bahan skripsi mba
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Status gizi adalah suatu keadaan gizi seseorang sebagai hasil dari
metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi atau zat makanan sehari-hari. Status gizi
yang baik terjadi apabila tubuh memeroleh cukup zat-zat gizi yang digunakan
secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang optimal
(Almatsier, 2001).
Asupan gizi yang tidak tercukupi akan berakibat terhambatnya proses
tumbuh kembang otak, terutama pada periode kritis, yaitu sampai usia tiga tahun.
Tiga tahun pertama merupakan masa yang sangat sensitif yang sangat menentukan
perkembangan otak dan kehidupan seorang anak di masa mendatang. Pada umur
tiga tahun, otak sudah tumbuh begitu pesatnya, terjadi proliferasi sel-sel otak dan
akumulasi long chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs) serta terjadi
mielinisasi, pertumbuhan dendrit dan sinaps sehingga terbentuk jaringan otak
yang kompleks. Dengan adanya stimulasi yang baik, pembentukan otak diusia ini
bisa mencapai 80%. Setelah usia tiga tahun, perkembangan otak akan mengalami
perlambatan, sehingga apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi
yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan
pertumbuhan badan terganggu, jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi
pematangan yang kurang serta ketidaksempurnaan organisasi biokimiawi dalam
otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak.
Secara nasional masalah gizi utama yang ada saat ini adalah kekurangan
energi dan protein (KEP), kekurangan vitamin A (KVA), anemia gizi besi (AGB),
dan gangguan akibat kurang yodium (GAKY). UNICEF 2009 melaporkan bahwa
prevalensi gizi buruk di Indonesia dengan indikator berat badan per tinggi badan
sebesar 2.8 juta (13.6%), dan dengan indikator berat badan per umur yaitu sebesar
3.8 juta (18.4%), serta dengan indikator tinggi badan per umur sebesar 7.6 juta
(36.8%).
2
Prevalensi gizi buruk balita di Indonesia menurut data WHO 2009
menduduki peringkat ke 36 dari 193 negara anggota dengan indikator berat badan
per umur sebesar 19.6%. Tahun 2010 prevalensi gizi buruk balita di Indonesia
sebesar 17.5%, dengan indikator berat badan per umur, sedangkan dengan
indikator tinggi per umur, prevalensi gizi buruk balita sebesar 35.6%. Menurut
Departemen kesehatan tahun 2004, Indonesia tergolong negara dengan status
kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (28,47%) dari 17.983.244 balita di
Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung
meningkat pada tahun 2005-2006. Prevalensi anak balita gizi kurang dan buruk
turun 0,5% dari 18,4% pada 2007 menjadi 17,9% pada 2010. Berdasarkan
RISKESDAS 2010, prevalensi gizi kurang balita sebesar 13%,dan prevalensi gizi
buruk sebesar 4.9% dengan indikator berat badan per umur.
Hasil RISKESDAS 2010 menyatakan angka kejadian gizi kurangpada
balita di Kota Palembang sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan
indikator berat badan per umur. Laporan dalam profil kesehatan Kota Palembang
tahun 2007 menjelaskan bahwa angka gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4%
menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka KEP total tahun 2007
adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih
tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding dengan tahun 2006 yaitu 4% dan
balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12% bila dibanding tahun 2006
terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada tahun 2008 dari 144
ribu balita di kota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang gizi atau berada
dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil pantauan di 889 posyandu
aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk Kota Palembang, angka kurang gizi
pada balita juga masih tegolong tinggi. Pada tahun 2010, angka kejadian gizi
buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi gizi buruk tertinggi terjadi di
wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8 kasus (33,3%). Angka kejadian
gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di
wilayah Kecamatan Ilir Timur 1 sebanyak 143 kasus.
Timbulnya masalah gizi menurut United Nations Children Fund’s
(UNICEF) 2010 terdapat dua penyebab langsung gizi buruk, yaitu intake zat gizi
(dari makanan) yang kurang dan adanya infeksi. Kedua penyebab langsung
3
tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yang merupakan penyebab tidak langsung,
yaitu ketersediaan pangan keluarga yang rendah akibat dari rendahnya pendapatan
keluarga, perilaku kesehatan (termasuk pola asuh atau perawatan ibu dan anak)
yang tidak benar, serta pelayanan kesehatan dan lingkungan yang buruk.
Karakteristik anak yang meliputi usia, jenis kelamin, dan berat badan lahir
berpengaruh terhadap status gizi seorang anak. Azrimaidaliza 2008 menyatakan
bahwa semakin tinggi usia anak maka semakin tinggi proporsi gizi kurang pada
anak tersebut. Begitu juga dengan jenis kelamin, proporsi gizi kurang pada anak
laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan. Anak yang mempunyai berat
badan lahir <2,5 kg mempunyai peluang menderita gizi kurang 2,903 kali (95%
CI) dibandingkan anak dengan berat badan lahir ≥ 2,5 kg.
Hal lain yang juga dapat mempengaruhi status gizi seorang anak adalah
pola asuh gizi. Pola asuh gizi mempunyai berbagai aspek kunci diantaranya
berupa praktek menyusui atau pola pemberian ASI dan pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) (Zeiltin, 2000). Hasil penelitian Dadang Rosmana
(2003), menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna antara pola asuh
gizi dengan status gizi anak.
Karakteristik keluarga yang meliputi usia orang tua, tingkat pendidikan,
pengetahuan gizi, pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan sebagainya
juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan status gizi
seseorang, karena karakteristik keluarga ini berkaitan erat dengan asupan zat gizi.
Asupan zat gizi yang tidak mencukupi bila berlangsung dalam jangka waktu yang
lama akan menimbulkan masalah gizi.
Diperkirakan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan
salah satu penyebab terjadinya kejadian masalah gizi pada anak karena tingkat
pendidikan formal erat hubungannya dengan penerapan praktik gizi dan kesehatan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekal pengetahuan yang diperoleh dibangku
pendidikan formal, orang akan lebih mudah untuk menyerap dan kemudian
memutuskan suatu inovasi tidak terkecuali di bidang gizi dan kesehatan (Puji
astutik, 2011)
Selain itu, yang juga termasuk dalam karakteristik keluarga adalah jumlah
anggota keluarga dalam suatu keluarga. Semakin banyak anak balita dalam suatu
4
rumah tangga akan memberikan dampak negatif yang semakin berpengaruh
terhadap pola pertumbuhan anak balitanya (Jus’at, 2001)
Pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas makanan yang disediakan dalam keluarga, hal ini berhubungan dengan
daya beli keluarga. Ani Andriyani (2010) menyatakan bahwa tingkat pendapatan
yang rendah akan mengakibatkan rendahnya daya beli pangan rumah tangga dan
dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan zat gizi balita. Penelitian
yang dilakukan di Egypt, Alexandria menyatakan bahwa sosial ekonomi keluarga
sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.
Penyakit infeksi merupakan penyebab langsung pada masalah gizi.
Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap
keadaan gizi anak. Sebagai reaksi pertama akibat adanya infeksi adalah
menurunnya nafsu makan anak yang bearti bahwa kekurangan masukan (intake)
zat gizi ke dalam tubuh anak. Keadaan berangsur memburuk jika infeksi disertai
muntah yang mengakibatkan hilangnya zat gizi. Penyakit yang tidak menguras
cadangan energi sekalipun, jika berlangsung lama dapat mengganggu
pertumbuhan karena menghilangnya nafsu makan anak (Arisman, 2004). Karlina
Nurcahyo (2010) mendapatkan penyakit infeksi yang sering diderita oleh balita
yaitu diare sebesar 40,7% dan ISPA sebesar 37%.
Lingkungan tempat tinggal juga merupakan salah satu faktor yang
berperan dalan status gizi anak. Anak balita sebagai golongan yang rentan akan
mudah terserang penyakit bila lingkurang rumah kotor yang memungkinkan
berkembang biaknya penyakit menular. Soekirman dan badan pusat statistik
(BPS) 1995 menyatakan bahwa keadaan rumah dan lingkungan akan
mempengaruhi status gizi anak balita.
Tingginya prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia, khususnya di
Kota Palembang Kecamatan Seberang Ulu I inilah yang menjadi alasan untuk
dilakukannnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
anak balita terutama usia 6-36 bulan.
5
1.2. Rumusan masalah
Bagaimana status gizi anak usia 6-36 bulan di Kota Palembang dan apa saja
faktor-faktor yang mempengaruhinya?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui status gizi anak usia 6-36 bulan di Kota Palembang Kecamatan
seberang Ulu I dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi status gizi anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang
Ulu I Kota Palembang.
2. Mengidentifikasi karakteristik anak (umur, jenis kelamin, berat badan
lahir) usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.
3. Mengidentifikasi karakteristik keluarga (jumlah anak, pendapatan per
kapita, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, umur orang
tua,, pengetahuan ibu ) yang memiliki anak usia 6-36 bulan di Kecamatan
Seberang Ulu I Kota Palembang.
4. Mengidentifikasi pola asuh gizi (Asi eksklusif, MP-ASI) keluarga yang
memiliki anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota
Palembang.
5. Mengidentifikasi penyakit infeksi (Diare, ISPA) pada anak usia 6-36
bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.
