problematika kebijakan agraria dalam undang ...digilib.iain-jember.ac.id/1317/1/makalah asli dwi...
TRANSCRIPT
i
PROBLEMATIKA KEBIJAKAN AGRARIA DALAM
UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA TERHADAP KINERJA
REFORMA AGRARIA DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan Kepada Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Jember Untuk
Dipresentasikan Dalam Seminar Diskusi Periodik Dosen
Oleh :
Dwi Hastuti, MPA
NIP. 198705082019032008
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
LEMBAGA PENJAMINAN MUTU
JANUARI 2021
ii
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul i
Daftar isi ii
Daftar tabel iii
BAB 1. PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………... 1
B. Masalah Atau Topik Bahasan……………………………………….. 2
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………….. 3
BAB 2. PEMBAHASAN ……………………………………………………. 4
A. Problema substansi kebijakan agraria di Undang-Undang Cipta
Kerja ………………………………………………………………….
4
B. Potensi Dampak Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Kinerja
Reforma Agraria……………………………………………………...
8
BAB 3. PENUTUP ………………………………………………………….. 13
A. Kesimpulan ………………………………………………………….. 13
B. Saran ………………………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 15
iii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Jumlah Konflik Agraria di Indonesia …………………………… 10
Tabel 2. Capaian Implementasi Reforma Agraria………………………… 11
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
RUU mengenai Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dibuat oleh Pemerintah
Pusat dan dimasukkan ke prolegnas sejak 17 Desember 2019 sudah disahkan saat
persidangan paripurna tanggal 5 Oktober 2020. Secara resmi telah diundangkan
menjadi “Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” atau sering
disebut “Undang-Undang Cipta Kerja” pada tanggal 2 November 2020. Kabar
pengesahan perundangan ini oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI ini cukup
mengagetkan sebagian besar masyarakat. Undang-undang ini terus mendapatkan
banyak penolakan dari berbagai kalangan mulai dari golongan buruh, mahasiswa,
organisasi masyarakat hingga akademisi.
Tujuan dari“UU No. 11 Tahun 2020” ini untuk membuat lapangan
pekerjaan serta meningkatkan penanaman modal dengan memberikan perubahan
dan kemudahan berbagai aspek pengaturan mengenai perizinan dan pengadaan
tanah. Sebagaimana juga disampaikan oleh Mentri BPN/RB dalam kegiatan
seminar di Universitas Islam Indonesia. Bapak Mentri ATR/BPN (2020)
mengutarakan bahwa pandemi covid 19 telah memberikan tenakanan
perekonomian baik dari segi permintaan dan penawaran. Sehingga pemerintah
sangat perlu untuk mendorong perekonomian dan investasi melalui UU No. 11
Tahun 2020 ini dengan menghilangkan hambatan regulasi yang ada saat ini
termasuk yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah1. Pada prinsipnya
menurut pemerintah undang-undang ini memiliki tujuan yang mulia.
Pendapat yang berbeda dari banyak kalangan masyarakat yang justru
menolak pengesahan“UU No. 11 Tahun 2020”hingga saat ini terus berlangsung.
Penolakan terhadap substansi undang-undang ini karena banyak kalangan yang
1 Sofyan A. Djalil. “Kebijakan Tata Ruang dan Pertanahan dalam RUU Cipta Kerja’
(Dipresentasikan dalam Seminar ATR/BPN Goes To Campus diselenggarakan oleh Universitas
Islam Indonesia secara virtual menggunakan Aplikasi ZOOM Meeng pada hari Jumat, 15 Mei
2020 ), hal 4
2
berpendapat bahwa tujuannya untuk membentuk ekosistem investasi tetapi
mengandung pasal-pasal yang kontroversial karena berpotensi menimbulkan
moral hazard dan merugikan masyarakat kecil terutama petani, buruh dan
masyarakat hukum adat. Thomas R Dye menjelaskan model perumusan kebijakan
yang elitis yaitu proses perumusan yang menggambarkan political will para elit
pejabat yang berkuasa2. Dalam teori ini dinyatakan kebijakan yang dihasilkan
menjadi paradoks dengan kepentingan publik.
