proposal metode penelitian

35
PROPOSAL METODE PENELITIAN UJI KUALITAS AIR LAUT BAGI KELAYAKAN PERAIRAN BUDIDAYA ABALON DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

Upload: meyywuu

Post on 10-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

METOPEN

TRANSCRIPT

PROPOSAL METODE PENELITIAN

PROPOSAL METODE PENELITIAN

UJI KUALITAS AIR LAUT

BAGI KELAYAKAN PERAIRAN BUDIDAYA ABALON

DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

Disusun oleh

Nita Anggriani Bawoleh

120801288

FAKULTAS TEKNOBIOLOGI

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2014/2015

1

I. PENDAHULUAN

Latar belakang

Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumberdaya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana, dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Aspek penghematan dan pelestarian sumberdaya air harus di tanamkan pada segenap pengguna air (Effendi, 2003).

Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu dengan demikian, kualitas air akan berbeda dari suatu kegiatan ke kegiatan lain, sebagai contoh: kualitas air untuk keperluan irigasi berbeda dengan kualitas air untuk keperluan air minum. Air yang jernih bukan berarti air yang baik bagi ikan, karena jernih bukan satu-satunya sarat air berkualitas bagi ikan. Sering dijumpai ikan hidup dan berkembang dengan subur justru pada air yang bagi manusia menimbulkan kesan jorok. Ikan hidup dalam lingkungan air dan melakukan interaksi aktif antara keduanya (Effendi, 2003).

Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya: air minum, perikanan, pengairan/irigasi, industri, rekreasi dan sebagainya. Peduli kualitas air adalah mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang biasa dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna) (ICRF,2010). Saat ini pengembangan budidaya laut lebih banyak mengarah pada ikan-ikan yang bernilai tinggi dan tiram mutiara, sementara di perairan Indonesia masih banyak biota-biota laut yang masih bisa dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi, salah satunya adalah abalon.

Abalon (Haliotis spp.) merupakan salah satu jenis moluska laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi (McBride dan Conte, 2008). Hewan ini tergolong ke dalam klas Gastropoda, famili Haliotidae (Huchette dkk, 2003). Di alam dilaporkan terdapat sekitar 100 spesies yang berasal dari genus Haliotis, namun yang memiliki nilai komersil hanya sekitar 10 spesies (Takashi, 1980 ).

Permintaan dunia terhadap abalon dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Adapun pasar utama abalon di negara Asia yaitu Gina, Hong Kong, Korea, Jepang dan Singapura, di samping Amerika Serikat dan negara Uni Eropa. Namun, hingga saat ini mayoritas produksi abalon dunia masih didominasi dari hasil tangkapan di alam. Pada tahun 2002 diperkirakan produksi abalon dunia mencapai 22.600 ton, dari jumlah tersebut hanya kurang lebih 8.600 ton dihasilkan dari kegiatan budidaya (Gordon dan Cook, 2004). Budidaya abalon di dunia masih terus dikembangkan untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat, di samping itu harga jual abalon yang cukup tinggi dan cenderung terus meningkat juga merupakan salah satu daya tarik dalam pengembangannya. Abalon memilki prospek pengembangan di masa datang karena berbagai pertimbangan, antara lain teknik budidaya relatif sederhana baik perbenihan maupun pembesaran, dapat dijadikan mata pencaharian alternatif atau sampingan tanpa harus alih profesi, pemberian pakan alami berupa makroalga di antaranya Gracillaria dan U/va sp. yang sementara ini masih melimpah dan bisa diperoleh dari alam.

