makalah problematika madrasah

35
PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Sejarah mencatat, bahwa awal mula pendidikan Islam di Indonesia dilaksanakan di langgar atau di surau dengan menekankan pelajaran agama yang bersifat elementer berupa pengajian Al Qur'an. Murid-murid diajar baik secara individual (sorogan) maupun secara resmi klasikal (bandongan). Pada tingkat yang lebih tinggi, pengajar adalah sosok kiai, sedangkan sistem penyampaiannya tidak hanya sorogan dan bandongan tetapi juga masal. Didorong oleh kebutuhan akan pendidikan yang makin meningkat, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang berupa madrasah dan pondok pesantren (Zuhairini, 2006:233). Dalam kaitan ini adalah tepat sebagaimana yang telah diungkapakan olek Malik Fadjar, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan agama Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka(Fadjar, 1999:15). Pada tahun- tahun permulaan masuknya Islam ke Nusantara ini, lembaga pendidikan agama Islam belum menggunakan sistem klasikal, melainkan dilakukan oleh para pemuka-pemuka agama yang disebut dengan "wali" di rumah-rumah, langgar, masjid, dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. namun hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa madrasah mempunyai problematika karena selalu dipandang sebelah mata, hingga akhirnya sejak diberlakukannya 1

Upload: umi-salamah-anwari

Post on 16-Aug-2015

181 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah problematika madrasah

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Sejarah mencatat, bahwa awal mula pendidikan Islam di Indonesia

dilaksanakan di langgar atau di surau dengan menekankan pelajaran agama yang

bersifat elementer berupa pengajian Al Qur'an. Murid-murid diajar baik secara

individual (sorogan) maupun secara resmi klasikal (bandongan). Pada tingkat yang

lebih tinggi, pengajar adalah sosok kiai, sedangkan sistem penyampaiannya tidak

hanya sorogan dan bandongan tetapi juga masal. Didorong oleh kebutuhan akan

pendidikan yang makin meningkat, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan

keagamaan yang berupa madrasah dan pondok pesantren (Zuhairini, 2006:233).

Dalam kaitan ini adalah tepat sebagaimana yang telah diungkapakan olek Malik

Fadjar, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan agama Islam sesungguhnya

telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka(Fadjar, 1999:15).

Pada tahun-tahun permulaan masuknya Islam ke Nusantara ini, lembaga pendidikan

agama Islam belum menggunakan sistem klasikal, melainkan dilakukan oleh para

pemuka-pemuka agama yang disebut dengan "wali" di rumah-rumah, langgar,

masjid, dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. namun hal itu tidak

menutup kemungkinan bahwa madrasah mempunyai problematika karena selalu

dipandang sebelah mata, hingga akhirnya sejak diberlakukannya UUSPN nomor 2

tahun 1989, (INI UNDANG2 G KADALUARSA TA?, COBA LIAT SISDIKNAS

2003) madrasah diangkat eksisitensinya sebagai subsistem pendidikan nasional.

Tidak berhenti sampai disitu, problematika madrasah tidak bisa dipecahkan

semuanya dikarenakan banyaknya madrasah yang bermunculan dan minimnnya

penanganan dari pemerintah terhadap madrasah.

Saat ini pemerintah telah memberlakukan UU nomor 20 tahun 2003 tentang

SISDIKNAS yang mengatur lebih banyak tentang kedudukan, fungsi, jenjang, jenis,

dan bentuk kelembagaan, dan sebagai bagian sub sistem pendidikan Nasional, tentu

saja madrasah harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah

tersebut dalam pelaksanaan pendidikan. Dan berkaitan dengan hal itu, makalah ini

akan membahas tentang problematika madrasah dalam konteks SISDIKNAS 2003.

1

Page 2: Makalah problematika madrasah

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian diatas, maka fokus penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi delapan standararisasi pendidikan nasional di

Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember?

2. Apa saja problematika yang dihadapi dalam implementasi delapan standararisasi

pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember?

3. Bagaimana solusi dalam menghadapi problematika dalam implementasi delapan

standararisasi pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3

Jember?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mendeskripsikan implementasi delapan standararisasi pendidikan

nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember

2. Untuk mendeskripsikan problematika yang dihadapi dalam implementasi

delapan standararisasi pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri

(MTs) 3 Jember

3. Untuk mendeskripsikan solusi dalam menghadapi problematika dalam

implementasi delapan standararisasi pendidikan nasional di Madrasah

Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan bermanfaat bagi berbagai

pihak antara lain:

1. Bagi Sekolah/Madrasah

Sebagai bahan informasi bagi lembaga pendidikan sekolah, khususnya

bagi sekolah yang bersangkutan mengenai implementasi delapan standararisasi

pendidikan nasional dan juga problematikannya dalam rangka meningkatkan

kualitas pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

informasi bagi kepala sekolah agar mengupayakan penerapan delapan

standararisasi pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas

pendidikan.

2

Page 3: Makalah problematika madrasah

2. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keintelektualan

sehingga penelitian ini bisa digunakan sebagai wahana untuk mengkaji secara

ilmiah tentang bagaimana mengupayakan dan menerapkan delapan standararisasi

pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, dan

nantinya dapat diterapkan ketika bekerja di lapangan (sebagai tenaga

pengajar/kepala sekolah)

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan atau

setidaknya dapat memperkaya informasi empirik dalam hal implementasi delapan

standararisasi pendidikan nasional dan dapat dipakai sebagai data banding atau

rujukan dengan mengubah atau menambah variabel lain sekaligus dapat

menyempurnakan penelitian ini.