Di dalam draf RUU Cipta Kerja ini sudah mengalami 5 kali perubahan
hingga disahkannya menjadi UU No. 11 Tahun 2020. Tetapi substansi kluster
pertanahan relatif tidak ada perubahan mendasar. Masih terdapat banyak substansi
yang menjadi kontroversial yaitu ada pihak yang setuju atau ada yang tidak setuju.
Hal ini dapat dilihat pada Bab VIII Pengadaan Tanah (Pasal 122-147) UU No. 11
Tahun 2020 terdapat norma-norma baru yang termuat dalam RUU Pertanahan
yang masih ditunda pembahasannya. Sehingga banyak pihak yang menganggap
bahwa UU No. 11 Tahun 2020 ini merupakan upaya penyelundupan substansi
RUU Pertanahan.
Tulisan dalam paper ini akan mengkaji secara mendalam problematika
dalam substansi UU No. 11 Tahun 2020 kluster Pertanahan. Tulisan ini sangat
penting mengingat Undang-Undang Cipta kerja kluster pertanahan ini masih saja
menjadi kontroversi hingga saat ini. Tulisan ini juga mengetahui potensi dampak
diterapkannya UU No. 11 Tahun 2020 terhadap kinerja reforma agraria. Reforma
agraria merupakan amanah dari UUPA yang hingga kini masih menghadapi
banyak tantangan dari kebijakan agraria yang kapitalis.
B. Masalah Atau Topik Bahasan
Undang-Undang Cipta Kerja memasukkan substansi kontroversional kebijakan
agraria yang mendapatkan banyak kritik dan aksi penolakan dari kalangan
masyarakat. Dengan demikian rumusan masalah yang dibahas yaitu:
1. Apasaja problematika dalam substansi kebijakan agraria pada Undang-
Undang Cipta Kerja?
2 Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik ( Bandung: CV Alfabeta, 2014),132.
3
2. Bagaimana potensi dampak Undang-Undang Cipta Kerja terhadap kinerja
reforma agraria?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Problematika substansi kebijakan agraria pada Undang-
Undang Cipta Kerja
2. Mengetahui potensi dampak Undang-Undang Cipta kerja terhadap kinerja
reforma agraria.
4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Problema Substansi Kebijakan Agraria Di Undang – Undang Cipta
Kerja.
UU No. 11 Tahun 2020 merupakan bentuk omnibus law yang diterapkan di
Indonesia. Omnibus law adalah konsep menyederhanakan berbagai produk hukum
menjadi satu produk hukum yang menyeluruh3. Undang-Undang Cipta Kerja yang
terkait bidang agraria ini terdapat dalam Bab VIII Pengadaan Tanah dengan tujuan
bagaimana menyediakan tanah untuk berbagai kepentingan dalam rangka
mendukung investasi untuk penciptaan kerja. Pada BAB VIII pengadaan tanah ini
terdapat 3 bagian yaitu Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum (Ps. 123), Perlindungan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Ps. 124) ,
dan Pertanahan (Ps 125-147).
Terdapat 2 (dua) undang-undang terkait agraria yang substansinya direvisi,
dicabut dan / atau diperkuat demi kepentingan investor besar yaitu UU No. 2
Tahun 2012 dan UU No. 41 Tahun 2009. Disamping itu terdapat beberapa norma
baru yang dimasukkan dalam UU No. 11 Tahun 2020. Penyusunan dan
pembahasan UU No. 11 Tahun 2020 yang tidak dijalankan dengan prinsip
transparansi dan demokratis menjamin pelibatan publik secara aktif telah
menimbulkan berbagai problematik dalam substansinya. Berbagai masalah dalam
substansi kebijakan pertanahan di Undang-Undang Cipta Kerja dapat dijelaskan
dalam setiap bagian seperti berikut:
1. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
Perihal pengaturan kebijakan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum dalam UU No. 11 Tahun 2020 meliputi mempercepat proses
pengadaan tanah dan memperluas kategori tanah untuk kepentingan umum dengan
menambahkan kawasan hulu hilir industri minyak gas, kawasan industri, KEK,
kawasan pariwisata , kawasan industri, kawasan pengembangan teknologi. Hal ini
3 Bagir Manan, Beberapa Masalah HTN Indonesia (Bandung: Akumni, 1997), 144.
5
berarti masuknya investor di lima bidang kawasan tersebut dalam kategori
kepentingan umum. Di satu sisi tidak mencantumkan agenda reforma agraria
dalam kategori kepentingan umum. Padahal bercermin dari Afrika Selatan di
konstitusnya landrefom jadi masuk kategori kepentingan umum. Pengembangan
yang lima kawasan itu berpengaruh kepada pro investasi. Sehingga terjadi
kekaburan tolak ukur public interest seharusnya4.
