contoh pasca laarva.pdf

57
PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon ASRI SUTANTI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Upload: aan-didian

Post on 28-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: contoh pasca laarva.pdf

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b

MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon

ASRI SUTANTI

SKRIPSI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 2: contoh pasca laarva.pdf

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-bMELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAPPERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVAUDANG WINDU Penaeus monodon

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan merupakan bagian dari penelitianHibah Bersaing dengan judul: Bakteri probiotik dalam budidaya udang:seleksi, mekanisme aksi, karakterisasi dan aplikasinya sebagai agenbiokontrol. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip darikarya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkandalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009

ASRI SUTANTIC14104064

Page 3: contoh pasca laarva.pdf

RINGKASAN

ASRI SUTANTI. Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b Melalui

Artemia dengan Dosis yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan

Hidup Pasca Larva Udang Windu Penaeus monodon. Dibimbing oleh

WIDANARNI dan YANI HADIROSEYANI

Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu komoditas ekspor

unggulan sektor perikanan. Namun dalam perkembangannya, produksi udang

windu di Indonesia mengalami penurunan karena menurunnya kualitas

lingkungan budidaya dan meningkatnya serangan penyakit. Salah satu penyakit

yang sering menyerang dan dapat menyebabkan kematian masal pada udang

windu adalah penyakit vibriosis atau penyakit udang menyala yang disebabkan

oleh bakteri Vibrio harveyi. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak

selalu efektif untuk mengatasi masalah tersebut bahkan dapat menimbulkan

masalah baru yang lebih berbahaya. Upaya yang akhir-akhir ini banyak

dilakukan adalah dengan aplikasi probiotik karena dianggap lebih aman dan

ramah lingkungan. Salah satu bakteri probiotik yang telah diuji mampu

meningkatkan kelangsungan hidup larva udang windu dalam melawan serangan

bakteri patogen V. harveyi adalah Vibrio SKT-b yang diisolasi dari

Skeletonema. Pemberian bakteri probiotik dapat diberikan langsung ke dalam

media pemeliharaan udang, melalui pakan buatan atau pakan alami seperti

Artemia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bakteri

probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda terhadap

pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca larva udang windu.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen

Budidaya Perairan pada bulan Juli-Desember 2008. Hewan uji yang digunakan

adalah udang windu stadia pasca larva (PL) 10. Penelitian ini dilakukan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3

ulangan yaitu PL udang diberi pakan Artemia yang telah diberi bakteri probiotik

Vibrio SKT-b dengan dosis yang berbeda. Pemberian pakan dilakukan 4 kali

Page 4: contoh pasca laarva.pdf

sehari yaitu pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB. Pakan yang

diberikan adalah naupli Artemia yang telah diperkaya dengan bakteri probiotik

Vibrio SKT-b. Pengkayaan dilakukan dengan cara menambahkan bakteri

probiotik Vibrio SKT-b pada naupli Artemia dalam media air laut. Kepadatan

naupli adalah 100 individu/ml. Lama pengkayaan adalah 4 jam. Dosis bakteri

probiotik yang digunakan adalah 0 CFU/ml (sebagai kontrol), 103 CFU/ml (A),

104 CFU/ml (B), 105 CFU/ml (C), dan 106 CFU/ml (D). Untuk mengetahui

kandungan nutrisi pada naupli Artemia yang telah diperkaya dilakukan analisis

proksimat. Pemeliharaan pasca larva udang windu dilakukan pada wadah

berbentuk tabung yang terbuat dari kaca dan diisi dengan air laut 2 liter serta

kepadatan 10 ekor/liter. Pada awal dan akhir pemeliharaan dilakukan pengukuran

panjang dan bobot larva udang windu, penghitungan jumlah bakteri pada tubuh

larva udang windu dan air media pemeliharaan, serta pengukuran kualitas air.

Data pertumbuhan dan kelangsungan hidup dianalisis dengan uji ANOVA dan

diuji lanjut dengan Uji Duncan jika hasil uji berbeda nyata.

Laju pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udang windu

memperlihatkan peningkatan dengan semakin meningkatnya dosis bakteri

probiotik pada pakan yang diberikan. Laju pertumbuhan panjang dan bobot pada

perlakuan kontrol, A, B, C, dan D secara berturut-turut adalah 4.59 %, 4.84 %,

4.90 %, 5.16 %, 5.59 % untuk laju pertumbuhan panjang dan 18.69 %, 19.23 %,

19.45 %, 20.75 % , 22.53 % untuk laju pertumbuhan bobot. Tingkat kelangsungan

hidup pada perlakuan kontrol, A, B, C, D secara berturut-turut adalah 98.3 %, 100

%, 96.7 %, 95 % dan 95 %. Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95 %

menunjukkan bahwa pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia

dengan dosis yang berbeda berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan panjang

dan bobot, namun tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup.

Hasil yang terbaik diperoleh pada perlakuan D (106 CFU/ml) dibandingkan

dengan kontrol dan perlakuan lainnya.

Page 5: contoh pasca laarva.pdf

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b

MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon

ASRI SUTANTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana PerikananPada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 6: contoh pasca laarva.pdf

SKRIPSI

Judul : Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-bMelalui Artemia dengan Dosis yang Berbeda terhadapPertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca LarvaUdang Windu Penaeus monodon

Nama Mahasiswa : Asri Sutanti

Nomor Pokok : C14104064

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Widanarni Ir. Yani Hadiroseyani, MMNIP: 19760927 199403 2 001 NIP: 19600131 198603 2 002

Diketahui,Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya. M.ScNIP: 19610410 198601 1 002

Tanggal Lulus :

Page 7: contoh pasca laarva.pdf

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul

”Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b Melalui Artemia dengan

Dosis yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca Larva

Udang Windu Penaeus monodon” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Dr.

Widanarni selaku dosen pembimbing pertama dan pembimbing akademik yang

telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan bantuan kepada penulis selama

penelitian dan penyusunan skripsi ini; Ir. Yani Hadiroseyani, MM selaku dosen

pembimbing kedua yang banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam

penyusunan skripsi ini; Julie Ekasari, S.Pd, M.Sc selaku dosen penguji tamu yang

telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Tidak lupa

penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua dan keluarga besar

penulis atas doa dan kasih sayang serta dukungan yang diberikan selama penulis

menyelesaikan skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak

Ranta selaku teknisi laboratorium, teman-teman BDP ’41, serta rekan-rekan di

Laboratorium Kesehatan Ikan yang telah banyak membantu penulis atas segala

hal.

Penulis menyadari bahwa hasil karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu penulis berharap adanya kritikan dan masukan dari semua pihak demi

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi kita semua. Amin.

Bogor, September 2009

Penulis

Page 8: contoh pasca laarva.pdf

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kulon Progo 16 Maret 1985. Penulis merupakan

anak ke-lima dari lima bersaudara dari Ayah Sagi Ranuwiryanto dan Ibu Suparti.

Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMU Negeri 1 Wates lulus

tahun 2003. Penulis memasuki Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB

(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2004 dan memilih Program

Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan.

Penulis telah melakukan praktek lapang pembenihan ikan mas Cyprinus

carpio di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Punten, Malang dan pembesaran udang

vanname Penaeus vannamei di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo,

Jawa Timur pada tahun 2007. Penulis juga menjadi asisten praktikum pada mata

kuliah Dasar-Dasar Mikrobiologi Akuatik (2006-2008), Nutrisi Ikan (2006-2008),

dan Teknologi Produksi Pakan Alami (2007-2008).

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Pemberian Bakteri

Probiotik Vibrio SKT-b Melalui Artemia dengan Dosis yang Berbeda

terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang

Windu Penaeus monodon ”.

Page 9: contoh pasca laarva.pdf

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iDAFTAR TABEL............................................................................................... iiiDAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ivDAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... v

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 11.2 Tujuan....................................................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Biologi Udang Windu Penaeus monodon ............................................... 32.2 Artemia ..................................................................................................... 52.3 Probiotik dalam Akuakultur ..................................................................... 62.4 Vibrio SKT-b............................................................................................ 72.5 Kualitas Air .............................................................................................. 8

III. BAHAN DAN METODE3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................... 103.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 10

3.2.1 Alat .................................................................................................. 103.2.2 Bahan............................................................................................... 10

3.2.2.1 Media Pemeliharaan Udang Windu ......................................... 103.2.2.2 Udang Windu ........................................................................... 103.2.2.3 Bakteri ...................................................................................... 113.2.2.4 Artemia ..................................................................................... 113.2.2.5 Media Kultur Bakteri ............................................................... 11

3.3 Metode Penelitian..................................................................................... 123.3.1 Pengukuran Konsentrasi Bakteri ..................................................... 123.3.2 Pengkayaan Artemia dengan Bakteri Vibrio SKT-b ....................... 123.3.3 Percobaan Probiotik pada Udang .................................................... 133.3.4 Penghitungan Total Vibrio .............................................................. 13

3.3.4.1 Vibrio pada Udang Windu........................................................ 133.3.4.2 Vibrio pada Media Pemeliharaan Udang ................................. 133.3.4.3 Vibrio pada Artemia ................................................................. 14

3.4 Parameter Pengamatan ............................................................................. 143.4.1 Pertumbuhan Udang (α) .................................................................. 143.4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup Udang.............................................. 143.4.3 Kualitas Air ..................................................................................... 153.4.4 Analisis Proksimat Artemia............................................................. 153.4.5 Jumlah Total Bakteri Vibrio ............................................................ 15

3.5 Rancangan Percobaan .............................................................................. 15

Page 10: contoh pasca laarva.pdf

ii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil ......................................................................................................... 164.2 Pembahasan.............................................................................................. 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 Kesimpulan............................................................................................... 284.2 Saran......................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29LAMPIRAN ........................................................................................................ 32

Page 11: contoh pasca laarva.pdf

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hasil analisa proksimat Artemia pada semua perlakuan.............................. 22

2. Nilai parameter kualitas air selama pemeliharaan pasca larva udangwindu Penaeus monodon ............................................................................. 23

Page 12: contoh pasca laarva.pdf

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Panjang rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodon pada dosispemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan ................... 16

2. Laju pertumbuhan panjang pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis pemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan . 17

3. Bobot rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodon pada dosispemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan ................... 18

4. Laju pertumbuhan bobot pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis pemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan . 19

5. Tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis pemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan . 20

6. Jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan pasca larva udang winduPenaeus monodon ........................................................................................ 20

7. Jumlah total Vibrio dalam tubuh pasca larva udang windu Penaeusmonodon ...................................................................................................... 21

8. Jumlah total Vibrio pada Artemia................................................................. 22

Page 13: contoh pasca laarva.pdf

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lay out wadah pemeliharaan pasca larva udang windu Penaeus monodonselama pemeliharaan .................................................................................... 32

2. Komposisi dan cara pembuatan media untuk kultur bakteri ........................ 33

3. Metode pengenceran serial menggunakan tabung reaksi dan penyebaranpada media agar............................................................................................ 35

4. Prosedur penghitungan bakteri dengan menggunakan metode cawansebar (Hadioetomo,1993) ............................................................................. 36

5. Metode pengkayaan Artemia dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b ........ 37

6. Data sampling pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 38

7. Data kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeus monodonselama pemeliharaan .................................................................................... 39

8. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan panjang pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan........................................... 40

9. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan panjang pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 40

10. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan bobot pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan........................................... 41

11. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan bobot pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 41

12. Hasil analisa sidik ragam kelangsungan hidup pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 42

13. Hasil uji lanjut kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeusmonodon selama pemeliharaan .................................................................... 42

14. Kelimpahan total Vibrio pada air media pemeliharan pasca larva udangwindu Penaeus monodon .............................................................................. 43

15. Kelimpahan total Vibrio pada pasca larva udang windu Penaeusmonodon ........................................................................................................ 44

Page 14: contoh pasca laarva.pdf

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu komoditas ekspor

unggulan sektor perikanan. Namun dalam perkembangannya, produksi udang

windu di Indonesia mengalami berbagai masalah yang disebabkan oleh

menurunnya kualitas lingkungan budidaya dan meningkatnya serangan penyakit.

