prosedur diagnosa infeksi rm

Upload: dwi-sastrawan

Post on 15-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ee

TRANSCRIPT

INTERNAL DERANGEMENT SENDI TEMPOROMANDIBULAR

PAGE 0

PROSEDUR DIAGNOSA INFEKSI RONGGA MULUT Agus Nurwiadh, drg.Sp.BM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS BEDAH MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN

PERJAN RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

BANDUNG

2014

DAFTAR ISIHal :1. Patofisiologi Infeksi Rongga Mulut..2 2. Prosedur diagnosa infeksi rongga mulut.............................................8 3. Kesimpulan.............................................................................................14 4. Daftar Pustaka........................................................................................15 PATOFISIOLOGI INFEKSI RONGGA MULUTPENDAHULUANSebelum tahun 1940, infeksi kepala dan leher merupakan penyakit yang sering menimbulkan kematian. Osteomielitis rahang adalah penyakit yang sering terjadi. Erisipelas menyebabkan 60% kematian dan bone graft sering mengalami kegagalan karena sepsis. (Topazian, 1994)

Kemajuan dibidang obat-obatan terutama antibiotika dapat mengurangi insidensi ini, tetapi masalah infeksi bertambah rumit. Sejak penemuan pertama antibiotika telah menimbulkan masalah baru, yaitu munculnya lebih banyak mikroba yang bersifat patogen. Selain itu, macam obat dan pengertian tentang proses terjadinya infeksi juga bertambah luas. (Kwon & Laskin, 1991)

Seperti umumnya pembahasan mengenai suatu penyakit, terutama menyangkut pengobatannya, maka patofisiologi timbulnya suatu penyakit merupakan pembahasan yang penting. Karena prinsip pengobatan pada suatu penyakit berdasarkan patofisiologi dari penyakit itu sendiri. Pengobatan suatu infeksi rongga mulut demikian halnya penyakit pada umumnya berdasarkan dari patofisiologi dari infeksi tersebut. Termasuk interaksi antara host, mikroba, dan lingkungannya.

1. MIKROBA PENYEBAB INFEKSI RONGGA MULUTSebagaimana halnya infeksi-infeksi lain dibagian tubuh manusia, infeksi rongga mulut pada umumnya berasal dari flora normal endogeneous. Hal ini disebabkan rongga mulut merupakan media yang baik untuk tempat berkembang biak sejumlah bakteri baik yang bersifat aerob maupun yang bersifat an aerob. Sebagian besar infeksi rongga mulut bersifat campuran (polimikrobial) , dimana terdiri dari dua kelompok mikroorganisme atau lebih. Oleh karena flora normal dalam rongga mulut terdiri dari kuman gram positif dan negatif, maka yang sering menyebabkan infeksi adalah jenis dari kuman tersebut. Jika mikroba an aerob terlibat dalam suatu infeksi polimikrobial, maka pengaruh dari organisme lain meningkat. Mikroba an aerob cenderung menghambat fagositosis aerob sedangkan aerob mengkonsumsi oksigen sehingga mendukung pertumbuhan mikroorganisme. (Topazian, 1994; Peterson, 1998)

Secara umum infeksi rongga mulut disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus serta mikroorganisme gram negatif yang berbentuk batang dan an aerob. Dengan metode kultur dan tehnik sampling yang baik, identifikasi dari flora bakteri normal dan bakteri patogen akan dapat dilakukan. Dibawah ini adalah daftar nama-nama bakteri yang berperan dalam infeksi rongga mulut. (Peterson, 1998)Tabel 1 : DAFTAR MIKROORGANISME INFEKSI RONGGA MULUT No.ORGANISMEINFEKSI SPATIUM PERIMANDIBULARABSES PERIAPIKAL PADA ANAKINFEKSI ODONTOGENIK OROFASIALBAKTERIEMI KARENA AKSTRAKSI GIGI