Pengadaan tanah kurang dari 5 Ha bisa hanya dengan orang yang punya
hak. Setelah penetapan lokasi, Amdal tidak diperlukan lagi. Di dalam UU No 11
Tahun 2020 dinyatakan besarnya nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian
Penilai bersifat final serta mengikat. Jadi ketentuan dalam Undang-Undang Cipta
Kerja ini lebih mengedepankan efisiensi tetapi terkesan sentralistik..
2. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
Undang-Undang Cipta Kerja mengatur untuk pembangunan kepentingan
bersama dan/atau untuk proyek strategi nasional, lahan pertanian pangan dapat
diubah tata gunanya. Hal ini kita ketahui bahwa kategori kepentingan umum yang
semakin luas serta tidak adanya ketentuan dalam penjelasan apa saja yang masuk
dalam proyek strategi nasional. Hal ini semakin meningkatkan konversi tanah
pertanian atas nama investasi dan pembangunan.
Alihfungsi lahan pertanian mengakibatkan luasan sawah terancam semakin
berkurang. Padahal luas sawah terus berkurang setiap tahunnya. Luas Lahan
Pertanian di Indonesia pada tahun 2017 seluas 37.285.314 Ha telah mengalami
penurunan pada tahun 2018 menjadi 34.830.062 Ha. Penurunan tersebut mencapai
2.455.252 Ha. Sedangkan data menunjukkan indeks produksi tanaman pangan
menurun dalam 3 tahun terakhir. 119.84 (Th 2017), 95,30 (Th 2018), 94,42 (Th
2019)5. Dengan segala kemudahan dalam pengalihfungsian lahan akan semakin
memperburuk keadaan dan justru berdampak buruk pada kepentingan pangan
nasional.
4 Kurnia Warman, “Tanah untuk Rakyat”, Media Indonesia, Rabu, 16 Juli 2003 .dalam
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F7991/Tanah%20untuk%20rakyat.
htm 5 Kementrian Pertanian Republik Indonesia, Statistik Pertanian 2019 ( Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Kementrian Pertanian Republik Indonesia, ), hal 7
6
3. Bank Tanah
Bank tanah merupakan instrumen utama dalam pengadaan tanah bagi
penyediaan tanah untuk pembangunan. Keberadaan bank tanah di negara-negara
maju sudah banyak dipraktekkan. Barulah pada RPJMN 2015-2019, pemerintah
secara tegas menerapkan perlunya pendirian bank tanah di Indonesia. Beberapa
catatan dalam substansi Undang-Undang Cipta Kerja berkaitan dengan
pembentukan Bank Tanah diantaranya yaitu Badan Bank Tanah sebagai badan
khusus milik negara dengan kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya Badan
Bank Tanah ini seperti berbentuk Badan Hukum atau perseroan terbatas yang
menjalankan fungsinya secara otonom/mandiri.
Badan bank tanah memiliki fungsi yang penting dalam perencanaan
pengadaan tanah hingga pendistribusian tanah dari kepentingan negara hingga
reforma agraria. Penyebutan reforma agraria sebagai fungsi bank tanah tidak
banyak berdampak pada redistribusi tanah. Hal ini karena ideologi bank tanah
tidak sesuai dengan tujuan reforma agraria. Disamping itu, justru kewenangan
bank tanah terhadap reforma agraria ini tumpang tindih dengan Gugus Tugas
Reforma Agraria (GTRA) yang berpotensi melemahkan fungsi gugus tugas
reforma agraria sebagaimana diatur dalam Perpres No 86 Tahun 2018.