Salah satu penyakit yang sering menyerang dan dapat menyebabkan kematian

masal pada udang windu adalah penyakit vibriosis atau penyakit udang menyala

yang disebabkan oleh bakteri patogen Vibrio harveyi (Lavilla-Pitogo et al.,

1990).

Beberapa cara pengendalian sudah dilakukan seperti yang telah umum

diterapkan yaitu penggunaan antibiotik dan bahan kimia, namun cara ini tidak

selalu efektif untuk mengatasi masalah tersebut bahkan dapat menimbulkan

masalah baru yang lebih berbahaya. Menurut Moriarty (1999) penggunaan

antibiotik untuk membunuh bakteri menimbulkan strain patogen yang resisten

terhadap antibiotik.

Upaya yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah dengan aplikasi

probiotik karena dianggap lebih aman dan ramah lingkungan. Menurut

Verschuere et al., (2000) probiotik merupakan agen mikrob hidup yang

memberikan pengaruh menguntungkan pada inang dengan memodifikasi

komunitas mikrob atau berasosiasi dengan inang, menjamin perbaikan dalam

penggunaan pakan atau memperbaiki nutrisinya, memperbaiki respon inang

terhadap penyakit, atau memperbaiki kualitas air lingkungan ambangnya.

Salah satu bakteri probiotik yang telah diuji mampu meningkatkan

kelangsungan hidup udang windu dalam melawan serangan bakteri patogen V.

harveyi adalah Vibrio SKT-b (Widanarni et al., 2003). Bakteri Vibrio SKT-b

juga telah diuji mampu meningkatkan respon imun (Syahailatua, 2009) dan

pertumbuhan udang (Widanarni et al., 2008a; Praditia, 2009).

Aplikasi pemberian bakteri probiotik dapat diberikan langsung ke dalam

media pemeliharaan udang (Haryanti et al., 2000; Muliani et al., 2003), melalui

Page 15: contoh pasca laarva.pdf

2

pakan buatan (Rengpipat et al., 1998a; Rengpipat et al., 2000) atau pakan alami

seperti Artemia (Rengpipat et al., 1998b; Widanarni et al., 2008a).

Bakteri kandidat probiotik yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah bakteri Vibrio SKT-b yang diisolasi dari Skeletonema oleh Widanarni et

al., (2003). Penelitian sebelumnya mengenai aplikasi penggunaan bakteri Vibrio

SKT-b langsung ke media pemeliharaan pada dosis tertentu terbukti mampu

meningkatkan kelangsungan hidup larva udang windu (Widanarni et al., 2008b).

Aplikasi penggunaan bakteri Vibrio SKT-b yang dicampur dengan pakan buatan

oleh Praditia (2009) dan melalui pakan alami seperti Artemia (Widanarni et al.,

2008a) mampu meningkatkan pertumbuhan udang windu. Akan tetapi, dosis

penggunaan bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia yang efektif

terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang windu belum begitu

jelas. Sehingga hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bakteri

probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda terhadap

pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeus

monodon.

Page 16: contoh pasca laarva.pdf

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Windu Penaeus monodon

Sistem klasifikasi udang windu menurut Fabricus (1798) diacu dalam

Barnes (1980) adalah sebagai berikut:

Phylum : Arthropoda

Class : Crustacea

Sub class : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Sub ordo : Natantia

Family : Panaeidae

Genus : Penaeus

Species : Penaeus monodon

Secara morfologi, tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian yaitu

bagian kepala hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor.

Bagian kepala dada disebut cephalothorax, dibungkus kulit kitin yang tebal yang

disebut carapace. Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan

8 segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson (Murtidjo, 2003).

Bagian kepala-dada terdapat anggota-anggota tubuh lain yang berpasang-

pasangan berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennulla),

sirip kepala (Scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibulla), alat-alat

pembantu rahang (maxilla) yang terdiri dari dua pasang maxilliped yang terdiri

atas tiga pasang, dan kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang, tiga

pasang kaki jalan yang pertama ujung-ujungnya bercapit yang dinamakan chela

(Suyanto dan Mudjiman, 2003). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang

(pleopoda). Pada ruas ke enam kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi

ekor kipas (uropoda). Ujung ruas ke enam ke arah belakang membentuk ekor

(telson) (Suyanto dan Mudjiman, 2003).

Udang windu termasuk hewan heterosexual yaitu mempunyai jenis

kelamin jantan dan betina yang dapat dibedakan dengan jelas. Jenis udang windu

betina dapat diketahui dengan adanya telikum pada kaki jalan ke-4 dan ke-5.

Telikum berupa garis tipis dan akan melebar setelah terjadi fertilisasi. Sementara,

Page 17: contoh pasca laarva.pdf

4

jenis kelamin udang windu jantan dapat diketahui dengan adanya petasma yaitu

tonjolan di antara kaki renang pertama (Murtidjo, 2003).

Selama siklus hidupnya, larva udang windu mengalami beberapa

perubahan bentuk atau pergantian stadia. Perkembangan larva diawali dari stadia

nauplius yang terjadi setelah telur menetas. Menurut Shigueno (1975) telur udang

akan menetas menjadi naupli setelah 14-15 jam. Naupli masih mengandalkan

kuning telur sebagai sumber energi dan belum mengambil pakan dari luar.

Selanjutnya 30-35 jam kemudian naupli bermetamorfosis menjadi zoea. Naupli

yang baru menetas memiliki panjang tubuh 0.31-0.33 mm dengan proses

pergantian kulit sebanyak 6 kali (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1983).

Kuning telur mulai menipis pada stadia zoea, sehingga dibutuhkan diatom sebagai

makanannya. Setelah melalui 3 kali molting (4-5 hari), zoea berubah menjadi

mysis. Pada stadia mysis mengalami 3 kali molting (3-5) hari sampai mencapai

stadia pasca larva. Pasca larva mulai makan hewan kecil yang aktif berenang dan

pergerakannya lambat seperti Artemia. Larva udang sampai PL-5 masih bersifat

planktonik dan mulai besifat bentik pada stadia PL-6.

Udang windu bersifat omnivora dan seringkali bersifat kanibal karena

memakan udang yang sedang molting. Udang windu tergolong hewan nocturnal

karena sebagian besar aktifitasnya seperti makan dilakukan pada malam hari

(Murtidjo, 2003). Kulit udang windu tidak elastis dan akan berganti kulit selama

pertumbuhan. Frekuensi pergantian kulit ditentukan oleh jumlah dan kualitas

makanan yang dikonsumsi, usia dan kondisi lingkungan. Setelah kulit lama

terlepas udang windu dalam kondisi lemah karena udang baru belum mengeras.

Pada saat ini udang mengalami pertumbuhan sangat pesat diikuti dengan

penyerapan sejumlah besar air. Semakin cepat udang berganti kulit maka

pertumbuhannya semakin cepat pula (Murtidjo, 2003).

Page 18: contoh pasca laarva.pdf

5

2.2 Artemia

Artemia merupakan pakan alami yang sering digunakan sebagai pakan

larva organisme budidaya. Sistem klasifikasi Artemia menurut Barnes (1963)

adalah sebagai berikut:

Phylum : Arthropoda

Class : Crustacea

Sub class : Branchiopoda

Ordo : Anostraca

Family : Artemidae

Genus : Artemia

Species : Artemia salina

Artemia banyak ditemukan di danau-danau yang kadar garamnya sangat

tinggi sehingga disebut juga dengan brine shrimp. Secara umum Artemia dapat

hidup pada kisaran suhu 25 – 30 oC (Isnanstyo, 1995) dengan pH air yang netral

atau sedikit basa berkisar antara 7,5 – 8,5 (Mudjiman, 1989). Artemia juga

termasuk hewan euroksibion yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang

lebar akan kandungan oksigen bahkan pada kandungan oksigen 1 mg/l masih

dapat bertahan hidup. Selain itu Artemia juga masih bertahan hidup pada

kandungan amonia yang tinggi hingga 90 mg/l (Isnanstyo, 1995).

Menurut cara reproduksinya Artemia dibagi menjadi dua yaitu Artemia

yang bersifat biseksual dan Artemia yang bersifat partenogenetik. Reproduksi

secara biseksual terjadi dengan pembuahan dan partenogenetik terjadi tanpa

pembuahan. Perkembangbiakan secara biseksual maupun partenogenetik dapat

terjadi secara ovovivipar dan ovipar tergantung kondisi lingkungan terutama

salinitas. Pada ovovivipar yang dihasilkan induk adalah anak yang disebut

nauplius dan biasa terjadi pada kondisi lingkungan yang cukup baik. Sedangkan

dengan cara ovipar yang dihasilkan induk adalah berupa telur yang bercangkang

tebal yang disebut siste dan biasa terjadi bila kondisi lingkungan memburuk

(Isnanstyo, 1995).

Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Artemia dalam

mengambil makanan bersifat penyaring tidak selektif ( non-selective filter feeder),

sehingga apa saja yang dapat masuk mulut Artemia menjadi makanannya

Page 19: contoh pasca laarva.pdf

6

(Isnanstyo, 1995). Artemia dapat memakan makanan dengan ukuran makanannya

sampai 50 mikron. Di perairan alam, yang menjadi makanan Artemia antara lain

detritus bahan organik (sisa-sisa jasad hidup), ganggang-ganggang renik

(ganggang hijau, ganggang biru, dan ganggang merah), diatome, bakteri dan

cendawan (ragi laut) (Mudjiman, 1989).