E. Kajian Pustaka

1. Sejarah Munculnya Madrasah di

Indonesia

Madrasah sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk pendidikan formal

sudah dikenal sejak awal abad ke 11 atau 12 M, atau abad ke 5-6 H, yaitu sejak

dikenal adanya madrasah nidzamiyah yang didirikan di Baghdad oleh Nizam

Muluk, seorang wazir dari dinasti Saljuk. Pendirian madrasah ini telah

memperkaya khazanah lembaga pendidikan Islam, karena pada masa

sebelumnya masyarakat Islam hanya mengenal pendidikan tradisional yang

diselenggarakan di masjid-masjid dan dar al-khuttab. Di Timur Tengah institusi

madrasah berkembang untuk menyelenggarakan pendidikan keIslaman tingkat

lanjut (advance/tinggi), yaitu melayani mereka yang masih haus ilmu sesudah

sekian lama menimbanya dengan belajar di masjid-masjid dan/atau dar al-

khuttab. Dengan demikian, pertumbuhan madrasah sepenuhnya merupakan

perkembangan lanjut dan alamiah dari dinamika internal yang tumbuh dari

dalam masyarkat Islam sendiri.

Sebagai agama yang yang universal, Islam membawakan peradabannya

sendiri, tanpa terkecuali di bidang pendidikan, dan ketika bersentuhan dengan

situasi lokal dan partikular, peradaban Islam tetap mempertahankan esensinya

3

Page 4: Makalah problematika madrasah

yang sejati walaupun mungkin secara instrumental menampakkan bentuk-bentuk

yang kondisional. Sehingga muncul anggapan, bahwa pertumbuhan madrasah di

Indonesia sepenuhnya merupakan usaha penyesuaian atas tradisi persekolahan

yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Mengingat struktur dan

mekanismenya yang hampir sama, sekilas dapat diduga bahwa madrasah

merupakan bentuk lain dari sekolah yang hanya diberi muatan dan corak

keIslaman.(Suwendi, 2004:57-58)

Dari pernyataan diatas, bisa dipastikan bahwa madrasah bukan lembaga

pendidikan Islam asli Indonesia sehingga sulit sekali memastikan kapan tepatnya

istilah "madrasah" mulai digunakan di Indonesia dan madrasah mana yang

pertama kali didirikan yang pertama kali.(Asrohah, 1999:192) hal itu disebabkan

tidak ada dokumen yang menjelaskan secara outentik penggunaan kata

"madrasah". Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Kareel A.

Stenbrink tentang pesantren, madrasah, sekolah, dia mengatakan(Steenbrink,

1986:35)

Pada umumnya membaca algemeen Verslag Van Bet Onderwijs (laporan

umum tentang pendidikan) tidak begitu menarik karena keterangan mengenai

pendidikan Islam yang diberikan, bersifat umum dan sering jauh tidak lengkap.

Setiap tahun hanya mengisi satu dua halaman saja.

Namun Tim penyusun dari Departemen Agama RI menetapkan

sebagaimana yang dikutip Hanun Asrohah bahwa madrasah yang pertama kali

didirikan adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan

oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Dengan nama resminya

Adabiyah School (Asrohah, 1999:193). Dalam sekolah Adabiyah ini, sistem

klasikal mulai diterapkan dan dilaksanakan secara konsekuen. Disamping

pelajaran agama, pelajaran membaca dan menulis huruf latin dan ilmu hitung

dalam sekolah ini juga diberikan.(Steenbrink, 1986:39) Namun belum berjalan

satu tahun, madrasah Adabiyah itu gagal berkembang, baik karena alasan situasi

disekitarnya maupun karena alasan kondisi Abdullah Ahmad sendiri. Hingga

akhirnya pada tahun 1910 di Padang, juga didirikan sekolah agama dengan

dengan nama madras school dan mendapat pengukuhan nama oleh pemerintah

4

Page 5: Makalah problematika madrasah

Belanda pada tahun 1915 menjadi HIS Adabiyah. (Asrohah, 1999:193). Dan

pada tahun 1923 menjadi diniyah school.(Yunus, 1992:63-64).

Terlepas dari pengistilahan madrasah diatas, kehadiran madrasah

merupakan gerakan pembaharuan di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh

kesadaran dan semangat yang kompleks, sebagaimana yang diidentifikasi oleh

Karel A. Steenbrink, dia menyebutkan empat faktor pendorong penting bagi

perubahan Islam di Indonesia(Steenbrink, 1986:26-28):

1. Faktor keinginan untuk kembali kepada Al Quran dan Al Hadits,

2. Faktor nasionalisme dalam melawan penjajah,

3. Faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik,

4. Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia

Pengelolaan madrasah dengan sistem klasikal menunjukkan indikasi

bahwa, pendidikan Islam saat itu mulai menunjukkan kemajuan yang tentu saja

menjadi berbeda dengan cara pendidikan sebelumnya yaitu pesantren yang telah

dianggap sebagai pendidikan asli Indonesia.

Madrasah dari waktu ke waktu menjadi jelas sosoknya, sementara visi dan

misi keIslaman terusmenerus mengalami perubahan. Dan sejak akhir abad ke 19,

kepustakaan mencatat perubahan-perubahan pemikiran Islam wilayah Nusantara

(Indonesia). Hal ini seiring dengan semakin kuatnya proses pembentukan

intellectual webs (jaringan intelektual) di kalangan Islam.(Hasan-Ali, 2003:

118).

Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama. Maka

secara instansional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung

jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam

lembaga-lembaga tersebut. Meski demikian, di awal kemerdekaan tidak dengan

sendirinya madrasah dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional.

Madrasah memang terus hidup, tetapi tidak memperoleh bantuan dari

pemerintah.kalaulah pada waktu itu ada perhatian, hanyalah sebatas dorongan

moral seperti pada (Shaleh, 2004: 22):

a. Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 Nomor 15 berita RI tahun II Nomor

4 dan Nomor 5 hlm 20 kolom 1 (agar pendidikan di langgar-langgar dan

madrasah berjalan terus dan diperpesat).

5

Page 6: Makalah problematika madrasah

b. Keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian

dan bantuan dari pemerintah)

c. Laporan panitia penyelidik pengajaran RI tanggal 2 Mei 1946 yang diketuai

oleh Ki Hajar Dewantara dengan 51 anggota (pengajaran yang bersifat

pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan

dimodernisasi serta bantuan berupa biaya sesuai dengan keputusan BP

KNIP).

Dengan kata lain, meskipun pendidikan Islam telah berjalan lama dan

mempunyai sejarah panjang, namun dirasakan pendidikan Islam masih tersisih

dari sistem pendidikan nasional. Disamping itu, masyarakat juga selalu

mendudukkan madrasah dalam posisi marginal, karena ia hanya berkutat pada

kajian masalah keagamaan Islam, dan miskin pengetahuan umum, sehingga

outputnya pun kurang diperhitungkan oleh masyarakat. Persepsi tersebut tidak

terlepas dari pengaruh kolonialisme yang menganaktirikan dan bersikap

diskriminatif terhadap pendidikan Islam (termasuk madrasah), bahkan ia

dianggap sebagai sekolah liar. Sebagai akibatnya, pendidikan Islam termasuk

madrasah menghadapi kesulitan-kesulitan, antara lain ia terisolasi dari arus

modernisasi, ia berkonotasi kampungan (keterbelakangan), isi pendidikan

cenderung berorientasi pada praktek-praktek ritual keagamaan dan kurang

memperhatikan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, manajemennya bersifat

tertutup dan julukan-julukan lainnya. Hingga akhirnya SKB 3 menteri (menteri

agama, menteri pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri) pada

tahun 1975, tentang "peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah" mengangkat

eksisitensi madrasah dalam konteks pendidikan nasional(Muhaimin, 2003: 198).

Di dalam bab II pasal 2 dinyatakan, bahwa:

a. Ijasah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijasah sekolah

umu yang setingkat

b. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas,

dan,

c. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umu yang setingkat.

Pada waktu itu telah dididentifikasi berbagai kelemahan pendidikan Islam

seperti terlalu banyaknya mata pelajaran yang diarahkan, kualitas guru yang

6

Page 7: Makalah problematika madrasah

rendah, sarana pendidikan yang kuran dan para sisiwnya yang kebanyakan dari

keluarga yang kurang mampu. Hal ini berarti pendidikan Islam belum

merupakan alternatif pendidikan modern (Tilaar, 2004;147), hingga pada

gilirannya, untuk pertama kalinya pendidikan Islam merupakan sub sistem

pendidikan nasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional

menemukan bentuknya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

(UUSPN) yang dilansir pemerintah pada tahun 1989. melalui UUSPN, madrasah

mengalami perubahan definisi, dari "sekolah agama" menjadi "sekolah umum

berciri khas Islam". Perubahan definisi ini penting artinya, karena dengan

demikian berarti madrasah tidak hanya telah menjadi lembaga pendidikan

modern, tetapi ia juga mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari

sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, UUSPN ini disambut dengan

antusias oleh DEPAG, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap

madrasah dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya (Hasan-Ali, 2003: 61).

Dan sejak diberlakukannya UUSPN tahun 1989, hal ini merupakan

tantangan bagi para pengelola pendidikan madrasah, karena madrasah tidak saja

harus mampu menciptakan manusia-manusia yang matang dalam bidang agama,

tetapi seklaigus memiliki penetahuan dan ketrampilan yang sejajar dengan

output atau lulusan pendidikan umum.

2. Problematika Madrasah dalam Pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan

Nasional, merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan satu

sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki UUD 1945. proses

perjalanan tyang melelahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1989

dengan kelahiran UU Nomor 2 tahun 1989, dan kemudian disempurnakan

menjadi UU Nomor 20 tahun 2003, merupakan puncak dari usaha

mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan demikian, berarrti UU Nomor 20 tahun 2003 merupakan wadah formal

terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, dengan

adanya wadah tersebut pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan

untuk terus dikembangkan(Hasbullah, 2006: 157-158).

7

Page 8: Makalah problematika madrasah

Dalam UU sisdiknas tahun 2003 pasal 17 ayat 2 disebutkan: "pendidikan

dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan (Madrsah Ibtidaiyah) MI atau bentuk

lain yang sederajat atau sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrsah

Tsnawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat."

Dan pasal 18 ayat 2 disebutkan: "Pendidikan menengah berbentuk Sekolah

Menengah Atas (SMA), Madrsah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang

sederajat."

Kedua pasal tersebut memberikan pengertian yang sangat jelas bahwa

madrasah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, atau dengan kata

lain madrasah menjadi sub sistem pendidikan Nasional.