Badan Bank Tanah bersifat nirlaba. BBT yang bersifat nirlaba ini karena
pihak pemerintah yang membangun lahan cadangan yang dimilikinya tetap
membawa misi pembangunan dan kepentingan publik. Kewenangan badan bank
tanah sebagai badan hukum otonom seperti halnya swasta dengan dapat
menentukan tarif pelayanan dan menerima penyertaan modal dari pihak lain dapat
berpotensi disalah gunakan pebisnis dalam rangka memperoleh kemudahan
pengadaan tanah. Sehingga asas non profit yang dimiliki oleh badan bank tanah
menjadi hilang.
Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan yang
dapat memberikan hak guna usaha (HGU). Pemberian HGU dari tanah berstatus
hak pengelolaan tidak sesuai dengan pasal 28 dan pasal 2 UU No 5 Tahun 1960
(UUPA). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria mengatur asal tanah HGU yaitu
tanah negara. Selain itu di Undang-Undang Ciptaker, jangka waktu HGU dari hak
7
pengelolaan tidak diatur secara pasti. Menurut Prof. Maria SW Sumardjono
kewenangan lebih yang dimiliki pemegang hak pengelolaan ini mengesankan
kedudukan hak pengelolaan lebih menonjolkan sifat keperdataan daripada fungsi
publiknya. Fungsi publik dari hak pengelolaan telah menyimpang dari tujuan
pemberian hak pengelolaan6.
4. Penguatan konsep hak pengelolaan.
Ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja ini terdapat norma baru dalam
penguatan konsep hak pengelolaan diantaranya memiliki kewenangan
menentukan tarif dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian. Penyerahan
pengelolaan bagian tanah kepada pihak ketiga melalui perjanjian. Menurut Urip
Santoso, hak pengelolaan memiliki fungsi publik dan ada juga fungsi privat7.
Hanya saja menurut Prof Maria SW Sumardjono, hak pengelolaan yang berfungsi
publik dan menetapkan sebagai hak bercirikan keperdataan sangatlah beresiko.
Hal ini akan berpotensi menimbulkan penyimpangan hak pengelolaan dan
pengingkaran konsensus konstitusi agraria8.
Hak pengelolaan yang dapat melahirkan hak guna usaha dengan tidak
adanya kepastian batas waktu yang tidak diatur dalam undang-undang. Penentuan
batas waktu akan dilakukan dengan perjanjian. Rumusan pemerintah seperti ini
adalah suatu penyimpangan karena telah menyamakan tanah negara dengan tanah
hak pengelolaan. Karena seringkali dalam implementasinya kedudukan hak
pengelolan sebagai fungsi publik telah bergeser menjadi fungsi privat9.
Penguatan hak pengelolaan sejalan dengan prinsip domein verklaring pada zaman
kolonial. Pemegang hak pengelolaan dengan kewenangan besarnya bisa rentan
menimbulkan moral hazard. Dengan seperti ini kepentingan kesejateraan
6 Maria SW Sumardjono, Regulasi Pertanahan & Semangat Keadilan Agraria (STPN Press,2018),
hal 7 7 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif (Kencana: jakarta, 2017), Hal 178
8 Maria SW Sumardjono, Regulasi Pertanahan & Semangat Keadilan Agraria (STPN Press,2018),
hal 7 9 Dwi Kusumo Wardani, “Disharmoni Antara RUU Cipta Kerja Bab Pertanahan dengan Prinsip –
Prinsip UU. No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)”, Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha, Vol 6 No 2 (Agustus 2020), hal 440-
445
8
masyarakat bukan lagi tujuan tetapi untuk kepentingan investor. Hal ini
menjadikan kaburnya fungsi sosial tanah bangsa ini.
5. Hak milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) untuk WNA
Perihal ketentuan ini terdapat beberapa presoalan yaitu telah
mencampuradukkan subyek pemegang HMSRS diantaranya menambahkan WNA
dan badan hukum asing. Hal ini pastinya menimbulkan kontroversial karena
UUPA diatur bahwa WNA tidak boleh mendapatkan hak atas tanah berstatus
HGB. WNA hanya boleh memiliki hak milik dengan status tanah hak pakai dan
hak sewa. Persoalan lain adalah pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun
dapat diberikan hak sekaligus perpanjangan hak guna bangunan bagi rumah susun
setelah mendapatkan sertifikat laik fungsi bertentangan dengan putusan MK No
21-22/PUU-V/2007.
