problematika haji badal

19
PROBLEMATIKA HAJI BADAL Firman Sholihin Muqaddimah Melaksanakan haji merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt kepada segenap muslim, baik itu laki-laki ataupun wanita. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang tetap (tsubut) berdasarkan Alquran, al-Hadits, dan kesepakatan para ulama (ijma’). 1 Hal tersebut sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt dalam kitab-Nya yang agung: “..Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampumengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. 2 Begitupun ketetapan yang berasal dari Nabi Saw lewat hadits yang menyatakan bahwa ibadah haji ini merupakan salah satu dari lima ibadah yang berperan sebagai asas pijakan agama Islam. ِ اُ ولُ س ر ال قn : ن ا وُ ا ا لِ ا ه لِ ا لاْ ن اِ ة اد ه شٍ سْ م $ خ ى ل عُ م لاْ سِ لا ا , ىِ - نُ / ب« » ان $ ض م رِ مْ و ص ، وِ ج ح ل ا ، وِ اة ك $ ز ل اِ اء بِ ا ، وِ ة لا ض ل اِ ام قِ ا ، وِ اُ ولُ س ا رً د م حُ م3 Rasulullah Saw bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; (1) Bersaksi bahwasanya tiada sesembahan kecuali Allah Swt dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya; (2) Mendirikan shalat; (3) Menunaikan Zakat; (4) Haji; dan (5) Shaum di bulan Ramadhan”. Kelima ibadah di atas merupakan ibadah-ibadah yang dibebankan kepada seluruh aspek yang dimiliki oleh seorang 1 Al-Jazairi (1/571). 2 Ali ‘Imran: 97 3 Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Hibban, Thabrani dan yang lainnya. 1

Upload: firman-supzz

Post on 16-Feb-2016

12 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Haji badal atau badal haji merupakan masalah fiqih yang kerap menjadi perdebatan kaum fuqaha dari dulu hingga sekarang. Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas haji badl dengan mengutip ulama yang pro atau kontra terhadap pelaksanaan haji badal, kemudian memberikan tarjih terhadap pendapat yang penulis anggap benar, berdasarkan alasan-alasan perajihannya.

TRANSCRIPT

Page 1: Problematika Haji Badal

PROBLEMATIKA HAJI BADAL

Firman Sholihin

Muqaddimah

Melaksanakan haji merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt kepada segenap muslim, baik itu laki-laki ataupun wanita. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang tetap (tsubut) berdasarkan Alquran, al-Hadits, dan kesepakatan para ulama (ijma’).1 Hal tersebut sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt dalam kitab-Nya yang agung:

“..Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampumengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.2

Begitupun ketetapan yang berasal dari Nabi Saw lewat hadits yang menyatakan bahwa ibadah haji ini merupakan salah satu dari lima ibadah yang berperan sebagai asas pijakan agama Islam.

ه : n قال رسول الل »بني اإلسالم على خمس شهادة أن الكاة، ه وأن محمدا رسول الله، وإقام الصالة، وإيتاء الز إله إال الل

، وصوم رمضان« 3والحج

Rasulullah Saw bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; (1) Bersaksi bahwasanya tiada sesembahan kecuali Allah Swt dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya; (2) Mendirikan shalat; (3) Menunaikan Zakat; (4) Haji; dan (5) Shaum di bulan Ramadhan”.

Kelima ibadah di atas merupakan ibadah-ibadah yang dibebankan kepada seluruh aspek yang dimiliki oleh seorang muslim, yang mencakup ilmu (ideologi), fisik (al-badn/al-jasad), dan harta (al-mal). Hal itu tiada lain sebagai bukti bahwa ketiga aspek tersebut—dengan masuknya seseorang dalam agama Islam—dipasrahkan sepenuhnya kepada Allah Swt sebagai media untuk mememuhi segala sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya.

Dalam aspek ilmu atau ideologi (i’tiqadiyyah), Allah Swt mengajarkan dua kalimat syahadat untuk menempati kedudukan

1 Al-Jazairi (1/571).2 Ali ‘Imran: 973 Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Hibban,

Thabrani dan yang lainnya.

1

Page 2: Problematika Haji Badal

tersebut, yang selanjutnya dijadikan sebagai keyakinan yang harus selalu ada dalam setiap amalan ibadah yang Allah Swt perintahkan, baik itu yang wajib seperti shalat, shaum, zakat dan haji, ataupun ibadah-ibadah yang mandub (sunnah) yang macam dan bentuknya banyak sekali. Dalam aspek fisik (jasadiyyah), Allah Swt membebankan kewajiban shalat lima waktu dan shaum sebulan penuh di bulan Ramadhan sebagai ujian keta’atan raga seorang muslim. Sedangkan bagi aspek harta (maliyyah) Allah Swt juga membebankan kewajiban zakat sebagai ujian kerelaan seorang muslim membagi hartanya atas dasar perintah Allah Swt. Lantas, termasuk pada aspek apakah ibadah haji?