6. Mengidentifikasi keadaan lingkungan tempat tinggal di Kecamatan
Seberang Ulu I Kota Palembang.
7. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak, karakterisktik keluarga,
pola asuh anak, penyakit infeksi dan keadaan lingkungan dengan status
gizi anak usia 6-36 bulan Kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang.
6
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Melalui penelitian ini diharapkan akan diketahui faktor-faktor apa saja
yang berperan dalam mempengaruhi status gizi anak usia 6-36 bulan.
2. Manfaat Praktis
1. Digunakan sebagai bahan masukan untuk upaya perbaikan gizi.
2. Digunakan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya.
1.5.Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak
usia 6-36 bulan yang akan dilakukan kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya dalam hal waktu, lokasi, dan sampel penelitian.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status gizi
2.1.1. Pengertian
Hadisiswanto dan Winarto (2001) status gizi adalah keadaan gizi
seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang itu normal atau
bermasalah (gizi salah) yang merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh kekurangan / kelebihan dan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan
untuk pertumbuhan, kecerdasan dan aktivitas / produktivitas. Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaaan zat-zat gizi
(Almatsier, 2002).
Status gizi ditentukan oleh dua hal yaitu terpenuhinya semua zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh dari makanan dan peranan faktor-faktor yang menentukan
besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat- zat gizi. Zat gizi adalah
ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya. Ada tiga fungsi
utama zat gizi, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan
serta mengatur proses-proses kehidupan. Kebutuhan tubuh akan zat gizi
ditentukan oleh beberapa hal yaitu tingkat metabolisme, tingkat pertumbuhan,
aktivitas fisik, perbedaan daya serap dan penghancuran zat gizi tersebut dalam
tubuh (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).
Dalam pembahasan status gizi baik untuk perorangan ataupun kelompok, ada
tiga konsep yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan yang perlu dipahami.
Ketiga konsep tersebut adalah :
1. Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui
proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolism
dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan, fungsi organ
tubuh, dan produksi energi. Proses ini disebut gizi (nutrition).
2. Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara masukan gizi disatu
pihak dan pengeluaran oleh organisme dipihak lain disebut “nutriture”
8
3. Tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh “nutriture” yang
terlihat melalui variabel tertentu sehingga disebut sebagai status gizi
(nutritional status).
Oleh karena itu dalam merujuk status gizi seseorang perlu disebutkan variabel
yang digunakan dalam penentuan, misalnya tinggi badan atau variabel
pertumbuhan lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan
status gizi disebut indikator status gizi.
Terjadinya gizi salah (malnutrition), merupakan kondisi adanya gangguan
perkembangan atau fungsi akibat kekurangan atau kelebihan energy dan atau
asupan zat gizi dalam waktu lama. Ketika distribusi makanan kurang dan
populasi besar, umumnya terjadi keadaan kurang gizi (undernutrition), yang
menyebabkan timbulnya penyakit kekurangan gizi, seperti goiter (akibat
kekurangan iodium) dan xerophthalmia (gangguan mata akibat asupan vitamin A
yang kurang). Sebaliknya, apabila distribusi makanan berlebih dapat
menimbulkan penyakit kronis akibat gizi lebih, seperti diabetes (Wardlaw, 1999).
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih
zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi
dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan.
Baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih terjadi gangguan gizi
(Almatsier, 2002). Menurut Depkes (2003), keadaan gizi kurang disebut juga
Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan kekurangan gizi yang disebabkan
tubuh kekurangan energy dan protein dalam makanan sehari-hari.
Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer
adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas atau kualitas yang
disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan,
kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua
faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah
makanan dikonsumsi (Almatsier, 2002)
9
Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat gizi apa yang
kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan
kualitas) menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan, produksi tenaga,
pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak serta perilaku (Almatsier, 2002).
Kurang gizi,terutama kurang energy dan protein tingkat berat mengakibatkan
dua sindrom utama, yaitu kwashiorkor dan marasmus. Kwashiorkor dapat terjadi
pada anak atau akhir masa anak. Pada usia dewasa yang kelaparan, khususnya
wanita dapat juga menderita sindrom ini tapi jarang terjadi. Sedangkan
marasmus, umunya terjadi karena kurang gizi tingkat berat, yaitu sangat kurang
konsumsi, protein maupun kalori. Sindrom ini dapai dialami oleh semua umur,
termasuk dewasa, tapi paling banyak terjadi pada tahun pertama kehidupan. Hal
ini berbeda dengan kwashiorkor yang biasanya dialami anak umur 1-3 tahun
(Jellife, 1989).
2.1.2 Status Gizi Anak
Periode dramatis dari pertumbuhan anak kadang-kadang mengacu pada
periode kritis karena karena karakteristik fisik hasil pertumbuhan normal.
Pertumbuhan tersebut terbagi menjadi 3 tahap, yaitu hiperplasia, hyperplasia dan
hipertropi kemudian hipertropi. Fase pertama adalah hiperlasia, terjadi
peningkatan jumlah sel secara signifikan. Aspek gizi merupakan hal yang penting
dalam perkembangan organ. Zat gizi yang tidak adekuat mengakibatkan
pembentukan sel yang sedikit dibandingkan normal pada otak atau bagian tubuh
lainnya. Pemberian suplementasi zat gizi setelah fase ini dapat memperbaiki
penurunan dalam jumlah sel selama periode kritis. Pada fase kedua, selama
peningkatan jumlah, sel juga mulai mengingkat dari segi ukuran. Kombinasi
pertumbuhan dalam jumlah dan ukuran disebut hiperlasia dan hipertropi. Tahap
terakhir adalah hipertropi, dimana sel hanya meningkat dari segi ukuran (Mc
Williams, 1993).
Pada waktu lahir, bayi mempunyai berat badan sekitar 3 kg dan panjang badan
50 cm. Triwulan pertama usia bayi, kecepatan bertambahnya berat badan maupun
panjang badan lebih cepat dibandingkan triwulan kedua, triwulan kedua lebih
cepat dibandingkan triwulan ketiga. Pada umur 5-6 bulan,berat badan bayi sudah
10
mencapai dua kali, dan umur 12 bulan sudah 3 kali berat badan lahir. Sedangkan
pada tahun-tahun berikutnya kenaikan berat badan tidak cepat lagi, kurang lebih 2
kg tiap tahunnya. Begitu juga dengan pertambahan panjang badan lebih cepat
pada tahun pertama dibandingkan tahun-tahun berikutnya (pudjiadi, 1997).
Kelompok umur bayi dan anak termasuk dalam kelompok rentan gizi yaitu
kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, bila suatu
masyarakat terkena kekurangan penyediaan bahan makanan. Pada kelompok
umur ini menunjukkan proses pertumbuhan pesat sehingga memerlukan zat-zat
gizi yang ralatif besar jumlahnya. Disamping itu, kelompok umur anak-anak
terutama umur dibawah lima tahun (balita) merupakan kelompok umur yang
paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2000).
Jellife (1989), menyatakan bahwa di lingkungan tradisional, insiden
kwashiorkor biasanya terjadi pada dua tahun kehidupan ana karena dampak
kumulatif dari masa penyapihan (weaning period). Pada umur tersebut merupakan
periode bahaya (danger period), disamping faktor makanan, adanya penyakit
infeksi, psikologi, budaya dan faktor kondisi lainnya yang berperan dalam
pertumbuhan anak.
Trans dalam Mahan (2000), menyatakan tiga tahun pertama kehidupan
ditandai dengan pertumbuhan fisik dan social serta perkembangan yang cepat,
yaitu suatu periode dimana banyak perubahan yang dipengaruhi oleh pemberian
makanan dan asupan gizi. Asupan gizi anak yang adekuat akan mempengaruhi
interaksi mereka dengan lingkungannya. Anak yang sehat mempunyai energy
untuk merespon dan belajar dari rangsangan lingkungannya dan berinteraksi
dengan orang tua dan orang lain.
Anak yang mengalami gizi kurang lebih pendek dan berat badannya kurang
dibandingkan dengan anak gizi baik. Kecepatan pertambahan berat badan lebih
terpengaruh dibanding pertambahan tinggi badan, tapi jika defisit zat gizi yang
berat dan terus berlanjut dalam waktu lama, pertumbuhan linier akan terganggu
atau berhenti dan maturasi pubertas dan menutupnya epiphyseal menjadi tertunda.
Pertumbuhan linier tertunda akibat asupan energi adekuat tapi asupan protein
kurang. Berat badan terpengaruh bila asupan energy berkurang sehingga
pertumbuhan linier terganggu. Anak dari keluarga dengan pendapatan rendah
11
konsumsi makanannya kurang dan juga kurang energy dan zat gizi total dibanding
anak dari keluarga dengan pendapatan besar. Kemudian studi tentang status gizi
menunjukkan bahwa anak dari keluarga tersebut lebih pendek dan berat badannya
kurang dibanding anak dari keluarga dengan pendapatan besar (Pipes, 1993).
