capsel agraria

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa : “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk pergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-undang pokok agraria UUPA). Hukum tanah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 1

Upload: asti-widyastuti

Post on 23-Oct-2015

15 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

news

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa : bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk pergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-undang pokok agraria UUPA). Hukum tanah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Sejarah terbentuknya pasal 33 ayat 3 UUD 1945, berawal pada saat R Soepomo melontarkan di depan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 yang diakhir pidatonya tentang Negara integralistik. Dinyatakan bahwa, Dalam Negara yang berdasar integralistik berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem Sosialisme Negara (Staats Socialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh Negara sendiri. pada hakekatnya Negara yang akan menentukan dimana, dimasa apa, perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan pada suatu badan hukum privat atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan Negara atau kepentingan rakyat seluruhnya. Begitupun tentang hal tanah, pada hakekatnya Negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk Negara akan diurus oleh Negara sendiri.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini, diantaranya :

1. Apakah yang menjadi dasar hukum hak meguasai dan wewenang Negara atas tanah ?2. Bagaimanakah perbandingan Hak menguasai negara atas tanah dalam konsep anglo saxon, kontinental, konsep di malaysia, konsep menurut Islam dan konsep menurut Hukum adat? C. Tujuan MakalahAdapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini, diantaranya :

1. Untuk mengetahui dasar hukum hak meguasai dan wewenang Negara atas tanah ?2. Untuk mengetahui Hak menguasai negara atas tanah dalam konsep anglo saxon, kontinental, konsep di malaysia, konsep menurut Islam dan konsep menurut Hukum adat?D. Manfaat MakalahAdapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini, diantaranya :

1. Mengetahui dasar hukum hak meguasai dan wewenang Negara atas tanah ?

2. Mengetahui Hak menguasai negara atas tanah dalam konsep anglo saxon, kontinental, konsep di malaysia, konsep menurut Islam dan konsep menurut Hukum adat?BAB IIPEMBAHASANA. Dasar Hukum Hak Meguasai Dan Wewenang Negara Atas Tanah

Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dijelaskan pengertian hak menguasai Sumber daya alam oleh Negara sebagai berikut :1. Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal 33, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.

3. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan yang berlaku.

Berdasar pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian dikuasai oleh Negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas. Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi. Hal ini dipertegas dalam pasal 9 ayat 2 tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Wewenang Negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh Karena itu, sangat tidak tepat jika melihat hubungan Negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lain, dan merupakan hubungan yang bersifat tritunggal.

Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara, Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.7 idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekusaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada Negara untuk menguasai semua tanah yang ada diwilayahnya Indonesia. Sebagai contoh, berdasar Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, dalam pemberian Hak Guna Usaha (HGU), dan kuasa pertambangan yang diberikan diatas tanah ulayat, menyebabkan hilangnya sebagian tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat. Demikian pula dengan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang diganti oleh Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terjadi pengambilan tanah perorangan secara paksa oleh pemerintah.

Dikalangan para ahli muncul gagasan untuk membatasi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai oleh Negara atas tanah yaitu:

1. Maria Sriwulandari Sumardjono menghendaki agar kewenangan Negara yang bersumber pada hak menguasai oleh Negara atas tanah dibatasi oleh dua hal :

Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar Pada prinsipnya, hal-hal yang diatur oleh Negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar.

Pembatasan yang bersifat substantif Sesuai dengan pasal 2 ayat (3) UUPA, maka semua peraturan pertanahan harus ditujukan untuk terwujudnya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sedangkan ruang lingkupnya pengaturan pertanahan dibatasi oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA. Disamping relevansi, maka kewenangan pembuatan kebijaksanaan tidak dapat didelegasikan kepada organisasi swasta, karena yang diatur itu berkaitan dengan kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat yang ikut diwakili kepentingannya dan oleh karena itu tidak dimungkinkan mengatur karena hal itu akan menimbulkan konflik kepentingan.