Ibadah haji merupakan ibadah yang ‘mahal’ dan cukup menguras tenaga. Di antara kelima ibadah pokok di atas, ibadah haji menempati urutan pertama sebagai ibadah yang paling sulit untuk ditunaikan. Hal itu dikarenakan, tidak cukup fisik yang kuat dan mental yang tangguh saja, ibadah ini pun—bagi yang berjarak jauh dari kota Makkah—memerlukan kendaraan4 dan harta yang cukup sebagai bekal perjalanan menuju Baitullah (Ka’bah).5 Dengan kata lain, ibadah haji ini merupakan kewajiban yang dibebankan pada aspek fisik (jasadiyyah) dan harta (maliyyah) seorang muslim.

Menurut aturan yang telah disepakati, dalam ibadah yang dibebankan pada aspek jasadiyyah, seperti shalat dan shaum, seorang muslim mutlak harus mengerjakannya secara individual dan tidak dibenarkan adanya pergantian (menyurh orang lain untuk melaksanakan ibadah untuknya). Sedangkan bagi ibadah yang di bebankan pada aspek harta (maliyyah), seperti halnya zakat, ulama juga sepakat bahwa ibadah ini boleh untuk digantikan oleh orang lain dalam pengeluarannya. Namun, bagi ibadah haji yang masuk dalam aspek jasadiyyah dan maliyyah, para ulama berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya pergantian dalam ibadah ini. Apakah ibadah haji ini dianalogikan sebagai ibadah jasadiyyah sehingga tidak diperbolehkan adanya pergantian? Ataukah dianalogikan sebagai ibadah maliyyah sehingga membolehkan adanya pergantian? Ini juga masih di menjadi perbincangan hangat.6

Sekalipun terdapat banyak hadits Nabi Saw yang menyatakan bolehnya pergantian dalam ibadah haji, kehujjahan hadits tersebut juga masih dipertentangan dan menuai banyak penafsiran dengan pemahaman yang berbeda sesuai dengan madzhab dan thuruq al-

4 Kebutuhan terhadap kendaraan inilah mungkin yang mendasari penyebutan ibadah haji sebagai ibadah murakkabah; ‘yang memerlukan kendaraan’.

5 Lihat, Sabiq (1/630), Salim (2/164), tentang makna istitha’ah yang mencakup hal-hal yang material dan imaterial.

6 Lihat, al-Jazairi (1/634), az-Zuhaili (3/38), tentang klasifikasi ibadah ditinjau dari segi diterima atau ditolaknya pergantian di dalammya.

2

Page 3: Problematika Haji Badal

istinbath; ‘jalan pengambilan hukum’ yang dipakai oleh masing-masing ulama dalam memahami hadits-hadits tersebut.

Hal itulah—menurut penelitian penulis—yang menjadi penyebab terjadinya pertentangan di kalangan ulama mengenai hukum mengamalkan haji badal, sehingga melahirkan problematika di tengah-tengah umat Islam itu sendiri. Ada ulama yang membolehkan amalan tersebut dengan berdalil pada hadits yang nampak, dan ada juga ulama yang dengan keras melarangnya dengan alasan hadits tersebut dla’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Oleh karena itu, masalah ini menjadi sangat perlu untuk dikaji ulang keabsahannya, supaya tidak lagi menimbulkan kesimpang-siuran boleh atau tidaknya. Dalam makalan ini—walaupun dengan segala keterbatasannya—insya Allah penulis hendak mencoba untuk memberikan jawaban tersebut. Waffaqanallah azza wa jallah fi hadza al-amr

Definisi Haji Badal

Sebenarnya, penyebutan istilah haji badal ini hanya umum digunakan dalam konteks ‘keindonesiaan’ saja. Sedangkan dalam kitab-kitab berbahasa Arab, para ahli fiqih biasa menyebut haji yang sedang kita bahas ini dengan sebutan al-hajj ‘an al-ghair (haji untuk orang lain) atau an-niyabah ‘an al-hajj (pergantian dalam pelaksanaan haji).7 Akan tetapi, Penyebutan dengan istilah haji badal pun dirasa tidak mengapa, karena sesuatu yang dimaksud dengan istilah haji badal ataupun al-hajj ‘an al-ghair itu adalah sama-sama saja dan tidak ada yang membedakan antara keduanya. Namun, supaya lebih akrab dengan istilah yang lazim dipakai di Indonesia, penulis akan menyebut haji yang sedang menjadi perbincangan ini dengan sebutan haji badal.

