Download - Makalah problematika madrasah
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Sejarah mencatat, bahwa awal mula pendidikan Islam di Indonesia
dilaksanakan di langgar atau di surau dengan menekankan pelajaran agama yang
bersifat elementer berupa pengajian Al Qur'an. Murid-murid diajar baik secara
individual (sorogan) maupun secara resmi klasikal (bandongan). Pada tingkat yang
lebih tinggi, pengajar adalah sosok kiai, sedangkan sistem penyampaiannya tidak
hanya sorogan dan bandongan tetapi juga masal. Didorong oleh kebutuhan akan
pendidikan yang makin meningkat, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan
keagamaan yang berupa madrasah dan pondok pesantren (Zuhairini, 2006:233).
Dalam kaitan ini adalah tepat sebagaimana yang telah diungkapakan olek Malik
Fadjar, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan agama Islam sesungguhnya
telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka(Fadjar, 1999:15).
Pada tahun-tahun permulaan masuknya Islam ke Nusantara ini, lembaga pendidikan
agama Islam belum menggunakan sistem klasikal, melainkan dilakukan oleh para
pemuka-pemuka agama yang disebut dengan "wali" di rumah-rumah, langgar,
masjid, dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. namun hal itu tidak
menutup kemungkinan bahwa madrasah mempunyai problematika karena selalu
dipandang sebelah mata, hingga akhirnya sejak diberlakukannya UUSPN nomor 2
tahun 1989, (INI UNDANG2 G KADALUARSA TA?, COBA LIAT SISDIKNAS
2003) madrasah diangkat eksisitensinya sebagai subsistem pendidikan nasional.
Tidak berhenti sampai disitu, problematika madrasah tidak bisa dipecahkan
semuanya dikarenakan banyaknya madrasah yang bermunculan dan minimnnya
penanganan dari pemerintah terhadap madrasah.
Saat ini pemerintah telah memberlakukan UU nomor 20 tahun 2003 tentang
SISDIKNAS yang mengatur lebih banyak tentang kedudukan, fungsi, jenjang, jenis,
dan bentuk kelembagaan, dan sebagai bagian sub sistem pendidikan Nasional, tentu
saja madrasah harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah
tersebut dalam pelaksanaan pendidikan. Dan berkaitan dengan hal itu, makalah ini
akan membahas tentang problematika madrasah dalam konteks SISDIKNAS 2003.
1
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian diatas, maka fokus penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi delapan standararisasi pendidikan nasional di
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember?
2. Apa saja problematika yang dihadapi dalam implementasi delapan standararisasi
pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember?
3. Bagaimana solusi dalam menghadapi problematika dalam implementasi delapan
standararisasi pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3
Jember?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mendeskripsikan implementasi delapan standararisasi pendidikan
nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember
2. Untuk mendeskripsikan problematika yang dihadapi dalam implementasi
delapan standararisasi pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri
(MTs) 3 Jember
3. Untuk mendeskripsikan solusi dalam menghadapi problematika dalam
implementasi delapan standararisasi pendidikan nasional di Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan bermanfaat bagi berbagai
pihak antara lain:
1. Bagi Sekolah/Madrasah
Sebagai bahan informasi bagi lembaga pendidikan sekolah, khususnya
bagi sekolah yang bersangkutan mengenai implementasi delapan standararisasi
pendidikan nasional dan juga problematikannya dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
informasi bagi kepala sekolah agar mengupayakan penerapan delapan
standararisasi pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan.
2
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keintelektualan
sehingga penelitian ini bisa digunakan sebagai wahana untuk mengkaji secara
ilmiah tentang bagaimana mengupayakan dan menerapkan delapan standararisasi
pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, dan
nantinya dapat diterapkan ketika bekerja di lapangan (sebagai tenaga
pengajar/kepala sekolah)
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan atau
setidaknya dapat memperkaya informasi empirik dalam hal implementasi delapan
standararisasi pendidikan nasional dan dapat dipakai sebagai data banding atau
rujukan dengan mengubah atau menambah variabel lain sekaligus dapat
menyempurnakan penelitian ini.
E. Kajian Pustaka
1. Sejarah Munculnya Madrasah di
Indonesia
Madrasah sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk pendidikan formal
sudah dikenal sejak awal abad ke 11 atau 12 M, atau abad ke 5-6 H, yaitu sejak
dikenal adanya madrasah nidzamiyah yang didirikan di Baghdad oleh Nizam
Muluk, seorang wazir dari dinasti Saljuk. Pendirian madrasah ini telah
memperkaya khazanah lembaga pendidikan Islam, karena pada masa
sebelumnya masyarakat Islam hanya mengenal pendidikan tradisional yang
diselenggarakan di masjid-masjid dan dar al-khuttab. Di Timur Tengah institusi
madrasah berkembang untuk menyelenggarakan pendidikan keIslaman tingkat
lanjut (advance/tinggi), yaitu melayani mereka yang masih haus ilmu sesudah
sekian lama menimbanya dengan belajar di masjid-masjid dan/atau dar al-
khuttab. Dengan demikian, pertumbuhan madrasah sepenuhnya merupakan
perkembangan lanjut dan alamiah dari dinamika internal yang tumbuh dari
dalam masyarkat Islam sendiri.