Di Indonesia ditemukan beberapa spesies abalon , namun yang dewasa ini memiliki pasar dan sudah berhasil perbenihannya yaitu spesies Haliotis asinina dan Haliotis squamata (Priyambodo, dkk. 2005). Keberhasilan budidaya perbenihan di berbagai negara seperti, China, Jepang, Pilipina, Australia termasuk di Indonesia, memacu pengembangan budidaya pembesaran yang bisa dilakukan outdoor di laut maupun indoors (Fleming dan Hone, 1996). Dalam kegiatan di hatchery, pemeliharaan induk abalon sistim indoor sering terjadi kematian beruntun dan bahkan

2

masal yang diduga karena faktor lingkungan yang disebabkan oleh adanya limbah ya.ng dihasilkan atau pembusukkan daging abalon yang mati. Kematian induk abalon sering berakibat terganggunya produksi benih secara kontinyu.

Oleh karena itu berbagai komponen riset masih perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang faktor lingkungan yang optimum bagi pemeliharaan abalon seperti salinitas maupun system budidaya indoor yang berkelanjutan serta pengembangan pakan buatan pada budidaya abalon. Beberapa peneliti telah melaporkan tentang adanya pengaruh salinitas terhadap sintasan beberapa spesies kekerangan di antaranya jenis kerang hijau Chlamys opercularis (Paul, 1980) namun pada spesies abalon baru dilaporkan untuk Haliotis asinina (Singhagraiwan dkk, 1992) dan H. diversicolor supertexta (Chen dan Chen, 2000), sedangkan dari jenis H. squamata belum diperoleh informasi. Salinitas media pemeliharaan merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam proses pembenian dan pemeliharaan abalon di hatchery, sehingga dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas benih abalon yang dihasilkan.

Hal lain yang juga penting dalam pemeliharaan abalon adalah menerapkan parameter lingkungan yang optimum serta mencegah terjadinya penurunan mutu lingkungan yang dapat berakibat pada terjadinya stress, terhambatnya pertumbuhan atau bahkan hal yang dapat berakibat fatal bagi abalon sehingga terjadi kegagalan panen. Pengembangan pakan untuk pembesaran abalon juga perlu dilakukan. Hal ini untuk mengantisipasi perkembangan budidaya abalon dan untuk menekan kematian abalon yang biasanya terjadi dalam budidaya pembesaran. Penggunaan pakan segar mempunyai kelemahan yaitu jumlah dan kualitas bergantung pada musim, sedangkan pakan buatan dapat disusun berdasarkan kebutuhan biota yang dibudidayakan. B. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai uji kualitas air laut pada daerah budidaya perairan pernah dilakukan oleh dewi amirta (2011) tentang analisis perbandingan kualitas air laut di

3

daerah budidaya rumput laut dan daerah tidak budidaya rumput laut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas air antara budidaya rumput laut dengan daerah tidak ada budidaya rumput laut tidak terdapat perbedaan nyata untuk parameter intesitas cahaya, salinitas, suhu, nitrat, BOD, COD. Sedangkan kualitas air antara daerah budidaya rumput laut dengan daerah tidak budidaya terdapat perbedaan nyata untuk parameter kekeruhan, pH, oksigen terlarut, dan phosfat.C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi kualitas air laut yang ada pada daerah budidaya perairan

Abalon di balai budidaya laut lombok?

2. Apakah terjadi pencemaran terhadap air laut pada daerah budidaya perairan

yang mempengaruhi budidaya abalon?D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kondisi kualitas air laut di daerah budiddaya perairan abalon

2. Mengetahui adanya pencemaran pada daerah budidaya perairan yang

mempengaruhi budidaya abalon

E. Manfaat Penenlitian

Memberikan informasi kepada balai budidaya laut lombok tentang kualitas air laut yang ada dan memberikan informasi tambahan bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian lanjutan.4 5II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kualitas air

Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan terlarut dan sebagainya), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam dan sebagainya), dan parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri, dan sebagainya) (Effendi, 2003).

B. Parameter Kualitas air

1. Parameter fisika

a. Suhu

Menurut Nontji (1987), suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian- pengkajian kaelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika didalam laut, tetapi juga dengan kaitannya kehidupan hewan atau tumbuhan. Bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk pengkajian meteorologi. Suhu air dipermukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor- faktor metereolohi yang berperan disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan radiasi matahari.

Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran organisme baik dilautan maupun diperairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan biota air. Secara umum, laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan hewan budidaya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim(drastis) (Kordi dan Andi,2009).

b. Kecerahan

Kecerahan adalah parameter fisika yang erat kaitannya dengan proses fotosintesis pada suatu ekosistem perairan. Kecerahan yang tinggi menunjukkan daya

6tembus cahaya matahari yang jauh kedalam Perairan.. Begitu pula sebaliknya (Erikarianto,2008).

Menurut Kordi dan Andi (2009), kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan kedalam air dan dinyetakan dalam (%). Kemampuan cahaya matahari untuk tembus sampai kedasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity) air. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang paling keruh.

Parameter Kmia

a. pH

Menurut Andayani (2005), pH adalah cerminan derajat keasaman yang diukur dari jumlah ion hidrogen menggunakan rumus pH = -log (H+). Air murni terdiri dari ion H+dan OH-dalam jumlah berimbang hingga Ph air murni biasa 7. Makin banyak banyak ion OH+dalam cairan makin rendah ion H+dan makin tinggi pH. Cairan demikian disebut cairan alkalis. Sebaliknya, makin banyak H+makin rendah PH dan cairan tersebut bersifat masam. Ph antara 7 9 sangat memadai kehidupan bagi air tambak. Namun, pada keadaan tertantu, dimana air dasar tambak memiliki potensi keasaman, pH air dapat turun hingga mencapai 4.

pH air mempengaruhi tangkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh hewan budidaya. Pada pH rendah( keasaman tinggi),kandungan oksigan terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas naik dan selera makan akan berkurang. Hal ini sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini, maka usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH 6,5 9.0 dan kisaran optimal adalah ph 7,5 8,7(Kordi dan Andi,2009).

b) Oksigan Terlarut / DO

Mnurut Wibisono (2005), konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu,

7makin tinggi suhu, makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Dilaut, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen / DO) berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan dari hasil proses fotosintesis fitoplankton dan berjenis tanaman laut. Keberadaan oksigen terlarut ini sangat memungkinkan untuk langsung dimanfaatkan bagi kebanyakan organisme untuk kehidupan, antara lain pada proses respirasi dimana oksigen diperlukan untuk pembakaran (metabolisme) bahan organik sehingga terbentuk energi yang diikuti dengan pembentukan Co2 dan H20.

Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehinnga bila ketersediaannya didalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segal aktivitas biota akan terhambat. (Kordi dan Andi,2009).

C) CO2

Karbondioksida (CO2), merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air renik maupun tinhkat tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Meskipun peranan karbondioksida sangat besar bagi kehidupan organisme air, namun kandungannya yang berlebihan sangat menganggu, bahkan menjadi racu secara langsung bagi biota budidaya, terutama dikolam dan ditambak (Kordi dan Andi,2009). Meskipun presentase karbondioksida di atmosfer relatif kecil, akan tetapi keberadaan karbondioksida di perairan relatif banyak,kerana karbondioksida memiliki kelarutan yang relatif banyak.

d) Amonia

Makin tinggi pH, air tambak/kolam, daya racun amnia semakin meningkat, sebab sebagian besar berada dalam bentuk NH3, sedangkan amonia dalam molekul (NH3) lebih beracun daripada yang berbentuk ion (NH4+). Amonia dalam bentuk molekul dapat bagian membran sel lebih cepat daripada ion NH4+ (Kordi dan Andi,2009).

e) Nitrat nitrogen

Menurut Susana (2002), senyawa kimia nitrogen urea (N-urea) ,algae

8memanfaatkan senyawa tersebut untuk pertumbuhannya sebagai sumber nitrogen yang berasal dari senyawa nitrogen-organik. Beberapa bentuk senyawa nitrogen (organik dan anorganik) yang terdapat dalam perairan konsentrasinya lambat laun akan berubah bila didalamnya ada faktor yang mempengaruhinya sehingga antara lain akn menyebabkan suatu permasalahan tersendiri dalam perairan tersebut.