2.2 Kebutuhan Gizi Anak
ASI sebagai makanan alamiah adalah makanan yang terbaik yang dapat
diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya. ASI dengan
komposisi yang unik diciptakan sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang bayi
manusia. Hal ini karena ASI mempunyai banyak keunggulan, seperti kandungan
gizi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung
bermacam-macam zat anti baik yang seluler maupun yang humoral, sehingga
morbiditas bayi dan mortalitas bayi yang minum ASI lebih rendah daripada yang
minum susu formula,mendekatkan hubungan ibu dan bayi, sehingga menimbulkan
perasaan aman bagi bayi. ASI juga mengandung hormon-hormon misalnya
ACTH, TRH, TSH, EGF, prolaktin, kortikosteroid, prostaglandin, dan lain-lain.
Jika ASI diberikan secara baik dan benar dapat mencukupi seluruh
kebutuhan bayi sampai berusia 6 bulan. Setlah 6 bulan sampai dengan 12 bulan,
ASI saja memnuhi kebutuhan bayi sebanyak 60-70% sehingga Swalaupun bayi
memerlukan makanan selain ASI (MP-ASI), ASI masih merupakan utama. MP-
ASI diberikan secara adekuat agar tidak terjadi kurang gizi. Setelah satu tahun,
ASI hanya memenuhi sekitar 30% kebutuhan bayi namun tetap dianjurkan
pemberiannya sampai paling kurang 2 tahun karena keuntungannya (Suradi,
2003).
Pada kelompok umur bayi (0-1 tahun), kebutuhan akan zat-zat gizi adalah
yang paling tinggi, bila dinyatakan dengan satuan berat badan. Hal ini
dikarenakan bayi sedang dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat. Bayi
yang lahir sehat dengan berat badan normal sekitar 2,5-3,5 kg akan mencapai
kelipatan berat badannya dalam waktu enam bulan. Kebutuhan akan zat gizi,
yaitu energy 100-110 kal/kg berat badan (BB) sehari dan protein 3-4 gram/kg
berat badan sehari. Mineral kalsium dan phosphor juga penting bagi bayi untuk
pertumbuhan tulang kerangka. Untuk vitamin D, bagi bayi yang tinggal di daerah
12
tropic dapat terpenuhi bila bayi tersebut cukup terkena sinar matahari
(sediaoetama, 2000).
Kebutuhan zat gizi anak merupakan refleks dari kecepatan pertumbuhan,
pengeluaran energy untuk aktifitas, kebutuhan basal metabolic dan interaksi zat
gizi yang dikonsumsi. Kebutuhan zat gizi yaitu energi pada umur 0-5 bulan
adalah 108 kal/kg BB sehari dan protein 2,2gr/kg BB, umur 5 bulan sampai 1
tahun adalah 98 kal/kg BB dan protein 1,6 gr/kg BB dan umur 1-3 tahun adalah
102 kal/kg BB dan protein 1,2 gr/kg BB (Trahms dalam mahan, 2000).
Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari),
golongan umur 0-6 bulan dengan berat badan 5,5 kg dan panjang badan 60 cm,
energy yang dibutuhkan sebesar 560 kkal dan protein 12 gr. Golongan umur 7-12
bulan dengan berat badan 8,5 kg dan tinggi badan 71 cm, membutuhkan energy
800 kkal dan protein 15 gr. Untuk golongan umur 1-3 tahun dengan berat badan
12 kg dan tinggi badan 90 cm, membutuhkan energi sebesar 1250 kkal dan protein
23 gr (Widyakarya Pangan dan Gizi VI, 1998 dalam Almatsier, 2002).
2.3 Penilaian status gizi
Penilaian status gizi adalah penafsiran informasi dari dari penilaian
antropometri, konsumsi makanna, laboratorium dan klinik. Informasi yang
diperoleh digunakan untuk menetapkan status kesehatan individu atau kelompok
masyarakat yang berkaitan dengan konsumsi dan penggunaan zat-zat gizi oleh
tubuh (Hadisiswanto, 2001)
Status gizi dapat dinilai secara langsung maupun tidak langsung.
Penilaian langsung dapat dilakukan secara antropometri, klinis, biokimia, dan
biofisik. Sedangkan penilaian sttaus gizi secara tidak langsung dapat dilakukan
melalui survey konsumsi makanan, statistic vital, dan faktor ekologi. Dalam
penilaian status gizi diperlukan beberapa parameter yang kemudian disebut indeks
antropometri. (Supariasa, dkk, 2002).
Pemilihan jenis penilaian status gizi yang akan digunakan hendaknya
disesuaikan dengan tujuan penggunaaan indikator status gizi, adapun tujuan dari
pengukuran dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
13
1. Untuk tapis gizi (screening) perorangan bagi keperluan pemberian
perlakuan (treatment) khusus.
2. Survey gizi (nutritional survey) untuk mendapatkan status gizi
masyarakat pada saat-saat tertentu, dan faktor—faktor yang berkaitan.
3. Pemantauan status gizi (nutritional status monitoring) untuk
mendapatkan perubahan status gizi penduduk dari waktu ke waktu.
2.3.1 Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan
komposisi tubuh. Beberapa pengukuran antropometri utama yang digunakan
antara lain adalah tinggi badan/stature (TB), berat badan (BB), lingkar lengan
(dengan komponen lemak bawah kulit dan otot tulang) dan lipatan lemak bawah
kulit. Penilaian status gizi dengan menggunakan antropometri memiliki kelebihan
dan keterbatasan yang dapat dilihat pada table 2.1 berikut.
Table 2.1 Kelebihan dan Keterbatasan Pengukuran Antropometri
Kelebihan Keterbatasan
1. Relatif murah
2. Cepat, sehingga dapat
dilakukan pada populasi yang
besar
3. Objektif
4. Dapat dirangking apakahh
ringan, sedang, berat
5. Tidak menimbulkan rasa sakit
pada responden.
1. Membutuhkan data referensi
yang relevan
2. Kesalahan yang muncul
seperti pada perlatan (belum
dikalibrasi), kesalahan
observer (pengukuran,
pembacaan, pencatatan)
3. Hanya mendapatkan data
pertumbuhan, obesitas,
malnutrisi karena kurang
energy protein, tidak dapat
memperoleh informasi karena
defisiensi zat gizi mikro.
Sumber : Departemen gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2007
14
Pengukuran Antropometri
Penilaian pertumbuhan Penilaian massa bebas
lemak (fat-free mass)
Penilaian Massa lemak
(fat mass)
Lingkar kepala Lingkar lengan atas
(LILA)
Tricep skinfold
Berat badan Mid-upper-arm muscle
circumference
(MUAMC)
Bicep skinfold
Tinggi/panjang badan Mid-upper-arm muscle
(MUAMA)
Subscapular skinfold
Perubahan berat badan Suprailiac skinfold
Rasio berat/tinggi Mid-upper-arm fat area
Tinggi lutut Rasio lingkar pinggang
panggul (waist-hip
circumference ratio)
2.3.2 Indeks Antropometri
Menurut soekirman (2000) untuk mengetahui apakah berat dan tinggi badan
normal, lebih rendah atau lebih tinggi dari yang seharusnya, maka dilakukan
pembandingan dengan suatu standar internasional yang ditetapkan oleh WHO.
Untuk mengetahui status gizi diperlukan indikator yang merupakan kombinasi
antara BB, TB, dan umur dimana masing-masing indikator mempunyai makna
tersendiri
Indikator tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Berat Badan terhadap Umur (BB/U)
Merupakan indikator status gizi kurang saat sekarang dan sensitif terhadap
perubahan kecil. Dapat digunakan untuk memonitor pertumbuhan dan pengkuran
yang berulang dapat mendeteksi growth failure karena infeksi atau KEP. Berat
badan merupakan parameter yang paling baik, karena mempunyai beberapa
kelebihan yaitu mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena perubahan
konsumsi makanan dan kesehatan. Umum dan luas dipakai di Inonesia, ketelitian
15
pengukuran tidak banyak dipengaruhi olek keterampilan pengukur, digunakan
dalam KMS,
Kekurangan pemakaian indeks ini adalah sulitnya mendapatkan umur yang
akurat, keliru dalam menginterpretasikan status gizi bila terdapat edema dan
kesalahan pengukuran yang dapat disebabkan oleh pengaruh pakaian atau anak
bergerak saat ditimbang serta adanya hambatan dari segi perspektif budaya.
b. Tinggi Badan terhadap Umur (TB/U)
Merupakan indikator status gizi masa lalu dan kesejahteraan dan kemakmuran
suatu bangsa. TB juga menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.
Kekurangan pemakaian indeks ini adalah sulitnya mendapatkan umur yang akurat
dan perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat dan perlu
dua orang untuk membantu mengukur tinggi anak.
c. Berat Badan terhadap Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks
BB/T B merupakan indeks yang independen terhadap umur. Merupakan indikator
untuk menilai status gizi saat kini dimana umur tidak perlu diketahui. Indeks ini
dapat digunakan untuk mengetahui proporsi badan gemuk, normal, dan kurus.
d. Lingkaran Kepala
Pengukuran pada lingkaran occipitofrontal merupakan ukuran pertumbuhan
kepala dan otak. Rerata dari tiga kali pengukuran dipakai sebagai standarnya.