Sebagai agama yang yang universal, Islam membawakan peradabannya
sendiri, tanpa terkecuali di bidang pendidikan, dan ketika bersentuhan dengan
situasi lokal dan partikular, peradaban Islam tetap mempertahankan esensinya
3
yang sejati walaupun mungkin secara instrumental menampakkan bentuk-bentuk
yang kondisional. Sehingga muncul anggapan, bahwa pertumbuhan madrasah di
Indonesia sepenuhnya merupakan usaha penyesuaian atas tradisi persekolahan
yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Mengingat struktur dan
mekanismenya yang hampir sama, sekilas dapat diduga bahwa madrasah
merupakan bentuk lain dari sekolah yang hanya diberi muatan dan corak
keIslaman.(Suwendi, 2004:57-58)
Dari pernyataan diatas, bisa dipastikan bahwa madrasah bukan lembaga
pendidikan Islam asli Indonesia sehingga sulit sekali memastikan kapan tepatnya
istilah "madrasah" mulai digunakan di Indonesia dan madrasah mana yang
pertama kali didirikan yang pertama kali.(Asrohah, 1999:192) hal itu disebabkan
tidak ada dokumen yang menjelaskan secara outentik penggunaan kata
"madrasah". Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Kareel A.
Stenbrink tentang pesantren, madrasah, sekolah, dia mengatakan(Steenbrink,
1986:35)
Pada umumnya membaca algemeen Verslag Van Bet Onderwijs (laporan
umum tentang pendidikan) tidak begitu menarik karena keterangan mengenai
pendidikan Islam yang diberikan, bersifat umum dan sering jauh tidak lengkap.
Setiap tahun hanya mengisi satu dua halaman saja.
Namun Tim penyusun dari Departemen Agama RI menetapkan
sebagaimana yang dikutip Hanun Asrohah bahwa madrasah yang pertama kali
didirikan adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan
oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Dengan nama resminya
Adabiyah School (Asrohah, 1999:193). Dalam sekolah Adabiyah ini, sistem
klasikal mulai diterapkan dan dilaksanakan secara konsekuen. Disamping
pelajaran agama, pelajaran membaca dan menulis huruf latin dan ilmu hitung
dalam sekolah ini juga diberikan.(Steenbrink, 1986:39) Namun belum berjalan
satu tahun, madrasah Adabiyah itu gagal berkembang, baik karena alasan situasi
disekitarnya maupun karena alasan kondisi Abdullah Ahmad sendiri. Hingga
akhirnya pada tahun 1910 di Padang, juga didirikan sekolah agama dengan
dengan nama madras school dan mendapat pengukuhan nama oleh pemerintah
4
Belanda pada tahun 1915 menjadi HIS Adabiyah. (Asrohah, 1999:193). Dan
pada tahun 1923 menjadi diniyah school.(Yunus, 1992:63-64).
Terlepas dari pengistilahan madrasah diatas, kehadiran madrasah
merupakan gerakan pembaharuan di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh
kesadaran dan semangat yang kompleks, sebagaimana yang diidentifikasi oleh
Karel A. Steenbrink, dia menyebutkan empat faktor pendorong penting bagi
perubahan Islam di Indonesia(Steenbrink, 1986:26-28):
1. Faktor keinginan untuk kembali kepada Al Quran dan Al Hadits,
2. Faktor nasionalisme dalam melawan penjajah,
3. Faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik,
4. Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia
Pengelolaan madrasah dengan sistem klasikal menunjukkan indikasi
bahwa, pendidikan Islam saat itu mulai menunjukkan kemajuan yang tentu saja
menjadi berbeda dengan cara pendidikan sebelumnya yaitu pesantren yang telah
dianggap sebagai pendidikan asli Indonesia.
Madrasah dari waktu ke waktu menjadi jelas sosoknya, sementara visi dan
misi keIslaman terusmenerus mengalami perubahan. Dan sejak akhir abad ke 19,
kepustakaan mencatat perubahan-perubahan pemikiran Islam wilayah Nusantara
(Indonesia). Hal ini seiring dengan semakin kuatnya proses pembentukan
intellectual webs (jaringan intelektual) di kalangan Islam.(Hasan-Ali, 2003:
118).
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama. Maka
secara instansional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung
jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam
lembaga-lembaga tersebut. Meski demikian, di awal kemerdekaan tidak dengan
sendirinya madrasah dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional.
Madrasah memang terus hidup, tetapi tidak memperoleh bantuan dari
pemerintah.kalaulah pada waktu itu ada perhatian, hanyalah sebatas dorongan
moral seperti pada (Shaleh, 2004: 22):
a. Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 Nomor 15 berita RI tahun II Nomor
4 dan Nomor 5 hlm 20 kolom 1 (agar pendidikan di langgar-langgar dan
madrasah berjalan terus dan diperpesat).
5
b. Keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian
dan bantuan dari pemerintah)
c. Laporan panitia penyelidik pengajaran RI tanggal 2 Mei 1946 yang diketuai
oleh Ki Hajar Dewantara dengan 51 anggota (pengajaran yang bersifat
pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan
dimodernisasi serta bantuan berupa biaya sesuai dengan keputusan BP
KNIP).