Secara bahasa, kata al-badl biasa diartikan dengan ‘mengganti, menukar, atau merubah’.8 Sedangkan kata al-hajj secara bahasa semakna dengan lafazh al-qashd yang artinya ‘bermaksud atau menyengaja’,9 dalam arti ‘bermaksud atau menyengaja pergi ke Ka’bah untuk menunaikan amalan-amalan yang khusus, dengan waktu, tempat dan perbuatan yang khusus pula’.10 Jika kata haji ini disandingkan dengan kata badal yang biasa diartikan ‘menganti’, maka bermaksud atau menyengaja pergi ke Ka’bah untuk menunaikan amalan-amalan yang khusus, dengan waktu, tempat dan perbuatan yang khusus tersebut dilaksanakan oleh orang lain sebagai penganti orang yang bersangkutan.

7 Lihat misalnya, Salim (2/167), al-Jazairi (1/634), az-Zuhaili (3/37).8 Munawwir (65).9 Salim (2/160), Az-Zuhaili (3/8)10 Az-Zuhaili (3/8)

3

Page 4: Problematika Haji Badal

Adapun mengenai definisi haji badal secara istilah—sejauh penelusuran penulis—hampir tidak ada di antara para ulama fikih yang secara khusus dan spesifik membuat definisi tentang haji badal ini. Namun, jika ditinjau dari pelaksanaan haji badal itu sendiri—juga dengan menela’ah etimologi dari frase haji badal—kita bisa membatasi pengertian haji badal ini sebagai berikut:

“Pelaksanaan ibadah haji yang ditunaikan oleh seseorang yang sudah pernah menunaikan haji untuk mengantikan orang lain yang terkena suatu ‘udzur yang tidak bisa diharapkan hilangnya, atau untuk orang yang sudah wafat, yang sebelumnya tidak pernah sekalipun menunaikan ibadah haji padahal perintah ibadah haji sudah sampai padanya”.

Hadits-hadits tentang Haji Badal

Berdasarkan penelusuran penulis, sedikitnya ada tiga hadits yang menjadi landasan pengamalan haji badal, sedangkan syawahid (penguat) bagi hadits-hadits tersebut sangatlah banyak mencapai—menurut perkiraan penulis—lebih dari 25 hadits yang semua sanadnya shahih, ada juga yang dla’if namun terangkat derajatnya karna jalur periwayatan yang banyak. Berikut penulis sajikan hadits-hadits tersebut, untuk selanjutnya menjadi bahan analisis pembahasan kita dalam masalah ini.

>>ا.1 ل، أن ام>>رأة من خثعم، ق>>الت: ي اس، عن الفض>> عن ابن عب، ة الل>>ه في الحج >>ه فريض>> >>ير، علي رسول الله، إن أبي شيخ كب

بي :n وهو ال يستطيع أن يستوي على ظه>>ر بع>>يره، فق>>ال الن11»فحجي عنه«

Dari Ibn ‘Abbas, dari al-Fadl, bahwasanya seorang wanita dari bani Khats’am berkata, “Wahai Rasulullah Saw! Sesungguhnya ayahku adalah seorang yang tua renta, sedangkan dia mempunyai kewajiban haji dari Allah Swt namun dia tidak tidak bisa duduk stabil di atas punduk untanya”. Nabi Saw pun berkata, “Lasanakanlah haji untuknya!”.

>>ة، ج>>اءت.2 ه عنهم>>ا، أن ام>>رأة من جهين اس رضي الل عن ابن عببي ى n إلى الن >>ذرت أن تحج فلم تحج حت فق>>الت: إن أمي ن

11 Shahih: Diriwayatkan oleh al-Jama’ah (al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, ati-Tirmizdi, an-Nasa’i, Ahmad bin Hanbal)

4

Page 5: Problematika Haji Badal

>>ان ماتت، أف>>أحج عنه>>ا؟ ق>>ال: »نعم حجي عنه>>ا، أرأيت ل>>و كه أحق بالوفاء« ه فالل 12على أمك دين أكنت قاضية؟ اقضوا الل

Dari Ibn ‘Abbas—semoga Allah Swt meridlai keduanya—bahwasanya ada seorang wanita dari bani Juhainah yang datang kepada Nabi Saw seraya berkata, “Sesungguhnya Ibuku ber-nadzar (berjanji kepada Allah Swt) akan melaksanakan haji, namun dia tidak menunaikan haji sampai akhirnya dia meninggal. Apakah aku boleh menunaikan haji untuknya?” Rasulullah Saw menjawab, “Ya, tunaikanlah haji untuknya! Bagaimanakah pendapatmu seandainya ibumu mempunyai hutang? Bukankan kewajibanmu untuk membayarnya? Bayarlah hutang Allah Swt, karna hutang Allah Swt lebih berhak untuk dipenuhi/dibayar”.