Ukuran ini penting sekali pada keadaan keterlambatan perkembangan dan
kecurigaan adanya hydrocephalus. Pengukuran dilakukan dengan mengukur
lingkaran terbesar.
e. Lingkar Lengan Atas (LLA)
Lingkar lengan atas memberikan keadaan jaringan otot dan lapisan lemak
bawah kulit. Lingkar lengan atas merupakan indikator yang sulit digunakan untuk
menilai perkembangan seorang anak. Pengukuran ini mempunyai kelemahan
yaitu kesalahan pengukuran relative besar dibandingkan dibandingkan TB dan
16
sensitive untuk suatu golongan tertentu (pra sekolah, tetapi kurang sensitive untuk
golongan dewasa.
f. Lingkaran Dada
Biasa digunakan pada anak umur 2-3 tahun, karena pertumbuhan lingkar dada
pesat sampai anak berumur 3 tahun. Rasio lingkar dada dan kepala dapat
digunakan sebagai indikator KEP pada balita. Pada umur 6 bulan lingkar dada dan
kepala sama. Setelah umur ini lingkar kepala tumbuh lebih lambat daipada
lingkar dada. Pada pengukuran lingkaran dada sangat dipengaruhi oleh tingkat
pengukuran dan status pernafasan. Pada umumnya tekhnik pengukuran dilakukan
dengan subyek berdiri tegak dengan lengan diangkat dan diturunkan setelah pita
pengukur diletakkan pada tempatnya.
Pita pengukur ditahan ditempat yang telah ditetapkam (melingkari putting
susu pada lingkaran dada terbesar, atau 2 ukuran diatas/dibawah payudara).
Menurut Montagu (1960) dikutip oleh Noel Cameron (1984) tinggi pengukuran
pada lingkaran melewati ketiak (axillary chest girth).
g. Lipatan Kulit
Tebal lipatan kulit untuk menilai tebalnya lemak subkutan menggunakan
harpenden skinfold caliper yang dilakukan pada daerah bicep, tricep, subskapula,
dan daerah panggul.
2.3.3 Klasifikasi Status Gizi
Untuk menilai status gizi seseorang atau masyarakat, digunakan daftar baku
antropometri. Saat ini di Indonesia dikenal ada dua baku antropometri untuk
kelompok anak balita, yaitu baku Harvard dan baku WHO–NCHS. Baku Harvard
sudah digunakan secara luas di masyarakat, termasuk sebagai bahan untuk Kartu
Menuju Sehat (KMS) untuk anak balita. Baku Harvard yang ada tidak
membedakan jenis kelamin anak. Dilain pihak, baku WHO – NCHS masih
terbatas penggunaannya pada survey-survey gizi dan proses pemantauan status
gizi anak balita.
Pada baku WHO–NCHS dibedakan jenis kelamin pada anak dan Nampak
lebih teliti dibandingkan dengan baku Harvard. Pada baku WHO-NCHS
ditunjukkan bahwa perkembangan berat badan anak perempuan menurut umur
17
lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki, sedangkan pada baku Harvard
perkembangan beat badan antara anak laki-laki dan anak perempuan disamakan,
hal ini akan memberikan kemungkinan hasil interpretasi status gizi yang berbeda
bila digunakan kedua jenis baku antropometri ini, oleh karena itu dalam survey-
survey khusus untuk pemetaan ataupun evaluasi status gizi maupun kegiatan
intergrasi gizi masyarakat digunakan baku WHO_NCHS.
Berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi yan dilakukan pada bulan Mei tahun
2000 di Semarang, mengenai standar baku nasional Indonesia yang digumakan
untuk menentukan status gizi, kesepakatan ini kemudian diperkuat dalam bentuk
Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor 920/Menkes/SK/VII/2002 tentang
klasifikasi status gizi anak bawah lima tahun (balita), adapun standar baku
nasional Indonesia disepakati sebagai berikut :
Tabel 2.2 Pengukuran Antropometri menurut WHO-NCHS
Baku WHO-
NCHS
BB/U TB/U BB/TB
2,0 SD Gizi lebih Gemuk
-2,0 SD s.d + 2,0
SD
Gizi baik Normal Normal
< -2,0 SD Gizi kurang Pendek
(stunted)
Kurus (wasted)
< -3,0 SD Gizi buruk Sangat kurus
Pertimbangan dalam menetapkan batas ambang (cut off point) status
gizi, didasarkan pada asumsi resiko kesehatan sebagai berikut :
1. Antara -2 SD s/d +2 SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan
2. Antara -2 SD s/d -3 SD atau antara +2 SD s/d +3 SD memiliki
resiko cukup tinggi (moderat) untuk menderita masalah kesehatan.
3. Dibawah -3 SD atau diatas +3 SD memiliki atau beresiko tinggi
untuk menderita masalah kesehatan.
18
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
Suatu penyakit timbul akibat interaksi berbagai faktor
internal maupun eksternal. Dalam epidemiologi dikenal istilah
trias epidemiologi (Host, Agent, Environment) yang berperan
dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Timbulnya penyakit berkaitan dengan gangguan interaksi antara
faktor penjamu, agen dan lingkungan (Bustan, 2006).
Status gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
terkait, terutama asupan makanan dan penyakit infeksi. Kedua
faktor tersebut dipengaruhi oleh daya beli keluarga, jumlah
keluarga, kebiasaan makan, pelayanan kesehatan dasar, sanitasi
serta faktor lingkungan dan social lainnya. Sedangkan menurut
UNICEF (1998) status gizi dipengaruhi oleh penyebab langsung
dan tidak langsung..Faktor penyebab status gizi dapat dilihat pada
gambar 2.1 dibawah
Gambar. Faktor Penyebab Terjadinya Masalah Gizi
2.4.1 Karakteristik Anak
2.4.1.1 Umur
Umur 6-36 bulan merupakan umur yang sangat penting
perannya dalam tumbuh kembang anak. Pada periode ini anak
sangat rawan terhadap berbagai jenis penyakit yang dapat
menimbulkan gangguan pada proses tumbh kembangnya. Bila
pada umur ini terjadi masalah gizi berupa Kekurangan Energi dan
protein (KEP), maka akan berdampak pada masa depannya nanti,
sehingga perlu menjadi perhatian khusus.
Umur 4 bulan, bayi yang sehat berat badannya bertambah
dua kali. Pada saat yang sama, jaringan dan organ tubuh bayi
berkembang sangat cepat. Perkembangan ini membutuhkan
asupan zat gizi esensial dan energi yang besar. Setelah tahun
pertama kehidupan, anak masih mengalami pertambahan tinggi
19
badan dan berat badan yang cepat dengan kecepatan lebih lambat
(Golden dalam Garrow, 2004). Dilihat dari periode kritis
pertumbuhan anak, yaitu pada dua tahun pertama kehidupan
terutama umur diatas 12 bulan mulai terlihat gangguan
pertumbuhan akibat faktor makanan, adanya penyakit infeksi,
psikologi, budaya dan faktor kondisi lainnya yang berperan
terhadap pertumbuhan anak (Jellife, 1989).
Beberapa penelitian telah menunjukkan semakin besar
umur anak maka semakin besar peluang menderita gizi kurang.
Penelitian tersebut antara lain, penelitian Utomo, dkk (1997),
menemukan prevalensi gizi kurang pada anak paling rendah umur
< 6 bulan, tapi meningkat secara dramatis umur 6- 11 bulan, dan
paling tinggi umur 12-24 bulan. Kebutuhan gizi pada usia tersebut
meningkat sedangkan ASI tidak mencukupi, makanan sapihan
tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta
adanya diare karena terkontaminasi pada makanan yang diberikan.
2.4.1.2 Jenis Kelamin
Faktor jenis kelamin anak juga mempunyai hubungan
dengan status gizi anak. Rata-rata berat badan dan tinggi badan
anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan dari lahir
sampai umur 10 tahun (WHO, 1995). Pada bayi laki-laki,
pertambahan beratnya 2 kali dari berat badan lahirnya dan lebih
cepat dibandingkan bayi perempuan (Johnson dalam Worthington-
Roberts, 2000).
Bila dilihat dari kejadian gizi kurang pada anak diketahui
bahwa kejadian gizi kurang tersebut berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan hasil yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian di
Alexandria 2001 menyatakan abhwa prevalensi gizi kurang lebih
banyak dialami oleh pria yaitu 8,6% sedangkan wanita sejumlah
5,5%.
2.4.1 3. Berat Badan Lahir
20
Berat badan lahir, terutama Berat Bayi Lahir Rendah
(BBLR) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status
gizi masyarakat. BBLR (kurang dari 2500 gram) merupakan salah
satu faktor yang berperan terhadap kematian perinatal dan
neonatal. BBLR dibedakan dalam dua kategori, yaitu BBLR
karena premature (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau
BBLR karena intrauterine growth retardation (IUGR), yaitu bayi
yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang. Di negara
berkembang, termasuk Indonesia banyak ditemukan BBLR dengan
IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria dan
menderita penyakit menular seksual sbelum konsepsi atau pada
saat hamil. Menurut perkiraan WHO, pada tahun 1995 hampir
semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal di negara berkembang
atau berpenghasilan rendah. Lebih dari dua per tiga kematian
adalah BBLR. Secara global diperkirakan terdapat 25 juta
persalinan per tahun dimana 17% diantaranya adalah BBLR dan
hampir semua terjadi di negara berkembang (Hadi, 2001)..
