bahan skripsi mba

62
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Status gizi adalah suatu keadaan gizi seseorang sebagai hasil dari metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi atau zat makanan sehari-hari. Status gizi yang baik terjadi apabila tubuh memeroleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang optimal (Almatsier, 2001). Asupan gizi yang tidak tercukupi akan berakibat terhambatnya proses tumbuh kembang otak, terutama pada periode kritis, yaitu sampai usia tiga tahun. Tiga tahun pertama merupakan masa yang sangat sensitif yang sangat menentukan perkembangan otak dan kehidupan seorang anak di masa mendatang. Pada umur tiga tahun, otak sudah tumbuh begitu pesatnya, terjadi proliferasi sel-sel otak dan akumulasi long chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs) serta terjadi mielinisasi, pertumbuhan dendrit dan sinaps sehingga terbentuk jaringan otak yang kompleks. Dengan adanya stimulasi yang baik, pembentukan otak diusia ini bisa mencapai 80%. Setelah usia tiga tahun, perkembangan otak akan mengalami perlambatan, sehingga apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan

Upload: ayu-sahfitri

Post on 26-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Status gizi adalah suatu keadaan gizi seseorang sebagai hasil dari

metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi atau zat makanan sehari-hari. Status gizi

yang baik terjadi apabila tubuh memeroleh cukup zat-zat gizi yang digunakan

secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,

kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang optimal

(Almatsier, 2001).

Asupan gizi yang tidak tercukupi akan berakibat terhambatnya proses

tumbuh kembang otak, terutama pada periode kritis, yaitu sampai usia tiga tahun.

Tiga tahun pertama merupakan masa yang sangat sensitif yang sangat menentukan

perkembangan otak dan kehidupan seorang anak di masa mendatang. Pada umur

tiga tahun, otak sudah tumbuh begitu pesatnya, terjadi proliferasi sel-sel otak dan

akumulasi long chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs) serta terjadi

mielinisasi, pertumbuhan dendrit dan sinaps sehingga terbentuk jaringan otak

yang kompleks. Dengan adanya stimulasi yang baik, pembentukan otak diusia ini

bisa mencapai 80%. Setelah usia tiga tahun, perkembangan otak akan mengalami

perlambatan, sehingga apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi

yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan

pertumbuhan badan terganggu, jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi

pematangan yang kurang serta ketidaksempurnaan organisasi biokimiawi dalam

otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak.

Secara nasional masalah gizi utama yang ada saat ini adalah kekurangan

energi dan protein (KEP), kekurangan vitamin A (KVA), anemia gizi besi (AGB),

dan gangguan akibat kurang yodium (GAKY). UNICEF 2009 melaporkan bahwa

prevalensi gizi buruk di Indonesia dengan indikator berat badan per tinggi badan

sebesar 2.8 juta (13.6%), dan dengan indikator berat badan per umur yaitu sebesar

3.8 juta (18.4%), serta dengan indikator tinggi badan per umur sebesar 7.6 juta

(36.8%).

2

Prevalensi gizi buruk balita di Indonesia menurut data WHO 2009

menduduki peringkat ke 36 dari 193 negara anggota dengan indikator berat badan

per umur sebesar 19.6%. Tahun 2010 prevalensi gizi buruk balita di Indonesia

sebesar 17.5%, dengan indikator berat badan per umur, sedangkan dengan

indikator tinggi per umur, prevalensi gizi buruk balita sebesar 35.6%. Menurut

Departemen kesehatan tahun 2004, Indonesia tergolong negara dengan status

kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (28,47%) dari 17.983.244 balita di

Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung

meningkat pada tahun 2005-2006. Prevalensi anak balita gizi kurang dan buruk

turun 0,5% dari 18,4% pada 2007 menjadi 17,9% pada 2010. Berdasarkan

RISKESDAS 2010, prevalensi gizi kurang balita sebesar 13%,dan prevalensi gizi

buruk sebesar 4.9% dengan indikator berat badan per umur.

Hasil RISKESDAS 2010 menyatakan angka kejadian gizi kurangpada

balita di Kota Palembang sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan

indikator berat badan per umur. Laporan dalam profil kesehatan Kota Palembang

tahun 2007 menjelaskan bahwa angka gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4%

menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka KEP total tahun 2007

adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih

tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding dengan tahun 2006 yaitu 4% dan

balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12% bila dibanding tahun 2006

terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada tahun 2008 dari 144

ribu balita di kota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang gizi atau berada

dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil pantauan di 889 posyandu

aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk Kota Palembang, angka kurang gizi

pada balita juga masih tegolong tinggi. Pada tahun 2010, angka kejadian gizi

buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi gizi buruk tertinggi terjadi di

wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8 kasus (33,3%). Angka kejadian

gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di

wilayah Kecamatan Ilir Timur 1 sebanyak 143 kasus.

Timbulnya masalah gizi menurut United Nations Children Fund’s

(UNICEF) 2010 terdapat dua penyebab langsung gizi buruk, yaitu intake zat gizi

(dari makanan) yang kurang dan adanya infeksi. Kedua penyebab langsung

3

tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yang merupakan penyebab tidak langsung,

yaitu ketersediaan pangan keluarga yang rendah akibat dari rendahnya pendapatan

keluarga, perilaku kesehatan (termasuk pola asuh atau perawatan ibu dan anak)

yang tidak benar, serta pelayanan kesehatan dan lingkungan yang buruk.

Karakteristik anak yang meliputi usia, jenis kelamin, dan berat badan lahir

berpengaruh terhadap status gizi seorang anak. Azrimaidaliza 2008 menyatakan

bahwa semakin tinggi usia anak maka semakin tinggi proporsi gizi kurang pada

anak tersebut. Begitu juga dengan jenis kelamin, proporsi gizi kurang pada anak

laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan. Anak yang mempunyai berat

badan lahir <2,5 kg mempunyai peluang menderita gizi kurang 2,903 kali (95%

CI) dibandingkan anak dengan berat badan lahir ≥ 2,5 kg.

Hal lain yang juga dapat mempengaruhi status gizi seorang anak adalah

pola asuh gizi. Pola asuh gizi mempunyai berbagai aspek kunci diantaranya

berupa praktek menyusui atau pola pemberian ASI dan pemberian makanan

pendamping ASI (MP-ASI) (Zeiltin, 2000). Hasil penelitian Dadang Rosmana

(2003), menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna antara pola asuh

gizi dengan status gizi anak.

Karakteristik keluarga yang meliputi usia orang tua, tingkat pendidikan,

pengetahuan gizi, pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan sebagainya

juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan status gizi

seseorang, karena karakteristik keluarga ini berkaitan erat dengan asupan zat gizi.

Asupan zat gizi yang tidak mencukupi bila berlangsung dalam jangka waktu yang

lama akan menimbulkan masalah gizi.

Diperkirakan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan

salah satu penyebab terjadinya kejadian masalah gizi pada anak karena tingkat

pendidikan formal erat hubungannya dengan penerapan praktik gizi dan kesehatan

dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekal pengetahuan yang diperoleh dibangku

pendidikan formal, orang akan lebih mudah untuk menyerap dan kemudian

memutuskan suatu inovasi tidak terkecuali di bidang gizi dan kesehatan (Puji

astutik, 2011)

Selain itu, yang juga termasuk dalam karakteristik keluarga adalah jumlah

anggota keluarga dalam suatu keluarga. Semakin banyak anak balita dalam suatu

4

rumah tangga akan memberikan dampak negatif yang semakin berpengaruh

terhadap pola pertumbuhan anak balitanya (Jus’at, 2001)

Pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan kualitas dan

kuantitas makanan yang disediakan dalam keluarga, hal ini berhubungan dengan

daya beli keluarga. Ani Andriyani (2010) menyatakan bahwa tingkat pendapatan

yang rendah akan mengakibatkan rendahnya daya beli pangan rumah tangga dan

dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan zat gizi balita. Penelitian

yang dilakukan di Egypt, Alexandria menyatakan bahwa sosial ekonomi keluarga

sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.

Penyakit infeksi merupakan penyebab langsung pada masalah gizi.

Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap

keadaan gizi anak. Sebagai reaksi pertama akibat adanya infeksi adalah

menurunnya nafsu makan anak yang bearti bahwa kekurangan masukan (intake)

zat gizi ke dalam tubuh anak. Keadaan berangsur memburuk jika infeksi disertai

muntah yang mengakibatkan hilangnya zat gizi. Penyakit yang tidak menguras

cadangan energi sekalipun, jika berlangsung lama dapat mengganggu

pertumbuhan karena menghilangnya nafsu makan anak (Arisman, 2004). Karlina

Nurcahyo (2010) mendapatkan penyakit infeksi yang sering diderita oleh balita

yaitu diare sebesar 40,7% dan ISPA sebesar 37%.

Lingkungan tempat tinggal juga merupakan salah satu faktor yang

berperan dalan status gizi anak. Anak balita sebagai golongan yang rentan akan

mudah terserang penyakit bila lingkurang rumah kotor yang memungkinkan

berkembang biaknya penyakit menular. Soekirman dan badan pusat statistik

(BPS) 1995 menyatakan bahwa keadaan rumah dan lingkungan akan

mempengaruhi status gizi anak balita.

Tingginya prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia, khususnya di

Kota Palembang Kecamatan Seberang Ulu I inilah yang menjadi alasan untuk

dilakukannnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

anak balita terutama usia 6-36 bulan.