بي.3 اس، أن الن >>ر، عن ابن عب عيد بن جبي مع رجال n عن س>> س>>برمة؟« ق>>ال: أخ لي - يك عن شبرمة، قال: »من ش>> يقول: لبك؟« ق>>ال: ال، ق>>ال: أو ق>>ريب لي - ق>>ال: »حججت عن نفس>>

13»حج عن نفسك ثم حج عن شبرمة«

Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas—semoga Allah Swt meridlai mereka—bahwasanya Nabi Saw mendengar seorang laki-laki berkata, “Aku memenuhi panggilan (haji)-Mu untuk Syubrumah”. Nabi Saw bertanya, “Siapa Syubrumah?” laki-laki itu menjawab, “(Syubrumah adalah) saudaraku—atau kerabat dekatku”. Nabi Saw bertanya lagi, “Apakah engkau sudah pernah menunaikan haji?” Laki-laki tersebut menjawab, “Belum”. Kemudian Nabi Saw pun bersabda, “Tunaikanlah haji untukmu—terlebih dahulu—barulah tunaikan haji untuk Syubrumah”.

Perbedaan Para Ulama dalam memandang dan mengistinbath Hadits-hadits tentang Haji Badal dan Pengaruhnya terhadap Hukum Pelaksanaan Haji Badal

Mengenai hadits-hadits tentang haji badal, semuanya sepakat bahwasanya sanad hadits-hadits ini berstatus shahih. Namun dari segi keshahihan matan-nya, hadits-hadits ini masih menjadi bahan perbincangan, dikarnakan secara lahir bertentangan dengan beberapa ayat Alquran. Ada ulama yang memilih untuk menolak hadits, dan ada juga ulama yang memandang bahwa hadits-hadits tersebut tidak bertentangan dengan Alquran. Adapun ayat Alquran yang dijadikan pembantah terhadap hadits-hadits tersebut, di antaranya firman Allah Swt:

12 Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan ath-Thabrani.13 Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Daud, ath-Thabrani, ad-Daruquthni, al-Baihaqi.

5

Page 6: Problematika Haji Badal

مب خب حب جب يئ ىئ مئ

“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.14

Ulama yang lebih memilih untuk menolak hadits dengan ayat di atas sebagai pembandingnya beralasan bahwa:

1) Surat an-Najm: 39 ini dengan jelas menunjukan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala atau ganjaran melainkan dari hasil usahanya sendiri, tidak dari usaha orang lain—seperti halnya haji badal–pen..15

2) Ibadah haji sekalipun ibadah ini adalah ibadah badaniyyah dan maliyyah akan tetapi, aspek badaniyyah-nya lebih dominan daripada aspek maliyyah-nya. Oleh karena itu, ibadah haji tidak menerima penggantian dalam pelaksana-annyya, seperti halnya shalat dan shaum yang merupakan ibadah badaniyyah yang harus dilasanakan secara individual.16 Jika seseorang melaksanakan haji dengan digantikan oleh orang lain, maka yang digantikan tidak akan mendapat-kan apa-apa berdasarkan surat an-Najm: 39, sedangkan orang yang menggan-tikan mendapatkan pahala karena telah membantu melaksanakan haji, dan juga mendapatkan keberkahan do’a.17

3) jika hadits tentang kebolehan badal haji dianggap shahih, maka hanya shahih dari segi sanad-nya saja, sedangkan dari segi matan matan-nya dianggap lemah (dla’if) karna bertentangan dengan nash yang qath’i.18

Ulama yang memilih untuk menolak hadits tentang haji badal ini dimotori oleh ulama dari kalangan Malikiyyah dan para ulama dari jama’ah Persatuan Islam di Indonesia.19 Ulama dari Jama’ah Persatuan Isalam menolak secara mutlak pelaksanaan haji badal, sedangkan ulama dari kalangan Malikiyyah membolehkan menghajikan orang yang meninggal—walaupun hukumnya makruh, dengan syarat orang yang meninggal tersebut meninggalkan wasiyat supaya dihajikan. Jika tidak meninggalkan wasiyat, maka tidak boleh dihajikan.20

14 An-Najm: 39. Selain ayat ini, ayat lain yang dijadikan penentang hadits-hadits tentang haji badal di antaranya surat al-An’am: 461, al-Isra’: 51, Fathir: 81, az-Zumar: 7, dan yang semakna dengan-nya.

15 Hasan (1-2/242).16 Lihat, Al-‘Asqalani (4/69), an-Nawawi “al-Majmu’” (7/101), al-‘Aini (11/62), al-

Jazairi (1/634), az-Zuhaili (3/38).17 al-Jazairi (1/634)18 Hasan (1-2/242), (Yusuf (27).19 Hasan (1-2/242).20 Yusuf (27).