Bayi yang lahir cukup bulan, berat badan waktu lahir
akan kembali pada hari ke -10. Berat badan menjadi 2 kali berat
badan waktu lahir pada bayi umur 5 bulan, menjadi 3 kali berat
badan lahir pada umur satu tahun, dan menjadi 4 kali berat badan
lahir pada umur 2 tahun. Ukuran dan pertumbuhan intrauterin
merupakan determinan kuat status pertumbuhan anak selanjutnya
terutama pada berat badan lahir normal (2,5-4,0 kg). Bayi yang
mengalami gangguan pertumbuhan lebih lambat pertumbuhannya
dibandingkan anak yang preterm dengan berat badan lahir sama
(WHO, 1995).
Berat badan lahir anak dipengaruhi oleh berar badan ibu dan status
ekonomi keluarga. Bayi dengan berat badan lahir rendah (ringan),
umumnya dilahirkan dari ibu yang kecil atau yang mempunyai
latar belakang ekonomi kurang (McWilliams, 1993). Johnson
dalam Worthington-Roberts (2000) menyatakan bahwa
21
pertumbuhan berat badan dan panjang badan bayi setelah
dilahirkan ditentukan oleh genetic, lingkungan, dan gizi.
Kebanyakan bayi yang lahir kecil tetapi secara genetik lebih besar,
perubahan pada pertumbuhannya terjadi pada umur 3-6 bulan.
Bagaimanapun, bayi dengan berat badan besar saat lahir yang
secara genotip ukurannya kecil cenderung tumbuh untuk beberapa
bulan sebelum pertumbuhan mulai melambat. Pada periode
pertumbuhan melambat ini, pertumbuhan panjang turun dari
persentil tinggi menjadi persentil rendah dan persentil baru muncul
setelah anak berusia 13 bulan.
Umumnya bayi dengan berat badan normal sampai umur
12 bulan mempunyai berat badan lahir lebih besar dari bayi dengan
berat badan lahir rendah. Kemudian umur 12 bulan kecepatan
pertumbuhan bayi dengan berat badan lahir rendah dapat mengejar
bayi dengan berat normal (Hardiansyah dalam Depkes RI, 2003).
Namun bayi yang lahir dengan berat badan rendah atau berat
badan lahir kurang dari 2,5 kg (BBLR) seringkali mengalami
kesulitan untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhannya
(inadequate catch up growth) bila tidak didukung dengan makanan
yang bergizi.
2.4.2 Karakteristik Keluarga
2.4.2.1 Jumlah Anak
Karakteristik keluarga seperti jumlah anak yang dimiliki
mempunyai pengaruh terhadap bahan makanan yang tersedia.
Suhardjo (1989), menyatakan jumlah anggota keluarga yang
banyak akan berakibat pada terbatasnya kemampuan kepala
22
keluarga atau orang tua dalam menyediakan makanan untuk
semua anggota keluarga baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya. Anak- anak dari kelaurga miskin mempunyai resiko
lebih besar menderita gizi kurang diantara semua anggota keluarga,
terutama anak paling kecil yang biasanya paling terpengaruh oleh
kekurangan pangan. Semakin banyak anggota keluarga, maka
pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak
menyadari bahwa anak-anak, merupakan usia pertumbuhan pesat
sehingga membutuhkan pangan relative lebih tinggi dibandingkan
golongan lebih tua. Sementara itu, Sedieoetama (2000),
menyatakan anak-anak terutama balita merupakan kelompok umur
yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi.
Jumlah anak yang banyak pada keluarga dengan keadaan
sosial ekonomi cukup, akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih
sayang yang diterima anak, apalagi jarak anak yang terlalu dekat. Sedangkan
pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang
banyak dapat berakibat pada pada kurangnya kasih sayang dan perhatian pada
anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan
(Soetjiningsih, 1995).
Lembaga Gizi Nasional India mendapatkan para pemuda
yang mempunyai tiga atau lebih saudara laki-laki atau saudara perempuan yang
merupakan 34% dari jumlah anak-anak adalah 61% adalah 61% penderita gizi
kurang yang terdaftar di klinik. Kasus gizi kurang ini lebih banyak ditemukan di
keluarga-keluarga besar. Jumlah anak yang kelaparan dari keluarga besar hamper
4 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang
mengalami gizi kurang juga jumlahnya hamper 5 kali lebih banyak (Berg, 1986).
Beberapa penelitian yang melihat hubungan antara
jumlah anak dengan status gizi anak antara lain, penelitian Djasmidar (1999) dan
Rosmana (2003).. Pada penelitian Djasmidar (1999) ditemukan kecenderungan
keluarga yang memiliki jumlah anak > 2orang lwbih banyak mempunyai anak gizi
kurang dibandingkan dengan jumlah anak ≤ 2 orang di Jakarta Utara, Bogor, dan
Lombok Timur. Sedangkan Rosmana (2003) dapat membuktikan adanya
23
hubungan antara jumlah anak dalam eklaurga dengan sttaus gizi anak 6-24 bulan
di Kabupaten Serang Provinsi Banten. Dari hasil penelitian tersebut diketahui
prevalensi gizi kurang pada anak umur 6-24 bulan dengan jumlah anak > 2 orang
dalam keluarga lebih tinggi (34,6%) dibandingkan dengan jumlah anak dalam
keluarga ≤ 2 orang (13,7%). Kemudian dapat dijelaskan bahwa keluarga dengan
jumlah anak > 2 orang berisiko 3,335 kali mempunyai anak gizi kurang
dibandingkan keluarga dengan jumlah anak ≤ 2 orang.
2.4.2.2 Pendapatan keluarga per Kapita
Dalam penelitian untuk mengetahui pendapatan rumah tangga sangat sulit
mendapatkan datanya, karena keluarga khawatir diketahui oleh orang lain atau
takut berhubungan dengan pajak. Untuk mengetahui pendapatan rumah tangga
biasanya digunakan data pengeluaran rumah tangga. Menurut Sajogyo (1997),
data pengeluaran keluarga lebih meggambarkan pendapatan keluarga yang
meliputi penghasilan ditambah dengan hal-hal lain seperti pinjaman dan
pemberian. Pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.
Pendapatan berhubungan erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi
makanan. Keberadaan makanan akan berpengaruh terhadap keadaan gizi
seseorang, tetapi tingkat pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan
gizi baik.
Peningkatan pendapatan keluarga diharapkan dapat
meningkatkan status gizi anak balita, karena peningkatan tersebut memungkinkan
keluarga mampu untuk membeli pangan yang berkualitas dan berkuantitas lebih
baik (BPS, 1988). Hal yang sama juga ditemukan oleh Soekirman (1991), salah
satu faktor yang menentukan konsumsi keluarga adalah pendapatan keluarga.
Selain itu konsumsi makanan juga dipengaruhi oleh harga pangan dan non
pangan.
Pada keluarga yang berpendapatan rendah, pengeluaran
terbesar dari pendapatannya adalah konsumsi makanan dibandingkan untuk
pengeluaran lainnya seperti pendidikan, sumbangan, kesehatan dll. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Sutedjo.SH dkk (1992) pada masyarakat berpenghasilan
rendah di wilayah kumuh perkotaan, sebanyak 60-70% pengeluaran keluarga di
24
alokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan 20% untuk keperluan
kerukunan sosial. Sedangkan laporan penelitian oleh mulyati (1992) menyatakan
bahwa keadaan ekonomi keluarga dicerminkan dari proporsi besar pengeluaran
untuk makan terhadap pengeluaran total. Diasumsikan bahwa keluarga yang
pengeluaran untuk makannya lebih dari 75% dari pengeluaran totalnya adalah
keluarga “miskin”.
Proporsi pengeluaran untuk makan terhadap total
pendapatan dapat digunakan sebagai petunjuk kemiskinan karena kebutuhan dasar
hidup tidak hanya makan (seperti pakaian, tempat tinggal, pendidikan anak-
anaknya). Hal ini sesuai dengan para pakar (UN-AC, 1991 yang dikutip mulyati,
1992) bahwa masalah gizi terjadi pada keluarga-keluarga yang 60-80%
pendapatan dibelanjakan untuk makan.
Pada keluarga miskin, peningkatan pendapatan
memungkinkan mereka mampu membeli pangan berkualitas dan berkuantitas
yang lebih baik. Keadaan ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan
jumlah dan macam barang atau pangan yang tersedia dalam rumah tangga.
Menurut Mosley dan Lincoln (1985) pendapatan keluarga akan mempengaruhi
sikap keluarga dalam memilih barang-barang konsumsi. Semakin tinggi
pendapatan maka cenderung pengeluaran total dan pengeluaran pangan semakin
tinggi.
Sajogyo (1977) menyatakan bahwa pendapatan
berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku manusia dalam mengkonsumsi
pangan. Dengan demikian pendapatan mempunyai hubungan erat dengan
perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan
salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi.
Kurang gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap penyakit dan
menurunnya produktifitas kerja.
2.4.2.3 Tingkat Pendidikan Orang Tua
Latar pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur
penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena berhubungan dengan
kemampuan seseorang menerima dan memahami sesuatu. Tingkat pendidikan
25
ikut mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara pemilihan makanan dalam
hal kualitas maupun kuantitas (Hidayat, 1980 dalam Mardatillah, 2008).
Pendidikan orang tua terutama ayang mempunyai hubungan yang timbale balik
dengan pekerjaan. Pendidikan ayah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
harta rumah tangga dan komoditi pasar yang dikonsumsi karena dapat
mempengaruhi sikap dan kecenderungan dalam memilih barang-barang
dikonsumsi (Moesly dan Chen, 1985). Sedangkan pendidikan ibu akan
mempengaruhi status gizi anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan
semakin baik pula status gizi anaknya.