Secara formal, pada saat ini, ada dua departemen yang bertanggungjawab

dalam membina lembaga pendidikan. Yaitu pertama departemen pendidikan

nasional yang membina lembaga-lembaga pendidikan umum, seperti SD, SLTP,

SMU dan pendidikan tinggi, negeri, swasta. Dan kedua adalah departemen

agama yang membina, seperti MI, MTS, MA dan pendidikan Tinggi

Agama/UIN/IAIN/Swasta.(shaleh, 2004:86)Namun meski demikian, sebagai sub

sistem pendidikan nasional, madrasah mempunyai konsekwensi dengan adanya

satu sistem pendidikan nasional dengan menstandarisasikan segala hal dan

kegiatan dengan sistem yag telah disepakati.

Kebijaksanaan pendidikan di lingkungan madrasah sebagai sub sistem

pendidikan nasional ditetapkan tidak berbeda dengan kebijaksanaan pendidikan

yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, madrasah

diberikan batasan sebagi sekolah umum yang bercirikan Islam dan dikelola oleh

Departemen Agama. Madrasah menggunakan kurikulum seutuhnya,

menggunakan buku peket yang sam, mengikuti ujian negara bersama dan

mengikuti petunjuk perangkat tekhnis selengkapnya dari Departemen

Pendidikan Nasional. Madrasah dibedakan dengan sekolah umum dengan

menambah jumlah jam pada pelajaran agama (antara 4-9 jam pelajaran

seminggu) sebagai pelaksanaan ciri khas agama Islam pada tingkat MI, MTs,

dan MA(Shaleh, 2004: 86).

8

Page 9: Makalah problematika madrasah

Kenyataan tersebut, menurut Malik Fadjar merupakan keunggulan sistem

pendidikan nasional yakni dengan kesediaaan mengakui ciri khas yang dimiliki

pranata-pranata pendidikan yang beragam serta mengintegrasikannya ke dalam

satu bangunan sistemik pendidikan nasional. Selanjutnya, dia mengatakan

bahwa, betapa simpatiknya pengakuan bahwa "madrasah" (ibtidaiyah,

tsanawiyah, dan aliyah) merupakan sekolah umum yang berciri khas Islam dan

menjadi bagian keseluruhan sistem pendidikan nasional negara kita.(Fadjar,

1999: 15).

Dalam UU SISDIKNAS disebutkan bahwa Sistem pendidikan nasional

harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu

serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan

sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Melihat

tujuan dari sistem pendidikan yang telah disusun oleh pemerintah tersebut

sepertinya masih menjadi kendala bagi sebagian madrasah untuk

mengimplementasikannya. hingga saat ini, madrasah masih berkubang dengan

berbagai persoalan untuk mencapai standarisasi yang telah ditetapkan oleh

pemerintah. Persoalan tersebut pada umumnya menyangkut kwalitas dan

kwantitas guru yang belum memadai, serta sarana fisik dan fasilitas pendidikan

yang minim, manajemen non profesional, jumlah murid yang sedikit dan

umumnya dari kalangan menengah kebawah.(Fadjar, 1999: 35).

Untuk mengetahui Problematika madrasah dalam konteks SISDIKNAS ini,

bisa dilihat dari kondisi riil tentang madrasah dalam perspektif 8 standar

nasional pendidikan sebagai salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan,

adalah sebagai berikut :

1. Standar Isi

Standar isi dikenal juga dengan standar kurikulum. Di dalam

kurikulum ditentukan mata pelajaran untuk masing-masing jenjang

pendidikan serta pengaturan mengenai alokasi jamnya setiap minggu, bulan,

tahun. Selain itu kurikulum juga disusun menurut berbagai sudut pandang

seperti kurikulum yang berorientasi kepada mata pelajaran (subject matter

curriculum), kurikulum yang beroirientasi kepada kebutuhan anak (child

centered curriculum), kurikulum yang berdasarkan kepada kebutuhan yang

9

Page 10: Makalah problematika madrasah

nyata (life skill curriculum) (Tillar, 2006: 78). Dan kurikulum yang

disebutkan diatas dikenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan).

Secara keseluruhan madrasah saat ini sudah melaksanakan standarisasi

pelaksanaan kurikulum terutama untuk kurikulum 2004 dan sebagian lagi

masih mempersiapkan kurikulum KTSP tahun 2006. ketidakmerataan

pemahaman pengelola madrasah terhadap tuntutan kurikulum tersebut,

menyebabkan ketidaksamaan dalam mengimplementasikan kurikulum

tersebut. Hal ini masih banyak dijumpai, beberapa madrasah yang belum

memiliki dokumen kurikulum, dokumen pengembangan silabus, rencana

pengajar dan alat-alat evaluasi.

Kondisi ini menyebabkan terganggunya pengelola madrasah terhadap

pemahaman kurikulum. Disamping itu bantuan pedoman kurikulum KTSP

berupa buku maupun CD kepada madrasah tidak merata. Begitu juga dengan

pembinaan dari para pejabat yang berwenang untuk mensosialisasikan

kurikulum tersebut belum mampu menjangkau madrasah-madrsah yang

berada di pedesaan yang letaknya terpencil.

2. Standar Proses

Standar proses meliputi pelaksanaan pembelajaran pada satuan

pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

Dalam melaksanakan proses pembelajaran, masih banyak yang belum

mampu menyesuaikan dengan tuntutan kurikulum KTSP yaitu proses

pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).

Kebanyakan para guru masih melaksanakan pembelajaran pola lama one

man show, belum menjadikan siswa sebagai subyek dalam pembelajaran.