Dengan kata lain, meskipun pendidikan Islam telah berjalan lama dan
mempunyai sejarah panjang, namun dirasakan pendidikan Islam masih tersisih
dari sistem pendidikan nasional. Disamping itu, masyarakat juga selalu
mendudukkan madrasah dalam posisi marginal, karena ia hanya berkutat pada
kajian masalah keagamaan Islam, dan miskin pengetahuan umum, sehingga
outputnya pun kurang diperhitungkan oleh masyarakat. Persepsi tersebut tidak
terlepas dari pengaruh kolonialisme yang menganaktirikan dan bersikap
diskriminatif terhadap pendidikan Islam (termasuk madrasah), bahkan ia
dianggap sebagai sekolah liar. Sebagai akibatnya, pendidikan Islam termasuk
madrasah menghadapi kesulitan-kesulitan, antara lain ia terisolasi dari arus
modernisasi, ia berkonotasi kampungan (keterbelakangan), isi pendidikan
cenderung berorientasi pada praktek-praktek ritual keagamaan dan kurang
memperhatikan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, manajemennya bersifat
tertutup dan julukan-julukan lainnya. Hingga akhirnya SKB 3 menteri (menteri
agama, menteri pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri) pada
tahun 1975, tentang "peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah" mengangkat
eksisitensi madrasah dalam konteks pendidikan nasional(Muhaimin, 2003: 198).
Di dalam bab II pasal 2 dinyatakan, bahwa:
a. Ijasah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijasah sekolah
umu yang setingkat
b. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas,
dan,
c. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umu yang setingkat.
Pada waktu itu telah dididentifikasi berbagai kelemahan pendidikan Islam
seperti terlalu banyaknya mata pelajaran yang diarahkan, kualitas guru yang
6
rendah, sarana pendidikan yang kuran dan para sisiwnya yang kebanyakan dari
keluarga yang kurang mampu. Hal ini berarti pendidikan Islam belum
merupakan alternatif pendidikan modern (Tilaar, 2004;147), hingga pada
gilirannya, untuk pertama kalinya pendidikan Islam merupakan sub sistem
pendidikan nasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional
menemukan bentuknya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) yang dilansir pemerintah pada tahun 1989. melalui UUSPN, madrasah
mengalami perubahan definisi, dari "sekolah agama" menjadi "sekolah umum
berciri khas Islam". Perubahan definisi ini penting artinya, karena dengan
demikian berarti madrasah tidak hanya telah menjadi lembaga pendidikan
modern, tetapi ia juga mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, UUSPN ini disambut dengan
antusias oleh DEPAG, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap
madrasah dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya (Hasan-Ali, 2003: 61).
Dan sejak diberlakukannya UUSPN tahun 1989, hal ini merupakan
tantangan bagi para pengelola pendidikan madrasah, karena madrasah tidak saja
harus mampu menciptakan manusia-manusia yang matang dalam bidang agama,
tetapi seklaigus memiliki penetahuan dan ketrampilan yang sejajar dengan
output atau lulusan pendidikan umum.
2. Problematika Madrasah dalam Pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional, merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan satu
sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki UUD 1945. proses
perjalanan tyang melelahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1989
dengan kelahiran UU Nomor 2 tahun 1989, dan kemudian disempurnakan
menjadi UU Nomor 20 tahun 2003, merupakan puncak dari usaha
mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian, berarrti UU Nomor 20 tahun 2003 merupakan wadah formal
terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, dengan
adanya wadah tersebut pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan
untuk terus dikembangkan(Hasbullah, 2006: 157-158).
7
Dalam UU sisdiknas tahun 2003 pasal 17 ayat 2 disebutkan: "pendidikan
dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan (Madrsah Ibtidaiyah) MI atau bentuk
lain yang sederajat atau sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrsah
Tsnawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat."
Dan pasal 18 ayat 2 disebutkan: "Pendidikan menengah berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA), Madrsah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang
sederajat."
Kedua pasal tersebut memberikan pengertian yang sangat jelas bahwa
madrasah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, atau dengan kata
lain madrasah menjadi sub sistem pendidikan Nasional.
Secara formal, pada saat ini, ada dua departemen yang bertanggungjawab
dalam membina lembaga pendidikan. Yaitu pertama departemen pendidikan
nasional yang membina lembaga-lembaga pendidikan umum, seperti SD, SLTP,
SMU dan pendidikan tinggi, negeri, swasta. Dan kedua adalah departemen
agama yang membina, seperti MI, MTS, MA dan pendidikan Tinggi
Agama/UIN/IAIN/Swasta.(shaleh, 2004:86)Namun meski demikian, sebagai sub
sistem pendidikan nasional, madrasah mempunyai konsekwensi dengan adanya
satu sistem pendidikan nasional dengan menstandarisasikan segala hal dan
kegiatan dengan sistem yag telah disepakati.
