propen langsung print

Upload: lorinza-kaluku

Post on 12-Jul-2015

136 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Pertama tama puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan izin dan rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan makalah ini. Seperti yang kita ketahui bersama, tanggung jawab konselor / guru pembimbing sebagai bagian dari sistem pendidikan di lembaga pendidikan formal adalah memberi pelayanan bimbingan agar tercapai tujuan pendidikan (pembelajaran) secara maksimal. Untuk itu seorang konselor yang profesional dituntut memahami berbagai karakteristik dari belajar / proses pembelajaran. Tidak ada satupun manusia yang dapat mewujudkan dirinya secara sempurna untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan target yang diinginkan oleh para guru sebagai penanggung jawab setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, konselor yang profesionalpun dituntut memahami berbagai jenis hambatan / kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik, khususnya di pendidikan dasar dan menengah. Konselor diharapkan dapat menerapkan diagnosa kesulitan / hambatan belajar bagi peserta didik yang dianggap sebagai kasus dan ia dapat bekerja sama dengan berbagai pihak secara profesional. Penerapan konseling bagi para kasus yang bermasalah diharapkan dapat tuntas agar peserta didik tersebut dapat berfungsi kembali secara maksimal. Akhir kata, kami dari kelompok IV mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada bebagai pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kita menyadari bahwa secara keseluruhan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menunggu masukan dari para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat. Jakarta, 17 November 2009

Penulis1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Beragam permasalahan dialami oleh para siswa dalam menjalankan perannya selaku pelajar di sekolah. Dimana mereka diharapkan dapat memahami pelajaran yang diterimanya serta berprestasi dan mampu bersaing secara sehat untuk berlomba meraih prestasi yang gemilang. Namun kenyataan tak seindah keinginan. Masih banyak siswa yang mengalami beragam hambatan dan kesulitan, sehingga berakibat pada pencapaian prestasi yang tidak sesuai dengan harapan. Prestasi yang rendah dan tidak sesuai dengan harapan, bukan berarti karena anak tersebut memiliki kemampuan yang rendah atau taraf inteligensi yang rendah. Sebab tidak semua anak yang tidak berprestasi merupakan anak yang berinteligensi rendah. Adakalanya prestasi yang rendah tersebut disebabkan karena anak memiliki kesulitan dalam proses belajarnya atau biasa dikatakan dengan learning disabilities (LD). Abin Syamsudin (1996: 207) menyimpulkan definisi kesulitan belajar bahwa "seorang siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar apabila yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu". Kekeliruan dan beragam pemahaman tentang anak yang mengalami kesulitan belajar banyak dijumpai di lapangan. Baik di kalangan umum, maupun di kalangan guru atau pendidik sendiri. Siswa yang prestasinya rendah atau tertinggal dalam pelajaran secara otomatis dikatakan bodoh. Padahal bisa jadi kemampuan siswa sebenarnya bisa lebih dari itu, tapi karena siswa mengalami kesulitan dalam belajar, akhirnya ia menjadi tidak berprestasi ataupun kemampuan siswa tidak terlihat secara optimal sehingga prestasi siswa tidak sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya. Hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terpola untuk menciptakan suasana dan memberikan pelayanan agar anak didik dapat belajar secara efektif.

2

B. Identifikasi masalah Dalam penulisan makalah ini, penulis ingin mengulas beberapa faktor kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar, sehingga dapat dicari langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi kesulitan tersebut dengan harapan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif. Namun dalam hal ini penulis memberikan batasan masalah yaitu hanya berkisar tentang kesulitan belajar, dimana kesulitan belajar tersebut telah di klasifikasikan menjadi 4 kelompok kecil, antara lain: Masalah belajar Masalah pribadi Masalah sosial Masalah karir

Lebih jauhnya, akan dibahas mengenai : Keterampilan dasar dalam menangani siswa bermasalah Keterampilan berempati Keterampilan mendengarkan secara aktif Kerjasama dengan guru pembimbing dalam menangani masalah siswa Teknik mengidentifikasi masalah siswa

C. Tujuan penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui berbagai kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar, serta menemukan solusi yang tepat.

3

BAB II PEMBAHASAN Problem yang Dihadapi Siswa di Sekolah Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan lembaga hukum yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya. Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.

4

Sesuai dengan landasannya Layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah berdasarkan atas PP Nomor 28 Tahun 1990 Bab X Pasal 25 Ayat (1), yang menyatakan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan. Berdasarkan pedoman Bimbingan dan Penyuluhan siswa di Sekolah Dasar Tahun 1995/1996, layanan Bimbingan dan Konseling bertujuan agar para siswa dapat mewujudkan diri sebagai pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, pelajar kreatif dan pekerja produktif. Sebelum membahas lebih lanjut lagi mengenai hal hal : Keterampilan dasar dalam menangani siswa bermasalah Keterampilan berempati Keterampilan mendengarkan secara aktif Kerjasama dengan guru pembimbing dalam menangani masalah siswa Teknik mengidentifikasi masalah siswa

Maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu permasalahan / kesulitan apa saja yang dihadapi oleh para siswa dalam belajar. Seperti yang telah disebutkan dalam batasan masalah, terdapat 4 permasalahan dalam kesulitan belajar siswa, yakni: Masalah belajar Masalah pribadi Masalah sosial Masalah karir

Untuk itu mari kita bahas satu persatu permasalahan tersebut. 1. Masalah Pendidikan (Pengajaran atau Belajar) Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada

5

akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya. Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut. 1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai. 2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik. 3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah. 4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama. 5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.6

Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain : 1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya. 2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah 3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan. 4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya. 5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya. 6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya. Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila : 1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference). 2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.