5

1.2. Rumusan masalah

Bagaimana status gizi anak usia 6-36 bulan di Kota Palembang dan apa saja

faktor-faktor yang mempengaruhinya?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui status gizi anak usia 6-36 bulan di Kota Palembang Kecamatan

seberang Ulu I dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi status gizi anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang

Ulu I Kota Palembang.

2. Mengidentifikasi karakteristik anak (umur, jenis kelamin, berat badan

lahir) usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.

3. Mengidentifikasi karakteristik keluarga (jumlah anak, pendapatan per

kapita, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, umur orang

tua,, pengetahuan ibu ) yang memiliki anak usia 6-36 bulan di Kecamatan

Seberang Ulu I Kota Palembang.

4. Mengidentifikasi pola asuh gizi (Asi eksklusif, MP-ASI) keluarga yang

memiliki anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota

Palembang.

5. Mengidentifikasi penyakit infeksi (Diare, ISPA) pada anak usia 6-36

bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.

6. Mengidentifikasi keadaan lingkungan tempat tinggal di Kecamatan

Seberang Ulu I Kota Palembang.

7. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak, karakterisktik keluarga,

pola asuh anak, penyakit infeksi dan keadaan lingkungan dengan status

gizi anak usia 6-36 bulan Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.

6

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Melalui penelitian ini diharapkan akan diketahui faktor-faktor apa saja

yang berperan dalam mempengaruhi status gizi anak usia 6-36 bulan.

2. Manfaat Praktis

1. Digunakan sebagai bahan masukan untuk upaya perbaikan gizi.

2. Digunakan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya.

1.5.Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak

usia 6-36 bulan yang akan dilakukan kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya dalam hal waktu, lokasi, dan sampel penelitian.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status gizi

2.1.1. Pengertian

Hadisiswanto dan Winarto (2001) status gizi adalah keadaan gizi

seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang itu normal atau

bermasalah (gizi salah) yang merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan

oleh kekurangan / kelebihan dan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan

untuk pertumbuhan, kecerdasan dan aktivitas / produktivitas. Status gizi adalah

keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaaan zat-zat gizi

(Almatsier, 2002).

Status gizi ditentukan oleh dua hal yaitu terpenuhinya semua zat-zat gizi

yang diperlukan tubuh dari makanan dan peranan faktor-faktor yang menentukan

besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat- zat gizi. Zat gizi adalah

ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya. Ada tiga fungsi

utama zat gizi, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan

serta mengatur proses-proses kehidupan. Kebutuhan tubuh akan zat gizi

ditentukan oleh beberapa hal yaitu tingkat metabolisme, tingkat pertumbuhan,

aktivitas fisik, perbedaan daya serap dan penghancuran zat gizi tersebut dalam

tubuh (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).

Dalam pembahasan status gizi baik untuk perorangan ataupun kelompok, ada

tiga konsep yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan yang perlu dipahami.

Ketiga konsep tersebut adalah :

1. Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui

proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolism

dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan, fungsi organ

tubuh, dan produksi energi. Proses ini disebut gizi (nutrition).

2. Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara masukan gizi disatu

pihak dan pengeluaran oleh organisme dipihak lain disebut “nutriture”

8

3. Tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh “nutriture” yang

terlihat melalui variabel tertentu sehingga disebut sebagai status gizi

(nutritional status).

Oleh karena itu dalam merujuk status gizi seseorang perlu disebutkan variabel

yang digunakan dalam penentuan, misalnya tinggi badan atau variabel

pertumbuhan lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan

status gizi disebut indikator status gizi.

Terjadinya gizi salah (malnutrition), merupakan kondisi adanya gangguan

perkembangan atau fungsi akibat kekurangan atau kelebihan energy dan atau

asupan zat gizi dalam waktu lama. Ketika distribusi makanan kurang dan

populasi besar, umumnya terjadi keadaan kurang gizi (undernutrition), yang

menyebabkan timbulnya penyakit kekurangan gizi, seperti goiter (akibat

kekurangan iodium) dan xerophthalmia (gangguan mata akibat asupan vitamin A

yang kurang). Sebaliknya, apabila distribusi makanan berlebih dapat

menimbulkan penyakit kronis akibat gizi lebih, seperti diabetes (Wardlaw, 1999).

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih

zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi

dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan.

Baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih terjadi gangguan gizi

(Almatsier, 2002). Menurut Depkes (2003), keadaan gizi kurang disebut juga

Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kekurangan gizi yang disebabkan

tubuh kekurangan energy dan protein dalam makanan sehari-hari.

Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer

adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas atau kualitas yang

disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan,

kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua

faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah

makanan dikonsumsi (Almatsier, 2002)

9

Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat gizi apa yang

kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan

kualitas) menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan, produksi tenaga,

pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak serta perilaku (Almatsier, 2002).

Kurang gizi,terutama kurang energy dan protein tingkat berat mengakibatkan

dua sindrom utama, yaitu kwashiorkor dan marasmus. Kwashiorkor dapat terjadi

pada anak atau akhir masa anak. Pada usia dewasa yang kelaparan, khususnya

wanita dapat juga menderita sindrom ini tapi jarang terjadi. Sedangkan

marasmus, umunya terjadi karena kurang gizi tingkat berat, yaitu sangat kurang

konsumsi, protein maupun kalori. Sindrom ini dapai dialami oleh semua umur,

termasuk dewasa, tapi paling banyak terjadi pada tahun pertama kehidupan. Hal

ini berbeda dengan kwashiorkor yang biasanya dialami anak umur 1-3 tahun

(Jellife, 1989).

2.1.2 Status Gizi Anak

Periode dramatis dari pertumbuhan anak kadang-kadang mengacu pada

periode kritis karena karena karakteristik fisik hasil pertumbuhan normal.

Pertumbuhan tersebut terbagi menjadi 3 tahap, yaitu hiperplasia, hyperplasia dan

hipertropi kemudian hipertropi. Fase pertama adalah hiperlasia, terjadi

peningkatan jumlah sel secara signifikan. Aspek gizi merupakan hal yang penting

dalam perkembangan organ. Zat gizi yang tidak adekuat mengakibatkan

pembentukan sel yang sedikit dibandingkan normal pada otak atau bagian tubuh

lainnya. Pemberian suplementasi zat gizi setelah fase ini dapat memperbaiki

penurunan dalam jumlah sel selama periode kritis. Pada fase kedua, selama

peningkatan jumlah, sel juga mulai mengingkat dari segi ukuran. Kombinasi

pertumbuhan dalam jumlah dan ukuran disebut hiperlasia dan hipertropi. Tahap

terakhir adalah hipertropi, dimana sel hanya meningkat dari segi ukuran (Mc

Williams, 1993).

Pada waktu lahir, bayi mempunyai berat badan sekitar 3 kg dan panjang badan

50 cm. Triwulan pertama usia bayi, kecepatan bertambahnya berat badan maupun

panjang badan lebih cepat dibandingkan triwulan kedua, triwulan kedua lebih

cepat dibandingkan triwulan ketiga. Pada umur 5-6 bulan,berat badan bayi sudah

10

mencapai dua kali, dan umur 12 bulan sudah 3 kali berat badan lahir. Sedangkan

pada tahun-tahun berikutnya kenaikan berat badan tidak cepat lagi, kurang lebih 2

kg tiap tahunnya. Begitu juga dengan pertambahan panjang badan lebih cepat

pada tahun pertama dibandingkan tahun-tahun berikutnya (pudjiadi, 1997).

Kelompok umur bayi dan anak termasuk dalam kelompok rentan gizi yaitu

kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, bila suatu

masyarakat terkena kekurangan penyediaan bahan makanan. Pada kelompok

umur ini menunjukkan proses pertumbuhan pesat sehingga memerlukan zat-zat

gizi yang ralatif besar jumlahnya. Disamping itu, kelompok umur anak-anak

terutama umur dibawah lima tahun (balita) merupakan kelompok umur yang

paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2000).

Jellife (1989), menyatakan bahwa di lingkungan tradisional, insiden

kwashiorkor biasanya terjadi pada dua tahun kehidupan ana karena dampak

kumulatif dari masa penyapihan (weaning period). Pada umur tersebut merupakan

periode bahaya (danger period), disamping faktor makanan, adanya penyakit

infeksi, psikologi, budaya dan faktor kondisi lainnya yang berperan dalam

pertumbuhan anak.

Trans dalam Mahan (2000), menyatakan tiga tahun pertama kehidupan

ditandai dengan pertumbuhan fisik dan social serta perkembangan yang cepat,

yaitu suatu periode dimana banyak perubahan yang dipengaruhi oleh pemberian

makanan dan asupan gizi. Asupan gizi anak yang adekuat akan mempengaruhi

interaksi mereka dengan lingkungannya. Anak yang sehat mempunyai energy

untuk merespon dan belajar dari rangsangan lingkungannya dan berinteraksi

dengan orang tua dan orang lain.

Anak yang mengalami gizi kurang lebih pendek dan berat badannya kurang

dibandingkan dengan anak gizi baik. Kecepatan pertambahan berat badan lebih

terpengaruh dibanding pertambahan tinggi badan, tapi jika defisit zat gizi yang

berat dan terus berlanjut dalam waktu lama, pertumbuhan linier akan terganggu

atau berhenti dan maturasi pubertas dan menutupnya epiphyseal menjadi tertunda.