Aerob

1.Eikienella corrodenens+---

2.Staphylococcus+---

3.Streptococcus++++

Anaerob

1.Actynomyces++++

2.Bacteroides

-Fragilis

-Melanonigenicus

-Oralis-

+

+-

+

++

+

++

+

+

3.Bifidobakterium--+-

4.Eubacterium+++-

5.Fusobacterium+++-

6.Peptococcus++++

7.Peptostreptococcus++++

8.Propionibakterium+-++

9.Veillonella++++

Sumber : Peterson, 1998Mikroorganisme yang terlibat dalam infeksi sering berada dalam keadaan turun naik secara konstan. Hal ini disebabkan perubahan kondisi jaringan lokal, misalnya banyaknya oksigen, perubahan pH, adanya mikroorganisme pendatang, aktivitas mekanisme pertahanan tubuh dan pengaruh antibiotik. Untuk infeksi yang mikroorganismenya resisten diperlukan pengambilan sampel dan kultur berkali-kali sehingga didapatkan gambaran flora yang akurat. (Neville, 1995)2. PATOFISIOLOGI INFEKSI RONGGA MULUTInfeksi adalah proses dimana mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dan menghancurkan host secara perlahan-lahan sehingga dapat berkembang biak (Morton, 1994). Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi infeksi yaitu mikroorganisme, host, dan lingkungan. Secara normal ada keseimbangan antara ketiganya. Jika keseimbangan ini terganggu maka terjadilah infeksi. (Poerwanto, 1996)

Faktor mikrobiologi yang harus diperhatikan adalah kualitas, kuantitas, virulensi, dan resistensi. Faktor hostnya adalah mekanisme pertahanan tubuh, sedangkan faktor lingkungannya adalah ketahanan jaringan terhadap invasi mikroorganisme.

Mikroorganisme secara komensalistik hidup berdampingan dengan host. Jika terjadi suatu keadaan yang mengubah keseimbangan antara mikroorganisme dan host maka terjadilah parasitisme. Dalam keadaan ini terjadilah persaingan untuk hidup. Ada 3 macam hubungan parasitisme yaitu fakultatif, obligatorik, dan aberen. Parasitisme fakultatif adalah keadaan dimana mikroorganisme dapat hidup memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga dapat hidup secara saprofit dengan host. Parasitime obligatorik adalah keadaan dimana sepanjang hidup mikroorganisme tergantung pada host. Parasitime aberen adalah keadaan dimana mikroorganisme menjadi patogen karena berpindah tempat seperti berpindahnya flora normal ke jaringan dibawahnya. (Topazian, 1994;Peterson, 1998)

Mikroorganisme dalam memulai terjadinya infeksi, pertama-tama harus melekat pada permukaan mukosa. Terdapat glikolipid, glikoprotein, dan fosfolipid pada permukaan mukosa yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk melekatkan dirinya. Ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi setelah mikroorganisme melekatkan diri pada host yaitu : multiplikasi tanpa penetrasi kejaringan di bawahnya, multiplikasi disertai penetrasi, dan penetrasi tanpa multiplikasi. Setelah terjadi perlekatan mikroorganime pada host, bakteri ini harus mampu mempertahankan dirinya terhadap keadaan mekanis seperti pembilasan oleh saliva dan juga dia harus mampu bersaing untuk mendapatkan tempat dan nutrisi dengan flora normal. (Topazian, 1994;Peterson, 1998)

Mikroorganisme yang dapat bertahan terus, selanjutnya akan berinteraksi antar mikroba yang melekat pada host tersebut. Ada 2 hal penting yang harus diperhatikan dalam interaksi ini yaitu : kemampuan memulai infeksi dan pengaturan flora normal. Interaksi ini akan menunjukan efek positif dan negatif terhadap patogenesis infeksi. Efek positif misalnya bakteriosin yang diproduksi oleh streptokokus hemolitikus diperkirakan menjadi penghalang kolonisasi bakteri patogen seperi streptokokus piogenus dan streptokokus pneumonia. Efek negatif dapat terlihat saat streptokokus mikroerofilik bertemu dengan stafilokokus aureus, streptokokus akan berkembang lebih cepat karena streptokokus memproduksi hialuronidase. (Topazian, 1994;Peterson, 1998)

Selain terjadi interaksi antara mikroba juga terjadi interaksi antara mikroba dan jaringan. Permukaan mukosa jaringan dapat mensekresi beberapa enzim, bahan-bahan anti bakteri dan mempunyai sel-sel fagositosis. Mikroorganisme untuk mempertahankan diri dengan beberapa cara yaitu membuat kapsul, membuat komponen dinding sel yang tahan terhadap enzim, dan menekan pertahanan tubuh hospes.