Soekirman (1985) menyatakan bahwa makin tinggi
pendidikan orang tua semkain baik status gizi anknya, karena dengan tingkat
pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki tentang
gizi menjadi lebih baik. Faktor pendidikan mengakibatkan perubahan perilaku
dan berpengaruh terhadap penerimaan inovasi baru, dalam hal ini perilaku makan
yang sesuai dengan ajuran gizi.
Penelitian yang dilakukan oleh Klemesu et al (200),
menunjukkan bahwa pendidikan ibu memberikan efek positif pada peningkatan
pengetahuan tentang gizi dan kesehatan serta peningkatan kemampuan pemberian
pengasuhan kepada anak. Rendahnya tingkat pendidikan ibu di kota Accra,
Ghana (Afrika), secara konsisten berpengaruh terhadap rendahnya praktek
pemberian pengasuhan anak dibawah tiga tahun. Pengasuhan tersebut meliputi
praktek pemberian makan, pemeliharaan hygiene dan kesehatan anak.
2.4.2.4 Pekerjaan orang tua
Status pekerjaan orang tua juga mempunyai andil yang
cukup besar dalam masalah gizi. Pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan
penghasilan keluarga yang emmpengaruhi daya beli keluarga. Keluarga dengan
pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan
makanannya, baik kualitas maupun kuantitas. Orang tua dengan ,mata
pencaharian yang relative lebih aman kepada keluarga dibandingkan dengan ayah
dengan pekerjaan tidak tetap (Kumanto, 1992). Sedangkan status pekerjaan ibu
dapat mempengaruhi perilaku dan kebiasaan makan anak.
26
Meningkatnya pendapatan seseorang dalam keluarga
akan mempengaruhi susunan makanan. Pengeluaran yang lebih banyak untuk
pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan seseorang.
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun
sekunder (Soetjiningsih, 1998).
2.4.2.5 Umur Orang Tua
Garza dalam garrow (2004) mengatakan bahwa faktor sosio-demografi, termasuk
umur ibu secara signifikan berperan terhadap penambahan berat badan selama
hamil yang kemudian mempengaruhi bayi yang dilahirkan, dan selanjutnya
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak.
Seorang ibu yang melahirkan pada umur 30 tahun atau
lebih akan berpengaruh terhadap kemampuan memproduksi ASI (Husaini, 1989).
Berdasarkan penelitian karyadi dalamOny (2000) diketahui ibu-ibu yang berusia
antara 20 hingga 30 tahun memiliki balita dengan status gizi baik dibandingkan
inu-ibu yang lebih muda atau lebih tua dari rentang usia diatas. Kemudian
penelitian Harmany (2003) menunjukkan bahwa ibu yang berumur kurang dari 20
tahun dan diatas 35 tahun atau umur beriisiko lebih banyak mempunyai balita gizi
kurang (12,07%) dibandingkan ibu yang berumur 20-35 tahun atau umur tidak
berisiko (7,3%) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sukabumi.
Depkes (1995) mengelompokkan usia ibu dengan dasar
pemikiran faktor resiko yang berkaitan dengan proses kelahiran. Dimana kategori
tersebut adalah kemlompok umur ≤ 20 tahun yang dianggap masih rentan, umur
20-35 tahun sebagai kelompok usia yang paling baik, serta kelompok >35 tahun
yang memiliki resiko tinggi terhdapa kesehatan ibu. Berdasarkan hasil SDKI
(1997) pengelompokkan usia ibu juga dibagi dalamtiga kelompok, yaitu
kelompok umur ≤24 tahun, kelompok umur 25-44 tahun seta kelompok umur ≥ 45
tahun.
Kaitan usia seorang ibu dengan status gizi anak balita,
diasumsikan lebih karena alasan psikis, dimana dengan usia ibu yang matang
(dewasa) maka seorang ibu akan siap secara mental untuk melahirkan dan
27
memelihara anak yang dilahirkan dengan pola asuh yang benar, selain itu juga
tentunya karena alasan fisik yang memungkinkan seorang ibu mempunyai status
kesehatan yang baik, dengan faktor resiko yang seminimal mungkin.
Begitu juga dengan usia seorang ayah, usia seorang ayah
yang matang ia akan dapat mengayomi dan memberikan rasa aman kepada
keluarga dan secara tidak langsung akan berpengaruh positif terhadap
perkembangan seorang anak.
2.4.2.6 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan gizi orang tua mengenai bahan makanan
akan berpengaruh terhadap hidangan yang disajikan oleh keluarga, dengan
pengetahuan yang memadai seorang ibu akan menyediakan makanan yang baik
untuk keluarganya terutama untuk anak balita sehingga diharapkan asupan zat gizi
bagi anak akan terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, yang pada akhirnya
diharapkan statusgizi anak balita dapat optimal.
Kurangnya pengetahuan gizi orang tua tentang kebutuhan
gizi anaknya akan berakibat pada timbulnya masalah gizi berupa kekurangan
enrgi dan protein yang akan berakibat pada terganggunya proses tumbuh kembang
anak, Cicely Williams yang pertama kali mengidentifikasi dan menjelaskan
tentang kwashiorkor pada anak balita, melaporkan bahwa di Afrika barat gizi
kurang tidak terjadi karena faktor kemiskinan harta semata, tetapi yang lebih
berpengaruh adalah miskinnya pengetahuan orang tua tentang kebutuhan gizi bagi
anak balitanya. (Berg,1986).
Dengan pengetahuan gizi yang memadai dapat
diasumsikan akan terjadi perilaku positif dalampola pemberian makan kepada
anak balita, hal tersebut sesuai dengan konsep umum determinan perilaku yang
menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhioleh berbagai faktor, salah satu
diantaranya adalah tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 1993).
2.4.3 Pola Asuh Gizi
Zeitlin (2000) menyatakan bahwa pola asuh gizi diartikan sebagai
praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan
28
dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh gizi
mempunyai berbagai aspek kunci dinataranya berupa praktek
menyusui (pola pemberian ASI) dan pemberian makanan pendamping
ASI (MP-ASI).
2.4.3.1 Pola Pemberian ASI
Berkaitan dengan pola pemberian ASI kepada bayi,
hendaknya ASI diberikan segera setelah melahirkan, termasuk dalam
hal ini pemberian kolostrum kepada bayi, kolostrum jumlahnya tidak
banyak tapi kaya akan gizi dimana kolostrum mengandung karoten dan
vitamin A yang sangat tinggi. Dalam prakteknya masih banyak ibu
yang tidak memberikan kolostrum kepada bayinya karena ada
anggapan/faktor budaya yang berkembang dalam masyarakat yang
meyakini bahwa kolostrum akan berpengaruh buurk terhadap
kesehatan anak. (Winarno, 1995).
Kolostrum mengandung immunoglobulin yang
memberikan daya tahan kepada bayi untuk melawan berbagai penyakit
yang mungkin menghinggapi bayi tersebut. Butit-butir
immunoglobulin ini disebut colostrums bodies dan yang memberikan
warna kekuningan pada kolostrum dan akan mengendap bila dibiarkan
beberapa saat disuhu udara terbuka (Sediaoetama, 1996).
. Produksi ASI dirangsang oleh isapan bayi dan keadaan
ibu yang tenang. Disamping itu perlu diperhatikan kesehatan ibu pada
umumnya, status gizi dan perawatan payudara. Pemberian ASI tidak
dibatasi dan dapat diberikan setiap saat terutama ASI eksklusif (AS’ad,
2002). ASI eksklusif adalah bayiyang diberi ASI saja tanpa tambahan
cairan lain seperti, susu formula, madu, air the, air putih dan tanpa
tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur, biscuit, dan
tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka
waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan.
29
Setelah bayi berumur 6 bulan, harus mulai diperkenalkan dengan
makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2
tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).
Dibandingkan dengan susu lainnya, ASI memiliki
beberapa keunggulan yaitu:
1. Mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi selama 3-4 bulan pertama
2. Tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal.
3. Mengandung beberapa zat antibody sehinggan mencegah
terjadinya infeksi.
4. Mengandung laktoferin untuk mengikat zar besi
5. Tidak mengandung beta laktoglobulin yang dapat menyebabkan
alergi
6. Ekonomis dan praktis. Tersedia setiap waktu pada suhu yang ideal
dan dalam keadaan segar serta bebas dari kuman.
7. Berfungsi menjarangkan kehamilan
8. Membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang antara
ibu dan bayi.
Bayi sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan tambahan
sampai usia 6 bulan. Pada keadaan-keadaan khusus dibenarkan
untuk mulai member makanan padat setelah bayi berumur 4 bulan
tetapi belum mencapai 6 bulan. Misalnya karena terjadi
peningkatan berat badan bayi yang kurang dari standar atau
didapatkan tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian
ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik. Namun, sebelum diberi
makanan tambahan sebaiknya coba diperbaiki dahulu cara
menyusuinya. Cobalah hanya memmberi bayi ASI saja tanpa
member minuman atau makanna lain. Selain itu, bayi harus sering
disusui, perhatikan posisi menyusui. Secara umum usahakan
dahulu agar cara pemberian ASI dilakukan sebaik mungkin.