Pertumbuhan linier tertunda akibat asupan energi adekuat tapi asupan protein

kurang. Berat badan terpengaruh bila asupan energy berkurang sehingga

pertumbuhan linier terganggu. Anak dari keluarga dengan pendapatan rendah

11

konsumsi makanannya kurang dan juga kurang energy dan zat gizi total dibanding

anak dari keluarga dengan pendapatan besar. Kemudian studi tentang status gizi

menunjukkan bahwa anak dari keluarga tersebut lebih pendek dan berat badannya

kurang dibanding anak dari keluarga dengan pendapatan besar (Pipes, 1993).

2.2 Kebutuhan Gizi Anak

ASI sebagai makanan alamiah adalah makanan yang terbaik yang dapat

diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya. ASI dengan

komposisi yang unik diciptakan sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang bayi

manusia. Hal ini karena ASI mempunyai banyak keunggulan, seperti kandungan

gizi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung

bermacam-macam zat anti baik yang seluler maupun yang humoral, sehingga

morbiditas bayi dan mortalitas bayi yang minum ASI lebih rendah daripada yang

minum susu formula,mendekatkan hubungan ibu dan bayi, sehingga menimbulkan

perasaan aman bagi bayi. ASI juga mengandung hormon-hormon misalnya

ACTH, TRH, TSH, EGF, prolaktin, kortikosteroid, prostaglandin, dan lain-lain.

Jika ASI diberikan secara baik dan benar dapat mencukupi seluruh

kebutuhan bayi sampai berusia 6 bulan. Setlah 6 bulan sampai dengan 12 bulan,

ASI saja memnuhi kebutuhan bayi sebanyak 60-70% sehingga Swalaupun bayi

memerlukan makanan selain ASI (MP-ASI), ASI masih merupakan utama. MP-

ASI diberikan secara adekuat agar tidak terjadi kurang gizi. Setelah satu tahun,

ASI hanya memenuhi sekitar 30% kebutuhan bayi namun tetap dianjurkan

pemberiannya sampai paling kurang 2 tahun karena keuntungannya (Suradi,

2003).

Pada kelompok umur bayi (0-1 tahun), kebutuhan akan zat-zat gizi adalah

yang paling tinggi, bila dinyatakan dengan satuan berat badan. Hal ini

dikarenakan bayi sedang dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat. Bayi

yang lahir sehat dengan berat badan normal sekitar 2,5-3,5 kg akan mencapai

kelipatan berat badannya dalam waktu enam bulan. Kebutuhan akan zat gizi,

yaitu energy 100-110 kal/kg berat badan (BB) sehari dan protein 3-4 gram/kg

berat badan sehari. Mineral kalsium dan phosphor juga penting bagi bayi untuk

pertumbuhan tulang kerangka. Untuk vitamin D, bagi bayi yang tinggal di daerah

12

tropic dapat terpenuhi bila bayi tersebut cukup terkena sinar matahari

(sediaoetama, 2000).

Kebutuhan zat gizi anak merupakan refleks dari kecepatan pertumbuhan,

pengeluaran energy untuk aktifitas, kebutuhan basal metabolic dan interaksi zat

gizi yang dikonsumsi. Kebutuhan zat gizi yaitu energi pada umur 0-5 bulan

adalah 108 kal/kg BB sehari dan protein 2,2gr/kg BB, umur 5 bulan sampai 1

tahun adalah 98 kal/kg BB dan protein 1,6 gr/kg BB dan umur 1-3 tahun adalah

102 kal/kg BB dan protein 1,2 gr/kg BB (Trahms dalam mahan, 2000).

Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari),

golongan umur 0-6 bulan dengan berat badan 5,5 kg dan panjang badan 60 cm,

energy yang dibutuhkan sebesar 560 kkal dan protein 12 gr. Golongan umur 7-12

bulan dengan berat badan 8,5 kg dan tinggi badan 71 cm, membutuhkan energy

800 kkal dan protein 15 gr. Untuk golongan umur 1-3 tahun dengan berat badan

12 kg dan tinggi badan 90 cm, membutuhkan energi sebesar 1250 kkal dan protein

23 gr (Widyakarya Pangan dan Gizi VI, 1998 dalam Almatsier, 2002).

2.3 Penilaian status gizi

Penilaian status gizi adalah penafsiran informasi dari dari penilaian

antropometri, konsumsi makanna, laboratorium dan klinik. Informasi yang

diperoleh digunakan untuk menetapkan status kesehatan individu atau kelompok

masyarakat yang berkaitan dengan konsumsi dan penggunaan zat-zat gizi oleh

tubuh (Hadisiswanto, 2001)

Status gizi dapat dinilai secara langsung maupun tidak langsung.

Penilaian langsung dapat dilakukan secara antropometri, klinis, biokimia, dan

biofisik. Sedangkan penilaian sttaus gizi secara tidak langsung dapat dilakukan

melalui survey konsumsi makanan, statistic vital, dan faktor ekologi. Dalam

penilaian status gizi diperlukan beberapa parameter yang kemudian disebut indeks

antropometri. (Supariasa, dkk, 2002).

Pemilihan jenis penilaian status gizi yang akan digunakan hendaknya

disesuaikan dengan tujuan penggunaaan indikator status gizi, adapun tujuan dari

pengukuran dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:

13

1. Untuk tapis gizi (screening) perorangan bagi keperluan pemberian

perlakuan (treatment) khusus.

2. Survey gizi (nutritional survey) untuk mendapatkan status gizi

masyarakat pada saat-saat tertentu, dan faktor—faktor yang berkaitan.

3. Pemantauan status gizi (nutritional status monitoring) untuk

mendapatkan perubahan status gizi penduduk dari waktu ke waktu.

2.3.1 Pengukuran Antropometri

Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan

komposisi tubuh. Beberapa pengukuran antropometri utama yang digunakan

antara lain adalah tinggi badan/stature (TB), berat badan (BB), lingkar lengan

(dengan komponen lemak bawah kulit dan otot tulang) dan lipatan lemak bawah

kulit. Penilaian status gizi dengan menggunakan antropometri memiliki kelebihan

dan keterbatasan yang dapat dilihat pada table 2.1 berikut.

Table 2.1 Kelebihan dan Keterbatasan Pengukuran Antropometri

Kelebihan Keterbatasan

1. Relatif murah

2. Cepat, sehingga dapat

dilakukan pada populasi yang

besar

3. Objektif

4. Dapat dirangking apakahh

ringan, sedang, berat

5. Tidak menimbulkan rasa sakit

pada responden.

1. Membutuhkan data referensi

yang relevan

2. Kesalahan yang muncul

seperti pada perlatan (belum

dikalibrasi), kesalahan

observer (pengukuran,

pembacaan, pencatatan)

3. Hanya mendapatkan data

pertumbuhan, obesitas,

malnutrisi karena kurang

energy protein, tidak dapat

memperoleh informasi karena

defisiensi zat gizi mikro.

Sumber : Departemen gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2007

14

Pengukuran Antropometri

Penilaian pertumbuhan Penilaian massa bebas

lemak (fat-free mass)

Penilaian Massa lemak

(fat mass)

Lingkar kepala Lingkar lengan atas

(LILA)

Tricep skinfold

Berat badan Mid-upper-arm muscle

circumference

(MUAMC)

Bicep skinfold

Tinggi/panjang badan Mid-upper-arm muscle

(MUAMA)

Subscapular skinfold

Perubahan berat badan Suprailiac skinfold

Rasio berat/tinggi Mid-upper-arm fat area

Tinggi lutut Rasio lingkar pinggang

panggul (waist-hip

circumference ratio)

2.3.2 Indeks Antropometri

Menurut soekirman (2000) untuk mengetahui apakah berat dan tinggi badan

normal, lebih rendah atau lebih tinggi dari yang seharusnya, maka dilakukan

pembandingan dengan suatu standar internasional yang ditetapkan oleh WHO.

Untuk mengetahui status gizi diperlukan indikator yang merupakan kombinasi

antara BB, TB, dan umur dimana masing-masing indikator mempunyai makna

tersendiri

Indikator tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

a. Berat Badan terhadap Umur (BB/U)

Merupakan indikator status gizi kurang saat sekarang dan sensitif terhadap

perubahan kecil. Dapat digunakan untuk memonitor pertumbuhan dan pengkuran

yang berulang dapat mendeteksi growth failure karena infeksi atau KEP. Berat

badan merupakan parameter yang paling baik, karena mempunyai beberapa

kelebihan yaitu mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena perubahan

konsumsi makanan dan kesehatan. Umum dan luas dipakai di Inonesia, ketelitian

15

pengukuran tidak banyak dipengaruhi olek keterampilan pengukur, digunakan

dalam KMS,

Kekurangan pemakaian indeks ini adalah sulitnya mendapatkan umur yang

akurat, keliru dalam menginterpretasikan status gizi bila terdapat edema dan

kesalahan pengukuran yang dapat disebabkan oleh pengaruh pakaian atau anak

bergerak saat ditimbang serta adanya hambatan dari segi perspektif budaya.

b. Tinggi Badan terhadap Umur (TB/U)

Merupakan indikator status gizi masa lalu dan kesejahteraan dan kemakmuran

suatu bangsa. TB juga menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.

Kekurangan pemakaian indeks ini adalah sulitnya mendapatkan umur yang akurat

dan perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat dan perlu

dua orang untuk membantu mengukur tinggi anak.

c. Berat Badan terhadap Tinggi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks

BB/T B merupakan indeks yang independen terhadap umur. Merupakan indikator

untuk menilai status gizi saat kini dimana umur tidak perlu diketahui. Indeks ini

dapat digunakan untuk mengetahui proporsi badan gemuk, normal, dan kurus.

d. Lingkaran Kepala

Pengukuran pada lingkaran occipitofrontal merupakan ukuran pertumbuhan

kepala dan otak. Rerata dari tiga kali pengukuran dipakai sebagai standarnya.

