psikofarmaka
DESCRIPTION
psikofarmakaTRANSCRIPT
PSIKOFARMAKAI. Definisi
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem
Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku,
digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup
pasien. Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, anti-
depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,.
Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic,
antidepressants dan psikomimetika.
II. Obat-Obat Psikotropika
a. Obat Anti-Psikosis
Anti-psikosis disebut juga neuroleptic, dahulu dinamakan major transquilizer. Salah
satunya adalah chlorpromazine (CPZ), yang diperkenalkan pertama kali tahun 1951 sebagai
premedikasi dalam anastesi akibat efeknya yang membuat relaksasi. CPZ segera dicobakan
pada penderita skizofrenia dan ternyata berefek mengurangi delusi dan halusinasi tanpa efek
sedatif yang berlebihan.
1. Mekanisme Kerja
Semua obat anti-psikosis merupakan obat-obat potensial dalam memblokade reseptor
dopamin dan juga dapat memblokade reseptor kolinergik, adrenergik dan histamin. Pada
obat generasi pertama (fenotiazin dan butirofenon), umumnya tidak terlalu selektif,
sedangkan benzamid sangat selektif dalam memblokade reseptor dopamine D2. Anti-
psikosis “atypical” memblokade reseptor dopamine dan juga serotonin 5HT2 dan beberapa
diantaranya juga dapat memblokade dopamin system limbic, terutama pada striatum.
2. Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism” di hepar.
Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intra muscular (IM) atau
Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan
flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil dalam bentuk “depot” IM
yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot lebih mudah untuk dimonitor.
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat
psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu
memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lainnya. Jika obat anti-psikosis tersebut
sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat
1
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
• Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
• Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping, sehingga tidak
menganggu kualitas hidup pasien
Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran lalu dinaikkan setiap 2-3 hari hingga dosis
efektif (sindroma psikosis reda) lalu dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
hingga mendapatkan dosis optimal lalu dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)
setelah itu diturunkan setiap 2 minggu dalam dosis maintenance yang dipertahankan
selama 6 bulan – 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu lalu dilakukan tapering
off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) dan distop
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan sangat kecil. Jika dihentikan
mendadak timbul gejala cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual, muntah,
diare, pusisng, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan anticholinergic
agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari).
Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan
obat atau tidak efektif dengan medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap bulan.
Pemberiannya hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap skizofrenia.
Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada waktu merubah posisi
tubuh. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-adrenalin (effortil IM). Haloperidol juga
dapat menimbulkan sindroma Parkinson, dan diatasi dengan tablet trihexylfenidil 3-4x2
mg/hari.
3. Indikasi
Obat anti-psikosis merupakan pilihan pertama dalam menangani skizofreni, untuk
memgurangi delusi, halusinasi, gangguan proses dan isi pikiran dan juga efektif dalam
mencegah kekambuhan. Major transquilizer juga efektif dalam menangani mania,
Tourette’s syndrome, perilaku kekerasan dan agitasi akibat bingung dan demensia. Juga
dapat dikombinasikan dengan anti-depresan dalam penanganan depresi delusional.
4. Efek Samping
2
Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat pengguanaan
oabat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek samping dapat berupa :
Sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
Gangguan Otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler yang
tinggi, gangguan irama jantung)
Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor,
bradikinesia, rigiditas)
Gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik (jaundice), hematologik
(agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang.
Dalam obat anti-psikosis yang ingin dicapai adalah "optimal respone with minimal side
effects"
Efek samping yang terjadi pada setiap pasien biasanya berbeda-beda, ada pasien yang
dapat mentolelir dengan cepat, ada juga yang lambat dan ada juga pasien yang
membutuhkan obat simtomatis untuk meringan kan penderitaan pasien
Efek samping dapat juga yang "irreversible" : tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang, anggota gerak, dimana pada waktu tidur
gejala tersebut menghilang). biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi
pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis
obat anti-psikosis (non dose related)
Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-psikosis perlahan-laha dihentikan, bisa dicoba
pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent), pemberian obat anti
parkinson atau I-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat pengganti anti-psikosis yang
paling baik adala Clozapine 50-100 mg/h
Gejala Ektrapiramidal merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat
antipsikotik. Antipsikotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati kelainan psikotik
seperti skizofrenia dan gangguan skizoafektif.