7

3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater) Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa: (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian. 1. Tujuan pendidikan Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.8

2. Kedudukan dalam Kelompok Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan. Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar. 3. Perbandingan antara potensi dan prestasi Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan9

psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever. 4. Kepribadian Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan polapola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan polapola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya. Maka untuk mengatasi masalah tentang kesulitan belajar adalah dengan bimbingan belajar. Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1. Identifikasi kasus Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni : a) Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. b) Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas

10

pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. c) Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya. d) Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa. e) Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian social 2. Identifikasi Masalah Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial material; (b) struktural fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan mudamudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang. 3. Diagnosis Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau11

kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya. 4. Prognosis Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus kasus yang dihadapi. 5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus) Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten. 6. Evaluasi dan Follow Up Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa. Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteriakriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu : Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;12

Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya. Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003)

mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila: a) Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi. b) Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi. c) Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance). d) Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release). e) Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya f) Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional. g) Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya. Solusi penyelesaian masalah kesulitan belajar Seperti yang telah dibahas diatas, terdapat berbagai solusi dalam menangani masalah kesulitan belajar siswa. Salah satunya yaitu dengan memberikan cara cara belajar efektif sehingga siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Adapun cara belajar yang efektif antara lain: Belajar kelompok. Belajar kelompok dapat menjadikan kegiatan belajar lebih menyenangkan karena ditemani oleh teman dan berada dirumah sendiri sehingga lebih santai. Namun sebaiknya tetap didampingi oleh orang dewasa agar belajar tidak berubah menjadi bermain. Belajar kelompok ada baiknya mengajak teman yang pandai dan rajin belajar agar yang tidak pandai dapat ketularan pintar. Dalam belajar kelompok kegiatannya adalah membahas13

yang belum dipahami oleh semua atau sebagian kelompok belajar baik yang sudah dijelaskan oleh guru maupun belum dijelaskan. Rajin membuat catatn intisari pelajaran. Bagian bagian penting dari pelajaran sebaiknya dicatat dikertas atau buku kecil yang dapat dibawa kemana mana sehingga dapat dibaca dimanapun kita berada. Namun catatan tersebut jangan dijadikan media mencontek karena dapat merugikan diri sendiri. Membuat perencanaan yang baik. Untuk mencapai suatu tujuan biasanya diiringi oleh rencana yang baik. Oleh karena itu ada baiknya kita membuat rencana belajar dan rencana pencapaian nilai untuk mengetahui apakah kegiatan belajar yang kita lakukan telah maksimal atau perlu ditingkatkan. Disiplin dalam belajar. Seorang siswa harus memiliki jadwal belajar apabila kita telah memiliki jadwal belajar maka harus dijalankan dengan baik sehingga kegiatan belajar menjadi terkontrol dan terarah. Menjadi aktif bertanya dan ditanya. Jika ada hal yang belum jelas, maka tanyakan kepada guru, teman, atupun orang tua. Jika kita bertanya, biasanya kita akan ingat jawabannya. Oleh sebab itu cara ini sangat efektif dalam membantu siswa mengatasi kesulitan belajar. Selain hal hal diatas, masih banyak lagi cara cara belajar yang efektif. Namun untuk membahasnya satu persatu lebih baik jika melakukan konsultasi langsung dengan guru pembimbing maupun konselor. 2. Masalah Pribadi Masalah-masalah pribadi dalam lingkup sekolah umumnya bercikal bakal dari dalam pribadi individu yang berhadapan dengan lingkungan - lingkungan sekitarnya. Masalah - masalah semacam ini banyak dialami oleh pemuda pada waktu menjelang masa adohosensi yang ditandai dengan perubahan yang cepat, baik fisik maupun mental. Selain itu, berdampak pula terhadap sikap dan perilaku. Misalnya, ingin menyendiri, cepat bosan, agresif, emosi yang meninggi, hilangnya kepercayaan diri, dan lain-lain.

14

Untuk mencapai kompetensi dan keterampilan hidup yang dibutuhkan maka siswa tidak cukup hanya diberi pelajaran bidang studi. Sekolah berkewajiban memberi bimbingan dan konseling yang menyangkut ketercapaian kompetensi pribadi sosial, belajar, dan karier (Nurihsan & Sudianto, 2004). Dalam hubungan dengan layanan bimbingan konseling di sekolah yang merupakan bagian dari program pendidikan, pada kenyataan fokus bimbingan dan konseling di sekolah sekarang ini cenderung menitikberatkan pada layanan bimbingan belajar dan bimbingan karier serta kurang mengembangkan aspek pribadi sosial siswa. Menurut Handarini (2000), pendidikan di Indonesia lebih dipusatkan pada pengembangan akademik (aspek kognitif). Hal ini juga berpengaruh pada sikap orang tua yang memasukkan anaknya ke sekolah unggulan dengan harapan memperoleh prestasi yang tinggi. Hal ini menjadi bukti bahwa prestasi akademik menjadi factor pentingdalam keberhasilan seseorang, sementara aspek pribadi-sosial yang antara lain seperti kesadaran emosi kurang mendapat perhatian Menurut Segal (2003), kesadaran emosi sangat penting bagi seseorang sebab tanpa kesadaran emosi, tanpa kemampuan untuk mengenal dan menghargai perasaan yang dialami, serta bertindak jujur sesuai dengan perasaan tersebut individu akan mengalami banyak kesulitan dalam kehidupannya, tidak dapat mengambil keputusan dengan mudah, dan sering terombang-ambing oleh berbagai keadaan yang terjadi di sekelilingnya. Demikian juga pendapat Drost (dalam Tilaar, 2002) bahwa penguasaan kurikulum sekolah hanya cocok untuk sekitar 30 % siswa. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat banyak siswa yang mengalami tekanan, hambatan karena tak mampu menyerap kurikulum sekolah, sebagai akibat dari tuntutan kurikulum yang terlalu tinggi, berat, dan tidak sesuai dengan kemampuan siswa maka akan berdampak negatif pada emosi anak, sehingga akan memunculkan perilaku emosional yang beraneka ragam. Anak menjadi mudah marah, putus asa, sulit mengendalikan dorongan hati, sulit mengambil keputusan, dan sulit memotivasi diri.15

Bahkan dalam situasi ini akan membuat anak menjadi takut, merasa harga diri kurang, bersikap agresif, acuh tak acuh, sulit berkonsentrasi, mengganggu di kelas, menghindari tanggung jawab, tidak ada gairah belajar, sering membolos, mencari hiburan yang tidak sehat (bermain play station) bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh nilai yang tinggi seperti menyontek atau membeli soal-soal ujian. Di dalam lingkungan kelas, siswa akan menunjukkan off task behavior dalam proses belajar mengajar, seperti tingkah laku impulsif, meninggalkan tempat duduk, tidak memperhatikan penjelasan guru, tidak menyelesaikan tugas, berbicara tanpa permisi, tidak mempunyai motivasi belajar, tidak siap mengikuti kegiatan belajar di kelas dan berperilaku destruktif (Sparzo & Pattet, 1989). Lebih parah lagi, karena kurangnya kesadaran emosi dan jika dibiarkan terusmenerus akan membuat remaja mengalami emosi yang semakin kuat, sehingga mengakibatkan terjadi gangguan perilaku dalam bentuk menggunakan obat-obat terlarang, bertingkah laku nakal, menjadi pelaku kekerasan baik di sekolah atau di luar sekolah, dan menjadi pecandu minuman keras. Menurut Stephens (1997), terjadinya peningkatan angka drop out di sekolah karena dipengaruhi oleh kekerasan. Mencermati masalah yang diuraikan tersebut di atas, maka akibatnya remaja akan cenderung menunjukkan pribadi yang kurang mempunyai kesadaran emosi