Apabila setelah 1-2 minggu ternyata upaya perbaikan tersebut tidak
menyebabakan peningkatan berat badan, maka pemberian makanan
30
tambahan atau padat diberikan bagi bayi berusia diatas 4 bulan
(Roesli, 2000).
Bila oleh suatu sebab (misalnya ibu bekerja atau hamil
lagi) bayi tidak memperoleh ASI, maka kepada bayi diberikan
PASI (Pengganti Air Susu Ibu). PASI dibuat dari susu sapi dengan
susunan gizinya sudah diubah menjadi hampir sama dengan
susunan gizi ASi, sehingga dapat dib erikan kepada bayi tanpe
menyebabkan akibat sampingan. Akan tetapi belum ada PASI
yang tepat menyerupai susunan ASI (As’ad, 2002).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thaha 1997 di
Kabupaten Barru Sulawei Selatan, memperlihatkan bahwa 99% anak
pernah memperoleh ASI dan hanya 41% ibu-ibu yang memberikan
ASI dimulai sejak melahirkan, namun hanya 17% ibu yang
membuang kolostrum, sedangkan jumlah bayi yang memperoleh ASI
eksklusif adalah sebesar 75%. Yang dimaksud dengan ASI eksklusif
menurut Latief (2000) adalah pemberian hanya ASI kepada bayi
sampai berumur empat bulan. Tahun 2004, sesuai dengan anjuran
WHO, pemberian ASI eksklusif ditingkatkan menjadi 6 bulan
sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia no.450/MENKES/SK/VI/2004 (Tasya, 2008).
Berg (1986) menyatakan bahwa penurunan jumlah ibu
yang menyusui disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah adanya
urbanisasi dan modernisasi serta nilai sosial baru yang menjadikan
botol susu sebagai lambing status sosial, hal ini umumnya terjadi di
negara-negara berkembang. Selain itu juga adanya anggapan dari
sebagian masyarakat bahwa menyusui merupakan suatu kebiasaan
yang kolot dan terbelakang (pandangan sebagai suatu adat).
Indonesia saat ini mencatat angka kematian bayi masih
sanggat tinggi yaitu 35/1000 kelahiran hidup yang artinya dalam satu
tahun sekitar 175.000 bayi meninggal sebelum mencapai usia sati
tahun (KESRA 2008). Hasil penelitian menyatakan kematian neonatal
dapat dicegah sebanyak 16% dengan memberikan ASI pada hari
31
pertama kelahiran dan 22% dengan memberikan ASI pada satu jam
pertama kelahiran.
Hasil survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2003 menyatakn hanya ada 8,3% bayi yang mendapat ASI dalam
waktu 30 menit setelah persalinan dan 4% bayi yang mendapat ASI
dalam satu jam setelah persalinan. Survei tersebut juga menyatakan
bahwa bayi yang memeroleh ASI eksklusif sampai 4-5 bulan sebanyak
14% dan hanya 7,8% bayi yang mendapat ASI eksklusif sampai 6
bulan. Tahun 2007, survey yang sama menunjukkan bahwa cakupan
ASI eksklusif sampai 6 bulan meningkat menjadi 32,3%. Peningkatan
ini ternyata masih berada jauh dibawah target cakupan ASI eksklusif di
Indonesia pada tahun 2010 yaitu 80%.
Menurut ahli gizi anak the United Nations Children’s
Fund (UNICEF), Felicity Savage King mengaakan pemberian ASI
eksklusif akan berdampak pada system endokrin yakni pelepasan
hormone prolaktin dan oxytosin yang akan mempengaruhi sikap dan
pola asuh ibu terhadap perkembangan emosional dan otak anak.
Sehingga anak-anak yang tidak mendapatkan ASI cenderung lebih
beresiko terkena depresi dan masalah emosional lainyya (Sitopeng,
20008).
Pemberian ASI kepada anak balita hendaknya dilakukan
secara kontinyu dalam jangka waktu berkisar 24 bulan, namun seiring
dengan pertumbuhan bayi yang demikian pesat disati sisi dan kualitas
ASI yang tidak lagi dapat mencukupi disisi lain, maka dipandang perlu
adanya pemberian makanan sebagai pendamping ASI (MP-ASI).
Pemberian MP-ASI ini hendaknya diberikan secara bertahap, namun
yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa ASI merupakan
makanan utama bagi balita sehingga kedudukannya tidak dapat
digantikan oleh MP-ASI, sehingga walaupun telah diberikan MP-ASI,
pemberian ASI harus terus diberikan sampai batas waktu
pemberiannya.
32
Pemberian ASI kepada anak balita tidaklah untuk
memberikan asupan gizi semata, Utami Roelsi (2000) mengatakan
bahwa selain sebagai nutrisi, ASI juga mempunyai pengaruh terhadap
kecerdasan anak, dimana kecerdasan seseorang telah mencapai 25%
ketika dilahirkan, dan akan menjadi sekitar 70% pada saat seseorang
berusia < 1 tahun, sehingga pemberian ASI pada usia ini mutlak
diperlukan.
Umur penyapihan terhadap seorang anak hendaknya tidak
terlalu dini atau terlalu lambat, usia penyapihan yang terlalu dini pada
bayi merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi kurang.pada bayi.
Begitu juga sebaliknya, usia penyapihan yang terlalu lama tanpa
diimbangi pemberian makanan yang tepat jenis, bwntuk, dan waktunya
dapat mengakibatkan timbulnya masalah gizi kurang pada anak balita
yang dapat berlanjut menjadi masalah lebih besar.
2.4.3.2 Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Pemberian makanan sebagai pendamping ASI kepada anak balita telah
lama menjadi kebiasaan, untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak, khususnya setelah berumur 4 bulan sampai 2
tahun. Makanan tersebut sangat dibutuhkan, karena pada masa itu
produksi ASI semakin menurun. Oleh karena itu makanan
pendamping ASI (MP-ASI) sangat diperlukan untuk menjaga
pertumbuhan anak sekaligus memperkenalkan bayi dengan makanna
keluarga.
Menurut Sulistjani (2001), seiring bertambahnya usia
anak, ragam makanan yang diberikan harus bergizi lengkap dan
seimbang yang mana penting untuk menunjang tumbuh kembang dan
status gizi anak. Dalam hal pengaturan pola konsumsi makanan, ibu
mempunyai peran yang sangat penting dalam memilih jenis makanan
yang bergizi seimbang Setalah berumur 6 bulan, bayi memerlukan
makanan pendamping karena kebutuhan gizi bayi meningkat dan tidak
seuluruhnya dapat dipenuhi oleh ASI. Menurut Arisman (2004)
33
pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, dari
mulai bentuk bubur cair ke bentuk buubr kental, sari buah, buah segar,
makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.
Pemberian makanan pertama cukup 2 kali sehari, satu atau dua sendok
the penuh. Pada usia 6-9 bulan bayi setidak-tidaknya membutuhkan
empat porsi. Menginjak usia 9 bulanbayi telah mempunyai gigi dan
mulai pandai mengunyah makanan. Seikitar usia 1 tahun bayi sudah
mampu memakan makanan orang dewasa. Anak usia 2 tahun
memerlukan makanan separuh takaran orang dewasa.
Makanan sapihan yang ideal harus mengandung makanan
pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah-buahan dan minyak atau lemak.
Makanan sapihan baru boleh diberikan setelah bayi disusui atau
diantara dua jadwal penyusunan, sebab diawal masa penyapihan, ASI
masih merupakan makanan pokok. Sementara makanan sapihan hanya
sebagai pelengkap. Kemudian secara berangsur ASI berubah fungsi
sebagai makanan tambahan, sementara makanan sapihan menjadi
santapan utama (Arisman, 2004)
Dalam praktek keseharian pemberian makanan pendamping ASI
kepada anak balita, seringkali ditemukan ibu balita yang memberikan
makanan prelakteal dan atau memberikan makanan pendamping ASI
terlalu dini atau terlalu lambat, hal ini tentunya akan berdampak
kepada sttaus kesehatan anak balita. Disamping itu jumlah dan
kualitas MP-ASI yang diberikan juga sering tidak memenuhi angka
kecukupan gizi (AKG), hal tersebut terjadi diantaranya karena
minimnya pengetahuan ibu tentang cara memberikan makanan yang
baik dan sehat untuk anaknya, selain itu faktor budaya berupa
kebiasaan turun temurun dari orang tua tentang pemberian makanan
kepada bayi, hal ini akan menimbulkan konsekuensi fungsional berupa
pertumbuhan fisik dan pembangunan mental yang terhambat
Pemberian makanan tambahan kepada bayi telah lama
menjadi kebiasaan, untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
anak, khususnya setelah umur enam bulan sampai dua tahun. Makanan
34
tersebut sangat dibutuhkan, karena pada usia itu produksi ASI
menurun (Komari, 2000).