2. Maria Rita Ruwiastuti, mengemukakan analisis kritis tentang hubungan antara hak menguasai oleh Negara dengan hak-hak adat sebagai berikut :

Politik hukum agraria yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 tersebut sejak semula telah menetapkan keluasan kewenangan Negara dalam menguasai sumber-sumber agraria di seluruh wilayah negeri ini. Kewenangan yang kemudian disebut dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN) itu sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan hak-hak keperdataan (privaatrechtelijk) biasa seperti hak memiliki, sebab baik luas cakupan maupun sifat-sifatnya publik (publiekrechtelijk) itu hanya mungkin dipegang oleh sebuah badan kenegaraan.

Hubungan antara hak menguasai yang ada ditangan Negara ini dengan hak-hak penduduk Negeri ini yang ada telah ada turun temurun mendahului lahirnya Negara diatur sebagai berikut (penjelasan Umum undang-undang Pokok Agraria 1960, II/2,3) : Adapun kekuasaan yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa besar Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara.

3. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggugat konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan sejumlah pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang ada diwilayah (tanah ulayatnya), dan memanfaatkannya untuk memberi ruang gerak bagi perusahaan-perusahaan besar dengan mengatasnamakan pembangunan. KPA menghendaki hak menguasai tanah oleh Negara dibatasi secara tegas, agar hak ini mempunyai batas-batas yang jelas baik secara konseptual maupun implementasinya. KPA memberi rekomendasi sebagai berikut:

a. Sudah selayaknya, proses konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria di satu pihak dan sengketa agraria, mendorong para pembentuk kebijakan untuk melakukan pembaruan hukum pertahanan.

b. Bahwa penyebab pokok dari konsentrasi penguasaan tanah dan sengketa agraria adalah penggunaan suatu Kekuasaan Negara atas Tanah yang berlebihan, yang diwakili oleh konsep politik hukum hak menguasai oleh Negara atas tanah. Pembatasan itu bisa dilakukan terhadap hak menguasai oleh Negara atas tanah. KPA mengusulkan adanya pembatasan hak menguasai oleh Negara atas tanah. Pembatasan itu bisa dilakukan dengan me-review berbagai undang-undang yang berhubungan dengan kekuasaan Negara atas tanah yang terlampau besar, yang didalamnya tentunya termasuk UUPA.

c. Bahwa perubahan konsep hak menguasai oleh Negara atas tanah diperlukan setidaknya empat pertimbangan utama :

Secara substansial, konsep menguasai hak oleh Negara atas tanah mengasumsikan penyerahan kekuasaan masyarakat hukum adat atas tanah kepada Negara dimana tanah-tanah adat dijadikan tanah-tanah Negara.

Hak menguasai oleh Negara atas tanah berkedudukan lebih tinggi dari hak milik perdata warga Negara, padahal Negara dibentuk dengan maksud melindungi hak dari warga negaranya.

Mandat hak menguasai oleh Negara atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tidak dijalankan dalam rangka penataan penguasaan atas tanah yang timpang. Bahkan sebaliknya, dengan hak menguasai oleh Negara atas tanah terjadi pemberian hak-hak tanah baru yang sangat besar melalui hak pengusahaan hutan, kuasa pertambangan, hak guna usaha dan yang lainnya.

Pengunaan hak menguasai oleh Negara atas tanah melalui pemberian hak-hak baru tersebut, telah mengakibatkan konsentrasi penguasaan tanah disatu pihak dan sengketa-sengketa agraria yang berkepanjangan dilain pihak.

4. Sri hayati dalam disertasinya juga menyarankan agar hak menguasai tanah oleh Negara dibatasi secara tegas untuk masa-masa mendatang, sebagaimana ia nyatakan bahwa Oleh karena itu hendaknya hak menguasai Negara ini dibatasi secara tegas untuk masa-masa yang akan datang dan sudah saatnya untuk memikirkan alternatif dari hak menguasai Negara agar hak itu bisa menjadi terbatas sifatnya dalam konsepsi maupun implementasinya.