Menurut Andayani (2005), konsentasi nitrogen organik di perairan yang tidak terpolusi sangat beraneka ragam. Bahkan konsentrasi amonia nitrogen tinggi pada kolam yang diberi pupuk daripada yang hanya biberi pakan. Nitrogen juga mengandung bahan organik terlarut. Konsentrsi organik nitrogan umumnya dibawah 1mg/liter pada perairan yang tidak polutan. Dan pada perairan yang planktonya blooming dapat meningkat menjadi 2-3 mg/liter.

f. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Menurut Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa dalam uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah: 1) Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahanbahan tereduksi lainnya yang disebut juga intermediate oxygen demand; 2) Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari; 3) Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan nilai total BOD melainkan

9

hanya kira-kira 68 % dari total BOD; 4) Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat didalam air tersebut, misalkan adanya germisida seperti chlorine yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti. BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 0C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982).

Tabel 1. Derajat keasaman berdasarkan nilai BOD

C. Klasifikasi Abalon

Klasifikasi abalon menurut Hegner dan Engeman (1968) adalah sebagai

berikut:

Regium : Animalia

Filum : Mollusca

Kelas : Gastropoda

Ordo : Prosobranchia

Sub Ordo : Archeogastropoda (Aspidobranchia)

10

Famili : Haliotidae

Genus : Haliotis

Spesies : Haliotis asinina

D. Morfologi Abalon

a. Cangkang

Abalone memiliki cangkang tunggal atau monovalve dan menutupi hampir seluruh tubuhnya. Pada umumnya berbentuk oval dengan sumbu memanjang dari depan (anterior) ke belakang (posterior) bahkan beberapa spesies berbetuk lebih lonjong. Sebagaimana umumnya siput, cangkang abalone berbentuk spiral namun tidak membentuk kerucut akan tetapi berbentuk gepeng (Fallu, 1991).

Kepala terdapat dibagian anterior sedangkan puncak dari lingkaran (spiral) adalah bagian belakang (posterior) pada sisi kanan. Bagian luar cangkang biasanya agak kasar sedangkan bagian dalamnya halus bahkan beberapa species berwarna-warni. Pada bagian sisi kiri cangkang terdapat lubang-lubang kecil berjajar. Lubang di bagian depan lebih besar semakin ke belakang mengecil dan tertutup. Biasanya lubang-lubang yang terbuka jumlahnya lima, lubang ini berfungsi sebagai jalan masuknya air yang mengandung oksigen dan keluarnya karbondioksida bahkan keluarnya sel-sel telur atau sperma. Pertumbuhan cangkang terjadi dengan adanya penambahan di bagian depan pada sisi kanan. Garis-garis pada cangkang menunjukkan pertumbuhan.

b. Kaki

Kaki pada abalone bersifat sebagai kaki semu, selain untuk berjalan juga untuk menempel pada substrat/dasar perairan. Kaki ini sebagian besar tertutup oleh cangkang dan terlihat jelas bila abalone dibalik. Sebagian dari kaki ini tidak seluruhnya tertutup oleh cangkang nampak seperti sepasang bibir. Bibir ini biasanya ditutup oleh kulit yang keras/kuat yang berfungsi sebagai perisai untuk melawan musuhnya. Warna bibir sangat bervariasi pada setiap spesies akhirnya digunakan

11

dalam pengklasifikasian spesies seperti brownlip abalone dan greenlip abalone (Fallu, 1991).