Berdasarkan rekomendasi WHO makanan pendamping
ASI sebaiknya diberikan pada waktunya, yaitu setelah bayi usia 6
bulan. Masih banyak ditemukan pemberian makanan pendamping ASI
(MP-ASI) sebelum 6 bulan. Pada wanita bekerja, pemberian ASI
eksklusif kecil kemungkinan berhasil dijalani dengan baik dengan
alasan waktu. Keadaan ini menggambarkan bahwa bayi usia kurang
dari 6 bulan telah diberikannya makanan selain ASI (MP-ASI) serta
jenis dan pola makan bayi sudah tidak dipertimbangkan lagi. Menurut
Irawati 2002, laporan dari beberapa negara menunjukkan bahwa
penyebab gangguan pertumbuhan adalah mendapatkan makanan
tambahan sebelum 6 bulan, disapih pada usia 1-2 bulan dan pemberian
susu formula pada bulan pertama (Suradi, 2008). Di Indonesia sendiri
praktek pemberian ASI eksklusif masih sangat rendah, kebanyakan ibu
memberian MP-ASi terutama makanan padat pada bayinyaketika usia
dibawah 4 bulan.
Survei pendahuluan yang dilakukan bulan Juli 2009
terhadap 30 orang ibu yang mempunyai bayi di desa Jatimulyo
diketahui sebanyak 22 bayi sudah diberi MP-ASI sebelum usia 6-12
bulan sebear 73% di desa Jatimulyo. Berdasarkan data UPGK laporan
bulan Juni 2009 masih ada kasus kurang sebesar 1,69% dan gizi buruk
2,22%.
2.4.4 Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi pada anak balita merupakan masalah
kesehatan yang penting di negara berkembang dan telah diketahui
mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kenyataan ini
ditunjukkan dengan insiden infeksi di daerah miskin pada negara-
negara sedang berkembang yang cukup tinggi (Stephensesn, 1999).
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa penyakit infeksi
dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme, terutama
efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan.
35
Walaupun hanya terjadi infeksi ringan, akan menimbulkan kehilangan
nitrogen. Anak yang mengalami infeksi akan berakibat pada hilangnya
nafsu makan hingga masukan zat gizi dan energy kurang daripada
kebutuhan yang selanjutnya berdampak pada pola menurunnya berat
badan (Pudjiadi, 1997).
Diare merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling
memberikan efek terhadap status antropometri, dan beberapa studi
longitudinal di negara-negara dunia menunjukkan dampak negatif
penyakit tersebut terhadap pertumbuhan anak (WHO, 1995). Diare
didefinisikan sebagai buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari
dengan konsistensi buang air besar encer. Penyakit ini merupakan
indikator yang baik dari kesakitan secara umum karena kejadiannya
dapat dimonitor dan definisinya mudah untuk dikomunikasikan.
Disamping itu, diare merupakan refleksi dari kualitas air dan sanitasi.
Perbaikan pada kedua faktor tersebut diasosiasikan dengan penurunan
kesakitan karena diare. Penyakit diare diketahui sebagai contributor
status gizi kurang dan menyebabkan kematian pada bayi dan anak
(HKI, 2003).
Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan
yang utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Angka kematian penduduk Indonesia menbcapai 54 per seratus ribu
penduudk (Depkes Ri, 2000). Diyakini bahwa Escherichia Coli
enteropathogenik, yang selanjutnya disebut EPEC (Entherpathogenic
Escherechia Coli), merupakan bakteri penyebab utama diare pada bayi
dan anak-anak di negara-negara tersebut dan menyebabkan ratusan
ribu anak meninggal dunia tiap tahunnya (Levine dan Edelman, 1984).
Hal senada diungkapkan Budiarti (1997) bahwa 53% dari anak dan
bayi penderita diare di Indonesia terinfeksi EPEC.
Hasil penelititan tita mashitah menyatakan bahwa anak
batita menderita diare memiliki hubungan positif dengan status gizi
indeks TB/U (r=0,338: p<0,01). Hal ini berarti bahwa jika status batita
baik maka peluangnya menderita diare akan semakin rendah.
36
Bebrapa studi menemukan bahwa malnutrisi terjadi
akibat dari lamanya durasi penyakit yang diderita. Salah satu studi
tersebut adalah Semba (2001) mendapatkan bahwa malbutrisi
dihubungkan dengan lamanya durasi diare, bukan insiden diare
diantara anak Bangladesh. Sementara itu, penelitian Utomo, dkk
(2006), menunjukkan bahwa 10% anak menderita diae dalam 1
minggu terakhir di Indramayu, jawa barat. Dilihat dari durasi
penyakit, diketahui anak sakit rata-rata 3-5 hari dengan standar dviasi
2 hari. Dari penelititan tersebut juga didapatkan hasil penyakit yang
banyak diderita oleh anak umur 0-23 bulan adalah infeksi pernapasan
dan gangguan pencernaan.
Hasil penelitian Miko (2003) menunjukkan bahwa
persentase gizi kurang pada anak yang sakit diare lebih banyak
(67,8%) dibandingkan anak yang tidak sakit diare (12,7%) di
Kecamatan Bojongasih Kabupaten Tasikmalaya dan perbedaan
tersebut tterbukti secara statistik. Selanjutnya juga didapatkan hasil
bahwa anak yang menderita diare berpeluang menderia KEP sebesar
14,432 kali dibandingkan dengan anak yang tidak diare. Kemudian
dari penelitian Astuti (2004) didapatkan anak yang sakit diare lebih
banyak menderita gizi kurang (32,4%) dibandingkan dengan anak
yang tidak sakit diare (31,3%) di pedesaan Provinsi Jawa Tengah.
Penyakit infeksi lainnya yang juga berperan terhadap
sttaus gizi anak adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
penyakit ISPA dengan sttaus gizi anak. Diantaranya adalah penelitian
Miko (2003) yang menemukan prevalensi gizi kurang pada anak yang
menderita ISPA lebih tinggi 61,9% dibandingkan anak yang tidak
menderita ISPA (9,3%) di Kecamatan Bojongasih Kabupaten
Tasikmalaya. Kemudian dari hasil diketahui anak yang menderita
ISPA berpeluang untuk menderita KEP 15,907 kali dibanding anak
yang tidak menderita ISPA. Hampir sama dengan penelitian Miko
(2003), Astuti (2004) mendapatkan bahwa anak yang mempunyai
37
gejala ISPA lebih banyak (33,1%) menderita gizi kurang dibanding
anak yang tidak menderita ISPA (30,4%) dan perbedaan tersebut
terbukti secara statistik. Disamping itu, balita yang mempunyai gejala
ISPA mempunyai peluang sebesar 1,13 kali menderita gizi kurang
dibanding balita yang tidak mempunyai gejala ISPA di pedesaan
provinsi Jawa Tengah.
2.4.5 Lingkungan Tempat Tinggal
Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang
dan pangan. Keadaan rumah yang dimaksud adalah pemilikan rumah,
bahan dinding, lantai, atap, sumber penerangan, sumber air, tempat
BAB< dan saluran pembuangan limbah yang dapat mempengaruhi
keadaan kesehatan penghuninya terutama anak balita yang rentan
terhadap penyakit infeksi.
Menurut Levinson dan Call (1973), keadaan rumah merupakan salah
satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan. Tempat
tinggal yang lembab, tidak memiliki fasilitas air bersih dan system
pembuangan sampah serta kotoran manusia yang kurang baik akan
menyebabkan lingkungan yang tidak sehat.
Anak balita sebagai golongan yang rentan akan mudah
terserang penyakit bila lingkungan rumah kotor yang memungkinkan
berkembang biaknya penyakit menular. Hal ini mengakibatkan
semakin lemahnya kondisi tubuh dan hilangnya nafsu makan dan
selanjutnya akan memperburuk status gizi anak balita.
Sanitasi lingkungan yang buruk mempuunyai hubungan
yang signifikan dengan lamanya penyakit infeksi seperti ISPA. Hal ini
berarti kemungkinan anak batita akan menderita ISPA lebih lama
dengan semakin buruknya sanitasi lingkungan sekitarnya. Sanitasi di
derah miskin keadaannya kurang baik, hal ini menyebabkan
meningkatnya kejadian penularan penyakit infeksi.
38
Kerangka teori
Hipotesis
1. Ada hubungan antara karakteristik anak (umur, jenis kelamin,
berat badan lahir) dengan status gizi anak usia 6-36 bulan di
kecamatan seberang ulu I Kota Palembang
Status gizi balita
Jumlah anak
Daya beli keluarga
Pekerjaan orang tua
Pengetahuan ibu tentang kesehatan,pendidikan
ibu
Pendapatan per kapita
Pola asuh gizi Keadaan lingkungan
tempat tinggal
Penyakit infeksi (diare, ISPA)
Asupan makanan
39
2. Ada hubungan antara karakteristik keluarga (jumlah anak,
pendapatan per kapita, tingkat pendidikan orang tuan,
pekerjaan orang tua, umur ibu, pengetahuan ibu) dengan status
gizi anak usia 6-36 bulan di kecamatan Seberang Ulu I Kota
Palembang
3. Ada hubungan antara pola asuh gizi (ASI eksklusif dan MP-
ASI) dengan status gizi anak usia 6-36 bulan di kecamatan
Seberang Uulu I kota Palembang.
4. Ada hubungan antara penyakit infeksi (diare, ISPA) dengan
status gizi anak usia 6-36 bulan di Kecamatan Seberang ulu I
Kota Palembang
5. Ada hubungan antara keadaan tempat tinggal dengan status gizi
anak usia 6-36 bulan di kecamatan seberang ulu I Kota
palembang9