proposal pasca

36
PANDANGAN HAKIM TERHADAP PENGGABUNGAN TAHAP PEMBUKTIAN DAN TAHAP PUTUSAN PENGADILAN DALAM SATU WAKTU SIDANG (Studi di Pengadilan Agama Mojokerto) A Latar Belakang Masalah Hukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat bagaimana mereka selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. 1 Dari sini dapat dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar untuk pedoman bacaan, dilihat ataupun diketahui, melainkan juga untuk dilaksanakan atau ditaati. Pada hakikatnya, pelaksanaan hukum materiil itu umumnya berada dalam kekuasaan masing-masing individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui pejabat atau instansi yang berwenang. Akan tetapi sesuatu yang sering terjadi adalah hukum materiil tersebut dilanggar. Sehingga dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari hal tersebut, maka hukum materiil yang telah dilanggar 1 Bambang Sugeng dan Sujayadi, “Hukum Acara Perdata Dokumen Litigasi Perkara Perdata ”, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 7. 1

Upload: chacha-ayu-dewe

Post on 06-Apr-2016

242 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

isi proposal

TRANSCRIPT

PANDANGAN HAKIM TERHADAP PENGGABUNGAN TAHAP PEMBUKTIAN DAN TAHAP PUTUSAN PENGADILAN

DALAM SATU WAKTU SIDANG(Studi di Pengadilan Agama Mojokerto)

A Latar Belakang Masalah

Hukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-

undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat

bagaimana mereka selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.1 Dari sini

dapat dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar untuk pedoman bacaan, dilihat

ataupun diketahui, melainkan juga untuk dilaksanakan atau ditaati.

Pada hakikatnya, pelaksanaan hukum materiil itu umumnya berada dalam kekuasaan

masing-masing individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui pejabat

atau instansi yang berwenang. Akan tetapi sesuatu yang sering terjadi adalah hukum

materiil tersebut dilanggar. Sehingga dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan

terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari hal

tersebut, maka hukum materiil yang telah dilanggar haruslah ditegakkan melalui sistem

penegak hukum yang telah ditetapkan oleh hukum. Penegak hukum yang dimaksudkan

adalah seluruh pejabat yang melakukan tugas untuk menegakkan hukum di suatu negara

sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, seperti halnya : kepolisian,

kejaksaan serta badan peradilan, baik peradilan umum ataupun juga peradilan agama.

Salah satu dari penegak hukum yang ada di negara Indonesia ini adalah peradilan

agama. Fungsi dari peradilan agama adalah untuk menegakkan hukum serta memenuhi

rasa keadilan dalam masyarakat. Ketentuan tentang Hukum Acara yang berlaku di

1 Bambang Sugeng dan Sujayadi, “Hukum Acara Perdata Dokumen Litigasi Perkara Perdata ”, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 7.

1

lingkungan Pengadilan Agama baru disebut secara tegas sejak diterbitkan Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, selain

itu juga didalamnya diatur tentang Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan

Agama.2 Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya

disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Penyempurnaan terhadap Undang-undang tentang Peradilan Agama ini memberikan

penjelasan yang lebih detail mengenai Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama.

Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 50 Tahun 20093 dijelaskan bahwa Hukum Acara

yang berlaku pada pengadilan yang berlaku di lingkup Peradilan Agama adalah Hukum

Acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang

telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Dari penjelesan tersebut sudah

sangat jelas bahwa Hukum Acara yang dipergunakan di dalam Peradilan Agama adalah

seperti halnya Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, baik dari segi tahapan

beracara atau dari segi pemeriksaan perkaranya, kecuali peraturan yang khusus diatur

dalam Peradilan Agama.

Adapun sumber Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum

diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama, diantaranya Het Herzience

Indonesie Reglement (HIR), Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (BW), Yurisprudensi

tentang Hukum Acara, serta Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.

Dalam sumber Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama tersebut juga disebut

tentang prosedur-prosedur beracara di pengadilan yang di dalamnya terdapat beberapa

tahapan. Tahapan-tahapan tersebut berawal dari masuknya surat gugatan atau

2 H. Abdul Manan, “Penerapan Hokum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama” (Jakarta: Kencana, 2006), h. 7.