Begitu pula dalam perencanaan pembelajaran seperti kesiapan silabus,

rencana pengajaran harian dan alat evaluasi yang banyak tidak disiapkan

dengan baik oleh para guru. Ditambah lagi minimnya sumber belajar dan

media pembelajaran serta alat peraga terutama laboratorium. Ini

menyebabkan terjadinya pemblajaran yang monoton, membosankan dan

melelahkan.

10

Page 11: Makalah problematika madrasah

Kondisi ini disebabkan lemahnya pembinaan, pelatihan guru, serta

tidak meratanya bantuan sarana pendidikan kepada madrasah atau

menggunakan istilah masih minmnya bantuan pemerintah kedapa madrasah,

sehingga belum mapu menjangkau ke semua madrasah baik negeri maupun

swasta.

3. Standar Kompetensi Lulusan

Standar ini merupakan kualifikasi kemampuan luilusan yang berkaitan

dengan sikap, pengetahuan , dan ketrampilan. Kompetensi lulusan madrasah

apabila dilihat dari segi kuantitatif, sudah dapat bersaing dengan sekolah

umum, namun jika dilihat dari segi kualitatif masih agak tertinggal jika

dilihat dari distribusi ke perguruan tinggi, penguasaan keilmuan dan

ketrampilan. Hal ini disebabkan madrasah belum mampu menerapkan

standar kemampuan minimal lulusan, akibat faktor internal dan eksternal,

baik dari sisi proses, SDM, pembiayaan, sarana dan prasarana yang ada.

Oleh karena itu kualitas pendidikan madrasah masih ketinggalan dengan

sekolah.(Khaerudin, 2007:11)

4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Standar ini merupakan standar nasional tentang kriteria pendidikan pra

jabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan

dari tenaga guru serta tenaga kependidikan lainnya.

Dari sisi kuantitas tenaga pendidikan dan kependidikan di madrsah

sudah mendekati standar, terutama di madrasah-madrasah negeri. Ini terlihat

dengan adanya kepala madrasah, tenaga guru dan tenaga lain yang tersedia.

Namun masih ada kekurangan pada tenaga kependidikan, terutama TU,

laboran dan pustakawan.

Kemudian dilihat dari kualitatif kondisi tenaga pendidik dan

kependidikan untuk madrasah-madrasah negeri sudah mendekati

standar(Khaeruddin, 2007:12). Tetapi yang menjadi fenomena tak

terbantahkan saat ini adalah banyak guru madrasah swasta yang nyambi

ngajar di sekolah lain untuk mengejar kebutuhan ekonomi. Banyaknya guru

madrasah yang nyambi di sekolah lain karena kesejahteraan guru madrasah

masih sangat minim. Realitanya, ada guru madrasah yang hanya digaji Rp

11

Page 12: Makalah problematika madrasah

100 ribu per bulan. Untuk kehidupan saat ini mana cukup mengandalkan Rp

100 ribu. Dan sebagian besar guru madrasah masih mismach dan

pendidikannya yang kurang qualified. Masih sangat banyak guru madrasah

yang mengajarkan mata pelajaran tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang

dikuasainya. sarjana syariah mengajar IPA, sarjana ushuluddin mengajar

Matematika, Sarjana pertanian mengajar bahasa Indonesia, dan sebagainya.

Selain itu masih banyak juga guru madrasah yang hanya berpendidikan

Aliyah dan SMA (Lutfi,http://www.radarbanten.com/).

5. Standar Sarana dan Prasarana

Standar ini menegnai kriteria minimal tentang runagn belajar,

perpustakaan, tempat olahraga, tempat ibadah, tempat bermain dan rekreasi,

laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk

menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini termasuk pula

penggunaan tekhnologi informasi dan komunikasi.

Dari sisi kwantitas, madrasah-madrasah sudah mampu mencukupi

jumlah kelas, sesuai dengan jumlah siswa dan ruangan yang lain. Dari sisi

kualitas, untuk madrasah negeri dan sebagian madrasah swasta sudah banyak

yang mampu memenuhi persyaratan tersebut. Sebagian lagi masih ada yang

seadanya baik pergedungan dan ruangan kelasnya, seperti laboratorium,

perpustakaan, ruang ketrampilan, perpustakaan, ruang ibadah, halaman

bermain dan media serta alat peraga pendidikan.

Hal ini dapat dimaklumi, terutama pada madrasah-madrasah swasta

dikarenakan pengadaan dan sarana pendidikan adalah hasil swadaya

masyarakat sedangkan bantuan dri pemerintah sangat kecil. Berbeda dengan

madrasah negeri, walaupun masih ada yang belum memnuhi standar tetapi

masih ada bantuan dari pemerintah.(Khaeruddin, 2007: 13).

6. Standar Pengelolaan

Standar ini meliputi perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan

pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan,

pengelolaan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota, provinsi, dan pada

tingkat nasional. Tujuan dari standar ini ialah meningkatkan efisiensi dan

efektifitas penyelenggaraan pendidikan. Dalam melaksanakan pengelolaan

12

Page 13: Makalah problematika madrasah

Madrasah sebagian besar belum mampu menerapkan MPMBM (Manajemen

Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah).walau demikian penerapan MPMBM

dengan segala keterbatasannya telah dilaksanakan oleh madrasah – madrasah

swasta, baik dalam manajeman pengelolaan, sarana, prasarana, ketenangan

dan keuangan.

Lemahnya pembinaan dari institusi terkait dari yayasan pengelola

madrasah baik negeri maupun swasta, menjadi sebab lemahnya sistem

menejerial madrasah, sehingga dalam perjalanannya masih sangat diperlukan

pembinaan di dalam menyusun perencanaan program madrasah, mulai dari

visi, misi, tujuan, dan target.