Seperti diketahui untuk memulai infeksi maka mikroorganisme harus mampu mengadakan penetrasi ke dalam jaringan. Mekanisme penetrasi ini belum jelas, kecuali jika telah ada kerusakan dari lapisan epitel. Beberapa mikroorganisme dapat menembus sel epitel dengan cara memproduksi bahan litik yang merusak permukaan sel. Ada hal lain yang penting dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh host. Pada jam-jam pertama dalam tubuh host (belum penetrasi) mikroorganisme harus menghadapi mekanisme antimikroba dan mobilisasi sel fagositosis dari jaringan host. Umumnya infeksi berakhir pada tahap ini. (Kwon & Laskin, 1991)

Virulensi mikrobanya juga sangat penting dalam patogenesis infeksi. Virulensi adalah kemampuan mikroba untuk memulai infeksi pada host yang rentan. Makin virulen suatu mikroba berarti makin tinggi produksi toksin dan bahan litiknya sehingga kerusakan jaringan host menjadi lebih berat. Toxin dapat diproduksi oleh bakteri, fungi, protozoa dan virus. Toxin dapat terbentuk eksotoksin dan endotoksin. Eksotoksin berasal dari komponen ekstraseluler sedangkan endotoksin berasal dari permukaan sel seperti endotoksin dari bakteri gram negatif. (Topazian, 1994)

Toksin dapat menyebabkan penekanan produksi lekosit (leukopenia), meningkatnya permeabilitas kapiler, perdarahan, panas atau demam, dan syok. Endotoksin sebagian besar dilepas saat bakteri mengalami lisis, tetapi dapat juga diproduksi oleh sel bakteri selama tumbuh. Endotoksin dimiliki baik oleh bakteri patogen maupun yang non patogen. Toksisitas endotoksin terutama berasal dari kerusakan membran host atau dari proses inflamasi. (Peterson, 1998)

Eksotoksin diproduksi oleh bakteri selama melakukan multiplikasi. Eksotoksin yang paling terkenal adalah eksotoksin dari klostridium tetani. Eksotoksin dari streptokokus hemolitikus group A merusak endotel pembuluh darah sehingga menyebabkan ruam, dan juga merusak ginjal dan miokardium. Mikrooraginsme patogen kadang-kadang memproduksi enzim yang dapat merusak sel, misalnya stafilokokus dapat memproduksi koagulasi yang dapat menyebabkan infeksi lokal. (Topazian, 1994;Peterson, 1998)

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis infeksi rongga mulut yaitu lingkungan. Mikroorganisme untuk memulai infeksi harus mampu menghadapi mekanisme pertahanan tubuh dari host. Mekanisme pertahanan tubuh ini terbagi dalam 4 kategori yaitu : (Topazian, 1994;Peterson, 1998)

a. Barier makenis berupa mukosa yang intak, kulit yang intak. Walaupun demikian bukan berarti barier mekanis ini tidak dapat ditembus oleh mikroorganisme karena pada dasarnya barier ini mempunyai lubang terbuka kelenjar keringat dan folikel rambut. Beberapa mikroorganisme patogen mampu melewati ruang antar sel sehingga dapat menyebabkan infeksi melalui barier yang intak, tetapi hal ini jarang terjadi. Mikroorganisme yang dapat melalui barier intak misalnya treponema palidum.

b. Sekresi dari permukaan mukosa dapat bertindak sebagai barier fisiologis seperti saliva yang dapat membilas mikroorganisme ke luar dari rongga mulut dan masuk ke esofagus dimana mikroorganisme ini akan dihancurkan oleh enzim dan tingkat keasaman yang tinggi. Contoh yang lain adalah kelenjar keringat yang mempunyai pH 5,2-5,8 sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Kelenjar keringat juga mempunyai kadar asam lemak bebas yang tinggi yang bersifat bakteriosidal.