(emotional awareness), sehingga muncul perilaku-perilaku kekerasan, misalnya terlibat dalam perkelahian masal, mabuk-mabukan,melakukan pencurian, perkosaan bahkan pembunuhan. Contoh, remaja yang memperkosa 2 orang anak balita sampai tewas (Jawa Pos, 10 Februari 2002), seorang siswa remaja di Sumatra Selatan yang membunuh gurunya berawal dari teguran karena terlambat masuk kelas setelah jam istirahat (Jawa Pos, 5 September 2003). Seorang siswa sekolah menengah di Ambon membacok gurunya karena ditegur tidak membuat pekerjaan rumah mata pelajaran IPA. (Jawa Pos, 15 Februari 2005). Keadaan ini menjadi lebih tragis lagi, jika dalam keadaan kurang kesadaran emosi dan remaja tidak mampu mengatasi masalah yang menekan dirinya, maka remaja akan mengambil jalan pintas untuk bunuh diri. Contoh, kasus seorang remaja di16

Surabaya yang nekat membunuh diri karena kesal sering dimarahi oleh keluarganya. Tindakan yang sama dilakukan oleh Eko Haryanto, remaja yang nekat membunuh diri karena malu tidak dapat membayar uang SPP menjelang ujian (Kompas, 5 Mei 2005). Malahan siswa SD kelas IV di Yogyakarta nekat gantung diri karena takut dimarahi guru karena tidak menggunakan seragam pramuka karena basah (Jawa Pos, 16 Desember 2005); dan siswa SD di Tegal berupaya bunuh diri karena merasa malu sebab menunggak uang sekolah. Peristiwa- peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran emosi membuat seseorang tak mampu mengendalikan emosinya sehingga mengambil jalan pintas. Maka untuk mengatasi masalah tentang kesulitan pribadi adalah dengan bimbingan pribadi. Bimbingan pribadi merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan tentang masalah masalah pribadi. Secara umum, prosedur bimbingan pribadi dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Identifikasi kasus Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan pribadi. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan pribadi, yakni : a) Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. b) Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. c) Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. d) Melakukan analisis terhadap perilaku siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau masalah pribadi yang dihadapi siswa.17

e) Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian social 2. Identifikasi masalah Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. 3. Diagnosisi Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks ini faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi tingkah laku yang dipelihatkan siswa tersebut sehari - hari. Faktor faktor yang mungkin dapat menimbulkan maslah pribadi siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya. 4. Prognosis Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus kasus yang dihadapi. 5. Remedial atau referral (Alih Tangan Kasus) Jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten. 6. Evaluasi atau Follow Up Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh18

tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa. 3. Masalah Sosial Proses memperoleh dasar-dasar kesadaran emosi (emotional awareness) dimulai pada masa usia dini atau mulai dari dalam buaian (from the cradle) dan berlanjut seterusnya dalam kehidupan anak. Semua pergaulan atau interaksi di masa kecil antara orang tua dan anak mempunyai makna emosional dan dalam pengulangan pesan-pesan emosional selama bertahun-tahun maka akan membentuk inti pandangan serta kemampuan emosionalnya. Interaksi antara orang tua dan anak menurut Erikson (Goleman, 1995) akan menanamkan kepercayaan dasar, yaitu apabila anak mendapat perhatian terhadap kebutuhannya yang dapat dipakai sebagai sandaran dan pertolongan. Sebaliknya apabila anak gagal mendapat perlindungan atau sandaran maka akan melahirkan kecurigaan dasar. Kecurigaan dasar membentuk pandangan anak bahwa kemampuan emosional dan fungsi diri kurang diperhatikan oleh orang lain, sehingga anak- anak akan menunjukkan kondisi emosi yang sangat buruk, seperti mudah cemas, kurang atensi, apatis, mudah agresif, dan menarik diri dari pergaulan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Blazelton (Goleman, 1995) menunjukkan bahwa bayi yang mendapat persetujuan dan dorongan akan berkembang menjadi anak yang optimis, sebaliknya bayi yang diabaikan akan berkembang menjadi anak yang tidak percaya diri, pesimis dan akan mempengaruhi kesiapan anak memasuki sekolah. Dari hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peran orang tua dalam

pengendalian emosi anak sejak anak masih kecil (bayi) sangat menentukan perkembangan anak di kemudian hari. Sebab tiga atau empat tahun pertama dalam hidupnya merupakan periode di mana otak anak tersebut tumbuh hingga kurang lebih dua pertiga ukuran normal usia dewasa dan berkembang kerumitannya dengan laju yang lebih cepat daripada yang akan terjadi setelah itu. Selama periode ini jenis-jenis proses pembelajaran penting berlangsung lebih mudah daripada periode berikutnya dalam kehidupan dan yang utama di antaranya adalah kesadaran emosi. Jika dalam periode ini terjadi ketegangan yang hebat maka dapat merusak pusat-pusat belajar di otak, dengan demikian merusak kecerdasan anak.19

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari kesadaran emosi, sebab dalam lingkungan keluarga anak belajar tentang bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain merasakan perasaannya, serta bagaimana orang lain menanggapi perasaannya. Kesadaran emosi bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung melainkan contoh-contoh yang mereka berikan kepada anaknya

sewaktu menangani perasaan

mereka sendiri. Agar orang tua menjadi guru yang baik dalam kesadaran emosi anak maka mereka harus mempunyai pemahaman yang cukup baik tentang dasar-dasar kecerdasan emosional. Dengan demikian orang tua yang terampil secara emosional dapat membantu anak dengan memberikan dasar-dasar keterampilan emosional, seperti belajar mengenal, mengelola, dan memanfaatkan perasaan-perasaan, berempati, serta menangani perasaan-perasaan yang muncul dalam hubungan dengan orang lain. Orang tua yang terampil menangani emosi akan memiliki anak-anak yang pergaulannya lebih baik, sedikit bentrok dengan orang tua, pandai menangani perasaan, lebih efektif menenangkan diri saat marah dan tidak sering marah. Dari segi biologis, anak-anak yang mempunyai orang tua yang terampil mengendalikan emosi menunjukkan sikap lebih santai; dari segi sosial anak-anak tersebut populer, disukai teman-teman sebaya dan pandai bergaul; dari segi kognitif anak-anak tersebut dapat berkonsentrasi dengan baik dan lebih efektif. Oleh sebab itu, orang tua harus menjadi guru emosi yang penuh cinta/kasih sayang yang memberi ketenangan, rasa aman, memberi perhatian heart start sehingga anak menikmati kedamaian. Menurut Maslow (2000) kebutuhan rasa aman diperlukan sejak anak masih kecil di mana anak akan merasa berada dalam perlindungan dan kehangatan dari orang tua. Kebutuhan akan rasa aman dapat dipenuhi bila ada penghargaan dan simpati dari orang tua. Di pihak lain anak membutuhkan keadaan rumah yang penuh dengan suasana aman dan bersahabat, sebab rumah tangga yang tidak stabil karena perselisihan, pertengkaran, perselingkuhan yang mengarah ke perceraian orang tua akan membuat anak menjadi bingung dan tidak tahu harus memihak kepada siapa, apakah ayah atau20

