presentasi kasus bedah anak
DESCRIPTION
Megacolon congenitalTRANSCRIPT
Presentasi Kasus Bedah Anak
Periode 29-31 Oktober 2012
SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 9 BULAN DENGAN
POST DUHAMEL PROCEDURE A.I. POST SIGMOIDEKTOMI
A.I. MEGACOLON CONGENITAL
Oleh:
Shinta Rizkiasih S
G9911112130
Pembimbing:
dr. Guntur Surya Alam, Sp.B., SpBA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2012
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
1. Identitas Penderita
Nama : An. A
Umur : 9 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pabelan, Semarang
No. CM : 01118690
Tanggal masuk : 18 Oktober 2012
Tanggal pemeriksaan : 29 Oktober 2012
2. Keluhan Utama
Keluarga pasien ingin menutup lubang di perut pasien.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli bedah RSDM karena ingin menutup lubang
yang telah terpasang di perutnya sejak dilakukan operasi pada ± 6 bulan
SMRS. Selama 6 bulan terpasang lubang di perut tersebut, pasien sudah tidak
mengeluh kembung, BAB (+) melalui lubang tersebut, konsistensi lunak,
warna kuning ampas (+), tidak ada lendir darah.
Sejak lahir pasien sering mengalami kembung, BAB sering (sebanyak
6x sehari) dan mencret, BAB lendir darah (-). Pasien kemudian dibawa ke
RSUD Salatiga, dipasang infuse dan NGT, diinjeksi obat-obatan, dan
diperiksa laboratorium darah. Kemudian pasien dirujuk ke RSDM.
Di RSDM dilakukan operasi pembuatan lubang untuk BAB di perut-
nya pada bulan Maret 2012. Satu minggu setelah operasi pembuatan lubang
dilakukan, pasien diperbolehkan pulang dan disarankan kontrol kembali ke
RSDM 6 bulan kemudian untuk menutup lubang di perutnya tersebut.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat mondok : (+), 6 bulan yang lalu karena megacolon congenital.
1
Riwayat operasi : (+), 6 bulan yang lalu Sigmoidektomi a/i megacolon
congenital
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
Riwayat sakit gula : Disangkal
Riwayat sakit jantung : Disangkal
Riwayat sakit serupa : Disangkal
6. Riwayat Kehamilan Ibu
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat minum jamu : Disangkal
Riwayat minum obat-obatan : Disangkal
Riwayat demam : Disangkal
Riwayat ketuban pecah dini : Disangkal
Riwayat hipertensi kehamilan : Disangkal
7. Riwayat Persalinan
Pasien lahir spontan di bidan setempat dengan usia kehamilan 9 bulan
9 hari, berat badan lahir 2900 gram, panjang badan 44 cm, dan langsung
menangis kuat. Riwayat biru sejak lahir (-), sesak sejak lahir (-), riwayat kun-
ing (-), riwayat mekonium terlambat (+).
8. Riwayat Sosial Ekonomi dan Gizi
Pasien mendapat ASI eksklusif dari ibu. Pasien dirawat di RSDM
dengan menggunakan jaminan pembiayaan jamkesmas.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Mawar 2 kamar 3D RSUD Dr.
Moewardi Surakarta pada tanggal 29 Oktober 2012.
Keadaan umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup
Tanda vital : HR : 120 x/menit
Rr : 22 x/menit
t : 37,8 ⁰C
2
Kulit : kuning langsat, turgor baik, petekie (-), sianotik (-) ikterik (-).