c. Flora mikroba, yang dimaksud disini adalah flora mikroba yang endogen yang dapat mempunyai efek antibiotik seperti mikrokokus dikulit menjadi antibiotik terhadap mikroorganisme terutama yang gram negatif.

d. Respon inflamasi, seperti diketahui mikroorganisme terus-menerus menembus barier kulit dan membran mukosa melalui abrasi dan retakan. Begitu terjadi interaksi antara mikroba dengan jaringan dibawahnya, maka terjadilah respon inflamasi berupa migrasi lekosit, meningkatnya permeabilitas kapiler, pelepasan histamin, kinin, dan anafilaktoksin. Selain itu inflamasi juga meningkatkan aktifitas fagositosis oleh netrofil dan sel mononuklear. Jika reaksi inflamasi bertambah, fagositosis netrofil akan digantikan oleh makrofag yang akan memfagositosis mikroorganisme dan lekosit yang mati. PROSEDUR DIAGNOSA INFEKSI RONGGA MULUT Prosedur diagnosa infeksi rongga mulut adalah prosedur yang banyak mengandung tantangan, lebih-lebih lagi apabila ada pertimbangan perawatan tambahan karena adanya pasien risiko tinggi. Dengan makin banyaknya kelompok usia lanjut pada populasi di Indonesia, maka warga senior tersebut makin memerlukan perhatian khusus. Pasien yang mengidap penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan akan menjadi lebih banyak. Kondisi-kondisi tersebut dan perubahan-perubahan lain yang menyertai ketuaan mengharuskan kita untuk membiasakan diri dengan proses-proses penyakit yang biasanya berkaitan dengannya, pengobatan yang digunakan, dan modifikasi perawatannya.

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, ancaman potensial dari penyakit-penyakit akibat virus seperti AIDS dan hepatitis B tidak hanya memerlukan modifikasi perawatan, tetapi perhatian harus kita arahkan pula terhadap pencegahan kontaminasi silang. Pasien-pasien tertentu memerlukan antibiotik profilaksis sebelum pembedahan. Walaupun demikian yang paling memerlukan perhatian khusus adalah pasienpasien yang penakut. Setiap perawatan di dalam mulut sangat menakutkan apalagi bila dilakukan pencabutan gigi. Penatalaksanaan untuk pasien-pasien semacam ini merupakan tantangan tersendiri. Identifikasi pasien yang memerlukan perawatan tambahan didasarkan pada riwayat pasien dan hasil evaluasi klinik. Hasil skrining tersebut menentukan apakah dilakukan perawatan tanpa modifikasi, perawatan dengan pendekatan tambahan, atau menunda perawatan sampai sesudah dilakukan konsultasi atau merujuk.

Keakuratan dalam mengetahui riwayat medis pasien sangatlah penting. Dengan kita mengetahui riwayat medis yang jelas maka pemeriksaan psikis maupun lab dapat kita eliminirbentuk standar dari pemeriksaan riwayat medis dan pemeriksaan fisik dapat dilihat pada tabel berikut.

Gambar 1. Daftar bentuk standar dari riwayat medis ( Peterson et.al. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. Principles of Sugery. 6th Ed. Mosby. Toronto. 1993:4)Data Biogarphy

Untuk mendapatkan informasi yang paling penting dapat dimulai dari cara yang paling sederhana. Ini meliputi: nama, alamat, umur, kelamin, pekerjaan, status perkawainan. Data ini dapat dipercaya sepanjang pasien memberikannya dengan benar tanpa ada keraguan.Keluhan Utama

Setiap pasien sebaiknya ditanyakan keluhan utama ia datang berobat. Keluhan utama ini dapat diketahui dari anamese. Keterangan ini akan membantu klinisi menentukan rencana perawatan

Riwayat Keluhan Utama

Pasien ditanyakan unutk menjelaskan riwayat dari keluhan ataupun rasa salit yang ada. Pada rasa sakit pasien dipandu untuk menjelaskan onset, intensitas, durasi, lokasi, penyebaran rasa sakit, serta faktor-faktor yang memberatkan rasa sakit. Dengan demikian kita dapat menghubungkan suatu simtom seperti : demam, lethargy, anorexia, malaise, dan kelelahan yang dihubungkan dengan keluhan utama.