ibu. Hal ini menjadi hambatan dalam perkembangan kesadaran emosi anak. Karena itu sebagai orang tua yang juga pendidik diharapkan menjadi model hidup dalam memberi teladan yang baik dan dapat ditiru oleh anak. Demikian juga dengan pola asuh orang tua sebagai pendidik dalam memberi hadiah, hukuman, perlakuan yang adil, dan pembuatan peraturan akan turut membentuk kesadaran emosi anak, karena itu pola asuh yang ditunjukkan oleh orang tua hendaknya mempunyai kesatuan bahasa artinya apa yang diucapkan atau dilakukan oleh ayah harus mendapat dukungan dari ibu, demikian sebaliknya jangan sampai bertentangan. Menurut Rimm S (2000) cara ayah dan ibu mendidik anak harus

menunjukkan front bersatu, artinya meskipun terdapat perbedaan dalam pengasuhan namun dari sudut pandang anak, mereka haruslah sama dan bersatu. Jika orang tua konsisten dengan apa yang diucapkan dan dilakukan maka anak-anak akan mengerti dan tahu apa yang diharapkan dari mereka. Maka untuk mengatasi masalah social adalah dengan menggunakan : Strategi mengembangkan kesadaran emosi (emotional awareness) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Therapy Focus Solution (TFS). Terapi ini tergolong pada pendekatan post modern yang tidak dipelopori oleh tokoh tunggal, melainkan hasil usaha kolektif yang terjadi berkat kepeloporan Insoo Kim Berg dan Steve De Shazer, masing- masing adalah direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga pembantuan nirlaba yang disebut Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wiscounsin Amerika Serikat. Insoo Kim Berg adalah teoritikus utama tentang Therapy Focus Solution (TFS) dan bersama Steve De Shazer mereka memimpin dan melaksanakan berbagai lokakarya tentang Therapy Focus Solution (TFS) di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Asia. Mereka menulis berbagai buku tentang Therapy Focus Solution (TFS) dan bersama rekan-rekannya mereka melanjutkan pengembangan teori dan praktiknya. Insoo Kim Berg adalah juru bicara terapi yang berorientasi solusi yang sangat berpengaruh. Ia memulai karya-karyanya pada pertengahan tahun 1980an hingga kini ia telah menerbitkan buku-buku dan rekaman video tentang pendekatan berfokus solusi.21

Sebagai seorang Amerika yang bertanah air Korea, Insoo Kim Berg mengembangkan pengaruh warisan budaya timur dari nenek moyangnya dengan pengalaman pelatihan sebagai pekerja sosial di barat. Hasilnya adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang merupakan perpaduan kreatif antara menumbuhkembangkan kesadaran dan proses membuat pilihan perubahan. Therapy Focus Solution (TFS) berawal dari asumsi-asumsi bahwa manusia itu sehat, mampu (kompeten), memiliki keberdayaan dirinya (kapasitas) tidak untuk membangun berkubang

(mengkonstruksi) solusi-solusi,

sehingga

semata-mata

dalam masalah/problem. Manusia tidak perlu terpaku pada masalah melainkan ia perlu berfokus pada solusi atau bergerak maju dan mengejawantahkan solusi. Tema problem/masalah perlu diganti dengan solusi/pemecahan masalah. Untuk memecah masalah tidak niscaya mengetahui penyebab problem tersebut, sebab tidak ada hubungan niscaya antara problem dengan solusinya. Setiap orang perlu mempertimbangkan bermacam solusi dan apa yang benar bagi seseorang belum tentu benar pada orang lain. Karena itu dalam Therapy Focus Solution (TFS) klien memilih sendiri tujuan yang akan dicapai dalam terapi. Bahkan sumber daya pemecahan masalah lebih banyak terdapat pada diri klien bukan pada konselor/terapis. Corey (2005) mendiskripsikan orientasi positif dengan ungkapan tumbuh kembangkan solusi yaitu bagian kehidupan manusia yang meningkatkan

harkat, bukan patologi, dengan demikian problem akan terselesaikan dan perubahanperubahan yang mengagumkanpun akan terjadi dengan cepat dan indah. Selanjutnya OHanlon (dalam Corey, 2005) mengemukakan bahwa manusia perlu didorong untuk keluar dari perilaku berulang menganalisis sifat-sifat dan penyebab problemnya, untuk segera memulai upaya menemukan solusi-solusi dan segera bertindak menyelesaikan atau memecahkan problemnya. Kekuatan seseorang untuk beralih dari orientasi problem ke orientasi solusi disebabkan bukan terletak pada masa lampau tetapi masa kini dan masa depan. Pada perspektif masa kini dan masa depan, manusia terdorong untuk meraih kehidupan yang lebih sehat dan bahagia. Selanjutnya proses terapeutik dalam Therapy Focus Solution (TFS) mencakup 2(dua) aktivitas,yaitu (1)aktivitas menumbuhkembangkan22

kesadaran (consciousness raising) dan (2) aktivitas membuat pilihan sadar (choosing). Menumbuhkembangkan kesadaran tentang pengalaman-pengalaman yang justru merupakan pola baku problem-problem yang selama ini menyita perhatian klien dapat menjadi awal dari pengejawantahan solusi, sedangkan membuat pilihan sadar, menentukan masa depan seseorang. Misalnya klien yang selalu berfokus pada kehidupan yang sarat depresi dapat membuat pilihan sadar untuk berpartisipasi dalam kegiatan rohani yang lebih banyak, lebih sering berolahraga, lebih banyak mendengar musik kesukaan, dan lain-lain. Langkah-langkah membangun solusi dengan Therapy Focus Solution (TFS) Menurut De Jong & Kim Berg (dalam Corey, 2005) langkah-langkah membangun solusi dengan Therapy Focus Solution (TFS) sebagai berikut (1) klien diberi kesempatan untuk mendeskripsikan problem, (2) terapis bersama klien mengembangkan tujuan-tujuan yang jelas, (3) terapis membantu klien mengeksplorasi saat-saat ketika problem tidak terjadi, (4) menumbuhkembangkan solusi (solution building