Sejalan dengan pendapat ahli diatas, A.P Parlindungan, dalam pandangan filosofisnya menyatakan bahwa permasalahan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak boleh terjadi, karena upaya mengatur agraria harus memenuhi prinsip pokoknya yang antara lain :

1) Prinsip kesatuan hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air

2) Penghapusan pernyataan domein

3) Fungsi sosial hak atas tanah

4) Pengakuan hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat dan pengakuan dari eksistensi dari hak ulayat

5) Persamaan derajat sesama Warga Negara Indonesia dan antara laki-laki dan wanita

6) Pelaksanaan reformasi hubungan antara manusia (indonesia) dengan tanah atau dengan bumi, air dan ruang angkasa

7) Rencana umum penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

8) Prinsip nasionalitas

Bila dicermati lebih rinci, beberapa ketentuan didalam undang-undang pertanahan, maka jelas negara sajapun sebagai organisasi tertinggi untuk mengolah tanah, kewenangan itu tidak turut menjual atau bahkan mengadaikan, yang jelas haknya tidak beralih kepada yang bukan warga Negara Indonesia. Sekalipun kewenangan itu ada ditangan pemerintah namun hanya kewenangan yang mencakup sebagai organisasi tertinggi untuk mengatur (dalam arti membuat aturan tentang pertanahan), menyelenggarakan aturan yang dimaksud dalam penggunaanya, peruntukanya serta pemeliharaanya saja. Jelas bahwa makna pengaturan, penyelenggaraan, pemeliharaan, penggunaan, peruntukan tanah tidak dapat diartikan untuk tujuan lain kecuali untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga bila terjadi penjualan atas nama kepentingan rakyat baik langsung maupun tidak langsung adalah perbuatan yang jelas bertentangan dengan kewenangan yang diberikan undang-undang itu sendiri. Sebab dengan penjualan itu ada pemutusan hubungan hukum yang tidak diperkenankan oleh isi aturan tersebut.Dalam hubunganya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapun tanah ulayat atau tanah bersama dalam hal ini oleh kelompok dibawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang. Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataanya masih ada.

Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataanya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain diakui, pelaksanaanya juga dibatasi dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang serta peraturan yang lebih tinggi lainya.

Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh Negara berdasarkan hak menguasai Negara yang dirumuskan dalam pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh Negara. dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara atas tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia bersumber pada hak bangsa Indonesia yang meliputi kewenangan Negara dalam pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu:

a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa

b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa

c) Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Dalam Pasal 16 UUPA No. 5 tahun 1960 disebutkan juga bahwa Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) adalah:

hak milik

hak guna-usaha

hak guna-bangunan

hak pakai

hak sewa

hak membuka tanah

hak memungut-hasil hutan,

hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut

B. Perbandingan Hak Menguasai Negara Atas Tanah Dalam Konsep Anglo Saxon, Kontinental, Konsep Di Malaysia, Konsep Menurut Islam Dan Konsep Menurut Hukum Adat1. Hak menguasai negara atas tanah dalam konsep Anglo saxon (amerika dan inggris)Di inggris dikenal dengan doktrin peilikan tanah (estate of land). Pemiliokan adalah berbentuk freehold real property atau leasehold. Semua tanah adalah mlik raja, hak mialik perorangan (perorangan berarti free man, yaitu kepala rumah tangga atau pater familias yang termasuk golongan bangsawan atau angkatan bersenjata) yang hanya dapat mempunyai tanah atas perkanaan raja, oleh karenanya, pemilik tanah secara periodik wajib membayar upeti atau memberi jasa-jasa lain kepada raja sebagai pemilik tanah secara mutlak. Hubungan antara raja dengan perorangan dalam hal pemlkan tanah dinamakan tenure, sedang tanah yang diperolah dari raja dinamakan hak rent, of fee sample estate atau disingkat fee sample estate, atau fee hold tenure, tenure merujuk pada perikatannya, sedangkan estate aalah hak (zak lijk recht) seseorang atas tanah. Tenure beraneka ragam macamny, namn perbedaan yang penting adalah antara spiritutanah tenure dan lay tenure, spiritula tenure adalah hak atas tanah untuk keperluan keagamaan, sedangkan lay tenure adalah untuk keperluan bukan keagamaan, pemilikan tanah terpenting lay tenure, lay tenure dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Tenure in chivalry yaitu diberikan untuk jasa-jasa dibidang kemiliteran;b. Tenure is soage, yaitu tanah yang dierikan untuk jsa-jasa non militer, yang beraneka macam jenisnya , dengan statuta of tenure pada tahun 1960, tenure in chilvalry dihapuskan, sehingga semua freehold tenure merupakan tenure soage.