Artemia yang baru menetas disebut juga dengan naupli. Naupli berwarna

orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang 400 mikron dan lebar 170 mikron

(Isnanstyo, 1995) sedangkan Artemia dewasa hampir menyerupai udang kecil

dengan ukuran 10 – 20 mm (Harefa, 2003). Siste Artemia akan menetas setelah

diaerasi selama 20 jam, naupli tersebut mempunyai bagian tubuh berwarna kuning

kecoklatan, sepasang mata berwarna merah terletak disekitar kepala, dan 3 pasang

apendiks, antena I (berfungsi sebagai sensor), antena II (sebagai alat gerak dan

penyaring makanan). Naupli Artemia yang baru menetas akan memasuki fase

instar I. Pada fase ini naupli Artemia belum makan karena sistem pencernaan

belum berkembang sempurna sehingga makanan masih berasal dari kuning telur.

Setelah 8 jam naupli akan berkembang menjadi fase instar II dimana naupli sudah

dapat menyaring makanan yang berukuran 1-50 mikron (Strottup dan Lesley,

2003).

Naupli Artemia memiliki kandungan gizi yang tinggi. Menurut Garcia-

Otega (1998) dalam Strottup dan Lesley (2003) hasil proksimat naupli Artemia

mengandung 56.2 % protein, 17.0% lemak, 3.6% karbohidrat, 0% serat kasar,

7.6% abu. Kandungan protein yang tinggi ini menyebabkan Artemia digunakan

sebagai pakan alami yang sulit digantikan dengan pakan yang lain.

2.3 Probiotik dalam Akuakultur

Probiotik menurut Fuller (1992) merupakan mikroba hidup yang

ditambahkan ke dalam pakan yang dapat memberikan efek menguntungkan bagi

hewan inang dengan cara memperbaiki keseimbangan mikrob ususnya. Pada

hewan akuatik, selain saluran pencernaan, air disekeliling organisme tersebut

memegang peranan penting. Dengan demikian probiotik untuk hewan akuatik

adalah agen mikro hidup yang memberikan pengaruh menguntungkan pada inang

dengan memodifikasi komunitas mikrob atau berasosiasi dengan inang, menjamin

Page 20: contoh pasca laarva.pdf

7

perbaikan dalam penggunaan pakan atau memperbaiki nutrisinya, memperbaiki

respon inang terhadap penyakit, atau memperbaiki kualitas air lingkungan

ambangnya (Verschuere et al., 2000).

Menurut Verschuere et al., (2000) mekanisme kerja probiotik meliputi;

produksi senyawa inhibitor, kompetisi untuk senyawa atau sumber energi yang

tersedia, kompetisi untuk pelekatan, peningkatan respon imun (kekebalan),

perbaikan kualitas air, interaksi dengan fitoplankton, sumber makro dan mikro

nutrien, dan kontribusi enzim untuk pencernaan.

Pada awalnya probiotik hanya diaplikasikan pada manusia dan hewan

ternak yang diberikan sebagai suplemen makanan. Namun, pada akhir tahun 1980

muncul aplikasi pertama mengenai kontrol biologi dalam akuakultur, dan sejak itu

penelitian tentang probiotik dalam akuakultur terus meningkat. Aplikasi

pemberian probiotik dapat ditambahkan dalam pakan atau tangki kultur dan kolam

untuk mencegah serangan infeksi atau patogen, dan seringkali diperoleh

keuntungan dari segi nutrisinya terutama jika diaplikasikan untuk organisme filter

feeder (Verschuere et al., 2000).

Beberapa peneliti telah mengaplikasikan penggunaan probiotik dalam

kegiatan budidaya udang baik diberikan langsung ke dalam media pemeliharaan

udang (Haryanti et al., 2000; Muliani et al., 2003), melalui pakan buatan

(Rengpipat et al., 1998a; Rengpipat et al., 2000) atau pakan alami seperti

Artemia (Rengpipat et al., 1998b; Widanarni et al., 2008a). Dari hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa penggunaan bakteri probiotik pada usaha budidaya

udang windu dapat meningkatkan laju pertumbuhan harian, kelangsungan hidup

dan menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga diperoleh kualitas produksi

udang windu yang lebih baik.

2.4 Vibrio SKT-b

Bakteri Vibrio SKT-b merupakan salah satu bakteri yang efektif

menghambat pertumbuhan Vibrio harveyi. Bakteri ini diisolasi dari Skeletonema

di Labuan, Banten dan bersifat gram negatif, berbentuk batang pendek, koloninya

berwarna kuning dengan tekstur lengket menempel pada media TCBS, berwarna

putih krem dan menyebar pada media SWC-agar, motil, dapat memanfaatkan

Page 21: contoh pasca laarva.pdf

8

glukosa dan sukrosa, tapi tidak laktosa serta memproduksi protease dan amilase,

tapi tidak memproduksi kitinase. Hasil karakterisasi fisiologi dan biokimia serta

analisa sekuen sebagian gen 16S-rRNA menunjukkan bahwa isolat SKT-b

termasuk spesies Vibrio alginolyticus. (Widanarni et al., 2003).

Vibrio alginolyticus telah banyak digunakan sebagai probiotik pada panti

pembenihan di Ekuador (Verschuere et al., 2000). Vibrio alginolyticus yang telah

diseleksi secara nyata tidak patogen diinokulasikan setiap hari ke dalam bak-bak

pemeliharaan larva Litopenaeus vannamei. Hasilnya tingkat kelangsungan hidup

dan berat larva udang lebih tinggi dibandingkan dengan larva udang yang diberi

perlakuan antibiotik oxytetracycline dan kontrol. Widanarni et al., (2008a) dalam

penelitiannya menggunakan Vibrio SKT-b yang diberikan melalui Artemia

hasilnya juga dapat meningkatkan laju pertumbuhan harian pada larva udang

windu. Selain itu hasil pengujian terhadap patogenisitas Vibrio SKT-b pada

Artemia dan pasca larva udang windu mendapatkan hasil bahwa penggunaan

Vibrio SKT-b aman bagi individu tersebut.

2.5 Kualitas Air

Dalam budidaya udang air memegang peranan yang sangat penting baik

kualitas maupun kuantitasnya. Faktor lingkungan utama yang mempengaruhi

kehidupan udang windu antara lain oksigen terlarut (DO), suhu, pH, salinitas,

amoniak, dan nitrit.

Suhu merupakan faktor pembatas bagi kegiatan budidaya karena mampu

mempengaruhi berbagai reaksi fisika dan kimia di lingkungan dan tubuh udang.

Untuk tumbuh dan berkembang udang windu memiliki batas toleransi. Batas atas

toleransi udang windu adalah 37.5 oC dan batas bawah toleransi nya adalah 12 oC

(Pillay dan Kutty, 2005). Menurut Sumeru dan Suzy Anna (1992) suhu optimum

untuk pertumbuhan udang windu adalah 28-300 C.

Udang windu bersifat euryhaline sehingga bisa hidup pada kisaran

salinitas yang cukup luas, yaitu 3-45 ppt. Namun pada salinitas >40 ppt udang

mengalami pengerasan eksoskeleton yang dapat mengakibatkan gagal molting

(ganti kulit) (Kordi dan Tancung, 2007). Larva udang sebaiknya dipelihara dalam

Page 22: contoh pasca laarva.pdf

9

air yang bersalinitas 28-35 ppt untuk mendapatkan pertumbuhan optimalnya

(Boyd, 1991).

Persediaan oksigen yang cukup dalam air sangat menentukan kehidupan

udang. Menurut Boyd (1991) konsentrasi oksigen kurang dari 1 mg/l akan

mengakibatkan kematian apabila berlangsung dalam beberapa jam. Kelarutan

oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu dan slinitas, semakin tinggi suhu dan

salinitas maka kelarutan oksigen akan berkurang (Boyd, 1991). Kandungan

oksigen terlarut yang optimal untuk pertumbuhan udang adalah 5 mg/l (Heryadi,

1993).

pH memiliki peranan yang penting dalam proses fisiologi udang windu.

Kisaran pH antara 7-8.5 merupakan kisaran pH yang optimal untuk kehidupan

udang (Sumeru dan Suzy Anna, 1992). Nilai pH yang rendah menyebabkan udang

sulit untuk ganti kulit (moulting) karena karapas lunak sehingga tidak dapat

membentuk kulit baru dan mempengaruhi pertumbuhan udang.

Sumber ammonia yang terdapat di perairan adalah nitrogen organik

(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air,

yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota organik yang

telah mati) oleh mikroba dan jamur. Kandungan ammonia yang baik untuk

budidaya udang windu kurang dari 0.1 mg/l. Menurut Wickins (1976) dalam

Guntur (2006) kandungan ammonia 0.1 mg/l dapat menurunkan pertumbuhan 1-2

% dan pada konsentrasi 0.45 mg/l pertumbuhan menurun hingga 50%.

Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan

alami. Nitrit merupakan senyawa peralihan antara ammonia dengan nitrat dan

antara nitrat dan gas nitrogen, sehingga nitrit diperairan bersifat tidak stabil.

Udang memiliki toleransi yang cukup besar terhadap keberadaan nitrit (NO2).

Kadar nitrit yang aman bagi pertumbuhan udang tidak lebih dari 4.5 mg/l.

Konsentrasi nitrit yang mematikan 50% populasi (LC50) udang adalah 45 mg/l

dalam waktu 96 jam (Boyd, 1990). Nitrit beracun karena mengoksidasi Fe2+ di

dalam hemoglobin, dimana dalam bentuk ini kemampuan darah untuk mengikat

oksigen sangat menurun dan berpengaruh terhadap transpor oksigen dalam darah

dan kerusakan jaringan (Kordi dan Tancung, 2007).

Page 23: contoh pasca laarva.pdf

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2008,

bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wadah pemeliharaan

udang berbentuk tabung yang terbuat dari kaca bervolume 3 liter (toples kaca),

peralatan aerasi, selang siphon, akuarium, bak fiber 1,5 ton, Hi-blow, pemanas

(heatter), termometer, refraktometer, serokan, botol plastik, timbangan digital,

aluminium foil, pipet mikro, tabung reaksi, eppendorf, mikrotip, cawan petri,

gelas ukur, gelas piala, corong, tabung reaksi, vorteks, batang penyebar, rak

eppendorf (mikroplate), autoclave, shaker waterbath, millimeter block, botol

plastik 1.5 l, sendok plastik, dan penggerus.

3.2.2 Bahan

3.2.2.1 Media Pemeliharaan Udang

Media pemeliharaan udang berupa air laut bersalinitas 30 g/l diperoleh

dari toko ikan hias di Sindangbarang Loji dan ditampung pada bak fiber 1.5 m3.

Air laut tersebut sebelumnya disterilkan dengan menggunakan kaporit dengan

dosis 30 mg/l kemudian dinetralkan dengan Na-Thiosulfat sebanyak 10 mg/l. Air

laut diaerasi kuat selama 3 hari untuk menghilangkan residu kaporit.

