proposal pasca
DESCRIPTION
isi proposalTRANSCRIPT
PANDANGAN HAKIM TERHADAP PENGGABUNGAN TAHAP PEMBUKTIAN DAN TAHAP PUTUSAN PENGADILAN
DALAM SATU WAKTU SIDANG(Studi di Pengadilan Agama Mojokerto)
A Latar Belakang Masalah
Hukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-
undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat
bagaimana mereka selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.1 Dari sini
dapat dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar untuk pedoman bacaan, dilihat
ataupun diketahui, melainkan juga untuk dilaksanakan atau ditaati.
Pada hakikatnya, pelaksanaan hukum materiil itu umumnya berada dalam kekuasaan
masing-masing individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui pejabat
atau instansi yang berwenang. Akan tetapi sesuatu yang sering terjadi adalah hukum
materiil tersebut dilanggar. Sehingga dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan
terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari hal
tersebut, maka hukum materiil yang telah dilanggar haruslah ditegakkan melalui sistem
penegak hukum yang telah ditetapkan oleh hukum. Penegak hukum yang dimaksudkan
adalah seluruh pejabat yang melakukan tugas untuk menegakkan hukum di suatu negara
sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, seperti halnya : kepolisian,
kejaksaan serta badan peradilan, baik peradilan umum ataupun juga peradilan agama.
Salah satu dari penegak hukum yang ada di negara Indonesia ini adalah peradilan
agama. Fungsi dari peradilan agama adalah untuk menegakkan hukum serta memenuhi
rasa keadilan dalam masyarakat. Ketentuan tentang Hukum Acara yang berlaku di
1 Bambang Sugeng dan Sujayadi, “Hukum Acara Perdata Dokumen Litigasi Perkara Perdata ”, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 7.
1
lingkungan Pengadilan Agama baru disebut secara tegas sejak diterbitkan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, selain
itu juga didalamnya diatur tentang Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan
Agama.2 Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya
disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Penyempurnaan terhadap Undang-undang tentang Peradilan Agama ini memberikan
penjelasan yang lebih detail mengenai Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama.
Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 50 Tahun 20093 dijelaskan bahwa Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan yang berlaku di lingkup Peradilan Agama adalah Hukum
Acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dari penjelesan tersebut sudah
sangat jelas bahwa Hukum Acara yang dipergunakan di dalam Peradilan Agama adalah
seperti halnya Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, baik dari segi tahapan
beracara atau dari segi pemeriksaan perkaranya, kecuali peraturan yang khusus diatur
dalam Peradilan Agama.
Adapun sumber Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum
diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama, diantaranya Het Herzience
Indonesie Reglement (HIR), Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (BW), Yurisprudensi
tentang Hukum Acara, serta Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.
Dalam sumber Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama tersebut juga disebut
tentang prosedur-prosedur beracara di pengadilan yang di dalamnya terdapat beberapa
tahapan. Tahapan-tahapan tersebut berawal dari masuknya surat gugatan atau
2 H. Abdul Manan, “Penerapan Hokum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama” (Jakarta: Kencana, 2006), h. 7.
3 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
2
permohonan di pengadilan yang telah diterima oleh Majelis Hakim, kemudian proses
selanjutnya yaitu upaya damai oleh Majelis Hakim yang kemudian dilanjutkan dengan
cara mediasi. Tahap berikutnya adalah proses pemeriksaan yang mencakup jawaban dari
tergugat, replik dan duplik oleh Penggugat dan Tergugat atau Pemohon dan Termohon,
setelah itu dilanjutkan dengan kesimpulan dari kedua pihak dan terakhir putusan hakim.
Tahapan-tahapan ini sesuai dengan yang tertuang dalam HIR yang terkait dengan Hukum
Acara yang berlaku di Peradilan Agama.4
Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, yaitu apabila pemeriksaaan
telah selesai, maka Majelis Hakim melakukan musyawarah untuk mengambil putusan
yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh
beberapa tahapan, diantaranya tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 121 HIR yang
kemudian dibarengi dengan replik dari penggugat maupun duplik dari tergugat dan
setelah itu dilanjutkan dengan proses pembuktian dan konklusi.5
Disamping itu, menurut Pasal 20 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Sebelum putusan diambil majelis hakim secara rahasia melakukan sidang
permusyawaratan dan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan. Apabila dalam sidang permusyawaratan hakim yang rahasia itu
4 Pasal 132a, 164 dan 178 HIR tentang gugatan penggugat/pemohon, macam-macam alat bukti dan putusan pengadilan.5 M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan ” (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 797.
