarinella F, Frattola L, De Simoni MG. Increased cytokine release from peripheral blood cells after acute stroke. J Cereb Blood Flow Metab. 1999; 19: 1004–1009.

19. Koch HJ, Uyanik G, Bogdahn U, Ickenstein GW. Relation between laterality and immune response after acute cerebral ischemia.Neuroimmunomodulation. 2006; 13: 8–12.