conversation), terapis memberikan ringkasan umpan balik (summary feedback), (5) terapis bersama klien mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai. Selanjutnya relasi terapeutik antara terapis dan klien ditujukan untuk mencapai suatu tujuan dan klien pada dasarnya adalah ahli yang paling mengetahui tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Tujuan-tujuan itu selalu unik untuk setiap klien dalam mencapai hari depan yang lebih baik, sedangkan terapis membantu klien membangun tujuan-tujuan mereka dalam rangka menghasilkan solusi yang sukses. Relasi antara terapis dan klien berdasarkan pada perspektif, bagaikan kolaborasi atau kerja sama multidisipliner antarapakar (terapis dan klien). Keduanya perlu membuat kriteria kemajuan atau

keberhasilan pencapaian tujuan, sehingga mereka dapat mengakhiri terapi pada waktu yang tepat. Therapy Focus Solution (TFS) dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan dimanfaatkan secara efektif. Karena waktu yang digunakan sedemikian terbatas maka memungkinkan klien untuk tidak bergantung sepenuhnya kepada terapis melainkan memberi kesempatan kepada klien melanjutkan solusi setelah terapi berakhir. Teknik yang digunakan untuk meningkatkan kesadaran emosi adalah teknik23

emotional Literacy (Steiner & Perry, 1997), dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Membuka hati Membuka hati adalah usaha untuk menenangkan dan membebaskan dari pikiran-pikiran dan kesibukan yang menguasai seseorang. Setelah tenang, siswa lebih mudah menyadari pengalaman Teknik ini membuat siswa lebih emosi dirinya maupun orang lain.

peka menyadari apa yang dirasakan,

bagaimana reaksi atau respon dirinya terhadap peristiwa yang dialami. b. Melihat kembali rentang perasaan atau daerah emosional Melihat kembali rentang perasaan adalah usaha untuk melihat pengalaman emosi tertentu yang terjadi dalam dirinya. Melihat pengalaman mulai dari awal yaitu peristiwa yang mendahului atau yang menimbulkan emosi,

bagaimana reaksi dan apa akibat dari reaksi itu terhadap diri sendiri dan orang lain. Dengan kata lain bahwa seseorang diajak untuk lebih mengenal kedalaman diri, siapa dirinya, dan bagaimana hubungan dengan apa yang ada di sekitarnya. c. Mengambil tanggung jawab Mengambil tanggung jawab berarti menentukan sikap dan tindakan yang akan diambil. Bersikap dan bertindak harus didasarkan pada kejujuran tentang segala perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab atas perbuatan tersebut telah dipertimbangkan dari berbagai segi, baik dari dalam diri maupun dari luar diri. Mengambil tanggung jawab merupakan salah satu aspek dari keterampilan menyadari dan mengendalikan emosi yang didasarkan pada pengenalan, pemahaman diri dan orang lain, mampu mengelola emosi dan mengekspresikan emosi, serta menggunakan emosi untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain. 4. Masalah karir ( Kelanjutan Studi ) Dalam pelayanan bimbingan dan konseling ada empat bidang pelayanan yang harus diberikan kepada siswa yaitu bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar dan bimbingan karir. Bimbingan karir pada hakekatnya merupakan salah satu upaya pendidikan melalui pendekatan pribadi dalam membantu individu untuk mencapai

24

kompetisi yang diperlukan dalam menghadapi masalah-masalah karir.

Donald D. Super (1975) mengartikan bimbingan karir sebagai suatu proses membantu pribadi untuk mengembangkan penerimaan kesatuan dan gambaran diri serta peranannya dalam dunia kerja. Menurut batasan ini, ada dua hal penting, pertama proses membantu individu untuk memahami dan menerima diri sendiri, dan kedua memahami dan menyesuaikan diri dalam dunia kerja. Oleh sebab itu yang penting dalam bimbingan karir adalah pemahaman dan peCareer guidance encompasses all of the service that aim at helping pupils make occupational and educational plans and decisions nyesuaian diri baik terhadap dirinya maupun terhadap dunia kerja. Tolbert, (1975:27) memaparkan bahwa . Pengertian Tolbert ini mengandung makna bahwa bimbingan karir merupakan salah satu bentuk layanan dalam membantu siswa merencanakan karirnya. Berdasarkan uraian terdahulu maka dapat dikatakan bahwa bimibingan karir merupakan suatu proses bantuan yang diberikan pada individu melalui berbagai cara dan bentuk layanan agar ia mampu merencanakan karirnya dengan mantap sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan, pengetahuan dan kepribadian serta faktor-faktor yang mendukung kemajuan dirinya. Faktor-faktor yang mendukung perkembangan diri tersebut misalnya informasi karir yang diperoleh siswa dan status sosial ekonomi orang tua. Peters dan Shetzer (1974:267) mengemukakan bahwa tujuan bimbingan karir adalah membantu siswa dengan cara yang sistematis dan terlibat dalam perkembangan karir. Guru pembimbing hendaknya dapat membantu siswa merencanakan karirnya sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat yang dimilikinya. Moh. Surya (1988:14) menyatakan bahwa tujuan bimbingan karir adalah membantu individu memperoleh kompetensi yang diperlukan agar dapat menentukan perjalanan hidupnya dan mengembangkan karir kearah yang dipilihnya secara optimal. Dari penjelasan-penjelasan di atas, secara essensial bimbingan karir merupakan salah satu proses layanan yang bertujuan membantu siswa dalam proses pemahaman diri, pemahaman nilai-nilai, pengenalan lingkungan, hambatan dan cara mengatasinya serta perencanaan masa depan. Masa depan harus direncanakan disongsong bukan di tunggu. Awal masa depan itu25