Pada sekeliling tepi kaki jelas terlihat dari atas sederetan tentakel untuk mendeteksi makanan atau predator yang mendekat. Bagian dari abalone yang dimakan (dikonsumsi) adalah otot daging yang menempel pada cangkang dan kaki sedangkan bagian isi perut dan gonad pada kulit terluar dari kaki dibuang (Fallu, 1991).

c. Kepala

Kepala abalone terdapat dibagian depan dari kaki, dilengkapi dengan sepasang tentakel panjang pada bibir. Tentakel ini ukurannya lebih besar seperti halnya tangkai mata pada siput darat. Mulut terdapat dibagian dasar dari kepala, tidak memiliki gigi tapi terdapat lidah yang ditutupi oleh gigi geligi dan disebut radula yang digunakan untuk memarut atau menggerus makanan yang menempel pada substrat (Fallu, 1991).

E. Anatomi Abalon

a. Kelenjar Reproduksi

Kelenjar reproduksi atau gonad berbentuk kerucut yang terletak antara cangkang dan kaki. Posisi gonad sejajar dengan cangkang seperti halnya lubang pada cangkang, dan memanjang sampai ke bagian puncak gelungan cangkang. Pada umumnya abalone bersifat dioecious dimana kelamin jantan dan betina terpisah. Warna gonad menunjukkan kelamin jantan atau betina. Gonad jantan berwarna cream, ivory atau putih tulang, sedangkan betina berwarna hijau kebiruan. Biasanya gonad abalone yang belum dewasa berwarna abu-abu sehingga sulit membedakan jenis kelaminnya (Fallu, 1991).

b. Insang

Abalone memiliki sepasang insang dalam sebuah rongga mantel di bawah deretan lubang pada cangkang. Air laut melalui lubang pada cangkang, masuk ke

dalam rongga mantel bagian depan dan keluar melalui insang. Pada saat air melewati

12

insang oksigen diserap dan sisa gas dibuang (Fallu, 1991).

C. Sistem Pernafasan

Lubang pada cangkang abalone berfungsi sebagai jalan air. Air akan masuk melalui bukaan cangkang anterior seterusnya melalui insang yang bekerja mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Kemudian air akan dikeluarkan kembali melalui lubang respirasi ini. Segala macam ekskreta dan egesta serta gamet juga dikeluarkan dari rongga mantel melalui lubang-lubang respirasi ini. Pada abalone yang cangkangnya halus, aliran air pada lubang respirasi disebabkan oleh gerakan silia, sedangkan aliran air pada abalone yang cangkangnya kasar disebabkan oleh beda tekanan air di dalam dan di luar cangkang. Darah abalone mengandung haemocyanin dimana akan berwarna biru bila kandungan oksigen tinggi dan tidak berwarna bila kandungan oksigen rendah. Jantung memompa darah yang kaya akan oksigen dari insang masuk ke dalam kaki/otot melalui 2 pembuluh utama kemudian masuk ke dalam kapiler. Dari kapiler oksigen merembes ke dalam seluruh jaringan (Fallu, 1991).

F. Habitat, Penyebaran dan Siklus hidup

Octaviany (2007) menyatakan bahwa suku Haliotidae memiliki penyebaran yang luas dan meliputi perairan seluruh dunia, yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan pantai Atlantik di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat. Abalone paling banyak ditemukan di perairan dengan suhu yang dingin, di belahan bumi bagian selatan yaitu di perairan pantai Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia. Sedangkan di belahan bumi utara adalah di perairan pantai barat Amerika dan Jepang.

Menurut Setyono (2004), abalone paling banyak ditemukan di daerah beriklim empat musim, hanya sedikit jenis yang dapat ditemukan di daerah tropis. Loco (Concholepas concholepas Bruguiere 1789) adalah abalone yang bercangkang keras berwarna hitam yang merupakan jenis yang paling banyak diburu dan dikonsumsi di Chili. Abalone Pinto ditemukan di Kepulauan Aleutian, Alasi.a sampai daerah Point

13

Conseption, California Abalone Pinto merupakan satu - satunya abalone yang ditemukan hidup di alam British Columbia (Lepore, 1993).