6

Page 7: Problematika Haji Badal

Al-Qurthubi berkata, “Imam Malik memandang bahwa lahiriyyah hadis tentang wanita Khats’am ini21 bertentangan dengan lahiriyyah Alquran sehingga Imam Malik lebih memilih untuk merajihkan lahiriyyah Alquran. Dan tidak diragukan lagi tentang tarjih yang dilakukan Imam Malik yang memandang segi kemutawatiran Alquran yang lebih kuat.22

Adapun ulama yang memandang bahwa hadits-hadits tentang haji badal ini tidak bertentangan dengan Alquran membantah pendapat di atas dengan alasan bahwa:

1) Surat an-Najm: 39 di atas mengandung keterangan yang ‘am (umum) dan hadits-hadits-hadits tentang haji badal tersebut berperan sebagai mukhahshish bagi keumunan ayat tersebut.23 Sehingga, tidak akan terjadi kontradiksi antara yang umum (Alquran) dan yang khusus (al-Hadits).24

2) Penganalogian haji kepada ibadah shalat adalah analogi yang tidak dibenarkan, dikarnakan ibadah haji merupakan ibadah badaniyyah dan maliyyah sedangkan shalat adalah badaniyyah saja. Oleh karena itu, pelaksanaan haji badal tidak lah bertentangan dengan ayat di atas, dikarnakan orang yang dihajikan juga mencurahkan usahanya dengan mengeluarkan ongkos haji untuk keberangkatan orang yang akan menghajikannya, dan ini merupakan bagian dari istitha’ah-nya untuk mengeluarkan harta.25

3) Dengan demikian, klaim dla’if matan terhadap hadits-hadits tentang haji badal secara otomatis tertolak, sehingga hadits-haditsnya tidak mengandung cacat dan bisa dijadikan sebagai hujjah dalam mengamalkan pelaksanaan haji badal.

Ulama yang membolehkan pelaksanaan haji badal dengan beristidlal kepada hadits-haditsnya adalah Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan ulama yang memegang madzhabnya, seperti Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar (ulama Syafi’iyyah) dan Syaikh Badrud-Din al-‘Aini (ulama Hanafiyyah/pengarang kitab ‘Umdah al-Qari), juga ulama-ulama kontemporer, seperti Syaikh al-AlBani, Syaikh al-‘Utsaimin, Syaikh Ibn Baz (ulama Hanabilah), dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili (ulama Syafi’iyyah).

Ar-Rabi’ bin Salman berkata bahwa Imam asy-Syafi’i mendiktekan suatu fatwa kepadannya, “Ada tiga pekerjaan dan amal orang lain yang akan menyusul mayyit; (1) Hajji yang ditunaikan untuknya; (2) Harta

21 Shahih al-Bukhari no. 185522Al-‘Asqalani (4/70), asy-Syaukani (4/339).23 Al-‘Asqalani (5/390), asy-Syaukani (4/339).24 asy-Syaukani (4/339).25 Al-‘Asqalani (4/69), an-Nawawi “al-Majmu’” (7/101).

7

Page 8: Problematika Haji Badal

yang dishadaqahkan atau dibayarkan atas namanya; dan (3) do’a”, dan ini merupakan kekhususan dari keumuman surat an-Najm; 39 di atas.26

Tarjih:

Hemat penulis, pendapat kedua—yang menyatakan bahwa hadits-hadits tentang haji badal tidak bertentangan dengan surat an-Najm: 39 dengan alasan-alasan yang telah dipaparkan—merupakan pendapat yang rajih dalam masalah ini. Hal tersebut bisa ditinjau dari beberapa sisi;

Pertama, Mayoritas ulama memandang bahwa ibadah haji itu merupakan ibadah badaniyyah dan ibadah maliyyah. Oleh karen itu, Al-Maziri menegaskan bahwasanya siapa saja yang memandang aspek badaniyyah lebih mendominasi dalam ibadah haji, maka hukumnya akan dianalogikan dengan shalat—sehingga tidak bisa digantikan–pen. Adapun yang memandang aspek maliyyah-nya lebih mendominasi, maka hukumnya akan dianalogikan dengan zakat—sehingga boleh untuk digantikan pelaksanaannya–pen.27 Akan tetapi, dengan adanya hadits shahih yang menerangkan kebolehan pergantian dalam ibadah haji, maka sudah jelas bahwa aspek maliyyah dalam pelaksanaan haji ini tidak kalah penting, sehingga ibadah haji ini bisa digantikan dalam pelaksanaannya dengan biaya ditanggung oleh pihak yang dihajikan. Oleh karena itu, seseorang yang mencurahkan hartanya untuk ongkos bagi orang yang akan menggatikannya menunaikan ibadah haji bisa dijadikan bukti usaha yang dilakukan oleh orang yang dihajikan, sehingga—baik yang menghajikan ataupun yang dihajikan tetap mendapat pahalanya masing-masing.