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut,
tardiv diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson).
3
a. Reaksi Distonia Akut (ADR)
Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu atau lebih
kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit. Kelompok otot yang
paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi
sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa.
Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau bahkan dapat
mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau diafragmatik.
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan
dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10% pasien,
lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang
berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine. Reaksi distonia akut dapat
merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan
pasien mengenai medikasi secara permanent dapat memudar oleh suatu reaksi distonik
yang menyusahkan.
b. Akatisia
Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada
sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi
pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan
untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat
mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai
gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang
nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang
berat. Juga, akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik
dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia. Akatisia sering timbul segera setelah
memulai medikasi neuroleptikdan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan
tidak nyaman. Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah
ketidakpatuhan pasien.
b. Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis
pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-
tahun. Manifestasinya meliputi berikut :
Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang
dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia
4
hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas,
apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan
dengan gejala negative skizofrenia.
Tremor : khususnya saat istiraha, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat
mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini
dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih
ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap
medikasi antikolinergik.
Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak dan
hilangnya ayunan lengan.
Kekuan otot : terutama dari tipe cogwheeling
c. Tardive Diskinesia
Dari namanya sudah dapat diketahui merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam
bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak,
balistik, atau seperti tik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat
antipsikotik . hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif
reseptor dopamine di puntamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah
mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria
ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-
40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar
5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat
melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan.
Factor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organikjuga
lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Gejala hilang dengan tidur,
dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan
penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan diskinesia tardive
meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia
yang ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat
bahwa diskinesia tardive yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor
dopamine pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan
sindrom Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak
mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak terapi yang
5
diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-
kadang terbatas. Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa
merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus
dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka
panjang.
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urine lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal untuk
deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis
atau untuk bunuh diri. namun demikian untuk menghindari akibat yang kurang
menguntungkan sebaiknya dilakukan "lavage lambung" bila obat belum lama dimakan.
5. Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran
b. Obat Antidepresan
Sinonim antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer. Umumnya yang digunakan
sekarang adalah dalam golongan trisiklik (misalnya imipramin, amitriptilin, dothiepin dan
lofepramin)
1. Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan serotonin yang menuju
neuron presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari serotonin. MAOI menghambat
pengrusakan serotonin pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade reseptor alfa 2
presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan modulasi pre atau post
sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.
2. Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan mengalami proses
first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang timbul dalam waktu kurang
dari 2-6 minggu Untuk sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya
mengikuti urutan:
Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
6
Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor)
reversibel.
3. Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna juga pada
penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi.
4. Efek Samping
Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi SSRI : nausea,
sakit kepala MAOI : interaksi tiramin Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul
atropine toxic syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi,
delirium, confusion dan disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:
• Gastric lavage
• Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi
• Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek antikolinergik, dapat diulangi setiap 30-40
menit hingga gejala mereda.