3
tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam
putusan.6
Tahapan dalam proses beracara yang telah tertulis dalam Undang-undang yang
mengatur tentang Hukum Acara di Peradilan Agama tersebut harus ditempuh sesuai
dengan urutan tahapannya dari awal hingga akhir pemeriksaan. Jika ada salah satu
tahapan yang terlewati, maka akibat hukum dari proses tersebut, karena tidak memenuhi
prosedur yang telah berlaku dalam Hukum Acara di lingkup Peradilan.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan itu sangatlah berbeda. Ada beberapa
Peradilan dalam melaksanakan proses beracara di persidangan tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya, yaitu peggabungan dua tahapan
proses dalam beracara yang selayaknya dilaukan di waktu yang berbeda. Fenomena
seperti itulah yang menjadikan pertanyaan besar dikalangan masyarakat, khususnya
dikalangan akademisi yang mengetahui tentang prosedur beracara di lingkup Peradilan.
Dari sinilah yang menjadikan dasar oleh peneliti dengan menempatkan proses
beracara di Peradilan khususnya di Pengadilan Agama dalam kerangka berfikir penelitian
ini adalah karena Pengadilan Agama juga tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam
melaksanakan Hukum Acara yang berlaku di pengadilan. Akan tetapi, dalam hal ini yang
menjadi permasalahan adalah apabila proses beracara di Pengadilan Agama tidak sesuai
dengan Undang-undang Hukum Acara Peradilan Agama yang berlaku. Maka akan
berdampak pada akibat hukum dari proses tersebut, yaitu putusan yang telah diputus
dengan menggunakan proses penggabungan dua tahapan, yang mana proses tersebut telah
ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Karena pada hakikatnya, proses beracara
6 Ahmad Mujahidin, “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama”, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), h. 227.
4
di persidangan tersebut haruslah mengacu pada Undang-undang yang sedang berlaku di
Indonesia.
Dari beberapa Pengadilan Agama yang melaksanakan proses tersebut, salah satunya
adalah di Pengadilan Agama Mojokerto yang melaksanakan proses beracara tidak sesuai
dengan Undang-undang yang sedang berlaku, yakni seperti halnya penggabungan antara
tahap Pembuktian dan tahap Putusan Sidang menjadi satu waktu sidang. Pada
semestinya, sesuai dengan peraturan yang ada yaitu antara proses pembuktian dan
putusan tidak bersamaan dalam satu waktu. Akan tetapi, proses penggabungan kedua
tahapan tersebut dilakukan di Pengadilan Agama Mojokerto.
Dari fenomena tersebut yang menjadi kejanggalan oleh peniliti terhadap proses
beracara di persidangan yang sebenarnya dan membuat peneliti merasa perlu meneliti
lebih dalam adalah mengenai Hukum Acara di lingkup Peradilan Agama serta inigin
mengetahui bagaimana pendapat para hakim terhadap fenomena yang sedang terjadi di
lingkup Peradilan Agama tentang proses beracara di persidangan, dengan judul penelitian
yaitu “Pandangan Hakim Terhadap Penggabungan Tahap Pembuktian dan Tahap
Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang” (Studi di Pengadilan Agama Mojokerto).
B Rumusan Masalah
Dari apa yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
sebagai pokok ajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan hakim terhadap penggabungan tahap pembuktian dan tahap
putusan sidang dalam satu waktu sidang?
5
2. Apa sanksi bagi hakim melaksanakan proses penggabungan tahap pembuktian dan
tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang?
C Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan hakim terhadap penggabungan tahap pembuktian dan
tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang.
2. Untuk mengetahui sanksi bagi hakim melaksanakan proses penggabungan tahap
pembuktian dan tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang.
D Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan hasil yang diperoleh peneliti nantinya
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat ikut memperkaya khazanah
pengetahuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu hukum acara, khususnya yang terkait
dengan masalah hukum acara di Pengadilan Agama, sebagai bahan wacana, sumbangan
teori bagi masyarakat, pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, instansi
yang terkait, dan pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan tentang hukum acara di pengadilan terutama masalah
sistem penggabungan antara tahap pembuktian dan tahap putusan sidang di
6
Pengadilan Agama dan aspek hukum yang ada di instansi Pengadilan Agama
Mojokerto.
b. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi agar masyarakat lebih mengetahui terhadap proses
beracara dan mengetahui hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama.
c. Bagi Instansi terkait
Sebagai bahan acuan guna pengadaan penyuluhan sistem hukum acara dalam
proses beracara di Pengadilan Agama.
E Penelitian Terdahulu
Sebagai pendukung penelitian ini, alangkah lebih baiknya untuk melihat penelitian
terdahulu guna untuk mengetahui antara kesamaan dan perbedaan dengan penelitian
sebelumnya, diantaranya yaitu pertama skripsi yang diteliti oleh Asep Ridwan Murtado
Illah (2011) yang berjudul “Akurasi Penggunaan Polygraph Sebagai Alat bantu
Pembuktian menurut Hukum Acara Peradilan Agama” Fakultas Syai’ah. Hasil dari
penelitian ini menjelaskan bahwa keakurasian hasil Polygraph diprosentasikan hingga
mencapai 90%. Hal ini mengindikasikan bahwa alat ini sangat efektif digunakan dalam
upaya pembuktian dan penyelesaian perkara. Akan tetapi, pada dasarnya tingkat
keakurasian tersebut tidak tergantung pada alat semata. Penentunya justru pada orang
yang menggunakannya.7 Penelitian Asep Ridwan Murtado Illah ini memiliki aspek
persamaan dan perbedaan dengan penelitian kami. Persamaan terdapat pada bahasan
yang membahas berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama. Perbedaannya bertitik
7 Asep Ridwan Murtado Illahi, “Akurasi Penggunaan Polygraph Sebagai Alat bantu Pembuktian menurut Hukum Acara Peradilan Agama”, Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Maliki Malang, 2011.
7
fokus dalam penelitian Asep Ridwan Murtado Illah adalah lebih menekankan
pembahasan pada penggunaan dan dasar hukum penggunaan polygraph dalam proses
pemeriksaan dan pembuktian serta penyelessaian perkara di pengadilan agama.
Sedangkan dalam penelitian ini cenderung menganalisa mengenai pandangan hakim yang
dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan antara tahap pembuktian dan tahap
putusan sidang digabung dalam satu waktu sidang.
Kedua penelitian yang dilakukan oleh Sotyo Bahtiar ini berjudul “tinjauan tentang
kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan”.
Dalam penelitian yang diteliti oleh Sotyo Bahtiar menjelaskan secara gamblang
mengenai pembuktian baik dari segi prinsip, sistem, serta alat yang sah dalam sebuah
pembuktian. Pada pembahasan yang lebih lanjut, peneliti menjelaskan lebih rinci
mengenai pembuktian dengan alat bukti saksi serta mengemukakan mengenai syarat sah
alat bukti saksi dan nilai kekuatan alat bukti saksi itu sendiri. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri adalah dimana antara
keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain tidak saling berhubungan dan atau
tidak bersesuaian sehingga tidak dapat menyimpulkan siapa pelakunya, maka kesaksian
seperti itu tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian.8 Penelitian Sotyo Bahtiar ini
memiliki aspek persamaan dan perbedaan dengan penelitian kami. Persamaannya terdapat
pada bahasan yang membahas berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama.
Perbedaannya adalah pada titik fokus penelitiaanya, dalam penelitian Sotyo Bahtiar ini
fokus mengenai kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses
persidangan. Sedangkan penelitian ini berfokus menganalisa pandangan hakim yang
8 Sotyo Bahtiar, tinjauan tentang kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan, Skripsi fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8
dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan menggabungkan menjadi satu waktu
sidang antara tahap pembuktia dan tahap putusan sidang.