3.2.2.2 Udang Windu

Udang windu stadia pasca larva (PL) 10 diperoleh dari panti pembenihan

skala rumah tangga di daerah Tanjung Pasir, Tangerang, Banten. Udang tersebut

sebelum ditebar kedalam wadah pemeliharaan, diaklimatisasi terlebih dahulu ke

dalam akuarium selama 24 jam. Kemudian ditebar kedalam wadah pemeliharaan.

Dalam penelitian ini digunakan PL udang sebanyak 300 ekor yang dipelihara

Page 24: contoh pasca laarva.pdf

11

dalam 15 wadah secara terpisah. Kepadatan udang yang digunakan adalah 10

ekor/l atau 20 ekor/wadah. Untuk menjaga supaya suhu pada setiap wadah dalam

kondisi yang sama (homogen) dan stabil maka semua wadah diletakkan dalam

satu bak fiber yang didalamnya diisi air tawar dan dipasang alat pemanas

sebanyak 2 buah yang diatur pada suhu 280 C. Wadah pemeliharaan pasca larva

udang windu tersebut diletakkan secara acak yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2.2.3 Bakteri

Bakteri yang digunakan sebagai probiotik adalah Vibrio SKT-b yang

diisolasi dari media pemeliharaan Skeletonema sp. di lingkungan pembenihan

udang windu, Labuan Banten (Widanarni et al., 2003).

3.2.2.4 Artemia

Artemia yang digunakan dalam penelitian ini adalah Artemia dengan

merek dagang INVE, diperoleh dalam bentuk siste dalam kemasan kaleng. Siste

Artemia ditetaskan sebanyak 2 g/l air laut bersalinitas 30 g/l, diaerasi kuat, dan

dipanen setelah 24 jam. Penetasan Artemia dilakukan setiap hari selama masa

pemeliharaan larva udang windu. Jumlah Artemia yang ditetaskan disesuaikan

dengan kebutuhan makanan larva udang windu untuk semua perlakuan dalam satu

hari. Panen naupli Artemia dilakukan pada wadah pemanenan yang dibuat dari

botol plastik yang bagian luarnya ditutup dengan plastik gelap dan seperempat

bagian bawah wadah tidak ditutup. Cara pemanenan Artemia tersebut adalah

dengan mematikan aerasi selama 10 menit sehingga akan terlihat cangkang

Artemia mengapung diatas permukanaan air, naupli Artemia berkumpul di bagian

botol yang tembus cahaya (tidak tertutup plastik) dan cyste yang tidak menetas

akan tenggelam di dasar wadah. Naupli Artemia kemudian diambil dengan selang

aerasi melalui bagian bawah wadah.

3.2.2.5 Media Kultur Bakteri

Bakteri Vibrio SKT-b dipelihara dalam media Sea Water Complete (SWC-

agar) dan dikultur dalam media SWC cair. Sedangkan untuk penghitungan bakteri

Page 25: contoh pasca laarva.pdf

12

digunakan media Thiosulphate Citrate Bile-salt Sucrose (TCBS-agar). Komposisi

bahan untuk membuat media tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengukuran Konsentrasi Bakteri

Metode pengukuran konsentrasi bakteri Vibrio SKT-b dengan

menggunakan metode cawan sebar. Masing-masing isolat diambil sebanyak satu

ose dan dikultur pada media SWC cair secara aseptik, kemudian diinkubasi pada

alat shaker waterbath selama 18 jam yang diatur pada suhu 290 C dan kecepatan

140 rpm (rotation per menit) sehingga pertumbuhan bakteri optimal. Setelah 18

jam konsentrasi bakteri diukur kepadatannya dengan metode cawan sebar. Biakan

bakteri diencerkan dengan pengenceran serial dan disebar sebanyak 100 µl pada

media TCBS-agar. Cara pengenceran serial dan penyebaran bakteri pada media

agar dapat dilihat pada Lampiran 3. Cara penghitungan bakteri dengan

menggunakan metode cawan sebar dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemudian

jumlah koloni yang tumbuh dihitung.

3.3.2 Pengkayaan Artemia dengan Bakteri Vibrio SKT-b

Naupli Artemia yang telah dipanen langsung dilakukan pengkayaan

dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b. Pengkayaan Artemia dengan Vibrio SKT-

b dilakukan pada wadah yang berbeda yaitu masing-masing dengan dosis A (103

CFU/ml), B (104 CFU/ml), C (105 CFU/ml), D (106 CFU/ml) dan kontrol (0

CFU/ml). Pengkayaan dilakukan selama 4 jam (Widanarni et al., 2008a) dengan

kepadatan Artemia pada masing-masing perlakuan adalah 100 individu/ml

(Achmat, 2002 dalam Guntur, 2006). Selanjutnya Artemia yang telah diperkaya

dipanen dengan cara disaring menggunakan plankton net dan dibilas dengan air

laut steril. Artemia yang telah dipanen langsung diberikan pada pasca larva udang

dan selebihnya disimpan di lemari pendingin pada suhu 40 C untuk penggunaan

selanjutnya pada hari yang bersangkutan.

Page 26: contoh pasca laarva.pdf

13

3.3.3 Percobaan Probiotik pada Udang

Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan yaitu pasca larva

udang windu yang diberi pakan sebagai berikut:

K: Artemia tanpa pengkayaan (Kontrol)

A: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 103CFU/ml

B: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 104CFU/ml

C: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 105CFU/ml

D: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 106CFU/ml

Percobaan probiotik dilakukan selama 15 hari dan pemberian pakan 4 kali

sehari, yaitu pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB. Naupli Artemia

yang diberikan sebanyak 5 individu/ml setiap hari selama perlakuan. Pada awal

pemeliharaan (t0) dan akhir pemeliharaan (t15) diamati panjang dan bobot pasca

larva udang windu. Jumlah total Vibrio pada udang dan media pemeliharaan

diamati pada hari ke-1 (t1) dan akhir pemeliharaan (t15), serta kelangsungan hidup

pasca larva udang windu.

3.3.4 Penghitungan Total Vibrio

3.3.4.1 Vibrio pada Pasca Larva Udang Windu

Penghitungan jumlah total Vibrio pada pasca larva udang yaitu udang

sebanyak 1 ekor dari setiap ulangan pada masing-masing perlakuan digerus

kemudian dilarutkan dalam 1 ml air laut steril dan diencerkan, kemudian hasil

pengenceran diambil sebanyak 100 µl untuk disebar pada media TCBS-agar.

Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang (±280C) dan selanjutnya

jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung.

3.3.4.2 Vibrio pada Media Pemeliharaan Udang

Penghitungan jumlah total Vibrio pada air media pemeliharaan udang

yaitu air media pemeliharaan udang dari setiap ulangan pada masing-masing

perlakuan diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan sebanyak 2 kali pengenceran,

kemudian hasil pengenceran diambil sebanyak 100 µl untuk disebar pada media

TCBS-agar. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang (±28oC) dan

selanjutnya jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung.

Page 27: contoh pasca laarva.pdf

14

3.3.4.3 Vibrio pada Artemia

Penghitungan jumlah total Vibrio yang dilakukan pada Artemia yang telah

diperkaya dengan bakteri probiotik dengan dosis yang berbeda maupun pada

kontrol ditimbang masing-masing sebanyak 0.1 gram, kemudian digerus dan

ditambah dengan 1 ml air laut steril serta diencerkan sebanyak 2 kali pengenceran.

Hasil pengenceran tersebut kemudian diambil sebanyak 100 µl untuk disebar pada

media TCBS-agar. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang (±28oC)

dan selanjutnya jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung.

3.4 Parameter Pengamatan

3.4.1 Pertumbuhan Udang (α)

Laju pertumbuhan udang dihitung berdasarkan pertumbuhan bobot dan

panjang udang, dengan rumus sebagai berikut (Huisman, 1987):

%1001t

Lo

Lt dan

%1001t

Wo

Wt

Keterangan : α = Laju pertumbuhan harian udang (%)

t = Lama waktu pemeliharaan udang (hari)

Lt = Panjang rata-rata akhir udang (cm)

Lo = Panjang rata-rata awal udang (cm)

Wt = Bobot rata-rata akhir udang (mg)

Wo = Bobot rata-rata awal udang (mg)

3.4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup Udang

Penghitungan jumlah udang yang hidup dilakukan pada akhir minggu

kedua. Tingkat kelangsungan hidup udang dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut (Effendi,1997):

%100No

NtSR

Keterangan : SR=Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt =Jumlah udang yang hidup pada akhir perlakuan (ekor)

No=Jumlah udang yang hidup pada awal perlakuan (ekor)

Page 28: contoh pasca laarva.pdf

15

3.4.3 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur antara lain suhu, oksigen terlarut (DO),

salinitas, pH, NH3, dan NO2.

3.4.4 Analisa Proksimat Artemia

Artemia yang sudah diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 103

CFU/ml, 104 CFU/ml, 105 CFU/ml, 106 CFU/ml, dan 0 CFU/ml (Kontrol)

dianalisa proksimat untuk mengetahui kadar protein, air, lemak, serat kasar dan

abu.

3.4.5 Jumlah Total Bakteri Vibrio

Jumlah total bakteri Vibrio pada pasca larva udang dan air media

pemeliharaan selama masa pemeliharaan dihitung dengan menggunakan metode

cawan sebar dengan perhitungan sebagai berikut (Hadioetomo, 1993):

101

fpNoNi

Keterangan: Ni = Jumlah sel bakteri (CFU/ml)

No = Jumlah koloni bakteri yang tumbuh

fp = Faktor pengenceran

3.5 Rancangan Percobaan

Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) karena

kondisi percobaan yang digunakan relatif homogen dan hanya ada satu faktor

yang mempengaruhi hasil percobaan (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

Hasil penelitian yang meliputi pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca

larva udang dianalisis dengan uji ANOVA, karena data hanya dibedakan oleh

perlakuan yang diterapkan sehingga perlakuan yang diberikan berasal dari faktor

tunggal dan unit contoh diasumsikan homogen (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

Pengujian dilakukan menggunakan perangkat data SPSS 15.0 kemudian dilakukan

uji lanjut Duncan jika hasil uji berbeda nyata. Uji lanjut dilakukan untuk

mengetahui perbedaan dari tiap perlakuan yang diberikan.

Page 29: contoh pasca laarva.pdf

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Pertumbuhan Panjang Pasca Larva Udang Windu

Pertumbuhan panjang pasca larva udang windu selama pemeliharaan

diperoleh dari hasil pengukuran panjang pasca larva pada awal (t0) dan akhir

pemeliharaan (t15). Panjang rata-rata pasca larva udang windu pada kontrol dan

perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan

dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang rata-rata pasca larva

udang windu pada semua perlakuan meningkat seiring dengan bertambahnya

masa pemeliharaan dan dosis probiotik yang diberikan. Nilai panjang rata-rata

pasca larva udang windu bertambah dari 0.95 cm pada awal pemeliharaan menjadi

1.87-2.15 cm pada akhir pemeliharaan. Nilai rata-rata panjang pasca larva udang

windu untuk setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6.