• Monitoring EKG
Efek samping obat antidepresi dapat berupa:
Trisiklik
Sedasi Rasa mengantuk, efek aditif dengan
sedatif lain
Simpatomimetik Gemetar, insomnia
Antimuskarinik Penglihatan kabur, konstipasi, susah
buang air kecil, kebingungan
Kardiovaskular Hipotensi ortostatik, defek konduksi,
aritmia
Psikiatris Psikosis semakin memburuk,
sindroma menarik diri
Neurologis Seizure
Metabolik-endokrin Berat badan meningkat, gangguan
seksual
MAOI Gangguan tidur, berat badan
meningkat, hipotensi postural,
gangguan seksual (pheneizine)
Amoxapine Sama seperti efek pada trisiklik
7
dengan tambahan dari efek yang
dihubungkan dengan antipsikosis
Maprotiline Sama seperti pada trisiklik, seizure
tergantung dosis
Mirtazapine Somnolen, selera makan meningkat,
berat badan bertambah, pusing
Trazadone, nefazodone Mengantuk, pusing, insomnia, mual,
agitasi
Venlafaxine Mual, somnolen, berkeringat, pusing,
gangguan seksual, hipertensi,
kecemasan
Bupropion Pusing, mulut kering, berkeringat,
tremor, psikosis semakin memburuk,
berpotensi terjadi seizure pada dosis
tinggi
Fluoxetine dan SRI yang lain Insomnia, tremor, gejala
gastrointestinal, ruam, penurunan
libido, disfungsi seksual, kecemasan
(secara akut)
a. Trisiklik dan tetrasiklik
Efek psikiatrik: suatu efek merugikan yang utama dari obat trisiklik dan tetrasiklik dan
antidepresan lainnya adalah kemungkinan menginduksi episode manik pada pasien
gangguan bipolar I dan pada pasien tanpa riwayat gangguan bipolar I. Adalah penting
untuk menggunakan dosis rendah obat risiklik dan tetrasiklk pada pasien tersebut atau
menggunakan obat seperti fluoxetine (Prozac) atau berupa bupropion (Willbutrin), yang
lebih kecil kemungkinannya menyebabkan episode manik.
Efek neurologis: dua trisiklik, desipramine dan protriptyline, dikaitkan dengan stimulasi
psikomotor. Kedutan mioklonik dan tremor lidah dan anggota gerak atas adalah sering
terjadi. Amoxapine adalah unik dalam hal menyebabkan gejala parkinsonisme, akathisia,
dan malahan diskinesia karena aktivitas penghambatan dopaminergik yang dimiliki oleh
salah satu metabolitnya. Amoxapine juga dapat menyebabkan sindroma neuroleptik
malignan pada kasus yang jarang. Maprotiline dapat menyebabkan kejang jika dosis
ditingkatkan terlalu cepat atau dipertahankan pada kadar yang tinggi untuk jangka waktu
yang lama. Clomipramine dan amoxapine dapat menurunkan ambang kejang lebih dari
obat lain dalam kelasnya. Tetapi, sebagai satu kelas, obat trisiklik dan tetrasiklik
memiliki risiko relatif rendah untuk menimbulkan kejang, kecuali pada pasien yang
8
memiliki risiko untuk kejang (sebagai contohnya, pasien epileptik dan pasien dengan lesi
otak). Dosis awal harus lebih rendah dari biasanya, dan peningkatan dosis selanjutnya
harus bertahap.
Efek antikolinergik: dapat berupa mulut kering, konstipasi, pandangan kabur, dan
retensi urin. Glaukoma sudut sempit juga dapat diperberat oleh obat antikolinergik, dan
pencetusan glaukoma memerlukan terapi gawat darurat dengan obat miotik. Obat
trisiklik dan tetrasiklik dapat digunakan pada pasien dengan glaukoma, asalkan tetes
mata pilocarpine diberikan bersama-sama. Efek antikolinergik yang berat dapat
menyebabkan sindroma antikolinergik sistem saraf pusat dengan konfusi dan delirium,
khususnya jika obat trisiklik dan tetrasiklik diberikan dengan obat antipsikotik atau
antikolinergik.
Sedasi: merupakan efek yang paling sering ditemukan pada obat trisiklik dan tetrasiklik
dan dapat diperkirakan jika mengantuk telah menjadi masalah. Efek sedatif dari obat
trisiklik dan tetrasiklik adalah akibat dari aktivitas serotonergik, kolinergik dan
histaminergik (H1).