F Kerangka Teori
1. Proses Beracara di Persidangan
Dalam proses beracara di muka persidangan, melalui beberapa tahapan, antara lain :
a) Tahap pertama yaitu penerimaan perkara
1) Pengajuan (perkara) gugatan atau permohonan oleh pihak yang bersangkutan
(sesuai Pasal 118 HIR);
2) Pembayaran panjar biaya perkara oleh Penggugat atau Pemohon;
3) Pendaftaran perkara;
4) Penetapan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadila Agama;
5) Penetapan hari sidang oleh Ketua Majelis Hakim (sesuai Pasal 122 HIR);
6) Pemanggilan para pihak secara resmi dan patut.
b) Tahap kedua yaitu pemeriksaan perkara (sesuai Pasal 372 HIR)
1) Pemeriksaan pendahuluan yakni kesesuaian berkas-berkas dengan pihak, baik
dari segi identitas atau dari pokok yang disengketakan;
2) Upaya erdamaian oleh hakim, atau bisa juga dilakukan dari selain hakim
dengan cara mediasi oleh mediator;
3) Pembacaan surat gugatan;
4) Jawaban dari Tergugat atau Termohon;
5) Sanggahan dari Penggugat atau Pemohon (Replik);
6) Jaawaban balik dari Tergugat atau Termohon (Duplik);
9
7) Pembuktian, yakni pengajuan alat bukti dari kedua belah pihak yaitu dari
Penggugat atau Pemohon dan Tergugat atau Termohon.
c) Tahap ketiga yaitu penyelesaian perkara
1) Kesimpulan, yakni kedua belah pihak mengajukan pendapat akhir dari hasil
pemeriksaan perkara;
2) Musyawarah majelis hakim;
3) Putusan hakim dengan dasar dari undang-undang serta berdasarkan bukti-
bukti yang telah diberikan oleh para di depan persidangan.
2. Pembuktian
Dalam perkara perdata di pengadilan yang memiliki peranan penting adalah
mengenai bagaimana seorang yang berperkara itu dapat membuktikan bahwa dalil-dalil
yang dikemukakan tersebut adalah benar adanya.9 Seperti yang dijelaskan dalam Pasal
163 HIR dan Pasal 1865 KUH Perdata bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya
hak atau peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, hukum pembuktian hanya berlaku dalam
perkara yang mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam
sengketa tersebut,10 atau dengan maksud lain pembuktian dapat diartikan sebagai upaya
memberi kepastian dalam arti yuridis, memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim
tentang kebenaran dari suatu peristiwa yang diajukan oleh pihak yang berperkara secara
formil, artinya terbatas pada bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan.11
9 Hennny Mono, “Praktik berperkara Perdata”, (Malang : banyumedia Publishing, 2007), h. 87.10 Hari Sasangka, “Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata”, (Bandung : Mandar Maju, 2005), h. 3.11 Sophar Maru Hutagalung, “Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani perkara di Pengadilan” (Jakarta :
Sinar Grafika, 2010), h. 81.
10
Dalam proses perkara gugatan atupun permohonan, beban pembuktian dapat
ditujukan Penggugat, Tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Prinsip
dasarnya, siap yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Karena tujuan
dari pembuktian ini adalah untuk menetapkan hukum di antara kedua belah pihak yang
menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai
keadilan.12
Pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara adalah salah satu bagian
dari jalannya persidangan di Pengadilan, hal ini diatur dalam undang-undang yang
mengatur tentang hukum acara, yaitu :
a. Pasal 162 – 177 HIR;
b. Pasal 1865 – 1945 KUH Perdata;
c. Staatsblad 1867 Nomor 29.
Disini hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya atau kurang jelas
(Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena
itu, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Akan tetapi, apabila hakim menjumpai kesulitan di dalam praktiknya, maka
harus hakim mencari pemecahan masalah dengan jalan :
a. Doctrin/ajaran;