adalah di sini dan sekarang. Persiapan untuk menyongsong masa depan dilakukan melalui prosedur-prosedur tertentu baik melaui pendidikan informal, formal maupun non formal. Melalui pendidikan di sekolah siswa dibekali dengan berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap- sikap tertentu. Bekal yang diperoleh siswa di sekolah bertujuan untuk mempersiapkan mereka memasuki dunia kerja. Pacinski dan Hirsh (1971:8) menegaskan bahwa sekolah-sekolah mendapat kesempatan yang berharga melaui proses pendidikan untuk mempersipakn siswa memasuki dunia kerja. Salah satu bentuk layanan yang diberikan sekolah dalam upaya mempersiapkan siswa memasuki dunia kerja adalah bimbingan karir di samping kegiatan kurikuler. Melalui bimbingan karir siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih tepat tentang dirinya, pengenalan terhadap berbagai jenis sumber-sumber kehidupan serta penghargaan yang objektif dan sehat terhadap karir. Untuk mengantar siswa ke gerbang masa depan (pendidikan dan pekerjaan) yang diharapkan, program bimbingan karir yang dicanangkan di sekolah merupakan wadah yang tepat untuk itu. Melalui kegiatan bimbingan karir, siswa dibekali dan dilatih dengan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan apa, mengapa dan bagaimana merencanakan masa depan. Artinya siswa mulai dari kelas satu sampai tamat SMK dilatih, dibimbing untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan bagaimana merencanakan karir sepanjang hidup (career life span). Informasi karir Di dalam arus globalisasi yang memiliki diferensiasi sosial yang semakin kompleks, khususnya siswa SMK akan dihadapkan pada berbagai macam kemungkinan pilihan hidup yang penting, seperti pilihan untuk melanjutkan studi, pilihan tentang dunia kerja, pilihan tentang pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat, dan semua ini menuntut kemandirian dalam menjatuhkan pilihannya. Bagi siswa yang tidak dapat memahami potensi yang dimliki, di duga mereka juga tidak akan dapat menentukan berbagai macam pilihan karir, akhirnya akan mengalami masalah. Permasalahan karir merupakan permasalahan masa depan siswa. Kegiatan masa sekarang akan mewarnai masa depan seseorang. Agar siswa SMK dapat menyiapkan masa depannya dengan baik, siswa harus dibekali dengan sejumlah informasi karir yang26

akan dipilihnya. Informasi yang cukup dan tepat tentang seseorang individu, merupakan aset bagi individu yang bersangkutan untuk memahami faktor-faktor yang ada pada dirinya, faktor kekuatan maupun faktor kelemahan-kelemahannya. Menurut John Hayes dan Barrie Hopson (1981:37) informasi karir adalah informasi yang mendukung perkembangan bidang pekerjaan, dan berdasarkan informasi itu memungkinkan seseorang mengadakan pengujian akan kesesuaian dengan konsep dirinya. Lebih lanjut dikatakan informasi karir tidak hanya sekedar merupakan objek faktual, tetapi sebagai kemampuan proses psikologis untuk mentransformasikan informasi itu dikaitkan dengan pilihan dan tujuan hidup masa depan. Dewa Ketut Sukardi (1984:112) mengemukakan pada dasarnya informasi karir terdiri dari fakta-fakta mengenai pekerjaan, jabatan atau karir dan bertujuan untuk membantu individu memperoleh pandangan, pengertian dan pemahaman tentang dunia kerja dan aspek-aspek dunia kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa informasi karir/jabatan meliputi fakta-fakta yang relevan dengan butir-butir berikut: 1. Potensi pekerjaan termasuk luasnya, komposisinya, faktor-faktor geografis, jenis kelamin, tingkat usia, dan besarnya kelompok-kelompok industri. 2. Struktur kerja dan besarnya kelompok-kelompok kerja 3. Ruang lingkup dunia kerja meliputi; pemahaman lapangan kerja, perubahan populasi permintaan dari masyarakat umum yang membaik dan perubahan teknologi. 4. Perundang-undangan peraturan atau perjanjian kerja. 5. Sumber-sumber informasi dalam rangka mengadakan studi yang berkaitan dengan pekerjaan. 6. Klasifikasi pekerjaan dan informasi pekerjaan. 7. Pentingnya dan kritisnya pekerjaan. 8. Tugas-tugas nyata dari pekerjaan dan hakekat dari pekerjaan. 9. Kualifikasi yang memaksa untuk bekerja dalam bermacam-macam pekerjaan. 10. Pemenuhan kebutuhan untuk bermacam-macam pekerjaan. 11. Metode dalam memasuki pekerjaan dan meningkatkan prestasi kerja 12. Pendapat dan bentuk-bentuk imbalan dari bermacam-macam pekerjaan 13. Kondisi-kondisi kerja dalam berjenis-jenis pekerjaan27

14. Kriteria untuk penilaian terhadap materi informasi pekerjaan 15. Ciri-ciri khas tempat kerja Sebelumnya telah dibahas mengenai Keterampilan dalam menangani berbagai permasalahan siswa. Dan selanjutnya akan dibahas mengenai keterampilan berempati, keterampilan mendengarkan aktif, kerja sama dengan guru pembimbing dalam menangani masalah siswa dan juga terdapat teknik mengidentifikasi masalah siswa. Keterampilan Berempati Empati (emphaty) adalah sikap positif konselor terhadap konsele, yang diekspresikan melalui kesediaannya untuk menempatkan diri pada tempat konsele, merasakan apa yang dirasakan konsele, dan dengan pengertian konsele. Suatu sikap yang Carl Rogers sebut sebagai, To perceive the internal frame of reference of another with accuracy, and with emotional components and meanings which pertain thereto, as if one were the other person, but without ever losing the "as if" condition / melihat realita dengan cara, sudut pandang, pengertian dan pengalaman emosional pribadi dari konsele tanpa dirinya sendiri lebur didalamnya (Meador and Rogers, "Client- Centered Therapy," ad.Raymon Corsini, "Current Psychotherapies," Itasca, III., Peacock Pub. Inc, 1973, p.137). Tanpa seorang dapat berempati tak mungkin dia dapat benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi dalam diri konselenya. Masalah- masalah yang dikeluhkan konsele sebenarnya hanyalah manifestasi dari apa yang terjadi dalam kehidupan internalnya. Dua penderita kanker lever akan memanifestasikan keluhan dan persoalan yang berbeda. Yang pertama mungkin ketakutan, putus asa, kemudian ia marah, mempersalahkan Tuhan, dan depresi. Orang yang kedua, memberi reaksi yang di tengah ketakutannya ia terus berjuang, tidak putus asa, dan belajar menemukan maksud baik dari rencana Tuhan yang mengijinkan dirinya sakit. Sehingga dalam kesakitannya ia malah semakin menjadi berkat bagi sesamanya. Jadi masalah sebenarnya bukan penyakitnya. Kanker hanyalah kondisi dan konteks hidup yang memang tak terhindarkan. Masalah yang sesungguhnya, adalah bagaimana individu tersebut bereaksi terhadap realita yang dihadapi. Nah, disitulah perlunya konselor mempunyai kemampuan berempati. Tanpa empati28