3 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

2

permohonan di pengadilan yang telah diterima oleh Majelis Hakim, kemudian proses

selanjutnya yaitu upaya damai oleh Majelis Hakim yang kemudian dilanjutkan dengan

cara mediasi. Tahap berikutnya adalah proses pemeriksaan yang mencakup jawaban dari

tergugat, replik dan duplik oleh Penggugat dan Tergugat atau Pemohon dan Termohon,

setelah itu dilanjutkan dengan kesimpulan dari kedua pihak dan terakhir putusan hakim.

Tahapan-tahapan ini sesuai dengan yang tertuang dalam HIR yang terkait dengan Hukum

Acara yang berlaku di Peradilan Agama.4

Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, yaitu apabila pemeriksaaan

telah selesai, maka Majelis Hakim melakukan musyawarah untuk mengambil putusan

yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh

beberapa tahapan, diantaranya tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 121 HIR yang

kemudian dibarengi dengan replik dari penggugat maupun duplik dari tergugat dan

setelah itu dilanjutkan dengan proses pembuktian dan konklusi.5

Disamping itu, menurut Pasal 20 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan

mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Sebelum putusan diambil majelis hakim secara rahasia melakukan sidang

permusyawaratan dan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat

tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari putusan. Apabila dalam sidang permusyawaratan hakim yang rahasia itu

4 Pasal 132a, 164 dan 178 HIR tentang gugatan penggugat/pemohon, macam-macam alat bukti dan putusan pengadilan.5 M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan ” (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 797.

3

tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam

putusan.6

Tahapan dalam proses beracara yang telah tertulis dalam Undang-undang yang

mengatur tentang Hukum Acara di Peradilan Agama tersebut harus ditempuh sesuai

dengan urutan tahapannya dari awal hingga akhir pemeriksaan. Jika ada salah satu

tahapan yang terlewati, maka akibat hukum dari proses tersebut, karena tidak memenuhi

prosedur yang telah berlaku dalam Hukum Acara di lingkup Peradilan.

Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan itu sangatlah berbeda. Ada beberapa

Peradilan dalam melaksanakan proses beracara di persidangan tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya, yaitu peggabungan dua tahapan

proses dalam beracara yang selayaknya dilaukan di waktu yang berbeda. Fenomena

seperti itulah yang menjadikan pertanyaan besar dikalangan masyarakat, khususnya

dikalangan akademisi yang mengetahui tentang prosedur beracara di lingkup Peradilan.

Dari sinilah yang menjadikan dasar oleh peneliti dengan menempatkan proses

beracara di Peradilan khususnya di Pengadilan Agama dalam kerangka berfikir penelitian

ini adalah karena Pengadilan Agama juga tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam

melaksanakan Hukum Acara yang berlaku di pengadilan. Akan tetapi, dalam hal ini yang

menjadi permasalahan adalah apabila proses beracara di Pengadilan Agama tidak sesuai

dengan Undang-undang Hukum Acara Peradilan Agama yang berlaku. Maka akan

berdampak pada akibat hukum dari proses tersebut, yaitu putusan yang telah diputus

dengan menggunakan proses penggabungan dua tahapan, yang mana proses tersebut telah

ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Karena pada hakikatnya, proses beracara

6 Ahmad Mujahidin, “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama”, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), h. 227.

4

di persidangan tersebut haruslah mengacu pada Undang-undang yang sedang berlaku di

Indonesia.

Dari beberapa Pengadilan Agama yang melaksanakan proses tersebut, salah satunya

adalah di Pengadilan Agama Mojokerto yang melaksanakan proses beracara tidak sesuai

dengan Undang-undang yang sedang berlaku, yakni seperti halnya penggabungan antara

tahap Pembuktian dan tahap Putusan Sidang menjadi satu waktu sidang. Pada

semestinya, sesuai dengan peraturan yang ada yaitu antara proses pembuktian dan

putusan tidak bersamaan dalam satu waktu. Akan tetapi, proses penggabungan kedua

tahapan tersebut dilakukan di Pengadilan Agama Mojokerto.

Dari fenomena tersebut yang menjadi kejanggalan oleh peniliti terhadap proses

beracara di persidangan yang sebenarnya dan membuat peneliti merasa perlu meneliti

lebih dalam adalah mengenai Hukum Acara di lingkup Peradilan Agama serta inigin

mengetahui bagaimana pendapat para hakim terhadap fenomena yang sedang terjadi di

lingkup Peradilan Agama tentang proses beracara di persidangan, dengan judul penelitian

yaitu “Pandangan Hakim Terhadap Penggabungan Tahap Pembuktian dan Tahap

Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang” (Studi di Pengadilan Agama Mojokerto).