b. Yurisprudensi13
Sesuatu yang harus dibuktikan oleh seseorang adalah hal-hal yang menjadi
perselisihan, yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau
12 Henny, “Praktik Berperkara”, h. 88.13 Hari, “Hukum Pembuktian”, h.25.
11
dibantah oleh pihak lain. Akan tetapi, apabila perkara yang diajukan oleh satu pihak dan
diakui oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan karena tidak adanya perselisihan di
dalamnya. Begitu juga tidak perlu adanya pembuktian apabila perkara yang diajukan oleh
salah satu pihak dan meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh pihak lain tetapi juga
tidak disangkal oleh pihak lain tersebut. Sebab, dalam hukum acara perdata sikap tidak
menyangkal dipersamakan dengan mengakui.14
Dalam proses pembuktian pengadilan berwenang membebankan kepada para pihak
untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara seadil-adilnya. Bahkan pengadilan juga
memberikan bimbingan dalam hal mengajukan pembuktia, sehingga pembuktian tersebut
dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Adapun bukti yang diajukan oleh salah stu
pihak, kepada pihak lainnya harus diberi kesempatan untuk menilai dan mengajukan
pendapatnya terhadapalat bukti tersebut, karena suatu gugatan dikabulkan hanya
didasarkan pada alat-alat bukti yang sah, yakni alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang.15 Macam-macam alat bukti tersebut terdapat dalam Pasal 164 HIR, dan
Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu :
a. Alat bukti tertulis;
b. Alat bukti saksi;
c. Alat bukti persangkaan;
d. Alat bukti pengakuan;
e. Alat bukti sumpah.
Alat bukti lain yang tidak disebutkan dalam undang-undang adalah :
a. Foto, film, rekaman video/tape/CD;
14 R. Subekti, “Hukum Acara Perdata”, (Bandung : Binacipta, 1989), h. 82.15 Sophar, “Praktik Peradilan”, h. 82.
12
b. Microfilm, microfische.
Menurut surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor
37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988 tentang alat bukti, bahwa microfilm atau
microfische dapat dijadikan alat bukti surat (tertulis) dengan catatan apabila bukti
tersebut bisa dijamin outentiknya yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita
acara. Hal tersebut berlaku terhadap perkara-perkara pidana atau perdata. Sesuai dengan
pendapat Mahkamah Agung tersebut, maka alat bukti dapat bersifat kata-kata yang
diucapkan dalam persidangan yang meliputi, keterangan saksi; bersifat surat; atau juga
alat bukti yang berupa material dan barang fisik lainnya. Misalnya film, foto, dan
sebagainya.16
3. Putusan Pengadilan
Salah satu tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
dari hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat
diubah lagi.17 Sedangkan yang dimaksudkan denga putusan pengadilan adalah
merupakan pernyataan hakim untuk menyelesaikan atau mengakhiri pekara yang
disengketakan dan diucapkan dimuka persidangan serta terbuka untuk umum.18
Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat serta
alat pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan, maka majelis hakim
bermusyawarah tentang apa yang akan diputuskan terhadap perkara yang sedang
diperiksa. Putusan pengadilan itu diharapkan menghasilkan suatu keadilan bagi para
pihak atas kepentingannya yang diminta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim tersebut.
Oleh sebab itu, bagi para hakim dalam mengadili suatu perkara yang dipentingkan adalah
16 Hari, “Hukum Pembuktian”, h. 41.17 Subekti, “Hukum”, h. 124.18 Hari, “Hukum Pembuktian”, h. 141.
13
fakta atau peristiwanya, bukan hukumnya. Peraturan hukumnya dinilai sebagai suatu alat,
sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.19
Di dalam mengambil putusan, majelis hakim berpedoman pada isi ketentuan Pasal
178 HIR, yaitu :
a. Wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah
pihak, artinya hakim wajib menyebutkan dasar hukum dan alasan hukum di dalam
mempertimbangkan putusannya. Apabila para pihak tidak memberikan dasar hukum,
maka hakim wajib memberi dasar hukum, baik hukum tertulis atau tidak tertulis serta
alasan hukum dalam putusannya.
b. Wajib mengadili segala tuntutan artinya dalam mengadili hakim tidak boleh sampai
lupa mempertimbangkan segala tuntutan. Apabila salah satu tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya itu adalah merupakan salah satu alasan dari
peninjauan kembali, meliputi tuntutan dalam gugatan konvensi dan gugatan
rekonvensi.
c. Tidak diperkenankan untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat
atau melebihi apa yang digugat. Apabila hakim memutus suatu perkara yang tidak
dituntut atau melebihi apa yang dituntut akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Menurut ketentuan Pasal 179 HIR bahwa putusah hakim harus dibacakan di dalam
sidang yang terbuka untuk umum (sesuai Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).