Kepala : mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), mudah
dicabut (-), luka (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya
(+/+), pupil isokor (2 mm/2 mm)
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), faring hiperemis (-)
Leher : benjolan (-), bercak hiperemis (-)
Thoraks : normochest, simetris, retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : sde/sde
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), ST (-/-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), verban (+), rembes (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-)
Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri
BAK (-)
Ekstremitas
3
Akral dingin Edema
- - - -
- - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
19 Okt 2012 20 Okt 2012 23 Okt 2012
Hemoglobin 11.8 g/dl 9.8 g/dl 13.3 g/dl
Hematokrit 35 % 30 % 38 %
AL 9.5 ribu/ul 20 ribu/ul 14.5 ribu/ul
AT 251 ribu/ul 287 ribu/ul 337 ribu/ul
AE 4.63 juta/ul 3.90 juta/ul 5.04 juta/ul
Gol. Darah B - -
PT 12.8 detik - -
APTT 17.0 detik - -
Glukosa puasa 70 mg/dl - -
Kreatinin 0.2 mg dl - -
Ureum 9 mg/dl - -
Na 135 mmol/L 137 mmol/L -
K 4.8 mmol.L 4.2 mmol.L -
Cl 109 mmol/L 104 mmol/L -
HBsAg Non reaktif Non reaktif Non reaktif
Pemeriksaan radiologis
4
a. Foto Baby gram
Kesan: Distended abdomen, curiga peritonitis, adanya megacolon
belum dapat disingkirkan.
b. Colon in loop
Kesan: Stenosis ani
D. ASSESMENT I
Pro tutup stoma a.i post sigmoidectomy a.i megacolon congenital
E. PLANNING I
Informed consent
Konsul anestesi
Daftar OK IBS dan PICU
Antibiotik profilaksis Cefotaxim 300 mg/12 jam (skin test)
Puasa 6 jam pre operasi
Infus D5 ¼ NS 28 tpm
Sedia NaCl 0.9 % 3 flabot
5
NGT no.5
NGT no.8
DC no. 5
Urin bag
Rectal tube no. 30
F. LAPORAN OPERASI
1. Posisi supine, dalam general anestesi, toilet medan operasi dengan cairan
aseptic dan antiseptic
2. Tutup medan operasi dengan duk steril berlubang
3. Dilakukan incise pada tepi stoma, perdalam lapis demi lapis sampai dengan
peritoneum
4. Potong colon proksimal stoma,kemudian dijahit (diikat), tutup lumen.
5. Dilakukan pull through (Duhamel procedure) pada retrorectal, kemudian jahit
dengan siede 3.0
6. Pada distal colon dipotong dan dilakukan patup stumb.
7. Kemudian pasang drain pada stumb distal
8. Tutup luka operasi lapis demi lapis (peritoneum, fascia, otot, kulit)
9. Operasi selesai.
G. ASSESMENT II
Post Duhamel Procedure a.i. post sigmoidectomy a.i. megacolon congenital
H. PLANING II
Bila stabil pindah RGB
Infus D5 ¼ NS 28 tpm mikro
Injeksi cefotaxim 300 mg/12 jam
Puasa 3 hari post operasi
Sadar penuh masuk bangsal
Cek laboratorium post operasi
TINJAUAN PUSTAKA
6
MEGACOLON CONGENITAL
Pendahuluan
Megacolon congenital merupakan kelainan yang sering dijumpai sebagai
penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kelainan ini pleksus mienterikus
(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak ada, sehingga bagian usus yang
bersangkutan tidak dapat mengembang. Keadaan ini bisa muncul sesaat setelah
kelahiran, dan menyebabkan konstipasi yang hebat, distensi abdomen, kadang
muntah, serta gangguan pertumbuhan pada keadaan yang berat. Megacolon
congenital juga dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon,
atau Hirschsprung’s disease (Wylie, 2007).
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886,
namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun
1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus
akibat defisiensi ganglion. Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5000
kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan (Kartono,
2004).
Definisi
Megacolon congenital (Hirschsprung’s disease) adalah dilatasi kolon yang
abnormal yang disebabkan tidak adanya sel ganglion mienterik pada segmen distal
usus besar secara kongenital. Kehilangan fungsi motorik pada segmen ini akan
menyebabkan dilatasi hipertrofik massif pada kolon proksimal yang normal. Segmen
yang aganglioner biasanya tetap menyempit, tetapi bisa berdilatasi secara pasif
(Dorland, 2002).
7
Gambar 1. Ilustrasi megacolon congenital
Etiologi
Secara genetis, megacolon congenital bersifat heterogen, dan diketahui
terdapat beberapa defek yang berlainan serta menimbulkan akibat yang sama. Sekitar
50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena merupakan jalur
sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf mienterikus. Banyak kasus
sisanya terjadi akibat mutasi endotelin 3 dan reseptor endotelin (Kumar, 2007).