B Rumusan Masalah

Dari apa yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan

sebagai pokok ajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan hakim terhadap penggabungan tahap pembuktian dan tahap

putusan sidang dalam satu waktu sidang?

5

2. Apa sanksi bagi hakim melaksanakan proses penggabungan tahap pembuktian dan

tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang?

C Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pandangan hakim terhadap penggabungan tahap pembuktian dan

tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang.

2. Untuk mengetahui sanksi bagi hakim melaksanakan proses penggabungan tahap

pembuktian dan tahap putusan sidang dalam satu waktu sidang.

D Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan hasil yang diperoleh peneliti nantinya

dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat ikut memperkaya khazanah

pengetahuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu hukum acara, khususnya yang terkait

dengan masalah hukum acara di Pengadilan Agama, sebagai bahan wacana, sumbangan

teori bagi masyarakat, pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, instansi

yang terkait, dan pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan tentang hukum acara di pengadilan terutama masalah

sistem penggabungan antara tahap pembuktian dan tahap putusan sidang di

6

Pengadilan Agama dan aspek hukum yang ada di instansi Pengadilan Agama

Mojokerto.

b. Bagi Masyarakat

Sebagai bahan informasi agar masyarakat lebih mengetahui terhadap proses

beracara dan mengetahui hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama.

c. Bagi Instansi terkait

Sebagai bahan acuan guna pengadaan penyuluhan sistem hukum acara dalam

proses beracara di Pengadilan Agama.

E Penelitian Terdahulu

Sebagai pendukung penelitian ini, alangkah lebih baiknya untuk melihat penelitian

terdahulu guna untuk mengetahui antara kesamaan dan perbedaan dengan penelitian

sebelumnya, diantaranya yaitu pertama skripsi yang diteliti oleh Asep Ridwan Murtado

Illah (2011) yang berjudul “Akurasi Penggunaan Polygraph Sebagai Alat bantu

Pembuktian menurut Hukum Acara Peradilan Agama” Fakultas Syai’ah. Hasil dari

penelitian ini menjelaskan bahwa keakurasian hasil Polygraph diprosentasikan hingga

mencapai 90%. Hal ini mengindikasikan bahwa alat ini sangat efektif digunakan dalam

upaya pembuktian dan penyelesaian perkara. Akan tetapi, pada dasarnya tingkat

keakurasian tersebut tidak tergantung pada alat semata. Penentunya justru pada orang

yang menggunakannya.7 Penelitian Asep Ridwan Murtado Illah ini memiliki aspek

persamaan dan perbedaan dengan penelitian kami. Persamaan terdapat pada bahasan

yang membahas berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama. Perbedaannya bertitik

7 Asep Ridwan Murtado Illahi, “Akurasi Penggunaan Polygraph Sebagai Alat bantu Pembuktian menurut Hukum Acara Peradilan Agama”, Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Maliki Malang, 2011.

7

fokus dalam penelitian Asep Ridwan Murtado Illah adalah lebih menekankan

pembahasan pada penggunaan dan dasar hukum penggunaan polygraph dalam proses

pemeriksaan dan pembuktian serta penyelessaian perkara di pengadilan agama.

Sedangkan dalam penelitian ini cenderung menganalisa mengenai pandangan hakim yang

dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan antara tahap pembuktian dan tahap

putusan sidang digabung dalam satu waktu sidang.

Kedua penelitian yang dilakukan oleh Sotyo Bahtiar ini berjudul “tinjauan tentang

kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan”.

Dalam penelitian yang diteliti oleh Sotyo Bahtiar menjelaskan secara gamblang

mengenai pembuktian baik dari segi prinsip, sistem, serta alat yang sah dalam sebuah

pembuktian. Pada pembahasan yang lebih lanjut, peneliti menjelaskan lebih rinci

mengenai pembuktian dengan alat bukti saksi serta mengemukakan mengenai syarat sah

alat bukti saksi dan nilai kekuatan alat bukti saksi itu sendiri. Dalam hal ini yang

dimaksud dengan pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri adalah dimana antara

keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain tidak saling berhubungan dan atau

tidak bersesuaian sehingga tidak dapat menyimpulkan siapa pelakunya, maka kesaksian

seperti itu tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian.8 Penelitian Sotyo Bahtiar ini

memiliki aspek persamaan dan perbedaan dengan penelitian kami. Persamaannya terdapat

pada bahasan yang membahas berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama.