Ukuran ini penting sekali pada keadaan keterlambatan perkembangan dan

kecurigaan adanya hydrocephalus. Pengukuran dilakukan dengan mengukur

lingkaran terbesar.

e. Lingkar Lengan Atas (LLA)

Lingkar lengan atas memberikan keadaan jaringan otot dan lapisan lemak

bawah kulit. Lingkar lengan atas merupakan indikator yang sulit digunakan untuk

menilai perkembangan seorang anak. Pengukuran ini mempunyai kelemahan

yaitu kesalahan pengukuran relative besar dibandingkan dibandingkan TB dan

16

sensitive untuk suatu golongan tertentu (pra sekolah, tetapi kurang sensitive untuk

golongan dewasa.

f. Lingkaran Dada

Biasa digunakan pada anak umur 2-3 tahun, karena pertumbuhan lingkar dada

pesat sampai anak berumur 3 tahun. Rasio lingkar dada dan kepala dapat

digunakan sebagai indikator KEP pada balita. Pada umur 6 bulan lingkar dada dan

kepala sama. Setelah umur ini lingkar kepala tumbuh lebih lambat daipada

lingkar dada. Pada pengukuran lingkaran dada sangat dipengaruhi oleh tingkat

pengukuran dan status pernafasan. Pada umumnya tekhnik pengukuran dilakukan

dengan subyek berdiri tegak dengan lengan diangkat dan diturunkan setelah pita

pengukur diletakkan pada tempatnya.

Pita pengukur ditahan ditempat yang telah ditetapkam (melingkari putting

susu pada lingkaran dada terbesar, atau 2 ukuran diatas/dibawah payudara).

Menurut Montagu (1960) dikutip oleh Noel Cameron (1984) tinggi pengukuran

pada lingkaran melewati ketiak (axillary chest girth).

g. Lipatan Kulit

Tebal lipatan kulit untuk menilai tebalnya lemak subkutan menggunakan

harpenden skinfold caliper yang dilakukan pada daerah bicep, tricep, subskapula,

dan daerah panggul.

2.3.3 Klasifikasi Status Gizi

Untuk menilai status gizi seseorang atau masyarakat, digunakan daftar baku

antropometri. Saat ini di Indonesia dikenal ada dua baku antropometri untuk

kelompok anak balita, yaitu baku Harvard dan baku WHO–NCHS. Baku Harvard

sudah digunakan secara luas di masyarakat, termasuk sebagai bahan untuk Kartu

Menuju Sehat (KMS) untuk anak balita. Baku Harvard yang ada tidak

membedakan jenis kelamin anak. Dilain pihak, baku WHO – NCHS masih

terbatas penggunaannya pada survey-survey gizi dan proses pemantauan status

gizi anak balita.

Pada baku WHO–NCHS dibedakan jenis kelamin pada anak dan Nampak

lebih teliti dibandingkan dengan baku Harvard. Pada baku WHO-NCHS

ditunjukkan bahwa perkembangan berat badan anak perempuan menurut umur

17

lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki, sedangkan pada baku Harvard

perkembangan beat badan antara anak laki-laki dan anak perempuan disamakan,

hal ini akan memberikan kemungkinan hasil interpretasi status gizi yang berbeda

bila digunakan kedua jenis baku antropometri ini, oleh karena itu dalam survey-

survey khusus untuk pemetaan ataupun evaluasi status gizi maupun kegiatan

intergrasi gizi masyarakat digunakan baku WHO_NCHS.

Berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi yan dilakukan pada bulan Mei tahun

2000 di Semarang, mengenai standar baku nasional Indonesia yang digumakan

untuk menentukan status gizi, kesepakatan ini kemudian diperkuat dalam bentuk

Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor 920/Menkes/SK/VII/2002 tentang

klasifikasi status gizi anak bawah lima tahun (balita), adapun standar baku

nasional Indonesia disepakati sebagai berikut :

Tabel 2.2 Pengukuran Antropometri menurut WHO-NCHS

Baku WHO-

NCHS

BB/U TB/U BB/TB

2,0 SD Gizi lebih Gemuk

-2,0 SD s.d + 2,0

SD

Gizi baik Normal Normal

< -2,0 SD Gizi kurang Pendek

(stunted)

Kurus (wasted)

< -3,0 SD Gizi buruk Sangat kurus

Pertimbangan dalam menetapkan batas ambang (cut off point) status

gizi, didasarkan pada asumsi resiko kesehatan sebagai berikut :

1. Antara -2 SD s/d +2 SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan

2. Antara -2 SD s/d -3 SD atau antara +2 SD s/d +3 SD memiliki

resiko cukup tinggi (moderat) untuk menderita masalah kesehatan.

3. Dibawah -3 SD atau diatas +3 SD memiliki atau beresiko tinggi

untuk menderita masalah kesehatan.

18

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

Suatu penyakit timbul akibat interaksi berbagai faktor

internal maupun eksternal. Dalam epidemiologi dikenal istilah

trias epidemiologi (Host, Agent, Environment) yang berperan

dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya.

Timbulnya penyakit berkaitan dengan gangguan interaksi antara

faktor penjamu, agen dan lingkungan (Bustan, 2006).

Status gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling

terkait, terutama asupan makanan dan penyakit infeksi. Kedua

faktor tersebut dipengaruhi oleh daya beli keluarga, jumlah

keluarga, kebiasaan makan, pelayanan kesehatan dasar, sanitasi

serta faktor lingkungan dan social lainnya. Sedangkan menurut

UNICEF (1998) status gizi dipengaruhi oleh penyebab langsung

dan tidak langsung..Faktor penyebab status gizi dapat dilihat pada

gambar 2.1 dibawah

Gambar. Faktor Penyebab Terjadinya Masalah Gizi

2.4.1 Karakteristik Anak

2.4.1.1 Umur

Umur 6-36 bulan merupakan umur yang sangat penting

perannya dalam tumbuh kembang anak. Pada periode ini anak

sangat rawan terhadap berbagai jenis penyakit yang dapat

menimbulkan gangguan pada proses tumbh kembangnya. Bila

pada umur ini terjadi masalah gizi berupa Kekurangan Energi dan

protein (KEP), maka akan berdampak pada masa depannya nanti,

sehingga perlu menjadi perhatian khusus.

Umur 4 bulan, bayi yang sehat berat badannya bertambah

dua kali. Pada saat yang sama, jaringan dan organ tubuh bayi

berkembang sangat cepat. Perkembangan ini membutuhkan

asupan zat gizi esensial dan energi yang besar. Setelah tahun

pertama kehidupan, anak masih mengalami pertambahan tinggi

19

badan dan berat badan yang cepat dengan kecepatan lebih lambat

(Golden dalam Garrow, 2004). Dilihat dari periode kritis

pertumbuhan anak, yaitu pada dua tahun pertama kehidupan

terutama umur diatas 12 bulan mulai terlihat gangguan

pertumbuhan akibat faktor makanan, adanya penyakit infeksi,

psikologi, budaya dan faktor kondisi lainnya yang berperan

terhadap pertumbuhan anak (Jellife, 1989).

Beberapa penelitian telah menunjukkan semakin besar

umur anak maka semakin besar peluang menderita gizi kurang.

Penelitian tersebut antara lain, penelitian Utomo, dkk (1997),

menemukan prevalensi gizi kurang pada anak paling rendah umur

< 6 bulan, tapi meningkat secara dramatis umur 6- 11 bulan, dan

paling tinggi umur 12-24 bulan. Kebutuhan gizi pada usia tersebut

meningkat sedangkan ASI tidak mencukupi, makanan sapihan

tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta

adanya diare karena terkontaminasi pada makanan yang diberikan.

2.4.1.2 Jenis Kelamin

Faktor jenis kelamin anak juga mempunyai hubungan

dengan status gizi anak. Rata-rata berat badan dan tinggi badan

anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan dari lahir

sampai umur 10 tahun (WHO, 1995). Pada bayi laki-laki,

pertambahan beratnya 2 kali dari berat badan lahirnya dan lebih

cepat dibandingkan bayi perempuan (Johnson dalam Worthington-

Roberts, 2000).

Bila dilihat dari kejadian gizi kurang pada anak diketahui

bahwa kejadian gizi kurang tersebut berdasarkan jenis kelamin

menunjukkan hasil yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian di

Alexandria 2001 menyatakan abhwa prevalensi gizi kurang lebih

banyak dialami oleh pria yaitu 8,6% sedangkan wanita sejumlah

5,5%.

2.4.1 3. Berat Badan Lahir

20

Berat badan lahir, terutama Berat Bayi Lahir Rendah

(BBLR) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status

gizi masyarakat. BBLR (kurang dari 2500 gram) merupakan salah

satu faktor yang berperan terhadap kematian perinatal dan

neonatal. BBLR dibedakan dalam dua kategori, yaitu BBLR

karena premature (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau

BBLR karena intrauterine growth retardation (IUGR), yaitu bayi

yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang. Di negara

berkembang, termasuk Indonesia banyak ditemukan BBLR dengan

IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria dan

menderita penyakit menular seksual sbelum konsepsi atau pada

saat hamil. Menurut perkiraan WHO, pada tahun 1995 hampir

semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal di negara berkembang

atau berpenghasilan rendah. Lebih dari dua per tiga kematian

adalah BBLR. Secara global diperkirakan terdapat 25 juta

persalinan per tahun dimana 17% diantaranya adalah BBLR dan

hampir semua terjadi di negara berkembang (Hadi, 2001)..