Kebijaksanaan pendidikan di lingkungan madrasah sebagai sub sistem
pendidikan nasional ditetapkan tidak berbeda dengan kebijaksanaan pendidikan
yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, madrasah
diberikan batasan sebagi sekolah umum yang bercirikan Islam dan dikelola oleh
Departemen Agama. Madrasah menggunakan kurikulum seutuhnya,
menggunakan buku peket yang sam, mengikuti ujian negara bersama dan
mengikuti petunjuk perangkat tekhnis selengkapnya dari Departemen
Pendidikan Nasional. Madrasah dibedakan dengan sekolah umum dengan
menambah jumlah jam pada pelajaran agama (antara 4-9 jam pelajaran
seminggu) sebagai pelaksanaan ciri khas agama Islam pada tingkat MI, MTs,
dan MA(Shaleh, 2004: 86).
8
Kenyataan tersebut, menurut Malik Fadjar merupakan keunggulan sistem
pendidikan nasional yakni dengan kesediaaan mengakui ciri khas yang dimiliki
pranata-pranata pendidikan yang beragam serta mengintegrasikannya ke dalam
satu bangunan sistemik pendidikan nasional. Selanjutnya, dia mengatakan
bahwa, betapa simpatiknya pengakuan bahwa "madrasah" (ibtidaiyah,
tsanawiyah, dan aliyah) merupakan sekolah umum yang berciri khas Islam dan
menjadi bagian keseluruhan sistem pendidikan nasional negara kita.(Fadjar,
1999: 15).
Dalam UU SISDIKNAS disebutkan bahwa Sistem pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu
serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan
sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Melihat
tujuan dari sistem pendidikan yang telah disusun oleh pemerintah tersebut
sepertinya masih menjadi kendala bagi sebagian madrasah untuk
mengimplementasikannya. hingga saat ini, madrasah masih berkubang dengan
berbagai persoalan untuk mencapai standarisasi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Persoalan tersebut pada umumnya menyangkut kwalitas dan
kwantitas guru yang belum memadai, serta sarana fisik dan fasilitas pendidikan
yang minim, manajemen non profesional, jumlah murid yang sedikit dan
umumnya dari kalangan menengah kebawah.(Fadjar, 1999: 35).
Untuk mengetahui Problematika madrasah dalam konteks SISDIKNAS ini,
bisa dilihat dari kondisi riil tentang madrasah dalam perspektif 8 standar
nasional pendidikan sebagai salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan,
adalah sebagai berikut :
1. Standar Isi
Standar isi dikenal juga dengan standar kurikulum. Di dalam
kurikulum ditentukan mata pelajaran untuk masing-masing jenjang
pendidikan serta pengaturan mengenai alokasi jamnya setiap minggu, bulan,
tahun. Selain itu kurikulum juga disusun menurut berbagai sudut pandang
seperti kurikulum yang berorientasi kepada mata pelajaran (subject matter
curriculum), kurikulum yang beroirientasi kepada kebutuhan anak (child
centered curriculum), kurikulum yang berdasarkan kepada kebutuhan yang
9
nyata (life skill curriculum) (Tillar, 2006: 78). Dan kurikulum yang
disebutkan diatas dikenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan).
Secara keseluruhan madrasah saat ini sudah melaksanakan standarisasi
pelaksanaan kurikulum terutama untuk kurikulum 2004 dan sebagian lagi
masih mempersiapkan kurikulum KTSP tahun 2006. ketidakmerataan
pemahaman pengelola madrasah terhadap tuntutan kurikulum tersebut,
menyebabkan ketidaksamaan dalam mengimplementasikan kurikulum
tersebut. Hal ini masih banyak dijumpai, beberapa madrasah yang belum
memiliki dokumen kurikulum, dokumen pengembangan silabus, rencana
pengajar dan alat-alat evaluasi.
Kondisi ini menyebabkan terganggunya pengelola madrasah terhadap
pemahaman kurikulum. Disamping itu bantuan pedoman kurikulum KTSP
berupa buku maupun CD kepada madrasah tidak merata. Begitu juga dengan
pembinaan dari para pejabat yang berwenang untuk mensosialisasikan
kurikulum tersebut belum mampu menjangkau madrasah-madrsah yang
berada di pedesaan yang letaknya terpencil.
2. Standar Proses
Standar proses meliputi pelaksanaan pembelajaran pada satuan
pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, masih banyak yang belum
mampu menyesuaikan dengan tuntutan kurikulum KTSP yaitu proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
Kebanyakan para guru masih melaksanakan pembelajaran pola lama one
man show, belum menjadikan siswa sebagai subyek dalam pembelajaran.
Begitu pula dalam perencanaan pembelajaran seperti kesiapan silabus,
rencana pengajaran harian dan alat evaluasi yang banyak tidak disiapkan
dengan baik oleh para guru. Ditambah lagi minimnya sumber belajar dan
media pembelajaran serta alat peraga terutama laboratorium. Ini
menyebabkan terjadinya pemblajaran yang monoton, membosankan dan
melelahkan.
10
Kondisi ini disebabkan lemahnya pembinaan, pelatihan guru, serta
tidak meratanya bantuan sarana pendidikan kepada madrasah atau
menggunakan istilah masih minmnya bantuan pemerintah kedapa madrasah,
sehingga belum mapu menjangkau ke semua madrasah baik negeri maupun
swasta.