1.87 1.93 1.95 2.02 2.15

0.950.950.950.950.95

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

K A B C D

Perlakuan

Rat

aan

panj

ang (

cm)

Awal Akhir

Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 1. Panjang rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan

Laju pertumbuhan panjang pasca larva udang windu pada kontrol dan

perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan

dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2. Laju pertumbuhan panjang pasca

larva udang windu semakin tinggi seiring dengan peningkatan dosis probiotik

yang diberikan. Nilai rata-rata laju pertumbuhan panjang pada kontrol hingga

perlakuan dosis 106 CFU/ml berturut-turut adalah 4.59 %, 4.84 %, 4.90 %, 5.16

Page 30: contoh pasca laarva.pdf

17

%, dan 5.59 %. Sedangkan nilai rata-rata laju pertumbuhan panjang untuk setiap

ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Laju pertumbuhan

panjang tertinggi adalah pada perlakuan D (pengkayaan Artemia dengan probiotik

dosis 106 CFU/ml) dengan nilai rata-rata sebesar 5.59 %. Sedangkan pertumbuhan

panjang terendah adalah pada kontrol.

Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95 % terdapat perbedaan nyata

antara perlakuan kontrol (0 CFU/ml), A (103 CFU/ml), B (104 CFU/ml), C (105

CFU/ml), dan D (106 CFU/ml). Perlakuan D (106 CFU/ml) memiliki nilai laju

pertumbuhan panjang yang paling baik dan berbeda nyata dengan perlakuan

kontrol (0 CFU/ml), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A, B, dan C.

5.594.904.84 5.16

4.59

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

K A B C D

Perlakuan

Per

tum

buha

n pa

njan

g (%

)

a bab ab ab

Keterangan:- Huruf kecil dalam bar yang berbeda menunjukkan ada perbedaan (p<0.05) antar perlakuan- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 2. Laju pertumbuhan panjang pasca larva udang windu Penaeusmonodon pada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan

4.1.2 Pertumbuhan Bobot Pasca Larva Udang Windu

Pertumbuhan bobot pasca larva udang windu selama pemeliharaan

diperoleh dari hasil pengukuran bobot pasca larva pada awal (t0) dan akhir

pemeliharaan (t15). Bobot rata-rata pasca larva udang windu pada kontrol dan

perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan

dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3. Bobot rata-rata pasca larva

udang windu pada semua perlakuan meningkat seiring dengan bertambahnya

masa pemeliharaan dan dosis probiotik yang diberikan. Nilai bobot rata-rata pasca

Page 31: contoh pasca laarva.pdf

18

larva udang windu bertambah dari 0.0025 gram pada awal pemeliharaan menjadi

0.03-0.05 gram pada akhir pemeliharaan. Nilai rata-rata bobot pasca larva udang

windu untuk setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6.

0.00250.00250.00250.00250.0025

0.034 0.035 0.0360.042

0.053

0.00

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

K A B C D

Perlakuan

Rat

aan

bobo

t (g)

Awal Akhir

Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 3. Bobot rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan

Laju pertumbuhan bobot pasca larva udang windu pada kontrol dan

perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan

dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4. Laju pertumbuhan bobot pasca

larva udang windu semakin tinggi seiring dengan peningkatan dosis probiotik

yang diberikan. Nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot pada kontrol hingga

perlakuan dosis 106 CFU/ml berturut-turut adalah 18.69 %, 19.23 %, 19.45 %,

20.75 %, dan 22.53 %. Sedangkan nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot untuk

setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pertumbuhan

bobot pasca larva udang windu tertinggi adalah pada perlakuan D (pengkayaan

Artemia dengan probiotik dosis 106 CFU/ml) dengan nilai rata-rata sebesar 22.53

%. Sedangkan pertumbuhan bobot terendah adalah pada kontrol.

Hasil uji statistik dengan selang kepercayaan 95 %, terdapat perbedaan

nyata antara pelakuan kontrol (0 CFU/ml), A (103 CFU/ml), B (104 CFU/ml), C

(105 CFU/ml), dan D (106 CFU/ml). Perlakuan D (106 CFU/ml) memiliki nilai

pertumbuhan bobot yang paling baik dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol

Page 32: contoh pasca laarva.pdf

19

(0 CFU/ml), perlakuan A (103 CFU/ml), dan perlakuan B (104 CFU/ml), namun

tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (105 CFU/ml).

2 2 .5 31 9 .4 51 9 .2 31 8 .6 9

2 0 .7 5

0 .0 0

5 .0 0

1 0 .0 0

1 5 .0 0

2 0 .0 0

2 5 .0 0

K A B C D

Pe rl a k u a n

Per

tum

bu

ha

n b

ob

ot

(%)

aba a ba

Keterangan:- Huruf kecil dalam bar yang berbeda menunjukkan ada perbedaan (p<0.05) antar perlakuan- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 4. Laju pertumbuhan bobot pasca larva udang windu Penaeusmonodon pada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan

4.1.3 Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang Windu

Tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu selama 15 hari masa

pemeliharaan, pada kontrol dan perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio

SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5.

Nilai rata-rata tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu pada

perlakuan hingga dosis 106 CFU/ml berkisar antara 95-100 % (tidak berbeda

nyata). Sedangkan nilai rata-rata tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang

windu untuk setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Page 33: contoh pasca laarva.pdf

20

95.00 95.0096.67100.0098.33

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

K A B C D

Perlakuan

Kel

angs

unga

n hi

dup

(%)

a a a aa

Keterangan:- Huruf kecil dalam bar yang berbeda menunjukkan ada perbedaan (p<0.05) antar perlakuan- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeusmonodon pada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan

4.1.4 Jumlah Total Bakteri Vibrio pada Media Pemeliharaan

Penghitungan jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan dilakukan

pada awal (t1) dan akhir pemeliharaan (t15). Hasil penghitungan jumlah total

Vibrio pada media pemeliharaan disajikan pada Gambar 6.

3.50 3.35 3.36 3.33

1.631.93

2.332.59

1.84

3.19

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

K A B C D

Perlakuan

Jum

lah

Tot

alV

ibri

oL

og (C

FU

/ml)

Awal Akhir

Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 6. Jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan pasca larvaudang windu Penaeus monodon

Page 34: contoh pasca laarva.pdf

21

Jumlah total bakteri Vibrio pada media pemeliharaan pasca larva udang

windu pada awal dan akhir perlakuan cenderung sama baik pada kontrol maupun

pada perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia

dengan dosis yang berbeda.

4.1.5 Jumlah Total Bakteri Vibrio pada Pasca Larva Udang Windu

Penghitungan jumlah total Vibrio pada pasca larva udang windu dilakukan

pada awal (t1) dan akhir pemeliharaan (t15). Hasil penghitungan jumlah total

Vibrio pada pasca larva udang windu pemeliharaan disajikan pada Gambar 7.

0.57

3.86 4.05 4.20 4.25

3.433.21

2.562.84

3.81

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

K A B C D

Perlakuan

Jum

lah

Tot

alV

ibri

oL

og (C

FU

/ml)

Awal Akhir

Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 7. Jumlah total Vibrio dalam tubuh pasca larva udang winduPenaeus monodon

Jumlah total bakteri Vibrio pada pasca larva udang windu pada awal

perlakuan cenderung sama untuk semua perlakuan kecuali kontrol dan pada akhir

perlakuan sedikit menurun pada perlakuan C (105 CFU/ml) dan D (106 CFU/ml).

4.1.6 Analisa Proksimat dan Jumlah Total Bakteri Vibrio pada Artemia

Analisa proksimat Artemia dilakukan pada Artemia kontrol maupun pada

Artemia yang diperkaya dengan bakteri Vibrio SKT-b untuk mengetahui

kandungan nutrisinya. Analisa proksimat yang dilakukan meliputi kadar protein,

air, abu, lemak, serat kasar, dan BETN (Tabel 1). Sedangkan jumlah total bakteri

Page 35: contoh pasca laarva.pdf

22

Vibrio pada Artemia yang digunakan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat

pada Gambar 8.

Hasil proksimat Artemia kontrol dan Artemia yang diberi bakteri probiotik

Vibrio SKT-b dengan dosis 103-106 CFU/ml berbeda kandungan nutrisinya

terutama kadar protein Artemia.

Jumlah total Vibrio pada Artemia yang diperkaya dengan bakteri probiotik

Vibrio SKT-b dengan dosis 103-106 CFU/ml cenderung meningkat.

Tabel 1. Hasil analisa proksimat Artemia pada semua perlakuan

Kandungan Nutrisi (%)Perlakuan

Protein Air Abu LemakSeratKasar

BETN

Kontrol 57.70 85.91 1.62 2.22 0.00 38.46

A (103 CFU/ml) 61.27 86.65 1.35 2.39 0.98 34.01

B (104 CFU/ml) 62.23 86.47 1.51 2.12 0.92 33.22

C (105 CFU/ml) 66.39 86.55 1.56 2.22 0.89 28.94

D (106 CFU/ml) 69.44 86.50 1.28 2.42 0.60 26.26

6.976.37

6.025.24

5.94

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

K A B C D

Perlakuan

Jum

lah

Tot

alV

ibri

oL

og (C

FU

/ml)

Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml,C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

Gambar 8. Jumlah total Vibrio pada Artemia

Page 36: contoh pasca laarva.pdf

23

4.1.7 Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal (t0) dan akhir pemeliharaan

(t15). Beberapa parameter kualitas air yang diukur meliputi, suhu, salinitas,

oksigen terlarut (DO) , nitrit, ammonia, dan pH seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai parameter kualitas air selama pemeliharaan pasca larva udangwindu Penaeus monodon

AkhirParameter AwalK (Kontrol) A B C D

Suhu (˚C) 28.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0

Salinitas (ppt) 30.0±0.0 30.0±0.0 32.0±1.4 33.0±0.0 34.0±2.8 34.0±0.0

DO (ppm) 7.0±0.9 5.0±0.3 6.4±0.7 5.3±0.3 5.5±0.3 5.7±0.1

Nitrit (ppm) 0.78±0.10 0.75±0.04 0.75±0.18 0.82±0.10 0.34±0.40 0.36±0.01

Amonia (ppm) 0.02±0.00 0.02±0.01 0.02±0.00 0.01±0.00 0.02±0.01 0.02±0.00

pH 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0

Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml

4.2 Pembahasan

Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam

suatu waktu (Effendi, 1997). Oleh karena itu, untuk mengetahui laju pertumbuhan

harian pasca larva udang windu selama penelitian dilakukan pengukuran panjang

dan bobot pada awal (t1) dan akhir pemeliharaan (t15) (Lampiran 6). Selama masa

pemeliharaan, panjang dan bobot pasca larva udang windu mengalami

peningkatan seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan dan dosis probiotik

yang diberikan. Pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia

dengan dosis 0-106 CFU/ml menghasilkan kisaran laju pertumbuhan panjang rata-

rata antara 4.59-5.59 % (Gambar 2) dan laju pertumbuhan bobot 18.69-22.53 %

(Gambar 4). Nilai laju pertumbuhan panjang dan bobot tertinggi diperoleh pada

pemberian bakteri Vibrio SKT-b dengan dosis 106 CFU/ml yaitu 5.59 % untuk

pertumbuhan panjang dan 22.53 % untuk pertumbuhan bobot. Nilai ini berbeda

nyata (p<0.05) dengan kontrol (tanpa pemberian probiotik) yang hanya

menghasilkan pertumbuhan panjang 4.59 % dan bobot 18.69 %.