Bayi yang lahir cukup bulan, berat badan waktu lahir

akan kembali pada hari ke -10. Berat badan menjadi 2 kali berat

badan waktu lahir pada bayi umur 5 bulan, menjadi 3 kali berat

badan lahir pada umur satu tahun, dan menjadi 4 kali berat badan

lahir pada umur 2 tahun. Ukuran dan pertumbuhan intrauterin

merupakan determinan kuat status pertumbuhan anak selanjutnya

terutama pada berat badan lahir normal (2,5-4,0 kg). Bayi yang

mengalami gangguan pertumbuhan lebih lambat pertumbuhannya

dibandingkan anak yang preterm dengan berat badan lahir sama

(WHO, 1995).

Berat badan lahir anak dipengaruhi oleh berar badan ibu dan status

ekonomi keluarga. Bayi dengan berat badan lahir rendah (ringan),

umumnya dilahirkan dari ibu yang kecil atau yang mempunyai

latar belakang ekonomi kurang (McWilliams, 1993). Johnson

dalam Worthington-Roberts (2000) menyatakan bahwa

21

pertumbuhan berat badan dan panjang badan bayi setelah

dilahirkan ditentukan oleh genetic, lingkungan, dan gizi.

Kebanyakan bayi yang lahir kecil tetapi secara genetik lebih besar,

perubahan pada pertumbuhannya terjadi pada umur 3-6 bulan.

Bagaimanapun, bayi dengan berat badan besar saat lahir yang

secara genotip ukurannya kecil cenderung tumbuh untuk beberapa

bulan sebelum pertumbuhan mulai melambat. Pada periode

pertumbuhan melambat ini, pertumbuhan panjang turun dari

persentil tinggi menjadi persentil rendah dan persentil baru muncul

setelah anak berusia 13 bulan.

Umumnya bayi dengan berat badan normal sampai umur

12 bulan mempunyai berat badan lahir lebih besar dari bayi dengan

berat badan lahir rendah. Kemudian umur 12 bulan kecepatan

pertumbuhan bayi dengan berat badan lahir rendah dapat mengejar

bayi dengan berat normal (Hardiansyah dalam Depkes RI, 2003).

Namun bayi yang lahir dengan berat badan rendah atau berat

badan lahir kurang dari 2,5 kg (BBLR) seringkali mengalami

kesulitan untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhannya

(inadequate catch up growth) bila tidak didukung dengan makanan

yang bergizi.

2.4.2 Karakteristik Keluarga

2.4.2.1 Jumlah Anak

Karakteristik keluarga seperti jumlah anak yang dimiliki

mempunyai pengaruh terhadap bahan makanan yang tersedia.

Suhardjo (1989), menyatakan jumlah anggota keluarga yang

banyak akan berakibat pada terbatasnya kemampuan kepala

22

keluarga atau orang tua dalam menyediakan makanan untuk

semua anggota keluarga baik dari segi kuantitas maupun

kualitasnya. Anak- anak dari kelaurga miskin mempunyai resiko

lebih besar menderita gizi kurang diantara semua anggota keluarga,

terutama anak paling kecil yang biasanya paling terpengaruh oleh

kekurangan pangan. Semakin banyak anggota keluarga, maka

pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak

menyadari bahwa anak-anak, merupakan usia pertumbuhan pesat

sehingga membutuhkan pangan relative lebih tinggi dibandingkan

golongan lebih tua. Sementara itu, Sedieoetama (2000),

menyatakan anak-anak terutama balita merupakan kelompok umur

yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi.

Jumlah anak yang banyak pada keluarga dengan keadaan

sosial ekonomi cukup, akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih

sayang yang diterima anak, apalagi jarak anak yang terlalu dekat. Sedangkan

pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang

banyak dapat berakibat pada pada kurangnya kasih sayang dan perhatian pada

anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan

(Soetjiningsih, 1995).

Lembaga Gizi Nasional India mendapatkan para pemuda

yang mempunyai tiga atau lebih saudara laki-laki atau saudara perempuan yang

merupakan 34% dari jumlah anak-anak adalah 61% adalah 61% penderita gizi

kurang yang terdaftar di klinik. Kasus gizi kurang ini lebih banyak ditemukan di

keluarga-keluarga besar. Jumlah anak yang kelaparan dari keluarga besar hamper

4 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang

mengalami gizi kurang juga jumlahnya hamper 5 kali lebih banyak (Berg, 1986).

Beberapa penelitian yang melihat hubungan antara

jumlah anak dengan status gizi anak antara lain, penelitian Djasmidar (1999) dan

Rosmana (2003).. Pada penelitian Djasmidar (1999) ditemukan kecenderungan

keluarga yang memiliki jumlah anak > 2orang lwbih banyak mempunyai anak gizi

kurang dibandingkan dengan jumlah anak ≤ 2 orang di Jakarta Utara, Bogor, dan

Lombok Timur. Sedangkan Rosmana (2003) dapat membuktikan adanya

23

hubungan antara jumlah anak dalam eklaurga dengan sttaus gizi anak 6-24 bulan

di Kabupaten Serang Provinsi Banten. Dari hasil penelitian tersebut diketahui

prevalensi gizi kurang pada anak umur 6-24 bulan dengan jumlah anak > 2 orang

dalam keluarga lebih tinggi (34,6%) dibandingkan dengan jumlah anak dalam

keluarga ≤ 2 orang (13,7%). Kemudian dapat dijelaskan bahwa keluarga dengan

jumlah anak > 2 orang berisiko 3,335 kali mempunyai anak gizi kurang

dibandingkan keluarga dengan jumlah anak ≤ 2 orang.

2.4.2.2 Pendapatan keluarga per Kapita

Dalam penelitian untuk mengetahui pendapatan rumah tangga sangat sulit

mendapatkan datanya, karena keluarga khawatir diketahui oleh orang lain atau

takut berhubungan dengan pajak. Untuk mengetahui pendapatan rumah tangga

biasanya digunakan data pengeluaran rumah tangga. Menurut Sajogyo (1997),

data pengeluaran keluarga lebih meggambarkan pendapatan keluarga yang

meliputi penghasilan ditambah dengan hal-hal lain seperti pinjaman dan

pemberian. Pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.

Pendapatan berhubungan erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi

makanan. Keberadaan makanan akan berpengaruh terhadap keadaan gizi

seseorang, tetapi tingkat pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan

gizi baik.

Peningkatan pendapatan keluarga diharapkan dapat

meningkatkan status gizi anak balita, karena peningkatan tersebut memungkinkan

keluarga mampu untuk membeli pangan yang berkualitas dan berkuantitas lebih

baik (BPS, 1988). Hal yang sama juga ditemukan oleh Soekirman (1991), salah

satu faktor yang menentukan konsumsi keluarga adalah pendapatan keluarga.

Selain itu konsumsi makanan juga dipengaruhi oleh harga pangan dan non

pangan.

Pada keluarga yang berpendapatan rendah, pengeluaran

terbesar dari pendapatannya adalah konsumsi makanan dibandingkan untuk

pengeluaran lainnya seperti pendidikan, sumbangan, kesehatan dll. Berdasarkan

studi yang dilakukan oleh Sutedjo.SH dkk (1992) pada masyarakat berpenghasilan

rendah di wilayah kumuh perkotaan, sebanyak 60-70% pengeluaran keluarga di

24

alokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan 20% untuk keperluan

kerukunan sosial. Sedangkan laporan penelitian oleh mulyati (1992) menyatakan

bahwa keadaan ekonomi keluarga dicerminkan dari proporsi besar pengeluaran

untuk makan terhadap pengeluaran total. Diasumsikan bahwa keluarga yang

pengeluaran untuk makannya lebih dari 75% dari pengeluaran totalnya adalah

keluarga “miskin”.

Proporsi pengeluaran untuk makan terhadap total

pendapatan dapat digunakan sebagai petunjuk kemiskinan karena kebutuhan dasar

hidup tidak hanya makan (seperti pakaian, tempat tinggal, pendidikan anak-

anaknya). Hal ini sesuai dengan para pakar (UN-AC, 1991 yang dikutip mulyati,

1992) bahwa masalah gizi terjadi pada keluarga-keluarga yang 60-80%

pendapatan dibelanjakan untuk makan.

Pada keluarga miskin, peningkatan pendapatan

memungkinkan mereka mampu membeli pangan berkualitas dan berkuantitas

yang lebih baik. Keadaan ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan

jumlah dan macam barang atau pangan yang tersedia dalam rumah tangga.

Menurut Mosley dan Lincoln (1985) pendapatan keluarga akan mempengaruhi

sikap keluarga dalam memilih barang-barang konsumsi. Semakin tinggi

pendapatan maka cenderung pengeluaran total dan pengeluaran pangan semakin

tinggi.

Sajogyo (1977) menyatakan bahwa pendapatan

berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku manusia dalam mengkonsumsi

pangan. Dengan demikian pendapatan mempunyai hubungan erat dengan

perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan

salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi.

Kurang gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap penyakit dan

menurunnya produktifitas kerja.