3. Standar Kompetensi Lulusan
Standar ini merupakan kualifikasi kemampuan luilusan yang berkaitan
dengan sikap, pengetahuan , dan ketrampilan. Kompetensi lulusan madrasah
apabila dilihat dari segi kuantitatif, sudah dapat bersaing dengan sekolah
umum, namun jika dilihat dari segi kualitatif masih agak tertinggal jika
dilihat dari distribusi ke perguruan tinggi, penguasaan keilmuan dan
ketrampilan. Hal ini disebabkan madrasah belum mampu menerapkan
standar kemampuan minimal lulusan, akibat faktor internal dan eksternal,
baik dari sisi proses, SDM, pembiayaan, sarana dan prasarana yang ada.
Oleh karena itu kualitas pendidikan madrasah masih ketinggalan dengan
sekolah.(Khaerudin, 2007:11)
4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar ini merupakan standar nasional tentang kriteria pendidikan pra
jabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan
dari tenaga guru serta tenaga kependidikan lainnya.
Dari sisi kuantitas tenaga pendidikan dan kependidikan di madrsah
sudah mendekati standar, terutama di madrasah-madrasah negeri. Ini terlihat
dengan adanya kepala madrasah, tenaga guru dan tenaga lain yang tersedia.
Namun masih ada kekurangan pada tenaga kependidikan, terutama TU,
laboran dan pustakawan.
Kemudian dilihat dari kualitatif kondisi tenaga pendidik dan
kependidikan untuk madrasah-madrasah negeri sudah mendekati
standar(Khaeruddin, 2007:12). Tetapi yang menjadi fenomena tak
terbantahkan saat ini adalah banyak guru madrasah swasta yang nyambi
ngajar di sekolah lain untuk mengejar kebutuhan ekonomi. Banyaknya guru
madrasah yang nyambi di sekolah lain karena kesejahteraan guru madrasah
masih sangat minim. Realitanya, ada guru madrasah yang hanya digaji Rp
11
100 ribu per bulan. Untuk kehidupan saat ini mana cukup mengandalkan Rp
100 ribu. Dan sebagian besar guru madrasah masih mismach dan
pendidikannya yang kurang qualified. Masih sangat banyak guru madrasah
yang mengajarkan mata pelajaran tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang
dikuasainya. sarjana syariah mengajar IPA, sarjana ushuluddin mengajar
Matematika, Sarjana pertanian mengajar bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Selain itu masih banyak juga guru madrasah yang hanya berpendidikan
Aliyah dan SMA (Lutfi,http://www.radarbanten.com/).
5. Standar Sarana dan Prasarana
Standar ini menegnai kriteria minimal tentang runagn belajar,
perpustakaan, tempat olahraga, tempat ibadah, tempat bermain dan rekreasi,
laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini termasuk pula
penggunaan tekhnologi informasi dan komunikasi.
Dari sisi kwantitas, madrasah-madrasah sudah mampu mencukupi
jumlah kelas, sesuai dengan jumlah siswa dan ruangan yang lain. Dari sisi
kualitas, untuk madrasah negeri dan sebagian madrasah swasta sudah banyak
yang mampu memenuhi persyaratan tersebut. Sebagian lagi masih ada yang
seadanya baik pergedungan dan ruangan kelasnya, seperti laboratorium,
perpustakaan, ruang ketrampilan, perpustakaan, ruang ibadah, halaman
bermain dan media serta alat peraga pendidikan.
Hal ini dapat dimaklumi, terutama pada madrasah-madrasah swasta
dikarenakan pengadaan dan sarana pendidikan adalah hasil swadaya
masyarakat sedangkan bantuan dri pemerintah sangat kecil. Berbeda dengan
madrasah negeri, walaupun masih ada yang belum memnuhi standar tetapi
masih ada bantuan dari pemerintah.(Khaeruddin, 2007: 13).
6. Standar Pengelolaan
Standar ini meliputi perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan
pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan,
pengelolaan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota, provinsi, dan pada
tingkat nasional. Tujuan dari standar ini ialah meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pendidikan. Dalam melaksanakan pengelolaan
12
Madrasah sebagian besar belum mampu menerapkan MPMBM (Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah).walau demikian penerapan MPMBM
dengan segala keterbatasannya telah dilaksanakan oleh madrasah – madrasah
swasta, baik dalam manajeman pengelolaan, sarana, prasarana, ketenangan
dan keuangan.
Lemahnya pembinaan dari institusi terkait dari yayasan pengelola
madrasah baik negeri maupun swasta, menjadi sebab lemahnya sistem
menejerial madrasah, sehingga dalam perjalanannya masih sangat diperlukan
pembinaan di dalam menyusun perencanaan program madrasah, mulai dari
visi, misi, tujuan, dan target.
Begitu pula monitoring dan supervisi sangat kurang dilaksanakan
sehingga terjadi kesulitan dalam menentukan kinerja madrasah.
7. Standar Pembiayaan
Standar ini merupakan standar nasional yang berkaitan dengan
komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama satu tahun.