Abalon menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai, terutama pada daerah yang

banyak ditemukan alga. Perairan dengan salinitas yang tinggi dan suhu yang rendah juga merupakan syarat hidup abalone. Abalone dewasa lebih memilih hidup di tempat - tempat dimana banyak ditemukan makroalga. Di daerah utara (Alaska sampai British Columbia), abalone umumnya berada pada kedalaman 0- 5 m, tetapi di California abalone berada pada kedalaman 10m (Lepore, 1993).

Abalon merupakan hewan yang tergolong dioecious Uantan dan betina terpisah) seperti moluska lainnya. Abalon memiliki satu gonad, baik jantan maupun betina yang terletak di sisi kanan tubuhnya. Abalone jantan dan betina dewasa mudah dibedakan, karena testis menampakan warna krem sedangkan ovarium menampakan warna kehijau - hijauan saat gonad matang. Pembuahan terjadi di luar (fertilisasi eksternal). Gamet jantan dan betina dilepaskan ke suatu perairan, kemudian terjadi pembuahan (Setyono, 2004)

Telur yang sudah dibuahi menetas menjadi larva yang bersifat planktonis, kemudian pada tahap selanjutnya akan memakan plankton hingga mulai terbentuk cangkang. Ketika cangkang sudah mulai terbentuk, juvenil abalone akan cenderung menuju ke dasar perairan dan melekatkan diri pada batu dengan memanfaatkan kaki ototnya. Setelah menenggelamkan diri, abalone berubah menjadi pemakan makroalga (Tom, 2007 dalam Octaviany, 2007).

G. Kondisi Lingkungan yang Mendukung Pertumbuhan Abalone

Moluska (keong laut dan kerang-kerangan) merupakan kelompok biota perairan laut Indonesia yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi. Spesies moluska banyak hidup di daerah ekosistem karang dan mangrove (Dahuri, 2003). Secara umum, gastropoda terbanyak hidup di laut dangkal, dan rataan terumbu merupakan bagian dari habitat laut dangkal terdiri dari pasir, karang, lamun, dan alga.

14

Rataan terumbu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, yaitu gerakan ombak, salinitas dan suhu (Nyabakken, 1992). Disamping itu, gastropoda hidup menempel pada substrat batu, karang dan karang mati.

Abalone bergerak menggunakan otot perut yang berfungsi sebagai kaki dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kakinya tidak cocok untuk kondisi dasar berpasir karena abalone tidak dapat melekat atau menempel. Abalone menghindari cahaya, pada saat terang mereka bersembunyi/menempel di bawah karang. Abalone hidup di perairan dengan salinitas konstan, lebih senang berada di lautan terbuka dan menghindari air tawar, sehingga abalone tidak ditemukan di daerah estuaria, dimana air tawar dapat masuk secara tiba-tiba, keruh dan suhu dapat meningkat secara tiba-tiba. Suhu air juga merupakan faktor yang memegangperanan penting bagi kehidupan organisme perairan termasuk abalone. Kisaran suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan dan mempengaruhi tingkat kematangan gonad dari individu abalone berkisar antara 27-280C. Selain itu, suhu perairan yang optimal tersebut membantu dalam proses pemijahan individu H. Asinina.

H. Kondisi Lingkungan yang Menghambat Pertumbuhan Abalon

Kondisi lingkungan menjadi salah satu indikator yang dapat menghambat pertumbuhan abalone. Lingkungan yang kotor menyebabkan kualitas air menurun yang menimbulkan stress pada abalone atau penanganan yang kurang hati-hati yang dapat menimbulkan luka. Pada keadaan ini, abalone sangat riskan terhadap serangan penyakit.