2.4.2.3 Tingkat Pendidikan Orang Tua

Latar pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur

penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena berhubungan dengan

kemampuan seseorang menerima dan memahami sesuatu. Tingkat pendidikan

25

ikut mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara pemilihan makanan dalam

hal kualitas maupun kuantitas (Hidayat, 1980 dalam Mardatillah, 2008).

Pendidikan orang tua terutama ayang mempunyai hubungan yang timbale balik

dengan pekerjaan. Pendidikan ayah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi

harta rumah tangga dan komoditi pasar yang dikonsumsi karena dapat

mempengaruhi sikap dan kecenderungan dalam memilih barang-barang

dikonsumsi (Moesly dan Chen, 1985). Sedangkan pendidikan ibu akan

mempengaruhi status gizi anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan

semakin baik pula status gizi anaknya.

Soekirman (1985) menyatakan bahwa makin tinggi

pendidikan orang tua semkain baik status gizi anknya, karena dengan tingkat

pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki tentang

gizi menjadi lebih baik. Faktor pendidikan mengakibatkan perubahan perilaku

dan berpengaruh terhadap penerimaan inovasi baru, dalam hal ini perilaku makan

yang sesuai dengan ajuran gizi.

Penelitian yang dilakukan oleh Klemesu et al (200),

menunjukkan bahwa pendidikan ibu memberikan efek positif pada peningkatan

pengetahuan tentang gizi dan kesehatan serta peningkatan kemampuan pemberian

pengasuhan kepada anak. Rendahnya tingkat pendidikan ibu di kota Accra,

Ghana (Afrika), secara konsisten berpengaruh terhadap rendahnya praktek

pemberian pengasuhan anak dibawah tiga tahun. Pengasuhan tersebut meliputi

praktek pemberian makan, pemeliharaan hygiene dan kesehatan anak.

2.4.2.4 Pekerjaan orang tua

Status pekerjaan orang tua juga mempunyai andil yang

cukup besar dalam masalah gizi. Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan

penghasilan keluarga yang emmpengaruhi daya beli keluarga. Keluarga dengan

pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan

makanannya, baik kualitas maupun kuantitas. Orang tua dengan ,mata

pencaharian yang relative lebih aman kepada keluarga dibandingkan dengan ayah

dengan pekerjaan tidak tetap (Kumanto, 1992). Sedangkan status pekerjaan ibu

dapat mempengaruhi perilaku dan kebiasaan makan anak.

26

Meningkatnya pendapatan seseorang dalam keluarga

akan mempengaruhi susunan makanan. Pengeluaran yang lebih banyak untuk

pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan seseorang.

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,

karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun

sekunder (Soetjiningsih, 1998).

2.4.2.5 Umur Orang Tua

Garza dalam garrow (2004) mengatakan bahwa faktor sosio-demografi, termasuk

umur ibu secara signifikan berperan terhadap penambahan berat badan selama

hamil yang kemudian mempengaruhi bayi yang dilahirkan, dan selanjutnya

berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

Seorang ibu yang melahirkan pada umur 30 tahun atau

lebih akan berpengaruh terhadap kemampuan memproduksi ASI (Husaini, 1989).

Berdasarkan penelitian karyadi dalamOny (2000) diketahui ibu-ibu yang berusia

antara 20 hingga 30 tahun memiliki balita dengan status gizi baik dibandingkan

inu-ibu yang lebih muda atau lebih tua dari rentang usia diatas. Kemudian

penelitian Harmany (2003) menunjukkan bahwa ibu yang berumur kurang dari 20

tahun dan diatas 35 tahun atau umur beriisiko lebih banyak mempunyai balita gizi

kurang (12,07%) dibandingkan ibu yang berumur 20-35 tahun atau umur tidak

berisiko (7,3%) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sukabumi.

Depkes (1995) mengelompokkan usia ibu dengan dasar

pemikiran faktor resiko yang berkaitan dengan proses kelahiran. Dimana kategori

tersebut adalah kemlompok umur ≤ 20 tahun yang dianggap masih rentan, umur

20-35 tahun sebagai kelompok usia yang paling baik, serta kelompok >35 tahun

yang memiliki resiko tinggi terhdapa kesehatan ibu. Berdasarkan hasil SDKI

(1997) pengelompokkan usia ibu juga dibagi dalamtiga kelompok, yaitu

kelompok umur ≤24 tahun, kelompok umur 25-44 tahun seta kelompok umur ≥ 45

tahun.

Kaitan usia seorang ibu dengan status gizi anak balita,

diasumsikan lebih karena alasan psikis, dimana dengan usia ibu yang matang

(dewasa) maka seorang ibu akan siap secara mental untuk melahirkan dan

27

memelihara anak yang dilahirkan dengan pola asuh yang benar, selain itu juga

tentunya karena alasan fisik yang memungkinkan seorang ibu mempunyai status

kesehatan yang baik, dengan faktor resiko yang seminimal mungkin.

Begitu juga dengan usia seorang ayah, usia seorang ayah

yang matang ia akan dapat mengayomi dan memberikan rasa aman kepada

keluarga dan secara tidak langsung akan berpengaruh positif terhadap

perkembangan seorang anak.

2.4.2.6 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan gizi orang tua mengenai bahan makanan

akan berpengaruh terhadap hidangan yang disajikan oleh keluarga, dengan

pengetahuan yang memadai seorang ibu akan menyediakan makanan yang baik

untuk keluarganya terutama untuk anak balita sehingga diharapkan asupan zat gizi

bagi anak akan terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, yang pada akhirnya

diharapkan statusgizi anak balita dapat optimal.

Kurangnya pengetahuan gizi orang tua tentang kebutuhan

gizi anaknya akan berakibat pada timbulnya masalah gizi berupa kekurangan

enrgi dan protein yang akan berakibat pada terganggunya proses tumbuh kembang

anak, Cicely Williams yang pertama kali mengidentifikasi dan menjelaskan

tentang kwashiorkor pada anak balita, melaporkan bahwa di Afrika barat gizi

kurang tidak terjadi karena faktor kemiskinan harta semata, tetapi yang lebih

berpengaruh adalah miskinnya pengetahuan orang tua tentang kebutuhan gizi bagi

anak balitanya. (Berg,1986).

Dengan pengetahuan gizi yang memadai dapat

diasumsikan akan terjadi perilaku positif dalampola pemberian makan kepada

anak balita, hal tersebut sesuai dengan konsep umum determinan perilaku yang

menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhioleh berbagai faktor, salah satu

diantaranya adalah tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 1993).

2.4.3 Pola Asuh Gizi

Zeitlin (2000) menyatakan bahwa pola asuh gizi diartikan sebagai

praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan

28

dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan

hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh gizi

mempunyai berbagai aspek kunci dinataranya berupa praktek

menyusui (pola pemberian ASI) dan pemberian makanan pendamping

ASI (MP-ASI).

2.4.3.1 Pola Pemberian ASI

Berkaitan dengan pola pemberian ASI kepada bayi,

hendaknya ASI diberikan segera setelah melahirkan, termasuk dalam

hal ini pemberian kolostrum kepada bayi, kolostrum jumlahnya tidak

banyak tapi kaya akan gizi dimana kolostrum mengandung karoten dan

vitamin A yang sangat tinggi. Dalam prakteknya masih banyak ibu

yang tidak memberikan kolostrum kepada bayinya karena ada

anggapan/faktor budaya yang berkembang dalam masyarakat yang

meyakini bahwa kolostrum akan berpengaruh buurk terhadap

kesehatan anak. (Winarno, 1995).

Kolostrum mengandung immunoglobulin yang

memberikan daya tahan kepada bayi untuk melawan berbagai penyakit

yang mungkin menghinggapi bayi tersebut. Butit-butir

immunoglobulin ini disebut colostrums bodies dan yang memberikan

warna kekuningan pada kolostrum dan akan mengendap bila dibiarkan

beberapa saat disuhu udara terbuka (Sediaoetama, 1996).

. Produksi ASI dirangsang oleh isapan bayi dan keadaan

ibu yang tenang. Disamping itu perlu diperhatikan kesehatan ibu pada

umumnya, status gizi dan perawatan payudara. Pemberian ASI tidak

dibatasi dan dapat diberikan setiap saat terutama ASI eksklusif (AS’ad,

2002). ASI eksklusif adalah bayiyang diberi ASI saja tanpa tambahan

cairan lain seperti, susu formula, madu, air the, air putih dan tanpa

tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur, biscuit, dan

tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka

waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan.

29

Setelah bayi berumur 6 bulan, harus mulai diperkenalkan dengan

makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2

tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).

Dibandingkan dengan susu lainnya, ASI memiliki

beberapa keunggulan yaitu:

1. Mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup

untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi selama 3-4 bulan pertama

2. Tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal.

3. Mengandung beberapa zat antibody sehinggan mencegah

terjadinya infeksi.

4. Mengandung laktoferin untuk mengikat zar besi

5. Tidak mengandung beta laktoglobulin yang dapat menyebabkan

alergi

6. Ekonomis dan praktis. Tersedia setiap waktu pada suhu yang ideal

dan dalam keadaan segar serta bebas dari kuman.

7. Berfungsi menjarangkan kehamilan

8. Membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang antara

ibu dan bayi.