Pada abad keempat (4), tumbuh kebiasaan untuk menyerahkan tanah kepada seseorang untuk kepentingan orang lain, dimana hak semacam itu disebut uses yang bertujuan untuk memungkinkan seorang janda dan anak-anaknya menikmati warisan suaminya, karena pada waktu itu yang bisa menjadi ahli waris hanyalah anak tertua laki-laki, kebiasaan tersebut tumbuh dalam praktek Chancery court, maka uses tersebut erat kaitannya dengan sistem hukum equality (bukan common law), dan pranata hukum tersebut, yang sering dipakai untuk menyusun rencana mengatasi kekuatan hukum common Law, menurut common Law ahli waris atas sebidang tanah harus membayar berbagai macam pembayaran kapada Lord (raja), pemilik tanah tersebut dilarang, mengalihkan tanahnya dengan wasiat atau mentransferkan kepada Mortmen.

Sejak abad keduapuluh satu Inggris, menurut hukum tanah lama dikenal adanya lembaga hukum yang disebut Settlement dan Strict Settlemenet yaitu suatu amanah yang menetapkan status dan pegguanaan tanah untuk kepentingan keluarga, sehingga tanahnya menjadi tanah keluarga atau tanah pusaka. Proses terjadinya settlement diawali oleh perbuatan seorang suami yang mendapat tanh atau membeli tanah atau kerena syarat-syarat perjanjian perkawinan, menetapkan sebidang tanah sebagai tanh keluarg ayang dimana bila ia meninggal dunia tanah tersebut akan jatuh kepada anak laki-laki tertua, sedangkan janda dan anak-anaknya yang lain mendapat jaminan hidup (life interest) dari tanah tersebut atau mempunyai hak untuk mendapatkan manfaat dari tanah tersebut dan apabila isteri meninggal dunia, tanah yang akan diwarisi oleh anak laki-laki tertua.

2. Hak menguasai negara atas tanah dalm konsep Eropa Kontinental (Belanda)Pengaturan pertanahan dbelanda diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata belanda, yang berasal dari Code Civil Perancis, KUHperdata Belanda mempunyai jiwa liberal, individualistik seperti eigendom, erfacth dan opstal yang secara historis mempnyai sifat mutlak dalam pengganaan, pemanfaatan, dan mempertahankan haknya. Dalam hukum tanah dibedakan menjadi 2, tanah privat dan tanah publik. Hak tanah privat disebut eigendom (hak milik individu), dan tanah publik disebut domein negara atau hak milik negara.