6. Pemberian Hak Atas Ruang Atas Dan Ruang Bawah Tanah
Perihal pemberian hak ruang atas dan bawah tanah boleh untuk HGB, hak
pakai atau hak pengelolaan. Menurut Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa
pembangunan logika hukum ketentuan ini bisa diterima sebagai norma baru
berdasarkan pemahaman penggunaan asas pemisahan horisontal10
.
Pemanfaatan ruang bawah tanah untuk bisnis saat ini sudah marak
dilaksanakan di berbagai daerah seperti pembangunan Plaza/Mall bawah tanah di
Makasar, Surabaya, Jakarta, dan lain-lain. kebijakan mengenai ini
pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Daerah masing-masing, sehingga tiap
daerah memiliki aturan yang berbeda. Undang-Undang Cipta Kerja ini
memberikan payung hukum yang kuat yang selama ini hanya diatur oleh
Peraturan Daerah.
B. Potensi Dampak Undang – Undang Cipta Kerja Terhadap Kinerja
Reforma Agraria
UU No 5 Tahun 1960 (UUPA) menjadi induk program landreform di
Indonesia. Terutama pasal 7 yang mengatur batas maksimal kepemilikan tanah.
10
Maria SW Sumardjono, Aspek Hukum Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah/ Dalam Bumi, Ruang
Bawah Air, dan Ruang Udara di atas Tanah. (Fakultas Hukum UGM: Yogyakarta,2018), 54
9
Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi pengkonsentrasian penguasaan tanah oleh
kelompok oligarki yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, sebagai amanat
UUPA ditetapkan pula peraturan lain yang mendukung reforma agraria. Pada era
Jokowi terdapat Peraturan Presiden No. 68 tahun 2018 Tentang Reforma Agraria
merupakan penguatan kebijakan akan reforma agraria di Indonesia. Dengan
adanya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipa kerja pelaksanaan reforma agraria
mendapatkan beberapa tantangan diantaranya seperti berikut:
1. Konflik agraria berpotensi meningkat.
Lahirnya gagasan reforma agraria tentang perombakan struktur kepemilikan
dan penguasaan tanah (landreform) merupakan respon terhadap situasi konflik
agraria. Berbeda dengan sengketa tanah, konflik agraria merupakan persoalan
bersifat extra ordinary, yang telah ada karena peninggalan warisan masa lalu
ataupun kebijakan pemerintah saat ini yang melahirkan keputusan pejabat publik
yang menyingkirkan rakyat11
.
Kemudahan dan percepatan dalam memperoleh hak atas tanah bagi investor
(ijin /syarat sederhana) dalam Undang-Undang Cipta Kerja akan berpotensi
meningkatkan konflik agraria. Merujuk pada Teori Marx bahwa banyaknya
konflik agraria muncul biasanya karena trade off antara konflik kepentingan
ekonomi besar dengan kelompok kepentingan ekonomi kecil. Marx menyatakan
regulasi tidak lepas dari ekonomi yaitu regulasi menjadi instrumen legitimasi
kelompok tertentu12
.
Konflik agraria di Indonesia sepanjang tahun masih sangat tinggi. Sebaran
konflik agraria tahun 2015-2019 seperti berikut:
11 Dianto Bachriadi, Reforma Agraria Untuk Indonesia (Agrarian Resources Center. 2017), hal 6. 12 Karl Marx , 1961. “Capital A Critique of Political Economy Volume I “, dalam Lisdiono, Edy. “
Legislasi Penataan Ruang : Studi Tentang Pergeseran Kebijakan Hukum Tata Ruang Dalam
Daerah di Kota Semarang”. Fakultas Hukum UNDIP. Disertasi dipublikasikan. dalam
http://eprints.undip.ac.id/17264/1/EDY__LISDIYONO.pdf
10
Tabel 1. Konflik Agraria di Indonesia
Tahun Kasus Lahan Warga terlibat
2015 252 kasus 400.430 ha 208.714 KK
2016 450 kasus 1.265.027 ha 86.745 KK
2017 659 kasus 520.491,87 ha
2018 410 kasus 807.177,613 ha 87.568 KK
2019 279 kasus 734.239,3 ha 109.042 KK
Sumber: Konsorium Pembaharuan Agraria , 2019.