Peningkatan laju pertumbuhan disebabkan karena bakteri Vibrio SKT-b

yang diberikan melalui Artemia mampu memperbaiki kandungan nutrisi dalam

Page 37: contoh pasca laarva.pdf

24

Artemia (terutama protein). Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian

probiotik melalui Artemia dengan dosis 106 CFU/ml dapat meningkatkan

kandungan protein dalam Artemia sebesar 11.53 % dari kontrol. Hal ini sesuai

dengan mekanisme aksi bakteri probiotik dimana bakteri probiotik yang diberikan

dapat sebagai sumber makro dan mikro nutrien (Verschuere et al., 2000).

Peningkatan laju pertumbuhan pasca larva udang windu juga diduga

karena bakteri probiotik Vibrio SKT-b yang diberikan melalui Artemia dapat

meningkatkan keseimbangan mikrob dalam saluran pencernaan. Menurut

Rengpipat et al., (1998b) bakteri probiotik memiliki kemampuan dalam

memproduksi senyawa inhibitor yang dapat menekan pertumbuhan bakteri

merugikan dalam saluran pencernaan. Selain itu, peningkatan pertumbuhan

diduga karena bakteri probiotik Vibrio SKT-b mampu memberikan kontribusi

enzim untuk pencernaan yang menyebabkan udang dapat mencerna Artemia

dengan lebih baik, sehingga nutrisi yang dapat diserap oleh tubuh juga lebih

banyak, yang akhirnya akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik.

Kelangsungan hidup merupakan persentase organisme yang hidup pada

akhir pemeliharaan dari jumlah awal seluruh organisme yang dipelihara dalam

suatu wadah (Effendie, 1997). Pemberian probiotik melalui Artemia dengan dosis

0-106 CFU/ml menghasilkan kisaran nilai kelangsungan hidup antara 95-100%

(Gambar 5). Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95 % menunjukkan tidak

ada perbedaan nyata antara kontrol dengan perlakuan pemberian probiotik dengan

dosis yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bakteri Vibrio SKT-b

hingga dosis tertinggi (106 CFU/ml) tidak mengganggu kondisi fisiologis pasca

larva udang windu sehingga tidak mempengaruhi nilai kelangsungan hidupnya.

Tingginya nilai kelangsungan hidup pada semua perlakuan juga didukung oleh

kisaran kualitas air yang berada pada kisaran optimal bagi pertumbuhan pasca

larva udang windu (Tabel 2).

Jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan relatif sama untuk semua

perlakuan dan kontrol (Gambar 6). Pada awal perlakuan, jumlah total Vibrio

sekitar 103 CFU/ml dan sedikit mengalami penurunan pada akhir perlakuan

menjadi 102 CFU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa Vibrio SKT-b yang diberikan

ke larva udang melalui Artemia diduga dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh pasca

Page 38: contoh pasca laarva.pdf

25

larva udang dan tidak dilepaskan sehingga tidak terakumulasi pada media

pemeliharaan.

Hasil penghitungan jumlah total Vibrio pada tubuh pasca larva udang di

awal perlakuan relatif sama untuk perlakuan pemberian Vibrio SKT-b dengan

dosis 103-106 CFU/ml yaitu berkisar antara 103-104 CFU/ml dan berbeda dengan

kontrol yang hanya 101 CFU/ml (Gambar 7). Hal ini terjadi karena pada kontrol

tidak diberikan bakteri Vibrio SKT-b sehingga Vibrio yang ada merupakan Vibrio

yang secara alami ada pada pasca larva udang windu. Pada akhir pemeliharaan,

jumlah total Vibrio berkisar antara 103-104 CFU/ml pada semua perlakuan

termasuk kontrol. Namun pada perlakuan penambahan Vibrio SKT-b, dari total

Vibrio yang diamati diduga didominasi oleh bakteri Vibrio SKT-b. Hal ini tampak

dari ciri-ciri koloni yang tumbuh pada media selektif TCBS (Thiosufate Citrate

Bile Salts Sucrose) yaitu koloni berwarna kuning dan juga adanya pertumbuhan

yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Dari Gambar 8 terlihat bahwa jumlah total bakteri Vibrio pada Artemia

setelah dilakukan pengkayaan dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b dengan

dosis 0-106 CFU/ml cenderung meningkat. Pada Artemia kontrol (tanpa

pengkayaan) ditemukan adanya bakteri yang tumbuh. Pada penelitian ini air laut

yang digunakan untuk menetaskan siste Artemia adalah air laut steril karena telah

disterilisasi dengan menggunakan kaporit. Air laut tersebut juga telah uji dengan

menyebar pada media selektif TCBS dan hasilnya tidak terdapat koloni bakteri

yang tumbuh. Sehingga bakteri yang tumbuh pada media selektif TCBS pada

Artemia kontrol diduga berasal dari cyste Artemia. Menurut Lopez-Torres dan

Lizarraga-Partida (2009) yang telah mengisolasi bakteri pada media TCBS dari

siste Artemia yang telah ditetaskan di laboratorium (kondisi steril) dan di hatchery

udang (kondisi tidak steril) ditemukan adanya koloni bakteri Vibrio pada kisaran

106–107 CFU/ml. Hasil penelitian Widanarni et al., (2008a) menunjukkan bahwa

penghitungan bakteri Vibrio pada Artemia kontrol pada media TCBS yang telah

ditambah rifampisin (50 µg/ml) tidak terdapat koloni bakteri yang tumbuh.

Sedangkan, pada Artemia yang diperkaya dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b

RfR terdapat koloni Vibrio sebanyak ~106 CFU/ml. Dengan demikian koloni

Page 39: contoh pasca laarva.pdf

26

bakteri yang tumbuh pada Artemia kontrol adalah bakteri yang secara alami ada

pada media penetasan Artemia.

Setelah diperkaya dengan bakteri Vibrio SKT-b jumlah total bakteri Vibrio

pada Artemia cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan dosis

probiotik yang diberikan. Peningkatan jumlah total Vibrio sampai dosis pemberian

probiotik tertinggi disebabkan oleh adanya akumulasi bakteri probiotik Vibrio

SKT-b dalam tubuh Artemia. Akumulasi bakteri Vibrio SKT-b dalam tubuh

Artemia berkorelasi positif terhadap kandungan nutrisi Artemia yang diperkaya

dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b dengan dosis 0-106 CFU/ml. Dimana

semakin tinggi dosis probiotik yang diberikan akan meningkatkan kandungan

protein Artemia. Hal ini disebabkan karena bakteri Vibrio SKT-b merupakan salah

satu sumber protein mikrobial yang kemudian terakumulasi dalam tubuh Artemia

sehingga dapat meningkatkan kandungan protein Artemia dan kemudian dimakan

oleh pasca larva udang windu sehingga pertumbuhannya meningkat seiring

dengan peningkatan dosis probiotik yang diberikan. Peran probiotik dalam

meningkatkan laju pertumbuhan hewan akuatik juga telah dibuktikan oleh

Riquelme et al., (1997), Haryanti et al., (2000), dan Rengpipat et al., (1998a,

1998b)

Kualitas air pemeliharaan sangat menentukan pertumbuhan dan

kelangsungan hidup larva udang windu. Pengukuran berbagai parameter kualitas

air dilakukan pada awal (t0) dan akhir pemeliharaan (t15). Hasil pengukuran suhu

semua perlakuan selama masa pemeliharaan berkisar antara 28-30 oC. Kisaran

nilai suhu tersebut merupakan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan udang

(Sumeru dan Suzy Anna, 1992). Salinitas air pemeliharaan selama masa

pemeliharaan berkisar antara 30-34 g/l. Menurut Boyd (1991) larva udang

memiliki pertumbuhan optimal apabila dipelihara dalam air yang bersalinitas 28-

35 g/l. Nilai DO selama penelitian berkisar antara 5.00-6.92 mg/l. Heryadi (1993)

menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk pertumbuhan

udang adalah 5 mg/l atau lebih. Nilai pH air pemeliharaan dari awal sampai akhir

pemeliharaan pada kontrol dan semua perlakuan adalah 8. Nilai pH yang optimal

berada pada kisaran 7-8.5 (Sumeru dan Suzy Anna, 1992). Nilai nitrit air

pemeliharaan dari awal sampai akhir pemeliharaan berkisar antara 0.34-0.82 mg/l.

Page 40: contoh pasca laarva.pdf

27

Kadar nitrit yang aman bagi pertumbuhan udang tidak lebih dari 4.5 mg/l.

Konsentrasi nitrit yang mematikan 50% populasi (LC50) udang adalah 45 mg/l

dalam waktu 96 jam (Boyd, 1990). Nilai ammonia selama pemeliharaan pada

semua perlakuan dari awal sampai akhir pemeliharaan berkisar antara 0.01-0.02

mg/l. Kondisi ini masih aman untuk kehidupan dan pertumbuahan larva udang

windu karena kandungan ammonia yang baik untuk budidaya udang windu

kurang dari 0.1 mg/l. Menurut Wickins (1976) dalam Guntur (2006) kandungan

ammonia 0.1 mg/l dapat menurunkan pertumbuhan 1-2 % dan pada konsentrasi

0.45 mg/l pertumbuhan menurun hingga 50%. Kisaran nilai-nilai parameter

kualitas air media pemeliharaan larva udang windu secara umum masih dalam

kisaran toleransi udang windu sehingga faktor ini tidak membatasi pertumbuhan

dan kelangsungan hidup larva udang windu.

Page 41: contoh pasca laarva.pdf

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian bakteri probiotik

Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda pada pasca larva udang

windu dapat meningkatkan pertumbuhan panjang dan bobot, tetapi tidak

mempengaruhi tingkat kelangsungan hidupnya. Pemberian bakteri probiotik

Vibrio SKT-b dengan dosis 106 CFU/ml memberikan hasil yang lebih baik

dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya.