Efek autonomik: diakibatkan penghambatan adrenergik-α1, adalah hipotensi ortostatik,
yang dapat menyebabkan terjatuh dan cedera pada pasien yang terkena. Nortriptyline
mungkin merupakan obat yang paling kecil kemungkinannya menyebabkan masalah
tersebut, dan beberapa pasien berespon terhadap fluorocotisone (Florinef), 0,02 sampai
0,05 mg dua kali sehari. Efek autonomik lain yang mungkin terjadi adalah keringat
berlebihan, palpitasi, dan peningkatan tekanan darah.
Efek jantung: jika diberikan dalam dosis terapetik yang lazimnya, obat trisiklik dan
tetrasiklik dapat menyebabkan takikardia, pendataran gelombang T, perpanjangan
interval QT, dan depresi segmen ST dalam pencatatan elektrokardiografik (EKG).
Imipramine memiliki efek mirip quinidine pada kadar terapetik plasma dan dapat
menurunkan jumlah kontraksi prematur ventrikular. Pada pasien dengan riwayat penyakit
jantung, obat trisiklik dan tetrasiklik harus dimulai dengan dosis kecil, dengan
peningkatan dosis secara bertahap dan memantau fungsi jantung.
Efek merugikan lain: penambahan berat badan terutama suatu efek penghambatan
reseptor histamin tipe 2 (H2), sering terjadi. Impotensi suatu masalah yang kadang-
kadang ditemukan kemungkinan lebih sering berhubungan dengan amoxapine karena
penghambatan reseptor dopamin yang disebabkan oleh obat dalam traktus
tuberoinfundibular.
b. SSRI:
Fluoxetine: efek merugikan yang paling sering dari fluoxetine melibatkan sistem saraf
pusat dan sistem gastrointestinal. Efek sistem saraf pusta yang paling sering adalah nyeri
kepala, ketegangan, insomnia, mengantuk, dan kecemasan. Keluhan gastrointestinal yang
9
paling sering adalah mual, diare, anoreksia, dan dispepsia. Data menyatakan bahwa mual
adalah berhubungan dengan dosis dan merupakan suatu efek merugikan di mana pasien
tampaknya mengembangkan toleransi. Efek yang lainnya melibatkan fungsi seksual dan
kulit. Fluoxetine dieksresi dalam air susu; dengan demikian, ibu menyusui tidak boleh
menggunakan fluoxetine. Fluoxetine juga harus digunakan dengan berhati-hati oleh
pasien dengan penyakit hati.
SSRI lain: efek merugikan yang ditemukan pada SSRI lainnya serupa dengan yang
ditemukan pada fluoxetine.
c. MAOI
Efek merugikan yang paling sering dari MAOI adalah hipotensi ortostatik, penambahan
berat badan, edema, disfungsi seksual, dan insomnia. Jika hipotensi ortostatik
berhubungan dengan pemakaian phenelzine atau isocarboxazid adalah parah, keadaan ini
mungkin berespon terhadap terapi dengan fludrocortisone (florinef), suatu
mineralokortikosteroid 0,1 sampai 0,2 mg sehari; kaus kaki elastik (support stocking);
hidrasi; dan peningkatan asupan garam. Hipotensi ortostatik yang berhubungan dengan
pemakaian tranylcypromine, adalah suatu krisis hipertensif spontan yang terjadi setelah
pemaparan pertama dengan obat dan tidak berhubungan dengan ingesti tyramine.
Penambahan berat badan, edema, dan disfungsi seksual seringkali tidak responsif
terhadap terapi apapun dan mungkin mengharuskan mengganti dari hydralazine menjadi
MAOI nonhydralazine atau sebaliknya. Mioklonus, nyeri otot, dan parathesia kadang-
kadang ditemukan pada pasien yang diobati dengan MAOI. Parathesia mungkin
sekunder karena defisiensi pyrodoxine akibat MAOI, yang berespon dengan
suplementasi pyrodoxine, 50 sampai 150 mg peroral setiap hari. Kadang-kadang, pasien
mengeluh merasa mabuk atau kebingungan, kemungkinan menyatakan bahwa dosis
harus diturunkan dan selanjutnya ditingkatkan perlahan-lahan. Efek hepatotoksik jarang
dilaporkan. MAOI kurang kardiotoksik dan kurang epileptogenik jika dibandingkan obat
trisiklik yang digunakan untuk mengobati depresi. MAOI harus digunakan dengan
berhati-hati oleh pasien dengan penyakit ginjal, gangguan kejang, penyakit
kardiovaskular, atau hipertiroidisme. MAOI dikontraindikasikan selama kehamilan,
walaupun data tentang risiko teratogeniknya adalah minimal. MAOI tidak boleh
digunakan oleh wanita menyusui karena obat dapat keluar melalui air susu.