Perbedaannya adalah pada titik fokus penelitiaanya, dalam penelitian Sotyo Bahtiar ini

fokus mengenai kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses

persidangan. Sedangkan penelitian ini berfokus menganalisa pandangan hakim yang

8 Sotyo Bahtiar, tinjauan tentang kekuatan hukum pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam proses persidangan, Skripsi fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8

dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan menggabungkan menjadi satu waktu

sidang antara tahap pembuktia dan tahap putusan sidang.

F Kerangka Teori

1. Proses Beracara di Persidangan

Dalam proses beracara di muka persidangan, melalui beberapa tahapan, antara lain :

a) Tahap pertama yaitu penerimaan perkara

1) Pengajuan (perkara) gugatan atau permohonan oleh pihak yang bersangkutan

(sesuai Pasal 118 HIR);

2) Pembayaran panjar biaya perkara oleh Penggugat atau Pemohon;

3) Pendaftaran perkara;

4) Penetapan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadila Agama;

5) Penetapan hari sidang oleh Ketua Majelis Hakim (sesuai Pasal 122 HIR);

6) Pemanggilan para pihak secara resmi dan patut.

b) Tahap kedua yaitu pemeriksaan perkara (sesuai Pasal 372 HIR)

1) Pemeriksaan pendahuluan yakni kesesuaian berkas-berkas dengan pihak, baik

dari segi identitas atau dari pokok yang disengketakan;

2) Upaya erdamaian oleh hakim, atau bisa juga dilakukan dari selain hakim

dengan cara mediasi oleh mediator;

3) Pembacaan surat gugatan;

4) Jawaban dari Tergugat atau Termohon;

5) Sanggahan dari Penggugat atau Pemohon (Replik);

6) Jaawaban balik dari Tergugat atau Termohon (Duplik);

9

7) Pembuktian, yakni pengajuan alat bukti dari kedua belah pihak yaitu dari

Penggugat atau Pemohon dan Tergugat atau Termohon.

c) Tahap ketiga yaitu penyelesaian perkara

1) Kesimpulan, yakni kedua belah pihak mengajukan pendapat akhir dari hasil

pemeriksaan perkara;

2) Musyawarah majelis hakim;

3) Putusan hakim dengan dasar dari undang-undang serta berdasarkan bukti-

bukti yang telah diberikan oleh para di depan persidangan.

2. Pembuktian

Dalam perkara perdata di pengadilan yang memiliki peranan penting adalah

mengenai bagaimana seorang yang berperkara itu dapat membuktikan bahwa dalil-dalil

yang dikemukakan tersebut adalah benar adanya.9 Seperti yang dijelaskan dalam Pasal

163 HIR dan Pasal 1865 KUH Perdata bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia

mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah

suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya

hak atau peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, hukum pembuktian hanya berlaku dalam

perkara yang mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam

sengketa tersebut,10 atau dengan maksud lain pembuktian dapat diartikan sebagai upaya

memberi kepastian dalam arti yuridis, memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim

tentang kebenaran dari suatu peristiwa yang diajukan oleh pihak yang berperkara secara

formil, artinya terbatas pada bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan.11

9 Hennny Mono, “Praktik berperkara Perdata”, (Malang : banyumedia Publishing, 2007), h. 87.10 Hari Sasangka, “Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata”, (Bandung : Mandar Maju, 2005), h. 3.11 Sophar Maru Hutagalung, “Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani perkara di Pengadilan” (Jakarta :

Sinar Grafika, 2010), h. 81.

10

Dalam proses perkara gugatan atupun permohonan, beban pembuktian dapat

ditujukan Penggugat, Tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Prinsip

dasarnya, siap yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Karena tujuan

dari pembuktian ini adalah untuk menetapkan hukum di antara kedua belah pihak yang

menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai

keadilan.12

Pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara adalah salah satu bagian

dari jalannya persidangan di Pengadilan, hal ini diatur dalam undang-undang yang

mengatur tentang hukum acara, yaitu :

a. Pasal 162 – 177 HIR;

b. Pasal 1865 – 1945 KUH Perdata;

c. Staatsblad 1867 Nomor 29.