Adanya krisis konflik agraria sepanjang tahun dapat diperparah dengan
kebijakan ekonomi politik agraria yang kapitalis. Dari analisis sebaran konflik
agraria tercatat sektor perkebunan (non hutan) menempatkan angka konflik
tertinggi dengan 144 (35%) letusan konflik. Jumlah konflik di sektor perkebunan
tinggi karena adanya keputusan pemerintah mengenai HGU, ijin hutan tanaman
industri (HTI), program transmigrasi, hak guna bangunan maupun hak
pengelolaan sering diatas tanah yang telah dikuasai secara nyata masyarakat untuk
pemukiman, laham garapan dan kebun rakyat13
.
Persoalan lain yang dapat menyebabkan konfilk agraria meningkat yaitu
kemudahan alih fungsi lahan pertanian atas nama investasi dan pembangunan
untuk kepentingan umum. Hal ini mengancam akan penurunan luas sawah,
produktivitas sawah. Dalam 3 tahun terakhir terjadi kehilngan 7.000 hektar sawah
yang tidak lagi menjadi lahan sawah. Data BPS menunjukkan indeks produksi
tanaman pangan menurun dalam 3 tahun terakhir. 119.84 (Th 2017), 95,30 (Th
2018), 94,42 (Th 2019)14
.
Kemudahan dalam pelepasan kawasan hutan yang sentralistik akan
menimbulkan konflik dengan masyarakat adat di sekitar kawasan hutan. Saat ini
terdapat 62.546 desa (74,52%) terletak diluarkawasan hutan, 18.617 desa
(22,18%) terletak di tepi kawasan hutan, dan sebanyak 2.768 desa (3,30%)
13
Konsorsium Pembaharuan Agraria. Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik
(KPA 2019). http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4ae36-catahu-2018-kpa-edisi-
peluncuran_.pdf 14
Anna Astrid Susanti, dkk, Statistik Pertanian 2019 (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2019)hal 7.
11
terletak di dalam kawasan hutan15
. Ijin dan syarat yang sederhana berpotensi
prosedur pembebasan kawasan hutan belum clean and clear.
2. Bank Tanah tumpang tindih dengan Gugus Tugas Reforma Agraria
Badan bank tanah memiliki kewenangan penyediaan hingga pendistribusian
tanah dalam reforma agraria. BBT menyediakan 30% tanah negara untuk reforma
agraria. Hanya saja ketentuan ini menjadi absurd karena cenderung tumpang
tindih dengan kewenangan dari Gugus Tugas Refoma Agraria.
Reforma agraria terdapat 2 program yaitu legalisasi aset dan redistribusi
aset. Capaian implementasi kebijakan reforma agraria dapat dilihat seperti
berikut:
Tabel 2. Capaian Implementasi Reforma Agraria
Kegiatan reforma agraria Target RPJMN 2015- 2019 Capaian
RPJMN
Redistribusi tanah dari HGU Tidak Diperpanjang
400.000 Ha 415.991 Ha (559.453 bidang)
104%
Redistribusi tanah dari
Pelepasan kawasan hutan
TORA
4.100.000 Ha 16.712 Ha 0,41%
Legalisasi aset 3.900.000 Ha 3.021.519 ha (14.552.056 bidang)
77,5%
Legalisasi tanah
transmigrasi
600.000 Ha
(341.552 bidang)
73.295 Ha (109.901 bidang)
12,2%
Sumber : Kementrian Agraria dan Tata Ruang Indonesia16
Redistribusi tanah menjadi instrument pokok dalam reforma agrarian justru
pencapaiannya masih sangat jauh dari target. Ini membuktikan niat pemerintah
untuk menata struktur penguasaan agraria supaya tidak timpang masih belum
kuat. Apalagi adanya badan bank tanah dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang
15
Badan Pusat Statistik, Identifikasi dan Analisis Desa di Sekitar Kawasan Hutan Berbasis
Spasial Tahun 2019 (BPS , 2020), hal 11 16
H.S. Muhammad Ikhsan, Transmigrasi Sebagai Wujud Implementasi Reforma Agraria
(Disampaikan dalam: Rapat Koordinasi Bidang Transmigrasi Tahun 2019 , Kementerian Agraria
Dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional) diunduh dalam
https://ditjenpktrans.kemendesa.go.id/index.php/download/getdata/Kementerian_Agraria_dan_Tat
a_Ruang_Republik_Indonesia.pdf
12
juga memiliki kewenangan menyediakan tanah untuk reforma agraria. Apabila
reforma agraria dilaksanakan oleh Bank tanah dengan status badan hukum yang
otonom maka pengawasan/ campur tangan pemerintah akan semakin lemah.