Teori lain mengenai etiologi yang mendasari megacolon congenitalini adalah
defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang menyebabkan
terbentuknya segmen aganglionik. Namun, ada yang menyatakan bahwa neuroblast
dapat bermigrasi dengan normal, tetapi gagaluntuk bertahan, berproliferasi, atau
berkembang di segmen tersebut (Lee, 2009).
Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung (megacolon congenital) merupakan penyakit
kongenital. Kelainan yang ada pada megacolon congenitalyaitu ketiadaan ganglion
atau aganglionosis saraf intrinsik usus, mulai dari muskulus sfingter ani internum
sampai ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu. Paling banyak, yaitu 80%
dari keadaan aganglionosis ini terjadi pada segmen rektosigmoid. Selain
aganglionosis, kelainan yang ditemui pada penyakit ini adalah hipertrofi persarafan
usus eksterna terutama saraf kolinergik.
Tidak adanya pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa
(Meisner) menyebabkan berkurangnya fungsi usus dan peristaltik. Sel ganglion usus
berkembang dari neural crest. Pada perkembangan normal, neuroblast dapat
ditemukan pada usus kecil pada usia gestasi 7 minggu dan mencapai kolon pada usia
12 minggu. Defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang
menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Teori lain menyatakan bahwa
neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi terjadi kegagalan dari neuroblast
untuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut. Teori ini dapat
disebabkan karena kurangnya komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel neuron seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule
(NCAM), dan faktor neurotropik.
8
Ada dua pleksus yang mempersarafi usus, yaitu pleksus submukosa (Meisner)
dan pleksus mienterikus (Auerbach) serta pleksus mukosa yang kecil. Pleksus-
pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam berbagai aspek dari fungsi usus meliputi
absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas normal terutama dikontrol
oleh neuron interinsik. Ganglion sebagai neuron interinsikberfungsi mengontrol
kontraksi dan relaksasi dari usus halus. Kontrol eksterinsik terutama melalui
persarafan kolinergik dan adrenergik. Kolinergik menyebabkan kontraksi dan
adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada pasienmegacolon congenital, sel ganglion
tidak ada sehingga menyebabkan meningkatnya inervasi ekstrinsik. Inervasi dari
sistem kolinergik maupun adrenergik meningkat 2-3 kali dari inervasi normal
sehingga menyebabkan meningkatnya tonus usus halus. Dengan hilangnya inervasi
intrinsik dan meningkatnya tonus usus halus yang tidak dihambat, menyebabkan
terjadinya kontraksi otot tidak seimbang, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan
obstruksi fungsional. Obstruksi ini mengakibatkanusus tidak mampu meneruskan
gerakan peristaltikke bagian yang lebih distal yang tidak mengandung sel ganglion
dan juga tidak ada reflek membuka pada muskulus sfingter ani internum(Lee, 2009).
Manifestasi Klinis
Tiga tanda khas darimegacolon congenital, yaitu:
1. Keterlambatan evakuasi mekoneum lebih dari 24-48 jam pertama
Pada 99% bayi yang lahir cukup bulan (aterm) mekoneum keluar dalam 48
jam pertama setelah kelahiran. Megacolon congenitalperlu dicurigai pada
bayi yang lahir cukup bulan yang mengalami keterlambatan evakuasi
mekoneum. Meskipun pada beberapa bayi dapat mengeluarkan mekoneum
secara normal, tetapi pada akhirnya akan berlanjut menjadi konstipasi kronik.
Gejala lain yang mungkin terjadi pada neonatus lainnya seperti konstipasi
yang diikuti diare berlebih yang sering teridentifikasi sebagai enterokolitis,
abdomen yang meregang, dan kegagalan perkembangan.
2. Distensi abdomen
Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tanda-
tanda edema, bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung,
dan sekitar genitalia ditemukan bila terjadi komplikasi peritonitis. Gambaran
9
abdomen tersebut mirip dengan gambaran abdomen pada penyakit lain seperti
enterokolitis nekrotikans neonatal, atresia ileum dengan komplikasi perforasi,
atau peritonitis intrauterin.
3. Muntah yang berwarna hijau
Muntah berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat terjadi
pula karena gangguan pasase usus, seperti atresia ileum, enterokolitis
nekrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine (Kartono, 2004).
Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis (alloanamnesis) didapatkan riwayat keterlambatan evakuasi
mekoneum. Mekoneum normal berwarna hijau, sedikit lengket, dan dalam jum-
lah yang cukup. Selain itu, didapatkan keluhan lainnya seperti distensi abdomen
(kembung) dan muntah hijau sebagai akibat dari obstruksi usus letak rendah.
Megacolon congenitaldengan komplikasi enterokolitis menampilkan distensi ab-
domen disertai diare dengan fases cair becampur mucus dan berbau busuk, den-
gan atau tanpa darah, dan umumnya berwarna kecoklatan. Pada anak yang sudah
besar terdapat keluhan konstipasi kronik sejak lahir dan menunjukkan kesan gizi
kurang. Biasanya pasien mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit yang
sama.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang membuncit, kembung,
dan tampak pergerakan usus. Pada Pemeriksaan rectal toucher ketika jari ditarik
keluar diikuti keluarnya fases yang menyemprot.
C. Pemeriksaan penunjang
Untuk mendeteksi megacolon congenitalsecara dini pada neonatus dapat di-
lakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema
barium.
1. Foto polos abdomen
10
Megacolon congenitalpada neonatus cenderung menampilkan gambaran ob-
struksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Jarang
terlihat udara bebas intraperitonial yang menginisiasi adanya perforasi usus
proksimal karenamegacolon congenital. Gambaran obstruksi letak rendah
seperti pada atresia ileum, sindrom sumbatan mekoneum, atau sepsis. Pada
foto polos abdomen neonatus, distensi ileum dan distensi kolon sulit
dibedakan. Pada pasien bayi dan anak, gambaran distensi kolon dan massa
fases lebih terlihat jelas (Andrassy, 2000).
2. Foto enema barium
Enema barium berisi kontras cairan yang larut dalam air dan memiliki relia-
bilitas yang tinggi. Gambaran yang karakteristik pada aganglionosis kolon
adalah barium akan masuk ke dalam rectum yang tidak mengembang, kemu-
dian masuk ke area yang berbentuk corong, dan selanjutnya masuk ke dalam
kolon yang melebar (megakolon), ini adalah gambaran dari aganglionosis
segmen pendek. Pada aganglionosis segmen panjang akan tampak seluruh
kolon menyempit sehingga tidak dapat dilihat area berbentuk corong (Has-
mija, 2007).
3. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsi rektal merupakan gold standar untuk diagnosismegacolon congenital.
Swenson pada tahun 1955 mengeksisi seluruh tebal dinding muskulus rectum
sehingga pleksus meinterikus dan bagian submukosa dapat diperiksa. Terdap-
atnya ganglion dalam specimen biopsi menyingkirkan diagnosismegacolon
congenital, begitu juga sebaliknya (Kartono, 2004).
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi untuk megacolon congenitaladalah pembedahan dengan
mengangkat segmen usus yang aganglioner, diikuti dengan pengembalian kontinuitas
usus. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada
megacolon congenitalberupa bedah sementara dan bedah definitif.
11
A. Tindakan bedah sementara
Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion normal
yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus dilakukan. Tin-
dakan ini dilakukan untuk menghilangkan obstruksi usus dan mencegah en-
terokolitis yang dikenal sebagai penyebab utama kematian. Kolostomi tidak di-
lakukan bila tindakan dekompresi secara medik berhasil dan langsung diren-
canakan bedah definitif. Kolostomi dilakukan pada pasien neonatus, pasien anak
dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, dan pasien dengan enterokolitis yang
berat disertai keadaan umum yang memburuk (Kartono, 2004).
B. Tindakan bedah definitif
Ada beberapa cara pembedahan untuk tindakan bedah definitif, antara lain:
1. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megacolon congeni-
taldengan metode “pull-through”. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh
Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan
puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian di-
lakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini
enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang
ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi
parsial posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I. Pada 1964 Swen-
son memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah dilakukan pemo-
tongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di
bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian langsung dilakukan
sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak men-
gurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis
pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis
lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I (Kartono , 2004).