Disini hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara

yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya atau kurang jelas

(Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Oleh karena

itu, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat. Akan tetapi, apabila hakim menjumpai kesulitan di dalam praktiknya, maka

harus hakim mencari pemecahan masalah dengan jalan :

a. Doctrin/ajaran;

b. Yurisprudensi13

Sesuatu yang harus dibuktikan oleh seseorang adalah hal-hal yang menjadi

perselisihan, yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau

12 Henny, “Praktik Berperkara”, h. 88.13 Hari, “Hukum Pembuktian”, h.25.

11

dibantah oleh pihak lain. Akan tetapi, apabila perkara yang diajukan oleh satu pihak dan

diakui oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan karena tidak adanya perselisihan di

dalamnya. Begitu juga tidak perlu adanya pembuktian apabila perkara yang diajukan oleh

salah satu pihak dan meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh pihak lain tetapi juga

tidak disangkal oleh pihak lain tersebut. Sebab, dalam hukum acara perdata sikap tidak

menyangkal dipersamakan dengan mengakui.14

Dalam proses pembuktian pengadilan berwenang membebankan kepada para pihak

untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara seadil-adilnya. Bahkan pengadilan juga

memberikan bimbingan dalam hal mengajukan pembuktia, sehingga pembuktian tersebut

dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Adapun bukti yang diajukan oleh salah stu

pihak, kepada pihak lainnya harus diberi kesempatan untuk menilai dan mengajukan

pendapatnya terhadapalat bukti tersebut, karena suatu gugatan dikabulkan hanya

didasarkan pada alat-alat bukti yang sah, yakni alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh

undang-undang.15 Macam-macam alat bukti tersebut terdapat dalam Pasal 164 HIR, dan

Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu :

a. Alat bukti tertulis;

b. Alat bukti saksi;

c. Alat bukti persangkaan;

d. Alat bukti pengakuan;

e. Alat bukti sumpah.

Alat bukti lain yang tidak disebutkan dalam undang-undang adalah :

a. Foto, film, rekaman video/tape/CD;

14 R. Subekti, “Hukum Acara Perdata”, (Bandung : Binacipta, 1989), h. 82.15 Sophar, “Praktik Peradilan”, h. 82.

12

b. Microfilm, microfische.

Menurut surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor

37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988 tentang alat bukti, bahwa microfilm atau

microfische dapat dijadikan alat bukti surat (tertulis) dengan catatan apabila bukti

tersebut bisa dijamin outentiknya yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita

acara. Hal tersebut berlaku terhadap perkara-perkara pidana atau perdata. Sesuai dengan

pendapat Mahkamah Agung tersebut, maka alat bukti dapat bersifat kata-kata yang

diucapkan dalam persidangan yang meliputi, keterangan saksi; bersifat surat; atau juga

alat bukti yang berupa material dan barang fisik lainnya. Misalnya film, foto, dan

sebagainya.16

3. Putusan Pengadilan

Salah satu tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan

dari hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat

diubah lagi.17 Sedangkan yang dimaksudkan denga putusan pengadilan adalah

merupakan pernyataan hakim untuk menyelesaikan atau mengakhiri pekara yang

disengketakan dan diucapkan dimuka persidangan serta terbuka untuk umum.18

Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat serta

alat pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan, maka majelis hakim

bermusyawarah tentang apa yang akan diputuskan terhadap perkara yang sedang

diperiksa. Putusan pengadilan itu diharapkan menghasilkan suatu keadilan bagi para

pihak atas kepentingannya yang diminta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim tersebut.

Oleh sebab itu, bagi para hakim dalam mengadili suatu perkara yang dipentingkan adalah

16 Hari, “Hukum Pembuktian”, h. 41.17 Subekti, “Hukum”, h. 124.18 Hari, “Hukum Pembuktian”, h. 141.

13

fakta atau peristiwanya, bukan hukumnya. Peraturan hukumnya dinilai sebagai suatu alat,

sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.19

Di dalam mengambil putusan, majelis hakim berpedoman pada isi ketentuan Pasal

178 HIR, yaitu :

a. Wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah

pihak, artinya hakim wajib menyebutkan dasar hukum dan alasan hukum di dalam

mempertimbangkan putusannya. Apabila para pihak tidak memberikan dasar hukum,

maka hakim wajib memberi dasar hukum, baik hukum tertulis atau tidak tertulis serta

alasan hukum dalam putusannya.

b. Wajib mengadili segala tuntutan artinya dalam mengadili hakim tidak boleh sampai

lupa mempertimbangkan segala tuntutan. Apabila salah satu tuntutan belum diputus

tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya itu adalah merupakan salah satu alasan dari

peninjauan kembali, meliputi tuntutan dalam gugatan konvensi dan gugatan

rekonvensi.

c. Tidak diperkenankan untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat

atau melebihi apa yang digugat. Apabila hakim memutus suatu perkara yang tidak

dituntut atau melebihi apa yang dituntut akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Menurut ketentuan Pasal 179 HIR bahwa putusah hakim harus dibacakan di dalam

sidang yang terbuka untuk umum (sesuai Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009).