3. Hak menguasai negara atas tanah di MalaysiaPeraturan tentang hukum pertanahan di Malaysia sebelum kedatangan penjajahan Inggris adalah hukum islam dan hukum adat melayu, hukum islam dan hukum adat melayu itu hampir semua bidang kehidupan. Seperti pidana, keluarga, tanah, acara, perdata, dan sebagainya. Oleh karena itu hukum tanah Malaysia sebagaimana besar diadopsi dari hukum tanah islam, yaitu sistem surat ikatan (deeds sistem) dan sistem torrens, saat ini malaysia menggunakan hukum tanah warisan dari penjajahan Inggris yang memperkenalkan konsep dan system torrens dari Australia selatan yang dibawa masuk ke persektuan melayu melalui fiji. Sistem ini mengatur sistem pendaftaran tanah torrens title system yang banyak dianut oleh negara-negara persemakmuran inggris (commonwealth Of Nation). Sistem ini memberikan jaminan bahwa negara menyelenggarakan dan mempertahankan hak milik yang sudah didaftar tidak bisa dicabut kecuali dalam hal yang secara tegas disebutkan dalam unadang-undang. Namun tidak semua konsep dan sisitem torrens ini diperkenalkan secara total di Malaysia, seperti assuarance fund yang tidak diperkenalkan dalam kanun tanh negara 1965. Pelaksanaan dan pemakaian sistem torrens di Malaysia telah berjalan selama satu abad, namun sistem ini masih banyak mempunyai keburukan baila ditinjau dari aspek hukum tanah islam, perbaikan untuk ini hanya dapat dilakukan melalui penerapan prinsip hukum tanah islam dalam undang-undang tanah utama negara yaitu kanun tanah negara 1965 (akta nomor 56), yan berlaku pada tanggal 1 januari 1966 atau dikenal juga degan nama national land code 1965. Menurut prof Anisah dari university kebangsaan malaysia, bahwa tanah-tanah di semenanjung Malaysia dibagi kedalam dua jenis, yaitu tanah-tanah feehold dan tanh-tanah leasehold, tanah freehold hanya dapat diberikan kepemilikannya oleh negara kepada individual dalam tanah kepemilikan tidak terbatas jangka waktunya, sedangkan tanah leasehold hanya diberikan oleh negara kepada individu hanya untuk jangka waktu tertentu yaitu tidak labih dari 99 tahun lamanya dan tujuan pengguanaanya pun ditentukan oleh negara. 4. Hak menguasai negara atas tanah alam konsep IslamDalam konseap islam terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pertanahan, Hukum islam adalah hukum yang menagtur hubungan manusia dengan ALLAH maupun sesamanya dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, menurut Harun nasution: Dalam Hukum Islam diakui bahwa situasi dan kodisi dapat mengubah hukum mengenai ini.mahsuni menulis: Oleh karena kepantinga umatlah yang menjadi dasar dari segala hukum, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya maka hukum harus berubah sesuai dengan perubahan zaman dan perubahan lingkungan masyarakat, benarlah Ibn Al-Qayyim ketiak manyatakan bahwa fatwa berubah dan berbeda dengan perkembangan jaman, tempat, situasi, niat, dan adat kebiasaan.

Dari catatan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan meskipu hukum islam bersumber pada ajaran-ajaran tuhan yang maha esa tetapi bukan berarti sifatnya statis namun dapat mengikuti perkembangan jaman. Pemilikan suatu benda temasuk tanah itu diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 188, dalam surat tersebut dinyatakan bahwa seorang baik laki-laki maupun perempuan berhak memperoleh harta benda yan mereka usahakan. Hal ini berarti bahwa usaha untuk memperoleh harta benda maupun tanah harus dibuka kemungkinannya bagi setiap orang, sebaliknya perolehan atas benda harus pula memperoleh pengakuan serta perlindungan.

Dalam hal ini negara berkewajiban melindungi hak-hak kebendaan tersebut, bahwa negara pun dilarang untuk merampas hak atas tanah kecuali dibenarkan oleh hukum dan untuk kepentingan umum.

Terdapat 3 jenis pemegang tanah (land tenure) dalm undang-undang Islam yang berkaitan dengan harta, yaitu: a) Pemegangan harta persendirian (Private Property) yaitu pemegang tanah mempunyai kepemilikan penuh atau hak milik penuh, kenikmatan harta persendirian didasarkan dan ditentukan oleh Syariah;b) Pemegang tanah wakaf, dimana kepantingan harta wakaf telah dijelaskan dan ditentukan oleh syariah;c) Tanah milik negara, kategori ini tidak dijelaskan oleh sayariah, tetapi peraturannya telah dibuat oleh negara melalui udang-undang pentadbiran.