Pembiyaan di madrasah terdiri dari tiga komponen, yaitu biaya investasi,
operasional dan pesonal. Di madrasah negeri untuk semua tingkatan, biaya
investasi sebagian besar ditanggung pemerintah (Departemen Agama) yang
digunakan untuk pengadaan tanah, pembangunan gedung dan pengadaan
sarana dan prasarana. Tetapi di madrasah swasta, semua biaya investasi
menjadi tanggungan madrasah atau yayasan pengelola.
Perbedaan kondisi daerah menjadi sebab heterogenitas masalah
pembiayaan, sehingga terjadi perbedaan antara yang satu dengan yang
laindalam pembiayaan investasi.
Pembiayaan operasional pada dua tahun terakhir ini tertolong dengan
adanya BOS dan BKM. Walaupun belum mencukupi, pada daerah-daerah
pedesaan sangat menolong dalam membantu operasional madrasah.
Kemudian untuk pembiayaan personal sangat ditentukan oleh kondisi
daerah. Madrasah negeri maupun swasta yang belum mendapat bantuan
operasional sangat ditentukan oleh kondisi wali murid, apalagi wali murid
madrasah hampir 90% berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah.
13
Faktor ini justru sangat mempengaruhi pembiayaan personal di
madrasah, sehingga upaya peningkatan mutu dalam penyelenggaraan
medrasah menjadi terhambat karena minimnya biaya personal dari siswa
setiap bulannya(Khaeruddin, 2007:14).
8. Standar Penilaian Pendidikan
Standar ini merupakan standar nasional penilaian pendidikan tentang
mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Standar penilaian pendidikan mencakup : a) penilaian hasil belajar oleh
pendidik, b) penilaian hasil belajar oleh madrasah, dan c) penilaian hasil
belajar oleh pemerintah, semua madrasah baik negeri maupun swasta sudah
melakukan, karena masuk dalam sistem pengelolaan pendidikan, hanya saja
secara kualitas masih belum sama antara madrasah yang satu dengan yang
lain. Hal ini tidak hanya dialami oleh madrasah swasta, tetapi oleh madrasah
negeri. Pemahaman madrasah dan para guru terhadap standar penilaian,
seperti penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada masing-masing
mata pelajaran masih terjadi perbedaan persepsi sebagai akibat adanya
perbedaan penafsiran pada panduan KKM. Belum lagi pemahaman guru
terhadap alat evaluasi seperti penyusunan kisi-kisi, kartu soal dan bentuk
soal, yang kebanyakan mereka masih berpola pada kurikulum lama. Hal ini
disebabkan pula karena kurangnya sosialisasi dan bimbingan teknis untuk
para guru, serta peran MGMP dan KKG yang belum maksimal(Khaeruddin,
2007:15).
Dari problematika yang telah diungkapakan diatas bisa ditarik benang
merah, bahwa masih banyak madrasah yang kurang didukung oleh
organisasi dan manajemen yang rapi, jaringan yang terbatas, dan kurang
memiliki sumber-sumber dana yang memadai.
Namun diakui atau tidak integrasi madrasah ke dalam Sisidiknas yang
segala sesuatunya mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah,
menurut penulis merupakan langkah nyata yang telah dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan mutu madrasah yang selalu dipandang sebelah mata
dikarenakan persepsi masyarakat sebagaimana telah diungkapakan diatas.
Dan memang saat ini upaya pencerahan terhadap madrasah terus dilakukan,
14
seperti melalui madrasah model yang diharapkan berperan sebagai agent of
change atau agen perubahan yang mengajak madrasah di sekitarnya untuk
bersama menjadi madrasah yang berkualitas dan tentunya sesuai dengan
standarisasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah yakni dengan standarisasi
nasional.
Adalah benar, jika masih banyak madrasah terutama madrasah swasta
dan terlebih yang berada di daerah terpencil mengalami kesulitan untuk
mengikuti standar nasional. Hal itu selain dikarenakan kurangnya perhatian
dari pemerintah terhadap pengelolaan madrasah, hal itu juga dikarenakan
pendanaan terhadap madrasah yang masih minim. Mungkin karena
pemerintah merasa bahwa madrasah bisa mencukupi dirinya sendiri, hal itu
juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, sebab kembali pada historis
madrasah sebagai lembaga swadaya masyarakat. Namun yang menjadi
kendala adalah masyarakat tidak sepenuhnya bisa diandalakan sebagai
sumber pendanaan dikarenakan sebagian besar siswanya adalah dari
kalangan ekonomi rendah.
F. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Secara umum metode penelitian ada dua macam, yaitu pendekatan kualitatif
dan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang mengumpulkan
data pada suatu latar alamiah dengan menggunakan metode ilmiah dan dilakukan
oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah.(Moeloeng, 1995:5)20 Metode
deskriptif adalah adalah metode yang melukiskan suatu obyek atau peristiwa historis
tertentu yang kemudian diiringi dengan upaya pengambilan kesimpulan umum
berdasrkan fakta-fakta historis tertentu.21
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus.