Riwayat Medis

Quisioner ditulis dengan jelas dan bahsa yang lugas dan tidak terlalu panjang. Untuk mendapatkan suatu informasi yang jelas dan dapat dipercaya maka di dalam formulir harus ada bagian tanda tangan dan nama dari pasien yang bersangkutan.

Pada quisioner sebaiknya ditambahkan data penyakit yang berkaitan dengan kedokteran gigi. Penyakit-penyakit tersebut dapat mempersulit penatalaksanaan pengobatan seperti angina, mycardiac infark, heart murmurs, rheumatic heart, perdarahan, asma, penyakit paru, TBC, hepatitis, penyakit sexual, dan lain-lain. Pasien harus ditanyakan secara khusus tentang alergi untuk anastesi dan penisilin. Pasien wanita ditanyakan mengenai kehamilannya. Penyakit-penyakit yang bukan keturunan juga penting untuk ditanyakan seperti: hemophili atau malignat hyperthermia.

Gambar 2. Contoh Quisioner yang digunakan untuk screnning pasien (Daftar bentuk standar dari riwayat medis ( Peterson et.al. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. Principles of Sugery. 6th Ed. Mosby. Toronto. 1993:5-6Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk kedokteran gigi di fokuskan pada daerah mulut dan sekitar leher dan wajah. Hasil pemeriksaan fisik haruslah secara objektif dan dengan keakuratan yang tinggi. Pemeriksaan fisik sebaiknya dimulai dari pemeriksaan vital sign. Tekanan diastolik merupakan indikator yang lebih baik dari hipertensi dibanding dengan tekanan sistolik: di atas 90 mmHg adalah hipertensi ringan, sedang di atas 100 mmHg hipertensi sedang, di atas 110 mmHg merupa-kan tanda hipertensi yang berat. Pasien dengan tekanan darah diastolik melebihi 110 mmHg memerlukan evaluasi lebih lanjut, dan mungkin membutuhkan kon-sultasi medis. Kebanyakan pasien dengan hipertensi ringan dan sedang dapat dirawat dengan sedatif yang cocok, tidak menambahkan agen vasokonstriktor di dalam anestesi lokal, atau keduanya. Meningkatnya tekanan sistolik sampai lebih dari 140 atau 150 pada pasien tanpa riwayat hipertensi, sering menunjukkan adanya rasa takut. Frekuensi pernapasan pada orang dewasa normal adalah 14-18/mnt

Pemeriksaan fisik dilakukan dalam beberapa cara yaitu : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Ahli bedah mulut sering memeriksa melalui inspeksi seperti: distribusi dan tekstur rambut, proporsi dan simetris wajah, pergerakan mata dan warna conjuctiva, warna mukosa, warna dan keadaan lesi pada kulit massa yang ada pada wajah dan leher. Inspeksi oral meliputi: oropharing, lidah, dasar mulut dan mukosa oral.

Palpasi penting untuk memeriksa fungsi TMJ, fungsi dan ukuran kelenjar ludah, tiroid, keberadaan dari lymp node dan indurasi dari jaringan lunak mulut. Unutk menentukan tendensi serta fluktuiasi dari daerah yang bengkak.

Perkusi biasanya digunakan untuk pemerksaan torak dan abdominal. Pada dokter gigi, perkusi digunankan unutk mengetahui vitalitas gigi dan sinus para nasal. Auskultasi biasanya digunakan pada pemeriksaan TMJPemeriksaan Akhir

Informasi yang didapat dari riwayat kesehatan, dan evaluasi fisik menghasilkan evaluasi akhir dari individu yang merupakan calon penerima perawatan bedah mulut. Klasifikasi status fisik seperti yang digariskan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) melengkapinya sebagai basis pemeriksaan yang objektif. Pasien mungkin merupakan calon yang baik untuk prosedur yang diusulkan; atau mungkin diperlukan perubahan perawatan misalnya pemberian sedatif atau antibiotik propifilaksis, membatasi luas pembedahan; atau mungkin pasien mempunyai risiko tertentu yang memerlukan penundaan atau rujukan. Jika pemeriksaan akhir meragukan, adalah bijaksana untuk menghubungi dokter umumnya atau merujuk pasien untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan.GAMBARAN KLINIS INFEKSI RONGGA MULUT1. ABSCES PERIODONTAL