Begitu pula monitoring dan supervisi sangat kurang dilaksanakan

sehingga terjadi kesulitan dalam menentukan kinerja madrasah.

7. Standar Pembiayaan

Standar ini merupakan standar nasional yang berkaitan dengan

komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama satu tahun.

Pembiyaan di madrasah terdiri dari tiga komponen, yaitu biaya investasi,

operasional dan pesonal. Di madrasah negeri untuk semua tingkatan, biaya

investasi sebagian besar ditanggung pemerintah (Departemen Agama) yang

digunakan untuk pengadaan tanah, pembangunan gedung dan pengadaan

sarana dan prasarana. Tetapi di madrasah swasta, semua biaya investasi

menjadi tanggungan madrasah atau yayasan pengelola.

Perbedaan kondisi daerah menjadi sebab heterogenitas masalah

pembiayaan, sehingga terjadi perbedaan antara yang satu dengan yang

laindalam pembiayaan investasi.

Pembiayaan operasional pada dua tahun terakhir ini tertolong dengan

adanya BOS dan BKM. Walaupun belum mencukupi, pada daerah-daerah

pedesaan sangat menolong dalam membantu operasional madrasah.

Kemudian untuk pembiayaan personal sangat ditentukan oleh kondisi

daerah. Madrasah negeri maupun swasta yang belum mendapat bantuan

operasional sangat ditentukan oleh kondisi wali murid, apalagi wali murid

madrasah hampir 90% berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah.

13

Page 14: Makalah problematika madrasah

Faktor ini justru sangat mempengaruhi pembiayaan personal di

madrasah, sehingga upaya peningkatan mutu dalam penyelenggaraan

medrasah menjadi terhambat karena minimnya biaya personal dari siswa

setiap bulannya(Khaeruddin, 2007:14).

8. Standar Penilaian Pendidikan

Standar ini merupakan standar nasional penilaian pendidikan tentang

mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

Standar penilaian pendidikan mencakup : a) penilaian hasil belajar oleh

pendidik, b) penilaian hasil belajar oleh madrasah, dan c) penilaian hasil

belajar oleh pemerintah, semua madrasah baik negeri maupun swasta sudah

melakukan, karena masuk dalam sistem pengelolaan pendidikan, hanya saja

secara kualitas masih belum sama antara madrasah yang satu dengan yang

lain. Hal ini tidak hanya dialami oleh madrasah swasta, tetapi oleh madrasah

negeri. Pemahaman madrasah dan para guru terhadap standar penilaian,

seperti penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada masing-masing

mata pelajaran masih terjadi perbedaan persepsi sebagai akibat adanya

perbedaan penafsiran pada panduan KKM. Belum lagi pemahaman guru

terhadap alat evaluasi seperti penyusunan kisi-kisi, kartu soal dan bentuk

soal, yang kebanyakan mereka masih berpola pada kurikulum lama. Hal ini

disebabkan pula karena kurangnya sosialisasi dan bimbingan teknis untuk

para guru, serta peran MGMP dan KKG yang belum maksimal(Khaeruddin,

2007:15).

Dari problematika yang telah diungkapakan diatas bisa ditarik benang

merah, bahwa masih banyak madrasah yang kurang didukung oleh

organisasi dan manajemen yang rapi, jaringan yang terbatas, dan kurang

memiliki sumber-sumber dana yang memadai.

Namun diakui atau tidak integrasi madrasah ke dalam Sisidiknas yang

segala sesuatunya mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah,

menurut penulis merupakan langkah nyata yang telah dilakukan pemerintah

untuk meningkatkan mutu madrasah yang selalu dipandang sebelah mata

dikarenakan persepsi masyarakat sebagaimana telah diungkapakan diatas.

Dan memang saat ini upaya pencerahan terhadap madrasah terus dilakukan,

14

Page 15: Makalah problematika madrasah

seperti melalui madrasah model yang diharapkan berperan sebagai agent of

change atau agen perubahan yang mengajak madrasah di sekitarnya untuk

bersama menjadi madrasah yang berkualitas dan tentunya sesuai dengan

standarisasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah yakni dengan standarisasi

nasional.

Adalah benar, jika masih banyak madrasah terutama madrasah swasta

dan terlebih yang berada di daerah terpencil mengalami kesulitan untuk

mengikuti standar nasional. Hal itu selain dikarenakan kurangnya perhatian

dari pemerintah terhadap pengelolaan madrasah, hal itu juga dikarenakan

pendanaan terhadap madrasah yang masih minim. Mungkin karena

pemerintah merasa bahwa madrasah bisa mencukupi dirinya sendiri, hal itu

juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, sebab kembali pada historis

madrasah sebagai lembaga swadaya masyarakat. Namun yang menjadi

kendala adalah masyarakat tidak sepenuhnya bisa diandalakan sebagai

sumber pendanaan dikarenakan sebagian besar siswanya adalah dari

kalangan ekonomi rendah.

F. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Secara umum metode penelitian ada dua macam, yaitu pendekatan kualitatif

dan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang mengumpulkan

data pada suatu latar alamiah dengan menggunakan metode ilmiah dan dilakukan

oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah.(Moeloeng, 1995:5)20 Metode

deskriptif adalah adalah metode yang melukiskan suatu obyek atau peristiwa historis

tertentu yang kemudian diiringi dengan upaya pengambilan kesimpulan umum

berdasrkan fakta-fakta historis tertentu.21

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus.