Kedua, Seluruh ulama juga telah sepakat bahwa hadits (perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Saw) mempunyai peranan sebagai mubayyinn bagi ke-mujmal-an Alquran, muqayyid bagi ke-muthlaq-an Alquran, dan mukhash-shish bagi ke-‘umum-annya. Oleh karena itu, menjadikan hadits-hadits tentang haji badal sebagai mukhashshis bagi keumuman surat an-Najm: 39 di atas mengandung tarap kemungkinan yang sangat tinggi, apalagi melihat alasan-alasan yang telah disebutkan di atas.

Pendaat ini juga diperkuat oleh pernyataan Ibn al-‘Arabi yang mengatakan bahwasanya hadits tentang wanita suku Khats’am—yang menceritakan tentang haji badal—merupakan dalil yang telah disepakati keshahihahnya, sehingga ibadah haji ini keluar dari kaidah yang telah ditetapkan dalam syari’at; bahwa seseorang tidak dapat mendapatkan kecuali apa yang telah dia usahakan sendiri. Dikhususkannya ibadah haji

26 Lihat, an-Nawawi “al-Majmu’” (15/521). 27 Al-‘Asqalani (4/69).

8

Page 9: Problematika Haji Badal

dari kaidah ini sebagai bentuk kasih sayang Allah Swt untuk memperbaiki apa yang pernah dilalaikan oleh seseorang dalam memperlakukan anak dan hartanya.28

Ketiga, Nabi Saw sebagai sumber nash hadits mempunyai kewenangan penuh untuk membuat suatu hukum yang berdiri sendiri (independent/mustaqilah), sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah Swt:

ڄ ڄ ڃ ڃ ڃ ڃ چ چ چ چ ڇ ڇ ڇ ڇ ڍ ڍ ڌ ڌ ڎ ڎ ڈ ڈ ژ ژ ڑ ڑ ک ک ک کگ گ گ گ ڳ ڳ ڳ ڳ ڱ ڱ

ڱڱ ں ں ڻ ڻ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang beruntung”.29

Mustafa Azhami menjelaskan bahwa firman Allah Swt yang menyatakan, “..dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka..” merupakan isyarat bahwa Allah Swt melimpahkan otoritas untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu kepada Nabi Saw. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah Swt dengan hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh Nabi Saw, keduanya wajib untuk diikuti.30

Keempat, pendapat ini merupakan pendapat yang pegang oleh mayoritas ulama kontemporer. Selain itu, mayoritas muhadditsin juga seakan-akan sepakat akan kebolehan pelaksanaan haji badal ini, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan ulama penghimpun hadits lainnya. Hal itu sebagaimana diisyaratkan oleh al-Bukhari, misalnya, yang membuat judul bab al-hajj ‘amman la yastathi’u ats-tsubut ‘ala ar-rahilah ‘pelaksanaan haji bagi seseorang yang tidak bisa menetap stabil di atas kendaraan’, atau at-Tirmidzi yang juga menulis judul bab ma ja’a fi al-hajj ‘an asy-syaikh al-

28 Al-‘Asqalani (4/70-71)29 Al-A’raf: 157.30 Azhami (32).

9

Page 10: Problematika Haji Badal

kabir wa al-mayyit ‘riwayat yang datang mengenai pelaksanaan haji untuk orang yang sudah tua dan yang sudah meninggal’. Isyarat lain yang bisa kita lihat adalah pencantuman hadits-hadits tentang haji badal dalam kitab hadits susunan mereka masing-masing yang mengisyaratkan bahwa mereka sepakat akan keabsahan hadits tersebut dan layak untuk dijadikan hujjah dalam beramal.

Oleh karena itu, anggapan bahwa hadits-hadits tentang haji badal berten-tangan dengan Alquran—dalam pandangan penulis—belum bisa diterima dikarna-kan pendapat tersebut adalah pendapat yang marjuh, sedang yang rajih adalah pendapat yang berkesimpulan bahwa hadits-hadits tentang haji badal tersebut tidak bertentangan dengan surat an-Najm: 39 dan ayat yang semakna dengannya, dengan ditinjau dari empat sisi yang telah penulis paparkan di atas. Dengn demikian, haji badal merupakan sunnah yang diajarkan oleh Nabi Saw. Wallahu a’lam

Fatwa Ulama Madzhab Tentang Menghajikan Orang yang Lemah dan Yang Sudah Meninggal

1) Menghajikan Orang yang lemah

Jumhur ulama—Abu Hanifah, Ahmad, asy-Syafi’i, dan yang lainnya—kecuali Imam Malik berpendapat bahwasanya siapa saja yang mampu—dalam aspek maliyyah—untuk menunaikan haji akan tetapi fisiknya tidak mampu dikarnakan faktor usia yang lanjut, atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, yang dinamakan al-ma’dlub ‘yang lemah’, maka diharuskan baginya memilih seseorang untuk menunaikan haji untuknya dengan memakai harta miliknya, berdasarkan hadits Ibn ‘Abbas dari al-Fadl bin ‘Abbas.31