Krisis Hipertensif akibat Tyramine: jika pasien yang menggunakan MAOI nonselektif
mengingesti makanan yang kaya akan tyramine, mereka kemungkinan mengalami reaksi
hipertensif yang dapat membahayakn (sebagai contohnya, suatu penyakit
serebrovaskular). Pasien juga harus diperingatkan bahwa gigitan lebah dapat
menyebabkan krisis hipertensif.
10
5. Kontraindikasi
• Penyakit jantung koroner
• Glaucoma, retensi urin, hipertensi prostat, gangguan fungsi hati, epilepsy
c. Obat Antimania
Obat anti mania mempunyai beberapa sinonim antara lain mood modulators, mood
stabilizers dan antimanik. Dalam membicarakan obat antimania yang menjadi acuan adalah
litium karbonat.
1. Cara Penggunaan Obat
Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium karbonat. Pada gangguan
afektif bipolar dengan serangan episodik mania depresi diberi litium karbonat sebagai obat
profilaks. Daapt mengurangi frekwensi, berat dan lamanya suatu kekambuhan
Bila penggunaan obat litium karbonat tidak memungkinkaan dapat digunakan karbamezin.
Obat ini terbukti ampuh meredakan sindroma mania akut dan profilaks srerangan
sindroma mania pada gangguan afektif bipolar. Pada ganguan afektif unipolar, pencegahan
kekambuhan dapat juga dengan obat antidepresi SSRI yang lebih ampuh daripada litium
karonat. Dosis awal harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien gangguan fisik
yang mempengaruhi fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan dengan mengambil
sampeel darah pagi hari, yaitu sebelum makan obat dan sekitar 12 jam setelah dosis
petang.
2. Mekanisme kerja
Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi ”dopaminereseptor
supersensitivity” meningkatkan ”cholinergic muscarinic activity” dan menghambat ”
cyclic AMP” (adenosine monophospat)
3. Efek samping
1. Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik pasien
2. Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama:
mulut kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare feses lunak), kelemahan
otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyta pada pasien usia lanjut dan
penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan antidepresan) Tidak ada efek sedasi dan
gangguan akstrapiramidal
3. Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan, perubahan fungsi tiroid,
edema pada tungkai metalic taste, leukositosis, gangguan daya ingat dan kosentrasi
11
pikiran
4. Gejala intoksikasi
- Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi pikiran menurun,
bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, berjalan tidak stabil
- Dengan semangkin beratnya intoksikasi terdapat gejala : kesadaran menurun, oliguria,
kejang-kejang
- Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah
5. Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
- Demam (berkeringat berlebihan)
- Diet rendah garam
- Diare dan muntah-muntah
- Diet untuk menurunkan berat badan
- Pemakaian bersama diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi non steroid
6. Tindakan mengatasi intoksikasi lithium
- Mengurangi faktor predisposisi
- Diuresis paksa dengan garam fisiologis NaCl diberikan secara IV sebanyak 10 ml
7. Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang faktor predisposisi,
minum secukupnya, bila berkeringat dan diuresis banyak harus diimbangi dengan minum
lebih banyak, mengenali gejala dan intoksikasi dan kontrol rutin
d. Anti-Ansietas
Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara lain psikoleptik, transquilizer minor
dan anksioliktik. Dalam membicarakan obat antiansietas yang menjadi obat racun adalah
diazepam atau klordiazepoksid
1. Mekanisme kerja
Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitasndari system limbic yang terdiri dari
dopaminergic, nonadrenergic, seretonnergic yang dikendalikan oleh GABA ergic yang
merupakan suatu inhibitory neurotransmitter. Obat antiansietas benzodiazepine yang
bereaksi dengan reseptornya yang akan meng-inforce the inhibitory action of GABA
neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut mereda.