5.2 Saran

Untuk meningkatkan pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udang

windu bakteri Vibrio SKT-b dapat digunakan sebagai probiotik melalui Artemia

dengan dosis 106 CFU/ml.

Page 42: contoh pasca laarva.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Barnes RD. 1963. Invertebrate Zoology. Philadelphia: WB Saunders Company.

Barnes RD. 1980. Invertebrate Zoology 4rd ed. Philadelphia: WB SaundersCompany.

Boyd CE. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama: BirminghamPublishing Co.

Boyd CE. 1991. Water Quality Management and Aeration In Shrimp Farming.Pedoman Teknis dari Proyek Pengembangan Perikanan. Jakarta: PusatPenelitian Pengembangan Perikanan

Effendi R. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama

Fuller R. 1992. History and Development of Probiotics. Di dalam: Fuller R,editor. Probiotic the Scientific Basis. London: Chapman and Hall. Hlm 1-8.

Gatesoupe, F.J. 1999. The Use Probiotics in Aquaculture. Aquaculture . 180:147-165

Guntur. 2006. Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b MelaluiArtemia terhadap Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang Windu (Penaeusmonodon, Fab.) yang Diinfeksi Vibrio harveyi. Skripsi. DepartemenBudidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut PertanianBogor.

Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Teknik dan Prosedur DasarLaboratorium. Jakarta: PT. Gramedia.

Harefa, F. 2003. Pembudidayaan Artemia untuk Pakan Ikan dan Udang. Jakarta:Penebar Swadaya.

Haryanti, Sugama K, Tsumura S, Nishijima T. 2000. Potentiality of BacteriaIsolated From- Seawater as Biological Control Agent for Vibriosis in BlackTiger Shrimp Penaeus monodon Larvae. Di dalam: Hardjito L (editor).Proceedings of International Symposium on Marine biotechnology. Jakarta,29-31 Mei 2000. hlm 182-189.

Heryadi D, Sutadi.1993. Back yard: Usaha Pembenihan Udang Skala RumahTangga. Jakarta: Penebar Swadaya.

Huisman E.A. 1987. Principles of Fish Production. Departement of Fish Cultureand Fisheries. Wageningen Agriculture University. Netherlands. 170p.

Insanstyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton Dan Zooplankton;Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius.

Page 43: contoh pasca laarva.pdf

30

Kordi MGH, Tancung AB. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam BudidayaPerairan. Jakarta:Rineka Cipta.

Lavilla-Pitogo, C.R., Cruz-Lacierda, E.R. and De La Pena, L.D. 1990. Occurenceof Luminous Bacteria Disease of Penaeus monodon Larvae in thePhilippines. Aquakultur, 91:1-13.

Lopez-Torres dan Lizarraga-Partida. 2009. Bacteria Isolated on TCBS MediaAssociated with Hatched Artemia Cysts of Commercial Brands.www.coastalaqua.com/files/TCBS.doc [1 September 2009]

Martosudarmo, B dan Ranoemihardjo BS. 1983. Biologi Udang Penaeid. Didalam: Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jendral Perikanan,Departemen Pertanian.

Mattjik AA, Made S. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS danMinitab: Jilid 1. Bogor: IPB Press.

Mudjiman, A. 1989. Udang Renik Air Asin Artemia salina. Jakarta: PenerbitBhatara.

Muliani, A. Suwano, dan Y. Hala. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri AsalLaut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Larva UdangWindu (Penaeus monodon). Hayati, 10:6-11.

Murtidjo, BA. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Yogyakarta: PenerbitKanisius.

Moriarty. 1999. Disease Control in Shrimp Aquaculture with Probiotic Bacteria.Microbial Interaction in Aquaculture. Biomanagement Systems Pty.Department of Chemical Engineering, The University of Queensland.Australia. www.ag.arizona.edu/azaqua/tilapia/tilapia_shrimp/moriarty. PDF[13 Januari 2009]

Pillay TVR, Kutty MN. 2005. Aquaculture: Principles and Practice SecondEdition. England: Blackwell Publishing Ltd.

Praditia, F.P. 2009. Pengaruh pemberian bakteri probiotik melalui pakan terhadappertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu Penaeus monodon.Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sumeru, SU dan Suzy Anna. 1992. Pakan Udang Windu Penaeus monodon.Yogyakarta: Kanisius.

Suyanto SR, Mujiman A. 2003. Budidaya Udang Windu. Jakarta: PenebarSwadaya.

Page 44: contoh pasca laarva.pdf

31

Rengpipat S, Rukpratanporn S, Piyatiratitivorakul S, Menavesta P. 1998a.Probioticn aquaculture: A Case Study of Probiotics for Larvae of the TigerShrimp Peanaeus monodon. Di dalam: Flegel TW (editor) Advances inShrimp Biotechnology. National Center for Genetic Engineering andBiotechnology, Bangkok. 177-181p

Rengpipat S, Rukpratanporn S, Piyatiratitivorakul S, Menavesta P. 1998a. Effectof probiotic bacterium on black tiger shrimp Peanaeus monodon survivaland growth. Aquaculture,167: 303-313

Rengpipat S, Rukpratanporn S, Piyatiratitivorakul S, Menavesta P. 2000.Immunity Enhancement in Black Tiger Shrimp Peanaeus monodon byAprobiant Bacterium Bacillus S11. Aquaculture,191: 271-288

Riquelme C, Araya R, Vergara N, Rojas A, Quaita M, Candina M. 1997. PotentialProbiotic Strains in the Culture of the Chilean Scallop Argopectenpurpuratus (Lamarck, 1891). Aquaculture, 154: 17-26

Shigueno, K. 1975. Shrimp Culture in Japan. Association for InternationalTechnical Promotion Tokyo. Japan. 153 p.

Strottrup, JG dan Lesley A. McEvoy (editor). 2003. Live Feeds in MarineAquaculture. Garsington Road Oxford: Blackwell publishing

Syahailatua, D.P. 2009. Seleksi Bakteri Probiotik sebagai Stimulator Sistem ImunPada Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor.

Verschuere L, Rombaut G, Sorgeloos P, Verstraete W. 2000. Probiotic Bacteria asBiological Control Agents in Aquaculture. Microbiology and MolecularReviews (64) 4: 655-671

Widanarni,Suwanto A, Sukenda, Lay B.W. 2003. Potency of Vibrio Asolates forBiocontrol of Vibriosis in Tiger Shrimp Penaeus monodon. Biotropia,20:11-23

Widanarni, Elly, D.T. Soelistyowati dan A. Suwanto. 2008a. Pemberian BakteriProbiotik Vibrio SKT-b pada Larva Udang Windu Melalui PengkayaanArtemia. Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(2): 129-137.

Widanarni, M.A Lidaenni, D. Wahjuningrum, 2008b. Pengaruh PemberianBakteri Probiotik Vibrio SKT-b Dengan Dosis yang Berbeda TerhadapKelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Udang Windu Penaeusmonodon.

Page 45: contoh pasca laarva.pdf

Lampiran 1. Lay out wadah perlakuan pasca larva udang windu Penaeusmonodon selama pemeliharaan

Keterangan :K = Wadah perlakuan KontrolA = Wadah perlakuan A (dosis 103 CFU/ml)B = Wadah perlakuan B (dosis 104 CFU/ml)C = Wadah perlakuan C (dosis 105 CFU/ml)D = Wadah perlakuan D (dosis 106 CFU/ml)1,2,3 = Ulangan dari setiap perlakuanH = Hi-blowP = Pemanas air (heater)S1-2 = Akuarium stok pasca larva udang winduBA = Batu aerasiPLN = Sumber listrik dari PLNT = Tandon air lautBF = Bak fiber

PLN

D1

A2

B1

K3

C2

D2

C3

A1

D3

B3

K2

B2

X

K1

C1

A3

T

H

S1 S2

BA

P

BF

BF

Page 46: contoh pasca laarva.pdf

33

Lampiran 2. Komposisi dan cara pembuatan media untuk kultur bakteri

1. Media Sea Water Complete (SWC)

- Komposisi bahan-bahan SWC Agar

Bacto peptone 0.5 gr/100 ml

Yeast extract 0.1 gr/100 ml

Bacto agar 2.0 gr/100 ml

Glyserol 0.3 ml/100 ml

Air laut 75 ml

Akuades 25 ml

- Cara Pembuatan Media SWC

Seluruh bahan diatas dicampur dan dipanaskan sampai larut, kemudian

disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15

menit. Setelah itu bahan siap dituang dalam cawan petri atau siap

digunakan. Untuk membuat SWC-cair Bacto agar tidak disertakan

pada komposisi di atas.

2. Media Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose (TCBS-agar)

- Komposisi bahan-bahan TCBS Agar

Media TCBS 8.9 gr/100 ml

Formulasi TCBS:

Yeast extract 0.5 gr

Proteose peptone No. 3 1.0 gr

Sodium citrate 1.0 gr

Sodium thiosulfate 1.0 gr

Oxgall 0.8 gr

Saccharose 2.0 gr

Sodium chloride 1.0 gr

Ferric ammonium citrate 0.1 gr

Bromthymol blue 0.004 gr

Thymol blue 0.004 gr

Agar 1.5 gr

Akuades steril 100 ml

Page 47: contoh pasca laarva.pdf

34

- Cara Pembuatan Media TCBS

Akuades disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama 15

menit. Kemudian media TCBS dimasukkan ke dalam akuades steril

dan dipanaskan hingga larut. Media didinginkan hingga suhu hangat

(±500C) dan siap untuk digunakan.

Page 48: contoh pasca laarva.pdf

35

Lampiran 3. Metode pengenceran serial menggunakan tabung reaksi danpenyebaran pada media agar

10 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml

1 :101 1 :102 1 :103 1 :104 1 :105 1 :106 1 :1071 :100

(Masing-masing tabungtelahberisi 9 ml larutanfisiologis (NaCl) 0,85 %)

0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml0,1 ml

BiakanVibrioSKT-b

Page 49: contoh pasca laarva.pdf

36

Lampiran 4. Prosedur penghitungan bakteri dengan menggunakan metodecawan sebar (Hadioetomo, 1993)

1. Eppendorf disiapkan dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah serial

pengenceran, kemudian masing-masing eppendorf diisi dengan air laut steril

sebanyak 0.9 ml.

2. Biakan bakteri maupun sampel air pemeliharaan dan udang yang telah digerus

diambil sebanyak 1 ml secara aseptik dan dimasukkan ke dalam eppendorf.

3. Kemudian sampel tersebut dihomogenisasi dengan votex kemudian diambil

sebanyak 0.1 ml secara aseptik dengan menggunakan pipet mikro lalu

diletakkan kedalam eppendorf yang telah berisi air laut steril.