Asy-Syafi’i membolehkan hal tersebut dengan alasan bahwa istitha’ah ‘kemampuan untuk melaksanakan haji’ itu ada dua; (1) Istitha’ah secara langsung dengan dirinya sendiri; (2) Istitha’ah yang diperoleh dari orang lain. Untuk Istitha’ah yang pertama maka disyaratkan beberapa perkara, diantaranya; kendaraan—bagiorang yang jarak antara rumahnya dan kota Makkah seukuran dua hari perjalanan atau lebih, bekal yang cukup, jalan menuju kota Makkah yang aman, fisik yang sehat, dan memungkinkan untuk melakukan perjalanan. Adapun istitha’ah yang kedua adalah ketidak-mampuan seseorang disebabkan faktor lanjut usia, sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau cacat yang membuatnya tidak bisa duduk stabil di atas

31Shahih al-Bukhari no. 1855, Shahih Mulsim no. 1334. Lihat, Salim (2/167).

10

Page 11: Problematika Haji Badal

kendaraan kecuali dengan kesulitan yang sangat. Inilah ketidakmampuan orang yang masih hidup yang dinamakan al-ma’dlub.32

Ulama dari kalangan Hanafiyyah berpendapat berpendapat bahwa siapa saja yang tidak diwajibkan haji dengan dirinya sendiri dengan alasan sakit atau semacam-nya sedang dia mempunyai harta, maka diharuskan baginya untuk menyuruh seseorang menunaikan haji untuknya, cukup baginya untuk haji Islam yang wajib saja, dengan syarat; udzur tersebut terus-menerus sampai dia meninggal.33

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwasanya melaksanakan haji untuk orang yang yang masih hidup tidak diperbolehkan dan tidak sah secara mutlak… tidak ada haji bagi orang yang lemah kecuali dia mampu menunaikannya sendiri, berdasarkan surat Ali ‘Imran: 97—yang menyatakan kewajiban haji bagi yang mampu (mustathi’)—sedang orang yang lemah termasuk kategori yang tidak mampu (ghair mustathi’).34

2) Menghajikan Orang yang Sudah Meninggal

Imam asy-Syafi’i, Ahmad, dan segolongan ulama salaf berpendapat bahwa siapa saja yang meninggal sedang semasa hidupnya dia mampu untuk melaksanakan haji, maka hendaklah seseorang menunaikan haji untuk mengantikannya dengan biaya yang diambil dari harta pokok si mayyit apabila dia mempunyai harta peninggalan (tirkah). Jika si mayyit tidak mempunyai tirkah, Imam asy-syafi’i berfatwa bahwa yang wajib membiayainya adalah ahli warits si mayyit, sedangkan untuk pelaksanaannya boleh dilaksanakan oleh ahli warits boleh juga oleh orang lain, baik si mayyit meninggalkan wasiyat supaya dihajikan ataupun tidak.35

Imam Abu Hanifah membolehkan melaksanakan haji untuk orang yang sudah meninggal dengan syarat si mayyit meninggalkan wasiyat supaya dia dihajikan. Jika tidak maka tidak boleh. Pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik, akan tetapi Imam Malik menghukumi makruh bagi orang yang menghajikan orang meninggal yang meninggalkan wasiyat tersebut.36

Aturan Dan Ketentuan Pelaksanaan Haji Badal

1) Syarat Orang yang Dihajikan

32 Az-Zuhaili (3/42).33Ibid. (3/41).34Ibid.35 Salim (2/167-168), az-Zuhaili (3/41-42).36 Salim (2/168), az-Zuhaili (3/41).

11

Page 12: Problematika Haji Badal

- Jika dia adalah orang yang lemah/tidak mampu maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi olehnya jika hendak memerintahkan orang lain untuk menunaikan haji untuknya; (1) Orang yang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya; (2) Orang yang tidak bisa duduk stabil di atas kendaraan kecuali dengan kesulitan yang tinggi;37 (3) Orang yang lemah karna faktor usia.

- Jika yang dihajikan sudah meninggal, maka syarat yang harus ada pada si mayyit adalah; (1) Mempunyai harta yang cukup; (2) Harus ada wasiyat darinya menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, dan tidak perlu menurut Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad.