Apabila ketentuan tersebut dilangga, maka akan mengakibatkan ptusan tersebut tidak sah

dan tidak mempunyai kukuatan hukum. Jika dari kedua belah pihak atau salah satu pihak

tidak dapat hadir pada saat dibacakan putusan, maka atas perintah Ketua Majelis putusan

19 Sophar, “Praktik Peradilan”, h. 95.

14

tersebut harus diberitahukan kepada kedua belah pihak atau salah satu pihak yang tidak

hadir.

Adapun susunan dan isi putusan hakim adalah berdasarkan Pasal 183, 184, 187 HIR;

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

yang terdiri atas sebagai berikut :

a. Kepala putusan, disini terdapat kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”

b. Para pihak baik pihak Penggugat dan Tergugat beserta dengan identitas para pihak

yang meliputi nama, umur, alamat, dan pekerjaan.

c. Tentang duduk perkara yang memuat apa saja yang terjadi dalam persidangan di

pangadilan. Disini memuat gugatan, jawaban, alat-alat bukti (surat dan saksi).

d. Tentang hukumnya, ini merupakan pertimbangan hukm terhadap gugatan dan

jawaban dari para pihak. Menurut ketentuan Pasal 184 HIR/Pasal RBg berisi

tentang :

1) Ringkasan gugatan dan jawaban dari dalil gugatan dan jawaban tersebut, kemudian

disimpilkan dalil yang diakui oleh Tergugat dan dalil yang ditolak oleh Tergugat;

2) Alasan-alasan yang mendasari putusan tersebut;

3) Hukum tertulis harus disebutkan dengan jelas;

4) Keputusan tersebut ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera Pengganti

e. Amar putusan, merupakan jawaban dari gugatan Penggugat baik konvensi maupun

rekonvensi, serta dalam amar putusan tersebut juga meliputi eksepsi. Isi amar

putusan tersebut dalam pokok perkara bisa :

1) Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;

15

2) Menyatakan gugatan ditolak;

3) Menyatakan gugatan dikabulkan sebagian;

4) Menyatakan guagatan dikabulkan seluruhnya.20

G Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jika dilihat dari tema yang diangkat yaitu masalah proses beracara di Pengadilan,

yang mana sumbernya berasal dari informan, Sehingga jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Adapun data penelittian ini bersifat

deskriptif dan bertujuan untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang Pandangan

Hakim Pengadilan Agama di Mojokerto Terhadap Penggabungan Tahap Pembuktian dan

Tahap Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jika

ditinjau dari data yang diperoleh, maka pendekatan kualitatif ini menghasilkan data

deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan maupun perilaku seseorang yang

diteliti yang dituangkan dalam bentuk paparan data. Disisi lain peneliti juga mengkaji

literatur-literatur tentang pendapat hakim yang menggabungkan antara tahap

pembuktian dan tahap putusan dalam satu waktu sidang.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjadi sasaran peneliti dalam penelitian ini bertempat di Pengadilan

Agama Mojokerto, tepatnya di jalan Prajurit Kulon No. 17 Mojokerto Kode Pos 61361.

20 Hari, “Hukum Pembuktian”, h. 143.

16

4. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a) Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang disusun dari

pengumpulan data lapangan dalam pelaksanaan penelitian lapangan, yang dilakukan

dengan menggunakan metode wawanacara (interview) dengan para informan yaitu

para hakim Pengadilan Agama Mojokerto yang mengetahui tentang proses

penggabungan dua tahapan, yakni antara tahap pembuktian dan tahap putusan sidang.

b) Data Sekunder

Data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dikumpulkan dari berbagai

tulisan, baik yang berupa laporan dari hasil penelitian sebelumnya maupun tulisan

dan karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang membahas permasalahan terkait proses

beracara di depan persidangan, demikian juga pendapat para pakar mengenai hukum

beracara. Semua data sekunder diharapkan dapat menjadi penunjang data primer.