4. Eppendorf yang telah berisi campuran sampel dan air laut steril kemudian

dihomogenisasi menggunakan vortex. Pada tahap ini pengenceran telah

dilakukan sebanyak 1 kali (1:10).

5. Tahap pengenceran diulangi lagi hingga dicapai jumlah serial yang

dikehendaki.

6. Media TCBS-agar disiapkan dalam cawan petri kemudian sebanyak 0.1 ml

larutan hasil pengenceran diambil dan disebar menjadi beberapa titik.

7. Langkah terakhir adalah meratakan larutan sampel diatas media agar

menggunakan batang penyebar yang telah disterilkan dengan cara

mencelupkan kedalam alkohol 96% kemudian dibakar.

8. Media yang telah berisi larutan pengenceran kemudian diinkubasi selama 24

jam pada suhu kamar, setelah itu koloni yang tumbuh dihitung dan dikonversi

ke dalam satuan CFU/ml dengan menggunakan rumus pengenceran.

Page 50: contoh pasca laarva.pdf

37

Lampiran 5. Metode pengkayaan Artemia dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b

1. Artemia sebanyak 2 gram/ liter ditetaskan dalam wadah toples kaca yang diisi

air laut sebanyak 2 liter dan diaerasi kuat, setelah 24 jam Artemia akan

menetas menjadi naupli dan kemudian dipanen dengan memisahkan naupli

Artemia dari cangkangnya

2. Naupli Artemia dimasukkan kedalam wadah pengkayaan (botol plastik)

dengan kepadatan 100 individu/ml

3. Biakan bakteri Vibrio SKT-b diencerkan dengan metode pengenceran serial

(Lampiran 3) sehingga diperoleh konsentrasi 103 CFU/ml, 104 CFU/ml,

105CFU/ml, dan 106 CFU/ml, kemudian dimasukkan ke dalam wadah

pengkayaan Artemia dan diberi aerasi.

4. Setelah 4 jam pengkayaan, Artemia dipanen dan disaring dengan

menggunakan plankton net.

5. Artemia tersebut kemudian diberikan ke pasca larva udang windu sebagai

pakan dan sebagian disimpan untuk pemberian pakan selanjutnya.

6. Artemia disimpan pada suhu 40C dan digunakan hanya satu hari.

7. Pengkayaan Artemia dilakukan satu hari sekali untuk empat kali pemberian

pakan per hari.

Page 51: contoh pasca laarva.pdf

38

Lampiran 6. Data sampling pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan

PerlakuanPanjang

awal(cm)

Bobotawal(cm)

Panjangakhir(cm)

Bobotakhir

(g)

Pertumbuhanpanjang

(%)

Pertumbuhanbobot(%)

K1 0.9500 0.0025 1.6750 0.0239 3.8531 16.2422K2 0.9500 0.0025 1.9050 0.0343 4.7478 19.0758K3 0.9500 0.0025 2.0250 0.0423 5.1752 20.7517

Rataan 0.9500 0.0025 1.8683 0.0335 4.5920 18.6899SD 0.0000 0.0000 0.1779 0.0092 0.6747 2.2794A1 0.9500 0.0025 1.8300 0.0305 4.4677 18.1474A2 0.9500 0.0025 2.0900 0.0441 5.3970 21.0877A3 0.9500 0.0025 1.8800 0.0317 4.6556 18.4517

Rataan 0.9500 0.0025 1.9333 0.0354 4.8401 19.2289SD 0.0000 0.0000 0.1380 0.0075 0.4914 1.6169B1 0.9500 0.0025 1.9850 0.0375 5.0354 19.7860B2 0.9500 0.0025 1.9650 0.0366 4.9645 19.5922B3 0.9500 0.0025 1.8950 0.0338 4.7110 18.9593

Rataan 0.9500 0.0025 1.9483 0.0360 4.9037 19.4458SD 0.0000 0.0000 0.0473 0.0019 0.1706 0.4323C1 0.9500 0.0025 2.0950 0.0455 5.4138 21.3402C2 0.9500 0.0025 1.9350 0.0389 4.8569 20.0791C3 0.9500 0.0025 2.0350 0.0427 5.2098 20.8275

Rataan 0.9500 0.0025 2.0217 0.0424 5.1602 20.7489SD 0.0000 0.0000 0.0808 0.0033 0.2817 0.6342D1 0.9500 0.0025 2.1700 0.0550 5.6612 22.8839D2 0.9500 0.0025 2.0850 0.0487 5.3802 21.8913D3 0.9500 0.0025 2.1900 0.0545 5.7259 22.8091

Rataan 0.9500 0.0025 2.1483 0.0527 5.5891 22.5281SD 0.0000 0.0000 0.0558 0.0035 0.1838 0.5527

Keterangan :K = Pasca larva udang diberi Artemia tanpa pengkayaan (Kontrol)A = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 103CFU/mlB = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 104CFU/mlC = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 105CFU/mlD = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 106CFU/ml

Page 52: contoh pasca laarva.pdf

39

Lampiran 7. Data kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeusmonodon selama pemeliharaan

Perlakuan Jumlah PL udangawal (ekor)

Jumlah PL udangakhir (ekor) SR (%) Rataan

K1 20 19 95K2 20 20 100K3 20 20 100

98.33±2.89

A1 20 20 100A2 20 20 100A3 20 20 100

100±0.00

B1 20 20 100B2 20 20 100B3 20 18 90

96.67±5.77

C1 20 20 100C2 20 17 85C3 20 20 100

95.00±8.66

D1 20 20 100D2 20 19 95D3 20 18 90

95.00±5.00

Keterangan :K = Pasca larva udang diberi Artemia tanpa pengkayaan (Kontrol)A = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 103CFU/mlB = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 104CFU/mlC = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 105CFU/mlD = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 106CFU/ml

Page 53: contoh pasca laarva.pdf

40

Lampiran 8. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan panjang pasca larvaudang windu Penaeus monodon selama pemeliharaan

SumberKeragaman

dB JK KT Fhitung Ftabel

Perlakuan 4 1.718 .429 2.559 .104

Sisa 10 1.678 .168

Total 14 3.395

Fhitung > Ftabel : Perlakuan berbeda nyataKesimpulan : Perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap pertumbuhan panjang pasca larva udangwindu

Lampiran 9. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan panjang pasca larva udang winduPenaeus monodon selama masa pemeliharaan

Selang Kepercayaan 95%Perlakuan Jumlah Ulangan

2 1

K 3 4.5920

A 3 4.8401 4.8401

B 3 4.9037 4.9037

C 3 5.1602 5.1602

D 3 5.5891

Sig. .144 .063

Page 54: contoh pasca laarva.pdf

41

Lampiran 10. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan bobot pasca larvaudang windu Penaeus monodon selama pemeliharaan

SumberKeragaman

dB JK KT Fhitung Ftabel

Perlakuan 4 28.463 7.116 4.087 .032

Sisa 10 17.409 1.741

Total 14 45.872 7.116

Fhitung > Ftabel : Perlakuan berbeda nyataKesimpulan : Perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap pertumbuhan bobot pasca larva udangwindu

Lampiran 11. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan bobot pasca larva udang winduPenaeus monodon selama masa pemeliharaan

Selang Kepercayaan 95%Perlakuan Jumlah Ulangan

2 1

K 3 18.6899

A 3 19.2289

B 3 19.4458

C 3 20.7489 20.7489

D 3 22.5281

Sig. .105 .130

Page 55: contoh pasca laarva.pdf

42

Lampiran 12. Hasil analisa sidik ragam kelangsungan hidup pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan

SumberKeragaman

dB JK KT Fhitung Ftabel

Perlakuan 4 56.667 14.167 .500 .737

Sisa 10 283.333 28.333

Total 14 340.000

Fhitung > Ftabel : Perlakuan tidak berbeda nyataKesimpulan : Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kelangsungan hidup pasca larvaudang windu

Lampiran 13. Hasil uji lanjut kelangsungan hidup pasca larva udang winduPenaeus monodon selama masa pemeliharaan

Selang Kepercayaan 95%Perlakuan Jumlah Ulangan

1

K 3 95.0000

A 3 95.0000

B 3 96.6667

C 3 98.3333

D 3 100.0000

Sig. .313

Page 56: contoh pasca laarva.pdf

43

Lampiran 14. Kelimpahan total Vibrio pada air media pemeliharan pasca larvaudang windu Penaeus monodon

Awal AkhirPerlakuan

Total VibrioLog

CFU/ml Total VibrioLog

CFU/ml

K1 1 0.00 6,800 3.83K2 1 0.00 50 1.70K3 50 1.70 1,000 3.00

Rataan 17 0.57 2,617 2.84SD 28 0.98 3,654 1.08A1 6,100 3.79 2,650 3.42A2 7,750 3.89 4,500 3.65A3 8,100 3.91 22,150 4.35

Rataan 7,317 3.86 9,767 3.81SD 1,068 0.07 10,764 0.48B1 13,700 4.14 150 2.18B2 10,050 4.00 12,200 4.09B3 10,000 4.00 10,500 4.02

Rataan 11,250 4.05 7,617 3.43SD 2,122 0.08 6,522 1.08C1 20,100 4.30 1,900 3.28C2 5,550 3.74 1,200 3.08C3 36,500 4.56 1,900 3.28

Rataan 20,717 4.20 1,667 3.21SD 15,484 0.42 404 0.12D1 40,700 4.61 50 1.70D2 12,000 4.08 750 2.88D3 11,850 4.07 1,250 3.10

Rataan 21,517 4.25 683.33 2.56SD 16613.42 0.31 602.77 0.75

Page 57: contoh pasca laarva.pdf

44

Lampiran 15. Kelimpahan total Vibrio pada pasca larva udang windu Penaeusmonodon

Awal AkhirPerlakuan

Total Vibrio Log CFU/ml Total Vibrio Log CFU/ml

K1 700 2.85 150 2.18K2 2,100 3.32 500 2.70K3 2,500 3.40 1 0.00

Rataan 1,767 3.19 217 1.63SD 945 0.30 256 1.43A1 1,500 3.18 550 2.74A2 4,950 3.69 1,100 3.04A3 4,250 3.63 1 0.00

Rataan 3,567 3.50 550 1.93SD 1,824 0.28 550 1.68B1 3,500 3.54 50 1.70B2 1,400 3.15 200 2.30B3 2,300 3.36 1,000 3.00

Rataan 2,400 3.35 417 2.33SD 1,054 0.20 511 0.65C1 1,800 3.26 400 2.60C2 2,550 3.41 500 2.70C3 2,600 3.41 300 2.48

Rataan 2,317 3.36 400 2.59SD 448 0.09 100 0.11D1 2,250 3.35 600 2.78D2 1,250 3.10 1 0.00D3 3,400 3.53 550 2.74

Rataan 2,300 3.33 383.67 1.84SD 1075.87 0.22 332.34 1.59