Undang-Undang Cipta Kerja justru akan semakin mengukuhkan
pengkonsentrasian tanah terhadap para pemilik modal (investor) bukan untuk
pemerataan penguasaan tanah yang menjadi cita-cita reforma agraria. Pada saat ini
saja sudah nampak bahwa political will pemerintah lebih mengedepankan
investor. Hal ini nampak pelepasan kawasan hutan untuk pertanian dan non
kehutanan termasuk perkebunan terus terjadi. Pelepasan kawasan hutan untuk
perkebunan sawit hingga desember 2019 diketahui sudah mencapai 7.245.315,65
Ha. Dalam tahun 2017-2019 diketahui terjadi pelepasan kawasan hutan untuk
perkebunan sebesar 381,075,31 Ha17
.
Masih maraknya pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan investasi
tidak sesuai dengan visi pemerintah untuk mencapai target redistribusi tanah
melalui pelepasan kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai TORA. pelepasan
kawasan untuk TORA sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN yaitu sebesai
4.196.685 Ha. Namun realisasinya pelepasan kawasan hutan tidak bisa mencapai
2.657.007 Ha18
.
Data diatas menunjukkan bahwa penguasaan tanah di Indonesia masih
terkonsentrasi pada pemilik modal. Kondisi ini akan semakin diperparah dengan
pelaksanaan UU Ciptaker yang jelas bertujuan memberikan kemudahan
pengadaan tanah untuk kepentingan investasi.
17
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Buku Penyediaan Data Dan Informasi
Pengukuhan Dan Penatagunaan Kawasan Hutan Tahun 2019( Direktorat Pengukuhan Dan
Penatagunaan Kawasan Hutan 2019), hal 22 18
Ibid, hal 28
13
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan membentuk ekosistem investasi baik
dari dalam maupun luar negeri. Kebijakan agraria dalam Undang-Undang Cipta
Kerja untuk menyediakan tanah untuk berbagai kepentingan dalam rangka
mendukung investasi untuk penciptaan kerja. Hanya saja masih terdapat beberapa
substansi kontroversial yang menyebabkan penolakan dari berbagai kalangan.
Substansi kontroversial tersebut diantaranya yaitu (1) masuknya para
investor bidang tambang, industri, pariwisata, ekonomi khusus, teknologi dalam
pembangunan. (2) LP2B dapat dialih fungsikan untuk kepentingan umum dan
proyek streategis nasional. (3) pembentukan badan bank tanah yang otonom dan
memiliki hak pengelolaan (4) penguatan hak pengelolaan yang dapat memberikan
hak guna usaha dengan batas waktu tidak pasti (5) WNA memiliki hak milik
rusah susun, (6) Pemberian hak sekaligus perpanjangan HGB bagi rumah susun
setelah mendapatkan sertifikat laik fungsi, (7) memberikan payung hukum kuat
dalam pemberian hak ruang atas dan bawah tanah untuk bisnis.
Potensi dampak terhadap kinerja reforma agraria diantaranya yaitu
meningkatkan konflik agraria, Bank Tanah tumpang tindih dengan Gugus Tugas
Reforma Agraria. Kebijakan reforma agraria akan kehabisan kekuatan
menghadapi perlawanan instansi pendukung investor skala besar yang mempunyai
pengaruh kuat dalam kebijakan
Dengan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja ini kebijakan pertanahan
akan semakin menjauh dari prinsip dan tujuan UUPA dan pasal 33 ayat 3 UUD
1945. Semangat UUPA untuk menyerasikan antara tujuan pertumbuhan ekonomi
melalui kebijakan pertanahan yang kapitalistik dengan tujuan pemerataan melalui
reforma agraria akan semakin sulit diujudkan karena pada hakekatnya antara
keduanya mengandung semangat saling bertentangan.