Apabila ketentuan tersebut dilangga, maka akan mengakibatkan ptusan tersebut tidak sah
dan tidak mempunyai kukuatan hukum. Jika dari kedua belah pihak atau salah satu pihak
tidak dapat hadir pada saat dibacakan putusan, maka atas perintah Ketua Majelis putusan
19 Sophar, “Praktik Peradilan”, h. 95.
14
tersebut harus diberitahukan kepada kedua belah pihak atau salah satu pihak yang tidak
hadir.
Adapun susunan dan isi putusan hakim adalah berdasarkan Pasal 183, 184, 187 HIR;
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang terdiri atas sebagai berikut :
a. Kepala putusan, disini terdapat kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”
b. Para pihak baik pihak Penggugat dan Tergugat beserta dengan identitas para pihak
yang meliputi nama, umur, alamat, dan pekerjaan.
c. Tentang duduk perkara yang memuat apa saja yang terjadi dalam persidangan di
pangadilan. Disini memuat gugatan, jawaban, alat-alat bukti (surat dan saksi).
d. Tentang hukumnya, ini merupakan pertimbangan hukm terhadap gugatan dan
jawaban dari para pihak. Menurut ketentuan Pasal 184 HIR/Pasal RBg berisi
tentang :
1) Ringkasan gugatan dan jawaban dari dalil gugatan dan jawaban tersebut, kemudian
disimpilkan dalil yang diakui oleh Tergugat dan dalil yang ditolak oleh Tergugat;
2) Alasan-alasan yang mendasari putusan tersebut;
3) Hukum tertulis harus disebutkan dengan jelas;
4) Keputusan tersebut ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera Pengganti
e. Amar putusan, merupakan jawaban dari gugatan Penggugat baik konvensi maupun
rekonvensi, serta dalam amar putusan tersebut juga meliputi eksepsi. Isi amar
putusan tersebut dalam pokok perkara bisa :
1) Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
15
2) Menyatakan gugatan ditolak;
3) Menyatakan gugatan dikabulkan sebagian;
4) Menyatakan guagatan dikabulkan seluruhnya.20
G Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jika dilihat dari tema yang diangkat yaitu masalah proses beracara di Pengadilan,
yang mana sumbernya berasal dari informan, Sehingga jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Adapun data penelittian ini bersifat
deskriptif dan bertujuan untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang Pandangan
Hakim Pengadilan Agama di Mojokerto Terhadap Penggabungan Tahap Pembuktian dan
Tahap Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jika
ditinjau dari data yang diperoleh, maka pendekatan kualitatif ini menghasilkan data
deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan maupun perilaku seseorang yang
diteliti yang dituangkan dalam bentuk paparan data. Disisi lain peneliti juga mengkaji
literatur-literatur tentang pendapat hakim yang menggabungkan antara tahap
pembuktian dan tahap putusan dalam satu waktu sidang.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang menjadi sasaran peneliti dalam penelitian ini bertempat di Pengadilan
Agama Mojokerto, tepatnya di jalan Prajurit Kulon No. 17 Mojokerto Kode Pos 61361.
20 Hari, “Hukum Pembuktian”, h. 143.
16
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang disusun dari
pengumpulan data lapangan dalam pelaksanaan penelitian lapangan, yang dilakukan
dengan menggunakan metode wawanacara (interview) dengan para informan yaitu
para hakim Pengadilan Agama Mojokerto yang mengetahui tentang proses
penggabungan dua tahapan, yakni antara tahap pembuktian dan tahap putusan sidang.
b) Data Sekunder
Data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dikumpulkan dari berbagai
tulisan, baik yang berupa laporan dari hasil penelitian sebelumnya maupun tulisan
dan karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang membahas permasalahan terkait proses
beracara di depan persidangan, demikian juga pendapat para pakar mengenai hukum
beracara. Semua data sekunder diharapkan dapat menjadi penunjang data primer.