Dalam kehidupannya di alam, abalone menghadapi ancaman dari berbagai macam predator. Telur dan larva abalone biasanya ikut termakan oleh hewan pemakan plankton (plankton feeder). Pada fase juvenile, ketika mereka aktif di malam hari hewan-hewan seperti kepiting, lobster, bintang laut, ikan-ikan karang dan siput juga bisa memangsa mereka. Lepore (1993) menyatakan bahwa kerang abalone pada keadaan tertentu seringkali dimangsa oleh hewan lain di sekitar habitat karang. Hal

15

ini disebabkan hewan lain tersebut tertarik dengan kaki muscular pada abalone yang memiliki rasa enak dan tinggi kalori. Selain itu, abalone yang hidup di perairan dangkal juga menghadapi ancaman dari ombak besar yang menghantam karang. Abalone yang berukuran besar tidak dapat dimangsa oleh predator yang memangsanya pada saat masih berukuran kecil, tetapi masih ada pemangsa lain yang tidak kalah pentingnya .Pada suhu tertentu, sebagai hewan yang berdarah dingin akan terjadi kondisi dorman. Jika suhu meningkat, metabolisme akan meningkat dan nafsu makan akan terangsang. Bila suhu terus meningkat maka akan terjadi kematian.

I. Makanan dan Kebiasaan Makan

Abalone merupakan hewan herbivora yaitu hewan pemakan tumbuhtumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah seaweed yang biasa disebut makro alga. Jenis makro alga yang tumbuh di laut sangat beraneka ragam. Secara garis besar ada 3 golongan makro alga yang hidup di laut yaitu: makro alga merah (red seaweeds), alga coklat (brown seaweeds), dan alga hijau (green seaweed). Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa jenis dan beraneka ragam. Keragaman tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan abalone sebagai makanannya. Jenis makro alga merah diantaranya: corallina, lithothamnium, gracilaria, jeanerettia, porphyra. Makro alga coklat: ecklonia, laminaria, macrocystis, nereocystis, undaria, sargasum. Makro alga hijau seperti ulva

J. Penyakit pada Abalone

Menurut Kordi (2004) penyakit didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh, secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit dapat disebabkan oleh faktor abiotik seperti kualitas air, serta faktor biotik seperti mikroorganisme yang menempel pada permukaan tubuh. Penyakit terjadi melalui proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan, kondisi inang dan adanya patogen. Adanya ketidakseimbangan cekaman atau stress menyebabkan mekanisme pertahanan diri

16

yang dimiliki menjadi lemah dan akhirnya terjadi penyakit. Penyakit pada abalone akan muncul saat kondisi abalone turun akibat adanya perubahan suatu keadaan tertentu, seperti lingkungan yang kotor menyebabkan kualitas air menurun yang menimbulkan stress pada abalone atau penanganan yang kurang hati-hati yang dapat menimbulkan luka. Pada keadaan ini, abalone sangat riskan terhadap serangan penyakit.

Penyakit yang menyerang abalone saat ini masih terus diidentifikasi untuk mengetahui penyebabnya. Salah satu gejala yang ditimbulkan adalah timbulnya warna merah seperti karat pada bagian selaput gonad (bagian bawah cangkang). Abalone yang mengalami gejala ini dalam waktu 5-6 hari lapisan selaput akan sobek, nampak lepas dan jika dipegang sangat lembek (tidak dapat merespon rangsangan luar) yang akhirnya mengalami kematian (Tahang, 200617

III. METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan salah satu jenis penelitian deskritif yang akan dilakukan di balai budidaya luat lombok, Sekotong, Nusa Tenggara Barat dan Laboratorium Teknobiologi Lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk mengidentifikasi cemaran logam berat terhadap air laut yang ada. b. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan selama 3 bulan yaitu pada bulan januari 2016 sampai maret 2016. Alat dan Bahan

Alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, spektrofotometer untuk mengukur logam berat. pH meter untuk mengukur tingkat keasaman atau alkalinitas, refraktrometer yang di gunakan untuk mengukur salinitas, termometer batang digunakan untuk mengukur suhu, DO meter.