Penelitian studi kasus bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail

tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, ataupun status

dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas tersebut dijadikan suatu hal yang

20 David Williams dalam Lexy Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm: 521 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hlm:73

15

Page 16: Makalah problematika madrasah

bersifat umum.22 Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan implementasi

delapan standararisasi pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3

Jember

G. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di MAN 3 Malang Jalan Bandung No. 7 Malang dan

Madrasah Aliyah Miftahul-Qulub Jalan Masaran desa Polagan kabupaten

Pamekasan. Dipilihnya Madarasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang sebagai obyek

penelitian karena MAN 3 Malang termasuk salah satu sekolah favorit sekaligus

bonafit di kota Malang yang terkesan sekolah kaum elit dan hanya orang-orang dari

high class yang bisa masuk ke MAN 3 Malang. Selain itu MAN 3 Malang

merupakan salah satu sekolah yang memiliki prestasi gemilang baik dalam bidang

akademik dan non akademik. Biaya pendidikan yang mahal, fasilitas dan sarana-

prasarana pembelajaran yang memadai, dan guru yang professional menjustifikasi

bahwa MAN 3 Malang sebagai sekolah yang berkualitas. Dipilihnya Madrasah

Aliyah Miftahul-Qulub sebagai lokasi penelitian karena Madrasah Aliyah Miftahul-

Qulub merupakan sekolah swasta dengan biaya pendidikan murah dengan kualitas

yang standar (biasa-biasa saja), fasilitas yang kurang memadai, namun

output/lulusan dari Madrasah Aliayah Miftahul-Qulub ini mampu bersaing dengan

lulusan sekolah-sekolah lain dalam hal prestasi. Hal ini terbukti banyak siswa

lulusan Madrasah Aliyah Miftahul-Qulub Pamekasan diterima di perguruan tinggi

ternama seperti UNESA, UNIBANG dan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Data

terakhir selama tiga tahun yang peneliti temukan di lapangan, bahwa pada tahun

2006 alumni MA Miftahul-Qulub yang diterima di Unibang sebanyak 4 orang

siswa, pada tahun 2007 alumni MA Mintahul-Qulub yang diterima di Unesa

sebanyak 3 orang siswa, dan pada tahun 2008 alumni MA Miftahul-Qulub yang

diterima di IAIN Sunan Ampel sebanyak 5 orang siswa.

H. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen utama, yaitu sebagai

pelaksana, pengamat, dan sekaligus sebagai pengumpul data. Sebagai pelaksana,

peneliti melaksanakan penelitian di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember

untuk mengetahui manajeman biaya di dua sekolah tersebut. Peneliti berperan

22 Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Cet V, hlm. 57

16

Page 17: Makalah problematika madrasah

sebagai pengamat untuk mengamati bagaimana proses rapat penyusunan

perencanan RAPBS, rapat pertanggungjawaban dan lain-lain terkait dengan proses

manajemen biaya pendidikan. Sebagai interviwer, peneliti mewawancarai kepala

sekolah dan bagian bendahara untuk menggali data dan mengetahui bagaimana

proses manajemen biaya pendidikan yang telah diterapkan. Sebagai pengumpul

data, peneliti mengumpulkan data yang berkaitan dengan manajemen biaya

pendidikan mulai awal penelitian, pada saat penelitian dan setelah penelitian.

I. Data dan Sumber Data

Menurut cara memperolehnya, data dapat dikelompokkan menjadi dua

macam, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang

dikumpulkan, diolah, dan disajikan oleh peneliti dari sumber pertama.23 Dalam hal

ini, data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung dari

informan melalui pengamatan, catatan lapangan dan interview.

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak

lain yang biasanya dalam bentuk publikasi atau jurnal.24 Dalam hal ini, data

sekunder adalah data yang sudah diolah dalam bentuk naskah tertulis atau dokumen.

Data penelitian ini bersumber dari kepala sekolah dan waka kurikulum. Data

penelitian ini berupa hasil pengamatan, wawancara, dokumen, dan catatan lapangan.

Data tersebut sangat berkaitan dengan data implementasi delapan standarisasi

pendidikan nasional.

J. Pengumpulan Data

Untuk menentukan data yang pergunakan, maka dibutuhkan adanya teknik

pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh berfungsi sebagai

data obyektif dan tidak terjadi dari penyimpangan sebenarnya. Adapun metode yang

dipergunakan adalah metode observasi, catatan lapangan, interview, dukomentasi.

1. Metode Observasi

Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara pengambilan data

dengan menggunkan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk

keperluan tersebut.25 Metode observasi disini adalah dengan jalan pengamatan

23 Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Pedoman Pendidikan Tahun Akademik 2004/2005, hlm.18224 Ibid.25 Moh Nazir, op.cit. hlm. 212

17

Page 18: Makalah problematika madrasah

langsung terhadap obyek penelitian untuk mengetahui bagaiaman proses

penyusunan anggaran sekolah.

2. Metode Interview

Interview atau wawancara adalah dialog yang dilakukan oleh pewawancra

(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara.26 Wawancara

dilakukan untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah

pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula.

Wawancara dimaksudkan untuk meperkuat data observasi. Wawancara

dilakukan kepada kepala sekolah sebagai manajer dan bagian keuangan/

bendahara untuk mengetahui proses manajemen biaya pendidikan, dari segi

perencanaan, pelaksanaan/ pengalokasian, evaluasi dan pertanggungjawabannya.

3. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,

lengger, agenda, dan sebagainya.27 Metode ini peneliti gunakan untuk

memperoleh data-data tentang keuangan dan dokumen-dokumen hasil

pertanggungjawaban bagian keuangan/ bendahara.

K. Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisa data yang penulis gunakan adalah teknik

analisa deskriptif kualitatif (berupa kata-kata bukan angka). Menurut Miles dan

Huberman dalam analisis kualitatif data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan

rangkaian angka-angka. Data tersebut mungkin telah dikumpulkan dalam berbagai

cara seperti observasi, wawancara, atau intisari rekaman yang kemudian “di proses”

melalui pencatatan, pengetikan atau pengaturan kembali.28

Berdasarkan dari teori analisis data tersebut, maka analisis data penelitian ini

mengikuti analisis Miles dan Huberman yang meliputi: 1) reduksi data, 2)

menyajikan data, dan 3) penerikan kesimpulan dan Verifikasi.

1. Reduksi Data

26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Renika Cipta, 2002), hlm. 13227 Ibid, hlm. 206 28 Matthew B. Milles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 15

18

Page 19: Makalah problematika madrasah

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian,

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari

catatan tertulis di lapangan.29 Reduksi data ini dimulai sejak awal pengumpulan

data sampai penyusunan laporan.

2. Penyajian Data

Penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.30

Penyajian data dilakukan dengan cara menganalisis data hasil reduksi dalam

bentuk naratif yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengambil

tindakan. Sajian data selanjutnya kemudian ditafsirkan dan dievaluasi untuk

merencanakan tindakan selanjutnya.

3. Kesimpulan dan Verifikasi

Menarik kesimpulan adalah kegiatan memberi kesimpulan terhadap hasil

penafsiran dan evaluasi. Kesimpulan ini meliputi pencarian makna data dan

penjelasannya, dan makna-makna yang muncul dari data tersebut diuji

kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya dari data yang diperoleh di

lapangan untuk menarik kesimpulan yang tepat dan benar.

L. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam penelian ini, untuk menguji keabsahan data menggunakan teknik

sebagaimana yang dikemukan oleh Moleong yaitu: 1) ketekunan pengamatan, 2)

triangulasi, 3) kecukupan referensial.31

Pertama, penyajian keabsahan data dengan ketekunan pengamatan dilakukan

dengan cara mengamati dan membaca secara cermat sumber data penelitian

sehingga data yang diperlukan dapat diidentifikasi, dipilih dan diklasifikasikan.

Selanjutnya dapat diperoleh deskripsi-deskripsi hasil yang akurat dalam proses

perincian maupun pemyimpulan.

Kedua, triangulasi digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dengan

memanfaatkan sumber yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau

pembanding data.32 Dalam kaiatan ini, ada dua metode triangulasi yang digunakan

untuk pemeriksaan data, yaitu: (1) triangulasi metode dan teknik pengumpulan data.

29 Ibid., hlm. 1630 Ibid., hlm. 1731 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 17532 Ibid., hlm. 178

19

Page 20: Makalah problematika madrasah

Dalam hal ini, metode dan teknik pengambilan data tidak hanya digunakan untuk

sekedar mendapatkan data atau menilai keberadaan data, tetapi juga untuk

mementukan keabsahan data, (2) triangulasi data dengan pengecekan yang dibantu

oleh teman sejawat, serta pihak-pihak lain yang telah memahami penelitian ini.

Ketiga, penyajian data dengan kecukupan referensi dilakukan dengan cara

membaca dan menelaah sumber-sumber data dan sumber pustaka yang relevan

dengan masalah penelitian secara berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang

memadai.

20

Page 21: Makalah problematika madrasah

DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Logos ).

Fadjar, Malik. 1999. Madrasah Dan Tantangan Modernitas (Bandung; Mizan)

Hasan, Ali & Mukti Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta ; Pedoman Ilmu Jaya)

Khaeruddin&Junaedi Mahfud. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pndidikan (Semarang; Pilar Media)

Lutfi, Ahmad, Potret Madrasah, Kini Dan Masa Datang, http://www.radarbanten.com/ diakses pada tanggal 18 April 2008.

Muhaimin, MA. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam;Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa)

Suwendi. 2004. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada)

Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah;Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (Jakarta: Darma Aksara Perkasa)

Shaleh, Abdur Rahman. 2005. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa;Visi, Misi, Dan Aksi (Jakarta: Raja Garafindo Persada)

Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional;Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta : Rineka Cipta)

________ 2004. Paradigama Baru Pendidikan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta)Yunus, Mahmud. 1992. sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Mutiara

Sumber Widya)Undang-Undang SISDIKNAS 2003. (Bandung Citra Umbara)Zuhairini dkk. 2006. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta ; Bumi Aksara)

20 David Williams dalam Lexy Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm: 521 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hlm:7322 Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Cet V, hlm. 57

23 Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Pedoman Pendidikan Tahun Akademik 2004/2005, hlm.182Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Renika Cipta, 2002), hlm. 13228 Matthew B. Milles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 15

31 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 175

21

Page 22: Makalah problematika madrasah

PROBLEMATIKA MADRASAH ALIYAH DALAM KONTEKS SISDIKNAS

(study multi situs tentang problematika 8 standar mutu pendidikan MA sekecamatan Sumber Baru kabupaten Jember)

Bagaimanakah faktor dominan problematika yang dihadapai MA menyangkut isi,proses,saranan,kurukulum.......?apasajakah kebijakan yang dilakukan tingkat satuan MA dalam menghadapi problematika 8 standarat

22