5. Metode Pengumpulan Data

Dalam proses memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian kali ini

peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a) Wawancara (Interview)

Metode wawancara yang digunakan oleh peneliti kepada informan adalah

wawancara yang mendalam dengan menggunakan kisi-kisi pertanyaan. Dalam proses

wawancara berlangsung, peneliti menyempaikan pertanyaan-pertanyaan sesuai yang

dibutuhkan untuk memperoleh data. Wawancara yang dilakukan semi formal yaitu

17

menggunakan pokok masalah yang diingikan, kemudian dikembangkan dengan

pertanyaan lain yang sesuai dengan pembicaraan terkait penelitian.

b) Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada

subjek penelitian. Dokumen dapat berupa catatan pribadi, surat pribadi, buku harian,

laporan kerja, notulen rapat, catatan kasus, rekaman kaset, rekaman video, foto dan

lain sebagainya. Penulis menggunakan metode dokumentasi ini untuk mendapatkan

data serta informasi yang diperoleh berdasarkan data-data dari perangkat-perangkat

setempat. Dalam metode dokumentasi penelitian menggunakan catatan pribadi,

rekaman hasil wawancara, dan foto pada waktu wawancara.

6. Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data menjelaskan prosedur pengolahan dan analisis data sesuai

dengan pendekatan yang digunakan. Pengolahan data biasanya dilakukan melalui tahap-

tahap :

a) Pemeriksaan data (editing)

Yaitu proses penelitian kembali terhadap catatan, berkas-berkas, informasi yang

dikumpulkan oleh pencari data.21 Dalam hal ini peneliti meng-edit data dari hasil

penelitian yang didapatkan oleh peneliti dari proses wawancara ataupun

dokumentasi, dengan tujuan agar lebih mudah dalam melakukan penelaahan terhadap

data yang telah dikumpulkan.

b) Pengelompokan Data (Classifying)

Pada penelitian ini, setelah proses editing atas data-data yang dikumpulkan dari

informan atau para hakim telah selesai, kemudian data-data dari proses wawancara

21 Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 45.

18

atau dokumentasi tersebut diklasifikasikan berdasarkan kategori data-data penelitian

yang sesuai dengan tema peneliti yaitu tahap pembuktian dan tahap putusan yang

digabung dalam satu waktu sidang, dengan tujuan agar lebih fokus dengan penelitian

yang sedang dilakukan dan tidak meluas dari pembahasan penelitian, serta data yang

telah diperoleh benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.22

c) Pemeriksaan Data (Verifying)

Kemudian langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah pemeriksaan

(Verifying) data yaitu mengecek kembali data-data yang diperoleh dari hasil

wawancara serta dokumentasi sudah terkumpul dan sudah diklasifikasikan sesuai

tema peneliti. Proses verifikasi ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan data

memang benar-benar sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti,

dengan cara memberikan hasil wawancara kepada informan untuk ditanggapi atas

data tersebut bahwa informasi yang diperoleh peniliti sudah sesuai.

d) Analisis Data (Analayzing)

Langkah selanjutnya adalah menganalisis data-data yang sudah terkumpul

kemudian mengkaitkan antara data-data yang sudah terkumpul dari proses

pengumpulan data yaitu melalui wawancara dengan bersumber data seperti buku-

buku Ensiklopedi, undang-undang, jurnal dan lain sebagainya untuk memperoleh

hasil yang lebih efisien dan sempurna sesuai dengan yang peneliti harapkan. Metode

analisis yang dipakai penulis adalah deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang

menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat,

kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan,23 atau

22 Lexy J. Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitati Edisi Revisi”, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2008), h. 104.23 LKP2M, Research Book For Lkp2m (Malang: Universitas Islam Negeri (UIN)Malang, 2005), h. 60.

19

disebut dengan teknik analisis data. Adapun teknik analisis dalam penelitian ini

adalah dengan cara menguraikan tentang Pandangan Hakim Terhadap Penggabungan

Tahap Pembuktian dan Tahap Putusan Sidang Dalam Satu Waktu Sidang (Studi di

Pengadilan Agama Mojokerto).

e) Kesimpulan (Conclusion)

Setelah proses analisa data selesai, maka dilakukan kesimpulan dari analisis data

untuk menyempurnakan penelitian tersebut, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu

jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan, dengan cara membuat poin-poin yang

menghasilkan gambaran yang jelas, ringkas dan mudah untuk dipahami.

H Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh sebuah karya ilmiah yang terarah dan sistematis, maka perlu

disusun sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini, ada lima sistematika, yaitu: Bab I

yang merupakan awal dari penyusunan penelitian, dalam bab ini memuat tentang latar

belakang masalah, yang diambil yaitu sebuah rangkuman yang mengupas tentang faktor-

faktor yang melatarbelakangi bahwa masalah ini perlu dan penting untuk diadakan

penelitian. Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, akan memunculkan

beberapa pertanyaan yang terkait hal tersebut, maka peneliti mencantumkan beberapa

pertanyaan tersebut dalam poin rumusan masalah. Dari rumusan masalah yang akan

peneliti bahas, memiliki tujuan yang tercantum dalam tujuan penelitian. Selain itu, juga

memiliki manfaat yang tercantum dalam manfaat penelitian yang memuat tentang

manfaat penelitian bagi peneliti khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya serta

20

sistematika penelitian yang menjadikan gambaran dasar dan alur penelitian akan dapat

dipahami dengan jelas.

Selanjutnya, dalam bab II juga memaparkan tentang kajian pustaka yang berisi

tentang penelitian terdahulu, yang berfungsi sebagai tolak ukur perbedaan masalah yang

dikaji supaya peneliti tidak dianggap menjiplak peneliti orang lain. Dalam bab ini, juga

terdapat kerangka teori yang membahas secara sekilas tentang teori-teori penelitian yang

akan dilakukan. Dalam kerangka teori ini peneliti memasukan tentang proses tahapn

beracara, pengertian pembuktian dan putusan, manfaat dan tujuan pembuktian tujuan, dan

lain sebagainya. Kerangka teori tersebut nantinya dipergunakan untuk rujukan penelitian

dalam menganalisa permasalahan yang sedang diteliti.

Pada bab III, memaparkan tentang metode penelitian. Metode penelitian ini bertujuan

untuk memudahkan peneliti untuk mengkaji dan menganilis data yang diperoleh. Dalam

metode penelitian ini mencakup beberapa poin-poin penting, yaitu jenis penelitian,

pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan

data, dan metode pengolahan data. Manfaat dari bab ini adalah untuk mengetahui metode

yang digunakan dalam proses penelitian tersebut.

Pada bab IV, menjelaskan atau menjawab tentang hasil penelitian dan pembahasan

dengan mengacu pada teori-teori yang sedah dipaparkan, yang mana dalam penelitian

adalah mengenai penggabungan antara tahap pembuktian dan tahap putusan sidang dalam

satu waktu sidang, serta menguraikan data-data lapangan yang diperolah selama

penelitian atau wawancara, memaparkan tentang analisis data yang berisi tentang

penyajian hasil analisis, yang mana hasil dari analisis disesuaikan dengan rumusan

21

masalah, yang bertujuan untuk mengetahui pendapat para hakim terkait penggabungan

tahap pembuktian dan tahap putusan sidang.

Bab V, merupakan bab terakhir yang berisi Kesimpulan dan Saran. Dalam

kesimpulan menegaskan kembali mengenai penelitian ini dengan memahaminya secara

konkrit dan utuh. Sehingga dalam kesimpulan ini penulis mencoba memperjelas dengan

sesingkat mungkin jawaban dari rumusan masalah. Sehingga lebih memudahkan

pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini tanpa harus membaca keseluruhannya.

Sedangkan saran memuat beberapa anjuran bagi akademik baik bagi masyarakat maupun

bagi peneliti selanjutnya, guna untuk memberi masukan kepada orang-orang yang

bersangkutan.

22

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zainal Asikin. “Pengantar Metode Penelitian Hukum”. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Harahap, M. Yahya. “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.

Hutagalung, Sophar Maru. “Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani perkara di Pengadilan”. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

LKP2M, Research Book For Lkp2m. Malang: Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2005.

Manan, H. Abdul. “Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama”. Jakarta: Kencana, 2006.

Moleong, Lexy J. “Metodologi Peneitian Kualitatif Edisi Revisi”. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. 2008.

Mono, Hennny. “Praktik berperkara Perdata”. Malang : Banyumedia Publishing, 2007.

Mujahidin, Ahmad. “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama”. Bogor : Ghalia Indonesia, 2012.

R. Subekti. “Hukum Acara Perdata”. Bandung : Binacipta, 1989.

Sasangka, Hari. “Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata”. Bandung : Mandar Maju, 2005.

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

23