Bahan yang di gunakan adalah sampel air laut,aquades dan berbagai macam larutan yang akan di gunakan MnSO4, KI, H2SO4 pekat, amilum, Na2S2O3 untuk pengujian pada laboratorium. Cara Kerja

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, data yang dikumpulkan berupa data kualitas air baik yang diukur dan diamati di lapang atau yang dianalisis di laboratorium seperti suhu, kecerahan, warna dan bau sebagai parameter Fisik, Oksigen Terlarut, pH, dan Salinitas sebagai parameter Kimia. Selanjutnya data yang diperoleh ditabulasikan ke dalam bentuk tabel dan grafik. Data parameter kualitas air akan dianalisis secara deskriptif.

Pengukuran suhu

Termometer batang dimasukkan ke dalam air laut sampai angka konstan dan

suhunya di catat.

Pengukuran pH

pH meter di masukkan ke dalam air laut, angka yang ada pada pH meter

kemudian dicatat.

Pengukuran salinitas

Air laut di teteskan pada lempeng kaca refraktometer dan angka yang tertera

dicatat.

Curah hujan

Data curah hujan dapat di peroleh dari badan meteorologi, klimatologi dan

geofisika.

Pengukuran logam berat

Sampel air laut dimasukkan dalam wadah botol yang telah disiapkan. Sampel kemudian di uji menggunakan alat spektrofotometer. Spektrofotometer dan sampel disiapkan terlebih dahulu. Kemudian, tombol On/Off ditekan lalu kode fosfat dimasukan yaitu 320. Sampel diencerkan hingga 10 kali lalu di masukan ke dalam spektrofotometer. Tunggu hingga proses pembacaan selesai. Setelah selesai proses pembacaan, kemudian masukan tablet LR1 lalu dimasukan kembali ke dalam spektrofotometer dan tunggu hingga proses pembacaan selesai. Tablet LR2 dimasukan lalu dimasukan kembali kedalam spektrofotometer dan tunggu proses pembacaan selesai. Hasil yang dimuncul pada monitor dicatat. Chat conversation end.D. Analisi data

Untuk membandingkan setiap parameter kualitas air di daerah perairan budidaya

dilakukan uji MannWithney (SPSS 16).

18

19

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier

Scientific Publishing Company.Amsterdam :

Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius. Jogjakarta

Fallu, 1991. Abalone Farming. Fishing News Book, Oshey Mead, Oxford Oxoel,

England.

Hahn, K.O. 1989. Artificial induction of spawning and fertilization. In: Handbook of

culture of abalone and other marine gastropods (Hahn, K.O. ed.). CRC Press

Hardjojo B dan Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan Analisis Kualitas Air. Edisi

Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas Terbuka. Jakarta.

Hegner, R.B., & Engemann, J.G.,1968, Invertebrata Zoology, Macmillan

Publishing Co. INC, New York. Inc. Boca Raton, Florida. p. 53-70.

Kordi, K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan Kakap. PT Perca Jakarta.

Lepore, C.1993. Abalone Study Haliotis kamschatkana. Departemen of Fisheries and

Oceans. Pasific Biological Station. http//www.oceanlink.island.net 62 hal

Lee, J.M. 1992. Biochemical Engineering. New Jersey: Prentice Hall

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman, M.,

Koesoebiono, D.G. Begen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo [Penerjemah].

Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. PT. Gramedia.

Jakarta.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Priyambodo, B.,Y. Sofyan dan I.S. Jaya. 2005. Produksi Benih Kerang Abalone

(Haliotis asinina) Di Loka Budidaya Laut Lombok. Seminar Nasional

Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Perikanan dan Kelautan

UGM, Yogyakarta. Halaman 144- 148.

Tahang, Imron dan Bangun, 2006. Pemeliharaan Kerang Abalone (Haliotis asinina)

Dengan Metode Pen-Culture (Kurungan Tancap) dan Keramba jaring Apung

(KJA). Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan

Budidaya. Balai Budidaya Laut Lombok.

20