Penelitian studi kasus bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail
tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, ataupun status
dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas tersebut dijadikan suatu hal yang
20 David Williams dalam Lexy Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm: 521 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hlm:73
15
bersifat umum.22 Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan implementasi
delapan standararisasi pendidikan nasional di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3
Jember
G. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di MAN 3 Malang Jalan Bandung No. 7 Malang dan
Madrasah Aliyah Miftahul-Qulub Jalan Masaran desa Polagan kabupaten
Pamekasan. Dipilihnya Madarasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang sebagai obyek
penelitian karena MAN 3 Malang termasuk salah satu sekolah favorit sekaligus
bonafit di kota Malang yang terkesan sekolah kaum elit dan hanya orang-orang dari
high class yang bisa masuk ke MAN 3 Malang. Selain itu MAN 3 Malang
merupakan salah satu sekolah yang memiliki prestasi gemilang baik dalam bidang
akademik dan non akademik. Biaya pendidikan yang mahal, fasilitas dan sarana-
prasarana pembelajaran yang memadai, dan guru yang professional menjustifikasi
bahwa MAN 3 Malang sebagai sekolah yang berkualitas. Dipilihnya Madrasah
Aliyah Miftahul-Qulub sebagai lokasi penelitian karena Madrasah Aliyah Miftahul-
Qulub merupakan sekolah swasta dengan biaya pendidikan murah dengan kualitas
yang standar (biasa-biasa saja), fasilitas yang kurang memadai, namun
output/lulusan dari Madrasah Aliayah Miftahul-Qulub ini mampu bersaing dengan
lulusan sekolah-sekolah lain dalam hal prestasi. Hal ini terbukti banyak siswa
lulusan Madrasah Aliyah Miftahul-Qulub Pamekasan diterima di perguruan tinggi
ternama seperti UNESA, UNIBANG dan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Data
terakhir selama tiga tahun yang peneliti temukan di lapangan, bahwa pada tahun
2006 alumni MA Miftahul-Qulub yang diterima di Unibang sebanyak 4 orang
siswa, pada tahun 2007 alumni MA Mintahul-Qulub yang diterima di Unesa
sebanyak 3 orang siswa, dan pada tahun 2008 alumni MA Miftahul-Qulub yang
diterima di IAIN Sunan Ampel sebanyak 5 orang siswa.
H. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen utama, yaitu sebagai
pelaksana, pengamat, dan sekaligus sebagai pengumpul data. Sebagai pelaksana,
peneliti melaksanakan penelitian di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) 3 Jember
untuk mengetahui manajeman biaya di dua sekolah tersebut. Peneliti berperan
22 Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Cet V, hlm. 57
16
sebagai pengamat untuk mengamati bagaimana proses rapat penyusunan
perencanan RAPBS, rapat pertanggungjawaban dan lain-lain terkait dengan proses
manajemen biaya pendidikan. Sebagai interviwer, peneliti mewawancarai kepala
sekolah dan bagian bendahara untuk menggali data dan mengetahui bagaimana
proses manajemen biaya pendidikan yang telah diterapkan. Sebagai pengumpul
data, peneliti mengumpulkan data yang berkaitan dengan manajemen biaya
pendidikan mulai awal penelitian, pada saat penelitian dan setelah penelitian.
I. Data dan Sumber Data
Menurut cara memperolehnya, data dapat dikelompokkan menjadi dua
macam, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
dikumpulkan, diolah, dan disajikan oleh peneliti dari sumber pertama.23 Dalam hal
ini, data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung dari
informan melalui pengamatan, catatan lapangan dan interview.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak
lain yang biasanya dalam bentuk publikasi atau jurnal.24 Dalam hal ini, data
sekunder adalah data yang sudah diolah dalam bentuk naskah tertulis atau dokumen.
Data penelitian ini bersumber dari kepala sekolah dan waka kurikulum. Data
penelitian ini berupa hasil pengamatan, wawancara, dokumen, dan catatan lapangan.
Data tersebut sangat berkaitan dengan data implementasi delapan standarisasi
pendidikan nasional.
J. Pengumpulan Data
Untuk menentukan data yang pergunakan, maka dibutuhkan adanya teknik
pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh berfungsi sebagai
data obyektif dan tidak terjadi dari penyimpangan sebenarnya. Adapun metode yang
dipergunakan adalah metode observasi, catatan lapangan, interview, dukomentasi.
1. Metode Observasi
Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara pengambilan data
dengan menggunkan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk
keperluan tersebut.25 Metode observasi disini adalah dengan jalan pengamatan
23 Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Pedoman Pendidikan Tahun Akademik 2004/2005, hlm.18224 Ibid.25 Moh Nazir, op.cit. hlm. 212
17
langsung terhadap obyek penelitian untuk mengetahui bagaiaman proses
penyusunan anggaran sekolah.
2. Metode Interview
Interview atau wawancara adalah dialog yang dilakukan oleh pewawancra
(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara.26 Wawancara
dilakukan untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah
pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula.
Wawancara dimaksudkan untuk meperkuat data observasi. Wawancara
dilakukan kepada kepala sekolah sebagai manajer dan bagian keuangan/
bendahara untuk mengetahui proses manajemen biaya pendidikan, dari segi
perencanaan, pelaksanaan/ pengalokasian, evaluasi dan pertanggungjawabannya.
3. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
lengger, agenda, dan sebagainya.27 Metode ini peneliti gunakan untuk
memperoleh data-data tentang keuangan dan dokumen-dokumen hasil
pertanggungjawaban bagian keuangan/ bendahara.
K. Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisa data yang penulis gunakan adalah teknik
analisa deskriptif kualitatif (berupa kata-kata bukan angka). Menurut Miles dan
Huberman dalam analisis kualitatif data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan
rangkaian angka-angka. Data tersebut mungkin telah dikumpulkan dalam berbagai
cara seperti observasi, wawancara, atau intisari rekaman yang kemudian “di proses”
melalui pencatatan, pengetikan atau pengaturan kembali.28
Berdasarkan dari teori analisis data tersebut, maka analisis data penelitian ini
mengikuti analisis Miles dan Huberman yang meliputi: 1) reduksi data, 2)
menyajikan data, dan 3) penerikan kesimpulan dan Verifikasi.
1. Reduksi Data
26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Renika Cipta, 2002), hlm. 13227 Ibid, hlm. 206 28 Matthew B. Milles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 15
18
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian,
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari
catatan tertulis di lapangan.29 Reduksi data ini dimulai sejak awal pengumpulan
data sampai penyusunan laporan.
2. Penyajian Data
Penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.30
Penyajian data dilakukan dengan cara menganalisis data hasil reduksi dalam
bentuk naratif yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengambil
tindakan. Sajian data selanjutnya kemudian ditafsirkan dan dievaluasi untuk
merencanakan tindakan selanjutnya.
3. Kesimpulan dan Verifikasi
Menarik kesimpulan adalah kegiatan memberi kesimpulan terhadap hasil
penafsiran dan evaluasi. Kesimpulan ini meliputi pencarian makna data dan
penjelasannya, dan makna-makna yang muncul dari data tersebut diuji
kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya dari data yang diperoleh di
lapangan untuk menarik kesimpulan yang tepat dan benar.
L. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam penelian ini, untuk menguji keabsahan data menggunakan teknik
sebagaimana yang dikemukan oleh Moleong yaitu: 1) ketekunan pengamatan, 2)
triangulasi, 3) kecukupan referensial.31
Pertama, penyajian keabsahan data dengan ketekunan pengamatan dilakukan
dengan cara mengamati dan membaca secara cermat sumber data penelitian
sehingga data yang diperlukan dapat diidentifikasi, dipilih dan diklasifikasikan.
Selanjutnya dapat diperoleh deskripsi-deskripsi hasil yang akurat dalam proses
perincian maupun pemyimpulan.
Kedua, triangulasi digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dengan
memanfaatkan sumber yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
pembanding data.32 Dalam kaiatan ini, ada dua metode triangulasi yang digunakan
untuk pemeriksaan data, yaitu: (1) triangulasi metode dan teknik pengumpulan data.
29 Ibid., hlm. 1630 Ibid., hlm. 1731 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 17532 Ibid., hlm. 178
19
Dalam hal ini, metode dan teknik pengambilan data tidak hanya digunakan untuk
sekedar mendapatkan data atau menilai keberadaan data, tetapi juga untuk
mementukan keabsahan data, (2) triangulasi data dengan pengecekan yang dibantu
oleh teman sejawat, serta pihak-pihak lain yang telah memahami penelitian ini.
Ketiga, penyajian data dengan kecukupan referensi dilakukan dengan cara
membaca dan menelaah sumber-sumber data dan sumber pustaka yang relevan
dengan masalah penelitian secara berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang
memadai.
20
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Logos ).
Fadjar, Malik. 1999. Madrasah Dan Tantangan Modernitas (Bandung; Mizan)
Hasan, Ali & Mukti Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta ; Pedoman Ilmu Jaya)
Khaeruddin&Junaedi Mahfud. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pndidikan (Semarang; Pilar Media)
Lutfi, Ahmad, Potret Madrasah, Kini Dan Masa Datang, http://www.radarbanten.com/ diakses pada tanggal 18 April 2008.
Muhaimin, MA. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam;Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa)
Suwendi. 2004. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada)
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah;Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (Jakarta: Darma Aksara Perkasa)
Shaleh, Abdur Rahman. 2005. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa;Visi, Misi, Dan Aksi (Jakarta: Raja Garafindo Persada)
Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional;Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta : Rineka Cipta)
________ 2004. Paradigama Baru Pendidikan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta)Yunus, Mahmud. 1992. sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Mutiara
Sumber Widya)Undang-Undang SISDIKNAS 2003. (Bandung Citra Umbara)Zuhairini dkk. 2006. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta ; Bumi Aksara)
20 David Williams dalam Lexy Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm: 521 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hlm:7322 Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Cet V, hlm. 57
23 Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Pedoman Pendidikan Tahun Akademik 2004/2005, hlm.182Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Renika Cipta, 2002), hlm. 13228 Matthew B. Milles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 15
31 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 175
21
PROBLEMATIKA MADRASAH ALIYAH DALAM KONTEKS SISDIKNAS
(study multi situs tentang problematika 8 standar mutu pendidikan MA sekecamatan Sumber Baru kabupaten Jember)
Bagaimanakah faktor dominan problematika yang dihadapai MA menyangkut isi,proses,saranan,kurukulum.......?apasajakah kebijakan yang dilakukan tingkat satuan MA dalam menghadapi problematika 8 standarat
22