tak mungkin konselor dapat memahami apa yang menjadi masalah sebenarnya, yang sedang dialami oleh konselenya. Jadi dengan empati, konselor memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupan internal konselenya. Untuk memperjelas pembicaraan ini, coba perhatikan kasus dibawah ini. A seorang usahawan yang pernah sukses, tetapi kemudian bangkrut karena ulah B, istrinya. Sejak anak mereka yang terkecil masuk sekolah, B ingin sekali bekerja dan mempunyai penghasilannya sendiri. A tidak keberatan meskipun ia ragu-ragu kalau istrinya dapat mengelola beberapa pusat penyalur tenaga kerja (TKI) keluar negeri. Bulan-bulan pertama cukup baik, tetapi dengan kemajuan usaha tersebut, B berani meminjam uang dari beberapa orang untuk memperbesar usahanya. Beberapa kontrak sudah ditandatangani dengan rencana mengirim ribuan tenaga kerja ke berbagai negara. Ternyata keadaan berubah. Apa yang sudah ditandatangani tak dapat dilaksanakan. Keadaan politik, dan ekonomi goncang sehingga B terbebani dengan bunga berbunga yang terus melambung tinggi. Ia dikejar-kejar penagih utang. Celakanya ditengah kondisi tersebut, B memilih untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Beberapa cek kosong ia buat dan terus menerus ia berbohong. Pada suatu sore, A membawa B datang kepada anda untuk konseling. Pembicaraan tersebut lebih banyak dimonopoli A. Dengan alasan-alasan yang sangat rasionil, A mengatakan bahwa dirinya tidak kuat lagi untuk menjadi suami B. Ia sudah kehilangan rumah, mobil, dan sebagian besar uangnya untuk membayar hutang-hutang B. Ia berharap B dapat menunjukkan itikat baiknya dengan menghentikan kebiasaan yang tidak baik tersebut. Ternyata B kembali mengulang kebiasaannya dengan menjual perhiasan teman baiknya, memakai uang hasil penjualan tsb, dan mengaku bahwa perhiasan tersebut hilang. Untuk apa yang diceriterakan oleh suaminya, B tidak menyangkal. Dia hanya menangis, berjanji tak akan mengulang lagi perbuatannya. Apa yang anda pikirkan sebagai konselor? Apa artinya berempati dalam konteks konseling ini? 1. Berempati artinya menempatkan diri, merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh A maupun oleh B. Mungkin A merasa kecewa, marah, dan tak berdaya oleh karena terjebak dalam situasi yang rumit tsb. Mau cerai juga tidak mungkin, karena ia29

seorang Kristen. Mau menghukum B lebih (dari sikap dan kata-kata kemarahan) juga rupanya tidak pantas dilakukan olehnya. Mau memaafkan dan mengampunipun ia takut tidak mendidik dan akan dikecewakan lagi. Bahkan ingin mengasihi B pun rasanya sudah sulit sekali. Rupanya A terjebak dalam pelbagai sikap tidak menentu, sehingga kemungkinan besar A merasa capai mental, pesimis, dan depressive. Ia melihat realita persoalannya sebagai hal yang "tak banyak yang diharapkan lagi." Mungkin dalam hati ia menyesali pernikahannya. Ia membawa B ke konseling hanya dengan harapan mendapatkan jaminan pemenuhan janji pertobatan B saja. Mungkin tidak lebih dari itu, karena A merasa ikut andil dalam kesalahan. Oleh sebab itu, mungkin A tidak memikirkan kemungkinan kalau pernikahannya dapat kembali harmonis dan dapat dinikmati seperti dulu lagi. Pernikahan yang ideal dengan B tidak lagi menjadi fantasinya. Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang kira-kira dirasakan oleh konsele, anda sebagai konselor tidak terjebak dalam salah mengerti sikap dan kata-kata konsele. Misalnya, A mengatakan dengan suara lemah, "saya tak akan menceraikan dia, tetapi terus terang saja saya tidak kuat..." Sebagai konselor, anda memahami ambivalensinya (kata "cerai" dan "tidak kuat" kemungkinan hanyalah manifestasi perasaan putus asa saja, dan tidak mempunyai makna yang kuat sesuai dengan arti kata tsb), dan sikap ini menjadi sikap dengan spirit yang tidak tepat sebagai orang Kristen. Sikap ini akan memperkuat apriorinya bahwa "yang bersalah bukan saya, dan saya tidak punya andil apa-apa dalam masalah istri saya." Sehingga peran dan tanggung jawab untuk perbaikan kehidupan pernikahannya melemah bahkan bisa hilang sama sama sekali. Yang ada semata-mata hanyalah keinginan untuk bebas dari masalah. A makin menjadi manusia egosentristik, dan ia harus diingatkan bahkan kalau perlu dikonfrontir dengan kebenaran Firman. Empati tidak menutup terjadinya konfrontasi tersebut asalkan itu dilakukan di luar spirit aproiori dan judgemental / sekedar menghakimi. Bagaimana dengan empati anda terhadap B? prinsipnya sama! Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh B, anda sebagai konselor akan menangkap apa yang terjadi dalam kehidupan "internal" B. Mungkin anda mulai merasakan30

kekecewaan B terhadap dirinya sendiri yang berulang kali gagal untuk hidup dalam prinsip kebenaran yang ia ketahui. Mungkin pula B sama-sekali tidak menyesal. kalau ia menangis dan berjanji, itu semata-mata hanya untuk menghindarkan diri dari "hukuman suaminya." Atau B menyesal tetapi ia adalah suatu tipe pribadi yang "tak tahan" berada di tengah kondisi yang menjepit, sehingga ia cenderung jatuh pada kesalahan yang sama yaitu "menghalalkan segala cara." Untuk kesalahan tsb ia berharap orang memahami kondisinya dan dapat memaafkan dirinya Keterampilan Mendengarkan Mendengarkan dan merespon secara empatik adalah ketrampilan penting dalam berhubungan dengan orang lain. Sebagian besar dari manusia menghabiskan 70% waktunya untuk berkomunikasi, 45% dari waktu itu digunakan untuk mendengarkan. Kita semua ingin didengarkan. Adalah suatu penghinaan apabila kita diabaikan atau dilalaikan. Kita semua mengetahui apa artinya mendengarkan, sebenar-benarnya mendengarkan. Mendengarkan tidak berarti sekedar mendengar kata-kata, melainkan sungguh-sungguh menerima dan memahami pesan orang lain dan juga perasaan dan situasinya. Empati berarti memahami orang lain dengan sangat baik sehingga anda merasa seperti dirinya (pikiran & perasaan). Psikolog yang baik melakukan ini, demikian juga teman yang baik (Berger, 1987). Mendengar adalah salah satu kegiatan komunikasi yang sehari-hari kita lakukan. Selain membaca, menulis, dan berbicara, ternyata keterampilan mendengar merupakan keterampilan komunikasi yang paling sulit untuk dilakukan. Mendengar yang dimaksud disini adalah mendengar secara aktif bukan mendengar yang hanya sekedar memberikan perhatian. Mendengar aktif berarti kita mencoba untuk memahami dan memastikan bahwa apa yang kita dengar adalah benar tanpa ada yang terlewatkan atau salah. Mendengar aktif meliputi pemberian perhatian kepada isi pesan secara verbal dan nonverbal dengan memperhatikan sikap tubuh lawan bicara. Perlu disadari bahwa mendengar aktif bertujuan bukan untuk menyetujui pendapat lawan namun untuk memahami dan mengetahui dengan jelas pesan yang ingin disampaikan oleh pembicara. Keterampilan komunikasi mendengar aktif dirasakan penting karena tidak hanya berguna di dunia pendidikan tetapi juga untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik.31