2. Prosedur Duhamel.
Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur
Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan nervi eri-
gentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis. Duhamel
12
melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan tersebut dengan
cara melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian
posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang kateter
sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi rongga ab-
domen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara paramedian atau
transversal. Arteria hemorrhoidalis superior dipotong diikuti pemotongan
mesorektum dan rektum. Kolon proksimal dimobilisir sehingga panjang
kolon akan mencapai anus. Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembu-
luh darah dan kolon proksimal dengan cara menghindari regangan yang
berlebihan. Setelah segmen kolon yang aganglionik direseksi, puntung rek-
tum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi peritonium dan ditutup den-
gan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal dibuka sehingga seluruh permukaan
dinding belakang rektum dibebaskan. Pada dinding belakang rektum 0,5 cm
dari linea dentata dibuat sayatan endoanal setengah lingkaran dan dari lubang
sayatan ini segmen kolon proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar
melewati lubang anus dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian di-
lakukan anastomosis “end to side” setinggi sfingter ani internus. Anastomosis
dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka
waktu 6-8 hari anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemo-
tongan septum yang tidak sempurna (Holschneider, 2005).
3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ).
Prinsip teknik ini adalah diseksi ekstramukosa rektosigmoid yang mula-mula
dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi. Persiapan preoperasi yang
harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi anorektal manual serta pembe-
rian antibiotik. Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal,
dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid. Posisi pasien terlentang
dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri melewati
lubang kolostomi dan dipasang kateter. Dinding abdomen dibuka perlapis
sampai mencapai peritonium kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon
distal dimobilisasi dan direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahi-
tan traksi pada kolon distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan
13
dari muskularis kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal
hingga 1-2 cm diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm
diatas linea dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik kedistal mele-
wati cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong
setelah 21 hari. (Kartono, 2004).
4. Prosedur Boley.
Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi anastomosis
dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih dulu
( Kartono, 2004 ).
5. Prosedur Rehbein.
Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan
anastomosis “end to end” antara kolon yang berganglion dengan sisa rektum,
yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Teknik ini sering menim-
bulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang
(Holschneider dan Ure, 2005).
6. Prosedur miomektomi anorektal.
Pada pasien-pasien dengan megacolon congenitalsegmen ultra pendek, pen-
gangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum dapat
dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana dengan
lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari
proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion ( Teitelbaum at al,
2006 ).
7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.
Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan di-
latasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidone-iodine,
mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Den-
gan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai
7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke
distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa
14
mukosa. Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi
lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat
diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi
masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konstipasi dan striktur anastomo-
sis (Langer, 2004).
Komplikasi
Komplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan,
infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada penderita yang
dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma, striktur, prolaps dan
ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur dan retraksi setelah tindakan
anastomosis dapat dicegah dengan cara pengamatan yang teliti pada keadaan
vaskularisasi kolon yang akan dilakukan pull-through serta menjaga agar
anastomosis usus tidak dalam keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat
muncul terlambat antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat
terjadi pada 50% kasus (Langer, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Andrassy RJ, Isaacs H, Weitzman JJ. 2000.Rectal Suction Biopsy for the Diagnosis
of Hirschsprung’s
Disease.http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=13450
Hasmija MH, Nunik A. 2007. Total Megacolon Congenital Aganglionesis Colon/
Penyakit Hirschsprung. Berkala Kesehatan Klinik. 13: 118-122
15
Holschneider A, Ure BM. 2005. Pediatric Surgery: Hirschsprung’s Disease.
Philadelphia: Elsevier Saunders
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto
Kumar V, James M C. 2007. Buku Ajar Patologi: Penyakit Hirschsprung/Megakolon
Kongenital. Jakarta: EGC
Langer JC. 2004. Persistent obstructive symptoms after surgery for Hirschsprung's
disease: development of a diagnostic and therapeutic algorithm. J Pediatr
Surg. 39:1458.
Lee SL, Shekerdimian S, DuBois. 2009. Hirschsprung’s Disease.
http://www.emedicine.medscape.com
Teitelbaum DH and Coran AG. Pediatric Surgery: Hirschsprung’s Disease and
Related Muscular Disorders of the Intestine. Philadelphia: Mosby Elsivier
Wylie R. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics: Motility Disorder and Hirschsprung’s
Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders
16