Gambaran klinis :

Nyeri

Pembengkakan pada gingiva sepanjang aspek lateral

Gingiva hiperemi

Gigi mobil, ekstrusi dan sensitive pada perkusi

Fistula pada gingivaEtiologi :

Invasi bakteri piogenik ke jaringan gingival melalui dinding pocket

Gambaran radiologi :

Pelebaran ligamen periodontal

Ada resorbsi alveolar crest

Lesi radioluscent berbentuk V

Terapi :

Antibiotik dan analgesic

Drainase pus2. ABSCES PERIAPIKAL

Gambaran klinis :

Karies dalam dengan pulpa non vital

Perkusi +

Pembengkakan mukosa oral

Fistula dekat apical gigi

Gambaran radiologi :

Radioloscent yang difus sekitar apical dengan batas tidak teratur

Hilangnya lamina dura pada apeks akar

Terapi :

Antibiotik

Ekstraksi gigi atau pengambilan pulpa nekrotik

Beda absces periodontal dengan absces periapikal :

Pada absces periodontal fistulanya di gingiva

Pada absces periapikal fistulanya lebih kearah apical.

Pada absces periodontal ada pocket

Pada absces periapikal tidak ada pocket

Rontgen :

Pada Absces periodontal pelebaran ligamen periodontalnya V shape arah mesial-disatal.

Pada Absces periapikal pelebaran ligamen periodontalnya cup like shape arah bukal-lingual.

3. PERIAPIKAL GRANULOMA

Gambaran klinis :

gigi dengan karies yang dalam

Riwayat sensitive terhadap panas dan dingin

Pada palpasi dan perkusi agak sakit

Gambaran radiologis :

Penebalan space ligamentum periodontal di apeks gigi

Radiolusen di apeks akar

Bila sudah berlangsung lama lamina duranya sudah menghilang.

Terapi :

Apikoektomi

Ekstraksi4. KISTA PERIAPIKALGambaran klinis :

Asimptomatik

Gigi non vital

Bila kista besar, ada rasa sakit pada pengunyahan

Mobility gigi

Gambaran radiologi :

Lamina dura hilang

Radiolusen disekitar apeks dengan batas jelas

Ada resorbsi akar

Terapi :

Perawatan endodontik

Apikoektomi (bila kista > 2 cm)

Ekstraksi gigi

kuretase soket5. PERIKORONITIS

Gambaran klinis :

Inflamasi pada gingiva atau mukosa yang menutupi korona dan oklusal gigi

Trismus

Akumulasi plak dan debris pada gigi terkait

Limfadenopati kelenjar sub mandibularis

Etiologi : Streptococcus dan bakteri anaerob

Terapi :

Antibiotik (penisilin) dan analgesik

Irigasi (NaCl atau hiperhidrol)

Drainase (masukkan drain dibawah operculum)

Grinding gigi diatasnya, bila perlu di ekstraksi.

Bila perikoronitis berulang, pertimbang kan untuk ekstraksi gigi penyebab.

Untuk menyelamatkan M2 dan tulang alveolar M3, ekstraksi M3 dilakukan pada usia 15 16 thn (sebelum erupsi).6. FLEGMON (LUDWIGS ANGINA)

Gejala klinis :

Pembengkakan secara bilateral pada spasia submandibular, sublingual dan sub mental

Adanya indurasi

Dasar mulut terdorong

Lidah terangkat

Sulit bernapas

Keadaan umum biasanya buruk, demam

Etiologi :

Infeksi odontogenik (90%), a.l.: oleh bakteri stafilokokus dan streptokokus.7. BEDA SELLULITIS DAN ABSCES