Dengan mendengar aktif, lawan bicara akan merasa dihormati, merasa berharga, merasa dimengerti, dan merasakan kenyamanan saat berbicara dengan kita. Hal inilah yang dapat mengantarkan kita untuk berempati terhadap lawan bicara dengan turut merasakan apa yang dirasakan oleh lawan bicara Memberikan pengetahuan mengenai mendengar aktif berarti mengajarkan mereka untuk menghargai orang lain. Mengembangkan keterampilan mendengar aktif dan empati juga dapat memberikan pencerahan kepada kita agar lebih dapat memahmi apa masalah yang di hadaoi sangb murid dalamm kehidupannya. Dan hal ini juga menjadikan kita menjadi individu yang lebih menghargai orang lain serta memiliki potensi menjadi seorang pemimpin yang bijaksana. Kita juga bisa menjadi pendengar yang baik jika dapat memahami konsep komunikasi verbal dan non verbal. Di bawah ini kami sedikit membahas tentang apa yang disebut dengan komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal ini kira-kira adalah komunikasi yang tidak memakai kata-kata. Bisa dari penampilan kita, mimik muka, maupun gumaman gak jelas seperti "Mmm....", "Ooh...". Jenis komunikasi ini bisa memperlihatkan bahwa kita memperhatikan apa yang lawan bicara sedang bicarakan. Tidak terlalu banyak masalah, cukup ditambah sedikit senyuman sebagai balasan dari aksi yang pembicara lakukan. Yang dijadikan catatan adalah mengusahakan kepala sama tinggi, misalnya lawan bicara duduk kita ikut duduk, beliau berdiri kita ikut berdiri. Tapi untuk ketinggian yang berhubungan dengan anatomi tubuh yang emang segitu-gitunya tentu tidak perlu dipaksakan. Selain itu adalah memberi perhatian, menyingkirkan penghalang (contohnya terlalu terpaku pada form isian di tangan misalnya, akan menghalangi komunikasi dengan lawan bicara). Lalu... menyediakan waktu, gak so' sibuk dan terburu-buru, sambil sedikit-sedikit liat jam misalnya. Serta melakukan sedikit sentuhan yang wajar. Untuk poin terakhir sempat dilakukan diskusi garing tentang "sentuhan". Rekan yang demo mempraktekkan sentuhan ringan di paha dekat lutut si pasien (dua-duanya perempuan), seorang teman yang lain komplen bahwa itu bukan sentuhan yang wajar buatnya. Akhirnya kami menyepakati bahwa sentuhan wajar yang bisa digunakan adalah sentuhan ringan di bahu saja, tidak di bagian tubuh yang lain. Kalau berlainan jenis lebih baik gak bersentuhan sama sekali daripada disangka ganjen.32

Mendengar efektif dapat membuat atau merusak keberhasilan Anda di tempat kerja, di rumah, dan dalam situasi sosial. Kegagalan untuk mendengarkan dengan baik (atau untuk mendengarkan pada semua) dapat menjadi hambatan yang signifikan untuk komunikasi yang efektif, karena komunikasi yang baik mengharuskan kita mendengarkan, dan mendengarkan dengan baik, ketika seorang rekan, anggota keluarga, teman atau berbicara kepada kami. Sementara itu, praktek sangat aktif mendengarkan dapat meningkatkan bisnis Anda dan hubungan pribadi dan mencegah masalah komunikasi umum. Namun, biasanya kita terlalu lelah atau terlalu sibuk untuk mengumpulkan mental dan emosional dengan energi yang dibutuhkan untuk menjadi pendengar yang baik. Dengan demikian argumen atas kesalahpahaman meledak di salah satu pihak yang berpikir dia jelas dibilang ide nya sementara pihak lain menyatakan mereka sedang mendengar gagasan untuk pertama kalinya. Tentunya, mendengar miskin dan kemampuan komunikasi yang alasan seperti kesulitan. Kita dapat mengaplikasikan keterampilan berempati dan keterampilan mendengarkan secara langsung di tempat atau linkungan kita hidup. Baik dengan teman kita, orang tua, adik ataupun tetangga yang hanya kita kenal mukanya saja tanpa diketahui namanya siapa. Di bawah ini juga ada beberapa trik keterampilan tersebut. Mendengarkan dengan Berempati Perhatikan si Pembicara

Lakukan kontak mata yang positif dan nyaman untuk membuat si pembicara merasa dihargai dan dimengerti

Miringkan badan anda ke arah si pembicara

33

Pusatkan perhatian untuk memahami pembicara :

Perhatikan perasaan dan persepsinya bukan haya kata-katanya Jangan menginterupsi; dengarkan terus dengan membantu mengklarifikasi sampai apa yang dimaksudkannya menjadi jelas Jamgan menghakimi atau mengkritik ini akan membuatnya menutup diri Ajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi maksudnya Buat rangkuman dari apa yang anda paham Beri Respons yang jelas dan konstruktif : Ungkapkan perspektif, pendapat, keprihatinan dan ide anda tentang masalah lain Diskusikan dan cari kesepakatan untuk mencapai solusi menang menang Tanyakan dan dorong dia untuk mengungkapkan idenya Tambahkan ide-ide anda sendiri dan pertimbangkan semua pilihan hingga mencapai solusi menang-menang

34

35

Referensi 1. http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/bimbingan-dan-konseling/ 2. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/jiw/article/viewFile/17059/17022 3. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25/kesulitan-dan-bimbingan-belajar/ 4. http://konselingindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=110&Itemi d=104 5. http://abkin.org/home/files/PenyelenggaraanBimbingandanKonseling/bab1.pdf 6. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/memahami-karakteristik-anakdalam-mengatasi-masalah-belajar-murid-di-s 7. http://one.indoskripsi.com/laporanstudikasuslayanansiswakesulitanbelajar

36