2) Syarat Orang yang Menghajikan- Terpenuhi syarat untuk melaksanakan haji, seperti; Islam, baligh,

berakal dan berfisik sehat, dll.- Terlebih dahulu sudah menlaksanakan haji sebagaimana

dinyatakan dalam hadits:

بي اس، أن الن معnعن سعيد بن جبير، عن ابن عب س>>برمة؟« ق>>ال: يك عن شبرمة، قال: »من ش>> رجال يقول: لب أخ لي - أو قريب لي - قال: »حججت عن نفسك؟« ق>>ال:

38ال، قال: »حج عن نفسك ثم حج عن شبرمة«

Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas—semoga Allah Swt meridlai mereka—bahwasanya Nabi Saw mendengar seorang laki-laki berkata, “Aku memenuhi panggilan (haji)-Mu untuk Syubrumah”. Nabi Saw bertanya, “Siapa Syubrumah?” laki-laki itu menjawab, “(Syubrumah adalah) saudaraku—atau kerabat dekatku”. Nabi Saw bertanya lagi, “Apakah engkau sudah pernah menunaikan haji?” Laki-laki tersebut menjawab, “Belum”. Kemudian Nabi Saw pun bersabda, “Tunaikanlah haji untukmu—terlebih dahulu—kemudian barulah tunaikan haji untuk Syubrumah”.

37 Terkait hadits yang memberikan keringanan bagi orang yang tidak bisa duduk stabil di atas kendaraan, al-Hafizh Ibn Hajar menyajikan dua riwayat yang di dalamnya ada redaksi tambahan yang dinyatakan oleh penanya tentang usahanya sebelum menyanyakan ayahnya yang tidak bisa duduk stabil di atas kendaraan, yaitu riwayat Yahya bin Abi Ishaq yang menyatakan, “Jika aku mengikatnya, aku khawaitir dia akan meninggal”, dan hadits mursal al-Hasan yang menyatakan, “Jika aku mengikatnya dengan tali di atas hewan tunggangan, aku khawatir akan membunuhnya”. Dengan melihat dua redaksi tersebut, al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan bahwa siapa yang dapat melakukan selain dua hal ini, sehingga dia bisa duduk stabil di atas hewan tunggangan, atau aman dari bahaya jika diikat, maka tidak ada keringanan baginya untuk dihajikan, seperti orang yang mampu di atas tandu. (lihat, al-‘Asqalani [4/69])

38 Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Daud, ath-Thabrani, ad-Daruquthni, al-Baihaqi.

12

Page 13: Problematika Haji Badal

Wallahu a’lam

Garut, Perpustakaan STAIPI GarutKamis, 30 April 2015

al-faqir lillahFirman Sholihin

13

Page 14: Problematika Haji Badal

Daftar Pustaka

Alquran dengan Terjemah Depertemen Agama RI, (Bandung: CV Penerbit Jumanatul ‘Ali Art, 2004).

Kutub as-Sunnah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad bin Hanbal.. dan yang lainnya), al-Maktabah asy-Syamilah.

Al-‘Aini, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghaitabiy al-Hanafi Badrud-Din, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, (Bairut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, tth.), al-Maktabah asy-Syamilah.

Al-‘Asqalani, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadl, Fath Al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, tth.), al-Maktabah asy-Syamilah.

Al-Jazairi, ‘Abdur-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzhab al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. Ke-2, 1424 H/2002 M).

An-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyid-Din Yahya bin Syarf, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, (Bairut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, Cet. Ke-2, 1932 H), al-Maktabah asy-Syamilah.

________, Abu Zakariyya Muhyid-Din Yahya bin Syarf, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (ma’a Takmilah as-Sabki wa al-Muthi’iy), (Bairut: Dar al-Fikr, tth), al-Maktabah asy-Syamilah.

Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, (Mesir: Dar al-Hadits, Cet. Ke-1, 1413 H/1993 M)

Azhami, Muhammad Mustafa, Dirasah fi al-Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, terj. Ali Mustafa Taqub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-6, 2014 M)

Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damsyiq: Dar al-Fikr, Cet. Ke-2, 1405 H/1985 M).

Hasan, Ahmad, dkk., Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007 M).

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. Ke-14, 1997 M).

14

Page 15: Problematika Haji Badal

Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, Cet. Ke-3, 1397 H/ 1977 M)

Salim, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid, Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh wa Taudlih Madzahib al-Aimmah, dengan ta’liq Nashiruddin al-Albani, (Mesir: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, tth.).

Shalehuddin, Wawan Shafwan, ed., Thuruq al-Istinbath Dewan Hisbah Persatuan Islam, (Bandung: Persis Pers, 2007 M).

Syuhbah, Muhammad bin Muhammad bin Suwailim Abu, al-Wasith fi ‘Ulum wa Mushthalah al-Hadits, (ttp.: Dar al-Fiqr al-‘Arabi, tth.), al-Maktabah asy-syamilah.

Yusuf, A. Nasir, Problematika Manasik Haji, (Bandung: Penerbit Pustaka, Cet. Ke-2, 1414 H/1994 M).

15