2. Cara Pengguanan
• Klobazam untuk pasien dewasa dan pada usia lanjut yang ingin tetap aktif
• Lorazepam untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati atau ginjal
• Alprazolam efektif untuk ansietas antosipatorik, mula kerja lebih cepat dan mempunyai
komponen efek antidepresan.
• Sulpirid 50 efektif meredakan gejala somatic dari sindroma ansietas dan paling kecil
12
resiko ketergantungan obat.
Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5 hari sampai
mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3 minggu. Kemudian diturunkan 1/8 x
dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis pemeliharan. Bila kambuh dinaikkan
lagi dan tetap efektif pertahankan 4-8 mingu. Terakhir lakukan tapering off. Pemberian
obat tidak lebih dari 1-3 bulan pada sindroma ansietas yang disebabkan factor eksternal.
3. Efek samping
Efek samping obat anxietas dapat berupa:
• sedasi(rasa mengantuk, kewasapadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,
kemampuan kognitif melemah)
• relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah)
Potensi menimbulkan ketergantungan lebih rendah dari narkotika. Potensi menimbulkan
ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat dipertahankan setelah
dosis terakhir, berlangsung sangat singkat. Penghentian obat secara mendadak akan
menimbulkan gejala putus obat (rebound phenomena), yaitu pasien menjadi iritabel,
bingung,gelisah, imsomnia, termor, palpitasi, keringat dingin, konfulsi, dan lain-lain.hal
ini berkaitan dengan penurunan kadar benzodiazepin dalam plasma.
Untuk obat benzodiazepin dengan waktu paruh pendek lebih cepat dan hebat gejala putus
obatnya dibandingkan dengan obat benzodiazepin dengan waktu paruh panjang. Misalnya
clobazam, sangat minimal dalam menimbulkan gejala putus obat. Benzodiazepin tidak
dianjurkan diberikan kepada pasien-pasien yang memiliki riwayat peminum alkohol,
penyalahgunaan obat, atau unstable personality karena sering menimbulkan
ketergantungan relatif. Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat maksimum lama
pemberian 3 bulan (100 hari) dalam rentang dosis terapeutik
4. Kontra Indikasi
Pasien dengan hipersensitif terhadap benzodiazepin, glaukoma, miastenia gravis,
insufisiensi paru kronik, penyakit ginjal dan penyakit hati kronik Pada pasien usia lanjut
dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan (paradoxal reaction) berupa kegelisahan,
iritabilitas, disinhibisi, spasitas oto meningkat dan gangguan tidur. Ketergantungan relatif
sering terjadi pada individu dengan riwayat peminum alkohol, penyalagunaan obat atau
unstable personalities. Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat, maksimum lama
pemberian 3 bulan dalam rentang dosis terapeutik.
e. Anti-Insomnia
Sinonimnya adalah hipnotik, somnifacient, atau hipnotika. Obat acuannya adalah
13
fenobarbital.
1. Mekanisme kerja
Obat anti-insomnia bekerja pada reseptor BZ1 di susunan saraf pusat yang berperan
dalam memperantarai proses tidur.
2. Cara Penggunaan
- Dosis anjuran untuk pemberian tunggal 15-30 menit sebelum tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-
2 minggu, kemudian secepatnya tapering off untuk mencegah timbulnya rebound dan
toleransi obat.
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan
untuk menghidari oversedation dan intoksikasi.
- Lama pemberian tidak lebih dari 2 minggu agar risiko ketergantungan kecil.