Bayi sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan tambahan

sampai usia 6 bulan. Pada keadaan-keadaan khusus dibenarkan

untuk mulai member makanan padat setelah bayi berumur 4 bulan

tetapi belum mencapai 6 bulan. Misalnya karena terjadi

peningkatan berat badan bayi yang kurang dari standar atau

didapatkan tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian

ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik. Namun, sebelum diberi

makanan tambahan sebaiknya coba diperbaiki dahulu cara

menyusuinya. Cobalah hanya memmberi bayi ASI saja tanpa

member minuman atau makanna lain. Selain itu, bayi harus sering

disusui, perhatikan posisi menyusui. Secara umum usahakan

dahulu agar cara pemberian ASI dilakukan sebaik mungkin.

Apabila setelah 1-2 minggu ternyata upaya perbaikan tersebut tidak

menyebabakan peningkatan berat badan, maka pemberian makanan

30

tambahan atau padat diberikan bagi bayi berusia diatas 4 bulan

(Roesli, 2000).

Bila oleh suatu sebab (misalnya ibu bekerja atau hamil

lagi) bayi tidak memperoleh ASI, maka kepada bayi diberikan

PASI (Pengganti Air Susu Ibu). PASI dibuat dari susu sapi dengan

susunan gizinya sudah diubah menjadi hampir sama dengan

susunan gizi ASi, sehingga dapat dib erikan kepada bayi tanpe

menyebabkan akibat sampingan. Akan tetapi belum ada PASI

yang tepat menyerupai susunan ASI (As’ad, 2002).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thaha 1997 di

Kabupaten Barru Sulawei Selatan, memperlihatkan bahwa 99% anak

pernah memperoleh ASI dan hanya 41% ibu-ibu yang memberikan

ASI dimulai sejak melahirkan, namun hanya 17% ibu yang

membuang kolostrum, sedangkan jumlah bayi yang memperoleh ASI

eksklusif adalah sebesar 75%. Yang dimaksud dengan ASI eksklusif

menurut Latief (2000) adalah pemberian hanya ASI kepada bayi

sampai berumur empat bulan. Tahun 2004, sesuai dengan anjuran

WHO, pemberian ASI eksklusif ditingkatkan menjadi 6 bulan

sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia no.450/MENKES/SK/VI/2004 (Tasya, 2008).

Berg (1986) menyatakan bahwa penurunan jumlah ibu

yang menyusui disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah adanya

urbanisasi dan modernisasi serta nilai sosial baru yang menjadikan

botol susu sebagai lambing status sosial, hal ini umumnya terjadi di

negara-negara berkembang. Selain itu juga adanya anggapan dari

sebagian masyarakat bahwa menyusui merupakan suatu kebiasaan

yang kolot dan terbelakang (pandangan sebagai suatu adat).

Indonesia saat ini mencatat angka kematian bayi masih

sanggat tinggi yaitu 35/1000 kelahiran hidup yang artinya dalam satu

tahun sekitar 175.000 bayi meninggal sebelum mencapai usia sati

tahun (KESRA 2008). Hasil penelitian menyatakan kematian neonatal

dapat dicegah sebanyak 16% dengan memberikan ASI pada hari

31

pertama kelahiran dan 22% dengan memberikan ASI pada satu jam

pertama kelahiran.

Hasil survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2003 menyatakn hanya ada 8,3% bayi yang mendapat ASI dalam

waktu 30 menit setelah persalinan dan 4% bayi yang mendapat ASI

dalam satu jam setelah persalinan. Survei tersebut juga menyatakan

bahwa bayi yang memeroleh ASI eksklusif sampai 4-5 bulan sebanyak

14% dan hanya 7,8% bayi yang mendapat ASI eksklusif sampai 6

bulan. Tahun 2007, survey yang sama menunjukkan bahwa cakupan

ASI eksklusif sampai 6 bulan meningkat menjadi 32,3%. Peningkatan

ini ternyata masih berada jauh dibawah target cakupan ASI eksklusif di

Indonesia pada tahun 2010 yaitu 80%.

Menurut ahli gizi anak the United Nations Children’s

Fund (UNICEF), Felicity Savage King mengaakan pemberian ASI

eksklusif akan berdampak pada system endokrin yakni pelepasan

hormone prolaktin dan oxytosin yang akan mempengaruhi sikap dan

pola asuh ibu terhadap perkembangan emosional dan otak anak.

Sehingga anak-anak yang tidak mendapatkan ASI cenderung lebih

beresiko terkena depresi dan masalah emosional lainyya (Sitopeng,

20008).

Pemberian ASI kepada anak balita hendaknya dilakukan

secara kontinyu dalam jangka waktu berkisar 24 bulan, namun seiring

dengan pertumbuhan bayi yang demikian pesat disati sisi dan kualitas

ASI yang tidak lagi dapat mencukupi disisi lain, maka dipandang perlu

adanya pemberian makanan sebagai pendamping ASI (MP-ASI).

Pemberian MP-ASI ini hendaknya diberikan secara bertahap, namun

yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa ASI merupakan

makanan utama bagi balita sehingga kedudukannya tidak dapat

digantikan oleh MP-ASI, sehingga walaupun telah diberikan MP-ASI,

pemberian ASI harus terus diberikan sampai batas waktu

pemberiannya.

32

Pemberian ASI kepada anak balita tidaklah untuk

memberikan asupan gizi semata, Utami Roelsi (2000) mengatakan

bahwa selain sebagai nutrisi, ASI juga mempunyai pengaruh terhadap

kecerdasan anak, dimana kecerdasan seseorang telah mencapai 25%

ketika dilahirkan, dan akan menjadi sekitar 70% pada saat seseorang

berusia < 1 tahun, sehingga pemberian ASI pada usia ini mutlak

diperlukan.

Umur penyapihan terhadap seorang anak hendaknya tidak

terlalu dini atau terlalu lambat, usia penyapihan yang terlalu dini pada

bayi merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi kurang.pada bayi.

Begitu juga sebaliknya, usia penyapihan yang terlalu lama tanpa

diimbangi pemberian makanan yang tepat jenis, bwntuk, dan waktunya

dapat mengakibatkan timbulnya masalah gizi kurang pada anak balita

yang dapat berlanjut menjadi masalah lebih besar.

2.4.3.2 Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Pemberian makanan sebagai pendamping ASI kepada anak balita telah

lama menjadi kebiasaan, untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan anak, khususnya setelah berumur 4 bulan sampai 2

tahun. Makanan tersebut sangat dibutuhkan, karena pada masa itu

produksi ASI semakin menurun. Oleh karena itu makanan

pendamping ASI (MP-ASI) sangat diperlukan untuk menjaga

pertumbuhan anak sekaligus memperkenalkan bayi dengan makanna

keluarga.

Menurut Sulistjani (2001), seiring bertambahnya usia

anak, ragam makanan yang diberikan harus bergizi lengkap dan

seimbang yang mana penting untuk menunjang tumbuh kembang dan

status gizi anak. Dalam hal pengaturan pola konsumsi makanan, ibu

mempunyai peran yang sangat penting dalam memilih jenis makanan

yang bergizi seimbang Setalah berumur 6 bulan, bayi memerlukan

makanan pendamping karena kebutuhan gizi bayi meningkat dan tidak

seuluruhnya dapat dipenuhi oleh ASI. Menurut Arisman (2004)

33

pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, dari

mulai bentuk bubur cair ke bentuk buubr kental, sari buah, buah segar,

makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.

Pemberian makanan pertama cukup 2 kali sehari, satu atau dua sendok

the penuh. Pada usia 6-9 bulan bayi setidak-tidaknya membutuhkan

empat porsi. Menginjak usia 9 bulanbayi telah mempunyai gigi dan

mulai pandai mengunyah makanan. Seikitar usia 1 tahun bayi sudah

mampu memakan makanan orang dewasa. Anak usia 2 tahun

memerlukan makanan separuh takaran orang dewasa.

Makanan sapihan yang ideal harus mengandung makanan

pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah-buahan dan minyak atau lemak.

Makanan sapihan baru boleh diberikan setelah bayi disusui atau

diantara dua jadwal penyusunan, sebab diawal masa penyapihan, ASI

masih merupakan makanan pokok. Sementara makanan sapihan hanya

sebagai pelengkap. Kemudian secara berangsur ASI berubah fungsi

sebagai makanan tambahan, sementara makanan sapihan menjadi

santapan utama (Arisman, 2004)

Dalam praktek keseharian pemberian makanan pendamping ASI

kepada anak balita, seringkali ditemukan ibu balita yang memberikan

makanan prelakteal dan atau memberikan makanan pendamping ASI

terlalu dini atau terlalu lambat, hal ini tentunya akan berdampak

kepada sttaus kesehatan anak balita. Disamping itu jumlah dan

kualitas MP-ASI yang diberikan juga sering tidak memenuhi angka

kecukupan gizi (AKG), hal tersebut terjadi diantaranya karena

minimnya pengetahuan ibu tentang cara memberikan makanan yang

baik dan sehat untuk anaknya, selain itu faktor budaya berupa

kebiasaan turun temurun dari orang tua tentang pemberian makanan

kepada bayi, hal ini akan menimbulkan konsekuensi fungsional berupa

pertumbuhan fisik dan pembangunan mental yang terhambat

Pemberian makanan tambahan kepada bayi telah lama

menjadi kebiasaan, untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan

anak, khususnya setelah umur enam bulan sampai dua tahun. Makanan

34

tersebut sangat dibutuhkan, karena pada usia itu produksi ASI

menurun (Komari, 2000).