Selulitis bersifat akut;absces bersifat kronis

Sellulitias sakitnya hebat dan merata; abses rasa sakitnya terlokalisir

Selulitis ukurannya besar; abses ukurannya kecil

Selulitis difus dengan batas tidak jelas;Absces terlokalisir dengan batas jelas

Selulitis tidak ada pus; abses ada pus

Selulitis tahap awal, lunak bila di palpasi, tahap lanjut menjadi keras seperti papan(indurasi); absces bila di palpasi ada fluktuasi

Selulitis disebabkan oleh bakteri aerob; abses oleh bakteri anaerob

SHAPE \* MERGEFORMAT

A.Abses submentale B.Abses submandibula 8. OSTEOMIELITIS SUPURATIF AKUT

Gambaran Klinis :

Gigi2 sekitar tempat infeksi primer sakit hebat sampai ke telinga

Parestesi bibir

Pembengkakan yang cepat

Kemerahan pada kulit dan mukosa

Trismus

Gigi-gigi goyang

Gingiva udema, pus keluar dari saku gusiMulut berbau busuk

Multiple fistel pada mukosa dan kulit

SHAPE \* MERGEFORMAT

Pemeriksaan darah :

Lekositosis (12.000-20.000 sel/mm3)PMN meninggi dan gambaran shift to the left (sel2 muda berada didaerah kiri)

Etiologi :

staphylococcus aureus

staphylococcus epidermidis

streptococcus hemolitycus

bakteri anaerobGambaran radiologis :

kerusakan baru tampak setelah 10-12 hari

rarefraksi iregulaer karena destruksi trabekula

pelebaran ruang2 spongiosa

bila sudah ada sequester tampak khas sebagai mouth eaten apperance9. SIALODENITISGambaran Klinis :

bengkak di periaurikuler (parotis) dan mandibular

eritema

sakit saat makan

cuping telinga terangkat (kena parotis)

pada palpasi ada pus dimuara kelenjarEtiologi :

stafilokokus aureus

Terapi :

tingkatkan intake cairan tubuh

obat kumur

zat sialogogik

analgetik

larutan lugol

antibiotik (sefalosporin atau oxacilin)

10. SINUSITIS MAKSILARIS AKUT DENTOGEN Gambaran klinis :

Rasa sakit pada gigi posterior RA

Unilateral

Eksudat mukopurulen dari nasal atau faring yang sangat bau

Ada gigi non vital daerah premolar atau molar RA

Vestibulum daerah premolar dan molar yang terkena membengkak

Kulit daerah yang terkena memerah

Nyeri pipi yang tumpul dan menusuk

Nyeri palpasi sekitar sinus yang terkena

Membungkuk akan menambah rasa sakit (pus terkumpul di infra orbita)

telentang akan mengurangi sakit (drainase lancar)

Gambaran radiologi :

air fluid level (bagian bawah berisi cairan dan atasnya adalah udara

ada perkabutan ok penebalan mukosa

Terapi :

antibiotika 10-14 hari

irigasi sinus

dekongestan sistemik atau topikal

pencabutan gigi penyebab atau perawatan endodontik

KESIMPULANSecara umum infeksi rongga mulut disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus serta mikroorganisme gram negatif yang berbentuk batang dan an aerob. Oleh karena flora normal dalam rongga mulut terdiri dari kuman gram positif dan negatif, maka yang sering menyebabkan infeksi adalah jenis dari kuman tersebut.

Infeksi adalah proses dimana mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan menghancurkan host secara perlahan-lahan sehingga dapat berkembang biak (Morton, 1994). Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi infeksi yaitu mikroorganisme, host, dan lingkungan. Secara normal ada keseimbangan antara ketiganya. Jika keseimbangan ini terganggu maka terjadilah infeksi.

DAFTAR PUSTAKA1. Kwon PH & Laskin D M, 1991, Clinicians Manual of Oral & Maxillofacial Surgery, Quintessence Publishing, Chicago

2. Neville, BW et al, 1995, Oral and Maxillofacial Pathology, WB Saunders Co,Philadhelphia; 511-537

3. Peterson E.J., 1998, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Mosby Company, St. Louis

4. Purwanto & Basoeseno, 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC Jakarta, Hal : 119-198

5. Topazian & Morton, 1994, Oral & Maxillofacial Infection, 3rded, WB Saunders company, 1-62

PAGE