3. Efek samping
Supresi SSP pada saat tidur
Rebound Phenomen
Disinhibiting efect yang menyebabkan perilaku penyerangan dan ganas pada penggunaan
golongan benzodiazepine dalam waktu yang lama
4. Kontra indikasi
Sleep apnoe syndrome
Congestive heart failure
Chronic respiratory disease
Wanita hamil dan menyusui
f. Obat anti Obsesif-Kompulsif
Dalam membicarakan obat anti obsesi kompulsi yang menjadi acuan adalah klomipramin.
Obat anti obsesi kompulsi dapat digolongkan menjadi :
1. Obat anti obsesi kompulsi trisiklik, contoh klomipramin
2. Obat anti obsesi kompulsi SSRJ, contoh sentralin, paroksin, flovokamin, fluoksetin
1. Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin sehingga gejala
mereda.
2. Cara Pemberian
14
Sampai sekarang obat pilihan untuk gangguan obsesi kompulsi adalah klomipramin.
Terhadap meraka yang peka dapat dialihkan ke golongan SSRI dimana efek samping
relatif aman. Obat dimulai dengan dosis rendah klomopramin mulai dengan 25-50 mg
/hari (dosis tunggal malam hari), dinaikkan secara bertahap dengan penambahan 25
mg/hari sampai tercaapi dosis efektif (biasanya 200-300 mg/hari).
Dosis pemeliharan umumnya agak tinggi, meskipun bersifat individual, klomipramin
sekitar 100-200 mg/hari dan sertralin 100 mg/hari. Sebelum dihentikan lakukan
pengurangan dosis secara tappering off. Meskipun respon dapat terlihat dalam 1-2 minggu,
untuk mendapatkan hasil yang memadai setidaknya diperlukan waktu 2- 3 bulan dengan
dosis antara 75-225 mg/hari
3. Efek Samping
1. Efek samping obat anti kompulsi trisiklik sama dengan seperti obat anti depresan
trisiklik, antaralain :
2. Efek antihistamin : sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, dan kemampuan kognitif yang menurun.
3. Efek anti kolinergik : mulut kering, keluhan lambung, retensi urin sampai disuria,
penglihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi seksual dan takikardi.
4. Efek anti adrenergik alfa : perubahan EKG dan hipotensi ortostatik.
5. Efek neurotoksik : tremor halus, kejang epileptik, agitasi dan insomnia.
g. Obat Anti panik
1. Farmakodinamik
Sindrom panik berkaitan dengan hipersensitivitas dari serotonic reseptor di SSP.
Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat reuptake serotonin pada celah
sinaptik antar neuron.
2. Cara Pemakaian
Semua jenis obat sama efektif dalam mengatasi panik pada taraf ringan maupun sedang.
Mulai dengan dosis rendah, tingkatkan secara perlahan dalam beberapa minggu. Dosis
efektif biasanya dicapai dalam 2-3 bulan.
Lamanya pemberian obat tergantung dari individual, umunya selama 6-12 bulan,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi penderita sudah
memungkinkan.
15
Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita menunjukkan gejala kambuh. Dalam
keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semula diulangi selama 2 tahun. Setelah
itu dihentikan secara bertahap selama 3 bulan.
3. Kontra Indikasi
Pada penggunaan fluoksatin, kontra indikasi terhadap pasien yang telah menggunakan
MAO selama 2 minggu terakhir. Tidak dianjurkan pada anak-anak dan ibu hamil.
4. Efek Samping
Efek samping obat anti panik golongan trisiklik antaralain sebagai berikut :
a) Efek antihistamin : sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, dan kemampuan kognitif yang menurun.
b) Efek anti kolinergik : mulut kering, keluhan lambung, retensi urin sampai disuria,
penglihatan kabur, konstipasi, gangguan fungsi seksual dan takikardi.
c) Efek anti adrenergik alfa : perubahan EKG dan hipotensi ortostatik.
d) Efek neurotoksik : tremor halus, kejang epileptik, agitasi dan insomnia.
16