5. Metode Pengumpulan Data
Dalam proses memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian kali ini
peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
a) Wawancara (Interview)
Metode wawancara yang digunakan oleh peneliti kepada informan adalah
wawancara yang mendalam dengan menggunakan kisi-kisi pertanyaan. Dalam proses
wawancara berlangsung, peneliti menyempaikan pertanyaan-pertanyaan sesuai yang
dibutuhkan untuk memperoleh data. Wawancara yang dilakukan semi formal yaitu
17
menggunakan pokok masalah yang diingikan, kemudian dikembangkan dengan
pertanyaan lain yang sesuai dengan pembicaraan terkait penelitian.
b) Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada
subjek penelitian. Dokumen dapat berupa catatan pribadi, surat pribadi, buku harian,
laporan kerja, notulen rapat, catatan kasus, rekaman kaset, rekaman video, foto dan
lain sebagainya. Penulis menggunakan metode dokumentasi ini untuk mendapatkan
data serta informasi yang diperoleh berdasarkan data-data dari perangkat-perangkat
setempat. Dalam metode dokumentasi penelitian menggunakan catatan pribadi,
rekaman hasil wawancara, dan foto pada waktu wawancara.
6. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data menjelaskan prosedur pengolahan dan analisis data sesuai
dengan pendekatan yang digunakan. Pengolahan data biasanya dilakukan melalui tahap-
tahap :
a) Pemeriksaan data (editing)
Yaitu proses penelitian kembali terhadap catatan, berkas-berkas, informasi yang
dikumpulkan oleh pencari data.21 Dalam hal ini peneliti meng-edit data dari hasil
penelitian yang didapatkan oleh peneliti dari proses wawancara ataupun
dokumentasi, dengan tujuan agar lebih mudah dalam melakukan penelaahan terhadap
data yang telah dikumpulkan.
b) Pengelompokan Data (Classifying)
Pada penelitian ini, setelah proses editing atas data-data yang dikumpulkan dari
informan atau para hakim telah selesai, kemudian data-data dari proses wawancara
21 Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 45.
18
atau dokumentasi tersebut diklasifikasikan berdasarkan kategori data-data penelitian
yang sesuai dengan tema peneliti yaitu tahap pembuktian dan tahap putusan yang
digabung dalam satu waktu sidang, dengan tujuan agar lebih fokus dengan penelitian
yang sedang dilakukan dan tidak meluas dari pembahasan penelitian, serta data yang
telah diperoleh benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.22
c) Pemeriksaan Data (Verifying)
Kemudian langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah pemeriksaan
(Verifying) data yaitu mengecek kembali data-data yang diperoleh dari hasil
wawancara serta dokumentasi sudah terkumpul dan sudah diklasifikasikan sesuai
tema peneliti. Proses verifikasi ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan data
memang benar-benar sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti,
dengan cara memberikan hasil wawancara kepada informan untuk ditanggapi atas
data tersebut bahwa informasi yang diperoleh peniliti sudah sesuai.
d) Analisis Data (Analayzing)
Langkah selanjutnya adalah menganalisis data-data yang sudah terkumpul
kemudian mengkaitkan antara data-data yang sudah terkumpul dari proses
pengumpulan data yaitu melalui wawancara dengan bersumber data seperti buku-
buku Ensiklopedi, undang-undang, jurnal dan lain sebagainya untuk memperoleh
hasil yang lebih efisien dan sempurna sesuai dengan yang peneliti harapkan. Metode
analisis yang dipakai penulis adalah deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang
menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat,
kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan,23 atau
22 Lexy J. Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitati Edisi Revisi”, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2008), h. 104.23 LKP2M, Research Book For Lkp2m (Malang: Universitas Islam Negeri (UIN)Malang, 2005), h. 60.
19
disebut dengan teknik analisis data. Adapun teknik analisis dalam penelitian ini
adalah dengan cara menguraikan tentang Pandangan Hakim Terhadap Penggabungan
Tahap Pembuktian dan Tahap Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang (Studi di
Pengadilan Agama Mojokerto).
e) Kesimpulan (Conclusion)
Setelah proses analisa data selesai, maka dilakukan kesimpulan dari analisis data
untuk menyempurnakan penelitian tersebut, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu
jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan, dengan cara membuat poin-poin yang
menghasilkan gambaran yang jelas, ringkas dan mudah untuk dipahami.
H Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh sebuah karya ilmiah yang terarah dan sistematis, maka perlu
disusun sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini, ada lima sistematika, yaitu: Bab I
yang merupakan awal dari penyusunan penelitian, dalam bab ini memuat tentang latar
belakang masalah, yang diambil yaitu sebuah rangkuman yang mengupas tentang faktor-
faktor yang melatarbelakangi bahwa masalah ini perlu dan penting untuk diadakan
penelitian. Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, akan memunculkan
beberapa pertanyaan yang terkait hal tersebut, maka peneliti mencantumkan beberapa
pertanyaan tersebut dalam poin rumusan masalah. Dari rumusan masalah yang akan
peneliti bahas, memiliki tujuan yang tercantum dalam tujuan penelitian. Selain itu, juga
memiliki manfaat yang tercantum dalam manfaat penelitian yang memuat tentang
manfaat penelitian bagi peneliti khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya serta
20
sistematika penelitian yang menjadikan gambaran dasar dan alur penelitian akan dapat
dipahami dengan jelas.
Selanjutnya, dalam bab II juga memaparkan tentang kajian pustaka yang berisi
tentang penelitian terdahulu, yang berfungsi sebagai tolak ukur perbedaan masalah yang
dikaji supaya peneliti tidak dianggap menjiplak peneliti orang lain. Dalam bab ini, juga
terdapat kerangka teori yang membahas secara sekilas tentang teori-teori penelitian yang
akan dilakukan. Dalam kerangka teori ini peneliti memasukan tentang proses tahapn
beracara, pengertian pembuktian dan putusan, manfaat dan tujuan pembuktian tujuan, dan
lain sebagainya. Kerangka teori tersebut nantinya dipergunakan untuk rujukan penelitian
dalam menganalisa permasalahan yang sedang diteliti.
Pada bab III, memaparkan tentang metode penelitian. Metode penelitian ini bertujuan
untuk memudahkan peneliti untuk mengkaji dan menganilis data yang diperoleh. Dalam
metode penelitian ini mencakup beberapa poin-poin penting, yaitu jenis penelitian,
pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan
data, dan metode pengolahan data. Manfaat dari bab ini adalah untuk mengetahui metode
yang digunakan dalam proses penelitian tersebut.
Pada bab IV, menjelaskan atau menjawab tentang hasil penelitian dan pembahasan
dengan mengacu pada teori-teori yang sedah dipaparkan, yang mana dalam penelitian
adalah mengenai penggabungan antara tahap pembuktian dan tahap putusan sidang dalam
satu waktu sidang, serta menguraikan data-data lapangan yang diperolah selama
penelitian atau wawancara, memaparkan tentang analisis data yang berisi tentang
penyajian hasil analisis, yang mana hasil dari analisis disesuaikan dengan rumusan
21
masalah, yang bertujuan untuk mengetahui pendapat para hakim terkait penggabungan
tahap pembuktian dan tahap putusan sidang.
Bab V, merupakan bab terakhir yang berisi Kesimpulan dan Saran. Dalam
kesimpulan menegaskan kembali mengenai penelitian ini dengan memahaminya secara
konkrit dan utuh. Sehingga dalam kesimpulan ini penulis mencoba memperjelas dengan
sesingkat mungkin jawaban dari rumusan masalah. Sehingga lebih memudahkan
pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini tanpa harus membaca keseluruhannya.
Sedangkan saran memuat beberapa anjuran bagi akademik baik bagi masyarakat maupun
bagi peneliti selanjutnya, guna untuk memberi masukan kepada orang-orang yang
bersangkutan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Zainal Asikin. “Pengantar Metode Penelitian Hukum”. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Harahap, M. Yahya. “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.
Hutagalung, Sophar Maru. “Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani perkara di Pengadilan”. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
LKP2M, Research Book For Lkp2m. Malang: Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2005.
Manan, H. Abdul. “Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama”. Jakarta: Kencana, 2006.
Moleong, Lexy J. “Metodologi Peneitian Kualitatif Edisi Revisi”. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. 2008.
Mono, Hennny. “Praktik berperkara Perdata”. Malang : Banyumedia Publishing, 2007.
Mujahidin, Ahmad. “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama”. Bogor : Ghalia Indonesia, 2012.
R. Subekti. “Hukum Acara Perdata”. Bandung : Binacipta, 1989.
Sasangka, Hari. “Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata”. Bandung : Mandar Maju, 2005.
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
23