Berdasarkan rekomendasi WHO makanan pendamping

ASI sebaiknya diberikan pada waktunya, yaitu setelah bayi usia 6

bulan. Masih banyak ditemukan pemberian makanan pendamping ASI

(MP-ASI) sebelum 6 bulan. Pada wanita bekerja, pemberian ASI

eksklusif kecil kemungkinan berhasil dijalani dengan baik dengan

alasan waktu. Keadaan ini menggambarkan bahwa bayi usia kurang

dari 6 bulan telah diberikannya makanan selain ASI (MP-ASI) serta

jenis dan pola makan bayi sudah tidak dipertimbangkan lagi. Menurut

Irawati 2002, laporan dari beberapa negara menunjukkan bahwa

penyebab gangguan pertumbuhan adalah mendapatkan makanan

tambahan sebelum 6 bulan, disapih pada usia 1-2 bulan dan pemberian

susu formula pada bulan pertama (Suradi, 2008). Di Indonesia sendiri

praktek pemberian ASI eksklusif masih sangat rendah, kebanyakan ibu

memberian MP-ASi terutama makanan padat pada bayinyaketika usia

dibawah 4 bulan.

Survei pendahuluan yang dilakukan bulan Juli 2009

terhadap 30 orang ibu yang mempunyai bayi di desa Jatimulyo

diketahui sebanyak 22 bayi sudah diberi MP-ASI sebelum usia 6-12

bulan sebear 73% di desa Jatimulyo. Berdasarkan data UPGK laporan

bulan Juni 2009 masih ada kasus kurang sebesar 1,69% dan gizi buruk

2,22%.

2.4.4 Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi pada anak balita merupakan masalah

kesehatan yang penting di negara berkembang dan telah diketahui

mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kenyataan ini

ditunjukkan dengan insiden infeksi di daerah miskin pada negara-

negara sedang berkembang yang cukup tinggi (Stephensesn, 1999).

Suhardjo (1989) menyatakan bahwa penyakit infeksi

dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme, terutama

efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan.

35

Walaupun hanya terjadi infeksi ringan, akan menimbulkan kehilangan

nitrogen. Anak yang mengalami infeksi akan berakibat pada hilangnya

nafsu makan hingga masukan zat gizi dan energy kurang daripada

kebutuhan yang selanjutnya berdampak pada pola menurunnya berat

badan (Pudjiadi, 1997).

Diare merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling

memberikan efek terhadap status antropometri, dan beberapa studi

longitudinal di negara-negara dunia menunjukkan dampak negatif

penyakit tersebut terhadap pertumbuhan anak (WHO, 1995). Diare

didefinisikan sebagai buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari

dengan konsistensi buang air besar encer. Penyakit ini merupakan

indikator yang baik dari kesakitan secara umum karena kejadiannya

dapat dimonitor dan definisinya mudah untuk dikomunikasikan.

Disamping itu, diare merupakan refleksi dari kualitas air dan sanitasi.

Perbaikan pada kedua faktor tersebut diasosiasikan dengan penurunan

kesakitan karena diare. Penyakit diare diketahui sebagai contributor

status gizi kurang dan menyebabkan kematian pada bayi dan anak

(HKI, 2003).

Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan

yang utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Angka kematian penduduk Indonesia menbcapai 54 per seratus ribu

penduudk (Depkes Ri, 2000). Diyakini bahwa Escherichia Coli

enteropathogenik, yang selanjutnya disebut EPEC (Entherpathogenic

Escherechia Coli), merupakan bakteri penyebab utama diare pada bayi

dan anak-anak di negara-negara tersebut dan menyebabkan ratusan

ribu anak meninggal dunia tiap tahunnya (Levine dan Edelman, 1984).

Hal senada diungkapkan Budiarti (1997) bahwa 53% dari anak dan

bayi penderita diare di Indonesia terinfeksi EPEC.

Hasil penelititan tita mashitah menyatakan bahwa anak

batita menderita diare memiliki hubungan positif dengan status gizi

indeks TB/U (r=0,338: p<0,01). Hal ini berarti bahwa jika status batita

baik maka peluangnya menderita diare akan semakin rendah.

36

Bebrapa studi menemukan bahwa malnutrisi terjadi

akibat dari lamanya durasi penyakit yang diderita. Salah satu studi

tersebut adalah Semba (2001) mendapatkan bahwa malbutrisi

dihubungkan dengan lamanya durasi diare, bukan insiden diare

diantara anak Bangladesh. Sementara itu, penelitian Utomo, dkk

(2006), menunjukkan bahwa 10% anak menderita diae dalam 1

minggu terakhir di Indramayu, jawa barat. Dilihat dari durasi

penyakit, diketahui anak sakit rata-rata 3-5 hari dengan standar dviasi

2 hari. Dari penelititan tersebut juga didapatkan hasil penyakit yang

banyak diderita oleh anak umur 0-23 bulan adalah infeksi pernapasan

dan gangguan pencernaan.

Hasil penelitian Miko (2003) menunjukkan bahwa

persentase gizi kurang pada anak yang sakit diare lebih banyak

(67,8%) dibandingkan anak yang tidak sakit diare (12,7%) di

Kecamatan Bojongasih Kabupaten Tasikmalaya dan perbedaan

tersebut tterbukti secara statistik. Selanjutnya juga didapatkan hasil

bahwa anak yang menderita diare berpeluang menderia KEP sebesar

14,432 kali dibandingkan dengan anak yang tidak diare. Kemudian

dari penelitian Astuti (2004) didapatkan anak yang sakit diare lebih

banyak menderita gizi kurang (32,4%) dibandingkan dengan anak

yang tidak sakit diare (31,3%) di pedesaan Provinsi Jawa Tengah.

Penyakit infeksi lainnya yang juga berperan terhadap

sttaus gizi anak adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara

penyakit ISPA dengan sttaus gizi anak. Diantaranya adalah penelitian

Miko (2003) yang menemukan prevalensi gizi kurang pada anak yang

menderita ISPA lebih tinggi 61,9% dibandingkan anak yang tidak

menderita ISPA (9,3%) di Kecamatan Bojongasih Kabupaten

Tasikmalaya. Kemudian dari hasil diketahui anak yang menderita

ISPA berpeluang untuk menderita KEP 15,907 kali dibanding anak

yang tidak menderita ISPA. Hampir sama dengan penelitian Miko

(2003), Astuti (2004) mendapatkan bahwa anak yang mempunyai

37

gejala ISPA lebih banyak (33,1%) menderita gizi kurang dibanding

anak yang tidak menderita ISPA (30,4%) dan perbedaan tersebut

terbukti secara statistik. Disamping itu, balita yang mempunyai gejala

ISPA mempunyai peluang sebesar 1,13 kali menderita gizi kurang

dibanding balita yang tidak mempunyai gejala ISPA di pedesaan

provinsi Jawa Tengah.

2.4.5 Lingkungan Tempat Tinggal

Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang

dan pangan. Keadaan rumah yang dimaksud adalah pemilikan rumah,

bahan dinding, lantai, atap, sumber penerangan, sumber air, tempat

BAB< dan saluran pembuangan limbah yang dapat mempengaruhi

keadaan kesehatan penghuninya terutama anak balita yang rentan

terhadap penyakit infeksi.

Menurut Levinson dan Call (1973), keadaan rumah merupakan salah

satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan. Tempat

tinggal yang lembab, tidak memiliki fasilitas air bersih dan system

pembuangan sampah serta kotoran manusia yang kurang baik akan

menyebabkan lingkungan yang tidak sehat.

Anak balita sebagai golongan yang rentan akan mudah

terserang penyakit bila lingkungan rumah kotor yang memungkinkan

berkembang biaknya penyakit menular. Hal ini mengakibatkan

semakin lemahnya kondisi tubuh dan hilangnya nafsu makan dan

selanjutnya akan memperburuk status gizi anak balita.

Sanitasi lingkungan yang buruk mempuunyai hubungan

yang signifikan dengan lamanya penyakit infeksi seperti ISPA. Hal ini

berarti kemungkinan anak batita akan menderita ISPA lebih lama

dengan semakin buruknya sanitasi lingkungan sekitarnya. Sanitasi di

derah miskin keadaannya kurang baik, hal ini menyebabkan

meningkatnya kejadian penularan penyakit infeksi.

38

Kerangka teori

Hipotesis

1. Ada hubungan antara karakteristik anak (umur, jenis kelamin,

berat badan lahir) dengan status gizi anak usia 6-36 bulan di

kecamatan seberang ulu I Kota Palembang

Status gizi balita

Jumlah anak

Daya beli keluarga

Pekerjaan orang tua

Pengetahuan ibu tentang kesehatan,pendidikan

ibu

Pendapatan per kapita

Pola asuh gizi Keadaan lingkungan

tempat tinggal

Penyakit infeksi (diare, ISPA)

Asupan makanan

39

2. Ada hubungan antara karakteristik keluarga (jumlah anak,

pendapatan per kapita, tingkat pendidikan orang tuan,

pekerjaan orang tua, umur ibu, pengetahuan ibu) dengan status

gizi anak usia 6-36 bulan di kecamatan Seberang Ulu I Kota

Palembang

3. Ada hubungan antara pola asuh gizi (ASI eksklusif dan MP-

ASI) dengan status gizi anak usia 6-36 bulan di kecamatan

Seberang Uulu I kota Palembang.

4. Ada hubungan antara penyakit infeksi (diare, ISPA) dengan

status gizi anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang ulu I

Kota Palembang

5. Ada hubungan antara keadaan tempat tinggal dengan status gizi

anak usia 6-36 bulan di kecamatan seberang ulu I Kota

palembang9