5. Hak menguasai tanah dalam hukum AdatTanah mempunyai kedudukan yang angat penting bagi persekutuan hukum adat, pentingnya tanah tersebut dapat dilihat dari sifatnya yang merupakan satu-satunya benda kekayaan karena faktanya bahwa tanah merupakan tempat tinggal, tempat pemberian perlindungan, tempat orang meninggal serta merupakan tempat peribadatan, dalam hukum tanah adat unsur kepemilikan tanah atas individu sangat dihargai, namun demikian nilai utama yang dikedepankan pemanfaatan tanah persekutuan sebagai tolok ukur penghargaan pemilikan tanah, dengan emikian peran kepala persekutuan dan warga kesatuan setempat sangat penting guna menjaga dan memelihara hasil tanah serta keseimbanagn antara pemilik-penguasaan dan pemanfaatan.

Dalam hukum adat, hak perorangan dibatasi oleh hak ulayat, hak milik perorangan atas tanah dapat diperoleh jika ada warga persekutuan yang membuka tanah dan selanjutnya mengelola tanah tersebut secara terus-menerus, jika tanah tersebut tidak dikelola lagi oleh yang bersangkutan, maka tanah tersebut dipengaruhi kembali oleh hak ulayat, keberlangsungan hak milik atas tanah dari para warga persekutuan tergantung dari kekuatan hak pertuanan desa tersebut. Maksudnya, jika hak pertuanan desa tersebut cukup kuat, maka ada kemungkinan hak milik atas tanah dibatasi waktunya utuk selanjutnya dapat dialihkan kepada anggota persekutuan lainnya. Kemungkinan lain adalah bahwa hak milik perorangan tersebut akan beralih pada saat meninggalnya pemilik tanah tersebut.

Hak menguasai tanah oleh Negara berasal dari konsep hak ulayat

Konsideran UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria Nasional berdasarkan asas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian bagi seluruh masyarakat hukum Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria. Maka atas hak tersebut maka pembangunan Hukum tanah nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis. Dan selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh, serta menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan hukum tanah nasional.

Hukum adat yang dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah yang diberi sifat nasional. Sehingga dalam hubunganya dengan prinsip persatuan bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat dan hukumnya sendiri harus diteliti. Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.

Hukum sebagai kaedah atau norma merupakan pencerminan dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis yang berarti berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, akibatnya hukumpun berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Demikian pula terhadap konsep hukum yang ada, konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang berlaku saat ini bukanlah muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari suatu proses perkembangan terus-menerus. Rumusan pasal 1 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa tanah diseluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia (aspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat. Dengan demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur yaitu:

Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.

Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan memimpin pengguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama tersebut.

Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan kekuasaan politik untuk melaksanakanya, tugas kewajiban yang termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu, penyelenggaraanya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan kepada Negara Republik Indonesai sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa : bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk pergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-undang pokok agraria UUPA).2. Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh Negara berdasarkan hak menguasai Negara yang dirumuskan dalam pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh Negara. dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara atas tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia bersumber pada hak bangsa Indonesia yang meliputi kewenangan Negara dalam pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu:a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasac) Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.B. Saran1. Diharapkan Negara dalam hal ini adalah pemerintah dalam mempergunakan hak menguasai atas tanah bertujuan agar teciptanya kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan yang termuat dalam UUD NRI 1945.

2. Diperlukan sistem pengawasan ketat dan terpadu dalam mengawasi kinerja pemeritah sebagai representasi Negara dalam mempergunakan hak menguasai atas tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahim Lubis & Muhammad Yamin, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Cetakan I.

Arie Sukanti Hutagalung, Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional(pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Depok: 2003.

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan.

Hayati, Sri, 2003, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitanya Dengan Hasim Iman Sudiyat, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta.Purba, Syafruddin Kalo, Muhammad Yamin lubis, dkk Sengketa Pertanahan Dan Alternative Pemecahan, penerbit CV Cahaya Ilmu, Cet.I, 2006, Medan, Investasi, Disertasi, Universitas Airlangga Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria, Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber Agraria.Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah OLeh Negara( Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Yogyakarta, Cetakan I.Ruwiastuti, Maria Rita, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, press KPA dan Pustaka Pelajar, Yogjakarta.1