14
B. Saran
Masih banyaknya substansi yang dinilai bermasalah dalam Undang-Undang
Cipta Kerja dengan demikian perlu dilakukan beberapa langkah untuk
memperbaikinya yaitu dengan cara:
1. Melakukan yudicial review ke MK dengan melakukan gugatan pada pasal-
pasal yang dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945.
2. Meminta legislative review ke DPR RI dan Pemerintah untuk melakukan
revisi atau perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja
3. Memberikan masukan terhadap Rencana Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Bank Tanah, RPP tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pelaksanaan dari
Undang-Undang Cipta Kerja.
Konflik agraria yang masih saja menjadi masalah publik, maka diperlukan
cara luar biasa dengan membentuk lembaga khusus untuk menyelesaikan konflik
agraria. Lembaga tersebut dibawah langsung presiden dengan melibatkan lintas
sektoral. Selama ini Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria yang ada di
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum bersifat lintas sektoral
sehingga terkendala miss informasi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2014. Dasar-Dasar Kebijakan Publik . Bandung: CV Alfabeta.
Bachriadi, Dianto.2017. Reforma Agraria Untuk Indonesia. Bandung: Agrarian
Resources Center
Badan Pusat Statistik. 2020. Identifikasi dan Analisis Desa di Sekitar Kawasan
Hutan Berbasis Spasial Tahun 2019 . Badan Pusat Statistik.
H.S. Muhammad Ikhsan, Transmigrasi Sebagai Wujud Implementasi Reforma
Agraria. Disampaikan dalam: Rapat Koordinasi Bidang Transmigrasi Tahun
2019 , Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional)
diunduh dalam
https://ditjenpktrans.kemendesa.go.id/index.php/download/getdata/Kemente
rian_Agraria_dan_Tata_Ruang_Republik_Indonesia.pdf
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. 2019. Buku Penyediaan Data
Dan Informasi Pengukuhan Dan Penatagunaan Kawasan Hutan Tahun
2019. Direktorat Pengukuhan Dan Penatagunaan Kawasan Hutan.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2020. Statistik Pertanian 2019. Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian Republik
Indonesia.
Konsorsium Pembaharuan Agraria. Masa Depan Reforma Agraria Melampaui
Tahun Politik (KPA 2019). Diunduh di
http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4ae36-catahu-2018-kpa-edisi-
peluncuran_.pdf
Kurnia Warman, 16 juli 2003. “Tanah untuk Rakyat”, Media Indonesia, diunduh
dalam
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F7991/Tanah
%20untuk%20rakyat.htm
Lisdiono, Edy. 2008. Legislasi Penataan Ruang : Studi Tentang Pergeseran
Kebijakan Hukum Tata Ruang Dalam Daerah di Kota Semarang. Fakultas
Hukum UNDIP. Disertasi dipublikasikan. dalam
http://eprints.undip.ac.id/17264/1/EDY__LISDIYONO.pdf
Manan, Bagir.1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Akumni.
Santoso, Urip. 2017. Hukum Agraria Kajian Komprehensif . Jakarta: Kencana
Sofyan A. Djalil. 2020. Kebijakan Tata Ruang dan Pertanahan dalam RUU Cipta
Kerja. Dipresentasikan dalam Seminar ATR/BPN Goes To Campus
16
diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia secara virtual
menggunakan Aplikasi ZOOM Meeng pada hari Jumat, 15 Mei
Sumardjono, Maria SW. 2018. Regulasi Pertanahan & Semangat Keadilan
Agraria. Yogyakarya: STPN Press.
Wardani, Dwi K. 2020. Disharmoni Antara RUU Cipta Kerja Bab Pertanahan
dengan Prinsip – Prinsip UU. No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Jurnal Komunikasi Hukum (JKH)
Universitas Pendidikan Ganesha, Vol 6 No 2: 440-445